• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP TERHADAP PELAKU PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor: 313/Pid.B/2011/PN.GS jo 96/Pid/2012/PT.TK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP TERHADAP PELAKU PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor: 313/Pid.B/2011/PN.GS jo 96/Pid/2012/PT.TK)"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

Elsie Viana

ABSTRAK

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP TERHADAP PELAKU PEMBUNUHAN BERENCANA

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor: 313/Pid.B/2011/PN.GS jo 96/Pid/2012/PT.TK)

Oleh

ELSIE VIANA

Pembunuhan berencana adalah suatu tindak pidana yang dipandang sebagai salah satu tindak pidana berat, karena tindak pidana ini telah menghilangkan nyawa orang lain. Perbuatan pembunuhan berencana yang dijatuhi hukuman seumur hidup dipandang sebagian orang sebagai suatu hukuman yang setimpal, tetapi banyak juga yang memandang bahwa pidana seumur hidup adalah hukuman yang cukup berat bagi pelaku pembunuhan berencana. Perdebatan konseptual seputar penggunaan pidana seumur hidup sebagai sarana penanggulangan kejahatan telah muncul sejak berkembangnya "falsafah pembinaan" (treatment philosophy) dalam pemidanaan. Perdebatan tentang pidana seumur hidup semakin meruncing seiring meningkatnya issu global tentang hak asasi manusia. Adapun Permasalahan yang menyangkut Pidana Seumur Hidup Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Berencana, yaitu bagaimanakah penerapan pidana penjara seumur hidup terhadap pelaku pembunuhan berencana dan apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhi pidana seumur hidup terhadap pelaku pembunuhan berencana berdasarkan Studi Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor: 313/Pid.B/2011/PN.GS jo 96/Pid./2012/PT.TK.

(2)

Elsie Viana

analisis kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan Pidana Penjara Seumur Hidup, dalam perkara Nomor: 313/Pid.B/2011/PN.GS jo 96/Pid./2012/PT.TK bahwa terdakwa Antoni bin Sa’ani divonis penjara seumur hidup, dengan pengertian bahwa terdakwa menjalankan masa tahanan sampai selama sisa hidupnya terdakwa, tetapi dengan adanya Keputusan Presiden RI Nomor 69 tahun 1999 tentang Pengurangan Masa Pidana (Remisi). Dalam Pasal 7 ditentukan bahwa narapidana yang dijatuhi pidana seumur hidup, termasuk terdakwa Antoni bin

Sa’ani masih memiliki kemungkinan untuk mendapatkan remisi atau

pengurangan masa pidana dengan ketentuan berkelakuan baik selama menjalani pidananya paling sedikit 5 (lima) tahun berturut-turut. Hakim dalam menjatuhi pidana dikarenakan terdakwa Antoni bin Sa’ani terbukti melanggar Pasal 340 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Antoni

bin Sa’ani adalah karena berdasarkan sudah terpenuhinya unsur-unsur dari

Pasal 340 KUHP. Unsur-unsur tersebut adalah: Barang siapa, dengan sengaja, Dengan rencana terlebih dahulu, dan Merampas nyawa orang lain. Selain itu karena tindak pidana pembunuhan berencana ini dilakukan dengan sadis, dan juga mengingat bahwa tersangka Antoni bin Sa’ani adalah seorang Residivis, yang tengah menjalani masa tahanannya di LP Rajabasa. Serta beberapa hal yang memberatkan. Saran yang akan diberikan penulis berkaitan dengan kasus ini, ialah Hakim harus lebih selektif dalam menjatuhkan vonis kepada terdakwa, karena pidana ini dianggap penulis terlalu berat. Mengingat bahwa terdakwa tidak memiliki kepentingan secara langsung kepada korban Sutrisno Hadi.

(3)

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN PIDANA PENJARA SEUMUR

HIDUP TERHADAP PELAKU PEMBUNUHAN BERENCANA

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor:

313/Pid.B/2011/PN.GS jo 96/Pid/2012/PT.TK)

Oleh

ELSIE VIANA

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP TERHADAP PELAKU PEMBUNUHAN BERENCANA

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor: 313/Pid.B/2011/PN.GS jo 96/Pid/2012/PT.TK)

(Skripsi)

Oleh

ELSIE VIANA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 18

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pidana dan Tujuan Pemidanaan ... 21

B. Pengertian Pidana Seumur Hidup dan Sejarah Pidana Seumur Hidup di Indonesia ... 36

C. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 40

D. Teori tentang Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana ... 43

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 47

B. Sumber dan Jenis Data ... 47

C. Penentuan Populasi dan Sample... 49

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data... 50

E. Analisis Data ... 51

IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden... 52

(6)

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhi Pidana Seumur Hidup terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana (Studi Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih 313/Pid.B/2011/PN.GS

jo 96/Pid./2012/PT.TK)………... 75

V.PENUTUP

A. Kesimpulan... 88 B. Saran... 90

(7)

1.

Tim Penguji

Ketua

:

Firganefi, S.H., M.H.

………

Sekretaris/Anggota

:

Tri Andrisman, S.H., M.H.

………

Penguji Utama

:

Diah Gustiniati M., S.H., M.H.

……

2.

Pj. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S.

NIP. 19621109 198703 1 003

(8)

Judul Skripsi : ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN

PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP

TERHADAP PELAKU PEMBUNUHAN

BERENCANA (Studi Putusan Pengadilan

Negeri Gunung Sugih Nomor:

313/Pid.B/2011/PN.GS jo 96/Pid/2012/PT.TK)

Nama Mahasiswa :

Elsie Viana

Nomor Pokok Mahasiswa : 0912011138

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Firganefi, S.H., M.H.

Tri Andrisman, S.H., M.H.

NIP. 19631217 198803 2 003 NIP. 19611231 198903 1 023

2. Ketua Bagian Hukum Internasional

Diah Gustiniati M., S.H., M.H.

(9)

MOTTO

Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan

berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah

kewajiban setiap orang.

Karena Allah akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan yang

berlaku atas segala sesuatu yang tersembunyi, entah itu baik, entah

itu jahat

(Pengkhotbah 12: 13-14)

Gari gambo molo jinama dais, lam boha ma na denggan.

(Sedangkan lumpur kalau kita pegang akan lengket

di tangan kita, demikianlah perilaku baik itu

pasti mendapat balasan yang baik)

(Pepatah Batak)

By learning to obey, we know to command.

(Dengan belajar untuk patuh, kita tahu

bagaimana untuk memerintah)

(10)

Persembahan

Dengan segenap rasa syukur kepada Tuhan Yesus Kristus

dan sukacita yang luar biasa, penulis mempersembahkan karya

indah ini kepada

Lagu yang tak pernah berujung dalam hidup penulis

Mama, Papa, kaka, dan kedua abang yang senantiasa

memberikan dukungan, mendoakan, dan memberikan limpahan

kasih sayang kepada penulis.

keluarga besar penulis.

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 6 Agustus 1991 sebagai anak keempat dari empat bersaudara, dari Ayah Garden Flower Panggabean dan Ibu Dirima Simarmata.

Penulis menyelesaikan Pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) di TK Santo Lukas II, Jakarta pada tahun 1997. Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Santo Lukas III, Jakarta pada tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Santo Lukas Penginjil, Jakarta, diselesaikan pada tahun 2006 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA N 13 Jakarta Utara lulus pada tahun 2009.

