• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran kepemimpinan kiayi persatuan islam (PERSIS) dalam membentuk perilaku sosial jama'ahnya : studi kasus pesantren persatuan islam (PPI7) cempakawara, kota tasikmalaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran kepemimpinan kiayi persatuan islam (PERSIS) dalam membentuk perilaku sosial jama'ahnya : studi kasus pesantren persatuan islam (PPI7) cempakawara, kota tasikmalaya"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN KEPEMIMPINAN KIYAI PERSATUAN ISLAM (PERSIS)

DALAM MEMBENTUK PERILAKU SOSIAL JAMA’AHNYA

Study Kasus Pesantren Persatuan Islam (PPI 7)

Cempakawara, Kota Tasikmalaya

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Serjana Sosiologi (S.Sos)

Oleh ASEP MUHSIN NIM : 104032201014

PROGRAM STUDY SOSIOLOGI AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

PERAN KEPEMIMPINAN KIYAI PERSATUAN ISLAM (PERSIS) DALAM MEMBENTUK PERILAKU SOSIAL JAMA’AHNYA

(Study Kasus Pesantren Persatuan Islam - PPI 7 Cempakawarna Kota Tasikmalaya)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Serjana Sosiologi Agama (S.Sos)

Oleh Asep Muhsin Nim 104032201014

Pembimbing

Drs. Harun Rasyid, M.A NIP: 150 232 921

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

Pengesahan Panitia Ujian

Skripsi yang berjudul “Peran Kepemimpinan Kiyai Persatuan Islam (PERSIS) Dalam Membentuk Perilaku Sosial Jama’ahnya.” Telah diujikan dalam sidang munaqasah. Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Universitas Islam Syarif Hidayatullah (UIN). Jakarta pada tanggal 17 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar serjana program strata 1 (S1) pada Jurusan Sosiologi Agama (SA)

Jakarta 22 Juni 2009 Sidang Munaqasah

Ketua Sekertaris

Dr. Hamid Nasuhi, MA Dra. Jaoharotul Jamilah,M.Si NIP : 150 241 817 NIP: 150 282 396

Anggota

Penguji I Penguji II

Dr. M. Amin Nurdin, MA. Dra.Ida Rosyidah, MA. NIP: 150 232 919 NIP: 150 243 267

Pembimbing

(4)

ABSTRAK

Asep Muhsin, Peran Kepemimpinan Kiyai Persatuan Islam (PERSIS) Dalam Membentuk Perilaku Sosial Jama’ahnya. Study kasus Pesanren Persatuan Islam (PPI 7) Cempakawarna, Kelurahan, Cilembang, Kecamatan Cihideng Kota Tasikmalaya, Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 22 Juni 2009.

Memasuki milenium ketiga, dimana organisasi-organisasi masa Islam mulai menapaki berbagai persoalan yang semakin kompleks, rumit. Hal itu akan berbahaya bagi umat Islam sendiri apabila tidak segera diantisipasi dengan berbagai aktivitas yang dapat memperkuat jati diri umat, dengan meningkatkan ketaqwaan dan berserah diri kepada Allah SWT. Kalau kita melihat kebelakang sebenarnya gerakan-gerakan atau organisasi-organisasi masa Islam, dari zaman penjajahanpun sudah terus bermunculan misalnya saja Muhamadiyyah, Nahdatul Ulama (NU), Persatuan Umat Islam (PUI), dan Persatuan Islam (PERSIS) dari organisasi-organisasi tersebut mempunyai cita-cita yang sama yaitu menginginkan negara yang Islami.

Dari organisasi-organisasi tersebut tentunya mempunyai ciri khas masing-masingn misalnya: ada yang bergerak dengan cara mendekat dengan tradisi masyarakat, ada yang menekankan terhadap pendidikan, bahkan ada pula yang bergerak di bidang kakwah yang menginginkan perubahan secara cepat, dengan cara dakwahnya yang tegas, lugas, dan keras. kalau istilah kita sekarang ada yang dinamakan Konserfatif Reaksionisme, Moderat Liberalism dan Revolusioner-Radikalisme. Sehingga dari ketiga istilah tersebut memberi warna tersendiri dalam perkembangannya. Ada yang berkembang secara cepat, ada yang lambat, bahkan yang malah ditentang.

Berangkat dari literatur di atas, maka penulis berkeinginan untuk mengetahui bagaimana kekuatan sebuah oerganisasi yang tadinya ditentang, namun mereka masih tetap bisa bertahan, padahal mereka merupakan organisasi yang minoritas namun bisa tetap survaiv hingga saat ini. Ditengah organisasi yang mayoritas. Dalam tulisan ini penulis akan meneliti sebuah lembaga pendidikan Persatuan Islam (PERSIS), yaitu Pesantren Persatuan Islam (PPI 7) Cempakawarna, Desa Cilemang, Kecamatan Cihideng, Kota Tasikmalaya. Untuk mengetahui bagaimana keberadaan masyarakat sekitar pesantren pada awalnya? Kemudian faktor apakah yang menjadi kekuatan untuk mempertahankan anggota atau jama’ah yang sudah ada? apakah ada faktor kepemimpinan kiyai yang mempengaruhi perilaku sosial jama’ahnya? Kemudian apa saja faktor penghambat dan pendukung sehingga bisa terus survaiv sampai sekarang?

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Dzat yang Maha Agung Allah SWT, yang dengan Rahman dan Rahiem-Nya penulis dapat memulai dan menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat teriring salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, serta kita umatnya yang setia sampai hari pembalasan nanti. Amien

Dari lubuk hati yang terdalam, penulis menyadari bahwa dibalik keberhasilan penulis dalam menyelsaikan penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Teristimewa kepada Ibunda Siti Robiah, dan Ayahanda Abdul Allim (Alm), Ibuangkat Siti Robiah, Bapak angkat H. Abdl Rojak, yang tanpa lelah terus menerus mendo’akan penulis, Drs. H. Djaja Sanjaya, Ny. Milah Jamillah sekeluarga, yang dengan penuh keikhlasan dan ketulusan serta dihiasi kasih sayang yang tiada bandingannya, serta penuh kesabaran dalam mendidik, dan membimbing penulis sehingga bisa menjadi seperti saat ini. Satu hal yang tidak pernah mereka lupakan, selalu mendo’akan penulis disetiap waktu. Dengan penuh ketulusan dan kekurangan yang penulis miliki, penulis haturkan penghargaan dan bakti yang sedalam-dalamnya, dan semoga Allah SWT senantiasa menaungi mereka dengan Rahmat, Karunia, dan bimbingan kepada mereka untuk tetap komitmen (Istiqomah) berada di jalan-Nya hingga mereka memperoleh kebahagiaan dunia-akherat. Amiin.

