• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH ASIMETRI INFORMASI TERHADAP PRAKTIK MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH ASIMETRI INFORMASI TERHADAP PRAKTIK MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PENGARUH ASIMETRI INFORMASI TERHADAP PRAKTIK MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG

TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA

Oleh MELIYANA

Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris pengaruh dari variabel independen asimetri informasi, variabel kontrol ukuran perusahaan dan leverage terhadap praktik manajemen laba. Sampel dalam penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia yang diperoleh dengan metode purposive judgement sampling dari tahun 2004 - 2008. Berdasarkan kriteria yang telah ditentukan, maka diperoleh 53 perusahaan yang menjadi sampel penelitian. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis regresi linier berganda pada tingkat keyakinan 95% dan tingkat kesalahan dalam analisis (α) 5%. Sebelum dilakukan analisis regresi linier berganda, terlebih dahulu dilakukan uji diskriminan dan uji asumsi klasik.

Hasil penelitian secara empiris menunjukkan secara parsial, variabel independen asimetri informasi, variabel kontrol ukuran perusahaan dan leverage mempunyai pengaruh signifikan terhadap praktik manajemen laba. Secara simultan, variabel independen asimetri informasi, variabel kontrol ukuran perusahaan dan leverage mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap praktik manajemen laba.

Nilai adjusted R2 sebesar 0,339 menunjukkan bahwa 33,90% variabel dependen manajemen laba dapat dijelaskan oleh variabel independen asimetri informasi, variabel kontrol ukuran perusahaan dan leverage. Sisanya 66,10% dijelaskan oleh faktor lain yang tidak termasuk dalam model regresi ini. Namun dalam regresi antara variabel dependen manajemen laba dengan variabel independen asimetri informasi diperoleh adjusted R2 sebesar 0,315 atau sebesar 31,50% dan regresi antara variabel dependen manajemen laba dengan variabel kontrol (ukuran perusahaan dan leverage) diperoleh adjusted R2 sebesar 0,347 sehingga variabel kontrol lebih menjelaskan variabel dependen manajemen laba. Variabel

independen asimetri informasi berpengaruh signifikan dan mampu menjelaskan variabel dependen manajemen laba sebesar 31,50%.

(2)

ABSTRACT

INFLUENCE OF INFORMATION ASYMMETRY ON THE PRACTIC EARNINGS MANAGEMENT IN MANUFACTURING COMPANY

WHICH IS LISTED ON INDONESIA STOCK EXCHANGE

By MELIYANA

The purpose of this research was to examine empirically the influence of independent variable information asymmetry, control variable firm size and leverage on the earnings management. Sample used in this research was the manufacture firms that are listed in Indonesia Stock Exchange which was collected through purposive judgement sampling method, for an observation period of 2004 up to 2008. Based on stated criterions, there were 53 companies becoming the research sample. In this research, hypotheses were examined by multiple regression analysis at degree of certainty 95% and degree of error 5%. Before analyze with multiple regression linier analysis, there was a discriminant test and classic assumption test.

The result of empirical examination using multiple regression analysis shows that, individually, independent variable information asymmetry, control variable firm size and leverage had influence significant on the earnings management. Simultaneously, independent variable information asymmetry, control variable firm size and leverage had influence significant on the earnings management. Adjusted R2 value is 0.339 that mean 33.90% dependent variable earnings management can be explained by independent variable information asymmetry, control variable firm size and leverage and then 66.10% explained by another factor out side in the regression model. But in the regression between dependent variable earnings management with independent variable information asymmetry resulted adjusted R2 value 0.315 or 31.50% and then in the regression between dependent variable earnings management with control variable (firm size and leverage) resulted adjusted R2 value 0.347 so control variable more explain dependent variable earnings management. Independent variable information asymmetry has significant effect and can explain dependent variable earnings management 31.50%.

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu sumber informasi dari pihak eksternal dalam menilai kinerja

perusahaan adalah laporan keuangan. Laporan keuangan merupakan ringkasan dari suatu proses pencatatan dan transaksi-transaksi keuangan yang terjadi selama tahun buku bersangkutan. Laporan keuangan dibuat oleh manajemen dengan tujuan untuk mempertanggungjawabkan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya oleh para pemilik perusahaan. Di samping itu, laporan keuangan digunakan sebagai laporan kepada pihak di luar perusahaan. Kinerja manajemen perusahaan tersebut tercermin pada laba yang terkandung dalam laporan laba rugi. Proses penyusunan laporan keuangan dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu yang dapat menentukan kualitas laporan keuangan.

Laporan keuangan adalah sarana pengkomunikasian informasi keuangan kepada pihak-pihak di luar perusahaan. Dalam penyusunan laporan keuangan, dasar akrual dipilih karena lebih rasional dan adil dalam mencerminkan kondisi

keuangan perusahaan secara riil, namun di sisi lain penggunaan dasar akrual dapat memberikan keleluasaan kepada pihak manajemen dalam memilih metode

(4)

pilihan kebijakan akuntansi yang dilakukan manajer untuk tujuan spesifik itulah disebut dengan manajemen laba. Menurut Statement Financial Accounting Concept (SFAC) No 1 informasi laba merupakan perhatian utama untuk menaksir kinerja atau pertanggungjawaban manajemen. Selain itu, informasi laba juga membantu pemilik atau pihak lain dalam menaksir earnings power perusahaan di

masa yang akan datang (Scott, 2000:296) dalam Ma’ruf (2006). Oleh karena itu,

manajemen mempunyai kecenderungan untuk melakukan tindakan yang dapat membuat laporan keuangan menjadi baik. Tindakan manajer ini kadang bertentangan dengan tujuan perusahaan. Tindakan yang menyimpang tersebut salah satu bentuknya adalah manajemen laba atau earnings management.

Manajemen laba adalah campur tangan manajemen dalam proses pelaporan keuangan dengan tujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri (manajer). Sampai saat ini manajemen laba merupakan area yang paling kontroversial dalam

(5)

ditentukan dengan cara-cara tertentu. Manajemen laba terjadi ketika para manajer menggunakan pertimbangan mereka dalam pelaporan keuangan dan struktur transaksi untuk mengubah laporan keuangan dengan tujuan menyesatkan beberapa pemangku kepentingan mengenai kondisi kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil-hasil kontraktual yang bergantung pada angka-angka

akuntansi yang dilaporkan (Belkaoui, 2006). Jika pada suatu kondisi dimana pihak manajemen tidak berhasil mencapai target laba yang ditentukan, maka manajemen akan memanfaatkan fleksibilitas yang diperbolehkan oleh standar akuntansi dalam menyusun laporan keuangan untuk memodifikasi laba yang dilaporkan. Manajemen termotivasi untuk memperlihatkan kinerja yang baik dalam menghasilkan keuntungan maksimal bagi perusahaan sehingga manajemen cenderung memilih dan menerapkan metode akuntansi yang dapat memberikan informasi laba lebih baik. Meskipun tindakan dari manajemen laba tersebut akan menambah bias dalam laporan keuangan dan dapat mengganggu pemakai laporan keuangan yang mempercayai angka laba pada laporan keuangan dari hasil

rekayasa tersebut.

Maksud dari menambah bias laporan keuangan bahwa laporan tersebut

menggunakan metode-metode akuntansi tertentu sehingga timbul laporan-laporan keuangan yang sesuai dengan kebutuhan investor atau keinginan manajer.

Menurut Surifah (1999) dalam Ma’ruf (2006) menyatakan bahwa manajemen laba

(6)

Watts (2000) dalam Utami (2005), praktik manajemen laba banyak dilakukan oleh manajemen karena mereka menganggap perusahan lain juga melakukan hal yang sama. Dengan demikian, kinerja kompetitor dapat menjadi pemicu melakukan praktik manajemen laba karena investor dan kreditur akan melakukan komparasi untuk menentukan perusahaan mana yang mempunyai rating yang baik.

Di dalam manajemen laba, terkadang informasi yang disampaikan diterima tidak sesuai dengan kondisi perusahaan sebenarnya. Kondisi ini dikenal sebagai

informasi yang tidak simetris (information asymetric), yaitu suatu kondisi di mana ada ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen sebagai penyedia informasi (prepaper) dengan pihak pemegang saham dan stakeholder pada umumnya sebagai pengguna informasi (user). Keberadaan asimetri

informasi dianggap sebagai penyebab manajemen laba. Asimetri informasi terjadi karena manajer lebih superior dalam menguasai informasi dibanding pihak lain.

(7)

Penelitian juga dikemukakan oleh Santi (2008) yang meneliti tentang pengaruh asimetri informasi dan ukuran perusahaan terhadap praktik manajemen laba. Penelitian ini menggunakan sampel perusahaan manufaktur di Bursa Efek Jakarta selama periode 2003-2006 dan menemukan bukti empiris bahwa asimetri

informasi dan ukuran perusahaan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap manajemen laba. Perusahaan yang besar memiliki insentif yang cukup besar untuk melakukan manajemen laba, karena salah satu alasan utamanya adalah perusahaan besar memiliki aktivitas operasional yang lebih kompleks dan harus mampu memenuhi ekspektasi dari investor atau pemegang saham. Perusahaan besar juga menghadapi public demand atas informasi yang tinggi sehingga perusahaan harus mengungkapkan informasi yang lebih banyak.

