• Tidak ada hasil yang ditemukan

Grilling Process Optimization for Reducing Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) in Grilled Fish and Chicken

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Grilling Process Optimization for Reducing Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) in Grilled Fish and Chicken"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM IKAN BAKAR DAN AYAM PANGGANG

RANGGA BAYUHARDA PRATAMA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASINYA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Optimasi Proses Pembakaran untuk Mengurangi Kandungan Polisiklik Aromatik Hidrokarbon dalam Ikan Bakar dan Ayam Panggang adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2012

(3)

RANGGA BAYUHARDA PRATAMA. Grilling Process Optimization for Reducing Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) in Grilled Fish and Chicken. Under direction of HANIFAH NURYANI LIOE and BUDI NURTAMA Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) have become a concern of many researchers because of its carcinogenic and mutagenic properties at low concentrations (ppm or ppb). PAH molecules are formed during incomplete combustion of woods, petroleum, coal, and organic compounds in foods, such as fish, chicken, and beef meat, with a high content of protein and fat. PAH molecules may be found in Indonesian traditional grilled foods at the low concentration levels. In this study, optimization of grilling process to obtain a safe Indonesian grilled food was investigated using response surface methodology (RSM) with applying 3 factors, seasoning concentration (0-15.0%), heat distance (2.0-8.0 cm), and process time (28-40 minutes). PAH content in the food was analyzed by a validated solid phase extraction (SPE)-HPLC UV method which has a recovery range of 101.2-104.2%, a repeatability range of 20.8-23.7%, a detection limit (LOD) range of 6.6-7.4 ng/g sample, and a quantification limit (LOQ) range of 22.0-24.7 ng/g sample. PAH compounds investigated in this study were benzo(a)pyrene (BAP) and dibenzo(a,h)anthracene (DBA), both have the highest toxicity values. BAP and DBA concentrations found in grilled fish and chicken during experiment were in the range of not detected to 149.2 ng/g sample. Both grilled foods had total PAHs (the sum of BAP and DBA) up to 225.9 ng/g sample. The result for optimum formula of fish grilling processes obtained from RSM was heat distance 7.4 cm, process time 30 minutes, and seasoning concentration 5.2%. While the result for optimum formula of chicken grilling processes obtained from RSM was heat distance 6.8 cm, process time 29 minutes and seasoning concentration 6.1%. Verification results showed that no PAH (BAP, DBA, total PAH) was detected (LODBAP 7.4 ng/g LODDBA 6.6 ng/g) on

both grilled fish and chicken, which were processed under the optimum formula.

(4)

Mengurangi Kandungan Polisiklik Aromatik Hidrokarbon dalam Ikan Bakar dan Ayam Panggang. Dibimbing oleh HANIFAH NURYANI LIOE dan BUDI NURTAMA.

Senyawa golongan polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) merupakan salah satu senyawa yang menjadi perhatian masyarakat dunia saat ini karena bersifat karsinogenik dan mutagenik pada konsentrasi rendah (ppm atau ppb). Molekul PAH terbentuk akibat pembakaran tidak sempurna (incomplete combustion) dari kayu, minyak bumi, batu bara, dan senyawa organik dengan kandungan protein dan lemak tinggi seperti daging ikan, ayam, dan sapi. Senyawa PAH yang bersifat karsinogenik diantaranya adalah benzo(a)piren (BAP) dan dibenzo(a,h)antrasen (DBA). Molekul PAH dapat ditemukan dalam makanan bakar dan panggang khas Indonesia pada konsentrasi rendah (ppb atau ppm) sehingga diperlukan optimasi proses pembakaran agar didapat produk makanan bakar dengan bumbu khas Indonesia yang aman dan rendah kandungan PAH. Ekstraksi senyawa PAH dari matriks pangan memerlukan persiapan sampel yang sangat banyak dan karena jumlahnya yang sangat rendah dalam matriks pangan (ppb atau ppt) diperlukan validasi metode untuk melihat akurasi dari metode ekstraksi yang digunakan.

Penelitian dilakukan dalam tiga tahapan. Tahapan pertama adalah validasi metode analisis PAH dengan menggunakan solid phase extraction dan HPLC-UV. Tahapan kedua dan ketiga adalah optimasi proses pembuatan ikan bakar dan ayam panggang yang rendah kandungan PAH dengan melakukan pengujian pada kombinasi konsentrasi bumbu yang digunakan serta jarak dan lama pemanasan.

Validasi metode yang dilakukan meliputi uji linearitas, uji kesesuaian sistem, dan uji recovery metode ekstraksi PAH dengan menggunakan solid phase extraction (SPE). Uji linearitas dilakukan dengan adisi standar dalam matriks sampel pada konsentrasi BAP dan DBA 0.1–10 µ g/g sampel (0.1-10 ppm). Nilai R2 untuk BAP adalah 0.968 sedangkan nilai R2 untuk DBA adalah 0.960. Hasil uji kesesuaian sistem HPLC memberikan hasil relative standard deviation (RSD) analisis di bawah yang disyaratkan oleh JECFA untuk analisis trace yaitu 2%. Hasil uji recovery untuk sampel dengan spike BAP dan DBA dengan konsentrasi 5 µg/g sampel masing-masing adalah 104.2% dan 101.2%. Repeatability dari analisis BAP dan DBA adalah 23.7% dan 20.8%. Limit deteksi (LOD) untuk BAP dan DBA masing-masing adalah 7.4 ng/g dan 6.6 ng/g sampel. Sementara limit kuantifikasi (LOQ) untuk BAP dan DBA adalah 24.7 ng/g dan 22.0 ng/g sampel.

Penentuan kombinasi pembumbuan, lama dan jarak pemanasan didapatkan dengan response surface methodology (RSM). Pembuatan rancangan percobaan dilakukan dengan metode response surface Box-Behnken design pada software Design Expert® 8. Rancangan percobaan dilakukan untuk mendapatkan respon BAP, DBA, total PAH, warna (nilai L dan °Hue), serta kadar air ikan bakar dan ayam panggang.

(5)

antara tidak terdeteksi hingga 148.1 ng/g dan 149.2 ng/g sampel, dengan total PAH (jumlah BAP dan DBA) berkisar antara tidak terdeteksi hingga 231.3 ng/g sampel. Nilai optimum proses pembakaran untuk ikan bakar dari pengolahan data dengan RSM untuk memperoleh kandungan PAH minimum adalah pembakaran dengan jarak pembakaran 6.8 cm, lama pemanasan 29 menit dan konsentrasi bumbu 6.1%.

Hasil verifikasi menunjukkan bahwa dengan proses pemanggangan ikan dengan jarak 7.4 cm, lama pemanasan 30 menit, dan konsentrasi bumbu 5.2% menghasilkan kandungan BAP, DBA, dan total PAH tidak terdeteksi (LODBAP

7.4 ng/g LODDBA 6.6 ng/g), nilai L sebesar 48.03, nilai °Hue sebesar 77.96 dan

kadar air sebesar 59.60%. Sementara hasil verifikasi ayam panggang menunjukkan bahwa dengan proses pemanggangan ayam dengan jarak 6.8 cm, lama pemanasan 29 menit, dan konsentrasi bumbu 6.1% menghasilkan kandungan BAP, DBA, dan total PAH yang tidak terdeteksi (LODBAP 7.4 ng/g; LODDBA 6.6

ng/g), nilai L sebesar 31.65, nilai °Hue sebesar 62.21, dan kadar air sebesar 50.62%. Seluruh nilai memenuhi 95% prediction interval.

(6)

©Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor.

(7)

DALAM IKAN BAKAR DAN AYAM PANGGANG

RANGGA BAYUHARDA PRATAMA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Mayor Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Nama : Rangga Bayuharda Pratama

NIM : F251090171

Program Studi : Ilmu Pangan (IPN)

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, MSi. Dr. Ir Budi Nurtama, M.Agr

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc.Agr.

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul Optimasi Proses Pembakaran untuk Mengurangi Kandungan Polisiklik Aromatik Hidrokarbon dalam Ikan Bakar dan Ayam Panggang.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Budi Nurtama, M.Agr. selaku komisi pembimbing atas bimbingan, saran, arahan, serta waktu yang telah diluangkan selama penulis melaksanakan penelitian dan penulisan tesis ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Fransiska Zakaria, M.Sc dan Dr. Eko Hari Purnomo, STP. M.Sc yang telah bersedia menjadi penguji pada ujian tesis penulis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada ibu dan bapak beserta adik-adik atas doa selama penulis melakukan penelitian. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Arlyny atas dukungan, doa, dan saran-saran selama penulis melakukan penelitian dan penulisan tesis. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Mba Yane, Mba Ririn, Siti, Pak Gatot, Bu Rubiah, dan Pak Taufik atas bantuan dan saran teknis selama penulis melaksanakan penelitian di Laboratorium Analisis Pangan Departemen ITP-Fateta-IPB dan Lab Kimia Pangan SEAFAST Center IPB beserta teman-teman IPN 2009 dan IPN 2010 atas saran serta bantuan selama penulis melakukan penelitian.

Penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Pendidikan Nasional RI atas pemberian dana penelitian di bawah program Hibah Fundamental DIPA IPB tahun 2011 dengan nomor kontrak 26/I3.24.4/SPP/PF/2011. Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat umum dan komunitas ilmiah.