(6)

Bapak/ Ibu dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya dosen-dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Lebih khusus lagi kepada ketua dan sekertaris jurusan Sosiologi Agama. Ibu Dra, Ida Rosyidah M.A. Ibu Dra. Jaoharotul Jamillah M.Si, serta dosen-disen Sosiologi Agama lainnya yang telah banyak membimbing, mengarahkan, mendidik penulis dengan sabar selama menjalani studi di kampus ini. Semoga ilmu yang telah mereka bebrikan terhadap penulis bermanfaat baik dalam kehidupan penulis hingga sampai akhir nanti.

3. Kakak-kakak tersayang: Teteh Dede Masrifah, Teteh Cucu Solihah, dan suami mereka. Adik-adikku tercinta Cucun Nurlaela dan suami, Abdul Wahid, Ujang Abdul Mukit Somantri, Ujang Maulana Soimun. Bayangan Kalian selalu menghiasi hari-hari penulis. Dengan penuh ketulusan penulis memohon kepada Allah SWT, agar selalu membimbing mereka semua dan penulis khususnya, supaya kelak menjadi anak yang saleh dan shalehah, berbakti kepada Allah dan Orang tua, serta berguna bagi Agama, Nusa, dan

Bangsa. Semoga Allah mengabulkan. Amiin

4. Kepada Teman-temen Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya (HIMALAYA) Jakarta. Terutama saudara Adi Ridwan Sayam, Litfi Rijalul Fikri, Cucu Supriadi, Yayan Bunyamin, Hendri Rahman abdurahman Mazid, dan Abdul Azis. yang telah membantu penulis demi kelancaran penulisan skripsi ini,

5. Sahabat-sahabatku di Sosiologo Agama angkatan 2004. Solehuddin Yusuf, Syiqil Arofat, Amir Mahmud, Budi Santoso, Taufik Rohman, Abdul Wahid Harianto, dan yang lainnya. Terima kasih atas dukungan kalian, semoga kita semua mendapat kesuksesan dan kebahagiaan dunia-akhirat. Amien

6. Kepada direksi PT Esence Indonesia. terutama kepada Bapak Hasan Sadili, Bapak

(7)

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga kebaikan kalian menjadi Amal Ibadah, dan semoga mendapat balasan yang lebih dari allah SWT.

7. Keluarga Besar Pondok Pesantren Darul Hadits. KH. Syamsuddin (Alm), beserta kaluarga. (Tanjung Sari, Salopa Tasikmalaya), Al-Hidayah. Ustadzah imas mastoah beserta lekuarga, (Mandalahayu, Salopa, Tasikmalaya), dan Al-Muawanah. KH. Kholiddin, ( Setiawargi, Jatiwaras, Tasikmalaya ). Keluarga besar Pesantren Persatuan Islam (PPI 7) Cempakawarna, Cihideung, Tasikmalaya, dan Jama’ah Persatuan Islam (PERSIS) Masjid Istiqomah. Berkat do’a dan dukungannya penulis dapat menyelsaikan penulisan skripsi ini tanpa halangan yang cukup berarti. Penulis mengucapkan terimakasih dan semoga Allah membalas kebaikan semuanya. Amiin

Jakarta, 01 Juni 2009 M 07 Jumadi Tsanni 1430 H

Penulis

(8)

ABSTRAKSI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...iv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...11

C. Kajian Pustaka...12

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian...13

E. Metodologi Penelitian...13

F. Tehnik Penulisan...19

G. Sistematika Penulisan...19

BABII :KAJIAN TEORI DAN KONSEP A. Pengertian Peran dan Peranan...21

B. Pengertian Ulama dan Kiyai...22

C. Perilaku Sosial Keagamaan...26

D. Otoritas dan Kepemimpinan...30

1. Pendekatan Sosiologis...35

2. Pendekatan Islam...37

BABIII :PROFIL PESANTRENPERSATUAN ISLAM (PPI 7) A. Sejarah dan Latar Belakang Berdirinya...39

B. Perkembangan Pendidikan………..………43

C. Perkembangan Kepemimpinan...45

D. Visi dan Misi...47

(9)

F. Qanun Asasi dan Qanun Dakhili...50

G. Keanggotaan dan Kaderisasi...53

H. Program Sosial Keagamaan...54

BABIV : KEPEMIMPINAN KIYAI PERSIS DAN PERILAKU JAMA’AH DI (PPI 7) CEMPAKAWARNA KOTA TASIKMALAYA A. Respon Masyarakat Terhadap Masuknya PERSIS ke Cempakawarna...56

1. Proses Masuknya Persis Ke Cempakawarna...56

2. Kondisi Cempakawarna Sekarang...57

B. Peran Kiyai di Pesantren Persatuan Islam (PPI7)...58

1. Wewenang Kiyai...61

2. Pola Kepemimpinan Kiyai...62

a. Pendidikan...63

b.Tabligh/Dakwah...65

c. Kemasyarakatan...66

d. Ekonomi...67

e. Politik...67

3.Pengaruh Kepemimpinan Kiyai Terhadap Perilaku Sosial Jama’ah...68

a. Perilaku Sosial Keagamaan...69

b. Perilaku Sosial Kemasyarakatan...70

C. Faktor-Faktor Keberhasilan Kiyai (PPI 7) Dalam Membentuk Perilaku Sosial Jama’ah...70

1. Faktor Yang Mendorong Keberhasilan...70

a. Adaya Lembaga Pendidikan...70

(10)

c. Adanya Dukungan Pihak-Pihak Terkait...74

2. Faktor Penghambat...74

a. Kekuatan Kepercayaan Lokal...75

b. Dominasi Kelompok Tertentu...75

c. Konflik Internal...75

D.Analisa...76

BAB V :PENUTUP A. Kesimpulan...80

B. Saran-Saran...82

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Pada hakikatnya perilaku beragama yang melekat kuat dalam kehidupan komunitas muslim merupakan personifikasi (penjelmaan) institusional yang mempersentasikan mazhab atau golongan tertentu. Perilaku yang muncul dalam praktek keberagamaan bukan semata-mata hasil pemahaman individu terhadap sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah, melainkan tidak dapat terlepas juga dari faktor genetis, ideologis, sosiologis dan intelektualitas yang telah dibangun secara turun temurun.

