• Tidak ada hasil yang ditemukan

Subjek hukum (rechtssubject) adalah sesuatu yang menurut hukum berhak atau berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap untuk bertindak dalam hukum.277 Yang dapat bertindak sebagai subjek hukum278 adalah manusia (natural person) dan bukan manusia (badan hukum/legal person).279 Dengan demikian, jika korporasi dianggap sebagai subjek

277

Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Keenam (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal 228.

278

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 242- 243.

279

Samond dalam GW Paton, A Textbook of Jurisprudence, English Language Book Society, (London: Oxford University Press, 1972), hlm. 391 menyebutkan: So far as legal theority is concerned, a person is being whom the law regards as capable of rights and duties. Any being that is so capable is a person, whether a human being or not, and no being that is so capable is a person, even though he be a man.

hukum seperti halnya manusia, konsekuensi logis yang melekat padanya adalah bahwa korporasi bisa melakukan perbuatan-perbuatan hukum, seperti melakukan transaksi bisnis, mengadakan perjanjian kredit, hak untuk memiliki barang dan harta kekayaan, hak untuk menuntut dan dituntut.280 Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa untuk adanya pertanggungjawaban pidana, haruslah jelas terlebih dahulu siapa yang dipertanggungjawabkan, artinya harus dipastikan terlebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai subjek tindak pidana tertentu.281

Lahirnya UU No. 39 Tahun 2014 yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku aturan sebelumnya, yakni UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan telah memberikan paradigma baru mengenai kedudukan korporasi sebagai subjek hukum Perkebunan. Hal ini dapat dilihat secara jelas dalam bagian ketentuan umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Melalui ketentuan Pasal 1 angka 8, dijelaskan bahwa “Pelaku Usaha Perkebunan adalah pekebun dan/atau perusahaan Perkebunan yang mengelola Usaha Perkebunan.” Selanjutnya Pasal 1 angka 9 memberikan arti Pekebun sebagai “orang perseorangan warga negara Indonesia yang melakukan Usaha Perkebunan dengan skala usaha tidak mencapai skala tertentu.” Sedangkan Perusahaan Perkebunan didefenisikan dalam Pasal 1 Angka 10 sebagai: “badan usaha yang berbadan hukum, didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di wilayah Indonesia, yang mengelola Usaha Perkebunan dengan skala tertentu.” Kemudian kedudukan korporasi dipertegas dalam Pasal 1 angka 15, yang berbunyi: “Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum

280

Mahrus Ali, op.cit, hlm. 5. 281

maupun yang tidak berbadan hukum.” Ketentuan ini mempertegas kedudukan korporasi sebagai subjek hukum Perkebunan, termasuk pula sebagai subjek hukum (rechtssubject) tindak pidana di bidang Perkebunan. Ketentuan Pasal 1 Angka 15 UU No. 39 Tahun 2014, tidak terdapat dalam UU No. 18 Tahun 2004, yang tidak ada menyebutkan bahkan satu kalipun istilah “korporasi”. Dengan diakuinya korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam undang-undang perkebunan, berarti korporasi dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya dalam hukum pidana (corporate criminal responsibility).282

Menjadi catatan, sebagaimana telah diuraikan secara singkat sebelumnya bahwa sekalipun telah dicabut dan digantikan UU No. 39 Tahun 2014 ketentuan mengenai tindak pidana pembakaran lahan sebelumnya juga ada diatur dalam UU No. 18 Tahun 2004, namun tidak mengatur mengenai korporasi sebagai subjek tindak pidana. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pidana Pasal 48 dan Pasal 49 UU No. 18 Tahun 2004:

Pasal 48:

(1) Setiap orang yang dengan sengaja membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (1ima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) .

