• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI KEBIJAKAN PELAYANAN RAWAT JALAN TINGKAT PERTAMA PADA PROGRAM JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT SEMESTA DI PUSKESMAS KOTABUMI I KABUPATEN LAMPUNG UTARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EVALUASI KEBIJAKAN PELAYANAN RAWAT JALAN TINGKAT PERTAMA PADA PROGRAM JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT SEMESTA DI PUSKESMAS KOTABUMI I KABUPATEN LAMPUNG UTARA"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI KEBIJAKAAN PELAYANAN RAWAT JALAN TINGKAT PERTAMA PADA PROGRAM JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT

SEMESTA DI PUSKESMAS KOTABUMI I KABUPATEN LAMPUNG UTARA

Oleh MAYA UTARI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA ILMU PEMERINTAHAN

Pada

Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

(2)

ABSTRACT

THE EVALUATION OF POLICY OF FIRST LEVEL OUTPATIENT HEALTH SERVICE IN UNIVERSAL PUBLIC HEALTH INSURANCE

PROGRAM IN KOTABUMI I IN NORTH LAMPUNG REGENCY By

MAYA UTARI

Increasing health costs influence the ability of poor people to obtain health

service, while ideally health is a public basic right the government should provide.

The objective of this research was to evaluate achievement of the goals of First

Level Outpatient Health Service policy in Universal Public Health Insurance

(Jamkesta) in Kotabumi I public health center of North Lampung regency. This

was a qualitative research taking informants from Kotabumi I public health center

and poor people receiving poor people health insurance program (jamkesmas).

The results showed that the policy of first level outpatient health service in

Jamkesta program in Kotabumi I public health center in North Lampung regency

had been in accordance to the goals. It was proven by: (1) access of health service

for poor people in Jamkesta program in Kotabumi I public health center had been

achieved because geographically the public health center location was reachable

by public. Financially, poor people did not expense costs for obtaining first level

outpatient health services; (2) health service quality for poor people in Jamkesta

(3)

poor people in Jamkesta program had been achieved because public health center

had conducted public health center standards and did not discriminate poor people

who received Jamkesta program; (4) a healthy and productive people had been

established in the Jamkesta program in Kotabumi I public health center, because

(4)

ABSTRAK

EVALUASI KEBIJAKAN PELAYANAN RAWAT JALAN TINGKAT PERTAMA PADA PROGRAM JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT

SEMESTA DI PUSKESMAS KOTABUMI I KABUPATEN LAMPUNG UTARA

Oleh MAYA UTARI

Meningkatnya biaya kesehatan (berobat), berdampak pada ketidakmampuan

masyarakat miskin untuk memperoleh pelayanan kesehatan, padahal secara ideal

kesehatan adalah hak dasar bagi masyarakat yang harus dipenuhi oleh pemerintah.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi tercapai atau tidaknya tujuan

kebijakan Pelayanan Rawat Jalan Tingkat Pertama pada Program Jaminan

Kesehatan Masyarakat Semesta di Puskesmas I Kotabumi Kabupaten Lampung

Utara. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan mengambil

informan yang terdiri dari pihak Puskesmas I Kotabumi dan masyarakat miskin

penerima program Jamkesmas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pelayanan rawat jalan tingkat

pertama pada Program Jamkesta di Puskesmas Kotabumi I Kabupaten Lampung

Utara telah tercapai sesuai tujuan, dibuktikan dengan: (1) Akses pelayanan

kesehatan kepada seluruh masyarakat miskin dalam Program Jamkesta di

Puskesmas Kotabumi I telah tercapai karena secara geografis, lokasi Puskesmas

(5)

kepada seluruh masyarakat miskin dalam Program Jamkesta di Puskesmas

Kotabumi I telah tercapai, karena melalui program ini masyarakat memperoleh

layanan pemeriksanaan kesehatan, obat-obatan serta fasilitas kesehatan dari

Puskesmas. (3) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat sesuai standar

dalam Program Jamkesta di Puskesmas Kotabumi I telah tercapai karena pihak

Puskesmas telah melaksanakan standar pelayanan puskesmas dan tidak

membeda-bedakan pelayanan dan fasilitas kepada masyarakat miskin penerima program

Jamkesta. (4) Terciptanya masyarakat yang sehat dan produktif dalam Program

Jamkesta di Puskesmas Kotabumi I telah tercapai karena meningkatkan angka

(6)
(7)
(8)
(9)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Kegunaan Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

A. Evaluasi Kebijakan... 10

1. Tipe-Tipe Evaluasi Kebijakan Publik ... 11

2. Dimensi Evaluasi Kebijakan Publik ... 12

3. Fungsi Evaluasi Kebijakan Publik ... 14

4. Kriteria Evaluasi Dampak Kebijakan... 15

5. Evaluasi Terhadap Dampak Kebijakan ... 20

6. Indikator Evaluasi Kebijakan ... 27

B. Kebijakan ... 27

1. Pengertian Kebijakan Publiik ... 27

2. Ciri-Ciri Kebijakan... 29

3. Isu/Masalah Publik ... 29

4. Proses Kebijakan Publik ... 31

C. Program Jamkesta ... 33

1. Pengertian Program Jamkesta ... 33

2. Tujuan dan Sasaran Program Jamkesta ... 34

3. Implementasi Program Jamkesta ... 34

(10)

B. Fokus Penelitian ... 40

C. Informan Penelitian ... 41

D. Jenis Data ... 42

E. Teknik Pengumpulan Data ... 42

F. Teknik Pengolahan Data ... 43

G. Teknik Analisis Data ... 43

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 45

A. Keadaan Umum Puskesmas Kotabumi I Kabupaten Lampung Utara ... 45

B. Visi dan Misi Puskesmas Kotabumi I ... 46

C. Program Puskesmas Kotabumi I ... 47

D. Tujuan dan Sasaran Puskesmas Kotabumi I ... 48

E. Strategi Puskesmas Kotabumi I ... 49

F. Uraian Tugas dalam Organisasi Puskesmas Kotabumi I ... 51

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 57

A. Meningkatkan Akses Pelayanan Kesehatan Kepada Seluruh Masyarakat Miskin ... 57

B. Meningkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Kepada Seluruh Masyarakat Miskin ... 66

C. Terselenggaranya Pelayanan Kesehatan Masyarakat Sesuai Standar... 73

D. Terciptanya Masyarakat Yang Sehat dan Produktif... 90

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 104

A. Kesimpulan ... 104

B. Saran ... 105

(11)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemberlakuan otonomi daerah pada dasarnya menuntut Pemerintah Daerah

untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang berorientasi pada upaya

mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan,

pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya

saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,

keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Menurut Jefferson Rumajar (2006: 9):

Otonomi daerah memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakatnya atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku. Sesuai Pasal 14 Ayat (1) butir (e) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota salah satunya adalah penanganan bidang kesehatan. Hal ini berarti pemerintah daerah kabupaten/kota dituntut untuk menyelenggarakan suatu sistem pelayanan kesehatan yang dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat

Fenomena yang berkembang di masyarakat adalah semakin meningkatnya

biaya kesehatan (berobat), berdampak pada ketidakmampuan masyarakat,

khususnya masyarakat miskin untuk memperoleh pelayanan kesehatan.

(12)

jumlahnya kerena tidak mampu membayar biaya kesehatan, sehingga banyak

masyarakat miskin yang menderita penyakit akut dan seharusnya

mendapatkan penanganan medis secara baik, yaitu harus dioperasi atau

dirawat tidak dapat fasilitas tersebut karena mereka tidak mampu membayar

biaya rumah sakit yang mahal.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menjamin akses

penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan. Menurut Departemen

Kesehatan Republik Indonesia (2005: 11):

Sejak tahun 1998 pemerintah melaksanakan upaya pemeliharaan kesehatan penduduk miskin dengan pengembangan Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) pada tahun 1998-2001, Program Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PDPSE) pada tahun 2001, Program Kompensasi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) pada tahun 2002-2004. Melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No: 1241/Menkes/XI/ 2004, pada awal tahun 2005 ditetapkan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) bagi penduduk miskin melalui pihak ketiga yaitu PT Askes (Persero)

Selanjutnya menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2005: 13):

Tahun 2005 adalah masa transisi pelaksanaan Program Jamkesmas bagi masyarakat miskin atau yang sering disebut Askeskin. Dalam pelaksanaannya ditemukan masalah, terutama karena perbedaan masyarakat miskin yang dikelola PT Askes (Persero) dengan yang terdata di setiap daerah. Masalah lain yang muncul adalah keterbatasan dana yang yang diperoleh Puskesmas terutama untuk menggerakkan kegiatan-kegiatan di luar gedung dan pelayanan UKM lainnya termasuk revitalisasi Posyandu, program imunisasi dan operasional Puskesmas dan jaringannya. Upaya perbaikan dilakukan setiap tahun dan Program Akeskin dilanjutkan sampai 2007

Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah tersebut sesuai dengan tujuan

pembangunan kesehatan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan yaitu untuk meningkatkan

(13)

terwujud derajat kesehatan yang optimal. Upaya kesehatan yang semula dititik

beratkan pada upaya penyembuhan penderita berangsur-angsur berkembang

ke arah keterpaduan upaya kesehatan yang menyeluruh.