Bogor, Juni 2012

(11)

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 8 Februari 1987 dari ayah Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS dan ibu Ir. Arnelia, M.Sc. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

(12)

Halaman

2.2 Benzo(a)piren (BAP) dan Dibenzo(a,h)antrasen (DBA) ... 6

2.3 Penelitian PAH dalam Makanan ... 9

2.4 Penelitian Reduksi PAH dalam Makanan ... 10

2.5 Metode Analisis PAH dalam Makanan ... 11

3.4 Tahap Pertama: Validasi Metode Ekstraksi PAH ... 18

3.4.1 Uji linearitas ... 18

3.4.2 Limit of detection dan limit of quantification instrumen ... 18

3.4.3 Uji kesesuaian sistem ... 19

3.4.4 Uji recovery dan repeatabilty ... 19

3.5 Tahap Kedua: Optimasi Kombinasi Variasi Pembumbuan, Lama Pemanasan, dan Jarak Pemanasan terhadap Kandungan PAH Ikan Bakar ... 19

3.6 Tahap Ketiga: Optimasi Kombinasi Variasi Pembumbuan, Lama Pemanasan, dan Jarak Pemanasan terhadap Kandungan PAH Ayam Panggang ... 20

3.7 Analisis Optimasi ... 22

3.7.1 Perancangan percobaan response surface methodology ... 22

3.7.2 Analisis permodelan dan optimasi ... 22

3.8 Analisis Statistik ... 24

3.9 Analisis Kimia ... 24

3.9.1 Pengukuran kadar air (AOAC 2005) ... 24

3.9.2 Pengukuran intensitas warna dengan chromameter CR-300 .. 24

(13)

4.2 Analisis Respon Optimasi Pembakaran ... 32

4.2.1 Analisis respon benzo(a)piren ... 34

4.2.2 Analisis respon dibenzo(a,h)antrasen ... 38

4.2.3 Analisis respon total PAH ... 40

4.2.4 Analisis respon nilai L ... 43

4.2.5 Analisis respon °Hue ... 44

4.2.6 Analisis respon kadar air ... 45

4.3 Optimasi Pembakaran dengan Design Expert® 8 ... 46

4.4 Verifikasi Nilai Optimum Proses Pembakaran Ayam dan Ikan ... 50

4.5 Analisis Korelasi Respon Optimasi Pembakaran ... 52

4.6 Perkiraan Paparan Komponen Toksik PAH dari Konsumsi Ikan Bakar dan Ayam Panggang ... 53

5. SIMPULAN DAN SARAN ... 55

5.1 Simpulan ... 55

5.2 Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57

(14)

Halaman

1. Toxic equivalency factors (TEF) molekul PAH karsinogen terhadap BAP .. 7

2. Variabel independen yang digunakan dalam desain RSM ... 20

3. Rancangan percobaan optimasi proses pembakaran ... 23

4. Hubungan °Hue dan warna sampel ... 25

5. Kondisi analisis PAH dengan HPLC-UV ... 26

6. Hasil validasi metode ekstraksi PAH dengan tandem SPE-HPLC-UV ... 30

7. Hasil pengujian seluruh respon formula optimasi pembakaran ikan bakar .. 33

8. Hasil pengujian seluruh respon formula optimasi pembakaran ayam ... 34

9. Komponen dan respon yang dioptimasi, target, batas atas dan bawah, serta importance pada optimasi formula ikan bakar ... 48

10. Komponen dan respon yang dioptimasi, target, batas atas dan bawah, serta importance pada optimasi formula ayam panggang ... 48

11. Hasil prediksi dan verifikasi nilai optimum pembuatan ikan bakar ... 52

12. Hasil prediksi dan verifikasi nilai optimum pembuatan ayam panggang ... 52

13. Matriks korelasi respon penelitian ikan bakar ... 53

(15)

Halaman

1. Struktur molekul Benzo(a)piren dan Dibenzo(a,h)antrasen ... 6

2. Mekanisme pembentukan ikatan kovalen BAP dan DNA ... 9 konsentrasi bumbu 7.5% terhadap konsentrasi BAP ikan bakar ... 37

8. Grafik 3 dimensi hubungan jarak pemanasan dan konsentrasi bumbu pada lama pemanasan 28 menit terhadap konsentrasi BAP ayam panggang ... 37

9. Grafik 3 dimensi hubungan lama pemanasan dan konsentrasi bumbu pada jarak pemanasan 5 cm terhadap konsentrasi DBA ikan bakar ... 40

10. Grafik 3 dimensi hubungan jarak pemanasan dan konsentrasi bumbu pada lama pemanasan 34 menit terhadap konsentrasi DBA ayam panggang ... 40

11. Grafik 3 dimensi hubungan lama pemanasan dan konsentrasi bumbu pada jarak pemanasan 2 cm terhadap total PAH ikan bakar ... 42

12. Grafik 3 dimensi hubungan jarak pemanasan dan lama pemanasan pada konsentrasi bumbu 7.5% terhadap total PAH ayam panggang ... 42

13. Grafik 3 dimensi hubungan konsentrasi bumbu dab jarak pemanasan pada lama pemanasan 34 menit terhadap nilai L ikan bakar ... 44

14. Grafik 3 dimensi hubungan lama pemanasan dan jarak pemanasan pada konsentrasi bumbu 7.5% terhadap nilai L ayam panggang ... 44

15. Grafik 3 dimensi hubungan lama pemanasan dan konsentrasi bumbu pada jarak pemanasan 5 cm terhadap nilai °Hue ayam panggang ... 45

16. Grafik 3 dimensi hubungan lama pemanasan dan jarak pemanasan pada konsentrasi bumbu 7.5% terhadap nilai kadar air ikan bakar ... 46

17. Grafik overlay dari proses pembuatan ikan bakar ... 49

(16)

Halaman

1. Uji ANOVA permodelan respon percobaan ikan dan ayam ... 61

2. Hasil uji kesesuaian sistem analisis BAP & DBA dengan HPLC ... 62

3. Hasil uji linearitas BAP dan DBA dengan HPLC ... 62

4. Kurva hubungan luas area dan konsentrasi BAP dan DBA yang diadisi ke dalam sampel ... 63

23. Grafik kenormalan dan predicted vs actual respon BAP ayam panggang .. 73

(17)

30. Hasil uji ANOVA respon °Hue ayam panggang ... 77

31. Grafik kenormalan dan predicted vs actual respon °Hue ayam panggang . 77 32. Hasil uji ANOVA respon kadar air ayam panggang ... 78

33. Grafik kenormalan dan predicted vs actual respon kadar air ayam panggang ... 78

34. Hasil uji korelasi respon optimasi ikan bakar ... 79

35. Hasil uji korelasi respon optimasi ayam panggang ... 80

36. Hasil analisis warna ikan bakar ... 81

(18)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Makanan panggang merupakan salah satu jenis pengolahan makanan favorit di Indonesia. Kehidupan perkotaan yang padat berefek pada terjadinya peningkatan konsumsi makanan siap saji pada rumah makan yang umumnya menyajikan berbagai jenis makanan panggang. Hal ini ditunjukkan oleh data dari BPS (2011) yang menunjukkan peningkatan konsumsi makanan jadi dari 9.48% pada 1999 menjadi 12.63% pada 2009. Studi oleh Sundararajan et al. (1999) menemukan lebih banyak molekul karsinogenik pada makanan panggang dibandingkan pengolahan yang lain sehingga makanan panggang sering dikaitkan dengan penyebab kanker. Data tahun 2007 menunjukkan prevalensi kejadian kanker di Indonesia cukup tinggi yaitu 4.3 per 1000 orang. Hal ini dapat terjadi akibat perubahan pola hidup seperti peningkatan konsumsi makanan panggang.

Penelitian oleh Peto (2001) menunjukkan kecenderungan peningkatan kejadian kanker yang disebabkan oleh molekul kimia dan aspek lingkungan. Dewasa ini kanker lebih banyak disebabkan oleh pola hidup, seperti kebiasaan merokok, diet tidak seimbang, dan lingkungan, dibanding kanker yang disebabkan oleh genetik. Studi epidemi kanker terbaru menunjukkan prevalensi kejadian kanker saat ini hampir merata di seluruh dunia (Kolonel et al. 2004; Luch 2005a).

Banyak molekul kimia yang diduga bersifat karsinogenik dan penelitian akan molekul kimia karsinogen telah berlangsung sejak tahun 1771, dimulai oleh dokter berkebangsaan Inggris Pervicall Potts. Molekul kimia karsinogenik sendiri dapat terbentuk selama proses pemasakan makanan terutama akibat proses pemanggangan. Contoh senyawa karsinogenik yang dapat terbentuk akibat proses

pemanggangan diantaranya adalah golongan kloropropanol, seperti 3-kloropropan-1,2-diol (3-MCPD), golongan heterosiklik amin, seperti

2-amino-1-metil-6-fenilimidazo[4,5-b]piridin (PhIP), dan golongan polisiklik aromatik hidrokarbon, seperti benzo(a)piren dan dibenzo(a,h)antrasen (Harvey 2011).

(19)

lebih cincin aromatik dan tidak memiliki sifat fungsional dalam tubuh. Pemanasan bahan organik pada suhu tinggi, misalnya pemangggangan, diketahui dapat menyebabkan terbentuknya polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) melalui reaksi pemecahan bahan organik menjadi fragmen yang sederhana (pirolisis) dan pembentukan senyawa aromatik dari fragmen tersebut (pirosintetik) (Morret et al. 1999; Cano-Lerida et al. 2008).