Sebagaimana dalam Islam yang merupakan agama yang universal, penerimaan individu dan masyarakat terhadap Islam memang sering melibatkan perubahan struktur asli, kelompok atau komunitas tertentu. Kenyataan inilah yang kemudian menciptakan perbedaan dan keragaman dalam tingkat hubungan antara kelompok entitas dan komunitas-komunitas yang lain.

Seperti halnya perilaku beragama dalam komunitas muslim yang bernaung dibawah komando Persatuan Islam (PERSIS) memiliki paradigma tersendiri dalam pemahaman dan penggalian terhadap hukum Islam, komunitas tersebut memiliki loyalitas kuat terhadap PERSIS, maka perilaku keberagamaannya terkolektifkan sedemikian rupa sebagaimana dikehendaki oleh kelompok itu, sehingga membentuk perilaku institusional dengan menampilkan simbol-simbol khas yang tentunya berbeda dengan perilaku kominitas atau gerakan keberakamaan muslim lainnya.

(12)

kembali kapada al-Quran dan Sunnah, tetapi sekaligus menghujat praktik-praktik keagamaan yang lazim dilakukan oleh masyarakat Indonesia”.1

PERSIS merupakan organisasi keagamaan yang menunjukan ciri khasnya sebagai garakan keagamaan yang menginginkan perubahan dalam masyarakat, khususnya pemahaman terhadap ajaran-ajaran agama yang sesuai dengan ajaran al-Quran dan Sunnah baik dalam masalah ritual-ritual keagamaan bahkan peraktek sosial kemasyarakatan. Hal tersebut terlihat ketika mereka terus-menerus menggembor-gemborkan pemberantasan, Tahayul, Bid’ah, dan Khurafat (TBC) yang menurut mereka kegiatan-kegiatan tersebut sudah melekat atau menjadi kebiasaan masyarakat yang tidak sesuai dengan syariat Islam.

Jika kita menjelajahi aliran pemikiran Islam dalam masyarakat Indonesia khususnya, kita dapat melihat setidaknya ada tiga aliran cara berpikir dalam memahami persoalan-persoalan agama yaitu aliran Konservatif-Reaksionisme, Moderat- Liberalisme, dan Revolusioner-Radikalisme.2

Aliran yang Pertama “Konservatif Reaksionisme” adalah aliran yang bersifat jumud yang secara apriori menolak setiap faham dan keyakinan yang hendak mengubah paham dan keyakinan yang lama dengan paham keyakinan yang baru. Aliran ini adalah aliran Muqalidun, yang mengikat dan membelenggu leher hidupnya dengan ikatan paham, keyakinan, dan aliran yang terkadang tidak bersumber kepada al-Quran dan Sunnah.

Aliran yang kedua aliran “Moderat-Liberalisme” adalah aliran yang mengetahui mana yang Sunnah dan yang Bid’ah, artinya mereka mengetahui kesesatan yang terjadi di masyarakat seperti: takhayul, bid’ah, dan khurafat, tapi tidak aktif dan positif memberantas hal tersebut, karena bagi mereka menganggap bahwa membicarakan Furu’iyah, dan Khilafiah, hanya akan memecah persatuan umat muslimin, bahkan mereka menganggap jika

1

Badri Khoeruman, Pandangan Keagamaan Persatuan Islam Sejarah, Pemikiran, dan Fatwa Ulama . (Bandung: PT Granada cet 1 juni 2005)’ h. iii.

(13)

masalah Furu dan Khilafiah itu hal kecil yang hanya akan menghabiskan waktu atau energi banyak, aliran ini seolah aliran yang berputus asa dalam mamperjuangkan agama.

Sedangkan aliran ketiga “Repolusioner-Radikalisme” adalah aliran yang menghendaki perubahan di masyarakat dari kegiatan-kegiatan diatas sampai keakar-akarnya, aliran yang mengajak umat muslim kembali pada al-Quran dan Sunnah, aliran yang hendak membongkar penyakit kaum muslimin secara radikal dan revolusioner, secara terus terang artinya tidak pakai tedeng aling-aling, tidak ragu-ragu dan penuh kepastian. Yang ketiga ini lah merupakan ciri khas yang dilakukan oleh Persatuan Islam (PERSIS).

PERSIS pada masa awal berdirinya bisa dikatakan keras, lugas, dan tegas dalam melaksana pemurnian pemahaman dan praktek keagamaan. Sehingga dari kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan selalu menimbulkan reaksi dari masyarakat sekitar sebagai mana FPI,MMI, dan HTI sekarang. PERSIS dianggap gerakan keagamaan yang mengada-ngada dan mendapatkan panggilan kelompok-kelompok yang membatasi diri dari lingkungan

dimana mereka berada, namun sekarang mereka sudah diterima bahkan didukung oleh masyarakat luas karena knsep pemurnian yang mereka lakukan bisa beradaptasi dengan tradisi yang ada.