(8)

replikasi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rahmawati dkk. (2006) dengan mengganti tahun yang lebih baru dan mengambil sampel pada perusahaan manufaktur go public yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Dengan demikian, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Pengaruh Asimetri Informasi Terhadap Praktik Manajemen Laba Pada Perusahaan

Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia”.

B. Permasalahan

1. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang dihadapi dapat dirumuskan sebagai berikut : Apakah asimetri informasi berpengaruh secara signifikan terhadap praktik manajemen laba?

2. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini mempunyai ruang lingkup yang jelas dan terarah, maka penulis melakukan pembatasan masalah sebagai berikut:

1. Manajemen laba yang diteliti hanya sebatas memaksimalkan dan meminimalkan laba.

2. Variabel keuangan meliputi laba (rugi) bersih, pendapatan, total piutang dagang, total aktiva, aktiva tetap, total utang, dan arus kas dari kegiatan operasi.

(9)

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bukti empiris tentang pengaruh asimetri informasi terhadap praktik manajemen laba dengan menggunakan data laporan keuangan tahunan yang telah diaudit pada perusahaan manufaktur yang sudah go public dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode 2004-2008.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi mahasiswa atau akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan.

2. Bagi investor dapat berguna sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan menilai kualitas laba yang dilaporkan dalam laporan keuangan. 3. Bagi pengelola pasar modal dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan

keputusan mengenai sejauh mana pengungkapan yang diharuskan agar perusahaan dapat menyajikan informasi yang berkualitas bagi pihak luar. 4. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi dan bahan acuan untuk

(10)

II. LANDASAN TEORI

A. Laporan Keuangan

1. Pengertian dan Karakteristik Laporan Keuangan

Pengertian laporan keuangan menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2007:7) yang dituangkan dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan menyebutkan bahwa:

Laporan keuangan merupakan bagian dasar dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang baik biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara misalnya, sebagai laporan arus kas atau laporan arus dana), catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan tersebut, misalnya informasi keuangan segmen industri dan geografis serta pengungkapan pengaruh perubahan harga.

(11)

Sedangkan menurut Baridwan (2000), laporan keuangan merupakan ringkasan dari suatu proses pencatatan, merupakan suatu ringkasan dari transaksi-transaksi keuangan yang terjadi selama satu tahun buku yang bersangkutan. Laporan keuangan ini dibuat oleh manajemen dengan tujuan untuk mempertanggung jawabkan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya oleh para pemilik perusahaan. Selain itu, laporan keuangan juga digunakan untuk memenuhi tujuan-tujuan yaitu sebagai laporan kepada pihak-pihak di luar perusahaan.

Menurut Standar Akuntansi Keuangan No. 1 (2007:24) terdapat beberapa

karakteristik kualitatif laporan keuangan yang membuat informasi dalam laporan keuangan tersebut berguna bagi pemakainya, yaitu sebagai berikut:

a. Dapat dipahami

Kualitas penting informasi yang ditampung dalam laporan keuangan adalah kemudahannya untuk segera dapat dipahami oleh pemakai dengan asumsi bahwa pemakai memiliki pengetahuan yang memadai tentang akivitas ekonomi dan bisnis, serta kemauan untuk mempelajari informasi dengan ketekunan yang wajar.

b. Relevan

(12)

c. Keandalan

Agar bermanfaat, informasi juga harus andal (reliable). Informasi memiliki kualitas andal jika bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan material, dan dapat diandalkan pemakainya sebagai penyajian yang jujur dari yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar diharapkan dapat disajikan. Keandalan informasi dipengaruhi oleh penyajian yang jujur, substansi

mengungguli bentuk, netralitas, pertimbangan sehat, dan kelengkapan. d. Dapat Dibandingkan

Pemakai harus dapat membandingkan laporan keuangan perusahaan antar periode untuk mengidentifikasi kecenderungan posisi dan kinerja keuangan. Pemakai juga harus dapat membandingkan laporan keuangan antar perusahaan untuk mengevaluasi posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan secara relatif. Oleh karenanya, pengukuran dan penyajian transaksi yang sama harus dilakukan secara konsisten.

Menurut Zaki Baridwan (2000), laporan keuangan yang disusun oleh manajemen: a. Neraca, yaitu laporan yang menunjukan keadaan keuangan suatu perusahan

pada tanggal tertentu.

b. Laporan rugi laba, yaitu laporan yang menunjukan hasil usaha dan biaya-biaya selama suatu periode akuntansi.

c. Laporan perubahan modal, yaitu laporan yang menunjukan sebab-sebab perubahan modal dari jumlah pada awal periode menjadi jumlah modal pada akhir periode.

(13)

2. Pemakai Laporan Keuangan

Sesuai dengan pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 1 (2007:09) dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan bahwa pengguna informasi keuangan antara lain:

a. Investor

Investor membutuhkan informasi keuangan untuk membantu menentukan apakah harus membeli, menahan, atau menjual investasi tersebut. Selain itu, pemegang saham juga menggunakan informasi keuangan untuk menilai kemampuan perusahaan untuk membayar dividen.

b. Karyawan

Karyawan dan kelompok-kelompok yang mewakili mereka tertarik pada informasi mengenai stabilitas dan profitabilitas perusahaan. Mereka juga menggunakan informasi untuk menilai kemampuan perusahaan dalam memberikan balas jasa, manfaat pensiun dan kesempatan kerja. c. Pemberi pinjaman

Pemberi pinjaman membutuhkan informasi keuangan untuk memutuskan apakah pinjaman serta bunganya dapat dibayar pada saat jatuh tempo. d. Pemasok dan kreditur usaha lainnya

Pemasok dan kreditur usaha lainnya tertarik dengan informasi yang memungkinkan mereka untuk memutuskan apakah jumlah yang terhutang akan dibayar pada saat jatuh tempo.

e. Pelanggan

(14)

f. Pemerintah

Pemerintah dan berbagai lembaga yang berada di bawah kekuasaannya membutuhkan informasi untuk mengatur aktivitas perusahaan, menetapkan kebijakan pajak dan menyusun statistik pendapatan nasional.

g. Masyarakat

Laporan keuangan dapat membantu masyarakat dengan menyediakan informasi kecenderungan (trend) dan perkembangan terakhir kemakmuran perusahaan serta rangkaian aktivitasnya.

3. Tujuan Laporan Keuangan

Menurut SFAC (Statement Of Financial Accounting Concepts) No. 1 (Baridwan:2000) dinyatakan bahwa pelaporan keuangan harus menyajikan informasi sebagai berikut:

a. Berguna bagi investor dan kreditor yang ada dan yang potensial dan pemakai lainnya dalam membuat keputusan untuk investasi, pemberian kredit dan keputusan lainnya. Informasi yang dihasilkan harus memadai bagi mereka yang mempunyai pengetahuan yang cukup tentang kegiatan perusahaan. b. Dapat membantu investor dan kreditur yang ada dan yang potensial dan

pemakai lainnya untuk menaksir jumlah, waktu dan ketidakpastian dari penerimaan uang di masa yang akan datang yang berasal dari dividen atau bunga dan dari penerimaan yang berasal dari penjualan, pelunasan, atau jatuh temponya surat-surat berharga atau pinjaman-pinjaman.

(15)

sumber-sumber ke perusahaan lain dan ke pemilik perusahaan), dan pengaruh dari transaksi-transaksi, kejadian-kejadian dan keadaan-keadaan yang

mempengaruhi sumber-sumber dan klaim atas sumber-sumber tersebut.

4. Unsur Laporan Keuangan

Menurut Standar Akuntansi Keuangan (SAK), unsur-unsur yang berkaitan secara langsung dengan pengukuran posisi keuangan antara lain:

a. Aktiva, adalah sumber daya yang dikuasai oleh perusahaan sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari manfaat ekonomi dimasa depan diharapkan akan diperoleh perusahaan.

b. Kewajiban, merupakan hutang perusahaan masa kini yang timbul dari

peristiwa masa lalu, penyelesaiaannya diharapkan mengakibatkan arus keluar dari sumber daya perusahaan yang mengandung manfaat ekonomi.

c. Ekuitas, adalah hak residual atas aktiva perusahaan setelah dikurangi semua kewajiban.

5. Keterbatasan Laporan Keuangan

Sifat dan keterbatasan laporan keuangan menurut Standar Akuntansi Keuangan (SAK) adalah sebagai berikut:

a. Laporan keuangan bersifat historis yaitu merupakan laporan atas kejadian yang sudah lewat. Oleh karena itu, laporan keuangan tidak dapat dianggap sebagai satu-satunya sumber informasi dalam proses pengambilan keputusan. b. Laporan keuangan bersifat umum dan bukan dimaksudkan untuk memenuhi

(16)

c. Proses penyusunan laporan keuangan tidak luput dari penggunaan taksiran dan berbagai pertimbangan.

d. Akuntansi hanya melaporkan informasi yang material.

e. Laporan keuangan hanya bersifat konservatif dalam menghadapi

ketidakpastian terhadap beberapa kemungkinan konklusi yang tidak pasti mengenai penilaian suatu pos, maka lazimnya dipilih alternatif yang menghasilkan laba bersih atau nilai aktiva yang paling kecil.

f. Laporan keuangan lebih menekankan pada makna ekonomi suatu peristiwa atau transaksi daripada bentuk hukumnya.

g. Laporan keuangan disusun menggunakan istilah-istilah teknis akuntansi. h. Adanya berbagai alternatif metode akuntansi yang dapat digunakan

menimbulkan variasi dalam pengukuran sumber-sumber ekonomi dan tingkat kesuksesan antar perusahaan.

i. Informasi yang bersifat kualitatif dan fakta yang tidak dapat dikualifikasikan umumnya diabaikan.