(12)

SANWACANA

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena berkat dan kasih setia-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi dengan judul Analisis Putusan Pengadilan Pidana Penjara Seumur Hidup Terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana (Studi Putusan Pengadilan

Negeri Gunung Sugih Nomor: 313/Pid.B/2011/PN.GS jo 96/Pid/2012/PT.TK) adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., selaku Ketua bagian Hukum Pidana, sekaligus Pembahas Pertama serta Penguji Utama atas kesediaannya dalam memberikan masukan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini; 3. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya

(13)

bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

5. Ibu Dona Raisa, S.H., M.H., selaku Pembahas Kedua atas kesediaannya meluangkan waktu, tenga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

6. Ibu Sri Sulastuti, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik;

7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum, khususnya bagian Hukum Pidana (Bapak Dr. Maroni, S.H., M.H., Ibu Maya Safira, S.H., M.H., Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H., Bapak Naek Siregar, S.H., M.Hum., dan lain-lain), terima kasih atas bimbingan dan masukannya dalam penyelesaian skripsi ini; 8. Mama dan Papa tercinta, terima kasih untuk semua doa, dukungan, semangat,

dan pengorbanan kalian. Kalian orang tua yang luar biasa.

9. Kakakku (Oktaria Panggabean, S.Sos), abangku (Evan Gesmon Panggabean, A,Md, S.E., Nelson Harianja, S.Kom., Romy Kader Panggabean, S.H.) Terima kasih untuk semua doa, dukungan, semangat, dan pertolongan kalian. Aku bangga memiliki kalian.

(14)

11.Teman-teman BARES 2009 (Nico Andreas Simanungkalit, S.H., Handy Sihotang, S.H., Andy Krisno Pakpahan, S.H., Thimotius Silalahi, S.H., Waldi Indrawan Banjarnahor, S.H., Daniel Marbun, S.H., Verdy Firmansyah Tambunan, S.H., Dolly C Sihombing, S.H.) terima kasih atas persahabatan dan kebersamaannya;

12.Kelompok Kecil ANASTASIA (Febrina Pasaribu, S.H., Elfrida Lubis, S.H., Juliana Angelia Sinurat, S.H.) terima kasih atas persahabatan dan kebersamaannya;

13. Teman-teman pengurus Forum Mahasiswa Hukum Kristen periode 2011-2012 (Ada Tua Simbolon, S.H., Dede Maria Hutagalung, S.H., Olfredo Sitorus, S.H., Richard Simanungkalit, S.H., Reni Panjaitan, S.H., Rymni Tambunan, S.H.) terima kasih atas persahabatan, kebersamaan, dan pelayanannya;

14.Teman-teman Forum Mahasiswa Hukum Kristen angkatan 2008 (Revan Timbul Hamonangan Tambunan, S.H., Riri Sinaga, S.H., Christ Inggrit Pasaribu, S.H., Hendra Norman Swarshof Pardede, S.H., Hokkop Dedy Coy Nababan, S.H., Mario Napitupulu, S.H., Tommy Frederick Manurung, S.H., dan lain-lain)

(15)

Nugroho, S.H.,Dopdon Sinaga, S.H., Prisca Samosir, S.H., Nico Silaban, S.H., El Renova Siregar, S.H., Helena Verawati Manalu, S.H., Christin Sidauruk, S.H., Gagari Alfi Yunita Surbakti, S.H., Raymond Orlando Simanjuntak, S.H., Ryan Nadapdap, S.H., Fernanduz Natanael, S.H., Megy Manurung, S.H., dan lain-lain yang tidak mungkin ditulis satu persatu) terima kasih atas persahabatan dan kebersamaanya;

16.Sanak saudara dan sahabat di Jakarta yang telah setia memberikan semangat dan doa (Jerry Apul Fernando Simarmata, S.H., Christi Natalia Sitompul, S.Pd, Dwi Febryanti Rendeng, S.Kom, Vivi Mariani)

17.Kepada semua pihak yang terlibat namun tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 08 April 2013 Penulis

(16)

I.PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembunuhan berencana adalah suatu tindak pidana yang dipandang sebagai salah satu tindak pidana berat, karena tindak pidana ini telah menghilangkan nyawa orang lain. Perbuatan pembunuhan berencana yang dijatuhi hukuman seumur hidup dipandang sebagian orang sebagai suatu hukuman yang setimpal, tetapi banyak juga yang memandang bahwa pidana seumur hidup adalah hukuman yang cukup berat bagi pelaku pembunuhan berencana.

Perdebatan konseptual seputar penggunaan pidana seumur hidup sebagai sarana penanggulangan kejahatan telah muncul sejak berkembangnya "falsafah pembinaan" (treatment philosophy) dalam pemidanaan. Perdebatan tentang pidana seumur hidup semakin meruncing seiring meningkatnya issu global tentang hak asasi manusia.1

Berbagai Negara seperti Norwegia, Portugal, Spanyol perdebatan itu bahkan memuncak pada dicabutnya pidana seumur hidup dari sistem hukum pidananya. Dalam konteks kebijakan kriminal di Indonesia, pidana seumur hidup masih dipandang relevan sebagai sarana penanggulangan kejahatan. Oleh karena itu

1

(17)

jenis pidana ini hampir muncul dalam setiap kebijakan kriminal di Indonesia, khususnya terhadap jenis tindak pidana berat yang dampak sosialnya sangat luas dan kompleks.2

Kebijakan tentang pidana seumur hidup dalam perundang-undangan pidana di Indonesia yang ada selama ini belum mengimplementasikan gagasan keadilan Indonesia. Belum diimplementasikannya nilai-nilai keseimbangan dalam pidana seumur hidup tersebut telah menjadikan pidana seumur hidup dalam kebijakan perundang-undangan pidana Indonesia tidak dapat memberikan keseimbangan perlindungan terhadap individu dan kepada masyarakat. Ketidakmampuan pidana seumur hidup memberikan perlindungan kepada individu dan masyarakat nampak dari:

1. Kebijakan tentang pidana seumur hidup dalam perundang-undangan pidana di Indonesia baik yang ada dalam KUHP maupun dalam perundang-undangan diluar KUHP termasuk dalam ketentuan/aturan pelaksanaannya cenderung hanya diorientasikan pada perlindungan masyarakat sebagai refleksi atas fungsi pidana sebagai sarana pencegah kejahatan.

2. Kebijakan tentang pidana seumur hidup dalam perundang-undangan pidana tidak memberikan kemungkinan modifikasi atas pertimbangan adanya perubahan atau perbaikan pada diri pelaku tindak pidana selama menjalani pidananya. 3

Pidana penjara seumur hidup merupakan bagian dari pidana (penjara), tetap dipertahankannya pidana seumur hidup dalam sistem pemidanaan di Indonesia tidak berarti bahwa pidana seumur hidup telah diterima oleh masyarakat tanpa syarat. Sehubungan dengan hal tersebut Roeslan Saleh menyatakan : Banyak pihak yang merasa keberatan dengan tetap dipertahankannya pidana seumur hidup karena dianggap tidak sesuai dengan ide pemasyarakatan, yaitu dengan putusan

2Ibid 3

Tongat, Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum Pidana Di Indonesia, UMM Press,

(18)

demikian terhukum tidak akan mempunyai harapan lagi untuk kembali ke dalam masyarakat.4

Hulsman bahkan dengan sangat ekstrim menyatakan bahwa : Pidana perampasan kemerdekaan khususnya pidana seumur hidup akan mengakibatkan rantai penderitaan yang tidak saja dirasakan oleh narapidana yang bersangkutan, tetapi juga oleh orang-orang yang kehidupannya tergantung pada narapidana yang bersangkutan.5

Kajian yang membahas masalah pidana seumur hidup secara utuh dapat dikatakan masih sangat jarang, padahal, sebagai jenis pidana berat yang keberadaannya masih mengandung pro dan kontra, pidana seumur hidup terasa sangat mendesak untuk mendapatkan perhatian.

