• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Solution Focused Family Therapi Untuk Meningkatkan Dukungan Sosial Keluarga Pada Ibu Yang Memiliki Anak Down Syndrome (Application of Solution Focused Family Therapy To Improve Social Support On Mother In Child Minding Down Syndrome )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Efektivitas Solution Focused Family Therapi Untuk Meningkatkan Dukungan Sosial Keluarga Pada Ibu Yang Memiliki Anak Down Syndrome (Application of Solution Focused Family Therapy To Improve Social Support On Mother In Child Minding Down Syndrome )"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS SOLUTION FOCUSED FAMILY THERAPI UNTUK MENINGKATKAN DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA

PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK DOWN SYNDROME

(

Application of Solution Focused Family Therapy To Improve Social Support On Mother In Child Minding Down Syndrome

)

THESIS

Rahma Mutiah OLEH

117029020

MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI

FAKULTAS PSIKOLOGI

KEKHUSUSAN KLINIS ANAK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

EFEKTIVITAS SOLUTION FOCUSED FAMILY THERAPI UNTUK MENINGKATKAN DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA

PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK DOWN SYNDROME

(

Application of Solution Focused Family Therapy To Improve Social Support On Mother In Child Minding Down Syndrome

)

THESIS

Diajukan kepada Universitas Sumatera Utara Untuk memenuhi salah satu persyaratan

Dalam menyelesaikan program Magister Profesi Psikologi Kekhususan Klinis Anak

Rahma Mutiah OLEH

117029020

MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI

FAKULTAS PSIKOLOGI

KEKHUSUSAN KLINIS ANAK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Februari, 2014

Rahma Mutiah : 117029020

Penerapan Solution Focused Family Therapy Untuk Meningkatkan Dukungan Sosial Pada ibu Dalam Mengasuh Anak Down Syndrome.

X ± 91 halaman; 2014, 8 tabel, 3 grafik

Bibliografi : 29 (1985-2013)

Seorang ibu yang memiliki anak down syndrome cenderung mengalami stress dibandingkan anggota keluarga yang lain karena ibu lebih sering memusatkan perhatian dan menghabiskan waktu untuk merawat anak mereka. Stress yang muncul dalam membesarkan anak down syndrome dapat diperburuk oleh kurangnya dukungan social dari anggota keluarga yang lain seperti pasangan dan anak.

Penelitian ini merupakan penelitian single-subject research untuk melihat pengaruh terapi solution focused family therapy (SFFT) dalam upaya meningkatkan dukungan sosial pada ibu yang memiliki anak down syndrome. SFFT adalah terapi keluarga yang bertujuan untuk mencari solusi dan kompetensi yang dimiliki keluarga untuk mengatasi masalah yang ada. Perbedaan dukungan sosial diukur dengan skala ISEL adaptation yang mengungkap tangible support, appraisal support, self esteem support dan belonging support.

Partisipan dalam penelitian ini adalah dua orang ibu yang memiliki anak down syndrome, bersekolah di SDLB Negeri Rantauprapat dan berdomisili di Rantauprapat dan memiliki skor dukungan sosial pada kategori rendah. Pengukuran dukungan sosial dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan. Analisa data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan grafik. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa SFFT efektif dalam meningkatkan dukungan social pada keluarga down syndrome. Pada kedua subjek dukungan yang terlihat sangat meningkat adalah tangible support dan appraisal support. Antara subjek 1 dan subjek 2 terlihat ada perbedaan peningkatan dukungan sosial hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu usia pemberi dukungan, sifat atau sikap penerima dukungan, jumlah anggota keluarga.

(6)

ABSTRACT

Faculty of Psychology, University of North Sumatera February , 2014

Rahma Mutiah : 117029020

Application of Solution Focused Family Therapy To Improve Social Support On Mother In Child Minding Down Syndrome .

X ± 91 pages ; 2014 , 8 tables , 3 graphs

Bibliography : 29 (1985-2013)

A mother who has a child with Down syndrome tend to experience stress than other family members because mothers more often and spend time focusing on taking care of their children. Stress that arise in raising a child with Down syndrome can be exacerbated by a lack of social support from other family members such as spouses and children.

This study is a single - subject research to see the effect of solution focused therapy family therapy (SFFT) in an effort to increase social support in mothers of children with Down syndrome. SFFT is family therapy that aims to find solutions and competency of the family to cope with existing problems. Differences of social support was measured by ISEL scale adaptation that reveals tangible support, appraisal support, self- esteem, support and belonging support.

Participants in this study were two mothers of children with Down syndrome, attended SDLB and domiciled in Rantauprapat and social support scores in the low category. Measurement of social support before and after treatment . Analysis of the data used is descriptive qualitative using graphs. The result showed that SFFT effective in increasing social support to families with Down syndrome. In both subjects are seen greatly increased support is tangible support and appraisal support. Between subject 1 and subject 2 seen no difference in the increase in social support it is influenced by several factors: the age of donor support, the nature or the attitude of the support recipient, number of family members.

(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirrahiim

Syukur Alhamdulillah peneliti panjatkan atas kehadirat Allah STW, karena berkat limpahan rahmat, petunjuk, pertolongan dan izin-Nya lah peneliti dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul “EFEKTIVITAS SOLUTION FOCUSED

FAMILY THERAPY UNTUK MENINGKATKAN DUKUNGAN SOSIAL

KELUARGA PADA IBU DALAM MENGASUH ANAK DOWN SYNDROME”. Shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang selalu istiqomah menegakkan ajaran agama islam.

Proses perampungan tesis ini, dijalani tahap demi tahap dengan penuh perjuangan, pengorbanan yang cukup lama dan melelahkan hingga akhirnya tesis ini terselesaikan. Peneliti menyadari, tesis ini dapat terselesaikan berkat bimbingan, arahan, dukungan, masukan, doa dan banyak bantuan yang diberikan kepada peneliti. Untuk itu dengan segala ketulusan hati, izinkanlah peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Irmawati, M.Si, Psikolog Selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sumatera Utara beserta jajarannya.

2. Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si Psikolog Selaku Ketua MP2 Universitas

Sumatera Utara beserta jajarannya.

3. Eka Ervika, M.Si, Psikolog yang telah meluangkan waktunya untuk

membimbing, mengarahkan dan memberikan saran dalam penyusunan Tesis

ini, sekaligus sebagai dosen Pembimbing Akademik selama peneliti menjadi

mahasiswa di MP2 USU semoga menjadi amal jariyah.

4. Elvi Andriani, M.Si, Psikolog selaku penguji yang telah memberikan saran

serta ilmu yang diberikan kepada penulis semoga menjadi amal jariyah.

5. Seluruh Dosen Magister Psikologi Profesi Universitas Sumatera Utara,

semoga ilmu yang diberikan dapat bermanfaat dan diamalkan.

6. Kepala Sekolah SLB Negeri Pembina Medan, SLB TPI Medan, SLB Alazhar

Medan, SLB Musdalifah Medan, SDLB Rantauprapat beserta seluruh guru

(8)

7. Ibu RH, Ibu UH, Ibu YW beserta seluruh keluarga dari anak down syndrome

yang telah bersedia membantu peneliti untuk melakukan penelitian.

8. Keluargaku, ayah, mama, adik-adikku yang tak henti-hentinya memberikan

dukungan baik moril maupun materil serta doa dan semangat yang selalu

dapat menguatkan peneliti untuk tetap semangat menjalani kuliah S2.

9. Terutama Suamiku, terima kasih atas Ridho dan keikhlasannya atas segala

keterbatasanku dalam menjalankan kewajiban

10. Keluarga besarku, amangboru, bou, ibu, kakak dan adik ipar serta seluruh

adik-adik sepupu yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas

semangat yang selalu kalian berikan.

11. Kak lina dan kak junita yang bersedia membantu peneliti untuk melakukan

observasi dan mencari subjek penelitian.

12. Teman-teman Klabers kak nila, wini, yuli, ayu, mayang, bang nasri terima

kasih atas rasa kekeluargaan yang kalian berikan.

13. Serta teman-teman satu angkatan di MP2 USU 2011 yang sudah memberikan

tambahan warna dalam kehidupan peneliti.

Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu dan tanpa mengurangi makna kontribusinya dalam penelitian ini, semoga mendapatkan imbalan dari Allah SWT sebagai amal ibadah.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah diharapkan untuk menyempurnakan tesis ini. Semoga tesis ini memberikan manfaat bagi siapa saja yang membacanya dan diharapkan dapat memicu peneliti-peneliti lain dengan tema yang serupa sehingga dapat memperkaya pengetahuan khususnya bidang perkembangan anak. Amin.