B. Laba

1. Pengertian Laba

(17)

merupakan angka artikulasi dan tidak didefinisikan tersendiri secara ekonomik seperti halnya aktiva atau hutang. Menurut Fisher dan Bed Ford (Utomo, 2006) menyatakan bahwa pada dasarnya ada tiga konsep laba yang umum dibicarakan dan digunakan dalam ekonomi konsep laba tersebut adalah:

a. Psychic income, yang menunjukkan konsumsi barang atau jasa yang dapat memenuhi kepuasan dan keinginan indivisu.

b. Real income, menunjukkan kenaikan dalam kemakmuran ekonomi yang ditunjukkan oleh kenaikan biaya hidup (cost of living).

c. Money income, yang menunjukkan nilai moneter sumber-sumber ekonomi yang digunakan untuk mengkonsumsikan sesuai dengan biaya hidup.

2. Tujuan Pelaporan Laba dan Informasi Laba

Tujuan pelaporan keuangan laba adalah untuk menyediakan informasi yang sangat bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan. Ma’ruf (2006) mengemukakan bahwa informasi laba harus dilihat dalam kaitannya dengan persepsi pengambilan keputusan. Karena kualitas informasi laba ditentukan oleh kemampuannya memotivasi tindakan individu dan membantu pengambilan keputusan yang efektif. Informasi tentang laba perusahaan dapat digunakan sebagai:

a. Indikator efisiensi penggunaan dana yang tertanam dalam perusahaan yang mewujudkan dalam tingkat kembalian (rate of return on invested capital). b. Alat pengukur prestasi manajemen.

c. Dasar penentuan besarnya pengenaan pajak.

(18)

f. Alat motivasi manajemen dalam pengendalian perusahaan. g. Dasar untuk kenaikan kemakmuran.

h. Dasar pembagian dividen.

C. Manajemen Laba (Earning Management)

1. Definisi Manajemen Laba

Sekilas, tampak bahwa manajemen laba berhubungan erat dengan tingkat perolehan laba (earnings) atau prestasi usaha suatu organisasi. Hal ini tidaklah aneh karena tingkat keuntungan atau laba yang diperoleh sering dikaitkan dengan prestasi manajemen di samping memang adalah suatu yang lazim bahwa besar kecilnya bonus yang akan diterima oleh manajer tergantung dari besar kecilnya laba yang diperoleh. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika manajer sering berusaha menonjolkan prestasinya melalui tingkat keuntungan laba yang dicapai.

(19)

Menurut Fischer dan Rosenzweig (1994:31-32) dalam Gumanti (2001), manajemen laba sebagai tindakan manajer dengan menyajikan laporan yang menaikkan (menurunkan) laba periode berjalan dari unit usaha yang menjadi tanggungjawabnya, tanpa menimbulkan kenaikan (penurunan) profitabilitas ekonomi unit tersebut dalam jangka panjang. Dari tiga definisi tersebut di atas, definisi yang ketiga nampaknya memiliki arti yang lebih mendalam dibandingkan dengan definisi yang pertama dan kedua. Definisi yang pertama cenderung mengarahkan bahwa manajemen laba adalah tindakan yang bisa membahayakan keberadaan organisasi di masa mendatang. Hal ini mungkin tidak terlalu tepat, selama manajemen laba tidak hanya berkaitan dengan motivasi individu manajer untuk kepentingan pribadi, tetapi juga bisa untuk kepentingan perusahaan dan manajemen laba tidak harus dikaitkan dengan manipulasi. Sementara itu, definisi kedua terkesan terlalu luas dan tidak secara langsung menunjukkan bahwa

manajemen laba dilakukan untuk kepentingan pribadi. Definisi yang ketiga,

manajemen laba senantiasa dikaitkan dengan upaya untuk ‘memanaje’ pendapatan

atau keuntungan untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang dilandasi oleh faktor-faktor ekonomi tertentu.

Scott (1997) dalam Halim (2005) mendefinisikan manajemen laba sebagai berikut: ”Given managers can choose accounting policies from a set (for example, GAAP) it is natural to expect that they will choose policies so as to

maximize their own utility and/or the market value of the firm”. Dari definisi

(20)

Menurut Schoeder dan Clark, manajemen laba adalah suatu usaha untuk mempengaruhi laba yang dilaporkan dalam jangka pendek dengan harapan manajer dapat mempengaruhi investor dan sebagai alat untuk mencapai beberapa keuntungan pribadi manajemen. Sedangkan Wolk dan Tearney mendefinisikan manajemen laba sebagai usaha memaksimalkan kesejahteraannya dan

menyempurnakan kinerja melalui peningkatan laba dengan segera dan hal ini tidak berlaku untuk kepentingan pemegang saham (Utomo, 2006:40-41).

Menurut Widyaningdyah (2001), manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan (menurunkan) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit tertentu dimana manajer bertanggungjawab tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomis jangka panjang unit tersebut. Sedangkan menurut Copeland (1968:10) dalam Isnanta (2008) mendefinisikan manajemen

laba sebagai “some ability to increase or decrease reported net income at will”.

Dari pernyataan Copeland berarti bahwa manajemen laba mencakup usaha

manajemen untuk memaksimumkan atau meminimumkan laba, termasuk perataan laba sesuai dengan keinginan manajemen.

2. Faktor-Faktor Pendorong Manajemen Laba

Faktor-faktor yang mendorong praktik manajemen laba menurut (Watt and Zimmerman, 1986) dalam Halim (2005), yaitu:

a. Bonus plan hyphotheses

Pada perusahaan yang memiliki rencana pemberian bonus, manajer akan lebih memilih menggeser laba dari masa depan ke masa kini sehingga dapat

(21)

upah yang lebih tinggi untuk masa kini. Dalam kontrak bonus ada dua istilah yang dikenal yaitu cap (tingkat laba tertinggi) dan bogey (tingkat laba

terendah untuk mendapatkan bonus). Jika laba berada di bawah bogey, tidak ada bonus yang diperoleh manajer sedangkan jika laba di atas cap, manajer tidak akan mendapatkan bonus tambahan. Jika laba bersih di bawah bogey, manajer cenderung memperkecil laba dengan harapan memperoleh bonus yang besar pada periode berikutnya, demikian pula jika laba bersih di atas cap. Jadi hanya jika laba bersih berada di antara bogey dan cap, manajer akan berusaha menaikkan laba bersih perusahaan.

b. Debt covenant hyphotheses

Pada perusahaan yang memiliki rasio debt to equity tinggi, manajer perusahaan cenderung untuk meningkatkan pendapatan atau laba. Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal. Perusahaan yang memiliki rasio debt to equity tinggi akan mengalami kesulitan dalam memperoleh dana tambahan dari pihak kreditor. Semakin dekat suatu perusahaan kepada waktu pelanggaran perjanjian utang maka para manajer akan cenderung untuk memilih metode akuntansi yang dapat memindahkan laba periode mendatang ke periode berjalan dengan harapan dapat mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami pelanggaran kontrak utang (Deakin, 1979; Dhival, 1980; Bowen dkk, 1981; Defond dan Jiambalvo, 1994 ). c. Political cost hyphotheses

(22)

Jika laba tinggi maka pemerintah akan segera mengambil tindakan misalnya dengan menaikkan pajak pendapatan perusahaan. Lilis Setyawati (2002) dalam Utomo (2006)menyebutkan bahwa perusahaan yang tumbuh memiliki kecenderungan untuk menurunkan laba, dengan tujuan untuk meminimalkan biaya politik, seperti regulasi dan tuntutan buruh

Selain tiga faktor yang diajukan oleh Watt and Zimmerman (1986) sebagaimana yang dikutip oleh Halim (2005), Scott (1997:296-306), mengemukakan beberapa faktor lain yang memotivasi terjadinya manajemen laba, yaitu:

a. Taxation Motivation (Motivasi Perpajakan)

Perpajakan merupakan salah satu mengapa perusahaan mengurangi laba yang dilaporkan. Tujuannya adalah untuk meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar (Boyton dkk., 1992).

b. Chief Executive Officer (Pergantian CEO)

Biasanya CEO yang akan pensiun atau masa kontraknya menjelang berakhir akan melakukan strategi memaksimalkan jumlah pelaporan laba guna meningkatkan jumlah bonus yang akan mereka terima. Hal yang sama akan dilakukan oleh manajer dengan kinerja yang buruk. Tujuannya adalah untuk menaikkan jumlah laba yang dilaporkan (DeAngelo, 1988; Pourciau, 1993). c. Initial Public Offering (Penawaran Saham Perdana)

(23)

3. Alasan Melakukan Manajemen Laba

Menurut Gumanti (2001), alasan manajer melakukan earning management dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Laba atau earning telah dijadikan sebagai suatu target dalam proses penilaian prestasi usaha suatu departemen secara khusus (manajer) atau perusahaan (organisasi) secara umum.

b. Laba atau tingkat keuntungan merupakan alat untuk mengurangi biaya keagenan (agency cost), dari sisi keagenan (agency theory), dan juga biaya kontrak, dari sisi teori (contacting theory). Misalnya, pada saat keuntungan dijadikan sebagai patokan dalam pemberian bonus, hal ini akan menciptakan dorongan kepada manajer untuk mengatur data keuangan agar dapat menerima bonus seperti yang diinginkan.

c. Keuntungan atau perolehan secara akuntansi (accounting income) untuk pembuatan keputusan oleh banyak pihak, misalnya investor, penyedia dana (kreditor), manajer, pemilik atau pemegang saham, dan pemerintah.

