• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Tindak Pidana, Unsur Tindak Pidana, dan

Segala peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan (misdrijven), dan sebagainya diatur oleh Hukum Pidana (strafrecht) dan dimuat dalam KUHP (Wetboek van Strafrecht).33 Kendatipun mengatur berbagai jenis tindak pidana, namun terlihat dalam hal ini terlihat bahwa pembentuk undang- undang tidak secara langsung memberikan definisi dengan penjelasan yang terang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang apakah yang dimaksud dengan tindak pidana (strafbaar feit) tersebut. Hal inilah yang menimbulkan munculnya berbagai pendapat berupa doktrin tentang apakah yang dimaksud dengan strafbaar feit tersebut.34

Van Bemmelen berpendapat bahwa perkataan “feit” dalam strafbaar feit itu sendiri dalam Bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedangkan strafbaar berarti “dapat

33

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok – Pokok Hukum Pidana : Hukum Pidana Untuk Tiap Orang, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), hlm. 3.

34

P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Kelima, (Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 2013), hlm. 181.

dihukum”, sehingga secara harafiah perkataan strafbaar feit dapat diterjemahkan sebagai “suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang tentunya tidak tepat, oleh karena sebagaimana yang kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan.35

Sedangkan menurut Simons, strafbaar feit (terjemahan secara harfiah: peristiwa pidana) adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kesalahan yang dimaksud oleh Simons ialah kesalahan dalam arti luas yang meliputi dolus (sengaja) dan culpa (alpa atau lalai) .36 Dari rumusan tersebut Simons menyatukan unsur-unsur perbuatan pidana (meliputi perbuatan dan sifat melawan hukum) dan pertanggungjawaban pidana (meliputi kesengajaan, kealpaan, kelalaian dan kemampuan bertanggung jawab).

Hazewinkel-Suringa menyatakan bahwa Strafbaar feit dirumuskan secara umum sebagai “suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya”.37 Pendapat ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Roeslan Saleh, bahwa pengertian tindak pidana

35Ibid.

36

Abidin Farid, HukumPidana I, Cetakan Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 224.

37

P.A.F Lamintang, op.cit, hlm. 182. Hazewinkel-Suringa mencetuskan pendapat ini untuk menggantikan pendapat penulis lama seperti Profesor Van Hamel yang merumuskan suatu strafbaar feit sebagai “suatu serangan atau suatu ancaman terhadap orang-orang lain”, yang telah dianggap kurang tepat.

yaitu, suatu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang.38

Menurut Moeljatno, perbuatan pidana39 adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Antara larangan dan ancaman pidana terdapat hubungan yang erat, maka antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan yang erat pula, yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang kejadian yang ditimbulkan olehnya. Untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka digunakan kata perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjukkan dua keadaan konkrit: pertama, adanya kejadian tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.40

Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi “tindak pidana” atau dalam bahasa Belanda strafbaar feit, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam strafwetboek atau KUHP, yang sekarang ini berlaku di Indonesia. Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang

38

Roeslan Saleh, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1981), hlm. 13.

39

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Keempat, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 55. Adapun menurut Moeljatno, istilah peristiwa pidana (sebagai terjemahan harafiah dari

strafbaar feit) kurang tepat untuk digunakan sebab peristiwa itu adalah pengertian yang konkrit, yang hanya menunjukkan kepada suatu kejadian yang tertentu saja, misalnya matinya orang. Peristiwa ini saja tidak mungkin dilarang, Hukum Pidana tidak melarang adanya orang mati tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang lain. Jika matinya orang disebabkan oleh sakit, karena binatang, tertimpa pohon, maka peristiwa itu tidak penting sama sekali bagi Hukum Pidana. Baru apabila matinya ada hubungannya dengan kelakuan orang lain disitulah peristiwa itu menjadi penting bagi hukum pidana

40

pelakunya dapat dikenai hukum pidana. Dan, pelaku ini dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana.41

H.A. Zainal Abidin Farid dan Andi Hamzah juga lebih cenderung memakai istilah delik yang menurutnya netral dan praktis dan tidak ada kritikan. Demikian juga dengan Sutan Remy Sjahdeini, lebih cenderung memakai istilah delik atau tindak pidana karena merupakan istilah resmi yang dipergunakan dalam perundang-undangan.42

Tindak pidana di bidang perkebunan, yang merupakan salah satu lingkup tindak pidana lingkungan hidup adalah suatu bentuk tindak pidana yang timbul seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Perkembangan di dalam masyarakat dipastikan memberikan pengaruh terhadap perubahan dan perkembangan kualitas tindak pidana. Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Kongres ke-6 tentang Prevention of Crime and The Treatment of Offenders di Caracas tahun 1980 berpendapat bahwa antara pembangunan dan kejahatan terdapat hubungan yang saling berpengaruh yang melahirkan kriminalisasi sekaligus dekriminalisasi, oleh karena itu pasal-pasal undang-undang hukum pidana harus diperluas, mencakup tindakan-tindakan disengaja yang merusak kekayaan alam dan kesejahteraan nasional, misalnya pelanggaran-pelanggaran terhadap lingkungan hidup.43

41

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 58.