Pemerintah terus berupaya meningkatkan kualitas tenaga medis agar rakyat

mendapatkan pelayanan yang baik. Tentu saja masih ada sejumlah agenda,

program aksi, yang dilakukan Departemen Kesehatan bersama dengan

pemerintah daerah. Untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat secara

merata, pemerintah mengembangkan desa sehat dan desa siaga dengan

meningkatkan partisipasi dan kontribusi masyarakat. Setelah sarana dan

prasarana kesehatan mencapai daerah pelosok dan menjangkau masyarakat

yang membutuhkan, maka diharapkan di kawasan perkotaan dapat dibangun

rumah sakit modern dengan kualitas kelas dunia agar masyarakat tidak perlu

lagi berobat ke luar negeri.

Program Jaminan Kesehatan Semesta merupakan kelanjutan dari Program

Jamkesmas bagi masyarakat miskin yang sebelumnya bernama Asuransi

Kesehatan untuk Masyarakat Miskin (Askeskin) untuk menghilangkan kesan

bahwa itu program PT Askes, namun PT Askes tetap menjadi mitra, tetapi

tugasnya lebih ringan, penyelenggaraan pelayanan kesehatan gratis tersebut.

Mulai tahun 2009 dilakukan dengan mekanisme baru, di mana PT Askes tidak

lagi ditugasi melakukan pengelolaan keuangan program dan hanya dibebani

tugas mengelola kepesertaan, praverifikasi peserta dan pelayanan program,

sedangkan kegiatan verifikasi yang meliputi verifikasi pelayanan, keuangan

(14)

direkrut oleh pemerintah melalui Dinas Kesehatan di daerah, dananya

disalurkan langsung dari kas negara ke rekening rumah sakit melaui bank

yang ditunjuk pemerintah.

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2012: 3):

Sasaran Jamkesta adalah masyarakat miskin dan masyarakat tidak mampu di seluruh wilayah Republik Indonesia yang membutuhkan pelayanan kesehatan di puskesmas dan jaringannya, posyandu serta layanan rujukan medis lanjutan di rumah sakit pemerintah dan swasta yang ditunjuk, kecuali masyarakt yang memiliki jaminan pemeliharaan/asuransi kesehatan lainnya

Demikian pula halnya dengan Kabupaten Lampung Utara, Program Jamkesta

dituangkan ke dalam Keputusan Bupati Lampung Utara Nomor:

B/215/11-LU/HK/2012 yang meliputi pelayanan kesehatan dasar, pelayanan rawat jalan

tingkat pertama, pelayanan kesehatan rawat inap tingkat pertama, pelayanan

rujukan dan pelayanan tingkat lanjut. Hal ini selaras dengan pembangunan

kesehatan yang menyangkut upaya peningkatan kesehatan (promotif),

pencegahan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) secara

menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan, bersama antara pemerintah dan

masyarakat, dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

kemampuan hidup sehat bagi masyarakat. Tingkat kesehatan merupakan

pencerminan kesehatan perorangan, kelompok dan masyarakat, bukan saja

bebas dari penyakit tetapi tercapainya kesejahteraan fisik, sosial dan mental.

Salah satu jenis pelayanan dalam Program Jamkesta di Kabupaten Lampung

Utara, yaitu pelayanan rawat jalan tingkat pertama, yaitu pelayanan kesehatan

(15)

a. Pemeriksanaan kesehatan dan konsultasi kesehatan

b. Pelayanan pengobatan umum

c. Pelayanan gigi termasuk cabut dan tambal

d. Penanganan gawat darurat

e. Tindakan medis/operasi kecil

f. Pelayanan laboratorium dasar dan penunjang diagnostik dasar lainnya

g. Pemberian obat

h. Rujukan

(Sumber: Keputusan Bupati Lampung Utara Nomor: B/215/11-LU/HK/2012)

Berdasarkan prariset di Puskesmas Kotabumi I Kabupaten Lampung Utara,

maka dapat diidentifikasi beberapa masalah dalam penelitian ini, yaitu sebagai

berikut:

1. Kebijakan Pelayanan Rawat Jalan Tingkat Pertama pada Program Jaminan

Kesehatan Masyarakat Semesta di Puskesmas Kotabumi I Kabupaten

Lampung Utara dilaksanakan dengan prosedur yang cukup rumit.

Masyarakat yang menggunakan fasilitas Jamkesmas ini harus melengkapi

beberapa persyaratan administratif untuk mendapatkan layanan, di

antaranya fotokopi KTP, fotokopi kartu peserta Jamksesmas, fotokopi

kartu keluarga, fotokopi surat keterangan tidak mampu dari pemerintah

desa setempat dan mengisi formulir yang disediakan petugas. Pada

umumnya masyarakat mengeluhkan banyaknya persyaratan administrasi

yang harus dipenuhi, sedangkan mereka harus fokus pada anggota

(16)

2. Pelayanan terhadap masyarakat yang menggunakan fasilitas Jamkesmas

cenderung diskriminatif, dibandingkan dengan pelayanan pada pasien

umum. Masyarakat menilai kurangnya keramahtamahan terhadap keluarga

pasien dan pemberian fasilitas kesehatan yang dianggap kurang maksimal.

3. Fasilitas kesehatan yang diberikan kepada masyarakat penerima Pelayanan

Rawat Jalan Tingkat Pertama di Puskesmas Kotabumi I Kabupaten

Lampung Utara cenderung kurang maksimal. Masyarakat mengeluhkan

minimnya pelayanan laboratorium dasar dan penunjang diagnostik dasar

lain, serta pemberian obat-obatan.

(Sumber: Prariset pada Puskesmas Kota Bumi, Selasa 10 April 2013).

Penelitian terdahulu oleh Amri (2009) yang berjudul Hubungan Pelayanan

Dengan Kepuasan Masyarakat Pengguna Program Jamkesmas Pada Rumah

Sakit Umum Daerah Menggala Kabupaten Tulang Bawang, menunjukkan

bahwa kesehatan adalah hak fundamental setiap warga negara, setiap individu,

keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap

kesehatannya dan berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam

pembangunan kesehatan, salah satunya adalah dengan melaksanakan

kebijakan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Terdapat

hubungan yang signifikan antara Pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah

Menggala Kabupaten Tulang Bawang dengan kepuasan masyarakat pengguna

Program Jamkesmas dengan nilai sebesar 0.793 atau 79,3%. Pengaruh tersebut

bernilai positif, artinya apabila pelayanan Rumah Sakit ditingkatkan maka

kepuasan masyarakat pengguna Program Jamkesmas juga akan mengalami

(17)

Penelitian lain oleh Malka Prima (2010) yang berjudul Analisis Hubungan

Pelaksanaan Program Jamkesmas dengan Tingkat Kesehatan Peserta

Jamkesmas di Kecamatan Gedongtataan Kabupaten Pesawaran,

menunjukkan bahwa pelaksanaan program Jamkesmas dengan tingkat

kesehatan masyarakat adalah sebesar 0.707 atau 70,7%, dengan interpretasi

korelasi kuat. Artinya tingkat kesehatan keluarga miskin peserta Jamkemas di

Kecamatan Gedong Tataan berhubungan kuat atau erat dengan pelaksanaan

Program Jamkesmas.

Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Amri dan Malka Prima di atas

sama-sama mengkaji secara kuantitatif pelaksanaan Program Jamkesmas dengan

kepuasan dan tingkat kesehatan masyarakat peserta Jamkesmas. Kedua

penelitian menunjukkan adanya hubungan secara signifikan, sehingga apabila

pelaksanaan Program Jamksesmas ditingkatkan maka kepuasan dan tingkat

kesehatan masyarakat juga akan mengalami peningkatan. Perbedaannya

dengan penelitian ini adalah kajian lebih difokuskan pada satu jenis pelayanan

dalam Program Jamkesta, yaitu Pelayanan Rawat Jalan Tingkat Pertama yang

akan dibahas menggunakan pendekatan kualitatif, sehingga dapat dinyatakan

bahwa penelitian ini bermaksud untuk memperdalam penelitian yang telah

dilakukan sebelumnya.

Penelitian ini akan dilakukan di Puskesmas Kotabumi, dengan pertimbahan

bahwa Puskesmas Kota Bumi ditunjuk sebagai salah satu puskesmas

(18)

dengan kajian penelitian yang penulis butuhkan dari Puskesmas Kotabumi

(Sumber: Prariset pada Puskesmas Kota Bumi, Selasa 10 April 2013).

Berdasarkan uraian latar belakang penulis akan melaksanakan penelitian untuk

membahas lebih lanjut dan mengevaluasi Kebijakan Pelayanan Rawat Jalan

Tingkat Pertama pada Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Semesta di

Puskesmas Kotabumi I Kabupaten Lampung Utara.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: ”Apakah Puskesmas Kotabumi

I Kabupaten Lampung Utara telah mencapai tujuan pelaksanaan Kebijakan

Pelayanan Rawat Jalan Tingkat Pertama pada Program Jaminan Kesehatan

Masyarakat Semesta?”

C.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi tercapai atau tidaknya

Kebijakan Pelayanan Rawat Jalan Tingkat Pertama pada Program Jaminan

Kesehatan Masyarakat Semesta di Puskesmas Kotabumi I Kabupaten

Lampung Utara.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini terdiri dari:

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk

(19)

dengan masalah kebijakan pemerintah daerah otonom dalam

meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat tidak mampu.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi Dinas

Kesehatan dan instansi terkait di Kabupaten Lampung Utara dalam

melaksanakan Program Jaminan Kesehatan Semesta dan diharapkan pula

bermanfaat bagi berbagai pihak yang membutuhkan informasi dan akan

melakukan penelitian mengenai kebijakan publik di bidang kesehatan pada

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Evaluasi Kebijakan

Evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektivan kebijakan

publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya. Sejauh mana

tujuan dicapai serta untuk melihat sejauhmana kesenjangan antara harapan

dengan kenyataan. Menurut Anderson dalam Winarno ( 2008:166), secara

umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut

estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan

dampak pelaksanaan kebijakan tersebut.

Menurut Lester dan Stewart (Winarno, 2008:166) evaluasi kebijakan dapat

dibedakan ke dalam dua tugas yang berbeda, tugas pertama adalah untuk

menentukan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan

dengan cara menggambarkan dampaknya. Sedangkan tugas kedua adalah

untuk menilai keberhasilan atau kegagalan dari suatu kebijakan berdasarkan

standar atau kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Evaluasi kebijakan

merupakan persoalan fakta yang berupa pengukuran serta penilaian baik

terhadap tahap implementasi kebijakannya maupun terhadap hasil (outcome)

atau dampak (impact) dari bekerjanya suatu kebijakan atau program tertentu,

(21)

1. Tipe-Tipe Evaluasi Kebijakan

James Anderson dalam Winarno (2008 : 229) membagi evaluasi kebijakan

dalam tiga tipe, masing-masing tipe evaluasi yang diperkenalkan ini

didasarkan pada pemahaman para evaluator terhadap evaluasi, sebagai

berikut:

a. Tipe pertama

Evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan fungsional. Bila evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan fungsional, evaluasi kebijakan dipandang sebagai kegiatan yang sama pentingnya dengan kebijakan itu sendiri.

b. Tipe kedua

Merupakan tipe evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan atau program-program tertentu. Tipe evaluasi ini lebih membicarakan sesuatu mengenai kejujuran atau efisiensi dalam melaksanakan program.

c. Tipe ketiga

Tipe evaluasi kebijakan sistematis, tipe kebijakan ini melihat secara obyektif program-program kebijakan yang dijalankan untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan melihat sejauhmana tujuan-tujuan yang telah dinyatakan tersebut tercapai.

Berdasarkan ketiga tipe tersebut yang paling sesuai dalam penelitian ini

adalah tipe yang ketiga, yakni tipe evaluasi kebijakan sistematis, di mana

peneliti ingin melihat sejauh mana pelaksanaan Kebijakan Program

Jamkesta, dengan mencari tahu apakah kebijakan yang dijalankan telah

mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Menurut Edi Suharto (2012:61), tujuan kebijakan publik sosial, dalam

konteks pembangunan sosial, kebijakan sosial merupakan suatu perangkat,

mekanisme, dan sistem yang dapat mengarahkan dan menterjemahkan

tujuan-tujuan pembangunan. Kebijakan sosial senantiasa berorientasi

(22)

pengertian yang saling terkait, yakni memecahkan masalah sosial dan

memenuhi kebutuhan sosial.

Menurut Edi Suharto (2012: 86), model-model yang umumnya digunakan

dalam analisis kebijakan publik adalah:

a. Model Prospektif adalah bentuk kebijakan yang mengarahkan kajiannya pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan sebelum suatu kebijakan diterapkan. Model ini dapat disebut juga model prediktif b. Model Retrospektif adalah analisis kebijakan yang dilakukan

terhadap akibat-akibat kebijakan setelah kebijakan

diimplementasikan. Model ini biasa disebut model evaluatif, karena banyak melibatkan pendekatan evaluasi terhadap dampak-dampak kebijakan yang sedang atau telah diterapkan

c. Model Integratif adlah model perpaduan antara kedua model diatas. Model ini kerap disebut sebagai model komprehensif atau model holistik, karena analisis dilakukan terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan yang mungkin timbul, baik sebelum maupun sesudah suatu kebijakan dioperasikan.

2. Dimensi Evaluasi Kebijakan

Dampak dari kebijakan mempunyai beberapa dimensi dan semuanya harus

diperhatikan dalam membicarakan evaluasi. Menurut Winarno (2002:

171-174) setidaknya ada lima dimensi yang harus dibahas dalam

meperhitungkan dampak dari sebuah kebijakan. Dimensi-dimensi tersebut

meliputi:

a. Dampak kebijakan pada masalah-masalah publik dan dampak

kebijakan pada orang-orang yang terlibat

b. Kebijakan mungkin mempunyai dampak pada keadaan-keadaan

atau kelompok-kelompok diluar sasaran atau tujuan kebijakan

c. Kebijakan mungkin akan mempunyai dampak pada

keadaan-keadaan sekarang dan yang akan datang

d. Evaluasi juga menyangkut unsur yang lain yakni biaya langsung yang dikeluarkan untuk membiayai program-program kebijakan publik

(23)

Evaluasi kebijakan sebagai aktivitas fungsional, sama tuanya dengan

kebijakan itu sendiri. Pada dasarnya ketika seseorang hendak melakukan

evaluasi dampak kebijakan, ada tiga hal yang perlu diperhatikan yaitu:

a. Evaluasi kebijakan berusaha untuk memberikan informasi yang valid tentang kinerja kebijakan. Evaluasi dalam hal ini berfungsi untuk menilai aspek instrumen (cara pelaksanaan) kebijakan dan menilai hasil dari penggunaan instrumen tersebut.

b. Evaluasi kebijakan berusaha untuk menilai kepastian tujuan atau target dengan masalah dihadapi. Pada fungsi ini evaluasi kebijakan memfokuskan diri pada substansi dari kebijakan publik yang ada. Dasar asumsi yang digunakan adalah bahwa kebijakan publik dibuat untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Hal yang seringkali terjadi adalah tujuan tercapai tapi masalah tidak terselesaikan.

c. Evaluasi kebijakan berusaha untuk memberi sumbangan pada

evaluasi kebijakan lain terutama dari segi metodologi. Artinya, evaluasi kebijakan diupayakan untuk menghasilkan rekomendasi dari penilaian-penilaian yang dilakukan atas kebijakan yang dievaluasi.

Menurut M Solly Lubis (2007: 35), pada bidang ekonomi pemerintah

harus mengatasi masalah ekonomi, perbedaan yang menyolok antara kaya

dan miskin, antara ekonomi lemah dan ekonomi kuat, ketidak merataan

kesempatan kerja dan ketidakrataan pendapatan nasional.