Pemberian nama Persatuan Islam (PERSIS), mempunyai pengertian sebagai Persatuan Pemikiran Islam, Persatuan Rasa Islam, dan Persatuan Usaha Islam. Penamaan tersebut terilhami firman Allah: Q.S, Ali Imron, 3:103. Yang artinya, “Berpegang teguhlah kepada tali Allah dan janganlah bercerai berai...”, dan juga hadits Nabi SAW, yang artinya: “Tangan (kekuasaan) Allah berada pada jama’ah (H.R Tirmidzi).3

Persatuan Islam (PERSIS) didirikan di Bandung oleh K.H Zamzam dan K.H Muhamad Yunus, pada tanggal 1 Shafar 1342 H/12 September 1923 M. PERSIS selain berasaskan

3

(14)

Islam, juga bertujuan terlaksananya ajaran Islam yang berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah secara kaffah dalam segala aspek kehidupan umat muslim.4

Persatuan Islam (PERSIS) bersemboyan hendak mengembalikan umat Islam kepada al-Quran dan as-Sunnah, maka semboyan dan inti dakwah mereka itu bukan saja terbatas dalam lapangan akidah dan ibadah saja, tetapi lebih luas dari pada itu, mereka berjuang menegakan keyakinan umat muslim khususnya dalam melaksanakan ritual keagamaan dengan berlandaskan al-Quran dan Sunnah, dan berjuang dalam politik demi menegkan idiologi Islam.

Dengan berdirinya PERSIS telah menambah banyak organisasi-organisasi yang mengatasnamakan organisasi keagamaan, karena sebelumnya telah berdiri Muhamadiyah pada tanggal 18 Nopember 1912 di Yogyakarta yang diketuai oleh K.H Ahmad Dahlan5, yang dilatarbelakangi bukan hanya bentuk pemberontakan terhadap politik misionaris penjajah Belanda pada saat itu, tetapi juga merupakan sebuah perlawanan terhadap

tradisionalisme Islam yang terjadi di masyarakat.

Bahkan di Jawa Barat berdiri sebuah organisasi keagamaan dalam Islam, mereka mengatasnamakan dirinya adalah Persatuan Umat Islam (PUI), organisasi ini didirikan oleh K.H Ahmad Halim pada tahun 1917 di Majalengka6. Gerakan ini pada saat itu mempunyai beberapa fasilitas untuk melaksanakan kegiatan pendidikan keagamaan misalnya: sekolah Ibtidaiyyah, Muallimin, Asrama Santri yang ada pada saat itu.

Jam’iyah Persatuan Islam (PERSIS) menganggap bahwa Dewan Hisbah sebagai lembaga yang merumuskan tatacara pelaksanaan ibadah di lingkungannya, dan memiliki wewenang kuat untuk membentuk perilaku jama’ah dalam melaksanakan ritual keagamaan

4

Qunun Asasi Qonun Dakhili Pedoman Kerja Program Jihad 2005-2010 Persatuan Islam (PERSIS.) PT Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PERSIS) Bandung. Bab 1pasal 1,2,3

5

Dadan Wildan. Pasangsurut Gerakan Persatuan Islam Di Indonesia, Potret Perjalanan Sejarah Persatuan Islam (PERSIS), (Bandung: PT Persis Pres, 2000) , h. 23.

6

(15)

secara institusional. Dewan Hisbah merupakan thenk-thenk (sumber kekuatan) PERSIS untuk merespon setiap persoalan keagamaan yang muncul di masyarakat, baik dalam masalah Fikih, Siyasah, Muamalah, dan lain-lain.7

Demikian pula dengan Nahdatul Ulama (NU) yang sangat berhati-hati dalam melakukan penggalian Hukum Islam sebagai rujukan perilaku beragama bagi komunitasnya, dengan kehati-hatian tersebut mereka memandang tidak ada jalan lain selain mengikuti dan mendambakan para imam madzhab tertentu dalam berbagai masalah keislaman.

”Nahdatul Ulama memandang, bahwa imam mazhab memiliki kapasitas keilmuan yang paling mumpuni. Sehingga bagi NU, jawaban permasalahan keislaman dalam segala bidang terlebih dahulu harus merujuk secara Qouli ataupun Manhaji pada kitab-kitab dan imam mazhab yang Mu’tabar. Kesadaran yang tumbuh di kalangan ulama NU bahwa keterbatasan ilmu dan penguasaan yang masih terbatas dalam mencapai berbagai persaratan untuk menjadi mujtahid mazhab terlebih lagi mujtahid mutlak mengharuskan para ulama yang tergabung dalam forum Bahtsul Masa’il untuk senantiasa merujuk secara tekstual ataupun kontekstual pada paradigma yang dipergunakan oleh Imam Mazhab, terutama di kalangan mazhab Syafi’i8

Dari pembahasan tersebut di atas, penulis melihat bahwa pembentukan perilaku institusional dalam setiap komunitas atau organisasi tersebut, dibangun oleh loyalitas dan komitmen yang kuat dari komunitas muslim yang berada di lingkungan institusinya masing-masing. Sehingga kolektivitas dan homogenitas perilaku keberagamaan yang dimanifestasikan oleh umat Islam bukan bagian langsung dari dinamika sosial yang terus bergerak tanpa batas waku.

Dewan Hisbah, Imam mazhab, dan forum Bahsul Masa’il, merupakan kepanjangan tangan dari keputusan-keputusan ulama yang dipercaya sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan untuk merumuskan tatacara pelaksanaan perilaku beragama bagi komunitas yang berada dalam naungan institusinya, agar semakin fanatik dalam berpegang teguh pada landasan dan argumentasinya yang menjadi alasan dalam berperilaku.

7

Badri Khoeruman, h. vi 8

(16)

Baik disadari atau tidak, tidak ada komunitas muslim yang dapat lepas dari sikap taklid (percaya begitu saja kepada ajaran yang diberikan oleh orang yang dapat dipercaya tanpa mengetahui atau mempelajari sendiri) terutama hal agama secara hapal-hapal saja, walaupun kebenaran mungkin ia tidak mengerti; pengakuan.9 Taklidterhadap keputusan organisasi atau lembaga-lembaga yang ditunjuk seperti di atas dalam melaksanakan perintah-perintah agama adalah, upaya untuk menyelamatkan ajaran Islam dari penafsiran dan pemahaman manusia yang tidak berdasar pada kapasitas keilmuan yang mumpuni. Bagi komunitas muslim awam, taklid menjadi wajib, karena tanpa taklid komunitasnya akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan tuntunan agama.