Sedangkan Ma’ruf (2006) mengemukakan alasan dilakukannya manajemen laba karena hal sebagai berikut:

a. Manajemen laba dapat meningkatkan kepercayaan pemegang saham terhadap manajer. Tingkat keuntungan atau laba dikaitkan dengan prestasi manajemen dan juga besar kecilnya bonus yang akan diterima oleh manajer.

(24)

dengan membuat kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan atau laba. c. Manajemen laba dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya

terutama pada perusahaan go publik pada saat IPO.

4. Teknik dan Peluang Manajemen Laba

Teknik manajemen laba menurut Scott (2000) dalam Rahmawati (2006), yaitu: a. Taking a bath

Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan CEO baru dengan melaporkan rugi yang besar sekaligus jika perusahaan mengalami kerugian sehingga dapat menciptakan peluang laba yang besar di masa yang akan datang. Pola ini dapat dijelaskan dalam penelitian mengenai bonus plan hypothesis, dimana manajemen akan meminimalkan laba karena kondisi perusahaan saat itu rugi.

b. Income minimization

Dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat profitabilitas yang tinggi sehingga jika pada laba periode mendatang diperkirakan turun drastis dapat di atasi dengan mengambil laba pada periode sebelumnya. Contoh penerapan pola ini adalah pada saat perusahaan melakukan manajemen laba untuk menghindari political cost hypothesis.

c. Income maximization

(25)

d. Income smoothing

Income smoothing adalah tindakan untuk meratakan laba yang dilaporkan dalam laporan keuangan dengan tujuan pelaporan eksternal terutama bagi investor. Perusahaan meratakan laba untuk mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena umumnya investor menyukai laba yang relatif stabil.

Menurut Ayres (1994) dalam Gumanti (2001), ada tiga teknik atau cara yang bisa dikaitkan dengan munculnya praktek-praktek manajemen laba, yaitu:

a. Manajemen akrual (accruals management).

Hal ini biasanya dikaitkan dengan segala aktivitas yang dapat mempengaruhi aliran kas dan keuntungan yang secara pribadi merupakan wewenang dari para manajer. Contohnya dengan mempercepat atau menunda pengakuan akan pendapatan.

b. Keputusan manajer untuk menerapkan suatu kebijakan akuntansi yang wajib diterapkan oleh suatu perusahaan. Yaitu antara menerapkan lebih awal atau menunda sampai saat berlakunya kebijakan tersebut. Di banyak negara, biasanya untuk suatu kebijaksanaan akuntansi baru yang wajib (mandatory accounting policy), badan akuntansi yang ada (governing accounting bodies) memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk dapat menerapkannya lebih awal dari waktu berlakunya.

c. Perubahan akuntansi secara sukarela (voluntary accounting changes).

(26)

sebaliknya, merubah metode penyusutan aktiva dari metode garis lurus ke metode penyusutan yang dipercepat (accelerated) atau sebaliknya. Walaupun manajer tidak dapat melakukan perubahan metode akuntansi secara sering, mereka dapat melakukan dengan bentuk-bentuk perubahan akuntansi lain yang berbeda baik secara individu maupun bersama untuk beberapa periode.

Unsur-unsur laporan keuangan yang sering dijadikan sasaran perekayasaan atau manipulasi oleh manajemen (Wahyuni, 2008) yaitu, sebagai berikut:

a. Unsur Penjualan

 Saat penjualan faktur. Misalnya, penjualan yang sebenarnya untuk periode yang akan datang, fakturnya dibuat pada periode ini dan akan dilaporkan sebagai penjualan periode ini.

 Pembuatan pesanan atau penjualan fiktif

 Penurunan produk. Misalnya, dengan cara mengklasifikasikan produk yang belum rusak ke dalam kelompok produk rusak dan selanjutnya dilaporkan telah terjual dengan harga yang lebih rendah

b. Unsur Biaya

 Memecah-mecah faktur. Misalnya, faktur untuk suatu pembelian atau pesanan dipecah menjadi beberapa pembelian atau pesanan dan selanjutnya dibuatkan beberapa faktur dan tanggal yang berbeda dan kemudian melaporkannya ke dalam beberapa periode akuntansi yang berbeda.

(27)

Bukti empiris menunjukkan bahwa perusahaan besar cenderung memilih metode akuntansi yang menurunkan keuntungan ( berbasis pada political cost hypothesis) perusahaan yang sedang menghadapi kesulitan hutang cenderung memilih metode akuntansi yang meningkatkan keuntungan (berbasis pada debt equity hypothesis), dan manajer yang bekerja di perusahaan yang menerapkan aturan bonus akan memilih metode akuntansi yang bisa meningkatkan keuntungan.

5. Tujuan Manajemen Laba

Adapun tujuan manajer untuk melakukan manajemen laba menurut Foster (1986) dalam Widiastuti (2008) antara lain:

a. Memperbaiki citra perusahaan di mata pihak luar bahwa perusahaan tersebut memiliki risiko yang rendah.

b. Meningkatkan kepuasan relasi bisnis.

c. Meningkatkan kompensasi bagi pihak manajemen.

d. Meningkatkan persepsi pihak eksternal terhadap kemampuan manajer. e. Memberikan informasi yang relevan dalam melakukan prediksi terhadap laba

yang akan datang.

6. Model Akrual Pilihan Manajemen Laba

Pada dasarnya, definisi operasional dari manajemen laba adalah potensi

(28)

a. Model Healy

Model ini dikembangkan oleh Healy pada tahun 1985 dan merupakan model yang relatif sederhana karena menggunakan total akrual sebagai proksi manajemen laba (Dahlan, 2009). Padahal , total akrual merupakan

penjumlahan discretionary accruals (DA) dan non discretionary accruals (NDA). DA merupakan komponen akrual yang dapat diatur dan direkayasa sesuai dengan kebijakan manajerial. Sementara NDA merupakan komponen akrual yang tidak dapat diatur dan direkayasa sesuai dengan kebijakan manajer perusahaan. NDA dapat dirumuskan seperti di bawah ini:

1 /

1 n TA A

NDAt

b. Model De Angelo

Model De Angelo memprediksi manajemen laba yang dikembangkan oleh De Angelo pada tahun 1986 (Dahlan, 2009). Secara umum model ini

menghitung total akrual (total accruals) sebagai selisih antara laba akuntansi yang diperoleh suatu perusahaan selama satu periode akuntansi dengan arus kas operasi periode bersangkutan atau dirumuskan sebagai berikut:

CFO -NI TAC

Model De Angelo mengukur dan memproksikan manajemen laba dengan NDA, yang dihitung dengan menggunakan total akrual akhir periode yang diskala dengan total aktiva periode sebelumnya atau dirumuskan berikut:

1 1

it it t

(29)

Secara umum seperti hal nya model Healy, model De Angelo menggunakan total akrual periode estimasi sebagai proksi expected non discretionary accruals (NDA). Seandainya NDA selalu konstan setiap saat dan

discretionary accruals (DA) mempunyai rata-rata sama dengan nol selama periode estimasi, maka kedua model ini akan mengukur DA tanpa kesalahan. Namun, apabila NDA berubah dari periode ke periode, maka kedua model ini akan mengukur DA dengan kesalahan. Seandainya kedua model ini mengukur DA dengan lebih tepat maka hal ini tergantung pada sifat proses time series untuk menghasilkan NDA. Seandainya NDA mengikuti proses white noise sepanjang rata-ratanya konstan maka model Healy akan lebih tepat. Namun, bila NDA mengikuti random walk maka model De Angelo yang lebih tepat (Sulistyanto, 2002).

c. Model Jones

Model ini dikembangkan oleh Jones pada tahun 1991 (Dahlan, 2009) dan bertujuan untuk mengendalikan pengaruh perubahan dalam kondisi perusahaan pada akrual bukan pilihan atau dirumuskan berikut:

it it it it it A PPE A v A NDA 1 3 1 2 1 1 Re 1

Dimana NDAit adalah akrual bukan pilihan di tahun t disimbolkan dengan aktiva total keseluruhan; Rev adalah pendapatan di tahun t dikurangi pendapatan di tahun t-1; α1, α2, α3 adalah parameter spesifik perusahaan. Estimasi dari parameter spesifik perusahaan dihasilkan dengan model berikut:

(30)

d. Model Jones yang dimodifikasi

Model ini merupakan tindaklanjut dari model Jones dan dikembangkan oleh Jones, Dechow, Sloan, dan Sweeney pada tahun 1995 (Dahlan, 2009). Untuk dapat mengeliminasi kecenderungan asumsi dalam model Jones guna

mengukur akrual pilihan dengan kesalahan pada saat pilihan dipergunakan terhadap pengakuan pendapatan, model yang dimodifikasi memperhitungkan akrual bukan pilihan selama periode peristiwa (yaitu periode dimana

manajemen laba dihipotesiskan) sebagai berikut:

it it it it it it A PPE A c v A A TA 1 3 1 2 1 1 1 Re Re 1

Dimana Rec adalah piutang bersih di tahun t dikurangi piutang bersih di tahun t-1, dan area-area variabel lainnya di persamaan sebelumnya. Estimasi dari α1, α2, α3 serta akrual bukan pilihan diperoleh dari model yang

dimodifikasi, selama periode estimasi (dimana manajemen laba tidak

sistematis dihipotesiskan). Perbedaan antara kedua model dijelaskan bahwa pendapatan disesuaikan dengan perubahan dalam piutang di periode peristiwa. Model Jones yang asli secara implisit berasumsi bahwa pilihan tidak

dilakukan atas pendapatan baik di periode estimasi maupun di periode

(31)

e. Model Industri

Model industri dikembangkan oleh Dechow pada tahun 1995 (Dahlan, 2009). Model industri melonggarkan asumsi bahwa akrual bukan pilihan adalah konstan dari tahun ke tahun. Model industri berasumsi bahwa variasi dalam penentuan akrual bukan pilihan adalah umum terjadi di antara perusahaan di industri yang sama. Model disajikan sebagai berikut:

1 2

1 ; t t

t TA A

NDA

Dimana NDAt dihitung dengan model Jones dan median; TAt At 1 adalah nilai median dari akrual total di tahun t disimbolkan dengan aktiva total keseluruhan untuk seluruh perusahaan yang tidak diambil contoh di dalam industri klasifikasi industri standar dengan dua digit yang sama (industri j). Parameter spesifik perusahaan β1 dan β2 dihasilkan dari suatu regresi rata-rata biasa dalam suatu pengamatan di periode estimasi. Kemampuan model industri untuk menurunkan kesalahan perhitungan dalam akrual pilihan sangat bergantung pada dua faktor berikut ini:

 Industri menghilangkan variasi yang terdapat di dalam akrual bukan pilihan yang umum terjadi di antara perusahaan dalam industri sejenis. Jika

perubahan akrual bukan pilihan sebagian besar mencerminkan respons terhadap perubahan di kebiasaan yang berlaku khusus bagi perusahaan, maka model industri tidak akan menarik seluruh akrual bukan pilihan.

(32)

7. Proksi Manajemen Laba

Proksi manajemen laba yang lazim digunakan dapat dibedakan menjadi empat kelompok (Widiastuti, 2008), sebagai berikut:

a. Unexpected Accrual (Akrual Diskretioner)

Penggunaan Unexpected Accrual (akrual diskretioner) dipelopori oleh Healy (1985). Akrual diskretioner adalah suatu cara untuk mengurangi/menaikkan pelaporan laba yang sulit dideteksi melalui manipulasi kebijakan akuntansi yang berkaitan dengan akrual, misalnya dengan cara menaikkan biaya amortisasi dan depresiasi, mencatat kekewajiban yang besar atas jaminan produk (garansi), kontijensi, dan potongan harga dan mencatat persediaan yang sudah usang.

b. Spesific Accrual

McNichols dan Wilson (1988), Ahmed, Takeda dan Thomas (1998)

melakukan penelitian bagaimana manajer mempengaruhi laba dengan akrual tertentu. Mereka menggunakan cadangan piutang tak tertagih sebagai proksi manajemen laba.

c. Pilihan Metode Akuntansi

(33)

d. Aktivitas Operasional

Beberapa penelitian melihat manajemen laba dari aktivitas operasional manajer, seperti bagaimana manajer menggeser pembelian persediaan pada tahun yang akan datang untuk dimasukkan ke dalam pembelian tahun ini, bagaimana manajer memilih waktu penjualan aktiva perusahaan dan penundaan pengakuan pendapatan dan percepatan pengakuan biaya.

D. Penelitian Terdahulu Tentang Manajemen Laba

Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan kemungkinan munculnya manajemen laba telah banyak dilakukan oleh para peneliti terdahulu di antaranya adalah penelitian Healy (1985) sebagaimana yang dikutip dalam Gumanti (2001)

mencoba mengungkapkan kemungkinan munculnya manajemen laba, khususnya keterkaitan antara manajemen laba dan pola bonus (bonus schemes) dalam proses pelaporan data keuangan. Healy beranggapan bahwa manajer akan memilih prosedur akuntansi yang meningkatkan keuntungan yang dilaporkan dalam upaya untuk memaksimalkan imbalan bonus. Healy menemukan bukti bahwa ada hubungan yang kuat antara akrual dan dorongan-dorongan tertentu yang mempengaruhi manajer untuk mengatur jumlah pendapatan yang dilaporkan, khususnya manajer akan memilih akrual yang menurunkan pendapatan saat pola bonus berada di bawah atau di atas batasan. Penelitian di Indonesia menunjukkan tidak ada bukti bahwa pada periode sebelum go public pemilik perusahaan

(34)

Aharony et al. (1993) menemukan bukti tambahan yang menyebutkan bahwa praktik manajemen laba cenderung muncul pada perusahaan yang lebih kecil dan mempunyai debt equity ratio tinggi (Gumanti, 2001). Julia Halim, Carmel Meiden dan Rudolf Lumban Tobing (2005) dalam penelitiannya yang menguji pengaruh manajemen laba pada tingkat pengungkapan laporan keuangan pada perusahaan manufaktur yang termasuk dalam indeks LQ-45 dengan menggunakan sampel 34 perusahaan tahun 2001-2002. Hasil penelitiannya menemukan bahwa perusahaan manufaktur yang termasuk indeks LQ-45 terlihat melakukan tindakan manajemen laba. Asimetri informasi, kinerja masa kini dan masa depan, faktor leverage, ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Richardson (1998) dalam Rahmawati (2006) meneliti hubungan asimetri

informasi dan manajemen laba pada semua perusahaan di NYSE periode akhir Juni selama 1988-1992. Hasil penelitiannya bahwa terdapat hubungan yang sistimatis antara asimetri informasi dengan tingkat manajemen laba.

Penelitian Field et al, (2001) yang dikutip dalam Utomo (2006) menemukan bahwa ukuran perusahaan dan leverage secara signifikan mempengaruhi

perubahan metode akuntansi melalui review 14 paper studi konsekuensi ekonomi yang memilih dan menggunakan teknik akuntansi mandatory atau voluntary. Dijelaskan bahwa perubahaan aturan akuntansi yang wajib (mandatory) hanya sedikit dan sebagian tidak dapat dideteksi. Dengan kata lain ukuran perusahaan dan leverage mempengaruhi perilaku manajemen laba. Monitoring dan

(35)

Herawati dan Baridwan (2007) meneliti tentang manajemen laba pada perusahaan yang melanggar perjanjian utang. Pengujian dilakukan terhadap 13 perusahaan manufaktur yang go public tahun 2000-2004 dengan menggunakan proksi discretionary accruals model Jones yang dimodifikasi oleh Dechow et al. (1995) menunjukkan bahwa perusahaan yang melanggar perjanjian utang melakukan praktik manajemen laba dengan menaikkan laba yang dilaporkan pada periode sebelum terjadi pelanggaran yaitu t-1 dan membuktikan bahwa perusahaan yang melanggar perjanjian utang dan perusahaan kontrol sama-sama melakukan manajemen laba pada periode sebelum dan saat terjadi pelanggaran perjanjian utang. Jadi penelitian ini memberikan bukti empiris mengenai tidak adanya kecenderungan perusahaan yang melanggar perjanjian utang melakukan manajemen laba lebih besar daripada perusahaan yang tidak melanggar.

Utomo (2006), melakukan penelitian tentang earning management dalam

(36)

diharapkan investor tertarik terhadap prospek perusahaan kedepan. Hasil

penelitian Utomo (2006) diperkuat oleh Kristinasari (2005) yang meneliti tentang hubungan manajemen laba (earning management) dengan kinerja operasi di sekitar IPO. Hasil pengujian terhadap 39 perusahaan IPO yang go public antara tahun 1995-1997 dengan menggunakan total accruals menunjukkan ada bukti yang kuat atas terjadinya manajemen keuntungan, khususnya pada periode dua tahun sebelum go public. Hal ini berarti issuer telah memilih metode-metode akuntansi yang menaikkan keuntungan yang dilaporkan dengan menerapkan income-increasing discretionary accruals.

Penelitian yang dilakukan oleh Astuti yang menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi manajemen laba di seputar right issue antara tahun 1998-2001. Dengan menggunakan sampel 34 perusahaan membuktikan bahwa hanya variabel leverage yang menunjukkan hasil yang signifikan positif terhadap discretionary accruals. Rata-rata perusahaan yang dijadikan sampel penelitian mempunyai rasio utang dengan aktiva yang tinggi sehingga memotivasi

(37)

E. Teori Keagenan

Agency theory memiliki asumsi bahwa masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan diri sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal (investor) dan agent (manajer) karena tidak bertemunya utilitas yang maksimal antara mereka. Investor sebagai pihak principal mengadakan kontrak untuk memaksimumkan kesejahteraan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Sebagai agent, manajer secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan principal (investor), namun di sisi yang lain manajer juga mempunyai kepentingan memaksimumkan kesejahteraan mereka antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi.