Menurut Subarsono (2012: 122) dampak merupakan akibat lebih jauh pada

masyarakat sebagai konsekuensi adanya kebijakan yang

diimplementasikan

Evaluasi kebijakan secara sederhana menurut William Dunn dalam

Agustino (2008:187), berkenaan dengan produksi informasi mengenai

nilai-nilai atau manfaat-manfaat kebijakan hasil kebijakan. Ketika ia

bernilai bermanfaat bagi penilaian atas penyelesaian masalah, maka hasil

(24)

secara khusus, dan pengguna lainnya secara umum. Hal ini dikatakan

bermanfaat apabila fungsi evaluasi kebijakan memang terpenuhi dengan

baik. Salah satu fungsi evaluasi kebijakan adalah harus memberi informasi

yang valid dan dipercaya mengenai kinerja kebijakan.

Dampak kebijakan dalam hal ini melingkupi komponen sebagai berikut:

a. Kesesuaian antara kebijakan dengan kebutuhan masyatrakat, untuk mengukur seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan kebijakan/program. Dalam hal ini evaluasi kebijakan mengungkapkan seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu telah dicapai.

b. Pelaksanaan kebijakan, yaitu untuk mengetahui apakah tindakan yang ditempuh oleh implementing agencies sudah benar-benar efektif, responsive, akuntabel, dan adil. Dalam bagian ini evaluasi kebijakan juga harus memperhatikan persoalan-persoalan hak azasi manusia ketika kebijakan itu dilaksanakan. Hal ini diperlukan oleh para evaluator kebijakan karena jangan sampai tujuan dan sasaran

dalam kebijakan publik terlaksana, tetepai ketika itu

diimplementasikan banyak melanggar hak asasi warga. Selain itu untuk mengetahu bagaimana dampak kebijakan itu sendiri. Dalam bagian ini, evaluator kebijakan harus dapat memberdayakan output

dan outcome yang dihasilkan dalam suatu implementasi kebijakan.

3. Fungsi-Fungsi Evaluasi Kebijakan Publik

Menurut Samudra dan kawan-kawan dalam Nugroho (2003:186-187),

evaluasi kebijakan publik memiliki empat fungsi, yaitu:

a. Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat mengidentifikasi masalah, kondisi, dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan program. b. Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang

dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainya sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.

(25)

d. Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial ekonomi dari kebijakan tersebut.

Menurut Soeprapto (2000:60):

Isu yang kritis dalam evaluasi dampak kebijakan adalah apakah suatu program telah telah menghasilkan efek yang lebih atau tidak yang terjadi secara alami meskipun tanpa intervensi atau dibandingkan dengan interfensi alternatif. Tujuan pokok penilaian dampak adalah untuk menafsirkan efek-efek yang menguntungkan atau hasil yang menguntungkan dari suatu intervensi.

Rossi dan Freeman (dalam William Dunn, 2000: 36):

Mendefinisikan penilaian atas dampak adalah untuk

memperkirakan apakah intrvensi menghasilkan efek yang diharapkan atau tidak. Perkiraan seperti ini tidak menghasilkan jawaban yang pasti tapi hanya beberapa jawaban yang mungkin masuk akal.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat dinyatakan bahwa

evaluasi sistematis kebijakan adalah aktivitas untuk menjawab

pertanyaan-pertanyaan seperti apakah kebijakan yang dijalankan mencapai tujuan

sebagaimana yang telah ditetapkan sebelumnya, berapa biaya yang di

keluarkan serta keuntungan apa yang didapat, siapa yang menerima

keuntungan dari program kebijakan yang telah dijalankan oleh organisasi.

4. Kriteria Evaluasi Dampak Kebijakan

Mengevaluasi dampak suatu program atau kebijakan publik diperlukan

adanya suatu kriteria untuk mengukur keberhasilan program atau

kebijakan publik tersebut. Mengenai kinerja kebijakan dalam

menghasilkan informasi terdapat kriteria evaluasi dampak kebijakan

(26)

a. Efektivitas

Menurut Winarno (2002: 184):

Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas disebut juga hasil guna. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai.

Berdasarkan pendapat di atas, bahwa apabila pencapaian tujuan-tujuan

daripada organisasi semakin besar, maka semakin besar pula

efektivitasnya. Pengertian tersebut dapat disimpulkan adanya

pencapaian tujuan yang besar daripada organisasi, maka makin besar

pula hasil yang akan dicapai dari tujuan-tujuan tersebut. Apabila

setelah pelaksanaan kegiatan kebijakan publik ternyata dampaknya

tidak mampu memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi

masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa suatu kegiatan kebijakan

tersebut telah gagal, tetapi adakalanya suatu kebijakan publik hasilnya

tidak langsung efektif dalam jangka pendek, akan tetapi setelah

melalui proses tertentu.

Efektivitas merupakan hubungan antara output dengan tujuan, semakin

besar kontribusi (sumbangan) output terhadap pencapaian tujuan, maka

semakin efektif organisasi, program atau kegiatan”. Ditinjau dari segi

pengertian efektivitas usaha tersebut, maka dapat diartikan bahwa

efektivitas adalah sejauhmana dapat mencapai tujuan pada waktu yang

tepat dalam pelaksanaan tugas pokok, kualitas produk yang dihasilkan

(27)

mempengaruhi atau tingkat kemampuan pesan-pesan untuk

mempengaruhi.

Sehubungan dengan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka ukuran

efektivitas merupakan suatu standar akan terpenuhinya mengenai

sasaran dan tujuan yang akan dicapai. Selain itu, menunjukan pada

tingkat sejauhmana organisasi, program/kegiatan melaksanakan

fungsi-fungsinya secara optimal

b. Efisiensi

Menurut Winarno (2002: 185):

Efisiensi (efficiency) berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dari rasionalitas ekonomi, adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha, yang terakhir umumnya diukur dari ongkos moneter. Efisiensi biasanya ditentukan melalui perhitungan biaya per unit produk atau layanan. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya terkecil dinamakan efisien

Apabila sasaran yang ingin dicapai oleh suatu kebijakan publik

ternyata sangat sederhana sedangkan biaya yang dikeluarkan melalui

proses kebijakan terlampau besar dibandingkan dengan hasil yang

dicapai. Ini berarti kegiatan kebijakan telah melakukan pemborosan

dan tidak layak untuk dilaksanakan.

c. Kecukupan

Menurut Winarno (2002: 186):

(28)

tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan

yang menumbuhkan adanya masalah Kecukupan masih

berhubungan dengan efektivitas dengan mengukur atau

memprediksi seberapa jauh alternatif yang ada dapat memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi.

Berbagai masalah tersebut merupakan suatu masalah yang terjadi dari

suatu kebijakan sehingga dapat disimpulkan masalah tersebut

termasuk pada salah satu tipe masalah tersebut. Hal ini berarti bahwa

sebelum suatu produk kebijakan disahkan dan dilaksanakan harus ada

analisis kesesuaian metoda yang akan dilaksanakan dengan sasaran

yang akan dicapai, apakah caranya sudah benar atau menyalahi aturan

atau teknis pelaksanaannya yang benar.

d. Perataan

Menurut Winarno (2002: 187):

Perataan dalam kebijakan publik dapat dikatakan mempunyai arti dengan keadilan yang diberikan dan diperoleh sasaran kebijakan publik. Kriteria kesamaan (equity) erat berhubungan dengan rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Kebijakan yang berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang akibatnya atau usaha secara adil didistribusikan. Suatu program tertentu mungkin dapat efektif, efisien, dan mencukupi apabila biaya-manfaat merata.

Menurut Winarno (2002: 188), seberapa jauh suatu kebijakan dapat

memaksimalkan kesejahteraan sosial dapat dicari melalui beberapa

cara, yaitu:

1. Memaksimalkan kesejahteraan individu. Analis dapat berusaha

(29)

2. Melindungi kesejahteraan minimum. Di sini analis mengupayakan peningkatan kesejahteraan sebagian orang dan pada saat yang sama melindungi posisi orang-orang yang dirugikan (worst off). Pendekatan ini didasarkan pada kriteria

Pareto yang menyatakan bahwa suatu keadaan sosial dikatakan

lebih baik dari yang lainnya jika paling tidak ada satu orang yang diuntungkan atau dirugikan.