Medan, Februari 2014

(9)

DAFTAR ISI

1.5 Sistematika Penulisan ... 11

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Dukungan Sosial Keluarga ... 13

2.1.1 Pengertian Dukungan Sosial ... 13

2.1.2 Jenis atau Bentuk Dukungan Sosial ... 15

2.1.3 Faktor-Faktor Dukungan Sosial ... 16

2.2 Down Syndrome ... 18

2.2.1 Defenisi Down Syndrome ... 18

2.2.2 Ciri Anak Down Syndrome ... 19

2.2.3. Keluarga Dengan Anak Down Syndrome ... 19

2.3 Solution Focused Family Therapy ... 21

2.3.1 Family Therapy ... 21

2.3.2 Solution Focused Family Therapy ... 22

2.4 Meningkatkan Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Ibu yang Memiliki Anak Down dengan menggunakan Pendekatan Solution Focused Family Therapy ... 32

2.5 Hipotesa Penelitian ... 34

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 35

3.1 Desain Penelitian ... 35

3.2 Variabel Penelitian ... 36

3.3 Defenisi Operasional ... 36

3.4 Subyek Penelitian dan Lokasi Penelitian ... 37

(10)

3.4.2 Lokasi Penelitian ... 37

3.5Alat Ukur Penelitian ... 38

3.5.1 ISEL Adaptation ... 38

3.5.2 Validitas ISEL Adaptation ... 39

3.5.3 Reliabilitas ISEL Adaptation ... 39

3.5.4 Uji Normalitas ... 40

3.5.5 Kategori Tingkat Dukungan Sosial ... 40

3.6 Metode Pengumpulan Data ... 41

3.6.1 Wawancara ... 41

3.6.2 Observasi ... 42

3.7 Prosedur Penelitian ... 42

3.7.1 Tahap Persiapan Penelitian ... 43

3.7.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 44

3.7.3 Tahap Evaluasi ... 48

3.8 Rancangan Intervensi ... 48

3.9 Uji Coba Modul ... 51

3.10 Kriteria Keberhasilan Program Intervensi ... 53

BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN 4.1 Hasil Analisis Data Kelompok ... 54

4.2 Hasil Analisis Data Individu ... 58

4.2.1. Hasil Analisis Data Subjek 1... 58

4.2.1.1 Data Diri Subjek 1 ... 58

4.2.1.2 Deskripsi Subjek 1 ... 58

4.2.2 Hasil Analisis Data Subjek 2 ... 69

4.2.2.1Data Diri Subjek 2 ... 69

4.2.2.2 Deskripsi Subjek2 ... 69

4.3 Pembahasan ... 78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 86

5.1 Kesimpulan ... 86

5.2 Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 89

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Sebaran Aitem ... 38

Tabel 3.2 Skoring ... 39

Tabel 3.3 Sebaran aitem setelah uji validitas ... 39

Tabel 3.4 Interval data subjek ... 41

Tabel 3.5 Jadwal kegiatan intervensi ... 45

Tabel 3.6 Rincian pelaksanaan intervensi ... 48

Tabel 4.1 Rekapitulasi Skor ISEL pada kedua subjek ... 54

Tabel 4.2 Rekapitulasi Hasil Observasi Kedua Subjek ... 56

DAFTAR GRAFIK Grafik 4.1 Perbedaan skor ISEL pretes posttest pada kedua subjek ... 54

Grafik 4.2 Perbedaan skor dimensi pretes dan postes pada kedua subjek ... 55

(12)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Februari, 2014

Rahma Mutiah : 117029020

Penerapan Solution Focused Family Therapy Untuk Meningkatkan Dukungan Sosial Pada ibu Dalam Mengasuh Anak Down Syndrome.

X ± 91 halaman; 2014, 8 tabel, 3 grafik

Bibliografi : 29 (1985-2013)

Seorang ibu yang memiliki anak down syndrome cenderung mengalami stress dibandingkan anggota keluarga yang lain karena ibu lebih sering memusatkan perhatian dan menghabiskan waktu untuk merawat anak mereka. Stress yang muncul dalam membesarkan anak down syndrome dapat diperburuk oleh kurangnya dukungan social dari anggota keluarga yang lain seperti pasangan dan anak.

Penelitian ini merupakan penelitian single-subject research untuk melihat pengaruh terapi solution focused family therapy (SFFT) dalam upaya meningkatkan dukungan sosial pada ibu yang memiliki anak down syndrome. SFFT adalah terapi keluarga yang bertujuan untuk mencari solusi dan kompetensi yang dimiliki keluarga untuk mengatasi masalah yang ada. Perbedaan dukungan sosial diukur dengan skala ISEL adaptation yang mengungkap tangible support, appraisal support, self esteem support dan belonging support.

Partisipan dalam penelitian ini adalah dua orang ibu yang memiliki anak down syndrome, bersekolah di SDLB Negeri Rantauprapat dan berdomisili di Rantauprapat dan memiliki skor dukungan sosial pada kategori rendah. Pengukuran dukungan sosial dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan. Analisa data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan grafik. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa SFFT efektif dalam meningkatkan dukungan social pada keluarga down syndrome. Pada kedua subjek dukungan yang terlihat sangat meningkat adalah tangible support dan appraisal support. Antara subjek 1 dan subjek 2 terlihat ada perbedaan peningkatan dukungan sosial hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu usia pemberi dukungan, sifat atau sikap penerima dukungan, jumlah anggota keluarga.

(13)

ABSTRACT

Faculty of Psychology, University of North Sumatera February , 2014

Rahma Mutiah : 117029020

Application of Solution Focused Family Therapy To Improve Social Support On Mother In Child Minding Down Syndrome .

X ± 91 pages ; 2014 , 8 tables , 3 graphs

Bibliography : 29 (1985-2013)

A mother who has a child with Down syndrome tend to experience stress than other family members because mothers more often and spend time focusing on taking care of their children. Stress that arise in raising a child with Down syndrome can be exacerbated by a lack of social support from other family members such as spouses and children.

This study is a single - subject research to see the effect of solution focused therapy family therapy (SFFT) in an effort to increase social support in mothers of children with Down syndrome. SFFT is family therapy that aims to find solutions and competency of the family to cope with existing problems. Differences of social support was measured by ISEL scale adaptation that reveals tangible support, appraisal support, self- esteem, support and belonging support.

Participants in this study were two mothers of children with Down syndrome, attended SDLB and domiciled in Rantauprapat and social support scores in the low category. Measurement of social support before and after treatment . Analysis of the data used is descriptive qualitative using graphs. The result showed that SFFT effective in increasing social support to families with Down syndrome. In both subjects are seen greatly increased support is tangible support and appraisal support. Between subject 1 and subject 2 seen no difference in the increase in social support it is influenced by several factors: the age of donor support, the nature or the attitude of the support recipient, number of family members.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Anak yang normal baik fisik maupun mental adalah harapan bagi semua

orangtua, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua pasangan dikarunia anak

yang normal. Orangtua merasa bangga dan bahagia ketika harapan tersebut

menjadi kenyataan. Tidak jarang orangtua mengungkapkan perasaan bangga

tersebut dengan menceritakan kesuksesan anaknya kepada sanak keluarga,

tetangga dekat maupun jauh, teman sejawat, bahkan kepada siapa pun yang

menjadi lawan bicaranya (Nawawi, 2010).

Keadaan akan jadi berubah ketika anak yang dilahirkan, berbeda

dengan anak lainnya, yakni anak yang memerlukan perhatian atau

berkebutuhan khusus, tentunya orangtua merasa kecewa karena memiliki

anak yang tidak sesuai dengan harapan. Keadaan anak yang serba

kekurangan dalam pertumbuhan dan perkembangan akan menimbulkan

kekecewaan yang sangat mendalam dan merupakan kenyataan pahit yang

harus dihadapi orangtua.

Dikatakan oleh Hurlock (1999) bahwa apabila anak yang dinanti-nanti

gagal memenuhi harapan orangtua, maka orangtua akan merasa kecewa dan mulai

bersikap menolak. Ketidaksempurnaan dari sang anak dapat berdampak negatif

pada orangtua muncul rasa kecewa yang mendalam bercampur sedih, bingung,

(15)

mendadak menjadi mimpi buruk yang selalu membayangi sepanjang hidup

orangtua, bahkan cinta kasih dan sayang kepada sang anak berubah menjadi

kebencian, muncul rasa malu, tidak percaya diri, berdosa, saling menyalahkan

antara suami isteri, muncul pertengkaran yang hebat, sampai seringkali terjadi

perceraian, bahkan shock dan stres berat pun dapat terjadi. Sang anak yang

tadinya menjadi harapan masa depan yang cemerlang dan investasi yang sangat

berharga akhirnya menjadi korban. Anak ditelantarkan, dibiarkan, diabaikan,

ditolak kehadirannya, tidak dibimbing, tidak didorong, tidak diberi semangat

untuk mencapai perkembangan yang seharusnya secara optimal (Nawawi, 2010).