Principal mendelegasikan pertanggungjawaban atas decision making kepada agent, hal ini dapat pula dikatakan bahwa principal memberikan suatu amanah kepada agent untuk melaksanakan tugas tertentu sesuai dengan kontrak kerja yang telah disepakati. Wewenang dan tanggungjawab agent maupun principal diatur dalam kontrak kerja atas persetujuan bersama. Dimana antara agent dan principal ingin memaksimumkan utility masing-masing dengan informasi yang dimiliki. Tetapi di satu sisi, agent memiliki informasi yang lebih banyak (full information) dibanding dengan principal sehingga menimbulkan adanya asimetri informasi. Informasi yang lebih banyak dimiliki oleh manajer dapat memicu untuk

melakukan tindakan tindakan sesuai dengan keinginan dan kepentingan untuk memaksimumkan utilitynya. Sedangkan bagi pemilik modal dalam hal ini

(38)

manajemen karena hanya memiliki sedikit informasi yang ada. Terkadang kebijakan-kebijakan tertentu yang dilakukan oleh manajemen perusahaan tanpa sepengetahuan pihak pemilik modal atau investor. Oleh karena itu sebagai agent, manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada invetor. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Akan tetapi informasi yang disampaikan terkadang diterima tidak sesuai dengan kondisi perusahaan yang sebenarnya. Kondisi ini dikenal dengan asimetri informasi.

F. Tinjauan Teori dan Perumusan Hipotesis

1. Teori Bid-Ask Spread

(39)

Market maker memperoleh kompensasi karena aktivitas membeli dilakukan pada saat harga beli (bid price) lebih rendah daripada true price dan menjual saham pada saat harga jual (ask price) lebih tinggi daripada true price. Perbedaan harga ini disebut bid-ask spread (Stoll, 1989). Abdul dan Nasuhi (2000) dalam

Ambarwati (2008), mendefinisikan bid-ask spread sebagai selisih harga beli tertinggi yang dealer bersedia membeli saham dengan harga jual terendah yang dealer bersedia menjual. Sedangkan bid-ask spread menurut Rahmawati (2006) adalah salah satu ukuran dalam likuiditas pasar yang digunakan secara luas sebagai pengukur asimetri informasi antara manajemen dan pemegang saham perusahaan. Sebagai bukti dari kemampuan bid-ask spread dalam menangkap informasi seputar perusahaan ditunjukkan oleh Healy (1995) yaitu seorang yang melaporkan bukti dari hubungan yang negatif antara bid-ask spread dan kebijakan pengungkapan perusahaan.

Bid-ask spread (Tumirin, 2005) merupakan fungsi dari tiga komponen biaya yang berasal dari:

a. Biaya pemrosesan pesanan(order processing cost) terdiri dari biaya yang dibebankan oleh pedagang sekuritas (efek) untuk persiapan membeli atau menjual saham dan kompensasi untuk waktu yang diluangkan oleh pedagang sekuritas guna menyelesaikan transaksi misalnya, biaya administrasi,

pelaporan, proses komputer, dan lain-lain (Tinic, 1972).

(40)

c. Biaya asimetri informasi (adverse selection cost), disebabkan terdapatnya dua pihak trader yang tidak sama dalam memiliki dan mengakses informasi (Stoll, 1989). Pihak pertama adalah pihak yang memiliki informasi lebih banyak, pihak kedua adalah pihak yang memiliki informasi yang lebih sedikit. Perbedaan dalam informasi ini menyebabkan risiko bagi pihak yang kurang memiliki informasi, sehingga untuk menutup kerugiannya dicerminkan dalam bid-ask spread (Copeland dan Galai, 1983).

Berkaitan dengan bid-ask spread, fokus perhatian akuntan adalah pada komponen adverse selection karena berhubungan dengan penyediaan informasi ke pasar modal. Beberapa penelitian yang dilakukan telah mengembangkan model teoritis yang menghubungkan arus informasi terhadap bid-ask spread. Premis yang diajukan adalah bahwa sebagian investor memiliki lebih banyak informasi mengenai saham dibandingkan pedagang sekuritas. Pedagang efek mengetahui bahwa “informed” investor ini hanya akan berdagang jika dipandang

menguntungkan bagi mereka. Di sisi lain, pedagang sekuritas juga mengetahui bahwa ia akan memperoleh keuntungan bila berdagang dengan investor yang kurang “informed”. Model ini menyatakan bahwa pedagang sekuritas menetapkan bid-ask spread sedemikian rupa sehingga keuntungan yang diharapkan dari pedagang tidak terinformasi dapat menutup kerugian dari

(41)

merefleksikan tingkat risiko asimetri informasi yang dirasakan oleh pedagang sekuritas. Jadi, ketika pedagang sekuritas berdagang dengan pedagang

terinformasi maka biaya transaksi akan meningkat dan adanya asimetri informasi ini akan membawa pada bid-ask spread yang lebih besar.

2. Asimetri Informasi Sebagai Variabel Independen

Asimetri informasi merupakan suatu keadaan dimana manajer memiliki akses informasi atas prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar perusahaan. Jensen dan Meckling (1976) dalam Rahmawati (2006) menambahkan bahwa jika kedua kelompok (agent dan principal) tersebut adalah orang-orang yang berupaya memaksimalkan utilitasnya, maka terdapat alasan yang kuat untuk meyakini bahwa agent tidak akan selalu bertindak yang terbaik untuk kepentingan

principal. Principal dapat membatasinya dengan menetapkan insentif yang tepat bagi agent dan melakukan monitor yang didesain untuk membatasi aktivitas agent yang menyimpang. Menurut Scott (2000) dalam Ujiyantho, terdapat dua macam asimetri informasi, anatara lain:

a. Adverse selection, yaitu para manajer serta orang-orang dalam lainnya biasanya mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan investor pihak luar. Dan fakta yang mungkin dapat

(42)

b. Moral hazard, adalah jenis asimetri informasi dimana satu pihak atau lebih yang melangsungkan atau akan melangsungkan suatu transaksi usaha atau transaksi usaha potensial dapat mengamati tindakan-tindakan mereka dalam penyelesaian transaksi-transaksi mereka sedangkan pihak-pihak lainnya tidak. Moral hazard dapat terjadi karena adanya pemisahan pemilikan dengan pengendaliaan yang merupakan karakteristik kebanyakan perusahaan besar.

Asimetri informasi yang terjadi antara manajer dengan investor sebagai pengguna laporan keuangan menyebabkan investor tidak dapat mengamati seluruh kinerja dan prospek perusahaan secara sempurna. Dalam situasi yang asimetri tersebut, manajer dapat memanfaatkan fleksibilitas yang dimilikinya untuk mempengaruhi angka-angka akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan dengan cara melakukan manajemen laba. Pengungkapan dalam laporan keuangan akan membantu investor memahami isi dan angka yang dilaporkan. Glosten and Milgrom (1985) dalam Ujiyantho mengatakan bahwa peningkatan informasi dalam pengungkapan laporan keuangan akan menurunkan asimetri informasi. Peningkatan pengungkapan menyebabkan fleksibilitas manajer untuk melakukan manajemen laba akan berkurang. Oleh karena itu, hipotesis yang dapat diajukan: Ha : Asimetri informasi berpengaruh secara signifikan terhadap praktik

manajemen laba.

3. Ukuran Perusahaan Sebagai Variabel Kontrol

Menurut Ferry dan Jones dalam Syahriana (2006), ukuran perusahaan

(43)

yang diperoleh. Yunus Hadori (1998: 824) dalam Syahriana (2006) memberikan batasan ukuran sebuah perusahaan berdasarkan atas total aktiva, yaitu:

 Perusahaan dikategorikan besar jika memiliki total aktiva di atas 25 milyar.

 Perusahaan menengah memiliki total aktiva di antara 10 sampai 20 milyar.

 Perusahaan kecil memiliki total aktiva di bawah 10 milyar.

Berdasarkan total aktiva yang dimiliki masing-masing sampel perusahaan menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan dikategorikan berukuran besar karena memiliki total aktiva di atas 25 milyar. Perusahaan yang berskala besar umumnya lebih dikenal oleh masyarakat daripada perusahaan yang berskala kecil (Lee et. al, 1996 dalam Fransiska, 2007) sehingga informasi mengenai perusahaan besar lebih banyak dibandingkan perusahaan berukuran kecil. Bila informasi yang dimiliki investor banyak maka tingkat ketidakpastian yang akan dihadapi oleh calon investor mengenai masa depan perusahaan emiten dapat diperkecil. Oleh karena itu, investor bisa mengambil keputusan lebih tepat bila dibandingkan dengan pengambilan keputusan tanpa informasi.