3. Memaksimalkan kesejahteraan bersih. Di sini analisis berusaha meningkatkan kesejahteraan bersih tetapi mengasumsikan bahwa perolehan yang dihasilkan dapat digunakan untuk mengganti bagian yang hilang. Pendekatan ini didasarkan pada

kriteria Kaldor-Hicks: Suatu keadaan sosial lebih baik dari

yang lainnya jika terdapat perolehan bersih dalam efisiensi dan jika mereka yang memperoleh dapat menggantikan mereka yang kehilangan. Untuk tujuan praktis kriteria yang tidak

mensyaratkan bahwa yang kehilangan secara nyata

memperoleh kompensasi ini, mengabaikan isu perataan.

4. Memaksimalkan kesejahteraan redistributif. Di sini analis

berusaha memaksimalkan manfaat redistributif untuk

kelompok-kelompok yang terpilih, misalnya mereka yang secara rasial tertekan, miskin atau sakit. Salah satu kriteria redistributif dirumuskan oleh filosof John Rawls: Suatu situasi sosial dikatakan lebih baik dari lainnya jika menghasilkan pencapaian kesejahteraan anggota-anggota masyarakat yang dirugikan.

e. Responsivitas

Menurut Winarno (2002: 189):

Responsivitas dalam kebijakan publik dapat diartikan sebagai respon dari suatu aktivitas. Yang berarti tanggapan sasaran kebijakan publik atas penerapan suatu kebijakan. Responsivitas berkenaan dengan seberapa jauh kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Keberhasilan kebijakan dapat dilihat melalui tanggapan masyarakat yang menanggapi pelaksanaan setelah terlebih dahulu memprediksi pengaruh yang akan terjadi jika kebijakan akan dilaksanakan, juga tanggapan masyarakat setelah dampak

kebijakan sudah mulai dapat dirasakan dalam bentuk

dukungan/berupa penolakan.

Kriteria responsivitas adalah penting karena analisis yang dapat

memuaskan semua kriteria lainnya (efektivitas, efisiensi, kecukupan,

(30)

kelompok yang semestinya diuntungkan dari adanya kebijakan. Oleh

karena itu, kriteria responsivitas cerminan nyata kebutuhan, preferensi,

dan nilai dari kelompok tertentu terhadap kriteria efektivitas, efisiensi,

kecukupan, dan kesamaan.

f. Ketepatan

Menurut Winarno (2002: 184):

Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan pada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut. Kriteria yang dipakai untuk menseleksi sejumlah alternatif untuk dijadikan rekomendasi dengan menilai apakah hasil dari alternatif yang direkomendasikan tersebut merupakan pilihan tujuan yang layak. Kriteria kelayakan dihubungkan dengan rasionalitas substantif, karena kriteria ini menyangkut substansi tujuan bukan cara atau instrumen untuk merealisasikan tujuan tersebut.

Berdasarkan uraian di atas maka yang dimaksud dengan evaluasi dampak

kebijakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu penilaian

terhadap pelaksanaan kebijakan yang telah diberlakukan oleh organisasi

atau pemerintah, dengan cara mengevaluasi aspek-aspek dampak

kebijakan yang meliputi efektivitas, efisiensi, kecukupan, perataan,

responsivitas dan ketepatan pelaksanaan kebijkan tersebut ditinjau dari

aspek masyarakat sebagai sasaran kebijakan tersebut.

5. Evaluasi Terhadap Dampak Kebijakan

Menurut Samodra Wibawa dkk (1994: 29):

(31)

antara dampak-dampak yang diduga akan terjadi ini, ada dampak yang diharapkan dan ada yang tak diharapkan. Pada akhir implementasi kebijakan menilai pula dampak-dampak yang tak

terduga, yang di antaramya ada yang diharapkan dan tak

diharapkan, atau yang diinginkan dan tak diinginkan.

a. Peramalan

Menurut Samodra Wibawa dkk (1994: 30):

Dalam proses pembuatan kebijakan ada sebuah tahap yang sangat penting, yakni peramalan atau forecasting. Karena kebijakan dimaksudkan untuk menciptakan kondisi tertentu di masa depan, dan usaha penciptaan itu akan terkait erat dengan perkembangan lingkungannya, baik sebagai sasaran perubahan kondisi maupun sekaligus sebagai penyedia sumber daya, maka peramalan merupakan tahap yang cukup krusial.

Ketidaktepatan peramalan, yang terwujud sebagai overestimating

ataupun underestimating, dapat menjadikan kebijaka yang dibuat tidak

efektif. Beberapa waduk atau bendungan air yang telah kurang

berfungsi pada usianya yang ke-20 tahun (dari umur yang diharapkan

100 tahun), misalnya, merupakan hasil dari yang ramalannya tentang

tingkat erosi daerah aliran sungai tidak tepat. Mungkin para pembuat

kebijakan tersebut tidak mampu meramalkan kebutuhan peramalan dan

industri yang selain mengakibatkan meningkatnya permintaan ruang

untuk tempat tinggal dan pabrik yang mengakibatkan berkurangnya

daerah resapan air juga mengakibatkan tingginya permintaan terhadap

produk hutan, sehingga erosi lebih mungkin terjadi.

Peramalan atau forecasting tersebut dapat kita "pandang sebagai suatu

bentuk evaluasi, yakni evaluasi yang dilakukan sebelum kebijakan

(32)

adalah estimating, assessment, prediksi atau prakiraan. Evaluasi pada

tahap pra kebijakan ini dapat berupa prediksi tentang output kebijakan

maupun dampaknya. Diskusi berikut ini adalah tentang assessment

terhadap dampak kebijakan, khususnya dampak sosial. Untuk

mudahnya digunakan istilah yang telah cukup populer, yaitu Analisis

Dampak Kebijakan (ADS).

b. Karakteristik Analisis Dampak Sosial (ADS)

Menurut Effendi (dalam Samodra Wibawa dkk, 1994: 31):

Sebagaimana beberapa sifat yang dituntut dalam setiap penelitian, ADS sebagai kerja intelektual harus bersifat empiris, tidak bisa, rasional, handal dan sahih. dengan kata lain, ADS haruslah dilakukan secara logika-empiris

Analisis harus bersifat empirik dalam arti bahwa penilaian yang dilakukan

tidak boleh hanya bersifat spekulatif hipotetik atau asumtif-teoretik,

melainkan mesti diuji atau dikuatkan dengan data atau setidaknya hasil

penelitian yang pemah dilakukan. Selanjutnya, karena analisis itu

dilakukan terhadap altematif yang tersedia, yang hasilnya nanti adalah

pemilihan kita terhadap alternatif yang paling tepat atau baik, maka kita

harus bersikap tidak memihak atau bias terhadap salah satu altematif.

Maksudnya, sebelum analisis dilakukan, kita tidak menentukan atau

memilih altematif mana yang kita anggap baik.

Menurut Finsterbusch and Motz (dalam Samodra Wibawa dkk, 1994: 33):

(33)

diandalkan validitas atau keakuratannya, terutama jika data itu kita peroleh dari buku laporan seorang bawahan kepada atasannya. Pada akhirnya, analisis tersebut dilakukan secara rasional, dalam arti sistematis dan dapat dipertanggung jawabkan di hadapan para pakar yang diakui otoritasnya.

Sudah tentu ADS dengan karakterisitik tadi hanya dapat diterapkan dan

berfaedah apabila proses pembuatan kebijakannya pun bersifat rasional

pula. Dalam hal ini kebijakan yang dianalisis haruslah memiliki tujuan

maupun altematif-altematif tidakan yang jelas, disamping sudah tentu

policy maker-nya terbuka untuk dikritik. Demikian juga ada kriteria yang

jelas dan standar yang tidak ganda untuk mengevaluasi setiap alternatif,

sehingga secara obyektif kita dapat memilih alternatif yang terbaik.

Apabila kebijakan dibuat dengan pertimbangan yang kurang obyektif

maka ADS sukar dilaksanakan. Analisis semacam ini dipaksakan untuk

memberikan legitimasi "ilmiah" terhadap kebijakan. Jika analisis

dilakukan secara rasional, maka hasilnya kemungkinan besar tidak akan

dimanfaatkan oleh pembuat kebijakan.

c. Langkah-Langkah ADS

Menurut Samodra Wibawa dkk (1994: 34):

Seorang analis dalam ADS setidaknya mengerjakan tiga hal, yaitu: (1) secara vertikal memetakan jenis-jenis dampak yang mungkin terjadi, (2) secara horisontal melihat maupun memprediksi kecen-derungan reaksi yang diberikan oleh subyek yang terkena dampak tersebut, dan (3) secara komprehensif merumuskan penyesuaian kebijakan yang harus dilakukan oleh policy maker.