Komponen PAH sendiri merupakan kelompok yang terdiri dari ribuan molekul kimia. Penelitian sejak tahun 1915 oleh Yamagawa dan Ichikawa telah menunjukkan sifat karsinogenik dari beberapa molekul PAH. Penelitian yang dilakukan dengan mengoleskan ter ke kulit tikus menunjukkan adanya potensi karsinogen dari PAH yang terdapat pada ter terutama dari molekul benzo(a)piren dan dibenzo(a,h)antrasen (Harvey 2011). JECFA memberikan batas asupan benzo(a)piren dalam makanan sebesar 10 μg/kg atau 10 ppb.

Beberapa upaya untuk menurunkan tingkat PAH dalam makanan panggang telah dilakukan seperti proses pemanasan sebelum pemanggangan dan pembungkusan makanan saat pemanggangan (Farhadian et al. 2011) dan penggunaan plastik LDPE untuk menyerap PAH (Chen J & Chen S 2005). Namun optimasi dari proses panggang seperti bumbu, jarak dan lama pemanasan belum pernah dilakukan sebelumnya. Salah satu metode statistika yang baik digunakan untuk proses optimasi adalah response surface metodology (RSM).

(20)

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengevaluasi reduksi kandungan senyawa polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) dalam makanan bakar dan panggang (ikan bakar dan ayam panggang) dengan optimasi penggunaan bumbu berbasis rempah lokal, jarak dan lama pemanasan.

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

a) Validasi metode penentuan kandungan senyawa PAH dalam makanan dengan cara tandem SPE dan HPLC-UV;

b) Optimasi reduksi komponen karsinogenik PAH pada makanan bakar dan panggang dengan menggunakan response surface methodology.

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi baru tentang keberadaan molekul PAH pada makanan bakar dan panggang dan memberikan informasi tentang pengolahan makanan bakar dan panggang yang aman dilihat dari tingkat kandungan PAHnya.

1.4 Hipotesis

(21)
(22)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH)

Polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) atau juga dikenal sebagai polycyclic organic matter (POM) adalah molekul aromatik yang terdiri atas dua atau lebih molekul cincin aromatik yang disusun oleh atom karbon dan hidrogen. PAH dalam hal ini termasuk indole, quinoline, dan benzothiophene yang memiliki fungsi biologis pada makhluk hidup (Baran et al. 2003) dan juga senyawa karsinogenik dan genotoksik seperti benzo(a)piren, benzo(a)antrasen, benzo(b)fluoranten, dan dibenzo(a,h)antrasen.

Polisiklik aromatik hidrokarbon dan beberapa turunannya berada secara alami di alam dan juga dapat terbentuk pada saat proses pembakaran tidak sempurna (suhu 500-800 °C) atau saat pemanasan bahan organik pada suhu 200-300 °C. Secara alami PAH dapat berada di udara, air permukaan, permukaan tanah, pertambangan batu bara, dan daerah gunung berapi. Sumber lain dari PAH adalah rokok. Rokok mengandung kadar tar cukup tinggi dan pembakaran tar diketahui dapat memicu terbentuknya molekul PAH terutama jenis PAH karsinogenik.

Mekanisme pembentukan molekul PAH terjadi melalui reaksi pemecahan bahan organik menjadi fragmen yang sederhana (pirolisis) dan pembentukan senyawa aromatik dari fragmen tersebut (pirosintetik) (Morret et al. 1999; Cano-Lerida et al. 2008). Selain melalui mekanisme suhu tinggi (200-800 °C), molekul PAH diketahui dapat terbentuk pada suhu yang relatif rendah, sekitar 100-150 °C, namun dengan waktu yang lebih panjang dibandingkan pirolisis dan pirosintesis (Morret et al. 1999). PAH umumnya bersifat sangat hidrofobik dikarenakan strukturnya yang memiliki banyak cincin aromatik yang bersifat nonpolar.

(23)

Secara alami PAH dengan bobot molekul rendah terdapat di atmosfer dalam konsentrasi yang cukup rendah, sedangkan PAH dengan bobot molekul tinggi umumnya terbentuk karena proses pemanggangan (Cano-Lerida et al. 2008). Namun demikian, kontaminasi PAH dari lingkungan hanya terjadi pada makhluk laut avertebrata seperti kerang dan tiram yang tidak dapat melakukan metabolisme PAH (Wootton et al. 2003; Oros & Ross 2005). Sedangkan pada hewan vertebrata, seperti sapi, ayam, dan ikan, molekul PAH, dalam konsentrasi sangat rendah, dapat dimetabolisme lebih lanjut sehingga tidak mengkontaminasi daging yang berasal dari hewan tersebut (Narbonne et al. 2005; Cano-Lerida et al. 2008).

2.2 Benzo(a)piren (BAP) dan Dibenzo(a,h)antrasen (DBA)

Beberapa senyawa PAH diketahui memiliki sifat karsinogenik yang cukup tinggi, terutama yang memiliki 4 sampai 6 cincin aromatik (Luch & Baird 2005). Sebanyak 16 jenis PAH dikategorikan sebagai polutan berbahaya dengan benzo(a)piren (BAP) dan dibenzo(a,h)antrasen (DBA) yang memiliki sifat karsinogenik tertinggi dibanding PAH yang lain (Tabel 1). Beberapa senyawa PAH seperti chrysene tidak bersifat karsinogen saat berada di tubuh, tetapi dengan adanya promotor, seperti tetradecanoylphorobol-acetate (TPA), senyawa PAH ini dapat bersifat karsinogen, atau lebih dikenal sebagai inisiator kanker.

Benzo(a)piren (Gambar 1) memiliki lima cincin aromatik dan memiliki bagian bay region dan K-region yang diduga berperan dalam sifat karsinogen dari molekul tersebut. Sifat karsinogenik dari molekul ini baru terlihat saat dimetabolisme oleh makhluk hidup. Molekul Benzo(a)piren telah dikategorikan sebagai molekul karsinogen tipe 1 (terbukti dapat menyebabkan kanker pada manusia) oleh IARC (Harvey 2011). Molekul ini dikenal sangat sulit untuk didegradasi secara alami. Karena potensi karsinogeniknya yang sangat tinggi, molekul BAP sering diteliti dan dijadikan indikator pencemaran PAH pada lingkungan (Demaneche et al. 2004; Amir et al. 2005).

(24)

Tabel 1 Toxic equivalency factor (TEF) molekul PAH karsinogen terhadap BAP

Rumus Molekul TEF

(Nisbet & Lagoy 1992)

Rumus Molekul TEF

(Nisbet & Lagoy 1992)

Rumus Molekul TEF

(Nisbet & Lagoy 1992)

0.001 0.001 0.100

0.001

0.001 1.000

0.001

0.100 1.000

0.001

0.010 0.010

0.001

0.010 0.100 0.100

(25)

Dibenzo(a,h)antrasen (Gambar 1) memiliki rumus kimia yang mirip dengan benzo(a)piren namun rumus bangun dari molekul ini berbeda. Sifat karsinogen dari DBA dikategorikan kedua tertinggi setelah BAP. Sifat karsinogen dari molekul DBA baru terlihat setelah terjadi metilasi oleh promotor kanker seperti tetradecanoylphorobol-asetat (TPA), sehingga seperti chrysene molekul ini lebih sering dikategorikan sebagai inisiator terjadinya kanker. Reaksi metilasi dari molekul DBA akan membentuk 7,12-dimetilbenz(a,h)antrasen (DMBA) yang memiliki potensi karsinogenik lebih besar dibandingkan molekul awalnya dan bahkan lebih besar dari BAP (Luch 2005b).

Molekul BAP dan DBA dapat mengadakan ikatan kovalen dengan DNA dan setelah terikat dengan DNA molekul ini baru bersifat karsinogen. Terdapat hipotesis awal mengenai kemungkinan K-region yang menjadi salah satu situs ikatan kovalen dengan DNA. Namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa K-region bukan situs pengikatan pada DNA dan molekul DBA yang tidak memiliki K-region terbukti memiliki sifat karsinogen. Penelitian kemudian beralih pada bay region namun tidak ditemukan hasil penelitian yang mendukung kedua situs ini sebagai situs ikatan PAH dengan DNA (Luch 2005b).

Penelitian akan sifat karsinogen dari kedua molekul ini kemudian berkembang ke arah adanya pengaruh enzim tertentu yang mengaktivasi kedua molekul tersebut sehingga memiliki sifat karsinogenik. Salah satu enzim yang diduga berperan pada tahap awal adalah enzim P-450 yang berada di retikulum endoplasma. Enzim ini akan mengoksidasi molekul BAP dan DBA dan membentuk molekul oksida dari BAP dan DBA yang tidak stabil dan berubah menjadi turunan fenol, quinone, dan diol-epoksida-nya (Harvey 2011).

(26)

Gambar 2 Mekanisme pembentukan ikatan kovalen BAP dan DNA (Luch 2005a).

2.3 Penelitian PAH dalam Makanan

Senyawa PAH dalam makanan dapat berasal dari berbagai macam sumber seperti kontaminasi lingkungan, pemberian panas pada makanan, dan juga berasal dari bahan baku makanan itu sendiri. Penelitian pertama tentang senyawa PAH dalam makanan dilakukan oleh Fazio pada 1973. Peneliti ini melakukan analisis zat dalam makanan yang menyerap cahaya pada panjang gelombang UV dan melakukan pemisahan dengan kromatografi lapis tipis (Wenzl et al. 2006).