Pasa1 49

(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan

282

fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Aturan dalam Pasal 48 dan Pasal 49 UU No. 18 Tahun 2004 tidak ada mengatur mengenai korporasi sebagai subjek tindak pidana pembakaran lahan perkebunan. Bahkan secara keseluruhan dalam Bab tentang Ketentuan Pidana, UU No. 18 Tahun 2004 tidak mengatur mengenai korporasi sebagai subjek tindak pidana di bidang Perkebunan. Walaupun pada Bab Ketentuan Umum dijelaskan bahwa perusahaan perkebunan adalah pelaku usaha perkebunan warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang mengelola usaha perkebunan dengan skala tertentu, batasan “badan hukum” tersebut secara implisit dapat dikatakan memiliki sifat sebagai subjek hukum, namun tidak dapat secara tegas disebut sebagai subjek tindak pidana. Hal ini dikarenakan tidak diaturnya kedudukan korporasi maupun badan hukum dalam ketentuan pidana dalam perumusan UU No. 18 Tahun 2004283, sehingga pemaknaan “setiap orang” tidak dapat ditafsirkan sebagai

283

Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Berikut Studi Kasus, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 33. Edi Yunara menyatakan bahwa jika kita hendak menghubungkan pelaku dengan tindakannya dalam rangka mempertanggungjawab- pidanakan pelaku tersebut, harus diteliti dan dibuktikan bahwa:

1.Subjek harus sesuai perumusan undang-undang; 2.Terdapat kesalahan pada petindak;

3.Tindakan itu bersifat melawan hukum;

4.Tindakan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang (dalam arti luas); 5.Dilakukannya tindakan itu sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaan-keadaan lainnya yang

“korporasi atau manusia”, hal mana yang justru secara tegas diatur dalam UU No. 39 Tahun 2014.

UU No. 39 Tahun 2014 telah mengakui korporasi sebagai subjek hukum Perkebunan dan telah mengatur pula mengenai hal yang “diperbolehkan”, dan “dilarang” untuk dilakukan korporasi. Penekanan pengaturan tindak pidana dalam UU No. 39 Tahun 2014, sesungguhnya bermuara pada dua jenis tindak pidana, yakni: tindak pidana administrasi dan tindak pidana yang berkaitan dengan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup terkait dengan bidang perkebunan. Tindak pidana administrasi adalah tindak pidana yang berhubungan dengan pelanggaran izin atau lisensi. Artinya “hak” untuk melakukan segala kegiatan perkebunan muncul dari adanya “izin” dari pejabat yang berwenang, namun jika tidak ada “izin”, maka tindakan tersebut melahirkan “tindak pidana” yang disebut tindak pidana perkebunan. Sedangkan tindak pidana pencemaran dan perusakan lingkungan hidup adalah tindak pidana dimana tidak dipenuhinya kriteria baku mutu lingkungan hidup dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kegiatan perkebunan. Kemudian, selain mengatur tindak pidana dalam bentuk perbuatan yang dilarang (tindak pidana komisi), UU No. 39 Tahun 2014 juga mengatur tindak pidana berupa pengabaian kewajiban hukum untuk bertindak (tindak pidana omisi).

Diperbolehkannya korporasi untuk melakukan perbuatan tertentu merupakan akibat dari pengertian perkebunan itu sendiri, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 1 bahwa:

“Perkebunan adalah segala kegiatan pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, sarana produksi, alat dan mesin, budi daya, panen, pengolahan, dan pemasaran terkait Tanaman Perkebunan.”

Kata “pengelolaan” dalam pengertian tersebut sesungguhnya memberikan ruang bagi korporasi untuk memanfaatkan wilayah, sumber daya, lingkungan hidup, serta fasilitas umum dan fasilitas penunjang lainnya terkait Perkebunan sepanjang sesuai dengan prosedur perundang-undangan yang berlaku. Adapun kalimat yang menunjukkan dilarangnya korporasi untuk melakukan tindakan tertentu dalam UU No. 39 Tahun 2014 dapat dilihat melalui perumusan pasal- pasal berikut:

1. Pasal 15

Perusahaan Perkebunan dilarang memindahkan hak atas tanah Usaha Perkebunan yang mengakibatkan terjadinya satuan usaha yang kurang dari luas minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.