Sebelum mengerjakan ini semua, analis harus mernbatasi altematif

(34)

tidak terbatas, yang tidak mungkin dianalisis semuanya. Oleh karena itu,

terlebih dahulu analis perlu secara konseptual menentukan alternatif

kebijakan yang potensial, untuk diimplementasikan.

Finsterbusch and Motz (Samodra Wibawa dkk, 1994: 33-34):

Cara termudah untuk mempersempit alternatif kebijakan adalah dengan menjawab pertanyaan "Aspek apa dan yang mengenai kelompok sosial mana yang perlu dikaji?" Sebagai contoh, ada rancangan kebijakan untuk menambah ruas jalan dari kecamatan-kecamatan ke pusat bisnis di perkotaan. Pertanyaannya adalah "Apakah penambahan tersebut betul-betul diperlukan? Mengapa?" Setelah itu, "Ruas mana yang perlu dikaji lebih intensif?" Setelah ditentukan ruas yang perlu dicermati, maka pertanyaannya adalah "Memang perlu benarkah ruas ini dibangun? Mengapa?" Jika jawabannya positif, barulah dilakukan analisis terhadap aspek

keteknikan, dampaknya terhadap masyarakat dan juga

kemungkinan peningkatan peruntukan atau pemanfaatan tanah.

Beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk memilih dampak yang

dijadikan fokus analisis (Finster busch and Motz, 1980 dalam Samodra

Wibawa dkk, 1994: 34-35) adalah sebagai berikut:

(1) Peluang terjadinya dampak

(2) Jumlah orang yang akan terkena dampak. (3) Untung-rugi yang diderita subyek dampak. (4) Ketersediaan data untuk melakukan analisis. (5) Relevansi terhadap kebijakan.

(6) Perhatian publik terhadap dampak tersebut.

ADS dimulai dengan, sudah tentu, menetapkan kebijakan apa yang akan

dianalisis. Dalam hal ini dilihat teknologi apa yang dipakai dalam

kebijakan atau program tersebut dan bagaimana langkah-langkah

implementasinya. Secara demikian, kajian terhadap isi kebijakan tersebut

(35)

manajemen programnya. Setelah itu barulah dianalisis apa dampak fisik

dan ekonomi yang secara teoretik (normatif) dapat terjadi. Selain dampak

fisik dan ekonomi juga perlu dianalisis dampak lingkungan pada

umumnya.

Langkah kedua adalah pendeskripsian dampak sosial dari kebijakan

tersebut. Jika pada langkah pertama telah dianalisis dampak fisik dan

ekonomi secara agar global, maka dalam langkah kedua ini secara spesifik

dan rinci dianalisis dampak sosialnya. Dalam hal ini ada dua kategori yang

harus dianalisis, yakni unit pedampak dalam arti unit sosial yang terkena

dampak (pedampak) dan jenis atau aspek dampak dalam anti bidang

kehidupan yang terkena dampak. Unit dampak terdiri dari individu dan

keluarga, masyarakat (RT, RW, desa, kecamatan atau kota), organisasi dan

kelompok sosial, serta lembaga dan sistem sosial pada umumnya.

Sementara itu aspek dampak meliputi ekonomi, politik, sosial (dalam arti

sempit) dan budaya.

Langkah ketiga adalah menentukan respon individu maupun kelompok

yang menjadi unit dampak. Sikap mereka terhadap program atau

kebijakan secara keseluruhan dianalisis pada tahap ketiga ini. Selain sikap

unit pedampak, perlu dikaji pula sikap dari masyarakat publik dan

pengguna atau pemanfaat program pada umumnya, dan juga sikap

(36)

Hal yang terakhir perlu dilakukan, sebab bagaimanapun juga sikap dan

pandangan mereka tidak selalu homogen. Setelah melihat sikap

kelompok-kelompok tersebut terhadap program, analisharus melihat adaptasi mereka

terhadap program dan juga apa usaha yang mereka lakukan jika ada,

terutama dari kalangan pejabat pemerintah untuk memodifikasi program.

Informasi yang diperoleh dari ketiga langkah tersebut di atas kemudian

dimanfaatkan untuk merumuskan beberapa tindakan penyesuaian

kebijakan (policy adjustments) yang dipandang perlu. Dalam rumusan ini,

penyesuaian bisa dilakukan terhadap tujuan program itu sendiri, maupun

hanya terhadap waktu pelakan serta syarat dari prosedurnya. Tidak itu

saja, penyesuaian kebijakan juga dimaksudkan untuk lebih merinci

kebijakan, misalnya perlu diperjelas regulasi dan persyaratan lainnya, serta

memberikan tambahan instrumen kebijakan seperti bantuan terhadap

pedampak (korban), menyediakan saluran kontrol sosial, dan menambah

fasilitas lain.

6. Indikator Evaluasi Kebijakan

Berdasarkan tipe evaluasi kebijakan ketiga sebagaimana dikemukakan

oleh James Anderson dalam Winarno (2008 : 229) bahwa tipe evaluasi

kebijakan sistematis, tipe kebijakan ini melihat secara obyektif

program-program kebijakan yang dijalankan untuk mengukur dampaknya bagi

masyarakat dan melihat sejauhmana tujuan-tujuan yang telah dinyatakan

(37)

Sesuai dengan tipe tersebut maka tipe evaluasi kebijakan sistematis dalam

penelitian dimaksudkan untukmengukur pelaksanaan Kebijakan Program

Jamkesta sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Adapun tujuan

Kebijakan Program Jaminan Masyarakat Semesta di Kabupaten Lampung

Utara sebagaimana tertuang dalam Keputusan Bupati Lampung Utara

Nomor: B/215/11-LU/HK/2012, adalah sebagai berikut:

a. Meningkatkan akses pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat

miskin

b. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat

miskin

c. Terselenggaranya pelayanan kesehatan masyarakat sesuai standar

d. Terciptanya masyarakat yang sehat dan produktif

B. Kebijakan Publik

1. Pengertian Kebijakan Publik

Menurut Dwiyanto Indiahono (2009: 18):

Kebijakan publik dalam kerangka substantif adalah segala aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah untuk memecahkan masalah publik yang dihadapinya. Dengan membawa kebijakan publik ke ranah upaya pemecahan masalah publik maka warna administrasi publik akan terasa lebih kental.

Pengertian di atas menekankan bahwa kebijakan publik merupakan upaya

yang ditempuh pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan publik,

melalui perencanaan manajemen yang baik, maka perusahaan dapat

(38)

yang akan terjadi, serta menjabarkan kegiatan dan membuat urutan

prioritas utama yang ingin dicapai organisasi.

Menurut Riant Nugroho D (2003: 51):

Kebijakan publik adalah jalan mencapai tujuan yang bersama yang dicita-citakan, jadi jika cita-cita bangsa Indonesia adalah mencapai masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila (Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi dan Keadilan) dan UUD (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang berdasarkan hokum dan tidak semata-mata kekuasaan) maka kebijakan publik adalah seluruh prasarana dan sarana untuk mencapai tujuan tersebut.

Menurut Lutfhi J. Kurniawan dan Mustafa Lutfi (2012: 13):

Definisi kebijakan publik dapat diklasifikasikan ke dalam empat hal yaitu. Pertama, difinisi kebijakan publik dalam lapis

pemaknaan sebagai proses decision making (pengambilan

keputusan). Kedua kebijakan publik sebagai proses manajerial. Di dalamnya kebijakan publik diartikan sebagai rangkaian kerja pejabat publik dalam membuat dan menerapkan sebuah kebijakan. Ketiga, definisi kebijakan publik yang dikategorikan sebagai bentuk kerja sistem sosial dalam suatu masyarakat dan keempat, pendifinisian kebijakan publik yang masuk dalam lapis pemaknaan interaksi antara negara dan rakyatnya.

Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa

kebijakan pemerintah adalah serangkaian tindakan yang dilaksanakan atau

tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau

berorientasi pada tujuan tertentu untuk kepentingan seluruh masyarakat.