Larsson et al. (1983) meneliti tentang pengaruh pemasakan daging terhadap kandungan PAH. Penggorengan dan pemasakan dengan menggunakan oven elektrik tidak menyebabkan terbentuknya senyawa PAH, sedangkan proses pemasakan dengan menggunakan arang menunjukkan peningkatan PAH yang signifikan. Penelitian ini menemukan bahwa pemasakan dengan kontak langsung antara api dari pembakaran kayu dengan bahan organik pada matriks pangan menunjukkan pembentukan PAH karsinogenik yang sangat tinggi.

(27)

cukup tinggi pada beberapa jenis sayuran dan gandum-ganduman dan dikonsumsi dalam jumlah banyak oleh masyarakat Amerika. Hal ini menunjukkan bahwa PAH tidak hanya berasal dari proses pemasakan tetapi juga dari cemaran lingkungan sekitar.

Beberapa peneliti juga menemukan kandungan PAH pada makanan yang tidak mengandung protein namun mengandung lemak tinggi. Guillen et al. (2004) menemukan kandungan PAH dengan konsentrasi cukup tinggi dalam minyak zaitun. PAH pada minyak zaitun ini diduga berasal dari kontaminasi lingkungan, proses pengeringan dengan suhu tinggi, dan ekstraksi dari minyak zaitun yang menggunakan pelarut organik. Rey-Salgueiro et al. (2008) melakukan penelitian pengaruh proses pemanggangan roti terhadap kandungan PAH dari roti bakar. Penelitian ini membuktikan bahwa proses pemanasan dengan api langsung dapat memicu pembentukan PAH hingga mencapai di atas 100 ug/g sampel, sedangkan pemanasan dengan menggunakan oven dan bread toaster tidak memicu pembentukan PAH.

2.4 Penelitian Reduksi PAH dalam Makanan

PAH dalam produk makanan sangat berkaitan dengan metode pengolahan yang digunakan. Pengolahan dengan pengasapan ataupun pemanggangan dengan bara api sangat berkaitan dengan peningkatan jumlah PAH dalam makanan. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengurangi jumlah PAH baik yang terdapat dalam bahan makanan maupun yang terdapat secara alami di lingkungan. Salah satu cara untuk menurunkan kontaminasi PAH adalah dengan menggunakan mikroorganisme. Salah satu jenis mikroorganisme yang sering digunakan adalah bakteri dari genus Mycobacterium dan dari genus Rhodococcus. Kedua genus bakteri ini mampu mendegradasi benzo(a)piren menjadi asam ftalat dan asam protocatechuic yang tidak beracun. Selain bakteri, degradasi PAH dapat dilakukan dengan menggunakan fungi dan alga (Haritash & Kaushik 2009).

(28)

antara lemak dari makanan dengan sumber panas sehingga pirolisis dapat dihambat. Farhadian et al. (2011) juga menunjukkan bahwa daging ayam yang dibakar memiliki kandungan PAH rendah dibanding daging sapi karena tekstur daging ayam yang lebih lembut sehingga waktu pemasakan lebih singkat dan pirolisis dapat dihambat.

Selain itu telah berkembang pula penelitian tentang penyerapan PAH pada bahan makanan yang dibungkus dengan lapisan film ataupun plastik. Penelitian yang dilakukan oleh Chen J dan Chen S (2005) menunjukkan bahwa terjadi penurunan nilai PAH pada daging bakar yang dibungkus dengan plastik low density polyethylene (LDPE). Penurunan ini diduga disebabkan akibat penyerapan senyawa PAH oleh plastik LDPE.

2.5 Metode Analisis PAH dalam Makanan

Molekul PAH umumnya terdapat dalam konsentrasi sangat rendah di dalam makanan sehingga proses ekstraksi dan sensitivitas alat untuk deteksi PAH menjadi hal yang penting dalam penentuan jumlah PAH dalam makanan. Beberapa masalah yang umum ditemui pada analisis PAH dalam makanan yang kompleks diantaranya adalah PAH umumnya hanya terdapat pada konsentrasi sangat rendah di dalam makanan, banyaknya molekul organik yang akan ikut terekstrak bersama dengan PAH sehingga menimbulkan interferensi atau gangguan saat analisis kromatografi, dan molekul PAH umumnya terdapat dalam bentuk isomer sehingga identifikasi masing-masing PAH lebih sulit. Selain itu kemurnian dari pelarut yang digunakan harus dijaga karena pelarut organik yang digunakan umumnya merupakan turunan dari minyak bumi dan ter yang secara alami mengandung PAH (Janoszka et al. 2004; Guillen et al. 2004).

(29)

Chen et al. (1996) melakukan ekstraksi PAH dengan menggunakan tandem Soxhlet dan sonikasi dan analisis PAH dengan menggunakan HPLC dengan aliran isokratik. Metode sonikasi menggunakan banyak sekali pelarut dari golongan klorida dan diperlukan tahapan deep freezing pada sampel selama 48 jam sebelum sonikasi. Sedangkan untuk analisis dengan Soxhlet memerlukan waktu ekstraksi yang sangat lama dan volume pelarut yang digunakan banyak. Nilai recovery benzo(a)piren dari metode Soxhlet dan sonikasi ini berkisar antara 62% - 95%.

Beberapa metode terbaru untuk ekstraksi PAH diantaranya adalah ekstraksi dengan bantuan microwave (Camel 2000), ekstraksi dengan larutan super-kritis (Castro & Carmona 2000), dan accelerated solvent extraction yang memiliki ciri peningkatan suhu dan tekanan selama ekstraksi (Wang et al. 1999; Michalski & Germuska 2002). Jumlah pelarut yang digunakan pada metode ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan metode Soxhlet, sonikasi, ekstraksi liquid-liquid ataupun SPE dan ekstraksi dapat dilakukan dalam waktu singkat dan mudah dalam pengoperasiannya. Namun peralatan dan pelarut yang digunakan untuk ketiga metode ekstraksi ini sangat mahal.

Mottier et al. (2000) melakukan analisis PAH pada sampel sosis dengan cara ekstraksi liquid-liquid (LLE), clean up dengan SPE dan analisis dengan menggunakan instrumen GC-MS. Tahapan analisis yang dilakukan adalah saponifikasi dari sampel, ekstraksi dengan menggunakan sikloheksan kemudian dilanjutkan dengan pemisahan PAH dari molekul lain melalui metode SPE. Nilai recovery dari analisis BAP hasil penelitian Mottier et al. (2000) adalah 60%.

Untuk mendapatkan hasil recovery yang lebih baik, Janoszka et al. (2004) melakukan modifikasi metode ekstraksi PAH dengan menggunakan tandem SPE dan HPLC. Tahapan ekstraksi yang dikembangkan peneliti ini lebih singkat dan nilai recovery dari metode ini berkisar antara 65%-95% lebih baik dibandingkan metode yang dikembangkan Mottier et al. (2000). Peneliti lain yang menggunakan metode yang dikembangkan oleh Janoszka (2004) adalah Farhadian et al. (2011). Recovery metode analisis PAH yang dilaporkan berkisar antara 75-105%.

2.6 Analisis PAH dengan Tandem SPE dan HPLC

(30)

sebab itu dibutuhkan metode penyiapan sampel yang baik dan instrumen yang cukup sensitif untuk dapat mendeteksi molekul PAH dalam konsentrasi yang rendah tersebut. Proses ekstraksi PAH dari matriks sampel umumnya diawali dengan saponifikasi matriks sampel dengan menggunakan alkali kemudian clean up dari molekul PAH dengan menggunakan kromatografi kolom, soklet, maupun solid phase extraction (SPE). Kandungan PAH kemudian dianalisis dengan instrumen HPLC atau GC (Janoszka et al. 2004). Instrumen GC dan HPLC telah banyak digunakan dalam analisis molekul PAH dalam makanan dan telah terbukti sensitivitasnya (Barranco et al. 2003; Cano-Lerida et al. 2008).

Proses clean up sangat penting pada proses ekstraksi PAH dalam matriks pangan. Hal ini dikarenakan kandungan PAH dalam makanan umumnya berada dalam jumlah rendah dan adanya kemungkinan kontaminasi dari pelarut maupun molekul organik lain yang terkandung dalam matriks pangan yang dapat menyebabkan noise maupun kesalahan positif saat analisis PAH (Janoszka et al. 2004; Guillen et al. 2004). Salah satu metode clean up yang banyak digunakan untuk ekstraksi PAH dalam matriks pangan adalah SPE.

Metode ini menggunakan prinsip yang sama dengan ekstraksi liquid/liquid, yaitu mengekstrak sampel dengan menggunakan pelarut yang memiliki kelarutan yang sama dengan sampel (like dissolve like). Pada SPE, proses retensi sampel dilakukan pada medium padat (solid surface). Keunggulan dari metode ini dibandingkan metode clean up yang lain adalah proses clean up lebih sederhana, waktu analisis lebih singkat, dan jumlah pelarut yang digunakan lebih sedikit dibandingkan metode yang lain, seperti ekstraksi LLE (Barranco et al. 2003). Metode clean up ini memberikan hasil recovery yang baik pada analisis PAH dalam berbagai jenis matriks pangan seperti minyak nabati (Barranco et al. 2003) dan beberapa jenis daging (Janoszka et al. 2004, Farhadian et al. 2011).

(31)

fluoresens ataupun UV, memiliki sensitivitas dan selektifitas yang lebih baik untuk pemisahan molekul PAH, termasuk isomer-isomernya (Janoszka 2004).