Salah satu anak yang berkebutuhan khusus adalah anak dengan kelainan

fisik dan mental yaitu anak down syndrome. Perkembangan yang lambat

merupakan ciri utama pada anak down syndrome. Baik perkembangan fisik

maupun mental, hal ini yang menyebabkan keluarga sulit untuk menerima

keadaan anak dengan down syndrome. Setiap keluarga menunjukkan reaksi yang

berbeda-beda terhadap berita bahwa anggota keluarga mereka menderita down

syndrome, sebagian besar memiliki perasaan yang hampir sama yaitu: sedih,

rasa tak percaya, menolak, marah, perasaan tidak mampu dan juga perasaan

bersalah (Selikowitz, 2001). Ditambahkan oleh Sanders & Morgan, 1997 (dalam

Goussmett, 2006) bahwa orangtua dengan anak Autistic Spectrum Disorder

(ASD) dan Down Syndrome memiliki sedikit harapan bahwa anak mereka akan

hidup normal, dan ditemukan bahwa orangtua dengan ASD dan Down Syndrome

(16)

stres dan masalah penyesuaian pada orangtua yang memiliki anak dengan

perkembangan yang normal.

Seperti yang diungkapkan oleh ibu RS (wawancara, Agustus 2013) “ pada awal mengetahui anak berbeda dengan anak yang lain, dan menurut hasil diagnosa dokter anak saya mengalami down syndrome dan harus bersekolah di sekolah luar biasa membuat saya shock, berhari-hari saya menangis dan bertanya-tanya apa salah saya, kenapa tuhan memberikan saya anak seperti ini. Suami saya juga terlihat sedih walau dia hanya diam saja. Saya sampai takut untuk hamil lagi, saya takut anak saya berikutnya juga seperti anak ini”

Diantara orangtua, penelitian telah menunjukkan bahwa ibu umumnya

lebih stres dari pada ayah walaupun sebenarnya ayah pada umumnya juga tertekan

dengan kondisi anak mereka namun cenderung tidak mampu mengatakan

sedangkan ibu kondisi tertekan mereka lebih terlihat (Konstantareas & Homatidis,

1989, Ricci & Hodopp, 2003, Frey K, Greenberg, MT, & Fewell, RR, 1989 dalam

Gousmett, 2006).

Sesuai dengan penuturan dari ibu RS (wawancara, Agustus 2013)

“sebenarnya saya sudah bisa terima, namun saya tidak bisa membohongi perasaan saya sendiri kalau terkadang saya malu dan sedih ketika kumpul bersama keluarga besar, anak saya seperti disisihkan, dia sering tidak diajak bermain bersama. Suami saya juga sebenarnya mau memberikan fasilitas dan selalu berupaya agar anak saya bisa bersekolah. Namun untuk berinteraksi seperti bermain dan berbicara dengan anak saya sangat jarang, kadang saya merasa dia malas untuk berdekatan dengan anak kami. Itu yang membuat saya sedih. Apalagi saat ini adiknya yang kecil juga sudah sering mengejek sepertinya cemburu dan sering memusuhi kakaknya. Membuat saya semakin stres dan repot merawat mereka berdua.”

Ibu menjadi cenderung terlihat lebih stres dibandingkan anggota keluarga

yang lain karena ibu lebih sering memusatkan perhatian dan menghabiskan waktu

untuk merawat anak mereka. Stres yang muncul dalam membesarkan anak dengan

disability seperti down syndrome dapat diperburuk oleh kurangnya dukungan

(17)

sumber dukungan lain dan hal ini juga dapat memberikan pengaruh bagaimana

sebuah keluarga mampu berfungsi, dan penyesuaian psikologis anak-anak lain

dalam keluarga (Beckman, 1991 dalam Gousmett, 2006).

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh The Manchester Down Syndrome Cohort (dalam Bryne, 1988), mengungkapkan bahwa “Kami telah terlibat dalam penelitian tentang dukungan keluarga dan intervensi yang akan dilakukan, dari 181 keluarga yang masing-masing memiliki anak dengan sindrom Down dilahirkan di Greater Manchester antara Agustus 1973 dan Agustus 1980, “selama bertahun kami diskusi dengan orang tua, sejumlah besar masalah mulai muncul. Beberapa keluarga tampak mengalami kesulitan yang berkaitan dengan masalah hubungan, kesulitan dengan anak-anak dan perasaan pembatasan dan isolasi. Lainnya berbicara tentang keprihatinan mereka tentang layanan yang mereka terima, atau tentang reaksi orang lain untuk diri mereka sendiri dan anak-anak mereka . Bagi sebagian yang lagi adalah kekhawatiran tentang masa depan anak-anak mereka. Namun disisi lain ada beberapa keluarga yang tidak menceritakan kekhawatiran, tapi mengatakan bahwa mereka sering menemukan kegembiraan yang tak terduga dari anak . sehingga muncul pertanyaan apa yang menyebabkan beberapa keluarga berhasil mengatasi kekhawatirannya, dan mengapa keluarga lain mengalami kesulitan?”. Pada kenyataannya banyak faktor yang mempengaruhi sebuah keluarga merasa khawatir ataupun bahagia dengan memiliki anak down syndrome adalah : karakteristik individu dalam keluarga dan keluarga sebagai unit, sumber daya yang dimiliki oleh anggota keluarga masing-masing, yaitu tenaga kesehatan dan pemecahan masalah, hubungan dalam keluarga, jaringan keluarga dan dukungan, politik dan lingkungan sosio - kultural keluarga ( Bronfenbrenner , 1977 dalam Byrne, 1988).

Sering terjadi dimana ibu memandang bahwa hanya dia yang mengalami

stres dan hanya dia yang lebih perhatian dan merawat anak down syndrome. Hal

ini akan mempengaruhi perilaku ibu terhadap pasangan (ayah), terhadap anak

sehingga mempengaruhi interaksi antara pasangan, orangtua dan anak maupun

anak dengan anak. Kondisi stres dan depresi yang dimiliki seorang ibu ini sering

membuat seorang ibu dari anak down syndrome cenderung untuk mencari

dukungan sosial terutama dari orang-orang yang berada didekat dirinya (Boyd,

(18)

Dukungan sosial dapat bertindak untuk memfasilitasi krisis dan adaptasi

terhadap perubahan dan dapat bertindak sebagai mediator stres dengan cara

mempengaruhi bagaimana pengasuh (dalam hal ini ibu) merasa mampu

mengatasi tuntutan dalam membesarkan anak down syndrome, dan keluarga

yang melaporkan bahwa mereka memiliki dukungan sosial yang lebih tinggi

umumnya memiliki tingkat stres yang rendah (Beckman, 1991, Boyd, 2002 dalam

Gousmett, 2006). Jika sebuah keluarga memiliki dukungan sosial yang rendah

akan memiliki sedikit orang yang mau memberikan perawatan sehingga akan

membuat ibu sebagai pengasuh sedikit istirahat dan mendapatkan tekanan secara

terus menerus dalam merawat anak mereka, yang menyebabkan peningkatan

pesimis, dan resiko kelelahan (Freeman, 1990 dalam Gousmett, 2006).

Dukungan sosial itu sendiri adalah suatu konstruksi multidimensi yang

meliputi bantuan fisik dan instrumental, berbagi informasi dan sumber daya, dan

menyediakan dukungan emosional dan psikologis (Dunst dalam Gousmett, 2006).

Ditambahkan oleh Cobb ( Gousmett, 2006) bahwa dukungan sosial sebagai

informasi bahwa seseorang percaya bahwa mereka diperhatikan dan dicintai,

percaya bahwa mereka berharga dan dihargai dan percaya bahwa bagian dari

anggota dan memiliki kewajiban bersama. Begitu juga dengan ibu dari anak down

syndrome, jika ia mendapatkan dukungan sosial yang kuat dari keluarga maka ia

akan merasa bahwa bukan hanya dia sendiri yang merasa bertanggungjawab

terhadap perkembangan dan kebutuhan anaknya. Ia juga bisa mendapatkan waktu

untuk beristirahat karena ada anggota keluarga yang lain yang bersedia untuk

(19)

Jika ada dukungan sosial maka dapat menyebabkan persepsi yang lebih

positif terhadap lingkungan keluarga seperti fungsi keluarga lebih stabil, persepsi

yang lebih positif terhadap anak dan terlepas dari diagnosis pada anak dan tingkat

kecacatannya, menunjukkan bahwa tingkat dukungan sosial akan membuat ibu

merasa kurang overprotecting. Studi ini juga menemukan bahwa dukungan sosial

tidak hanya meringankan beberapa stres yang berkaitan dengan membesarkan

anak disability (down syndrome), tetapi juga memberi mereka kesempatan untuk

mengembangkan hubungan yang lebih positif dan memungkinkan ibu sebagai

pengasuh lebih melatih keterampilan dan memberikan kesempatan pada anak

untuk lebih mandiri, hal ini yang menjelaskan mengapa dukungan sosial

memberikan manfaat yang besar terhadap perkembangan anak down syndrome

(Dunst, 1986 dan Seybold, 1991 dalam Gousmett, 2006).