Kebijakan pemerintah merupakan pengalokasian nilai-nilai kekuasaan

untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Sehingga cukup

pemerintah yang dapat melakukan sesuatu dengan sah untuk masyarakat

dan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah tersebut merupakan

(39)

2. Ciri-Ciri Kebijakan

Kebijakan merupakan upaya-upaya yang dilakukan dengan

langkah-langkah secara logis untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada

masa mendatang dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan

yang terjadi dan menggunakan sumber daya yang tersedia. Menurut

Solichin Abdul Wahab (2004: 6-7), kebijakan publik memiliki ciri-ciri

sebagai berikut:

a. Kebijakan publik lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada prilaku atau tindakan serba acak dan kebetulan, melainkan tindakan yang direncanakan,

b. Kebijakan publik hakekatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkaitan dan berpola mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan pejabat pemerintah bukan merupakan keputusan yang berdiri sendiri. Misalnya : kebijakan tidak hanya mencangkup keputusan untuk membuat Undang-Undang dalam bidang tertentu, akan tetapi diikuti pula keputusan-keputusan yang berkaitan dengan implementasi dan pemaksaan pemberlakuannya,

c. Kebijakan bersangkut paut dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah dalam bidang-bidang tertentu, dalam arti setiap kebijakan pemerintah itu diikuti dengan tindakan-tindakan konkrit,

d. Kebijakan publik berbentuk positif maupun negatif, dalam bentuk positf kebijakan mencangkup beberapa bentuk tindakan pemerintah yang dimaksudkan untuk mempengaruhi masalah tertentu, sementara itu bentuk yang negatif, kebijakan meliputi keputusan para pejabat-pejabat pemerintah untuk tidak bertindak atau tidak melakukan apapun dalam masalah-masalah dimana campur tangan pemerintah justru diperlukan.

3. Isu/Masalah Publik

Menurut Dwiyanto Indiahono (2009: 59):

(40)

untuk menyelesaikan masalah publik dan membuat kebijakan juga diperlukan barang publik.

Menurut Dwiyanto Indiahono (2009: 59), konsep barang publik memiliki

dua karakteristik utama yaitu sifat non rivalry (tidak terdapat kompetisi)

dan sifat non-excludability (tidak dapat menafikkan), shingga dengan

adanya karakteristik tersebut, barang-barang tersebut tidak bersifat khusus

atau ekslusif, dan semua orang dapat menikmati barang tersebut tanpa

terkecuali. Tetapi karena dapat diakses oleh siapapun, penggunaan barang

pun menjadi berlebihan sehingga cepat rusak.

Barang swasta juga penting untuk mendudukkan masalah publik dalam

rangka urusan dan kepentingan publik. Barang swasta menggunakan

prinsip excludability (dapat menafikkan) dan rivalry (kompetisi), karena

semua orang dapat menafikkan keberadaan barang tersebut dalam artian

semua orang berhak mendapatkan barang tersebut maka dengan sifat

barang swasta yang terbatas menyebabkan adanya persaingan dan

kompetisi bagi orang-orang tersebut. Selain itu, harga barang privat dapat

ditentukan dengan mudah oleh mekanisme pasarantara produsen dan

konsumen.Barang Toll publik merupakan barang yang dikonsumsi oleh

banyak orang secara bersama dan produsennya bisa melakukan

pencegahan terhadap pihak lain untuk mengkonsumsinya. Sedangkan

barang terbuka untuk umum yaitu barang yang digunakan oleh

perseorangan tapi pencegahan tidak mungkin dilakukan oleh

(41)

Menurut Dwiyanto Indiahono (2009: 59), masalah publik harus diatasi

dengan melakukan beberapa langkah, yaitu:

a. Pencarian masalah. Yaitu suatu tahap mengenali akar masalah. Dikarenakan masalah publik melibatkan banyak pihak, maka pemerintah perlu menilik secara serius apa sebenarnya persamasalahannya

b. Pendefinisian masalah. Yaitu merangkum permasalahan yang

dikemukakan oleh bebagai pihak menjadi satu permasalahan formal.

c. Spesifikasi masalah. Setelah merangkum seluruh permasalahan, langkah selanjutnya yaitu mempertimbangkan masalah mana yang harus diselesaikan terlebih dahulu dengan memperhatikan karakteristik masalah dan sumber daya yang dimiliki.

d. Agenda pemerintah. Setelah ditetapkan masalah mana yang harus diselesaikan terlebih dahulu, barulah ditetapkan menjadi agenda pemerintah dan segera dibentuk kebijmakan yang nantinya akan menyelesaikan masalah publik.

4. Proses Kebijakan Publik

Menurut Dwiyanto Indiahono (2009: 140):

Proses politik kebijakan adalah proses melegitimasi kebijakan publik dengan menyandarkan pada proses pembahasan kebijakan di lembaga politik yang diakui sebagai representative publik. Jika lembaga politik yang representative dari kebijakan benar-benar menampung aspirasi publik, maka kebijakan yang direkomendasikan tidak mengalami hambatan untuk dilegitimasikan menjadi sebuah kebijakan.

Selanjutnya menurut Dwiyanto Indiahono (2009: 141-145), proses politik

kebijakan publik meliputi:

a. Pernyataan Kebijakan

Adalah pernyataan pemerintah atas suatu kebijakan yang diambil untuk menyelesaikan atau terkait dengan masalah publik tertentu. Setiap pernyataan kebijakan tersebut harus sudah mendapatkan pernyataan legitimasi dari pihak hukum. Pernyataan kebijakan harus diketahui oleh publik dengan sebaik-baiknya, sehingga dibutuhkan proses sosialisasi secara detail.

b. Implementasi Kebijakan

(42)

teraplikasi di lapangan dan apakah benar-benar mampu mengatasi masalah publik

c. Evaluasi Kebijakan

Yaitu menilai keberhasilan/kegagalan kebijakan berdasarkan indikator yang telah ditentukan. Dan apabila kebijakan tersebut dinyatakan gagal mengatasi permasalahan publik, maka nantinya akan dibuat kebijakan yang baru lagi dan belajar dari pengalaman sebelumnya. Inilah yang disebut dengan analisis kebijakan yang dinamis.

Menurut William N. Dunn (2000: 24), dalam tahapan kebijakan publik

sebagai berikut :

a. Penyusunan Agenda

Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.

b. Formulasi kebijakan

Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing slternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.

c. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan

(43)

d. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan

Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalh-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.

C. Program Jamkesta

1. Pengertian Program Jamkesta

Menurut Kementerian Kesehatan (2012):

Untuk pemeliharaan kesehatan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga terkadang orang jatuh sakit tidak bias berobat karena tidak tersedianya dana. Mengingat kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia agar dapat hidup layak dan produktif, maka pemerintah berupaya membantu masyarakat terutama masyarakat miskin agar kesehatannya dapat terjamin. Agar pelaksanaan pemeliharaan kesehatan terjamin, pemerintah berkerja sama dengan PT Askes (Persero) untuk pemanfaatan dan peningkatan pemeliharaan kesehatan penduduk miskin dengan mekanisme asuransi di mana iuran peserta dibayar oleh pemerintah.

Berdasarkan definisi di atas maka dapat diketahui bahwa Program

Jamkesta merupakan pelayanan di bidang kesehatan yang dilakukan

pemerintah untuk membantu rakyat miskin dalam pemeliharaan kesehatan

dengan menyediakan/ menangung biaya yang diambil dari APBN dan

pengelolaannya bermitra dengan PT Askes (Persero), untuk meningkatkan

(44)

2. Tujuan dan Sasaran Jamkesta

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2012), tujuan umum Program

Jamkesta adalah meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan

kepada seluruh masyarakat miskin terselenggaranya pelayanan kesehatan

masyarakat sesuai standar agar masyarakat semakin sehat dan produktif.

Sasaran Program Jamkesta adalah untuk seluruh masyarakat miskin dan

masyarakat tidak mampu yang membutuhkan pelayanan kesehatan di

puskesmas dan jaringannya, posyandu serta layanan rujukan medis

lanjutan di rumah sakit pemerintah dan swasta yang ditunjuk, kecuali

masyarakt yang memiliki jaminan pemeliharaan/asuransi kesehatan

lainnya.

3. Implementasi Program Jamkesta

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2012), implementasi atau

pelaksanaan Program Jamkesta diselenggarakan dengan sumber

pendanaan yang berasal dari APBN sebagai dana bantuan sosial sektor

kesehatan, dana tersebut dikelola secara nirlaba. Program Jamkesta

dilaksanakan secara terstruktur berdasarkan kebutuhan medis dengan biaya

yang efektif dan dikelola secara transparan dan akuntabel.