Chen et al. (1996) membandingkan sensitivitas detektor UV dan fluoresens dalam analisis 16 molekul PAH yang dikategorikan pencemar lingkungan oleh EPA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa detektor fluoresens memiliki sensitivitas hingga 320 kali lebih sensitif dibanding detektor UV. Limit deteksi analisis molekul PAH dengan menggunakan detektor UV pada penelitian ini berkisar antara 0.02-1.54 ng. Berbagai hasil penelitian dalam Janoszka et al. (2004) menunjukkan bahwa kandungan PAH produk olahan daging berkisar antara 0.01-42.20 ng/g. Nilai ini berada dalam limit deteksi detektor UV dan menunjukkan bahwa detektor ini cukup sensitif untuk analisis PAH dalam makanan, terutama produk olahan daging. Penelitian oleh Riverra et al. (1996) menunjukkan hasil recovery yang baik untuk analisis PAH dengan detektor UV.

Analisis PAH umumnya dilakukan pada kolom C18 ataupun kolom khusus

PAH, yang berisi C18 dan silika ultra pure untuk meningkatkan deteksi alat.

Sistem HPLC yang digunakan adalah reversed phase chromatography (RPC) dengan fase gerak campuran asetonitril dan air ataupun metanol dan air dengan jenis elusi isokratik (Chen et al. 1996, Farhadian et al. 2011, Janoszka et al. 2004, Riverra et al. 1996). Pemisahan dengan sistem RPC umumnya lebih cepat, mudah, dan aman dan telah banyak digunakan sejak 1970an. Selain itu pelarut yang digunakan pada kromatografi RPC umumnya kompatibel dengan detektor UV (Snyder 2010; Dong 2006). Untuk analisis lebih dari 10 molekul PAH secara simultan, Chen et al. (1996) menyarankan penggunaan aliran gradien dibandingkan aliran isokratik. Hal ini dikarenakan penggunaan aliran gradien akan menghasilkan peak yang terpisah dan waktu analisis yang lebih singkat.

2.7 Response Surface Methodology

(32)

merancang percobaan agar mendapatkan hasil paling optimum dari percobaan tersebut (Montgomery 2001).

Metode RSM umum digunakan untuk optimasi proses kimia maupun biokimia seperti optimasi reaksi enzimatis, optimasi formula dalam pembuatan roti, optimasi proses ekstraksi zat tertentu dari matriks pangan, dan juga optimasi proses untuk reduksi komponen berbahaya seperti akrilamid (Lasekan & Abbas 2011; Mestadagh et al 2008). Lasekan dan Abbas (2011) melakukan optimasi kondisi pemanggangan dengan menggunakan RSM-central composite design (CCD)pada kacang almond untuk menurunkan kandungan akrilamid dari kacang almond tersebut. Mestadagh et al. (2008) melakukan optimasi proses blansir dengan RSM dengan desain CCD pada kentang untuk mereduksi akrilamid yang terbentuk pada produk olahan kentang goreng. Kedua peneliti tersebut berhasil melakukan optimasi proses pengolahan dengan RSM untuk menurunkan akrilamid yang terbentuk pada produk pangan.

(33)
(34)

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2011 sampai Maret 2012. Penelitian ini dilakukan di beberapa laboratorium yaitu, Laboratorium Kimia Pangan, SEAFAST Center, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Analisis Pangan Departemen ITP, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel makanan berupa daging ayam bagian dada dengan berat per unit sampel 300 g, ikan bawal dengan berat per ekor 300 g, bumbu kuning (terdiri atas kunyit, lengkuas, bawang putih, bawang merah, kemiri, merica, garam, dan jahe) yang digunakan untuk penyiapan ayam panggang dan ikan bakar, standar komponen PAH, yaitu benzo(a)piren (BAP) dan dibenzo(a,h)antrasen (DBA), asetonitril HPLC-grade, diklorometan p.a., toluena, n-heksana p.a., akuades Mili-Q grade, NaOH, kolom solid phase extraction, yaitu kolom ekstrelut Merck® (diatomaceus earth), kolom PRS (propylsulphonic acid silica) dari SiliCycle® (SiliCycle Inc. Canada), dan silica gelfor HPLC Merck®.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan gelas, pipet volumetrik, pipet mikro, alat pemanggang dengan menggunakan arang briket untuk penyiapan ikan bakar dan ayam panggang, food processor. Sedangkan peralatan yang digunakan untuk analisis PAH adalah instrumen HPLC Agilent 1200 series dengan detektor MWD merk Agilent yang diset pada panjang gelombang UV (Agilent Technologies, USA) dan kolom ODS (C18) dengan panjang 15cm, diameter 4.6 mm dan ukuran partikel 5 µ m.

3.3 Tahapan Penelitian

(35)

kedua dan ketiga adalah optimasi proses pembuatan ikan bakar dan ayam panggang yang rendah kandungan PAH dengan melakukan pengujian pada kombinasi konsentrasi bumbu yang digunakan, jarak pemanasan, dan lama pemanasan

3.4 Tahap Pertama: Validasi Metode Ekstraksi PAH

Validasi metode analisis polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) dilakukan dengan cara melakukan uji linearitas dengan standar adisi dalam sampel, penentuan limit of detection (LOD), penentuan limit of quantification (LOQ), uji kesesuaian sistem, akurasi uji recovery, dan uji presisi atau repeatabilty dengan mengikuti metode EURACHEM (1998). Validasi dilakukan pada metode analisis yang dimulai dari tahap ekstraksi dengan SPE hingga analisis PAH dengan menggunakan HPLC-UV.

3.4.1 Uji linearitas

Uji linearitas dilakukan dengan analisis hasil ekstraksi larutan standar PAH pada matriks pangan yang di-spiking dengan 7 konsentrasi PAH berbeda. Larutan standar PAH yang digunakan adalah benzo(a)piren (BAP) dan dibenzo(a,h)antrasen (DBA). Linearitas diukur dengan menggunakan nilai R2 yang didapat dari plot antara luas area peak dari HPLC-UV dengan konsentrasi (dalam ppm atau µg/mL) untuk masing-masing BAP dan DBA. Nilai linearitas yang diharapkan adalah lebih dari 0.990.

3.4.2 Limit of detection dan limit of quantification instrumen

(36)

3.4.3 Uji kesesuaian sistem

Uji kesesuaian sistem ditentukan dengan cara melakukan enam kali injeksi standar dengan konsentrasi tertentu dari larutan standar BAP dan DBA ke dalam sistem HPLC-UV. Larutan standar BAP dan DBA yang digunakan adalah 2 ppm. Kemudian dihitung standar deviasi dan standar deviasi relatif (RSD) dari waktu retensi dan luas area hasil pengukuran dengan menggunakan HPLC-UV. Nilai standar deviasi relatif yang diperbolehkan menurut JECFA adalah 2%.

3.4.4 Uji recovery dan repeatabilty

Uji recovery dilakukan dengan menggunakan sampel ayam panggang dan ikan bakar yang di-spike (ditambahkan) dengan larutan standar Benzo(a)piren (BAP) dan Dibenzo(a,h)antrasen (DBA) pada konsentrasi yang telah diketahui. Konsentrasi yang digunakan pada penelitian ini adalah 5 µg/g atau 5 ppm. Percobaan spiking dilakukan sebanyak 7 ulangan. Sampel yang di-spiking ini kemudian mengalami proses ekstraksi dan clean up sama seperti sampel tanpa spiking dan dianalisis kandungan PAH dengan HPLC-UV. Recovery dari metode dapat dihitung dengan rumus:

Recovery (%) = konsentrasi yang ditemukan – konsentrasi tanpa spiking x 100% konsentrasi spiking

Dari 7 ulangan yang didapat, dihitung rata-rata recovery dan standar deviasi relatif (RSD). Nilai RSD ini digunakan sebagai repeatability dari metode ekstraksi.

3.5 Tahap Kedua: Optimasi kombinasi variasi pembumbuan, lama pemanasan, dan jarak pemanasan terhadap kandungan PAH ikan bakar

(37)

Proses pembakaran dilakukan pada suhu 250-300 °C. Pengukuran suhu pembakaran dilakukan pada 6 titik sebanyak 4 kali selama proses pembakaran (Gambar 4). Ikan yang digunakan adalah ikan bawal berukuran 250-300 g. Bumbu kuning yang digunakan terdiri dari kunyit (2.5% dari total berat bumbu), lengkuas (15.0%), bawang putih (12.5%), bawang merah (50.0%), kemiri (2.5%), merica (2.5%), garam (2.5%), dan jahe (2.5%). Bumbu yang digunakan dalam pembuatan ikan bakar juga digunakan dalam pembuatan ayam panggang. Respon yang digunakan untuk optimasi proses pembakaran adalah konsentrasi BAP, DBA dan total PAH, kadar air, dan intensitas warna (nilai L dan °Hue). Tahap akhir adalah verifikasi respon dari kombinasi perlakuan yang dihasilkan dari software.

Tabel 2 Variabel independen yang digunakan dalam desain RSM

Simbol Variabel Independen

* Konsentrasi bumbu yang digunakan dihitung dari bobot ikan atau ayam mentah

3.6 Tahap Ketiga: Optimasi kombinasi variasi pembumbuan, lama pemanasan, dan jarak pemanasan terhadap kandungan PAH ayam panggang

(38)

Tahapan Penelitian

Kegiatan

Luaran

Gambar 3 Diagram alir tahapan penelitian.

Tahap I:

Validasi metode ekstraksi polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) dengan menggunakan ekstraksi solid phase extraction (SPE) dan analisis dengan HPLC-UV

Validasi metode ekstraksi meliputi uji linearitas, penentuan limit of detection (LOD), Penentuan limit of quantification (LOQ), uji recovery dan uji repeatability.