Seperti yang diungkapkan dari hasil wawancara dengan ibu MR (September, 2013) bahwa “pada awalnya saya menolak anak saya karena secara latar belakang saya memiliki pendidikan di bidang kesehatan, saya benar-benar menjaga kondisi kandungan saya, namun Tuhan memberikan saya anak seperti ini, saya menyalahkan Tuhan dan sering saya mengabaikan. Namun karena orangtua saya, suami dan keluarga suami saya meminta saya menerima dan mengikhlaskan ujian dari Tuhan, kemudian saya perlahan mulai bangkit dengan mencari banyak informasi mengenai anak DS. Kemudian bersama suami kami berlatih untuk terus belajar bagaimana mengajarkan perilaku anak kami. Hingga saat ini saya sering menjadi merasa bahagia karena anak kami telah memiliki banyak keterampilan dan sering berperilaku yang membuat saya terharu seperti dia selalu berdoa agar saya dan suami masuk surga dan tidak susah dilarang.

Dukungan sosial dapat berasal dari berbagai bidang masyarakat, misalnya

dari pasangan, kakek-nenek, anggota keluarga, tetangga, masyarakat dan lain-lain.

Walaupun efek pada orangtua yang merawat anak down syndrome dipengaruhi

oleh lingkungan sosial, keluarga, layanan dukungan yang tersedia dan sikap

(20)

dukungan lebih difokuskan kepada dukungan sosial keluarga, dimana menurut

teori ekologi Bronfenbrenner (dalam Gousmett, 2006) mengembangkan model

ekologi menggunakan empat subsistem yaitu microsistem, mesosistem, exosistem

dan macrosistem. Pada microsistem keluarga down syndrome terdiri dari orangtua,

anak down syndrome dan saudara lainnya (anak lain dalam keluarga).

Pemberian dukungan sosial dari anggota keluarga yang lain seperti

pasangan, orangtua, saudara dan anak terhadap ibu sebagai pengasuh ini

terkadang menjadi sulit dilakukan karena keluarga yang memiliki anak down

syndrome juga sama dengan keluarga lain yang terdiri dari beberapa orang dan

bukan hanya koleksi individu. Keluarga adalah sistem transaksi di mana semua

anggota keluarga berinteraksi dengan dan mempengaruhi semua anggota lainnya,

apa pun yang mempengaruhi salah satu bagian dari sistem ini dirasakan di seluruh

sistem (Bryne, 1988).

Begitu juga dengan keluarga yang memiliki anggota down syndrome, tiap

anggota keluarga akan berbeda-beda reaksi dan cara mereka memperlakukan baik

anak down syndrome itu sendiri ataupun orang lain yang menjadi bagian dari

anggota keluarga tersebut. Hal ini karena anggota keluarga adalah individu yang

bervariasi dalam karakteristik mereka. Setiap anggota keluarga memiliki

seperangkat keistimewaan pribadi dan ini dapat mempengaruhi bagaimana tiap

anggota keluarga bereaksi terhadap anggota keluarga yang disabilities atau

bagaimana mereka merespon kebutuhan anggota keluarga yang lain dan

(21)

Namun terlepas dari masalah dan kesulitan yang akan ada di dalam

keluarga yang memiliki anak down syndrome, keluarga seharusnya tetap mampu

untuk melihat kemampuan atau kekuatan yang mereka miliki untuk mengatasi

masalah mereka. Hal ini karena menurut para peneliti (Knussen & Cunningham,

1988 dalam Bryne, 1988) bahwa sebenarnya peristiwa dan pengalaman yang

membuat stres akan memiliki konsekuensi yang positif maupun yang negatif,

kesulitan yang dialami keluarga seharusnya tidak ditolak tetapi ditekankan untuk

mencari sumber daya yang mereka miliki kemudian dikembangkan dalam rangka

untuk membantu mereka mengatasi masalah. Sehingga layanan/bantuan yang

diberikan pada keluarga berkaitan dengan cara-cara untuk menemukan sumber

daya ini sehingga mereka menjadi saling mendukung untuk mengatasi masalah.

Dari penjelasan diatas diketahui bahwa keluarga yang memiliki anak down

syndrome walaupun dapat menimbulkan kesulitan dan penuh dengan pengalaman

stres haruslah mampu untuk menemukan kekuatan atau sumber daya yang

mereka miliki untuk mendapatkan konsekuensi positif dari masalah yang ada. Hal

ini agar setiap anggota keluarga menjadi berupaya untuk saling memberikan

dukungan, dan ibu tidak memandang bahwa hanya dia seorang yang mengasuh

anak down syndrome. Untuk mencapai hal ini dibutuhkan bantuan dan layanan

dari pihak lain misalkan dari terapis keluarga agar menjadi keluarga yang sehat

yang mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan yang ada.

Seorang terapis keluarga tidak hanya menangani individu-individu di

dalam keluarga namun juga memahami sistem di dalam sebuah keluarga dan

(22)

kelompok lebih baik untuk mengubah cara berfikir dan perilaku seseorang

dibanding sekedar memberikan instruksi atau mengajar. Mengajarkan seorang istri

untuk berperilaku asertif misalnya tidak akan seefektif jika sang suami juga ikut

dilibatkan dalam proses pengajaran tersebut, dengan melibatkan suami, sang istri

akan memahami bagaimana reaksi suami terhadapnya dan dapat secara langsung

menyadarkan suaminya agar memperlakukannya lebih setara (Nicholz, 2001).

Untuk itu dalam membantu keluarga yang memiliki anak down syndrome

mengatasi masalah dukungan yang dinilai ibu kurang diberikan kepadanya lebih

sesuai jika menggunakan family therapy berdasar pada pendekatan solution

focused family therapy. Ini dipilih karena pendekatan solution focused family

therapy lebih menekankan kepada solusi dan kompetensi bukan masalah.

Penekanan dalam terapi adalah tentang apa yang mungkin dan bisa berubah,

daripada apa yang tidak mungkin. Model ini lebih berfokus pada mengambil

langkah-langkah kecil untuk memulai perubahan dan bila proses terus

berlangsung maka perubahan pada sub-sub yang lain juga akan terjadi (Carlson,

2005). Dengan kata lain terapi solution focused mencoba untuk mengajak klien

fokus kepada hal-hal yang positif yang sebenarnya sudah dimiliki dan

dimanfaatkannya untuk mengarah kepada perbaikan.

Dengan demikian jika keluarga sudah mendapatkan terapi solution focused

family therapy maka anggota keluarga lebih mengetahui tentang hal-hal apa yang

seharusnya dilakukan agar ibu tidak lagi merasa bahwa hanya dia yang mengasuh

dan bertanggungjawab terhadap anak down syndrome. Jika perubahan ini telah

(23)

sendiri, yang semula overprotektif , ibu dan anggota keluarga lain menjadi lebih

percaya diri untuk membantu anak down syndrome melatih keterampilan dan

mengembangkan perilaku adaptifnya. Untuk itu yang menjadi tujuan penelitian

ini untuk melihat keefektifan solution focused family therapy dalam upaya

meningkatkan dukungan sosial keluarga terhadap ibu dari anak down syndrome.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latarbelakang yang telah diuraikan diatas didapatkan

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah solution focused family

therapy efektif dalam upaya meningkatkan dukungan sosial keluarga terhadap ibu

dari anak down syndrome?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk menguji keefektifan solution focused family therapy dalam upaya

meningkatkan dukungan sosial keluarga terhadap ibu dari anak down syndrome

1.3.2 Tujuan Khusus

Untuk menguji keefektifan solution focused family therapy dalam upaya

meningkatkan dukungan tangible terhadap ibu, dukungan appraisal terhadap ibu,

(24)

1.4. Manfaat Penelitian

Secara umum penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis

bagi psikologi klinis, khususnya psikologi klinis anak. Penelitian ini diharapkan

akan menambah wawasan mengenai alternatif teknik terapi yang dapat digunakan

untuk meningkatkan dukungan keluarga terhadap ibu yang memiliki anak down

syndrome yang pada akhirnya akan mendukung terapi lain yang digunakan untuk

meningkatkan keterampilan-keterampilan pada anak down syndrome. Secara

praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi pada orangtua dan

sekolah mengenai bagaimana menghadapi seorang anak berkebutuhan, khususnya

anak down syndrome. Mendapatkan informasi hal-hal apa yang dapat dilakukan

anggota keluarga dalam upaya membantu ibu meningkatkan kemampuan adaptif

anak down syndrome dan juga membantu keluarga untuk mengatasi konisi stress

keluarga yang memiliki anak down syndrome. Selain itu, modul pelaksanaan

terapi yang disusun dalam penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak

yang berkepentingan.

1.5. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah:

Bab I Pendahuluan: latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan

Bab II Tinjauan Pustaka: teori yang digunakan dalam penelitian yaitu

dukungan sosial keluarga, down syndrome, family terapi

Bab III Metode penelitian: pendekatan yang digunakan, metode

(25)

penelitian, prosedur penelitian, tahap pelaksanaan, rancangan

intervensi dan metode analisis data.