2. Pasal 17

(1) Pejabat yang berwenang dilarang menerbitkan izin Usaha Perkebunan di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

(2) Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam hal telah dicapai persetujuan antara Masyarakat Hukum Adat dan Pelaku Usaha Perkebunan mengenai penyerahan Tanah dan imbalannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).

3. Pasal 23

(1) Setiap Orang dilarang mengeluarkan sumber daya genetik Tanaman Perkebunan yang terancam punah dan/atau yang dapat merugikan kepentingan nasional dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber daya genetik Tanaman

Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

4. Pasal 50

Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota yang berwenang menerbitkan izin Usaha Perkebunan dilarang:

a. menerbitkan izin yang tidak sesuai peruntukkan; dan/ atau

b. menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan peraturan perundang undangan.

5. Pasal 55

Setiap Orang secara tidak sah dilarang:

a. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan Perkebunan;

b. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk Usaha Perkebunan;

c. melakukan penebangan tanaman dalam kawasan Perkebunan; atau d. memanen dan/atau memungut Hasil Perkebunan.

6. Pasal 56

(1) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar.

(2) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan berkewajiban memiliki sistem, sarana, dan prasarana pengendalian kebakaran lahan dan kebun.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembukaan lahan tanpa membakar diatur dengan Peraturan Menteri.

7. Pasal 63

(1) Pemerintah Pusat melindungi kelestarian wilayah geografis yang memproduksi Hasil Perkebunan yang bersifat spesifik.

(2) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang mengalihfungsikan Lahan Perkebunan di dalam wilayah geografis yang memproduksi Hasil Perkebunan yang bersifat spesifik.

8. Pasal 77

Setiap Orang dalam melakukan pengolahan, peredaran, dan/atau pemasaran Hasil Perkebunan dilarang:

a. memalsukan mutu dan/atau kemasan Hasil Perkebunan;

b. menggunakan bahan penolong dan/ atau bahan tambahan untuk pengolahan; dan/atau

c. mencampur Hasil Perkebunan dengan benda atau bahan lain; yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia, merusak fungsi lingkungan hidup, dan/atau menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. 9. Pasal 78

Setiap Orang dilarang menadah hasil Usaha Perkebunan yang diperoleh dari penjarahan dan/atau pencurian.

10.Pasal 79

Setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang mengiklankan hasil Usaha Perkebunan yang menyesatkan konsumen.

Penegasan oleh undang-undang terhadap perbuatan yang “dilarang” ini terlihat dari “pengancaman sanksi” terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 103 s/d Pasal 113 UU No. 39 Tahun 2014. Termasuk dalam hal pembakaran lahan perkebunan yang diatur dalam Pasal 108, yang berbunyi:

“Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).” Rumusan pasal 108 pada hakikatnya merujuk pada orang perorangan sebagai subjek tindak pidana pembakaran lahan perkebunan. Aturan yang secara langsung menyebut korporasi sebagai subjek tindak pidana pembakaran lahan perkebunan, dapat dilihat dalam Pasal 113 Ayat (1), yang berbunyi:

“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109 dilakukan oleh korporasi, selain pengurusnya dipidana berdasarkan Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109, korporasinya dipidana dengan pidana denda maksimum ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana denda dari masing-masing tersebut.”

Rumusan tersebut telah dengan tegas memisahkan korporasi dari manusia sebagai subjek tindak pidana pembakaran lahan perkebunan. Rumusan ini tidak membatasi makna korporasi dengan istilah “badan hukum” atau “tidak berbadan hukum”, melainkan sesuai dengan aturan Pasal 1 Angka 15 UU No. 39 Tahun 2014, yang memberikan konsep “korporasi” dalam arti yang luas, yaitu orang dan/atau kekayaan yang terorganisir, baik badan hukum maupun bukan badan hukum. Secara teoritis, artinya korporasi dapat menjadi subjek tindak pidana pembakaran lahan perkebunan, walaupun dalam penerapannya sanksi pidana

terhadap korporasi harus dianalisis kontekstual sesuai kasus284 dan senantiasa selalu diuji dalam praktek pengadilan seperti yang terjadi di negeri Belanda.285