Tiga alasan mendasar pentingnya kajian tentang pidana seumur hidup di Indonesia, yaitu:

a. Pidana seumur hidup sebagai bagian dari pidana penjara bukanlah jenis pidana yang berasal dari hukum pidana (adat) yang ada di Indonesia, akan tetapi berasal dari hukum pidana Belanda. Sebagai jenis pidana yang tidak berakar pada nilai-nilai sosial masyarakat Indonesia, pidana penjara, termasuk didalamnya pidana seumur hidup menjadi sangat mendesak untuk disesuaikan dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat Indonesia;

b. Kebijakan legislative tentang pidana seumur hidup yang ada selama ini mengandung pertentangan filosofis. Secara filosofis pidana penjara sebenarnya hanya bersifat sementara, sebagai tempat untuk mempersiapkan terpidana melakukan readaptasi sosial. Pidana seumur hidup yang ada selama ini cenderung hanya diorientasikan pada upaya perlindungan masyarakat, yang merupakan refleksi atas fungsi pidana sebagai sarana untuk mencegah kejahatan. Sementara perlindungan terhadap individu (pelaku tindak pidana) kurang mendapat perhatian;

4

Butje Tampi, SH, Kebijakan Tentang Pidana Seumur Hidup dalam

Perundang-undangan dan di Lihat dari Aspek Tujuan Pemidanaan, Karya Ilmiah, Universitas Sam Ratulangi, Manado, 2011, hlm. 4.

(19)

c. Penonjolan salah satu aspek dengan mengabaikan aspek yang lain baik individu maupun masyarakat dalam merumuskan tujuan pemidanaan, tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila yang mengutamakan keadilan.6

Terdapat salah satu kasus yang ditemukan di Lampung Tengah, pelaku pembunuhan berencana adalah seorang laki-laki dewasa bernama Antoni Bin

Sa’ani dan korban pembunuhan berencana adalah seorang laki-laki dewasa

bernama Sutrisno Hadi. Berdasarkan hasil wawancara saya dengan Hakim Pengadilan Negeri Gunung Sugih, Iwan Gunawan, S.H., M.H. yang menangani kasus ini. Kronologis peristiwa pembunuhan berencana adalah sebagai berikut:

Kronologis singkat dalam perkara tersebut yaitu Bermula sekira bulan Juli 2010 korban Sutrisno Hadi mendaftarkan diri untuk mengikuti seleksi CPNS Lembaga Pemasyarakatan dengan dibantu oleh saksi Dedi Adrian dengan kesepakatan Sutrisno Hadi menyerahkan uang sebesar Rp. 284.000.000,-. Sampai pada waktu yang dijanjikan korban Sutrisno Hadi tidak diterima sebagai PNS di Lembaga Pemasyarakatan sehingga korban Sutrisno Hadi menagih uangnya namun saksi Dedi Adrian tidak dapat mengembalikan uang tersebut. Pada tanggal 10 September 2011 saksi Dedi Adrian berbincang-bincang dengan terdakwa, yang statusnya adalah seorang narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa. Dari hasil perbincangan mereka, direncanakanlah suatu perbuatan untuk membunuh korban Sutrisno Hadi. Pada hari Senin tanggal 12 September 2011 saksi Dedi Adrian membawa terdakwa keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa guna kepentingan cuti mengunjungi keluarga yang sedang menikah. Selesai mengunjungi pernikahan adiknya, saksi Dedi Adrian mengajak terdakwa ke Bandar Jaya terlebih dahulu sambil menelfon korban Sutrisno Hadi untuk janjian bertemu disana. Sekira pukul 14.00 Wib mereka bertiga sampai di rumah saksi Dedi Adrian dan mengajak saksi Ridwansyah untuk mengendarai mobil Xenia yang dikendarai saksi Dedi Adrian dengan alasan kelelahan. Dan pergilah mereka dengan korban Sutrisno Hadi mengendarai mobil kijang Inova, dan tersangka, saksi Dedi Adrian, dan saksi Ridwansyah mengendarai mobil Xenia dan berjalan didepan mobil korban. Sekira pukul 15.00 Wib saksi Dedi Adrian menghentikan mobilnya di Jalan Celika Kecamatan Gunung Sugih yang diikuti korban Sutrisno. Kemudian saksi Dedi Adrian berjalan ke gubuk dengan alasan ingin buang air besar, diikuti oleh terdakwa. Sebelumnya, terdakwa mengambil besi ulir terlebih

6

Djisman Samosir, Fungsi Pidana Penjara dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia, Bina

Cipta, Bandung. Cetakan pertama, 1992, hal 45. Lihat juga Sudarto, Kapita Selekta Hukum

(20)

dahulu dari mobil dan menyenderkannya ke pohon karet. Lalu Saksi Dedi Adrian berpura-pura meminta tolong kepada korban Sutrisno Hadi untuk mengambilkan tissue dari mobil kedalam gubuk. Ketika korban datang kedalam gubuk, tidak lama kemudian terdakwa mengambil besi ulir yang telah disenderkannya di pohon karet, lalu memukul korban Sutrisno Hadi di bagian leher, mulut dan juga menusukkan ujung besi tersebut ke dahi korban. Saksi Dedi adrian juga ikut menghabisi korban dengan memukul kepala korban. Saksi Ridwansyah juga dipanggil oleh saksi Dedi Adrian untuk keluar dari mobil dan ia juga dipaksa untuk ikut menghabisi korban, karena saksi Ridwansyah merasa takut maka ia mengambil kayu kering dan memukulkannya ke bagian leher korban. Setelah korban tidak berdaya lagi, korban dimasukkan kedalam bagasi mobil Xenia, dibawalah korban ke Kebun Singkong Kali Busuk. Disana korban kembali dihabiskan sampai mereka yakin bahwa korban telah meninggal dunia, korban dipindahkan kedalam mobil Inova dengan sebelumnya semua barang-barang milik korban yang ada didalam tubuhnya diambil oleh terdakwa Antoni bin

Sa’ani. Sesampainya di Jembatan Terminal Bettan Subing saksi Dedi Adrian, terdakwa Antoni bin Sa’ani, serta saksi Ridwansyah menjatuhkan mobil Kijang Inova yang didalamnya terdapat korban Sutrisno Hadi kedalam jurang7

Kasus di atas telah diproses hingga ke Pengadilan Tinggi. Dengan penjatuhan hukuman tetap seumur hidup. Oleh Jaksa Penuntut Umum, terdakwa dituntut sesuai Pasal 340 KUHP yang disepakati oleh keputusan Hakim dengan memperhatikan Pasal 340 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dimana dinyatakan dalam tuntutan pelaku terbukti secara sah dan meyakinkan dengan sengaja melakukan pembunuhan dengan perencanaan terlebih dahulu.

Pelaku tindak pembunuhan yang sudah direncanakan terlebih dahulu sesuai kasus diatas dihukum dengan pidana penjara seumur hidup, sedangkan bila dipandang dari sisi yang berbeda pidana penjara seumur hidup dapat dikatakan telah merampas hak asasi seseorang untuk meneruskan hidupnya.