Diperoleh nilai koefisien linearitas metode, LOD alat, LOQ metode, recovery metode dan repeatabilitas metode

Tahap II:

Studi efek kombinasi dari variasi pembumbuan, lama pemanasan, dan jarak pemanasan terhadap kandungan PAH ikan bakar

Pengujian pengaruh kombinasi dari variasi penambahan bumbu, lama pemanasan, dan jarak pemanasan terhadap PAH dari ikan bakar. PAH diekstraksi dengan metode SPE dan dianalisis dengan HPLC-UV.

Kadar dibenzo(a,h)antrasen (DBA) dan benzo(a)piren (BAP) dari ikan bakar

Pengujian pengaruh kombinasi dari variasi penambahan bumbu, lama pemanasan, dan jarak pemanasan terhadap kadar PAH dari ayam panggang. PAH diekstraksi dengan metode SPE dan dianalisis dengan HPLC-UV.

Kadar dibenzo(a,h)antrasen (DBA) dan benzo(a)piren (BAP) dari ayam panggang pada berbagai variasi pembumbuan, lama pemanasan, dan jarak pemanasan

(39)

Gambar 4 Alat pembakaran yang digunakan pada penelitian.

3.7 Analisis Optimasi

3.7.1 Perancangan percobaan response surface methodology

Perancangan percobaan dilakukan dengan menggunakan bantuan software Design Expert® 8. Penentuan proses pembakaran optimum dilakukan dengan menggunakan rancangan Response Surface. Desain percobaan yang digunakan pada Design Expert® 8 adalah Box-Behnken. Tahapan awal percobaan adalah menentukan faktor dalam percobaan dan respons yang akan diamati. Faktor yang akan dioptimasi adalah jarak dan lama pemanasan, serta konsentrasi bumbu yang digunakan. Respon yang dianalisis adalah konsentrasi BAP, DBA dan total PAH (ng/g sampel), analisis warna (L dan °Hue), dan kadar air. Penentuan jarak, lama, dan konsentrasi bumbu yang akan diujikan dilakukan dengan melakukan beberapa uji coba pendahuluan dan dilakukan pengamatan perbandingan. Dari hasil uji pendahuluan didapatkan kisaran minimum dan maksimum untuk masing-masing faktor percobaan adalah jarak pemanasan 2-8 cm, lama pemanasan 28-40 menit, dan konsentrasi bumbu 0-15%. Kisaran jarak pemanasan, lama pemanasan dan konsentrasi bumbu pada optimasi pembakaran ayam dan ikan mengikuti rancangan pada Tabel 3.

3.7.2 Analisis permodelan dan optimasi

(40)

Tabel 3 Rancangan percobaan optimasi proses pembakaran

Jarak Pemanasan (cm) Lama Pemanasan (menit) Konsentrasi bumbu (%)

5.0 34 7.5

Penentuan persamaan matematik yang akan digunakan didasarkan pada analisis ANOVA dari model (dalam hal ini hasil signifikan pada uji signifikansi model dan tidak signifikan pada uji lack of fit). Selain itu dilakukan perbandingan nilai “adjusted R-squared” dan “predicted R- squared” dari model yang dihasilkan. Model kemudian ditampilkan dalam countour-plot grafik 2 Dimensi dan 3 Dimensi. Analisis lanjut dilakukan pada grafik kenormalan residual dan perbandingan prediksi model dan nilai aktual.

(41)

Tahap akhir adalah verifikasi respon yang dihasilkan oleh proses optimum. Verifikasi dilakukan dengan membandingkan hasil respon aktual dengan perkiraan dari proses optimum oleh Design Expert® 8. Verifikasi proses optimum diterima jika nilai aktual masuk ke dalam kisaran 95% prediction interval.

3.8 Analisis Statistik

Analisis korelasi dilakukan pada respon (BAP, DBA, total PAH, L, °Hue, kadar air) yang dihasilkan pada proses optimasi pembuatan ayam dan ikan bakar. Analisis korelasi dilakukan dengan analisis pearson correlation dengan menggunakan software SPSS 17®.

3.9 Analisis Kimia

3.9.1 Pengukuran kadar air (AOAC 2005)

Pengukuran kadar air dilakukan dengan menimbang sampel daging yang telah dihomogenkan sebanyak 1 g ke dalam cawan yang telah dikeringkan. Cawan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 110 °C selama 3 jam kemudian didinginkan dengan cara dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit. Sampel kemudian ditimbang lalu dimasukkan kembali ke dalam oven selama 30 menit dan didinginkan. Pengeringan dengan oven dihentikan saat didapat bobot yang stabil. Kadar air sampel dihitung menggunakan rumus berikut:

100%

3.9.2 Pengukuran intensitas warna dengan chromameter CR-300

(42)

Tabel 4 Hubungan °Hue dan warna sampel.

Ekstraksi dan clean-up komponen PAH dengan teknik solid phase extraction

(SPE) (Modifikasi Janoszka et al. 2004 dan Riverra et al. 1996)

Masing masing sampel daging, baik ayam panggang maupun ikan bakar, dihomogenkan dengan menggunakan food processor. Ekstraksi mengikuti prosedur pada Gambar 5. Sampel kemudian ditimbang sebanyak 1 g lalu dilarutkan dalam 1 mL larutan NaOH 1M dingin untuk saponifikasi. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam 1.5 g ekstrelut lalu diisikan ke dalam kolom solid phase extraction-propylsulphonic acid silica (SPE-PRS) dan sampel dielusi dengan fasa gerak 12 mL diklorometana-5% toluena. Untuk membantu proses ekstraksi digunakan vacuum chamber dengan laju alir eluen 1-5 tetes/menit.

(43)

nitrogen pada suhu ruang. Residu yang tertinggal dalam vial kemudian dilarutkan dengan 200 μL standar PAH (campuran BAP dan DBA) dengan konsentrasi 2.5 µg/mL, lalu dianalisis kandungan PAH-nya dengan HPLC-MWD.

Penentuan konsentrasi komponen PAH dengan menggunakan HPLC-UV

Penentuan jumlah PAH dilakukan dengan menggunakan HPLC Agilent 1200 series dengan detektor MWD yang diset pada panjang gelombang UV. Analisis dilakukan secara isokratik mengikuti kondisi pada Tabel 5.

Luas area yang digunakan untuk perhitungan kandungan PAH dalam sampel adalah selisih dari luas area yang terbaca pada sampel dengan luas area yang terbaca pada standar PAH (campuran BAP dan DBA) 2.5 µg/mL. Luas area ini kemudian dimasukkan ke dalam persamaan dari kurva standar hasil injeksi

berbagai konsentrasi standar PAH. Kandungan PAH baik BAP maupun DBA (µg/g sampel) dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

g/mL)

Tabel 5 Kondisi analisis PAH dengan HPLC-UV

Kriteria Kondisi

Kolom C18 (ODS), ukuran partikel 5 μm, panjang 15 cm, diameter dalam 4.6 mm

Suhu running Suhu ruang

Fase gerak Asetonitril-aquades MilliQ (80:20, v/v), isokratik Laju aliran fase gerak 1.0 mL/menit

Deteksi UV 280 nm

(44)

Daging dibakar dengan formula

Gambar 5 Diagram alir ekstraksi PAH dari sampel daging (modifikasi Janoszka et al. 2004)

(45)
(46)

4. PEMBAHASAN

4.1 Validasi Metode Ekstraksi PAH dengan Tandem SPE dan HPLC

Validasi metode merupakan salah satu penunjang dalam mendapatkan data hasil penelitian yang valid. Hal ini dikarenakan dengan melakukan validasi metode, atribut-atribut dalam suatu metode seperti ketelitian, ketepatan, sensitivitas, dan keterulangan dapat terlihat dan dapat dioptimalkan. Validasi metode biasa dilakukan apabila metode yang digunakan dalam suatu pengujian atau penelitian merupakan metode yang benar-benar baru atau apabila telah dilakukan modifikasi pada metode yang telah divalidasi. Selain itu, validasi metode juga dilakukan pada pengujian senyawa dengan konsentrasi trace (seperti PAH) untuk melihat validitas dari data yang dilaporkan.

Pada penelitian ini dilakukan modifikasi pada metode ekstraksi polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) yang telah dikembangkan oleh Janoszka et al. (2004). Modifikasi dilakukan pada jumlah sampel yang digunakan serta jumlah pelarut yang digunakan dimana pada penelitian ini jumlah sampel yang digunakan hanya 1 gram dengan jumlah pelarut yang telah disesuaikan. Selain itu digunakan instrumen High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dengan detektor UV untuk mendeteksi keberadaan PAH, berbeda dengan metode Janoszka et al. (2004) yang menggunakan HPLC dengan detektor fluoresens dan kromatografi gas dengan detektor mass spectrophotometer. Detektor UV dipilih karena detektor ini merupakan detektor yang umum terdapat pada lembaga pengujian pangan di Indonesia sehingga metode ini diharapkan dapat diaplikasikan oleh lembaga pengujian di Indonesia untuk pengukuran PAH dalam pangan.