42

Hasbullah F. Sjawei, Direksi Perseroan Terbatas Serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2013), hlm. 250.

43

Henny Damaryanti, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Tesis, (Semarang: Universitas Diponegoro, 2002), hlm. 29.

Kriminalisasi yang dimaksud adalah suatu proses yang menjadikan suatu perbuatan yang tadinya bukan merupakan tindak pidana karena belum diatur di dalam undang-undang hukum pidana, kemudian karena perbuatan tersebut dapat mengakibatkan kerugian bagi masyarakat bahkan dapat membahayakan kehidupan manusia, maka dirumuskan di dalam undang-undang Hukum Pidana dan diancam dengan pidana, sehingga perbuatan dimaksud dinyatakan sebagai tindak pidana.

Tindak pidana di bidang perkebunan termasuk tindak pidana lingkungan hidup atau sering disebut dengan istilah delik lingkungan atau kejahatan lingkungan (environmental crime), berkaitan erat dengan dan sering merupakan hasil dari kegiatan di bidang bisnis dan industri, sehingga dimasukkan sebagai salah satu bentuk dari “crimes as business” atau “economic abuses”. Pada hakikatnya tindak pidana lingkungan hidup berkaitan erat dengan “keseluruhan syarat hidup yang bersifat asasi bagi manusia” (the totality of mankind‟s basic

natural living conditions), yang berarti berkaitan erat dengan keseluruhan kondisi struktur sosial (socio-structural conditions), maka wajar dikatakan bahwa tindak pidana lingkungan hidup merupakan suatu bentuk kejahatan struktural (structural criminality).44

Tindak pidana dapat dibeda – bedakan atas dasar – dasar tertentu, yaitu:45 1. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven)

dimuat dalam buku II dan Pelanggaran dimuat dalam buku III

2. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materil (materiel delicten)

44

Ibid., hlm. 30 45

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori – Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002), hlm. 117-119.

3. Berdasarkan bentuknya kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpose delicten)

4. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negative, disebut juga tindak pidana omisi (delicta omissionis)

5. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.

6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.

7. Dilihat dari sudut subyek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (delicta communia, yang dapat dilakukan oleh siapa saja), dan tindak pidana propria (dapat dilakukan hanya oleh orang memiliki kualitas pribadi tertentu)

8. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht delicten)

9. Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten), tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten)

10.Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang diindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusialaan dan lain sebagainya.

11.Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) dan tindak pidana berangkai (samengestelde delicten).

Bila dikaji berdasarkan uraian tersebut, konsep tindak pidana yang dikemukakan beberapa ahli hukum pidana di atas mengarah kepada dua hal: yaitu yang memisahkan antar tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana dan yang mencampurkan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana sejatinya dimaknai sebagai satu hal, sedangkan pertanggungjawaban pidana merupakan hal lain.46 Adanya suatu tindak pidana,

46

Mahrus Ali, op.cit, hlm. 54. Menurut Mahrus Ali secara teoritis, untuk menjatuhkan pidana kepada orang yang telah terbukti melakukan tindak pidana harus terdapat kesalahan pada

bukan berarti sudah pasti akan ada suatu pertanggungjawaban pidana karena tindak pidana atau perbuatan pidana hanya menunjukkan kepada dilarang dan diancamnya suatu perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Pemisahan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana ini menunjukkan bahwa hukum pidana mengikuti pandangan dualistis yang berdampak pada timbulnya konsekuensi dibedakannya alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan pembenar ditempatkan dalam tindak pidana, dan alasan pemaaf ditempatkan pada pertanggungjawaban pidana. Seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana tidak secara otomatis harus dijatuhi sanksi pidana atau sanksi tindakan. Persoalan mengenai apakah orang yang melakukan perbuatan atau tindakan kemudian dijatuhi pidana, tergantung kepada apakah dalam melakukan perbuatan itu orang tersebut memiliki kesalahan. Sebab terdapat asas yang dikenal dalam hukum pidana yaitu tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sir rea).47

b. Unsur-unsur Tindak Pidana

Untuk memastikan telah terjadi suatu tindak pidana, pada hakikatnya, haruslah terdapat dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan keduanya. Keduanya memunculkan kejadian dalam alam lahir (dunia).48 Hal inilah yang kemudian disebut sebagai unsur-unsur tindak pidana. Secara umum P.A.F Lamintang membagi unsur tindak

orang itu dan telah dibuktikan dalam proses peradilan, dan itu di luar perbincangan mengenai tindak pidana.

47

Moeljatno, op.cit, hlm. 153 48

pidana menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.49

Unsur-unsur subjektif suatu tindak pidana adalah:

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa); 2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging;

3) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain- lain;

4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti misalnya delik pembunuhan berencana yang diatur dalam Pasal 340 KUHP;

5) Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat dalam rumusan tindak pidana dalam Pasal 308 KUHP.