Akan tetapi, di sisi lain komunitas yang perilakunya terlembagakan bukan sekedar taklid, melainkan merupakan sikap panatisme organisasi atau dalam pemahaman mereka dalam melaksanakan kegiatan dalam peraktek keagamaan mereka mengacu terhadap Annggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) yang dalam PERSIS disebut

Qanun Asasi dan Qanun Dakhili (QA/QD) sehingga tidak ada perbedaan diantara komunitas baik kiyai atau bukan kiyai, ulama dan awam dalam merefleksikan ajaran agamanya, karena simbol dan karakteristik perilakunya telah diinternalisikan dalam satu tradisi turun-temurun, yang oleh Fred Luthan disebut sebagai proses penanaman perilaku budaya yang dibawa “ShareCulture” dan melakukan pertukaran dengan perilaku yang lain “Transgeneration.”10

Dalam hal ini Deliar Noer juga menggatakan Berbagai organisasi baik sosial, pendidikan, atau politik telah kita lihat berbagai sifat tiap organisasi itu, kecenderungan yang mereka tekankan dalam pemikiran masing-masing” 11. Sifat kecenderungan ini dibentuk oleh pimpinan organisasi serta lingkungan dimana organisasi itu bergerak.

9

Alex M.A. Kamus Ilmiyah Populer Kontemporer, (surabaya PT Karya Harapan), h. 623 10

Bani Ahmad Saebani, h. x 11

(17)

Perilaku beragama menjadi tradisi yang kering dengan argumen dan dalil-dalil, tetapi terkenal dengan pernik-pernik khas institusinya masing-masing. Dapat dikatakan bahwa semakin dekatnya komunitas institusional dalam beragama, menunjukan semakin jauhnya dari ajaran yang sakral. Terlebih lagi kalau berbagai pemikiran ulama terdahulu dipandang sebagai keputusan final untuk diberlakukan secara garis keturunan (Generatif). Secara sosiologis, proses paternalisasi yang dibangun secara institusional dalam membentuk perilaku simbolik yang khas merupakan pembentukan kolektivitas perilaku yang menafikan perilaku di luar paradigmanya sendiri.

Dengan demikian, berbagai interaksi dan komunikasi religius yang dapat mempengaruhi kekuatan soslial-politik komunitas muslim hanya berlaku secara internal. Sedangkan dari sudut eksternalnya, komunitas yang perilakunya telah terinstitusikan secara sistematis akan mengalami kesulitan integritas. Hal itu sangat mungkin apabila setiap komunitas hanya mempertahankan kepentingan sosial politiknya masing-masing.

Paradigma perilaku sosial ini berbeda dengan paradigma definisi sosial, dimana definisi sosial memusatkan perhatian pada proses interaksi, dimana aktor adalah individu yang dinamis dan mempunyai kekuatan kreatif di dalam proses interaksi, sehingga aktor tidak hanya sekedar penanggap pasif terhadap stimulus yang muncul, tetapi akan menginterpretasikan stimulus yang diterimanya itu. Sementara dalam paradigma perilaku sosial, individu kurang sekali menerima kebebasan, tanggapan yang diberikannya ditentukan oleh sifat dasar stimulus yang datang dari luar dirinya.

Kehadiran pribadi-pribadi pemimpin yang berwibawa dalam masyarakat membawa pengaruh besar kepada warga masyarakat untuk menjauhkan diri dari penyimpangan yang merugikan hidup bersama. Hendro Puspito mengatakan bahwa kehadiran para pemimpin

(18)

1. Seorang pemimpin mempunyai kelebihan dalam pengetahuan tentang norma-norma moral dan pola-pola kelakuan yang disepakati dan diterima oleh masyarakat. Termasuk peraturan-peraturan tertulis dan tidak tertulis.

2. Seorang pemimpin dipandang sebagai suritauladan bagi bawahan, khususnya dalam kesetiaan pada kaidah-kaidah sosial umumnya dan peraturan-peraturan Negara khususnya .12

Dari kedua poin tersebut perlu diiterpretasikan terhadap kehidupan sehari-hari, yang mungkin secara tidak sadar kita telah terinstitusikan dengan para pemimpin atau yang menguasai di sekitar kehidupan kita, baik itu karena dianggap mempunyai kelebihan secara individu atau karena dibentuk dengan kekuasaan. Apa lagi kalau ternyata yang mengusai tersebut mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu, sehingga dengan kelebihannya tersebut bisa menjadi suritauladan atau contoh, sehingga kita terinspirasi untuk mengikutinya.

Beberapa akademisi yang pernah meneliti tentang salah satu kelompok organisasi keagamaan, yaitu Persatuan Islam (PERSIS), salah satu diataranya adalah Howard M. Federspiel, beliau menulis beberapa poin penting tentang organisasi ini.

Pertama,persatuan Islam merupakan organisasi yang menghendaki Indonesia sebagai Negara Islam, dengan menegakkan hukum-hukum Islam sebagai landasan dari sistem pendidikannya.

Kedua, menentang kelompok-kelompok yang menurut pandangan PERSIS akan melemahkan dan menghancurkan Islam, seperti Ahmadiah Qodian, Tradisionalisme Islam, dan Nasionalisme Sekuler menjadi sorotan utama PERSIS.

Ketiga,PERSIS sangat menekankan pada nilai-nilai Islam dan pada ketaatan terhadap perilaku yang benar menurut ajaran-ajaran Islam yang didasarkan pada Quran dan al-Hadits, dan

Keempat, pembersihan masyarakat dari sifat Takhayul, dan praktik Bid’ah dalam agama, merupakan hal yang tetap penting dalam pandangan PERSIS.13

12

(19)

Konsentrasi PERSIS pada keempat hal di atas merupakan hal yang masih berlangsung sampai sekarang. Bahkan ada pula hal-hal lain yang sebenarnya penting untuk dibicarakan oleh PERSIS dalam melakukan visi dan misi dakwahnya. Seperti bagaimana relevansi pola dakwah yang baik untuk jaman sekarang sehingga tidak terlalu banyak menyinggung perasaan pihak-pihak lain yang bersebrangan sikapnya dengan PERSIS sehingga menjadi sumber kekuatan untuk mereka dalam meneruskan misinya tersebut. dapun skripsi ini menggunakan metode Studi Kasus terhadap Pesantren Persatuan Islam (PPI 7) Cempakawarna, Kelurahan Cilembang, Kecamatan Cihideung, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.