(47)

Tabel 6 Hasil validasi metode ekstraksi PAH dengan tandem SPE dan HPLC-UV Kriteria Nilai untuk BAP Nilai Untuk DBA Linearitas injeksi standar PAH

murni (R2), range konsentrasi 0.05-10 µg/mL

0.999 0.999

Linearitas metode dengan standar adisi dalam sampel (R2), range

Limit Deteksi (LOD) 7.4 ng/g sampel 6.6 ng/g sampel Limit Kuantifikasi (LOQ) 24.7 ng/g sampel 22.0 ng/g sampel Rekoveri dengan spiking

5 µg/g sampel

104.21% 101.18%

Repeatability atau Presisi 23.66% 20.85%

Hasil uji kesesuaian sistem untuk benzo(a)piren (BAP) dan dibenzo(a,h)antrasen (DBA) ditunjukkan pada Tabel 6. Rata-rata waktu retensi untuk BAP dan DBA masing-masing adalah 11.448 menit dan 13.232 menit dengan RSD di bawah 2%. Sementara rata-rata luas area BAP dan DBA adalah 179.5855 dan 347.9346 dengan RSD di bawah 2%. Hasil ini sesuai dengan standar RSD yang disarankan oleh JECFA untuk prosedur analisis trace.

Kromatogram hasil analisis PAH dapat dilihat pada Gambar 6. Peak dari BAP tampak pada 12.634 menit dan DBA pada 13.511 menit. Peak dari kedua jenis PAH ini tampak sebagai peak yang terpisah sehingga analisis dari kedua PAH dapat dilakukan secara simultan.

(48)

analisis BAP dan DBA dengan adisi standar ke dalam sampel pada range konsentrasi spike 0.1-10 µg/g sampel memiliki nilai koefisien determinasi (R2) di bawah 0.990. Sementara koefisien regresi injeksi langsung standar BAP dan DBA di atas 0.990. Nilai uji linearitas injeksi langsung standar PAH sesuai dengan yang disarankan EURACHEM (1998), yaitu nilai koefisien determinasi (R2) > 0.990.

Hasil uji LOD dan LOQ PAH menunjukkan nilai LOD dari HPLC untuk adalah 0.01-0.03 ng/g. Hal ini menunjukkan detektor fluoresens lebih sensitif untuk deteksi PAH dalam sampel. Penyebab lainnya adalah tidak digunakannya kolom khusus untuk analisis PAH seperti yang dilakukan oleh kedua peneliti tersebut. Kolom khusus PAH merupakan kolom yang berisi C18 dan ultra-high

purity silika yang khusus dibuat untuk kolom PAH. Silika ini memiliki kemampuan sangat baik untuk mereduksi adsorpsi dari molekul polar sehingga jumlah senyawa pengganggu (interferens) sedikit dan resolusi pemisahan masing-masing PAH menjadi lebih baik.

Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan deteksi metode pada penelitian ini adalah dengan adisi standar pada tahap akhir ekstraksi PAH. Dalam metode yang dikembangkan oleh Janoszka et al. (2004), pada tahap akhir residu yang mengandung PAH dilarutkan dalam 200 µL Acetonitril : Air (80:20). Modifikasi dilakukan dengan mengganti penambahan Acetonitril : Air dengan standar PAH (BAP dan DBA) dengan konsentrasi 2.5 µg/mL sebanyak 200 µL. Dengan melakukan adisi standar PAH pada ekstraksi jumlah PAH yang terdeteksi akan masuk ke dalam limit deteksi dari sistem HPLC yang digunakan pada penelitian.

Hasil uji recovery dan uji keterulangan untuk analisis BAP dan DBA ditunjukkan pada Tabel 6. Konsentrasi standar BAP dan DBA yang di-spiking ke dalam matriks sampel ikan rebus adalah 5 µg/g sampel. Hasil uji recovery pada standar BAP bervariasi antara 69.32-128.61% dengan rata-rata recovery adalah

(49)

nilai yang direkomendasikan oleh EURACHEM (1998) yaitu 80-110% untuk analisis kandungan trace dalam sampel dengan konsentrasi 5 µg/mL. Nilai recovery yang dihasilkan pada penelitian ini lebih baik dibandingkan hasil penelitian Riverra et al. (1996) yang menggunakan tandem SPE dan HPLC-UV untuk analisis PAH. Peneliti ini melaporkan nilai recovery untuk analisis BAP dan DBA pada matriks sampel daging bakar masing-masing sebesar 47% dan 64%. Selain nilai recovery yang lebih baik, penggunaan sampel dalam jumlah rendah merupakan keunggulan dari metode analisis yang diterapkan dalam penelitian ini.

Hasil uji keterulangan analisis PAH ditunjukkan oleh nilai RSD dari masing-masing analisis PAH. Nilai keterulangan untuk BAP adalah 23.66% sedangkan untuk DBA adalah 20.85%. Nilai ini di atas batas keberterimaan yang disarankan oleh AOAC untuk analisis trace yaitu nilai RSD ≤ 15%. Untuk mengatasi hal ini optimasi proses ekstraksi SPE dapat dilakukan dengan menggunakan vacuum chamber yang dapat mengatur laju alir pelarut yang digunakan. Riverra et al. (1996) menyebutkan bahwa laju alir yang optimum untuk mendapatkan recovery yang baik adalah 0.5 mL/menit.

Gambar 6 Kromatogram analisis PAH dengan HPLC-UV pada sampel yang

dispike standar campuran BAP dan DBA masing-masing 1 µg/g sampel.

4.2 Analisis Respon Optimasi Pembakaran

Hasil pengukuran respon pada percobaan proses pembakaran ikan dan ayam panggang diperlihatkan pada Tabel 7 dan Tabel 8. Hasil dari uji coba pendahuluan digunakan sebagai faktor percobaan dalam desain percobaan Box-Behnken pada

BAP

(50)

software Design Expert® 8 dan menghasilkan kombinasi perlakuan 1-17 seperti terlihat pada Tabel 7 dan 8. Nilai °Hue pada Tabel 7 dan 8 dihitung dari nilai a dan b yang ditunjukkan pada Lampiran 36 dan 37. Software Design Expert® 8 memberikan pilihan jenis persamaan matematika (mean, linear, quadratic, atau cubic) yang menggambarkan hubungan antara faktor dan respon penelitian. Seluruh persamaan matematika dari masing-masing respon digunakan dalam penentuan optimasi proses pembakaran. Software akan memberikan rekomendasi persamaan matematika yang terbaik berdasarkan signifikansi model.

Model yang baik digambarkan dalam signifikansi model pada uji ANOVA, kedekatan nilai perkiraan koefisien regresi hasil penelitian aktual (R2) dan prediksi dari model (pred-R2), serta tidak ditemukannya Lack of Fit dari model yang dihasilkan. Selain parameter tersebut, analisis lebih lanjut dapat dilakukan terhadap plot kenormalan dari data yang dihasilkan (normal plot residual) serta prediksi dari model dibandingkan dengan data aktual hasil penelitian (predicted vs actual). Persamaan matematika yang dperoleh dari respon pada Tabel 7 dan 8 memenuhi persyaratan tersebut. Selanjutnya hubungan masing-masing respon dengan faktor penelitian digambarkan pada bagian berikutnya.

Tabel 7 Hasil pengujian seluruh respon percobaan optimasi pembakaran ikan Perlakuan Jarak

*Total PAH dihitung dari jumlah BAP (ng/g sampel) dan DBA (ng/g sampel)

**tidak terdeteksi, pada optimasi dengan DesignExpert® 8 digunakan nilai LOD masing-masing PAH (LODBAP = 7.4 ng/g;

(51)

Tabel 8 Hasil pengujian seluruh respon percobaan optimasi pembakaran ayam

*Total PAH dihitung dari jumlah BAP (ng/g sampel) dan DBA (ng/g sampel)

*tidak terdeteksi, pada optimasi dengan DesignExpert® 8 digunakan nilai LOD masing-masing PAH (LODBAP = 7.4 ng/g;

LODDBA = 6.6 ng/g)

4.2.1 Analisis respon benzo(a)piren

Molekul benzo(a)piren yang ditemukan pada ikan bakar berkisar antara

tidak terdeteksi (LODBAP = 7.4 ng/g sampel) hingga 130.1 ng/g sampel

(130.1 ppb). Nilai terendah didapat pada pembakaran dengan jarak 5.0 cm selama 34 menit dengan bumbu 7.5%. Nilai tertinggi didapat pada pembakaran dengan jarak terendah 2.0 cm dan lama pemanasan tertinggi yaitu 40 menit dengan 7.5% bumbu. Sementara molekul benzo(a)piren yang ditemukan pada ayam panggang berkisar antara tidak terdeteksi (LODBAP = 7.4 ng/g sampel) hingga 148.1 ng/g

sampel (148.1 ppb). Nilai terendah didapat pada pembakaran dengan jarak 8.0 cm selama 28 menit dengan bumbu 7.5% serta jarak 8.0 cm selama 34 menit tanpa menggunakan bumbu. Sementara nilai tertinggi didapat pada jarak terendah 2.0 cm dan lama pemanasan tertinggi yaitu 40 menit dengan 7.5% bumbu.

(52)

0.76 ng/g dan ayam panggang adalah 4.35 ng/g. Perbedaan jenis ikan dan ayam, metode pembakaran, serta lama pemanasan dapat menyebabkan perbedaan kandungan BAP yang ditemukan. Percobaan juga menunjukkan adanya perbedaan kandungan benzo(a)piren antara ayam panggang dan ikan bakar.

Persamaan matematika untuk menggambarkan hubungan konsentrasi BAP ikan bakar dengan jarak dan lama pemanasan, serta konsentrasi bumbu adalah

dengan nilai R2 model adalah 0.9762. Dari model yang dihasilkan terlihat bahwa konsentrasi BAP pada ikan bakar dipengaruhi jarak, lama, dan konsentrasi bumbu serta interaksi antar variabel percobaan. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga variabel yang diujikan dapat digunakan untuk mereduksi jumlah BAP dalam ikan bakar.