Perusahaan besar juga mewakili aktivitas operasional yang lebih kompleks dan cenderung memiliki public demand akan informasi yang lebih tinggi sehingga harus mengungkapkan informasi yang lebih banyak untuk mampu memenuhi ekspektasi investor dibanding dengan perusahaan yang berukuran kecil. Perhatian investor terhadap perusahaan besar ditujukan pada kemungkinan adanya

(44)

penerimaan negara. Sedangkan perhatian para analis ekonomi terhadap

perusahaan besar terletak pada peranan dan kontribusi perusahaan terhadap roda perekonomian suatu negara. Moses (1987) dalam Suwito (2005) menemukan bukti bahwa perusahaan yang lebih besar cenderung termotivasi untuk melakukan manajemen laba dengan cara mengurangi laba yang dilaporkan dibandingkan dengan perusahaan yang lebih kecil karena perusahaan yang lebih besar menjadi subyek pemeriksaan (pengawasan yang lebih ketat dari pemerintah dan

masyarakat umum). Hal itu terjadi karena dengan laba yang rendah akan memberikan manfaat dalam bidang pajak serta biaya politik.

(45)

4. Leverage Sebagai Variabel Kontrol

Leverage adalah rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa jauh suatu perusahaan dibiayai oleh pihak ketiga atau seberapa banyak aktiva yang dimiliki oleh suatu perusahaan dibiayai dari utang. Rasio leverage menggambarkan perbandingan antara dana pemilik perusahaan dengan dana dari kreditor. Jika suatu perusahaan memiliki rasio leverage yang rendah kemungkinan untuk rugi akan lebih kecil dalam kondisi ekonomi yang sedang menurun dan juga

memberikan tingkat pengembalian yang lebih rendah pada saat ekonomi sedang membaik atau sebaliknya. Semakin besar rasio leverage, berarti semakin tinggi nilai utang perusahaan. Meskipun perusahaan menanggung resiko kerugian yang tinggi tetapi makin besar rasio leverage akan semakin menguntungkan karena perusahaan berkesempatan untuk memperoleh laba yang meningkat pula. Sebaliknya, bagi pihak bank dan kreditor makin besar rasio ini berarti akan semakin besar risiko yang akan ditanggung atas kegagalan perusahaan yang mungkin terjadi.

Perusahaan yang memiliki rasio leverage tinggi akibat besarnya jumlah utang dibandingkan dengan aktiva yang dimiliki perusahaan, diduga melakukan

manajemen laba karena perusahaan terancam default yaitu tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran utang pada waktunya. Hal ini dilakukan untuk

mendapatkan posisi bargaining yang relatif baik dalam negoisasi atau

(46)

akan menawarkan standar akuntansi yang menurunkan atau menaikkan laba yang dilaporkan. Beda halnya dengan penelitian Lobo dan Zhou (2001) dalam

Fransiska (2007) dan penelitian Gultom (2008) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif signifikan antara leverage perusahaan dengan manajemen laba. Karena semakin besar utang yang dimiliki perusahaan maka semakin ketat

(47)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Data Penelitian

Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode dokumentasi, yaitu memperoleh data dari dokumen berupa laporan keuangan tahunan yang telah diaudit dan ringkasan kerja yang diterbitkan oleh perusahaan manufaktur yang go public dan dipublikasikan oleh Pusat Referensi Pasar Modal (PRPM) yang terdapat di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Indonesian Capital Market Directory (ICMD). Data yang digunakan dalam penelitian ini bersifat time series atau disebut data panel (data pooled), karena mengambil sampel berdasarkan urutan waktu yang diperoleh dari laporan keuangan auditan perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia selama periode 2004-2008.

Penelitian ini menggunakan data sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung melalui perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Jenis data yang digunakan adalah data kuantitatif, yaitu data yang berwujud angka-angka yang kemudian diolah dan diinterpretasikan untuk memperoleh makna dari data tersebut. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: a. Data harga saham

b. Laba bersih

(48)

d. Total aktiva e. Total pendapatan f. Total piutang g. Aktiva tetap h. Total utang

B. Penentuan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2004-2008. Sampel yang

digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan metode purposive judgement sampling yang merupakan tipe pemilihan secara tidak acak (non probabilitas) dimana pengambilan perusahaan sampel dilakukan berdasarkan kriteria (Nur Indriantoro dan B. Supomo, 2002). Adapun kriteria dari sampel penelitian adalah sebagai berikut:

1. Perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode penelitian 2004-2008 dan tidak melakukan restrukturisasi perusahaan, seperti merger dan akuisisi selama periode tersebut.

2. Perusahaan terdaftar sejak tahun 2003 dan tidak di delisting selama periode penelitian (2004-2008).

3. Perusahaan mempublikasikan laporan keuangan secara lengkap dan berturut-turut serta telah diaudit dengan akhir periode keuangan 31 Desember. 4. Menggunakan satuan mata uang rupiah.

(49)
[image:49.595.111.509.149.350.2]

Berikut ini disajikan tabel rincian perusahaan manufaktur berdasarkan kriteria.

Tabel 1. Proses Pemilihan Sampel Penelitian

No. Kriteria Pemilihan Sampel Jumlah

1 Perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2004-2008.

148

2 Perusahaan tidak melaporkan laporan keuangan auditan secara lengkap dan berturut-turut selama periode 2004-2008.

(11)

3 Periode laporan keuangan tidak berakhir 31 Desember. (1) 4 Tidak menggunakan satuan mata uang rupiah. (6) 5 Tidak tersedia data saham selama penelitian. (77)

Jumlah perusahaan manufaktur yang dijadikan sampel. 53

Berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan di atas maka diperoleh jumlah sampel pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama tahun 2004-2008 adalah 53 perusahaan dan jumlah observasi selama 5 tahun tersebut (2004-2008) sebanyak 265 observasi. Adapun daftar nama perusahaan sampel disajikan di bawah ini:

Tabel 2. Daftar Nama Perusahaan Sampel

No Nama Perusahaan Kode

1 PT Ades Alfindo Putrasetia Tbk ADES

2 PT Alumindo Light Metal Industry Tbk ALMI

3 PT Arwana Citra Mulia Tbk ARNA

4 PT Asahimas Flat Glass Co Ltd Tbk AMFG

5 PT Astra International Tbk ASII

6 PT Astra Graphia Tbk ASGR

7 PT Astra Otoparts Tbk AUTO

[image:49.595.113.506.548.741.2]
(50)

No Nama Perusahaan Kode

9 PT Berlina Co Ltd Tbk BRNA

10 PT Betonjaya Manunggal Tbk BTON

11 PT Budi Acid Jaya Tbk BUDI

12 PT Colorpak Indonesia Tbk CLPI

13 PT Daeyu Orchid Indonesia Tbk DOID

14 PT Daya Sakti Unggul Corporation Tbk DSUC

15 PT Duta Pertiwi Nusantara Tbk DPNS

16 PT Dynaplast Tbk DYNA

17 PT Ekadharma Tape Industries Tbk EKAD

18 PT Ever Shine Textile Industry Tbk ESTI

19 PT Fajar Surya Wisesa Tbk FASW

20 PT Gajah Tunggal Tbk GJTL

21 PT Goodyear Indonesia Tbk GDYR

22 PT Gudang Garam Tbk GGRM

23 PT Hexindo Adiperkasa Tbk HEXA

24 PT Indocement Tunggal Perkasa Tbk INTP

25 PT Indofood Sukses Makmur Tbk INDF

26 PT Indospring Tbk INDS

27 PT Intan Wijaya International Tbk INCI

28 PT Jakarta Kyoei Steel Works Ltd Tbk JKSW

29 PT Jaya Pari Steel Tbk JPRS

30 PT Kabel Farma (Persero) Tbk KLBF

31 PT Kageo Igar Jaya Tbk (Igarjaya) IGAR

32 PT Kimia Farma (Persero) Tbk KAEF

33 PT Lautan Luas Tbk LTLS

34 PT Lion Mesh Prima Tbk LMSH

35 PT Metrodata Electronics Tbk MTDL

36 PT Multi Prima Sejahtera Tbk LPIN

37 PT Prima Alloy Steel Tbk PRAS

(51)

No Nama Perusahaan Kode

39 PT Semen Cibinong Tbk SMCB

40 PT Semen Gresik (Persero) Tbk SMGR

41 PT Sepatu Bata Tbk BATA

42 PT Sierad Produce Tbk SIPD

43 PT Sorini Corporation Tbk SOBI

44 PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk SULI

45 PT Suparma Tbk SPMA

46 PT Tembaga Mulia Semanan Tbk TBMS

47 PT Tempo Scan Pacific Tbk TSPC

48 PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk AISA

49 PT Tirta Mahakam Plywood Industry Tbk TIRT

50 PT Trias Sentosa Tbk TRST

51 PT Tunas Baru Lampung Tbk TBLA

52 PT Unilever Indonesia Tbk UNVR

53 PT United Tractors Tbk UNTR

Sumber: Lampiran 1

C. Operasional Variabel Penelitian

1. Variabel Dependen (Y)

(52)

yaitu model Healy, model De Angelo, model Jones, dan model industri memiliki kekuatan uji yang rendah terhadap manajemen laba. Sedangkan model Jones yang dimodifikasi (1995) memiliki kekuatan uji yang kuat terhadap manajemen laba. Discretionary accruals dihitung dengan cara mengurangkan total accruals (TACC) dengan non discretionary accruals. Persamaan model modifikasi Jones tersebut dapat disederhanakan sebagai berikut:

it it it it NDA DA A TA 1

maka it

it it it NDA A TA DA 1

Model pengukuran atas akrual pada penelitian ini dijelaskan (Halim, 2005):

a. Total Accruals

Total accruals pada penelitian ini didefinisikan sebagai selisih antara laba bersih dengan arus kas dari kegiatan operasi.