Secara historis, hadirnya PERSIS di Cempakawarna saat itu masyarakat setempat masih dianggap menganut pola keagamaan tradisional.14 Menurut keterangan salah seorang sesepuh di desa tersebut, sebelum PERSIS masuk ke tempat tersebut kepercayaan masyarakat masih sangat mistis, berbau Animisme

(semua benda memiliki roh atau jiwa), dan Dinamisme (semua benda mempunyai kekuatan yang bersifat gaib/kesaktian), yakni menganut kepercayaan kepada roh-roh nenek moyang yang dianggap mulia, benda-benda keramat, dan masih mengadakan upacara ritual dalam menyambut dan menghormati roh-roh nenek moyang mereka dengan menyajikan sesajian.15 (sunda; sasajen), munjung16 di makam (Kuburan) buyut, dan kepercayaan lainnya.

Menurut pemahaman PERSIS, hal-hal seperti di atas termasuk perbuatan Syirik, Bid’ah, dan Khurafat dalam Islam. Tetapi setelah PERSIS datang yang dibawa oleh KH. Maman Abdul Rahman (Al-Marhum) ke tempat tersebut yang sekarang dipimpin oleh KH. Maman

13

Federspiel, Labirin Idiologi Muslim, pengarian dan pergulatan persis di era kemunculan negara indonesia (1923-1957), (Jakarta: PT SERAMBI ILMU SEMESTA Anggota IKAPI, 2004), h. 390-392

14

Tradisional dalam Kamus Besar Indonesia adalah sikap dan cara berfikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebuiasaan yang ada secara turun temurun, cet. x, (Jakarta; BP, 1999), h. 1068.

15

Menyediakan makanan dan minuman yang kahusus di persembahkan kepada arwah nenek moyang untuk di mintai restu agarselamat dari marabahaya.

16

(20)

Abdurahman Kosasih Sau’di (Ustadz Aman Ks), setahap demi setahap kepercayaan-kepercayaan lama masyarakat menjadi memudar. Dengan berlandaskan latar belakang di atas dalam sekripsi ini penulis mengangkat judul. “Peran Kepemimpinan Kiyai Persatuan Islam (PERSIS) Dalam membentuk Perilaku Sosial Jama’ahnya” Study Kasus Pesantren Persatuan Islam Nomor 7 (PPI 7) Cempakawarna, Desa Cilembang, Kecamatan Cihideng, Kota Tasikmalaya.

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar pembahasan dalam penelitian ini lebih fokus dan terarah, maka penulis membatasi pembahasannya. Skripsi ini akan membahas tentang peran kepemimpinan kiyai Persatuan Islam (PERSIS) dalam membentuk perilaku ritual dan sosial keagamaan Jam’iyahnya di Pesantren Persatuan Islam (PPI 7) Cempakawarna, Kelurahan Cilembang, Kecamatan Cihideung, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Pada rentang waktu dari mulai berdirinya sampai sekarang, adapun secara spesifik-nya hanya akan membahas beberapa masalah sebagai

berikut: Bagaimana peran kiyai di Pesantren Persatuan Islam (PPI7) dalam membentuk perilaku sosial kegamaan dan perilaku sosial kemasyaratan jama’ahnya?

C.Kajian Pustaka

Kajian pustaka ini penulis lakukan untuk mendapatkan literatur-literatur yang berhubungan dengan topik yang akan ditulis, bahkan untuk mencari karya ilmiah lain yang telah ditulis oarang lain apakah topik tersebut telah dibahas, diteliti atau belum. Dalam penelitian ini, penulis juga menelusuri perpustakaan-perpustakaan yang terdapat di UIN Syarif Hidayatullah. Hal ini dilakukan untuk memastikan apakah judul yang penulis angkat telah dibahas oleh mahasiswa lain. Berdasarkan hasil penelusuran penulis, ada tiga skripsi yang judul mereka angkat sama mengenai Persatuan Islam (PERSIS), akan tetapi objek

(21)

Pertama, Muhamad Syarifudin Peran Jam’iyah Persis Dalam Transformasi Budaya, dalam sekrpsi terserbut membahas bagaimana peran jam’iyah PERSIS dalam melakukan transpormasi budaya pada masyarakat. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah, FUF, 2006.

Kedua, Nurdin, Hidayat. Kontribusi Ahmad Hasan Terhadap Metode Pengajaran Pendidikan Agama Islam Melalui Persatuan Islam (PERSIS). Dalam skripsi tersebit dia membahas bagaimana kontribusi Ahmad Hasan dalam gerakan pendidikan Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah, FTIK, 2004.

Ketiga, Abdul Rosid. Perbandingan Mekanisme Ijtihad Dewan Hisbah dan Majlis Syuria NU dan Aplikasinya Dalam Permasalahan Kontemporer. Dalam pembahasannya dia melihat bagaimana mekanisme ijtihad Dewan Hisbah PERSIS dan Majlis Suriyah Nahdatul Ulama (NU) dan bagaimana peran keduanya dalam menyelesaikan permasalahan kontemporer. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah, FSH, 2006.

Dari ketiga skripsi tersebut, terlihat jelas bahwa objek penelitian berbeda, kendati pun

masih dalam gerakan keagamaan yang sama. Dalam hal ini, penulis meneliti pengaruh kiyai terhadap pembentukan perilaku sosial keagamaan jama’ah, baik dalam peraktek ritual keagamaan atau sosial kemasyarakatan.

D.Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah: untuk memenuhi syarat menyelesaikan tugas akhir studi strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Adapun manfaatnya adalah:

1. Untuk memberikan gambaran keberadaan Pesantren Persatuan Islam (PPI 7 ) di Cempakawarna.

2. Untuk dijadikan peta dakwah, khususnya dalam pembentukan perilaku sosial bagi

(22)

3. konsistensi yang memberikan kontribusi pengetahuan khususnya bagi penulis, dan pembaca sekalian pada umumnya.

E. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan penelitian yang dipakai oleh penulis adalah, metode kualitatif. Memilih metode kualitatif ini karena beberapa pertimbangan: Pertama, metode ini lebih mudah menyesuaikan apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; Kedua, dengan metode ini akan menyajikan secara langsung terlibat hubungan antara peneliti dengan responden; Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih banyak menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola nilai yang di hadapi.17

Dengan demikian penulis merasa dengan metode ini pula bisa lebih memperdalam masalah yang diteliti sehingga pembahasan dengan lebih mempererat hubungan diantara peneliti dengan informen. Ada berbagai cabang penelitian kualitatif, namun semua

berpendapat sama tentang tujuan pengertian subjek penelitian, yaitu melihatnya “dari segi pandangan mereka”. Persoalan pokoknya adalah: “dari segi pandangan mereka” bukan merupakan ekspresi yang digunakan oleh subjek itu sendiri dan belum tentu mewakili cara mereka berpikir. “Dari segi pandangan mereka” adalah cara peneliti menggunakannya sebagai pendekatan dalam pekerjaannya. Jadi dari segi pandangan mereka merupakan konsep penelitian.18

Pendekatan ini disebut juga pendekatan fenomenologis dimana peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang dalam situasi tertentu. Maurince Nasution menggunakan fenomenologis sebagai satu istilah “Generic” untuk

17

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung; PT Remaja Rosdakarya, 2002), h. 5 18

(23)

menunjuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran dan makna subjaktifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial.19

Pendekatan studi kasus menyediakan peluang untuk menerapkan prinsip umum terhadap situasi-situasi spesifik yang disebut kasus-kasus. Dimana kasus-kasus dikemukakan berdasarkan isu-isu penting, yang tentunya sering diwujudkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan, analisis studi kasus menunjukan kombinasi pandangan, pengetahuan, dan kreatifitas, mengidentifikasi dan membahas isu-isu relevan dalam kasus yang dianalisis.20

Dalam pendekatan kualitatif ini, penulis menggunakan metode wawancara mendalam (Deepth Interview) dengan pimpinan pesantren K.H Maman Aburahman Kosasih Suba’i sebanyak tiga kali, dengan Mudir Mualimun bapak Ustadz H.Habib Zaf sebanyak tiga kali, dengan beberapa ustadz lain seperti Ustadz Drs. Aep Saepuddin, Ustadz Memed S,Ustadzah Melan Meliani, dengan tiga orang santri yaitu Saepul Wahid M, Ikbal, Samsuddin dan Hari Anugrah yang masng-masing satu kali, dan satu orang warga masyarakat yaitu dengan Bapak

Karman Permana sebanyak tiga kali. Mereka merupakan informen utama.

Peneliti juga melakukan pengamatan dan wawancara pendukung terhadap jama’ah PPI 7 maupun masyarakat selama satu bulan. Penelitian ini berupa penelitian deskripsi yang bertujuan menggambarkan suatu keadaan atau suatu fenomena tertentu berdasarkan data yang penulis peroleh, secara harpiah. Deskriptif adalah penelitian yang bemaksud untuk membuat gambaran (Deskripsi) mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian tertentu sehingga dapat memperoleh gambaran yang sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat populasi atas daerah tertentu.21

Manfaat penelitian deskriptif adalah adanya kemungkinan pandangan umum bahwa individu merupakan totalitas dengan lingkungannya. Bukan hanya perilaku yang diamati

19

Dedy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, cet III, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), h. 20

20

Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 202 21

(24)

sekarang saja, apa yang harus diinterpretasi kan dari individu, tetapi juga masa lalunya, lingkungannya, emosinya, jalan pikirannya, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan perilaku tersebut.

Dengan demikian sehingga peneliti dapat mengambil kesimpulan yang valid mengapa individu atau kelompok berbuat seperti itu? Adapun kelemahan dari penelitian seperti ini di antaranya adalah: tidak memungkinkannya generalisasi, karena riwayat seseorang merupakan pengalaman unik dimana hanya bagi orang yang bersangkutan saja dan mungkin tidak berlaku bagi orang lain.

2. Subyek dan Objek Penelitian

Penelitian ini akan difokuskan kepada kiyai dan kelompok atau komunitas struktural Pesantren Persatuan Islam (PERSIS), yang berada di Pesantren Persatuan Islam (PPI 7) Cempakawarna, Kelurahan Cilembang, Kecamatan Cihideung, Kota Tasikmalaya.

3. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada tanggal 01 Maret sampai 30 Aprili, adapun tempat penelitian di Pesantren Persatuan Islam (PPI 7) Cempakawarna, Kelurahan Cilembang, Kecamatan Cihideung, Kota Tasikmalaya.

4. Teknik Pengumpulan Data

a.Wawancara (Interview)

Metode ini digunakan untuk mendapatkan data secara langsung dari narasumber, yaitu melakukan tanya jawab dengan pimpinan pesantren dan beberapa anggota jama’ah dan apabila diperlukan kelompok masyarakat atau organisasi Non PERSIS. Dalam hal ini peneliti menggunakan alat bantu sebagai pendukung, seperti: alat tulis, buku catatan, tape recorder dan kamera foto.