7

(21)

Perdebatan yang terjadi terhadap pidana seumur hidup menimbulkan pemikiran bagi saya untuk melakukan penulisan mengenai penjatuhan pidana seumur hidup terhadap pelaku pembunuhan berencana yang termuat dalam Pasal 340 KUHP. Menurut KUHP, bahwa pelaku yang melakukan perbuatan pidana Pasal 340 KUHP diancam dengan hukuman mati, atau penjara seumur hidup, atau penjara sementara selama dua puluh tahun. Sedangkan Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor: 313/Pid.B/2011/PN.GS jo 96/Pid./2012/PT.TK tentang pembunuhan berencana pelaku dikenakan pidana seumur hidup. Oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas bagaimana penerapan pidana penjara seumur hidup terhadap pelaku pembunuhan berencana dan apa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhi pidana seumur hidup terhadap pelaku pembunuhan berencana dalam putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor: 313/Pid.B/2011/PN.GS jo 96/Pid./2012/PT.TK.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti membatasi masalah yang menyangkut Pidana Seumur Hidup Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Berencana, yaitu sebagai berikut:

(22)

b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhi pidana seumur hidup terhadap pelaku pembunuhan berencana (Studi Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor: 313/Pid.B/2011/PN.GS jo 96/Pid./2012/PT.TK) ?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian meliputi hukum pidana materil : lingkup pembahasan mengenai bagaimana penerapan pidana penjara seumur hidup terhadap pelaku pembunuhan berencana, dan apa dasar pertimbangan hakim memutus pidana seumur hidup dalam putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor: 313/Pid.B/2011/PN.GS jo 96/Pid./2012/PT.TK Tahun penelitian dilakukan Tahun 2013.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pertanyaan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk:

1) Untuk mengetahui bagaimana penerapan pidana penjara seumur hidup terhadap pelaku pembunuhan berencana

(23)

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini yaitu:

a. Karya tulis ini diharapkan menambah dan memperkaya literatur-literatur yang telah ada sebelumnya, khususnya tentang penerapan pidana seumur hidup dalam hukum pidana Indonesia. Karya tulis ini diharapkan juga menjadi bahan acuan untuk mengadakan penelitian yang lebih mendalam lagi.

b. Di samping itu diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka menyempurnakan peraturan-peraturan di bidang hukum pidana, mengenai pidana seumur hidup.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. Pada setiap penelitian selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Hal ini karena adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis dan konstruksi data.8

8

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. 1983. Jakarta,

(24)

Beberapa teori yang berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Teori Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya.9

Berdasarkan pengertian tersebut dapat diartikan bahwa orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukkan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.

Pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana adalah kemampuan bertanggung jawab seseorang terhadap kesalahan. Unsur pertama adalah kemampuan bertanggung jawab yang dapat diartikan sebagai implementasi tanggung jawab seseorang untuk menerima setiap resiko atau konsekuensi yuridis yang muncul sebagai akibat tindak pidana yang telah dilakukannya, sedangkan unsur kedua adalah kesalahan yang dapat diartikan sebagai unsur kesengajaan, kelalaian, atau kealpaan.

9

(25)

1. Kemampuan bertanggung jawab

Kemampuan bertanggung jawab harus memuat unsur :

a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk sesuai hukum dan yang melawan hukum (intellectual factor)

b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tadi (valitional factor)

Menurut Roeslan Saleh, orang yang mampu bertanggung jawab harus memenuhi tiga syarat :

a. Dapat menginsyafi makna perbuatannya;

b. Dapat menginsyafi bahwa perbuatan itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat;

c. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.

Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya orang yang mampu bertanggungjawablah yang dapat dikenakan pertanggungjawaban. Seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab bilamana :

a. Keadaan jiwanya

a) Tidak terganggu oleh penyakit terus menerus atau sementara; b) Tidak cacat dalam pertumbuhan (ideot, imbecile, dsb);

(26)

b. Kemampuan jiwanya

a) Dapat menginsyafi hakikat dari perbuatannya;

b) Dapat menentukan kehendaknya atau tindakan tersebut (apakah akan dilaksanakan/tidak);

c) Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.

Seorang pelaku tindak pidana tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban terhadap perbuatannya, apabila terdapat alasan-alasan pemaaf (kesalahannya ditiadakan) dan alasan-alasan pembenar (sifat melawan hukumnya ditiadakan) yang dasar-dasarnya ditentukan dalam KUHP, sebagai berikut:

a. Alasan pemaaf/ kesalahannya ditiadakan

a) Jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit (Pasal 44 KUHP) b) Pengaruh daya paksa (Pasal 48 KUHP)

c) Pembelaan terpaksa karena serangan (Pasal 49 KUHP) d) Perintah jabatan karena wewenang (Pasal 51 KUHP) b. Alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum

a) Keadaan darurat (Pasal 48 KUHP)

b) Terpaksa melakukan pembelaan karena serangan terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain (Pasal 49 KUHP)

c) Perbuatan yang dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP)

(27)

2. Kesengajaan/kelalaian atau kealpaan

Bentuk atau corak kesengajaan ada 3 macam, yaitu: a. Sengaja dengan maksud (Dolus Directus)

Yaitu apabila si pelaku memang menghendaki dengan maksud akibat perbuatan yang dilakukan sesuai dengan sempurna.

b. Sengaja dengan kepastian

Yaitu apabila si pelaku mengetahui dari perbuatannya yang dilakukan akan timbul atau pasti terjadi akibat lain dari perbuatan yang dilakukan.

c. Sengaja dengan kemungkinan (Dolus Evertualis)

Yaitu apabila si pelaku dapat memperkirakan kemungkinan yang timbul akibat lain dari perbuatan yang dilakukan dan ternyata kemungkinan tersebut benar-benar terjadi. 10

Hubungan kemampuan bertanggung jawab dengan perbuatan yang dilakukan merupakan masalah kesengajaan, kealpaan serta alasan pemaaf sehingga mampu bertanggung jawab harus mempunyai kesengajaan atau kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsur kesalahan dari semua unsur kesalahan. Jadi harus dihubungkan pula dengan tindak pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:

10

(28)

a. Melakukan perbuatan pidana; b. Mampu bertanggung jawab; c. Dengan sengaja atau kealpaan; d. Tidak adanya alasan pemaaf;11

(2) Teori Dasar Pertimbangan Hakim

Hakim dalam melaksanakan tugasnya harus bebas dan tidak boleh terpengaruh atau memihak kepada siapapun. Jaminan kebebasan ini juga diatur dalam berbagai peraturan, yaitu dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan:

“Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”12

.

Hal diatas ditegaskan kembali dalam pengertian kekuasaan kehakiman yang disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut hakim dalam memeriksa seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana pada proses persidangan harus

11

Roeslan Saleh. 1981. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Aksara Baru. Jakarta.

12

(29)

memperhatikan hal-hal seperti yang tercantum di dalam Pasal 3-10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 sebagai berikut:

Pasal 3 menentukan:

(1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.

(2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.13

Pasal 4 menentukan:

(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

(2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.14

Pasal 5 menentukan:

(1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

(2) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.

(3) Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.15

Pasal 6 menentukan:

(1) Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan, kecuali undang-undang menentukan lain.

(2) Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap

(30)

dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.16

Pasal 7 menentukan:

Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.17

Pasal 8 menentukan:

(1) Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.18

Pasal 9 menentukan:

(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.

(2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang.19

Pasal 10 menentukan:

(31)

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.20

Undang-Undang memberikan syarat-syarat kepada hakim dalam menjatuhkan pidana bagi seseorang. Syarat-syarat tersebut adalah:

a) Karena pembuktian yang sah menurut undang-undang;

b) Untuk dikatakan terbukti dengan sah sekurang-kurangnya harus dua alat bukti yang sah;

c) Adanya keyakinan hakim;

d) Orang yang melakukan tindak pidana (pelaku) dianggap dapat bertanggungjawab;

e) Adanya kesalahan melkukan tindak pidana yang didakwakan atas diri pelaku tindak pidana tersebut.21 Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggungjawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya. Penetapan dan putusan tersebut harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.

Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa hakim wajib memutuskan tiap-tiap perkara, menafsirkan atau menjelaskan undang-undang jika tidak jelas dan

20

Lihat Pasal 10 UU No 48 Tahun 2009

21

Lihat Pasal 183 KUHP

22

(32)

melengkapinya jika tidak lengkap. Tetapi penafsiran hakim mengenai undang-undang dan ketentuan yang dibuatnya itu, tidak mempunyai kekuatan mengikat umum, tapi hanya berlaku dalam peristiwa-peristiwa tertentu. Karena itu secara prinsip, hakim tidak terikat oleh putusan-putusan hakim lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka Hakim bebas bertindak untuk menjatuhkan sanksi pidana yang tepat terhadap pelaku pembunuhan berencana menurut kebenaran dan keyakinannya.

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau akan diteliti.23

Berdasarkan definisi di atas maka peneliti akan melakukan analisis pokok-pokok bahasan dalam penelitian ini dan memberikan batasan pengertian yang berhubungan dengan judul skripsi, yaitu: “Analisis Putusan Pengadilan

Pidana Penjara Seumur Hidup Terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana”.

Adapunn batasan pengertian dari istilah yang digunakan sebagai berikut : a. Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan

penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.24

23

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. 1986. Jakarta, Rajawali, hlm. 132

24

(33)

b. Putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa atau perselisihan, dalam arti putusan merupakan produk pengadilan dalam perkara-perkara contentiosa, yaitu produk pengadilan yang sesungguhnya. Disebut jurisdiction contentiosa, karena adanya 2 (dua) pihak yang berlawanan dalam perkara (penggugat dan tergugat).25

c. Pidana Penjara Seumur Hidup adalah pidana penjara yang dijalankan sampai berakhirnya usia/meninggalnya terpidana yang bersangkutan.26 d. Pembunuhan berencana adalah kejahatan merampas nyawa manusia lain,

atau membunuh, setelah dilakukan perencanaan mengenai waktu atau metode, dengan tujuan memastikan keberhasilan pembunuhan atau untuk menghindari penangkapan.27

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pemahaman terhadap proposal skripsi ini serta keseluruhan, maka disusun sistematika penulisan sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang penulisan skripsi, permasalahan dan ruang lingkup penulisan skripsi, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

25

http://smjsyariah89.wordpress.com/2011/06/20/penetapan-dan-putusan/, dikunjungi tanggal 15 Maret 2013 pukul 06:10

26

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6203/pengertian-pidana-kurungan,-pidana-penjara,-dan-pidana-seumur-hidup, dikunjungi tanggal 15 Maret 2013 pukul 06:13

27

(34)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan bab pengantar yang menguraikan tentang pengertian-pengertian umum dari pokok bahasan yang memuat tinjauan mengenai pengertian pidana dan tujuan pemidanaan, pengertian pidana seumur hidup dan sejarah pidana seumur hidup di Indonesia, pertanggungjawaban pidana, teori tentang dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhi pidana.

III. METODE PENELITIAN

Merupakan bab yang berisi uraian metode yang digunakan dalam skripsi ini yang meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(35)

V. PENUTUP

(36)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pidana dan Tujuan Pemidanaan

1. Pengertian Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu stafbaarfeit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan tindak pidana tersebut. Tindak Pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud in-abstracto dalam peraturan pidana. Sedangkan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup di masyarakat secara konkret.1

Pengertian straafbaarfeit menurut Simons dalam rumusannya adalah Tindakan yang melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah

1

Tri Andrisman, Hukum Pidana, 2009, Penerbit Universitas Lampung, Bandar Lampung,

(37)

dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. Rumusan pengertian tindak pidana (straafbaarfeit) yang dinyatakan oleh Simons juga diatur dalam asas hukum pidana Indonesia, yaitu asas legalitas (principle of legality) atau dalam bahasa latin biasanya dikenal dengan Nullum Delictum Noella Poena Sine Praevia Lege Poenali. Maksudnya bahwa Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan,2 ketentuan yang senada dengan asas tersebut juga diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu: Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan tersebut.

Barda Nawawi Arief menyatakan tindak pidana secara umum dapat diartikan sebagai perbuatan yang melawan hukum baik secara formal maupun secara materiil. Menurut Wirjono Projodikoro, pengertian tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana, sedangkan menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana, bagi yang melanggar perbuatan tersebut.3 Jadi perbuatan yang dapat dikenakan pidana dibagi menjadi 2 (dua), yakni perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan orang yang melanggar larangan itu.

W.P.J Pompe, berpendapat bahwa menurut hukum positif tindak pidana (strafbaat feit) adalah tidak lain daripada feit, yang diancam pidana dalam ketentuan Undang-undang (volgens ons positieve recht ist het strafbaat feit niets anders dat een feit, dat in oen wettelijke strafbepaling als strafbaar in

2

http://www.forumkami.net/pendidikan/214589-pengertian-tindak-pidana.html#ixzz1xmBx6EOd, dikunjungi pada tanggal 18 November 2012 pukul 21:23 WIB

(38)

omschreven). Menurut teori, tindak pidana (strafbaat feit) adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. Dalam hukum positif, demikian Pompe, sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan kesalahan (schuld) bukanlah sifat mutlak untuk adanya tindak pidana (strafbaat feit). Untuk penjatuhan pidana tidak cukup dengan adanya tindak pidana, akan tetapi di samping itu harus ada orang yang dapat dipidana. Orang ini tidak ada, jika tidak ada sifat melawan hukum atau kesalahan. Pompe memisahkan tindak pidana dari orangnya yang dapat dipidana, atau berpegang pada pendirian yang positief rechtelijke.

Menurut Moelyatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut untuk terjadinya perbuatan/tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur adanya perbuatan (manusia), yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (hal ini merupakan syarat formil, terkait dengan berlakunya Pasal 1 (1) KUHP), dan bersifat melawan hukum (hal ini merupakan syarat materiil, terkait dengan ikutnya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif).4 Sedangkan Wirjono Prodjodikoro mengungkapkan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.5

Pada hakikatnya, tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang perundang-undangan yang ada dan ada suatu konsekuensi sanksi pidana bagi para pelakunya. Tetapi jika melihat dari berbagai pandangan yang ada mengenai pengertian tindak pidana oleh para ahli kita bisa melihat adanya

4

Tri Andrisman, op. cit, hlm. 70

5Ibid,

(39)

perbedaan pandangan. Perbedaan pandangan tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian pandangan, yaitu:

a. Pandangan monistis, yaitu pandangan yang tidak memisahkan antara pengertian perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana b. Pandangan dualistis, yaitu pandangan yang memisahkan antara

dilarangnya suatu perbuatan pidana (criminal act atau actus reus) dan dapat dipertanggungjawabkannya si pembuat (criminal responsibility atau mens rea). 6

H.L. Packer sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief dalam bukunya "The limits of criminal sanction", akhirnya menyimpulkan antara lain sebagai berikut:

1. Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupundi masa yang akan datang, tanpa pidana. (The criminal sanction is indispensable; we could not, now or in the foreseeable future, get along without it);

2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. (The criminal sanction is the best available device we have for dealing with gross and immediate harms and threats of harm); 3. Sanksi pidana suatu ketika merupakan 'penjamin yang utama/ terbaik'

dan suatu ketika merupakan 'pengancam yang utama' dari kebebasan manusia. la merupakan penjamin apabila diguna-kan secara hemat-cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam, apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. (The criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used providently and humanely, it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it is threatener).7

Hak negara untuk menjatuhkan pidana yang berupa pengenaan nestapa (derita) yang diberikan dengan sengaja kepada pelaku tindak pidana itu mendapat tanggapan yang berbeda, pada satu pihak penjatuhan pidana tersebut dipandang sebagai suatu hal yang tidak dapat dibenarkan dan di

6

Ibid

7

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,

(40)

pihak lain ada pula yang berpandangan bahwa penjatuhan pidana itu dapat dibenarkan (diterima). Keberatan terhadap pengenaan pidana ini menurut Jan Remmelink didasarkan kepada:

1. Keberatan religius

Leo Tolstoi, seorang filsuf Rusia misalnya, berpendapat bahwa kita tidak mungkin menghukum dengan nurani bersih. Mereka yakin bahwa orang-orang jahat jangan dilawan atau ditolak, orang-orang seperti itu yang membenci kita justru harus dikasihi.