Bab IV Pelaksanaan dan Hasil Penelitian : pelaksanaan intervensi hasil

penelitian serta pembahasan hasil penelitian efektivitas penerapan

terapi solution focused family therapy pada ibu yang memiliki anak

down syndrome dan keterbatasan penelitian

Bab V Kesimpulan dan Saran : pada bab ini akan diuraikan tentang

kesimpulan dan akan dibahas pula tentang bagaimana implikasi

(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Dukungan Sosial Keluarga 2.1.1. Pengertian Dukungan Sosial

Ada berbagai defenisi dukungan sosial, dukungan sosial berasal dari kata

sosial support, sosial artinya menyinggung relasi di antara dua atau lebih individu

(Chaplin, 1999) dan support yang artinya: 1) Mengadakan atau menyediakan

sesuatu untuk memenuhi kebutuhan orang lain, 2) Memberikan dorongan atau

pengobaran semangat dan nasihat kepada orang lain dalam situasi pembuatan

keputusan (Chaplin, 1999). Dunst, Trivette dan Cross (1986 dalam Gousmett,

2006) mendefenisikan dukungan sosial sebagai suatu konstruksi multidimensi

yang meliputi bantuan fisik dan instrumental, berbagai informasi dan sumber

daya, dan menyediakan dukungan emosional dan psikologis. Istilah ini juga dapat

merujuk kepada pelayanan formal yang diterima dari para professional, organisasi

formal atau yang semi formal seperti klub-klub sosial, atau organisasi-organisasi

yang memandang bahwa keluarga itu penting dalam gaya hidup mereka.

Dukungan sosial didefenisikan sebagai perilaku yang membantu orang-orang

yang sedang menjalani situasi kehidupan yang penuh stres untuk mengatasi secara

efektif dengan masalah yang mereka hadapi (Cutrona, CE, 2000).

Sedangkan Cobb (1976 dalam Gousmett, 2006) mendefenisikan dukungan

sosial sebagai informasi dari salah satu atau ketiga dari hal berikut ini: (1)

(27)

dicintai, (2) informasi yang mengarah ke orang untuk percaya bahwa mereka

berharga dan dihargai, dan (3) informasi yang mengarah pada orang untuk

percaya bahwa mereka berasal dari jaringan komunikasi yang sama dengan

kewajiban bersama. Sarafino (2002) mendefenisikan dukungan sosial sebagai

kenyamanan, perhatian, penghargaan ataupun bantuan yang diterima individu dari

orang lain.

Dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan sosial yang

dipandang oleh keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses/diadakan untuk

keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak digunakan, tetapi anggota keluarga

memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan

pertolongan dan bantuan jika diperlukan). Dukungan sosial keluarga dapat berupa

dukungan sosial keluarga internal, seperti dukungan dari suami/istri atau

dukungan dari saudara kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal

(Friedman, 1998)

Yang menjadi sumber dukungan sosial ada 5 yaitu (Cutrona, CE, 2000) :

(1) sumber informal yaitu keluarga, teman, tetangga, (2) sumber formal yaitu

tenaga professional, lembaga, (3) sumber semi-formal yaitu dukungan dari

kelompok-kelompok misalkan lembaga kelompok kanker Indonesia, persatuan

orangtua anak down syndrome (Potads), (4) jaringan informal misalkan

orangtua-orangtua yang memiliki anak down syndrome, (5) sumber-sumber lain yang

berminat pada dukungan sosial.

Dari beberapa defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial

(28)

sedang menjalani situasi kehidupan yang penuh stres agar ia dapat mengatasi

masalah yang dihadapi secara efektif.

2.1.2. Jenis atau Bentuk Dukungan Sosial

Cohen, Mermelstein, Kamarck dan Hoberman (1985) menyimpulkan

empat bentuk dukungan sosial yang berpengaruh terhadap respon individu pada

kondisi yang menekan yaitu:

1. Dukungan praktis (tangible support) atau bantuan-bantuan yang bersifat

pelayanan seperti membantu dalam melakukan kegiatan sehari-hari maupun

bantuan secara finansial. Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan

praktis dan konkrit diantaranya : bantuan langsung dari orang yang

diandalkan seperti materi, tenaga dan sarana. Manfaat dukungan ini adalah

mendukung pulihnya energi atau stamina dan semangat yang menurun selain

itu individu merasa bahwa masih ada perhatian atau kepedulian dari

lingkungan terhadap seseorang yang sedang mengalami kesusahan atau

penderitaan (Friedman, 1998).

2. Dukungan informasi (appraisal support) atau suatu bentuk bantuan yang

membantu individu dalam memahami kejadian yang menekan dengan lebih

baik serta memberikan pilihan strategi coping yang harus dilakukan guna

menghadapi kejadian tersebut. Keluarga berfungsi sebagai kolektor dan

diseminator informasi tentang dunia yang dapat digunakan untuk

mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah dapat

menekan munculnya suatu stresor karena informasi yang diberikan dapat

(29)

dukungan ini adalah nasihat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi

(Friedman 1998)

3. Dukungan harga diri (self esteem) atau suatu bentuk bantuan dimana individu

merasakan adanya perasaan positif akan dirinya bila dibandingkan keadaan

yang dimiliki dengan orang lain, yang membuat individu merasa sejajar

dengan orang lain seusianya. Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan

umpan balik, membimbing dan menengahi masalah serta sebagai sumber

validator identitas anggota keluarga, diantaranya : memberikan support,

pengakuan, penghargaan dan perhatian (Friedman, 1998).

4. Dukungan belonging, suatu bentuk bantuan dimana individu tahu bahwa ada

orang lain yang dapat diandalkan ketika ia ingin melakukan suatu kegiatan

bersama dengan orang lain. Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan

damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap

emosi. Manfaat dari dukungan ini adalah secara emosional menjamin

nilai-nilai individu (baik pria maupun wanita) akan selalu terjaga kerahasiaannya

dari keingintahuan orang lain. Aspek-aspek dari dukungan emosional

meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya

kepercayaan, perhatian dan mendengarkan serta didengarkan (Friedman,

1998).

2.1.3. Faktor–faktor yang Mempengaruhi Seseorang Mendapatkan Dukungan Sosial

Faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga menurut Feirig dan Lewis

(30)

menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil secara kualitatif

menggambarkan pengalaman-pengalaman perkembangan. Anak-anak yang

berasal dari keluarga kecil menerima lebih banyak perhatian daripada anak-anak

dari keluarga besar. Selain itu dukungan yang diberikan oleh seseorang

dipengaruhi oleh usia, menurut Friedman (1998) orang yang masih muda

cenderung untuk lebih tidak bisa merasakan atau mengenali kebutuhan orang lain

dan juga lebih egosentris dibanding orang yang lebih tua. Faktor lain yang

mempengaruhi dukungan sosial adalah kelas sosial ekonomi meliputi tingkat

pendapatan atau pekerjaan, tingkat pendidikan dan status sosial.

Sarafino (2002) menguraikan beberapa faktor yang mempengaruhi

perolehan dukungan sosial dari orang lain yaitu:

a) Penerima dukunan (recipient)

Seseorang tidak akan memperoleh dukungan bila mereka tidak ramah, tidak

mau menolong orang lain dan tidak membiarkan orang lain mengetahui bahwa

mereka membutuhkan pertolongan. Ada orang yang kurang asertif untuk

meminta bantuan, atau mereka berfikir bahwa mereka seharusnya tidak

tergantung dan membebani orang lain, merasa tidak enak mempercayakan

sesuatu pada orang lain atau tidak tahu siapa yang dapat dimintai bantuannya.

b) Penyedia dukungan (provider)

Individu tidak akan memperoleh dukungan jika penyedia tidak memiliki

sumber-sumber yang dibutuhkan oleh individu, penyedia dukungan sedang

berada dalam keadaan stres dan sedang membutuhkan bantuan, atau mungkin

(31)

c) Komposisi dan struktur jaringan sosial (hubungan individu dengan keluarga

dan masyarakat)

Hubungan ini bervariasi dalam hal ukuran yaitu jumlah orang yang biasa

dihubungi, frekuensi hubungan yaitu seberapa sering individu bertemu dengan

orang tersebut, komposisi yaitu apakah orang tersebut adalah keluarga, teman,

rekan kerja atau lainnya; dan keintiman yaitu kedekatan hubungan individu

dan adanya keinginan untuk saling mempercayai.

2.2. Down Syndrome

2.2.1. Defenisi down syndrome

Down syndrome merupakan sindroma congenital (kelainan bawaan) yang

paling sering terjadi dan juga merupakan penyebab ketidakmampuan intelektual

yang paling sering ditemukan. Penyebab hal ini masih belum diketahui pasti,

yang dapat disimpulkan sampai saat ini adalah makin tua usia ibu makin tinggi

risiko untuk terjadinya down syndrome, dimulai sejak umur 35 tahun. Kejadian

sindroma down diperkirakan 1 per 800 hingga 1 per 1000 kelahiran dan Mengenai

semua etnis serta seluruh kelompok ekonomi (Selikowizt, 2001). Orang dengan

down sindrom memiliki kelainan pada kromosom nomor 21 yang tidak terdiri dari

2 kromosom sebagaimana mestinya, melainkan tiga kromosom (trisomi 21)

sehingga informasi genetika menjadi terganggu dan anak juga mengalami

(32)

2.2.2. Ciri-ciri anak down syndrome

Secara garis besar penderita ini dengan mudah bisa dilihat, berat badan

waktu lahir dari bayi dengan down sindrom ini umumnya kurang dari normal.