Secara terperinci implementasi Program Jamkesta adalah:

a. Tata Laksana Kepesertaan

(45)

b. Tugas PT Askes (Persero) dalam Tata Laksana Kepesertaan

1) Membuat database kepesertaan sesuai SK Bupati/Walikota 2) Mendistribusikan database kepesertaan kepada Dinas Kesehatan 3) Melakukan pencetakan blanko kartu, entry, penerbitan dan

distribusi kartu peserta

4) Melakukan advokasi kepada Bupati/Walikota untuk penetapan

sasaran

5) Analisis kepesertaan

6) Melakukan Pra Verifikasi kepesertaan

7) Melakukan telaah utilisasi kepesertaan (berdasarkan laporan)

8) Melakukan penanganan keluhan kepesertaan

9) Melakukan pengolahan dan analisa data kepesertaan

10)Melakukan pelaporan meliputi: kepesertaan dan pemanfaatan pelayanan

c. Tata laksana Pelayanan kesehatan

Setiap peserta mempunyai hak mendapat Pelayanan Kesehatan

meliputi:

1) Rawat Jalan dan Rawat Inap Tahap Pertama, Rawat Jalan Tingkat

Lanjut, Rawat Inap Tingkat Lanjut, dan pelayanan gawat darurat 2) Pelayanan kesehatan berdasarkan rujukan berjenjang

3) Pelayanan rawat inap di Puskesmas Perawatan dan ruang rawat inap kelas III (tiga) di RS Pemerintah, RS Khusus, RS TNI/POLRI dan RS Swasta yang bekerjasama

4) Dinas Kesehatan kabupaten/kota diketahui oleh Kepala Dinas Kesehatan Propinsi membuat perjanjian kerjasama dengan rumah sakit setempat

5) Pada keadaan gawat darurat (emergency), wajib memberikan pelayanan kesehatan

6) Biaya pelayanan kesehatan diklaimkan dan diperhitungkan menjadi satu kesatuan menurut Tarif Paket yankes Jamkesta sehingga dokter berkewajiban melakukan penegakan diagnose penyakit/ prosedur sebagai dasar pengajuan klaim.

7) Verifikasi pelayanan di Puskesmas dilaksanakan oleh Tim

Pengelola Penyelenggaraan Program Jamkesta Kabupaten/Kota 8) Ketersediaan obat, alat, Darah, dan bahan penunjang lainnya

sepenuhnya menjadi tanggung jawab Rumah Sakit.

(46)

D. Kerangka Pikir

Pemerintah Kabupaten Lampung Utara menyelanggaran Program Jaminan

Kesehatan Semesta (Jamkesmas) sebagai wujud pemberian pelayanan dan

akses kesehatan kepada masyarakat miskin dalam pemeliharaan kesehatan

dengan menyediakan atau menangung biaya perawatan untuk meningkatkan

kesehatan masyarakat, sebagaimana dituangkan dalam Keputusan Bupati

Lampung Utara Nomor: B/215/11-LU/HK/2012.

Salah satu jenis pelayanan dalam Program Jamkesta di Kabupaten Lampung

Utara yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah pelayanan rawat jalan

tingkat pertama, yaitu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Puskesmas

dan jaringannya.

Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi kebijakan pelayanan rawat jalan

tingkat pertama pada Program Jamkesta di Puskesmas I Kotabumi Kabupaten

Lampung Utara. Adapun konsep evaluasi kebijakan mengacu pada pendapat

James Anderson dalam Winarno (2008 : 229) bahwa tipe evaluasi kebijakan

sistematis adalah melihat secara obyektif program-program kebijakan yang

dijalankan untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan melihat

sejauhmana tujuan-tujuan yang telah dinyatakan tersebut tercapai.

Berdasarkan tipe tersebut maka tujuan pelayanan rawat jalan tingkat pertama

dalam Program Jamkesta adalah meningkatkan akses pelayanan kesehatan

kepada seluruh masyarakat miskin, meningkatkan mutu pelayanan kesehatan

(47)

masyarakat sesuai standar dan terciptanya masyarakat yang sehat dan

produktif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan kerangka pikir

sebagai berikut:

Kebijakan Program Jaminan Masyarakat Semesta di Kabupaten Lampung Utara

(Keputusan Bupati Lampung Utara Nomor: B/215/11-LU/HK/2012)

Evaluasi Kebijakan

Program Jaminan Masyarakat Semesta di Kabupaten Lampung Utara Tipe Evaluasi Kebijakan

Sistematis (Evaluasi Berdasarkan

[image:47.595.43.524.162.802.2]

Tujuan Kebijakan)

Gambar 1

Kerangka Pikir Penelitian

Indikator Evaluasi Kebijakan

Tujuan Kebijakan Program Jaminan Masyarakat Semesta di Kabupaten Lampung Utara:

a. Meningkatkan akses pelayanan kesehatan kepada

seluruh masyarakat miskin

b. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada

seluruh masyarakat miskin

c. Terselenggaranya pelayanan kesehatan masyarakat

sesuai standar

d. Terciptanya masyarakat yang sehat dan produktif

(48)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan tipe kualitatif. Menurut Bugdon dan Taylor dalam

Moleong (2005: 5-6), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud

untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian

misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik, dan dengan

cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus

yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Penelitian

kualitatif menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari

orang atau perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif adalah prosedur

analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara

kuantifikasi atau perhitungan lainnya.

Penelitian kualitatif digunakan untuk meneliti objek dengan cara menuturkan,

menafsirkan data yang ada, ada pelaksanaanya melalui pengumpulan,

penyusunan, analisa dan interpretasi data yang diteliti pada masa sekarang.

Tipe penelitian ini dianggap sangat relevan untuk dipakai karena

menggambarkan keadaan objek yang ada pada masa sekarang secara kualitatif

(49)

B. Fokus Penelitian

Menurut Moleong (2005: 93), masalah dalam penelitian kualitatif bertumpu

pada suatu fokus penelitian. Fokus penelitian ini adalah evaluasi kebijakan

pelayanan rawat jalan tingkat pertama pada Program Jamkesta di Puskesmas

Kotabumi I Kabupaten Lampung Utara, yang didasarkan pada tujuan

kebijakan sebagai berikut:

a. Meningkatkan akses pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat

miskin.

Maksudnya adalah kebijakan pelayanan rawat jalan tingkat pertama pada

Program Jamkesta dilaksanakan dalam rangka meningkatkan akses

masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, yang terdiri dari:

(1) Akses masyarakat miskin terhadap jarak untuk memperoleh pelayanan

kesehatan dari Puskesmas Kotabumi I Kabupaten Lampung Utara.

(2) Akses masyarakat miskin dalam hal finansial untuk memperoleh

pelayanan kesehatan dari Puskesmas Kotabumi I Kabupaten Lampung

Utara.

b. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat

miskin

Maksudnya adalah kebijakan pelayanan rawat jalan tingkat pertama pada

Program Jamkesta dilaksanakan dalam rangka meningkatkan

meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat

miskin yang berada di wilayah kerja Puskesmas Kotabumi I Kabupaten

(50)

(1) Mengoptimalkan kemampuan petugas pelaksana Program Jamkesta

(2) Meningkatkan penambahan sumber daya manusia puskesmas dan

fasilitas Jamkesta

c. Terselenggaranya pelayanan kesehatan masyarakat sesuai standar

Maksudnya adalah kebijakan pelayanan rawat jalan tingkat pertama pada

Program Jamkesta dilaksanakan dengan cara meningkatkan pelayanan

kesehatan masyarakat sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM)

Puskesmas bagi seluruh masyarakat miskin yang berada di wilayah kerja

Puskesmas Kotabumi I Kabupaten Lampung Utara.

d. Terciptanya masyarakat yang sehat dan produktif

<

Gambar

Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang

Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, puji dan syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT berkat limpahan rahmat, ridho, dan hidayahNya yang

Marker yang dideteksi oleh kamera smartphone berbasis android akan menampilkan objek anatomi yang akan digunakan oleh Pengajar, sehingga pelajar dapat mengamati

Diawali dengan pemberian nasihat atau bimbingan Pra Nikah (Kursus Calon Pengantin/ Suscatin) bagi yang akan melangsungkan perkawinan dan telah mendaftar di KUA. Bagi

Persediaan proses adalah mekanisme atau proses terjadinya perubahan kemampuan pada diri subjek belajar. Di dalam proses ini terjadi pengaruh timbal balik antara berbagai faktor,

Melalui pembelajaran Project Based learning berbasis pemanfaatan teknologi media digital dengan pendekatan computational thinking , diharapkan Murid dapat

Nilai