C. Perumusan Sanksi Pidana terhadap Korporasi Pelaku Pembakaran Lahan Perkebunan menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan

Pembakaran hutan atau lahan merupakan kejahatan yang harus diperangi secara komprehensif oleh setiap pihak. Kebijakan hukum pidana (penal policy) melalui pembaharuan hukum pidana materil/substantif merupakan salah satu jalan yang dapat dilakukan dalam upaya memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan korporasi. Di samping itu, jika melihat lebih jauh kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy) mencakup upaya kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan perlindungan masyarakat (social defence policy).286 Untuk membantu kebijakan tersebut, criminal policy yang menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) harus memenuhi unsur: kebijakan legislatif (tahap formulasi), kebijakan yudikatif (tahap aplikasi), dan kebijakan eksekutif (tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana).287

Dalam tahap formulasi, kebijakan legislatif yang diambil dalam rangka penetapan sanksi dalam suatu perundang-undangan bukanlah sekedar masalah

284

Sutan Remy Sajhdeini, op.cit, hlm. 104. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, untuk menentukan directing mind dari korporasi harusalah dilihat dari formal yuris dan menurut kenyataan dalam operasionalisasi kegiatan perusahaan tersebut secara kasus demi kasus.

285

Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 173. 286

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2007), hlm.78-79.

287 Teguh Soedarsono, “

Penegakan Hukum dan Putusan Peradilan Kasus-kasus Illegal Logging”, (Jakarta: Jurnal Hukum LPSK, 2010), hlm. 63.

teknis perundang-undangan, melainkan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari substansi atau materi perundang-undangan itu sendiri. Menurut Achmad Ali, sanksi harus dipandang sebagai salah satu unsur yang esensial, apabila kita melihat hukum sebagai kaidah. Hampir semua juris yang berpandangan dogmatik, memandang hukum sebagai kaidah bersanksi yang didukung oleh otoritas tertinggi di dalam masyarakatnya. Dengan kata lain, sanksi merupakan “safetybelt” bagi suatu peraturan perundang-undangan.

Perumusan sanksi dalam UU No. 39 Tahun 2014, terbagi dalam dua bagian yaitu: sanksi administratif dan sanksi pidana. Berbeda dengan UU No. 32 Tahun 2009, dalam UU No. 39 Tahun 2014 tidak diatur mengenai sanksi tindakan bagi korporasi pelaku tindak pidana. Sanksi tindakan288 yang dimaksud justru diatur dalam Pasal 119 UU No. 32 Tahun 2009, yang berbunyi:

“Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:

a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan; c. perbaikan akibat tindak pidana;

d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau

e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.”

Hal ini tidak berarti korporasi pelaku pembakaran lahan perkebunan tidak dapat dikenakan sanksi tindakan. Kedudukan UU No. 32 Tahun 2009 sebagai umbrella act atau lex generali dari UU No. 39 Tahun 2014, mengakibatkan pengaturan sanksi tindakan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tetap dapat dikenakan

288

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 127. Sanksi tindakan diartikan sebagai pemberian suatu hukuman yang sifatnya tidak menderitakan, tetapi mendidik dan mengayomi. Menurut Andi Hamzah, sanksi tindakan bertujuan untuk mengamankan masyarakat dan memperbaiki terpidana.

kepada korporasi pelaku pembakaran lahan perkebunan sepanjang proses peradilan dapat membuktikan perbuatan tersebut merusak dan mencemari lingkungan hidup. Selain sanksi tindakan, dalam tindak pidana pembakaran lahan perkebunan, korporasi juga dapat dikenai sanksi ganti rugi, berdasarkan Pasal 49 PP No. 4 Tahun 2001. Mengenai besaran ganti rugi, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya dapat mengacu pada ketentuan yang terdapat pada Lampiran Kedua PermenLH No. 7 Tahun 2014.