Ciri-ciri lain dari wajah yang khas dengan mata sipit yang membujur ke atas, jarak

kedua mata yang berjauhan dengan jembatan hidung yang rata, hidung yang kecil,

mulut kecil dengan lidah yang besar sehingga cenderung dijulurkan dan telinga

letak rendah. Tangan dengan telapak yang pendek dan biasanya mempunyai garis

telapak tangan yang melintang lurus (horizontal/tidak membentuk huruf M), jari

pendek-pendek, biasanya jari ke-5 sangat pendek, hanya mempunyai 2 ruas dan

cenderung melengkung. Tubuh pendek dan cenderung gemuk. Anak dengan

sindrom ini sangat mirip satu dengan yang lainnya. Retardasi mental sangat

menonjol (IQ sekitar 50-70), disamping juga terdapat retardasi jasmani. Mereka

berbicara dengan kalimat-kalimat yang sederhana, diakibatkan adanya gangguan

wicara karena gangguan konstruksi rahang dan mulut. Anak dengan sindroma ini

sering menderita kelainan bawaan seperti kelainan jantung, leukimia, dan

alzhaimer (Selikowizt, 2001).

2.2.3. Keluarga dengan anak down syndrome

Orangtua yang memiliki anak dengan cacat perkembangan seperti down

syndrome, autis dan lain-lain, memiliki banyak masalah yang harus dihadapi.

Pertama mereka mungkin merasa bahwa anaknya memiliki perkembangan yang

tidak biasa dan ini membuat orangtua melakukan penyelidikan dan tes untuk

mencari diagnosis. Proses ini sering panjang dan sulit sehingga membuat orangtua

(33)

diagnosis, orangtua harus menghadapi kenyataan bahwa anak mereka memiliki

gangguan yang tidak mungkin sepenuhnya dapat hidup tanpa bergantung pada

oranglain. Orangtua mulai menghadapi masalah mengenai jenis perawatan yang

dibutuhkan, dimana anak mereka harus sekolah, apakah mereka mendapatkan

bantuan dari pemerintah atau tidak. Dan banyak orangtua juga akan

bertanya-tanya dan meragukan dirinya sendiri apakah mereka mampu untuk merawat anak

mereka sendiri atau apakah ada sumber daya yang lain yang dapat membantu

mereka membesarkan anak mereka (Goussmett, 2006).

Membesarkan anak dengan gangguan perkembangan seperti autistic

spectrum disorder dan down syndrome merupakan salah satu stres terbesar bagi

orangtua hal ini karena orangtua menganggap mereka memiliki sedikit harapan

bahwa anak mereka dapat hidup dengan normal (Dyson, 1993, Krauss, 1993,

Woolfson, 2004 dalam Goussmett, 2006). Orangtua dengan anak ASD telah

ditemukan lebih memiliki tingkat stres dan masalah penyesuaian yang lebih tinggi

dari pada orangtua dengan anak down syndrome, namun lebih tinggi

dibandingkan stres dan penyesuaian diri dari orangtua yang memiliki anak dengan

perkembangan normal (Sanders dan Morgan, 1997 dalam Goussmett, 2006).

Beberapa stres yang orangtua mungkin hadapi adalah masalah ekonomi,

waktu untuk terapi, isolasi sosial, masalah perilaku, hubungan keluarga yang

tegang (Beckman, 1983, Woolfson, 2004 dalam Gousmett, 2006). Dari hasil

penelitian yang dilakukan oleh Joosa (2006) bahwa hal-hal yang berpengaruh dan

yang harus diperhatikan pada keluarga dengan anak down syndrome yaitu (1)

(34)

ketakutan, (2) hubungan keluarga dimana anak down syndrome memberikan

pengaruh pada hubungan kedekatan dan kohesi suami isteri, saudara kandung,

dan hubungan dengan anggota keluarga yang lain, (3) harapan parenting yang

berkaitan dengan kesadaran ibu mengenai pentingnya pengalaman belajar yang

optimal bagi anak mereka untuk mencapai potensinya, (4) dukungan sosial dari

keluarga maupun di luar keluarga merupakan hal yang paling terpenting bagi ibu ,

(5) layanan formal, (6) penerimaan masyarakat.

2.3. Solution Focused Family Terapi 2.3.1. Family Therapy

Terapi keluarga adalah sebuah istilah yang diberikan kepada metode-metode

yang bekerja dengan keluarga dengan bermacam-macam kesulitan biopsikososial

(Carr, 2006). Terapi keluarga mulai berkembang sejak awal tahun 1950. Terapi

keluarga merupakan pendekatan psikoterapeutik yang sangat fleksibel, dapat

diaplikasikan kepada rentang yang luas menyangkut masalah yang berfokus pada

anak dan yang berfokus pada orang dewasa. Tujuan utama dari terapi keluarga

adalah untuk memfasilitasi resolusi atas suatu masalah dan untuk meningkatkan

perkembangan keluarga sehat dengan berfokus pada hubungan antara individu

yang bermasalah dengan anggota keluarganya dan jaringan sosialnya (Carr, 2006).

Para terapis keluarga memiliki asumsi terhadap apa yang berkontribusi pada

keluarga sehat. Keluarga sehat dikatakan memiliki struktur yang fleksibel,

batasan-batasan yang jelas dan hirarki yang terorganisir dengan baik, dan mereka

menggunakan kontrol reinforcement positif, menawarkan attachment yang aman,

(35)

dalam membantu keluarga memperbaiki potensi untuk bahagia (Nichols, 2010).

Salah satu dari karakteristik yang mendefenisikan terapi keluarga adalah selalu

berfokus pada masa kini, dimana masalah sedang terjadi dan menjadi perhatian

(Nichols, 2010). Terapi keluarga diklasifikasikan kedalam beberapa kelompok

berdasarkan penekanannya pada (1) pola perilaku yang mempertahankan masalah

(2) sistem keyakinan dan naratif yang problematik dan memaksa, (3) faktor

predisposisi historis dan kontekstual.

Pada penelitian ini, penulis akan menggunakan terapi keluarga yang

termasuk dalam klasifikasi kedua (sistem keyakinan dan naratif yang problematik

dan memaksa), yaitu solution focused family therapy.

2.3.2. Solution Focused Family Therapy (SFFT) 1. Defenisi Solution Focused Family Therapy

Solution focused therapy sering digunakan pada praktik psikoterapi

individual. Namun, banyak terapis terapi keluarga mengintegrasikan strategi

solution focused ini kedalam pekerjaannya. Milton Erickson menggambarkan

bahwa terapi digunakan untuk mengubah “apa yang dilihatnya” atau “apa yang

dilakukannya” yang terkait dengan masalah yang dihadapinya. Pada model ini,

terapis tidak melihat suatu permasalahan sebagai suatu kegagalan, melainkan

sebagai bagian dari pekermbangan keluarga tersebut (Midori, 2001).

Filosofi dari pendekatan solution focused didasarkan pada gagasan bahwa

perubahan konstan dan tak terelakkan. Penekanan dalam terapi adalah tentang apa

yang mungkin bisa di ubah, daripada apa yang tidak mungkin. Model ini berfokus

(36)

pada satu subsistem akan mengubah sistem yang lain (Carlson, 2005). Menurut

model ini, deShazer (1985 dalam Carlson, 2005), fokus dalam model terapi adalah

pada solusi dan kompetensi, bukan pada masalah.

Tujuan dari terapi jenis brief ini untuk mengubah keluarga lebih bijak dalam

memandang dunia dan untuk mengubah perilaku anggota keluarga sehingga

solusi untuk masalah ini berkembang dan masalah teratasi. Tujuan utama adalah

menemukan kekhawatiran keluarga yang muncul. Komponen yang penting pada

model solution focused adalah membuat formulasi tujuan keluarga yang dimulai

pada sesi pertama. Dan tujuan tersebut harus spesifik , terukur, dapat dicapai , dan

menantang (Carlson, 2005).