Sedangkan unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah: 1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;

2) Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang Pegawai Negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;

3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Selanjutnya, Mahrus Ali merumuskan unsur-unsur tindak pidana setidak- tidaknya meliputi tiga hal:50

49

1) Perbuatan itu berwujud suatu kelakuan baik aktif maupun pasif yang berakibat pada timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum.

2) Kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum baik dalam pengertiannya yang formil maupun materil.

3) Adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum.

Sudarto mengemukakan bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah tindakan/perbuatan (gedraging), perbuatan orang itu merupakan titik penghubung dan dasar untuk pemberian pidana.51 Tindak pidana tidak hanya terjadi karena telah dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang (aktif), namun adakalanya tindak pidana ini juga terjadi karena tidak berbuatnya seseorang (pasif).52 Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat dan kejahatan yang bisa diartikan secara yuridis atau kriminologis.53

Maka dengan demikian jelaslah bahwa unsur tindak pidana tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Kelakuan dan akibat (perbuatan);

2) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan; 3) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana; 4) Unsur melawan hukum yang objektif;

50

Mahrus Ali, op.cit, hlm. 55. Mahrus Ali menyebutkan ketiga unsur tindak pidana ini adalah manakala tindak pidana dikonsepkan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi barangsiapa yang melakukannya.

51

Mohammad Ekaputra, Dasar – Dasar Hukum Pidana, (Medan: USU Press, Medan, 2010), hlm. 75

52

Ibid.

53

5) Unsur melawan hukum yang subjektif.

Keseluruhan unsur inilah yang seharusnya digunakan guna mengidentifikasi terjadinya suatu tindak pidana pembakaran lahan perkebunan yang dilakukan oleh korporasi yang menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini. c. Pertanggungjawaban Pidana

Dalam hukum pidana konsep liability atau “pertanggungjawaban” merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea ini dilandaskan pada konsepsi bahwa suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat (an act does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy).54 Doktrin tersebut memiliki dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/tindak pidana (actus reus) dan ada sikap batin jahat/tercela (mens rea).

Pembahasan tentang pertanggungjawaban pidana seyogyanya dibedakan dengan pembahasan mengenai tindak pidana. Istilah tindak pidana tidak mencakup pengertian pertanggungjawaban. Sebagaimana uraian Moeljatno, yang menyebutkan bahwa perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang atau diancamnya perbuatan dengan suatu pidana, apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian juga dijatuhi pidana, sebagaimana yang telah diancamkan, ini

54 Hanafi, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”, Jurnal Hukum

, Vol. 6 No. 11, 1999, hlm. 27.

tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.55

Pendapat ini sejalan dengan pendapat Roeslan Saleh, yang menyatakan bahwa seseorang yang terbukti melakukan perbuatan yang dilarang tidak secara serta-merta orang tersebut akan dijatuhi sanksi pidana atau sanksi tindakan, karena hal tersebut bergantung kepada apakah dalam melakukan perbuatan itu orang tersebut termasuk dalam kategori orang yang memiliki kesalahan atau tidak. Apabila orang tersebut memiliki kesalahan, maka tentu ia akan dipidana.56 Kedua pendapat ini tentunya bersesuaian dengan asas pertanggungjawaban dalam hukum pidana, yakni: Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sist rea yang berarti tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

Terkait dengan pertanggungjawaban pidana, Sudarto mengemukakan bahwa agar seseorang memiliki aspek pertanggungjawaban pidana dalam arti dipidananya pembuat, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:57 1) Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat;

2) Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan; 3) Adanya pembuat yang mampu bertanggungjawab;

4) Tidak ada alasan pemaaf.

Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya.

55

Ibid., hlm. 165. 56

Roeslan Saleh, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 75.

57

Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang.58

Setelah pertanggungjawaban pidana, kemampuan bertanggungjawab menjadi problem yang sentral, karena menyangkut keadaan batin orang yang melakukan tindak pidana. Roeslan Saleh menyatakan bahwa kemampuan bertanggung jawab adalah mampu menginsyafi sifat melawan hukumnya suatu perbuatan dan mampu menentukan kehendaknya.59 Sedangkan Mahrus Ali menyatakan terdapat dua faktor untuk adanya kemampuan bertanggung jawab, yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas sesuatu yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.60 Hal inilah yang menjadi sulit ketika membicarakan korporasi, yakni dalam hal penentuan akal dan kehendak tiap-tiap perbuatan yang dilakukan korporasi dalam kegiatannya ssehari-hari.

Konsep pertanggungjawaban dalam hukum pidana mengalami perkembangan sejak diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana disamping manusia. Manakala korporasi juga diakui sebagai subjek hukum disamping manusia, maka konsep pertanggungjawaban pidana harus diciptakan agar korporasi juga dapat dijatuhi pidana ketika terbukti melakukan tindak pidana.. dengan adanya berbagai doktrin atau sistem pertanggungjawaban pidana korporasi

58

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan Kedua, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 68.Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.

59

Roeslan Saleh, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 185.

60

pada hakikatnya merupakan respon terhadap eksistensi korporasi sebagai subjek hukum pidana dewasa ini.

Dokumen terkait