2. Keberatan biologis

Kewenanangan untuk menghukum juga ditolak dari pandangan fatalis-materialistis, yang menyebutkan bahwa kiranya meru-pakan kekeliruan untuk memandang perilaku manusia sebagai tindakan yang bersumber dari kehendak bebas sehingga mereka dianggap harus bertanggung jawab. Fenomena kesadaran dan juga karena itu kehendak harus dipandang sebagai produk sampingan proses fisiologi otak manusia, dan hanya seolah-olah muncul dari kemampuan manusia menimbang untung-rugi dan memilih antara baik dan buruk. Beranjak dari pandangan di atas, maka gagasan pertanggungjawaban harus ditolak dan pidana dianggap suatu campur tangan yang buruk.

3. Kategori ketiga mempertanyakan kewenangan negara untuk menghukum karena negara sendiri yang secara langsung maupun tidak menetapkan syarat-syarat atau batasan tentang kriminalitas. Keberatan ini diajukan oleh Thomas Morus (filsuf Inggris) kepada raja Hendrik VIII.8

Berkaitan dengan pidana, di Indonesia terdapat bentuk pidana yang dimuat dalam Pasal 10 KUHP. Bentuk pidana sebagaimana diatur Pasal 10 KUHP adalah :

a. Pidana pokok yang terdiri dari : 1. Pidana mati

Pidana mati adalah puncak dari segala pidana, pidana ini banyak dipersoalkan antara golongan yang pro dan kontra. Salah satu keberatan terhadap pidana mati yaitu sifatnya yang mutlak, sifatnya yang tidak

8

(41)

mungkin untuk mengadakan perubahan dan perbaikan apabila pidana ini telah dijatuhkan.

2. Pidana penjara

Pidana penjara merupakan pidana utama (pidana pokok) diantara pidana-pidana kehilangan/pembatasan kemerdekaan. Pasal 12 KUHP ayat 1; menentukan bahwa pidana penjara ini dapat seumur hidup atau sementara, ayat 2; menentukan bahwa pidana penjara untuk sementara itu paling sedikit satu hari dan selama-lamanya 15 tahun, ayat 3; menentukan pidana penjara 15 tahun dapat dipertinggi lagi sampai 20 tahun berturut-turut yakni dalam hal-hal :

a) Kejahatan yang pidananya mati, penjara seumur hidup;

b) Dari sebab tambahan pidana, karena gabungan kejahatan (concursus) dan pengulangan kejahatan;

c) Terjadinya kegiatan seperti dimaksud dalam Pasal 52 (pemberatan karena jabatan) dan 52a (pemberatan karena dengan memakai bendera seragam) sedangkan pada ayat 4 menentukan batas yang paling tinggi yaitu 20 tahun.

3. Pidana kurungan

(42)

a) Hal ini jelas ditentukan oleh Pasal 69 KUHP bahwa perbandingan beratnya pidana pokok yang tidak sejenis oleh urutan susunan dalam Pasal 10 KUHP;

b) Ancaman pidana kurungan lebih ringan dari pada pidana penjara, maksimal 1 tahun,Pasal 18 (1) dan Pasal 18 (2) KUHP menentukan bahwa pidana kurungan boleh dijatuhkan selama-lamanya 1 tahun 4 bulan dalam hal mana terjadi gabungan peristiwa pidana (concursus), dan karena ulangan peristiwa pidana.

4. Pidana denda

Pidana denda hampir ada pada semua tindakan pelanggaran yang tercantum buku III KUHP. Terhadap kejahatan-kejahatan ringan pidana denda diancamkan sebagai alternatif pidana kurungan, namun bagi kejahatan-kejahatan berat jarang sekali diancam dengan pidana denda.

5. Pidana tutupan

(43)

dari pada rumah penjara, misalnya dapat kita baca pada Pasal 33 (2) yang menyatakan makanan orang-orang hukuman penjara.

6. Pidana tambahan terdiri dari : a) Pencabutan hak-hak tertentu

Perlu kita ketahui bahwa pencabutan segala hak yang dipunyai/diperoleh seseorang sebagai warga negara yang dapat menyebabkan kematian perdata tidak diperkenankan oleh UU, lihat pasal 3 BW. Hak-hak yang dapat dicabut telah dapat ditentukan dalam Pasal 35 KUHP, yaitu :

(a)Hak memegang pada umumnya atau jabatan tertentu; (b)Hak masuk angkatan bersenjata;

(c)Hak memilih dan dipilih yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;

(d)Hak menjadi penasehat atau pengurus menurut hukum;

(e)Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampu atas anak sendiri;

(f)Hak menjalankan pencaharian tertentu.

b) Perampasan barang-barang tertentu

(44)

c) Pengumuman keputusan hakim.

Sebenarnya tiap-tiap putusan dengan pintu terbuka dan secara umum, tetapi kadang-kadang perlu supaya putusan itu sampai luas diketahui umum. Misalnya seorang dokter bersalah karena kealpaannya mengakibatkan matinya orang lain dan putusan hakim itu diumumkan pula sebagai pidana tambahan, maka publik akan diperingatkan terhadap kepercayaannya pada dokter. Biasanya ini dilakukan dengan mengumumkan putusan itu dalam surat kabar, dimana biaya untuk pelaksanaan pengumuman ini ditanggung oleh si terhukum.

2. Tujuan Pemidanaan

Berbicara masalah eksistensi pidana seumur hidup dalam hukum pidana di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kajian terhadap tujuan pemidanaan. Kajian terhadap tujuan pemidanaan akan mengantarkan pada pemahaman tentang seberapa jauh sanksi pidana relevan dan karenanya patut dipertahankan dalam sistem hukum pidana. Mengenai tujuan pemidanaan dapat digolongkan dalam tiga jenis teori, yaitu teori pembalasan, teori tujuan dan teori gabungan :9

a. Teori Pembalasan (teori absolute)

Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan suatu tindak pidana. Terhadap pelaku tindak pidana mutlak harus diadakan pembalasan yang berupa pidana, tidak dipersoalkan akibat

9

E.Y.Kanter. dan S.R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan

(45)

dari pemidanaan bagi terpidana. Bahan pertimbangan untuk pemidanaan hanyalah masa lampau, maksudnya masa terjadinya tindak pidana itu. Teori pembalasan ini terbagi lima lagi, yaitu :

a) Pembalasan berdasarkan tuntutan mutlak dari etika

Teori ini dikemukakan oleh Immanuel Kant yang mengatakan bahwa pemidanaan adalah merupakan tuntutan mutlak dari kesusilaan (etika) terhadap seorang penjahat yang telah merugikan orang lain.

b) Pembalasan bersambut

Teori ini dikemukakan oleh Hegel, yang menyatakan bahwa hukum adalah perwujudan dari kemerdekaan, sedangkan kejahatan adalah merupakan tantangan kepada hukum dan keadilan. Menurut Hegel untuk mempertahankan hukum yang merupakan perwujudan dari kemerdekaan dan keadilan, kejahatan-kejahatan secara mutlak harus dilenyapkan dengan memberikan pidana kepada penjahat.

c) Pembalasan demi keidahan dan kepuasan

Teori ini dikemukakan oleh Herbart, yang mengatakan bahwa pembalasan merupakan tuntutan mutlak dari perasaan ketidakpuasan masyarakat, sebagai akibat dari kejahatan, untuk memidana penjahat, agar ketidakpuasan masyarakat terpulihkan kembali.

d) Pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan (agama)

(46)

terpeliharanya pri keadilan Tuhan. Cara mempertahankan pri keadilan Tuhan ialah melalui kekuasaan yang diberikan Tuhan kepada penguasa Negara.

e) Pembalasan sebagai kehendak manusia

Teori ini dikemukakan oleh J.J. Rousseau, Grotius, yang mendasarkan pemidanaan juga sebagai perwujudan dari kehendak manusia. Menurut ajaran ini adalah merupakan tuntutan alam bahwa siapa saja yang melakukan kejahatan, dia akan menerima sesuatu yang jahat.

b. Teori Tujuan (teori relative)

Berbeda dengan teori pembalasan, maka teori tujuan mempersoalkan akibat-akibat dari pemidanaan kepada penjahat atau kepentingan masyarakat, dipertimbangkan juga pencegahan untuk masa mendatang. Dipandang dari tujuan pemidanaan teori ini dibagi sebagai berikut :

a) Pencegahan terjadinya suatu kejahatan dengan mengadakan ancaman pidana yang cukup berat untuk menakut-nakuti. Cara ini ditujukan secara umum, artinya kepada siapa saja agar takut melakukan kejahatan, dengan demikian disebut juga sebagai prevensi umum. Paul Anselm van Feuerbach yang mengemukakan teori ini dengan nama paksaan psikologis (psychology dwang), mengakui juga bahwa hanya dengan mengadakan ancaman pidana saja tidak akan memadai, melainkan diperlukan penjatuhan pidana kepada si penjahat.

(47)

kembali ke lingkungan masyarakat dalam keadaan mental yang lebih baik dan berguna. Cara perbaikan penjahat dikemukakan ada tiga macam yaitu : perbaikan intelektual, perbaikan moral, dan perbaikan juridis. Penganut-penganut teori ini antara lain Grolman, Van Krause, Roder dan lain-lain.

c) Menyingkirkan penjahat dari lingkungan pergaulan masyarakat (onschadelijk maken). Caranya ialah, kepada penjahat yang sudah kebal kepada ancaman pidana yang berupa usaha menakuti, supaya dijatuhi perampasan kemerdekaan yang cukup lama, bahkan jika perlu dengan pidana mati. Dengan demikian ia tersingkirkan dari pergaulan masyarakat. Penganut teori ini antara lain adalah Ferri, dan Garofalo. d) Menjamin ketertiban hukum (rechstorde). Caranya ialah mengadakan

norma-norma yang menjamin ketertiban hukum. Kepada pelanggar norma-norma tersebut, Negara menjatuhkan pidana. Ancaman pidana ini akan bekerja sebagai peringatan. Jadi diletakkan pada bekerjanya pidana sebagai pencegahan. Penganut teori ini antara lain Frans Vonlitz, Van Hamel, Simons dan lain-lain.

c. Teori Gabungan

(48)

a) Sukar menentukan berat/ringannya pidana, atau ukuran balasan tidak jelas.

b) Diragukan adanya hak Negara untuk menjatuhkan pidana sebagai alasan.

c) Hukuman (pidana) sebagai pembalasan tidak berguna bagi masyarakat.

Terhadap teori tujuan :

a) Pidana hanya ditujukan untuk mencegah kejahatan, sehingga dijatuhkan pidana yang berat baik oleh teori pencegahan umum maupun teori pencegahan khusus.

b) Jika ternyata kejahatan itu ringan, maka penjatuhan pidana yang berat, tidak memenuhi rasa keadilan.

c) Bukan hanya masyarakat yang harus diberi kepuasan tetapi juga kepada penjahat itu sendiri.

Maka oleh karena itu, tidak saja hanya mempertimbangkan masa lalu (seperti yang terdapat dalam teori pembalasan), tetapi juga harus bersamaan mempertimbangkan masa datang (seperti yang dimaksudkan pada teori tujuan).

Dengan demikian penjatuhan suatu pidana harus memberikan rasa kepuasaan, baik bagi hakim maupun kepada penjahat itu juga sendiri di samping kepada masyarakat. Jadi harus ada keseimbangan antara pidana yang dijatuhkan dengan kejahatan yang telah dilakukan.

(49)

prinsip menghukum yang berorientasi ke belakang ke arah gagasan/ide membina yang berorientasi ke depan. Menurut Roeslan Saleh10, pergeseran orientasi pemidanaan disebabkan oleh karena hukum pidana berfungsi dalam masyarakat. Hukum pidana mencerminkan gambaran masanya dan bergantung pada pikiran-pikiran yang hidup dalam masyarakat.

Untuk lebih memahami pergeseran orientasi pemidanaan yang terjadi dalam hukum pidana, berikut ini akan dikemukakan secara singkat berbagai aliran yang berkembang dalam hukum pidana yang melandasi adanya pergeseran tersebut:

a. Aliran Klasik

Aliran ini muncul sebagai reaksi atas kesewenang-wenangan penguasa pada abad ke-18 di Perancis dan Inggris, yang banyak menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Aliran ini menghendaki hukum pidana yang tersusun secara sistematis dan menitikberatkan pada perbuatan dan tidak kepada orang yang melakukan tindak pidana. Dengan orientasi pada perbuatan yang dilakukan, aliran ini menghendaki pidana yang dijatuhkan itu seimbang dengan perbuatan tersebut.Secara ekstrim dapat dikatakan, bahwa aliran klasik dalam pemberian pidana lebih melihat kebelakang.

Beberapa tokoh aliran ini dapat disebut misalnya, Cesare Beccaria, yang lahir di Italia pada tanggal 15 Maret 1738 dengan karyanya yang sangat terkenal yaitu Dei Delicti e delle pene (1764) yang diterbitkannya pertama

10

(50)

di Inggris tahun 1767 dengan judul On Crimes And Punishment. Bertolak dari filsafat kebebasan kehendak, Cesare Beccaria melalui karyanya memberikan sumbangan pemikiran yang sangat besar dalam pembaharuan peradilan pidana dengan doktrin pidana harus sesuai dengan kejahatan. Tokoh lain aliran ini adalah Jeremy Bentham (1748-1832), seorang filosof Inggris. 11

b. Aliran Modern

Aliran ini timbul pada abad ke-19 dengan tokoh-tokohnya Lambroso, Lacassagne, Ferri, Von List, A. Prins Dan Van Hamel. Berbeda dengan aliran klasik, aliran ini berorientasi pada pelaku tindak pidana dan menghendakinya adanya individualisme dari pidana, artinya dalam pemidanaan harus diperhatikan sifat-sifat dan keadaan pelaku tindak pidana.

Aliran ini disebut juga aliran positif karena dalam mencari sebab kejahatan menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif (mempengaruhi pelaku tindak pidana kearah yang positif/ke arah yang lebih baik) sejauh ia masih dapat diperbaiki. Dengan orientasi yang demikian maka aliran modern sering dikatakan mempunyai orientasi ke masa depan.12

c. Aliran Neo Klasik

Di samping beberapa aliran tersebut di atas, perlu dikemukakan disini adanya suatu aliran yang berasal dari aliran klasik yaitu aliran neo klasik.

11

Tongat, Op.cit, hlm 61.

12Ibid

(51)

Menurut aliran ini, pidana yang dihasilkan oleh aliran klasik terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan yang berkembang saat itu. Untuk itu aliran ini merumuskan pidana minimum dan mengakui apa yang dinamakan asas-asas tentang keadaan yang meringankan (principle of extenuating circumstances).13

B. Pengertian Pidana Seumur Hidup dan Sejarah Pidana Seumur Hidup di Indonesia

1. Pengertian Pidana Seumur Hidup

Salah satu jenis pidana yang ada dalam sistem hukum pidana di Indonesia sebagaimana ditentuka dalam Pasal 10 KUHP adalah pidana penjara yang berdasarkan Pasal 12 ayat (1) terdiri dari pidana penjara seumur hidup dan pidana selama waktu tertentu.