2. Tahapan Pelaksanaan Solution Focused Family Therapy

Proses treatment umumnya bisa divariasikan namun juga mengikuti struktur

yang ada. Pada sesi awal, melakukan perkenalan, menyusun struktur, dan

mendapatkan pernyataan mengenai keluhan, kemudian informasi spesifik yang

dikumpulkan dari masing-masing anggota keluarga. Sebuah diskusi terjadi

kemudian tentang apa yang terjadi ketika keluarga tidak mengalami masalah yang

dijelaskan dalam keluhan mereka. Setelah terapis mendapatkan informasi latar

belakang yang cukup, ia dapat menggunakan "miracle question" yang meminta

keluarga menceritakan hal-hal apa yang akan menjadi berbeda jika keajaiban

terjadi dan masalah yang ada dapat dipecahkan . Ini mendorong keluarga untuk

berpikir tentang perubahan. Kemudian terapis mengembangkan pernyataan dan

tugas, yang mana mempersiapkan keluarga untuk menjadi responsif terhadap

(37)

Dibawah ini akan dijelaskan mengenai tahapan atau langkah-langkah yang

dilakukan dalam pelaksanaan terapi solution focused (Campbell, 1999 dalam

Psychpage, 2013):

I. Pre- Session

Tujuan untuk mendapatkan informasi tentang perubahan yang telah terjadi

sebelum pelaksanaan terapi. Pertanyaan yang umum ditanyakan adalah “dari

beberapa waktu sebelum anda datang kemari, adakah beberapa perubahan yang

telah terjadi? Atau apakah ada perubahan yang menjadi lebih baik atau lebih

buruk sehingga anda memutuskan untuk mengambil tindakan untuk bertemu

dengan saya hari ini?

Ada dua kemungkinan respon terhadap pertanyaan ini, pertama, beberapa

perubahan telah terjadi. Dalam hal ini, terapis meminta lebih detail lagi tentang

perubahan itu, meminta anggota keluarga lain untuk melihat hal ini, apa artinya

bagi mereka, apa yang mereka lakukan dalam menanggapi hal tersebut dan

lain-lain. Kedua, klien mengatakan tidak ada yang berubah atau tetap sama atau

bahkan semakin parah. Dalam kasus ini, terapis dapat melanjutkan dengan

pertanyaan seperti “bagaimana saya dapat membantu anda hari ini? Atau apa yang

harus terjadi agar pertemuan ini benar-benar bermanfaat bagi anda?

II. Session

Dalam Sesi terdiri dari beberapa tahap-tahap yang akan dijelaskan

(38)

1) Tahap 1 : Sosializing dan Joining

Terapis berusaha menjadi bagian dari system yang ada, belajar bahasa

mereka, menerima pandangan-pandangan klien. Intinya adalah terapis berusaha

menciptakan sebuah lingkungan agar terjadi percakapan yang produktif. Contoh

pertanyaan “apa yang dapat saya lakukan untuk membantu anda? Atau apa yang

harus terjadi agar pertemuan ini benar-benar bermanfaat bagi anda?

2) Tahap 2 : Describing the problem

Pada tahap ini terapis berusaha untuk mendapatkan gambaran tentang

masalah dari sudut pandang klien. Teknik terapi yang digunakan adalah miracle

question, scalling, exception and agency and coping questions. Terkadang klien

mengatakan lebih dari satu masalah atau mereka tidak tahu memulai darimana.

Bagaimanapun dalam konteks terapi solution focused brief ini penting untuk

bekerja dengan hanya satu masalah dalam satu waktu. Jika fokus beralih dan

menjadi berbeda, maka akan menjadi sulit bagi klien dan terapis untuk membuat

sebuah kemajuan. Jika dalam terapi keluarga, penting untuk menanyakan kepada

anggota keluarga yang lain apakah mereka setuju dengan gambaran masalah dan

apa yang akan dirubah. Hal ini berguna agar anggota keluarga yang lain terdorong

untuk memberikan kontribusi solusi untuk penyelesaian masalah.

3) Tahap 3 : Goaling

Untuk menetapkan tujuan, pertanyaan yang biasa digunakan adalah: “Apa

yang akan berubah ketika masalah telah selesai?”, apa yang akan anda lakukan?.

(39)

selesai/berhenti. Untuk mempertahankan fokus pada solusi penting untuk terus

masuk lebih dalam lagi atau mengusik klien untuk terus lebih “problem talk”.

4) Tahap 4 : Breaking

Pada tahap ini memungkinkan bagi terapis memliki waktu untuk

berkonsultasi dengan tim atau supervisor. Minta klien untuk keluar ± 5 menit,

kemudian tim melakukan refleksi terhadap sesi, apa yang telah membantu atau

apa yang telah terjawab.

5) Tahap 5 : Ending

Pada tahap ini terapis memberikan umpan balik (feedback) terhadap

pandangan mereka pada pasangan, dan usaha mereka untuk berubah atau

pekerjaan rumah mereka. Diakhir sesi feedback melakukan reframing yang terdiri

dari 5 bagian (Campbell dkk, 1999) yaitu normalisasi, restrukturisasi, afirmasi,

bridging dan homework.

a. Normalisasi; menormalkan kembali pengalaman selama terapi untuk

membantu mereka melihat diri mereka atau pasangan mereka bukan sebagai

orang yang mengalami gangguan atau “gila”.

b. Restrukturisasi; menyusun kembali konsep-konsep masalah menjadi masalah

jangka pendek. Merubah kata “saya terjebak” menjadi “perubahan-perubahan

ini merupakan bagian dari pengalaman hidup” atau pengalaman tersebut

merupakan upaya untuk menemukan keseimbangan dalam hidup anda.

c. Afirmasi; memberikan penguatan atas sumber-sumber kekuatan. “saat ini

adalah saat yang tepat untuk memeriksa kembali pendapat dan memastikan

(40)

d. Bridging; berhubungan dengan konsep pekerjaan rumah yang ditawarkan atau

memberikan saran yang akan di praktikkan. “pada dasarnya bapak adalah

orang yang sudah sangat berusaha untuk ikut terlibat dan memperbaiki kondisi

saat ini dan kami menyarankan untuk menggunakan cara…. dan ini sepertinya

cukup akan membantu”

e. Homework; adalah saran yang diberikan klien untuk mencoba, bukan tugas

yang diperintahkan untuk dilakukan. Saran-saran tersebut seharusnya dari

mereka/klien dan apa yang mereka ingin lakukan. Tugas haruslah dipastikan

sangat sederhana dan sangat mungkin berhasil. Homework yang baik haruslah

yang dapat membuat perubahan dalam tingkatan; 1) behavioral, 2) kognitif, 3)

eksperential dan, 4) sistematis.

III. Return Session/Return Visits

Pada sesi kunjungan berikutnya, terapis menanyakan tentang tugas yang

diberikan, namun jangan melakukan kritik terhadap usaha yang telah klien

lakukan. Penting untuk tetap memberikan kesan positif atas usaha yang telah

dilakukan klien. Hal yang perlu dipertanyakan adalah hal-hal baik atau positif apa

yang telah terjadi setelah klien melakukan sesi terapi sebelumnya.

Insoo Kim Berg dan Norm Reuss (1995 dalam McDonald, 2007)

menyarankan susunan hal yang akan dilakukan pada return session atau Return

Visits yaitu EARS ; Elicit, Amplify, Reinforce, Start Again

3. Teknik Yang Digunakan Dalam Solution Focused Family Therapy

Strategi dan teknik yang digunakan dalam solution focused family therapy

(41)

a. Deconstructing

Ini mengacu pada menciptakan keraguan dalam keluarga itu kerangka acuan

mengenai keluhan, yang menciptakan kebutuhan dan harapan untuk

perubahan, membuat pertimbangan baru perilaku yang mungkin.

b. Exceptions

Penting untuk mendapatkan gambaran dari apa-apa yang telah mereka lakukan

bukan dari apa yang belum atau tidak mereka lakukan berkaitan dengan

mengatasi masalah. Memberikan pertanyaan pada exception ini sangat

berguna dengan tujuan yang biasanya dipandang sebagai resisten terhadap

perubahan. Klien terkadang merasa cukup putus asa tentang kemampuan

mereka untuk mengubah atau mengendalikan situasi mereka. Mereka terkejut

bahwa ada pengecualian kecil dimana mereka mampu untuk mengontrol atau

merubah perilaku. Ini meningkatkan rasa percaya diri pada diri klien untuk

membuat perencanaan mengenai langkah-langkah kecil selanjutnya untuk

mengatasi masalah. Contoh pertanyaan yang digunakan dalam exceptions :

Bagaimana dengan saat-saat ketika masalah tidak terjadi? atau saat masalah

berkurang?

c. Scalling questions

Pertanyaan yang biasa digunakan dalam scaling questions : silahkan

memikirkan skala 0-10 jika angka 10 adalah menggambarkan bahwa masalah

telah selesai, dimana anda akan memberikan nilai untuk menggambarkan

masalah saat ini? Jika keluarga mengalami perubahan letak skala maka terapis

(42)

hingga terjadi perubahan. Jika tidak terjadi penurunan nilai skala, maka terapis

bertanya mengapa hal tersebut bisa terjadi?. Hal ini dilakukan agar terapis

mendapatkan gambaran perubahan yang telah dibuat oleh keluarga dalam hal

mengatasi masalah, terapis tetap fokus pada kekuatan keluarga, solusi dan

harapan keluarga.

d. Miracle questions

Kata-kata yang dijadikan pertanyaan intervensi dapat bervariasi, tetapi

kata-kata dasar adalah : saya akan mengajukan pertanyaan yang agak aneh

[jeda]. Pertanyaan aneh ini adalah : [jeda] Setelah kita berbicara, Anda akan

kembali ke pekerjaan Anda (rumah, sekolah) dan Anda akan melakukan apa

pun yang Anda perlu lakukan di sisa hari ini, seperti mengurus anak, memasak

makan malam, menonton TV, memandikan anak-anak, dan sebagainya. Ini

akan menjadi waktu yang melelahkan sebelum pergi ke tempat tidur . Semua

orang dalam rumah tangga Anda begitu tenang, dan Anda tidur dalam damai.