Sanksi administratif memiliki ciri khas bahwa sanksi tersebut bersumber dari hubungan pemerintah-warga, tanpa perantara seorang hakim dan langsung dijatuhkan oleh pemerintah. Sanksi ini berkehendak untuk mengenakan derita atau azab kepada pelanggar sehingga unsur kesalahan menjadi sangat penting. Sanksi administratif terutama mempunyai fungsi instrumental, yaitu pengendalian perbuatan terlarang, di samping itu sanksi administratif terutama ditujukan kepada perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan yang dilanggar tersebut sehingga pada dasarnya bertujuan untuk mengakhiri secara langsung perbuatan yang terlarang.289 Akan tetapi, mengenai sanksi administratif dalam UU No. 39 Tahun 2014 tidak akan dibahas lebih jauh dalam pembahasan ini. Pembahasan akan difokuskan kepada jenis sanksi yang kedua, yaitu sanksi pidana.

Sanksi pidana merupakan sarana penanggulangan kejahatan yang paling tua, bahkan setua peradaban manusia itu sendiri.290 Pada dasarnya, sanksi pidana merupakan pengenaan suatu derita kepada seseorang yang dinyatakan bersalah

289

Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Edisi Ketiga (Surabaya: Airlangga Press, 2005), hlm. 217.

290

Barda Nawawi Arief, “Buku III”, hlm. 18 dalam Marlina, Hukum Penitensier, hlm. 27. Sebagai sarana yang penanggulangan kejahatan paling tua, bahkan ada yang menyebut sanksi pidana sebagai “older philosophy of crime control”

melakukan suatu kejahatan (tindak pidana) melalui suatu rangkaian proses peradilan oleh kekuasaan (hukum) yang secara khusus diberikan untuk hal itu, yang dengan pengenaan sanksi pidana tersebut diharapkan orang tidak melakukan tindak pidana lagi.291 Tujuan pengenaan sanksi pidana dipengaruhi oleh pandangan tentang tujuan pemidanaan itu sendiri. Pada hakikatnya, dimensi pidana tersebut berorientasi dan bermuara kepada “sanksi pidana” merupakan “penjamin/garansi yang utama/terbaik” atau (prime guarantor) dan sekaligus sebagai “pengancam yang utama” (prime threatener), serta merupakan alat atau sarana terbaik dalam menghadapi kejahatan.

Sanksi dalam peraturan perundang-undangan pidana lazim dicantumkan dalam bab ketentuan pidana. Ruang lingkup ketentuan pidana (ketentuan hukum pidana materil) pada dasarnya meliputi keseluruhan struktur sistem hukum (the structure of penal system) atau pada dasarnya adalah merumuskan “sistem pemidanaan substantif”. Oleh karena itu, maka “ketentuan pidana” harus mengacu pada prinsip dasar “harmonisasi kesatuan sistem”.292

Pembahasan mengenai perumusan sanksi pidana, setidaknya harus memperhatikan tiga kriteria penting, yaitu: penetapan sanksi pidana, sistem perumusan sanksi pidana, dan perumusan jumlah pidana yang dikenakan.

Penetapan sanksi pidana merupakan komponen penting dalam perumusan sanksi pidana terhadap korporasi, hal ini berkaitan dengan tujuan pemidaan

291

Mahrus Ali, op.cit, hlm. 195. 292

Barda Nawawi Arief, Perumusan Ketentuan Pidana dalam Penyusunan Pembuatan Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta: BPHN KemenkumHAM RI, 2010), hlm. 66-67. Barda mengklasifikasikan sistem ini ke dalam tiga sub sistem, yaitu: masalah kriminalisasi (criminalizing), atau perumusan tindak pidana, masalah pemidanaan atau penjatuhan sanksi (sentencing), dan masalah pelaksanaan pidana/sanksi hukum pidana (execution of punishment).