it it

it NI OCF

TA

TAit : total akrual perusahaan i pada periode t NIit : laba bersih perusahaan i pada periode t

OCFit : arus kas dari kegiatan operasi perusahaan i pada periode t

b. Non Discretionary Accruals

Komponen non discretionary accruals terkait dengan perubahan tingkat aktivitas dan skala aktiva tetap sehingga bukan merupakan sasaran diskresi manajemen. Model non discretionary accruals tersebut sebagai berikut:

(53)

Estimasi dari parameter spesifik perusahaan a1,a2,a3 diperoleh melalui: it it it it it it A PPE A c v A a A TA 1 3 1 2 1 1 1 Re Re 1

NDAit : non discretionary accruals perusahaan i pada tahun t DAit : discretionary accruals perusahaan i pada tahun t

∆Rev : perubahan pendapatan perusahaan i dalam periode ke t-1

∆Rec : perubahan piutang perusahaan i dalam periode ke t-1

PPE : aktiva tetap perusahaan i pada periode t Ait-1 : total aktiva perusahaan i pada periode t-1

3 2 1,a ,a

a : parameter spesifik perusahaan

TAit : total akrual perusahaan i pada periode t

it : sampel error perusahaan i pada periode t

c. Discretionary Accruals

Karena total accruals terdiri dari discretionary accruals dan non discretionary accruals, maka discretionary accruals dapat dirumuskan sebagai berikut:

it it it it NDA A TA DA 1

2. Variabel Independen (X)

a. Asimetri Informasi/SPREAD (X1)

Asimetri informasi diproksi melalui bid-ask spread (Stoll, 1989) dalam

(54)

Bid-ask spread dapat dirumuskan sebagai berikut: 100 2 / x bid ask bid ask SPREAD it it it it it

SPREADit : bid-ask spread perusahaan i pada hari t

askit : harga ask (tawar) tertinggi saham perusahaan i pada hari t bidit : harga bid (minta) terendah saham perusahaan i pada hari t

b. Ukuran Perusahaan (X2)

Ukuran (size) perusahaan diukur dari market capitalization (Halim, 2005) yaitu jumlah lembar saham yang beredar akhir tahun dikalikan dengan harga saham penutupan akhir tahun kemudian hasilnya di-log agar nilai tidak terlalu besar untuk masuk ke dalam model persamaan.

Tahun Akhir Penutupan Saham Harga x Saham Lembar Jumlah Log Size

c. Leverage (X3)

Leverage diukur dengan debt to asset ratio atau total utang tahun t dibagi dengan total aktiva tahun t (Weston dan Copeland, 1996 dalam Widiastuti, 2008).

Aktiva Total Utang Total EV L

D. Pengujian asumsi klasik

(55)

1. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah variabel residual atau pengganggu memiliki distribusi normal. Model regresi yang baik adalah distribusi data normal atau mendekati normal.

Ada dua cara untuk mendeteksi apakah residual berdistribusi normal atau tidak:

 Analisis grafik, dengan melihat normal probability plot yang

membandingkan kumulatif dari distribusi normal. Distribusi normal akan membentuk satu garis lurus diagonal, ploting data residual akan

dibandingkan dengan garis diagonal. Jika distribusi data residual normal, maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya atau menyebar di sekitar garis diagonal. Sedangkan jika pola distribusi tidak normal maka data akan menyebar jauh dari diagonal dan/atau tidak mengikuti arah garis diagonalnya.

 Analisis statistik, dengan melihat nilai kurtosis dn skweness dari residual dan uji statistik non-parametrik Kolmogrov-Smirnov.

2. Uji Multikolinieritas

Uji Multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya hubungan antar variabel independennya. Multikolinieritas dapat menyebabkan standar error akan semakin besar dan meningkatkan tingkat korelasi antar variabel. Jelas bahwa multikolinieritas adalah suatu kondisi yang menyalahi aumsi regresi linier dan multikolinieritas tidak mungkin terjadi

(56)

Inflation Factor) bila nilai VIF kurang dari 10 dan nilai tolerance lebih dari 0,10 maka tidak terdapat gejala multikolinearitas antar variabel independen dalam model regresi dan begitu pula sebaliknya. Besarnya VIF dirumuskan:

Tolerance

VIF 1

3. Uji Autokorelasi

[image:56.595.115.501.497.667.2]

Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah terjadi korelasi (hubungan) antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Autokorelasi dalam konsep regresi linier berarti komponen error berkorelasi berdasarkan waktu (pada data time series) atau urutan ruang (pada data cross sectional). Model regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari autokorelasi. Untuk mengetahui apakah terjadi autokorelasi dalam model regresi, digunakan uji Durbin Watson.

Tabel 3. Klasifikasi Nilai d

Hipotesis nol Keputusan Jika

Tidak ada autokorelasi positif Tidak ada autokorelasi positif Tidak ada korelasi negatif Tidak ada korelasi negatif

Tidak ada autokorelasi, positif/negatif

Tolak No decision

Tolak No decision Tidak ditolak

0 < d < dL dL≤ d ≤ dU 4 – dL < d < 4 4 – dU≤ d ≤ 4 - dL dU < d < 4 - dU Sumber: Tabel 3 Durbin Watson (d Test); Imam Ghozali, 2007

(57)

4. Uji Heterokedastis

Uji heterokedastis bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi masih terjadi ketidaksamaan variance dari suatu residual satu pengamatan ke pengamatan lain. Jika variance dari suatu residual satu pengamatan ke

pengamatan lain tetap, maka disebut homokedastisitas dan jika berbeda disebut heterokedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang homokedastis atau tidak terjadi heterokedastis. Pengujian asumsi heterokedastisitas dilakukan dengan mengamati sebaran titik-titik pada scatterplot. Hal ini dapat dideteksi dengan melihat plot antara nilai taksiran Y dengan nilai residual yang

distandarkan dari sumbu X dan Y yang telah diprediksi tidak membentuk suatu pola tertentu yang jelas (bergelombang, melebar, kemudian menyempit), serta tersebar baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heterokedastis (Singgih, 2007).

E. Pengujian Hipotesis

1. Uji Diskriminan

Sebelum melakukan uji regresi linier berganda terhadap variabel independen dan variabel dependen, terlebih dahulu harus mencari koefisien dari non

(58)

data independen harus berupa data non kategori. Tujuan dari uji diskriminan menurut Imam Ghazali (2006) adalah:

a. Ingin mengetahui apakah ada perbedaan yang jelas antara grup pada variabel dependen atau apakah ada perbedaan antara anggota grup 1 dan grup 2. b. Jika ada perbedaan, variabel independen manakah pada fungsi diskriminan

yang membuat perbedaan itu.

c. Membuat fungsi atau model diskriminan, yang pada dasarnya mirip dengan persamaan regresi.

d. Melakukan klasifikasi terhadap objek, apakah suatu objek (bisa nama orang, benda atau lainnya) termasuk grup 1 atau grup 2 atau lainnya.

Pada prinsipnya, uji diskriminan adalah ingin membuat model yang bisa secara jelas menunjukkan perbedaan antar isi variabel dependen, yang dalam kasus ini adalah perilaku memaksimalkan laba atau meminimalkan laba. Langkah awal dilakukan dengan pengelompokan sampel perusahaan menjadi dua, yaitu sampel perusahaan yang diprediksi memaksimalkan laba dan meminimalkan laba. Pembagian ini didasarkan pada data laporan ke

Gambar

Tabel 2.  Daftar Nama Perusahaan Sampel
Tabel 3.  Klasifikasi Nilai d
Tabel 4.  Hasil Uji Classification Statistics
Tabel 5.  Hasil Uji Statistik Wilk’s Lambda
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengidentifikasikan jenis gas yang dideteksi dalam perancangan ini disesusaikan dengan Tabel 2 Korelasi Antara Neuron Output dengan Jenis Gas, sehingga tujuan akhir

Berdasarkan hasil kesimpulan tentang analisis metode Simple Additive Weighting (SAW) untuk pemilihan desain user interface yang sesuai dengan prinsip Usability , maka

Menurut Wardhani dan Wihardi (2012, h.1.4), penelitian tindakan kelas adalah penelitian yang dilakukan oleh guru didalam kelasnya sendiri melalui refleksi diri,

The Risk Management Commitee members in performing their duies and responsibiliies shall comply with the Company Ethic Standards and are prohibited from taking personal beneits

Melakukan penjumlahan dan juga pengurangan bilangan dua angka sampai dengan 100 Satuan bilangan yang dijumlahkan lebih dari 10, dan satuan bilangan yang dikurangi lebih kecil

Aplikasi simulasi perhitungan kredit akan dibangun menggunakan teknologi smartphone Android , sistem ini mampu menghitung bunga kredit dengan 3 (tiga) metode perhitungan

Berdasarkan pendapat beberapa pakar, Sumarmo (2010) merangkumkan indikator kemampuan komunikasi matematik yang meliputi kemampuan, b) menjelaskan ide, situasi dan relasi

Kebanyakan peneliti berpendapat bahwa fungsi terpenoid rendah dalam tumbuhan lebih bersifat ekologi dari pada fisiologi, tetapi banyak jenis senyawa ini yang menghambat