Di tengah malam, sebuah keajaiban terjadi dan masalah yang mendorong

Anda untuk berbicara dengan saya hari ini terpecahkan! Tetapi karena hal ini

terjadi ketika Anda sedang tidur, Anda tidak memiliki cara untuk mengetahui

bahwa ada keajaiban semalam yang dapat memecahkan masalah saat ini.

[jeda] Jadi, ketika Anda bangun besok pagi, apa yang mungkin menjadi

perubahan kecil yang akan membuat Anda berkata kepada diri sendiri, 'Wow,

sesuatu telah terjadi - masalahnya telah selesai!' ( Berg & Dolan, 2001).

Dalam terapi keluarga, pertanyaan bisa ditanyakan kepada mereka

(43)

mencoba untuk memperoleh kolaborasi dengan penekanan tujuan bersama.

Jika ditanya kepada individu, maka anggota keluarga yang lain atau mitra

diminta untuk memberikan reaksi untuk itu, dan didorong untuk mendukung.

e. Feedback

Untuk mengurangi kecemasan dan menjaga hubungan maka terapis

dapat menggunakan beberapa pertanyaan berikut: Anda telah mencoba

banyak ide dan sudah berhasil walau masih terbatas. Sekarang saatnya untuk

mencoba sesuatu yang sama sekali baru. Anda akan tahu sendiri apa yang

terbaik untuk mencoba setelah Anda memikirkannya?

f. Compliment and suggestions homework

Berbeda dari tugas yang dibuat dalam terapi perilaku kognitif (CBTs)

atau model berbasis perilaku lain dalam bahwa dalam pendekatan lainnya

tugas berasal dari terapis. Dalam SFBT, tugas biasanya berasal dari keluarga,

mereka menetapkan sendiri hal-hal yang telah bekerja atau bahwa mereka

memiliki investasi yang kuat dalam melakukan, dan ini mengurangi

kecenderungan alami keluarga untuk 'melawan' di luar intervensi, tidak peduli

seberapa baik mereka memahami maksud dari terapis. Dan karena, tidak

seperti CBTs, menyelesaikan pekerjaan rumah tidak diperlukan untuk

perubahan, jadi tidak menyelesaikan tugas sama sekali tidak masalah. Ada

banyak kali ketika sebuah keluarga telah pindah skala mereka, tetapi tidak

menyelesaikan tugas pekerjaan rumah yang telah dibuat untuk diri mereka

(44)

anda pergi dari 4 ke 5 padahal anda tidak melakukan tugas yang kemarin anda

ingin lakukan.

g. Skeleton Keys

Tugas-tugas yang dapat diberikan kepada partisipan untuk dilakukan untuk

mengatasi masalah keluarga :

1) Pensil dan Penghapus : misalkan pada hari-hari ganjil pada tiap bulan,

klien diminta untuk menghabiskan 1 jam menulis tentang semua buruk dan

baik yang dia alami bersama mantan pasangannya, beberapa hari atau

bulan kemudian, klien menghabiskan 1 jam untuk membaca apa yang telah

ditulis dan kemudian membakarnya.

2) Lempar Bola : Untuk menentukan urutan menyerang dengan cara

melempar koin. Pemenang memberikan keluhan selama 10 menit.

Kemudian orang lain mendapat giliran selama 10 menit. Sepuluh menit

dibiarkan hening sebelum koin dilempar untuk putaran kedua.

3) Opera sabun : Terapis mengarahkan klien untuk melakukan sesuatu yang

berbeda berkaitan dengan masalah antara sesi saat ini dan sesi berikutnya.

4) Pengamat : Klien yang tergoda untuk makan terlalu banyak atau untuk

kembali meminum alkohol atau memakai obat diarahkan oleh terapis

untuk mengamati apa yang mereka lakukan ketika mereka mengatasi

(45)

2.4. Meningkatkan Dukungan Keluarga Terhadap Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome Dengan Menggunakan Pendekatan Solution Focused Family Therapi.

Perkembangan yang lambat merupakan ciri utama pada anak down

syndrome. Baik perkembangan fisik maupun mental, hal ini yang menyebabkan

keluarga sulit untuk menerima keadaan anak dengan down syndrome. Setiap

keluarga menunjukkan reaksi yang berbeda-beda terhadap berita bahwa anggota

keluarga mereka menderita down syndrome, sebagian besar memiliki perasaan

yang hampir sama yaitu: sedih, rasa tak percaya, menolak, marah, perasaan tidak

mampu dan juga perasaan bersalah (Selikowitz, 2001).

Diantara orangtua, penelitian telah menunjukkan bahwa ibu umumnya

lebih stres dari pada ayah walaupun sebenarnya ayah pada umumnya juga tertekan

dengan kondisi anak mereka namun cenderung tidak mampu mengatakan

sedangkan ibu kondisi tertekan mereka lebih terlihat (Konstantareas & Homatidis,

1989, Ricci & Hodopp, 2003, Frey K, Greenberg, MT, & Fewell, RR, 1989 dalam

Gousmett, 2006).

Sering terjadi dimana ibu memandang bahwa hanya dirinya yang

mengalami stres dan hanya dirinya yang lebih perhatian dan merawat anak down

syndrome. Hal ini akan mempengaruhi perilaku ibu terhadap pasangan (ayah),

terhadap anak sehingga mempengaruhi interaksi antara pasangan, orangtua dan

anak maupun anak dengan anak. Kondisi stres dan depresi yang dimiliki seorang

(46)

mencari dukungan sosial terutama dari orang-orang yang berada didekat dirinya

(Boyd, 2002 dalam Gousmett, 2006).

Sehingga untuk membantu ibu yang memiliki anak down syndrome dalam

mengatasi masalah dukungan yang dinilai ibu kurang diberikan kepadanya lebih

sesuai jika menggunakan family therapy berdasar pada pendekatan solution

focused family therapy. Ini dipilih karena pendekatan solution focused family

therapy mencoba untuk mengajak klien fokus kepada hal-hal yang positif yang

sebenarnya sudah dimiliki dan dimanfaatkannya untuk mengarah kepada

perbaikan (Carlson, 2005). Hal ini karena keluarga yang mengalami permasalahan

jangka panjang seperti yang dialami oleh orangtua anak down syndrome dapat

merasakan manfaat dari terapi solution focused ini (Macdonald, 2007) sebab

terapi ini bertujuan untuk mengambil langkah-langkah kecil, berfokus pada

keterampilan kehidupan sehari-hari. Para pengasuh dapat terbantu dengan

pendekatan solution focused dalam mengatur atau mengatasi situasi yang mereka

hadapi terkait dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan. Seringkali

terjadi kemajuan signifikan dalam fungsi mental ketika permasalahan tertentu

dapat terselesaikan (Iveson dalam Macdonald, 2007). Terapis mengajak klien

untuk fokus pada pencarian kompetensi, keterampilan coping, pengecualian dan

sumber daya yang dimiliki (Edmonds dan Bliss dalam Macdonald, 2007).

Dengan demikian jika keluarga sudah mendapatkan terapi solution focused

family therapy maka akan mengubah pola interaksi dan hubungan antara ibu

dengan anak down syndrome, ayah dengan anak down syndrome, anak (saudara/i)

(47)

terjadi pola pengasuhan pada anak down syndrome itu sendiri, yang semula

overprotektif, ibu dan anggota keluarga lain menjadi lebih percaya diri untuk

membantu anak down syndrome melatih keterampilan dan perilaku adaptifnya.

Adapun skema masalah dalam penelitian ini:

2.5. Hipotesa Penelitian

Hipotesa adalah jawaban sementara dari rumusan dan pernyataan

penelitian yang harus diuji validitasnya secara empiris. Berdasarkan pada

kerangka konsep penelitian, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai

berikut: “Terapi solution focused family therapy efektif dalam meningkatkan

dukungan sosial keluarga pada ibu yang memiliki anak down syndrome”. Anak down

syndrome

Deficit Keterampilan

Adaptif

1. keluarga memiliki keraguan dan ketakutan dengan kemampuan mengasuh dan membesarkan dan masa depan anak down syndrome 2. hubungan antar anggota

keluarga

3. harapan parenting

4. dukungan sosial yang kurang dirasakan ibu dari keluarga

3. Return session (EARS)

Ibu merasa sendiri dalam mengasuh anak DS dan tidak mendapatkan

dukungan dari keluarga

Ibu mendapatkan dukungan dari keluarga dalam merawat dan

Gambar

Tabel 3.1. : Sebaran aitem
Tabel 3.3. : Sebaran aitem setelah uji validitas
Tabel 3.4. : Interval data subjek
gambaran tentang
+6

Referensi

Dokumen terkait