Pidana penjara adalah pidana yang berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan yang menyebabkan orang tersebut harus menaati semua peraturan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar.14 Berkaitan dengan pidana penjara ini di dalam Pasal 12 KUHP dinyatakan :

1. Pidana penjara lamanya seumur hidup atau selama waktu tertentu.

2. Pidana penjara selama waktu tertentu sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.

13Ibid

.

14

(52)

3. Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya boleh dipilih hakim antara pidana mati, pidana penjara seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; demikian juga dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahan pidana karena gabungan (concursus), pengulangan (residive) atau karena yang ditentukan pasal 52. 4. Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari

duapuluh tahun.

Berdasarkan ketentuan Pasal 12 KUHP di atas terlihat, bahwa untuk pidana penjara selama waktu tertentu undang-undang/KUHP telah secara tegas memberikan batasan tentang jangka waktunya, yaitu maksimal 15 tahun berturut turut dan minimal satu hari. Berbeda dengan jenis pidana penjara selama waktu tertentu yang secara eksplisit atau secara tegas ditentukan batas waktu antaranya, undang-undang (KUHP) tidak secara eksplisit memberikan batasan tentang jangka waktu pidana seumur hidup.

(53)

Pengertian seperti ini dapat dilihat dari pendapat Barda Nawawi Arief yang

menyatakan : “Dilihat dari sudut penjatuhan pidana dan juga dari sudut

terpidana, pidana seumur hidup itu bersifat pasti (definite sentence) karena si terpidana dikenakan jangka waktu yang pasti (a definite period of time), yaitu menjalani pidana penjara sepanjang hidupnya”15

Karena sifatnya yang pasti itu menurut Roeslan Saleh, orang menjadi keberatan terhadap pidana seumur hidup. Sebab dengan putusan yang demikian, terpidana tidak akan mempunyai harapan lagi kembali ke dalam masyarakat.16 Bertolak dari uraian di atas terlihat, bahwa dalam hal pidana penjara selama waktu tertentu, KUHP menganut sistem indefinite, yaitu sistem pidana yang tidak ditentukan secara pasti (indefinite sentence). Sistem ini dapat dilihat dalam rumusan ancaman pidana dalam pasal perundang-undangan pidana di Indonesia khususnya dalam KUHP, dimana dalam setiap rumusan ancaman pidana hanya ditentukan maksimum (khusus) pidana yang dijatuhkan. Sementara dalam hal pidana seumur hidup, KUHP menganut sistem pidana yang ditentukan secara pasti (definite sentence), karena terpidana dikenakan jangka waktu yang pasti (a definite period of time), yaitu menjalani pidana sepanjang hidupnya.

2. Sejarah Pidana Seumur Hidup di Indonesia

Dalam berbagai literatur hukum yang membahas tentang sejarah sistem pidana dan pemidanaan di Indonesia akan nampak bahwa di Indonesia dahulu tidak dikenal jenis pidana penjara, termasuk pidana seumur hidup. Sejarah

15

Tongat, Op.cit, hlm 37

16

(54)

sistem pidana dan pemidanaan di Indonesia yang dapat ditelusuri dari jaman Majapahit tidak mencatat adanya jenis pidana penjara dalam sistem pidana dan pemidanaannya. Pidana yang dikenal pada masa Majapahit adalah :

a. Pidana Pokok : a) Pidana mati

b) Pidana potong anggota badan yang bersalah c) Denda

d) Ganti kerugian atau panglicawa atau patukucawa b. Pidana Tambahan :

a) Tebusan b) Penyitaan

c) Uang pembeli obat atau patibajampi:17

Menurut Koesnoe, pidana penjara baru dikenal di Indonesia ketika VOC (Verenigde Oast Indische Compagnie) memperkenalkan lembaga bui pada tahun 1602 yang kemudian dilanjutkan pada jaman Hindia Belanda menjadi pidana penjara. Keberadaan pidana penjara semakin eksis dalam sistem hukum pidana di Indonesia dengan adanya unifikasi WvS (Wetboek van Strafrecht) di Indonesia dengan Stb. 1915-1732 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1918. Dengan diberlakukannya Wvs di Indonesia maka secara resmi pidana penjara termasuk pidana seumur hidup menjadi salah satu pidana yang ada dalam sistem hukum pidana di Indonesia.

Berdasarkan pemaparan di atas terlihat, bahwa pidana penjara termasuk pidana seumur hidup merupakan produk hukum barat, bukan produk asli bangsa Indonesia dan karenanya tidak berasal dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia.

17

(55)

C. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Dipidananya seseorang tidak cukup jika seseorang telah memenuhi unsur tindak pidana saja. Meskipun telah melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana dan bersifat melawan hukum (formil, materiil), serta tidak ada alasan pembenar, hal tersebut belum memenuhi syarat bahwa orang yang melakukan tindak pidana harus mempunyai kesalahan. Untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, maka terdakwa haruslah:

c. Melawan perbuatan pidana d. Mampu bertanggung jawab

e. Dengan sengaja atau kealpaan, dan f. Tidak ada alasan pemaaf 18

Pertanggungjawaban adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana, harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana.19

(56)

Pertanggungjawaban itu diminta atau tidak, adalah persoalan kedua, tergantung kebijakan pihak yang berkepentingan untuk memutuskan apakah dirasa perlu atau tidak untuk menuntut pertanggungjawaban tersebut. Masalah ini menyangkut subjek tindak pidana yang umumnya telah dirumuskan oleh pembuat undang-undang. Kenyataannya memastikan siapakah yang bersalah sesuai dengan proses sistem peradilan pidana.

Perbuatan melawan hukum belum cukup untuk menjatuhkan hukuman. Harus ada pembuat (dader) yang bertanggung jawab atas perbuatannya. Pembuat harus ada unsur kesalahan dan bersalah itu adalah pertanggungjawaban yang harus memenuhi unsur:

a. Perbuatan yang melawan hukum,

b. Pembuat atau pelaku dianggap mampu bertanggung jawab atas perbuatannya (unsur kesalahan),

c. Tidak adanya alasan yang menghapuskan kesalahan20

Pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang adalah untuk menentukan kesalahan dari tindak pidana yang ia lakukan itu. Jadi disamping orang telah melakukan tindak pidana masih diperlakukan kesalahan padanya. Asas pertanggungjawaban pidana berbunyi : tiada pidana tanpa kesalahan. Arti kesalahan pertama-tama dasar kesalahan dicari hubungan batin orang yang melakukan perbuatan itu sendiri dengan perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian orang beranggapan bahwa kesalahan dalam hukum pidana adalah sama dengan kesengajaan dan kealpaan, yang berarti ada hubungan batin antara orang yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya. 21

20

Tri Andrisman, Op.cit, hlm 95

21

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan dalam skripsi ini meliputi 2 (dua) hal yaitu ; (1) Apakah pembuktian unsur pasal dakwaan Jaksa Penuntut Umum telah sesuai dengan fakta – fakta yang terungkap dalam

Jika dilihat dari tuntutan, Jaksa Penuntut Umum meyakini bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa Amir Fauzi lebih sesuai dengan kriteria unsur dalam Pasal 12 huruf c Undang-Undang

Terdakwa dalam kasus ini telah terpenuhi unsur-unsur yang bisa dilaksanakan suatu hukuman, unsur yang pertama bahwa ada sebuah perbuatan yang dilakukan yaitu

B/2019/PN Kag yakni diantaranya adalah semua unsur dalam Pasal 340 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke – 1 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana KUHP dan Pasal