Persamaan matematika untuk menggambarkan hubungan antara konsentrasi BAP ayam panggang dengan jarak dan lama pemanasan, serta konsentrasi bumbu adalah persamaan reduced quadratic:

dengan nilai R2 model adalah 0.9209. Dari model yang dihasilkan terlihat bahwa konsentrasi BAP pada ayam panggang dipengaruhi jarak, lama, dan konsentrasi bumbu serta interaksi antar variabel percobaan. Hal ini juga menunjukkan bahwa ketiga variabel yang diujikan dapat digunakan untuk mereduksi jumlah BAP dalam ayam panggang.

(53)

jarak pemanasan yang semakin rendah akan meningkatkan kandungan BAP dari ikan bakar. Gambar 8 menunjukkan hubungan jarak pemanasan dan konsentrasi bumbu terhadap BAP ayam panggang. Grafik ini menunjukkan penggunaan bumbu dapat menurunkan kandungan BAP. Sementara peningkatan jarak pemanasan dapat menurunkan kandungan BAP ayam panggang. Data dari kandungan BAP pada ayam panggang dan ikan bakar menyebar normal.

Jarak yang dekat dengan api dan lama pemanasan yang tinggi akan mengakibatkan kontak antara api dengan daging ikan menjadi semakin tinggi. Penelitian ini menunjukkan bahwa kontak langsung antara daging dengan sumber api yang berasal dari arang akan meningkatkan kandungan PAH dalam produk panggang. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Chen dan Lin (1997) yang menunjukkan adanya peningkatan PAH secara signifikan pada bebek panggang seiring dengan meningkatnya waktu pemanggangan. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh Wahyana (2006) yang menemukan adanya peningkatan kandungan BAP sate ayam seiring peningkatan lama pemanasan.

Penyebab lain peningkatan PAH yang ditunjukkan pada penelitian ini juga dilaporkan dalam hasil penelitian Rey-Salgueiro et al. (2008) yang menemukan adanya peningkatan PAH akibat pemanasan tidak sempurna bahan organik seperti jatuhnya lelehan lemak ke sumber api sehingga membentuk PAH yang volatil. PAH ini kemudian akan tersimpan pada jaringan lemak dari daging seiring proses pemanggangan. Kontak yang lebih lama dengan sumber api akan meningkatkan kemungkinan fat dripping dari daging ikan dan ayam. Lemak dari daging yang mengenai sumber api kemudian mengalami reaksi pirolisis dan pirosintesis membentuk PAH.

(54)

Gambar 7 Grafik 3 dimensi hubungan jarak pemanasan dan lama pemanasan pada konsentrasi bumbu 7.5% terhadap BAP ikan bakar.

Gambar 8 Grafik 3 dimensi hubungan jarak pemanasan dan konsentrasi bumbu pada lama pemanasan 28 menit terhadap BAP ayam panggang.

Hasil penelitian dengan rancangan RSM (Gambar 8) menunjukkan adanya kecenderungan penurunan kandungan BAP seiring dengan penggunaan bumbu. Mekanisme penurunan BAP oleh bumbu dapat disebabkan oleh aktivitas antioksidan dari polifenol dan grup sulfhidril yang terdapat pada bawang merah dan bawang putih. Pembentukan BAP sebagai salah satu komponen PAH merupakan proses reaksi radikal (Sharma et al. 2003) meliputi terbentuknya radikal bebas dari senyawa organik rantai panjang seperti lemak (pirolisis) dan diikuti reaksi antar radikal membentuk PAH (pirosintesis). Antioksidan diduga berperan bereaksi dengan radikal bebas pada awal pembentukan PAH sehingga

(55)

reaksi radikal tidak berlangsung lebih lanjut (Janoszka 2011). Mekanisme penghambatan pembentukan PAH tidak hanya berlaku pada BAP, namun juga berlaku pada jenis PAH lainnya.

4.2.2 Analisis respon dibenzo(a,h)antrasen

Molekul Dibenzo(a,h)antrasen yang ditemukan pada ikan bakar berkisar antara tidak terdeteksi (LODDBA = 6.6* ng/g sampel) hingga 88.9 ng/g sampel

(88.9 ppb). Nilai terendah didapat pada pembakaran dengan jarak 5.0 cm selama 34 menit dengan bumbu 7.5%. Nilai tertinggi didapat pada pembakaran dengan jarak terendah 5.0 cm selama 40 menit dengan menggunakan bumbu 15.0%. Sementara pada ayam panggang DBA yang ditemukan berkisar antara tidak terdeteksi (LODDBA = 6.6* ng/g sampel) hingga 149.2 ng/g sampel (149.2 ppb).

Nilai terendah didapat pada pembakaran dengan jarak 8.0 cm selama 28 menit dengan bumbu 7.5% serta jarak 8.0 cm selama 34 menit tanpa menggunakan bumbu. Sementara nilai tertinggi didapat pada pembakaran dengan jarak terendah 2.0 cm selama 34 menit dengan 15.0% bumbu. Seperti halnya BAP, nilai maksimum yang dicapai pada penelitian ini jauh lebih tinggi dibandingkan batas yang diperbolehkan oleh JECFA yaitu 10 ng/g sampel (10 ppb).

Perbedaan yang cukup besar terdapat pada nilai maksimum DBA pada ayam panggang dan ikan bakar. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan kandungan lemak dari keduanya. Penelitian oleh Adelina (1999) menunjukkan kadar lemak dan protein ikan bawal berdasarkan bobot basah adalah 6.57% dan 12.80%, sementara kadar lemak dan protein ayam adalah 4.70% dan 20.60% (Purwati 2007). Molekul PAH akan lebih mudah terbentuk pada makanan yang memiliki kandungan lemak dan protein yang lebih tinggi, dalam hal ini daging ayam yang memiliki kandungan lemak dan protein yang lebih tinggi dibanding daging ikan.

Persamaan matematika untuk menggambarkan hubungan antara konsentrasi DBA ikan bakar dengan jarak pemanasan, lama pemanasan, dan konsentrasi bumbu adalah persamaan reduced quadratic:

[DBA] = 655.0855 – 18.1479 A – 36.0851 B – 5.3340 C + 1.1857 A2 + 0.5792 B2 + 0.3516 C2

(56)

dengan nilai R2 model adalah 0.7909. Dari model yang dihasilkan terlihat bahwa konsentrasi DBA pada ikan bakar dipengaruhi jarak, lama, dan konsentrasi bumbu. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga faktor yang diujikan dapat digunakan untuk mereduksi jumlah DBA ikan bakar.

Persamaan matematika untuk menggambarkan hubungan antara konsentrasi DBA ayam panggang dengan jarak pemanasan dan konsentrasi bumbu adalah persamaan reduced quadratic:

[DBA] = 183.3020 – 46.2643 A – 6.5044 C + 3.4145 A2 + 0.5343 C2 Keterangan: A = Jarak pemanasan

C = Konsentrasi bumbu

dengan nilai R2 model adalah 0.7503. Dari model yang dihasilkan terlihat bahwa konsentrasi DBA pada ayam panggang hanya dipengaruhi oleh jarak dan konsentrasi bumbu. Hal ini berbeda dengan hasil yang ditunjukkan pada ikan bakar.

Contoh grafik tiga dimensi hubungan antara lama dan konsentrasi bumbu terhadap konsentrasi DBA ikan bakar yang dihasilkan oleh Design Expert® 8 ditunjukkan pada Gambar 9. Pada grafik terlihat pengaruh konsentrasi bumbu terhadap penurunan kandungan DBA ikan bakar. Grafik menunjukkan dengan konsentrasi bumbu yang sesuai, kandungan DBA dari ikan bakar dapat diminimalkan seperti ditunjukkan pada daerah biru.

Gambar

Tabel 1 Toxic equivalency factor (TEF) molekul PAH karsinogen terhadap BAP
Gambar 2 Mekanisme pembentukan ikatan kovalen BAP dan DNA (Luch 2005a).
Gambar 3  Diagram alir tahapan penelitian.
Gambar 4  Alat pembakaran yang digunakan pada penelitian.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari data tersebut usia responden yang menggunakan aplikasi Mobile JKN adalah usia 31 sampai dengan 40 tahun. Berdasarkan data responden

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan perencanaan pembelajaran, dan Pelaksanaan pembelajaran melalui model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) Pembelajaran seni budaya pada materi nirmana trimatra disampaikan dengan metode ceramah, tanya jawab, demonstrasi dan pemberian

Kinerja Kuangan Perbankan ASEAN Indikator Profitabilitas Indikator Efisiensi Operasional Indikator Risiko Likuiditas Indikator Pertumbuhan Indikator Kualitas Aset

Inovasi yang telah diciptakan oleh Perumnas baik konsep hunian transit oriented development (TOD) yang bekerja sama dengan PT KAI, sistem precast untuk rumah tapak,

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa pemberian tepung temulawak sampai level 4% dalam ransum tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap warna daging, tekstur daging, dan

Sementara untuk negara ASEAN asal barang impor non migas terbesar adalah Thailand dengan nilai impor mencapai USD 72,91 juta, diikuti Singapura dengan nilai USD 49,68 juta

Ditemukannya Glochidia pada insang dan Proteocephalus parallacticus di dalam usus menunjukkan adanya kecenderungan sifat inang yang semakin besar ukurannya, maka ia