korporasi itu sendiri. Menurut Mahrus Ali, teori pemidanaan yang sesuai untuk dikenakan bagi korporasi adalah teori pencegahan (deterrence) dan teori rehabilitasi (rehabilitation).293 Asumsi dasar penggunaan teori pencegahan adalah korporasi ketika melakukan suatu aktivitas tertentu berpikir secara rasional untuk memaksimalkan keuntungan yang diharapkan (maximizing the expected utility). jarang ditemukan ketika korporasi melakukan kejahatan didasarkan motif selain untung rugi.294 Sedangkan asumsi penggunaan teori rehabilitasi adalah bahwa korporasi merupakan entitas hukum yang tidak sehat yang memerlukan pengobatan. Seperti dokter yang menuliskan resep obat, hakim harus memberikan hukuman yang diprediksi paling efektif untuk membuat korporasi menjadi sehat kembali. Hukuman harus cocok dengan kondisi korporasinya, bukan dengan sifat kejahatannya. Hal ini berarti pemidanaan mengacu pada individualisasi pidana.295 Penetapan jenis sanksi pidana di Indonesia sejatinya masih mengacu pada ketentuan Pasal 10 KUHP, yang menyatakan bahwa pidana terdiri atas dua jenis:

a. Pidana pokok 1. Pidana mati 2. Pidana penjara 3. Pidana kurungan 4. Pidana denda 5. Pidana tutupan b. Pidana tambahan

1. Pencabutan hak-hak tertentu

2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim

293

Mahrus Ali, op.cit, hlm. 263. 294

Ibid., hlm. 264. 295 Ibid.,

hlm. 265-266. Tidak jarang tindak pidana yang dilakukan korporasi menghasilkan efek negatif terhadap lingkungan hidup. Menurut Mahrus Ali, orientasi teori ini adalah lebih kepada rehabilitasi lingkungan yang rusak disebabkan oleh korporasi.

Sistem perumusan sanksi pidana baik secara substansial maupun gradual merupakan tahap kebijakan formulatif. Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, ada beberapa jenis perumusan sanksi pidana, yaitu:296

1. Sistem perumusan tunggal/imperatif

Sistem perumusan tunggal adalah sistem perumusan di mana jenis pidana dirumuskan sebagai satu-satunya pidana untuk delik yang bersangkutan. Misalnya: Penjara saja atau kurungan saja. (kecuali terhadap pidana mati, selalu harus dialternatifkan dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu).297

Perumusan secara tunggal merupakan peninggalan atau pengaruh yang sangat mencolok dari aliran klasik (ingin mengobjektifkan hukum pidana dari sifat-sifat pribadi si pelaku), oleh karena itulah maka pada awal timbulnya aliran ini sama sekali tidak memberikan kebebasan kepada hakim untuk menetapkan jenis pidana dan ukuran pemidanaan . perumusan yang demikian sebenarnya menunjukkan kekakuan, namun untuk meretas kekakuan tersebut dapat dibuat semacam pedoman bagi hakim dalam menerapkan sistem perumusan tunggal itu agar menjadi lebih fleksibel dan elastis.298

2. Sistem perumusan alternatif

Sistem perumusan alternatif ditinjau dari aspek pengertian dan substansinya merupakan sistem perumusan dimana pidana penjara dirumuskan

296

Lilik Mulyadi, Kapita Selekta: Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi, Cetakan kedua, (Jakarta: Djambatan, 2007), hlm. 16-21.

297

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (Edisi Revisi), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 2.

298

secara alternatif dengan jenis sanksi pidana lainnya; berdasarkan urutan-urutan jenis sanksi pidana yang paling berat sampai yang paling ringan.

3. Sistem perumusan kumulatif

Sistem perumusan kumulatif mempunyai ciri khusus, yaitu adanya ancaman pidana dengan redaksional kata hubung “dan” seperti “pidana penjara dan pencabutan hak tertentu”. Sistem perumusan kumulatif sebenarnya identik dengan perumusan tunggal karena bersifat “imperatif”, sangat kaku dan “mengharuskan” hakim menjatuhkan pidana dan tidak ada kesempatan bagi hakim untuk memilih. Namun demikian, bila polarisasi pemikiran pada sistem perumusan kumulatif dipertajam, maka akan diperoleh beberapa kebaikannya, yaitu:

a. Memberikan kepastian hukum kepada terdakwa bahwa pemidanaannya mengacu pada pidana kumulatif tersebut;

Dokumen terkait