(25)

Yakni peneliti mengamati, mencatat, mengidentifikasi, dan menafsirkan secara langsung dari gejala-gejala atau temuan-temuan sekitar Pesantren PERSIS, baik yang bersifat harian, mingguan, bulanan, maupun tahunan. Untuk kemudian dijadikan sebagai data, yang tentunya berkenaan dengan apa yang peneliti lakukan. Peneliti menggunakan pengamatan terlibat agar lebih memahami peraktek-peraktek yang mereka lakukan sehingga bisa mengambil kesimpulan secara utuh dan membuktikan jika apa yang diteliti tersebut sesuai dengan pakta yang ada di lapangan.

c. Telaah Dokumen

Teknik ini digunakan untuk menggali literatur yang membahas tentang Jam’iyyat PERSIS, baik berupa buku-buku, majalah, dan tulisan-tulisan artikel lainnya yang berkenaan dengan PERSIS. Penulis juga menganalisis data-data sebagai proses untuk mengkatagorikan, mengurutkan data kedalam katagori dan suatu uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema yang kemudian dirumuskan hipotesis penelitian. Analisis data juga bermaksud untuk

mengkatagorisasikan data dari catatan yang diperoleh di lapangan, tanggapan peneliti, gambar, foto, dan lain sebagainya, ini untuk mengatur, mengurutkan, dan mengelompokannya.22

5. Tahapan Penelitian

a. Tahapan pra-lapangan/persiapan

Dalam tahapan ini ada beberapa hal yang harus peneliti lakukan. Pertama, menyusun rancangan suatu penelitian yang berisi latar belakang masalah yang diteliti Kedua, memilih lapangan penelitian yang telah ditentukan sebelumnya Ketiga, mengurus perizinan untuk

22

(26)

penelitian (yang berwenang dalam hal ini adalah Fakultas Ushuludin dan Filsafat), ini merupakan salah satu syarat bahwa peneliti sedang mengadakan penelitian Keempat, menjajaki keadaan lapangan. Adapun maksud dan tujuan penjajakan adalah agar peneliti berusaha mengenal segala unsur lapangan, lingkungan sosial, fisik, adat-istiadat, dan sebagainya dan kelima, memilih informan (subjek penelitian).

b. Tahapan Lapangan/Pelaksanaan

Ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh peneliti ketika berada di lapangan Pertama, harus memerhatikan penampilan. Dimana peneliti harus menyesuaikan diri dengan kebisaan, tatacara, dan kultur masyarakat setempat Kedua, peneliti harus berhubungan akrab atau pengenalan hubungan dengan subjek yang diteliti Ketiga, pelaksanaan wawancara dengan subjek penelitian, yang tentunya dilakukan sesuai kebutuhan data yang diperlukan Keempat, mencatat data baik data tersurat diperoleh dari wawancara, pengamatan, ataupun menyaksikan suatu kejadian tertentu.

c. Tahapan Penyelesaian/Laporan

Tahapan penyelesaian ini disebut juga dengan laporan terakhir pelaporan dari sebuah penelitian. Ada beberapa hal yang harus peneliti lakukan dalam tahapan ini, diantaranya adalah: Pertama, peneliti harus meneliti data-data yang telah diperoleh selama penelitian di lapangan, kedua mengujinya, lalu melakukan upaya-upaya penambahan data lain yang jika dianggap perlu; kedua, mengolah data dan menyusunnya kedalam bentuk tulisan; dan ketiga, mengambil kesimpulan.

F. Tehnik Penulisan

Teknik penulisan ini mengacu kepada pedoman penulisan skripsi, tesis, dan disertasi yang diterbitkan oleh UIN Jakarta Press, tahun 2008.

(27)

Untuk mengetahui secara global tentang penulisan ini, maka penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan,

Mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, kajian kepustakaan, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, teknik penulisan, dan Sistematika penulisan.

BABII: Kajian Teori

Terdiri dari pengegrtian peran dan perana, kiyai dan ulama, Perilaku sosial, dan otoritas dan kepemimpinan malaluai pendekatan sosiologis dan pendekatan Islam.

BAB III: Profil Pesantren Persatuan Islam (PPI 7)

Mencakup; Sejarah dan latar belakang berdirinya, visi dan misi, ideologi dan karakteristik, qanun asasi dan qanun dakhil, keanggotaan dan kaderisasi, dan program sosial keagamaan.

BAB IV: KEPEMIMPINAN KIYAIPERSIS DAN PERILAKU JAMA’AH DI PPI 7

Bab ini akan memberikan analisis dari hasil penelitian tentang sejarah masuknya, peran kiyai, faktor-faktor keberhasilan dan penghambat kiyai dalam membentuk perilaku sosial jama’ah

dan terakhir Analisa. BAB V: Penutup

(28)

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengertian Peran dan Peranan

Secara sederhana pengertian peran adalah pelaku atau pemain, sedangkan peranan dimaknai sebagai fungsi atau kedudukan. Bagi para sosiolog manusia dipandang sebagai pelaku dari peranan-peranan sosisal, misalnya: Gross, Mason dan Mceachern mendepinisikan “Peranan sebagai harapan-harapan yang dikenakan kepada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu.”23

Dalam peran dan peranan terdapat dua macam harapan yaitu: Pertama. Harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau kewajiban-kewajiban dari pemegang peran, Kedua. Harapan-harapan yang dimiliki oleh pemegang peran terhadap masyarakat atau dengan orang-orang yang selalu berhubungan dengannya dalam menjalankan peranan atau kewajiban-kewajibannya.24

Dari pandangan tersebut, peranan dapat dilihat sebagai bagian dari struktur masyarakat yang diberikan kepada seseorang pemegang peran dalam hal apapun. Jadi struktur masyarakat dapat dilihat sebagai pola-pola peranan yang saling berhubungan diantara pemegang peran dengan peranannya sendiri. Demikian juga bisa saja peran-peran tersebut hanya ada selama peranan-peranan itu diisi oleh individu pemegang peran tertentu di suatu komunitas, organisasi, atau bahkan kelompok-kelompok kehidupan dalam bermasyarakat. Pandangan peran dan peranan di atas penulis terapkan terhadap keberadaan seorang pemimpin dalam suatu organisasi keagamaan. Organisasi yang dimana tidak terlepas dari seseorang individu yang memegang peran tertentu agar organisasi tersebut bisa melaksanakan program-perogramnya dengan baik, misalnya dalam suatu institusi penidikan, lingkungan

sosial, bahkan kelompok sosial keberagamaan, dan lain sebagainya.

23

David Berry. Pokok-Pokok Pikiran Dalam Sosiologi, (Jakarta CV. Rajawali 1981), h. 99. 24

(29)

Kelompok keberagamaan seperti Muhamadiyah, Nahdatul Ulama (NU) dan PERSIS

menganggap bahwa seorang pemimpin mempunyai peran penting yaitu menjadi panutan atau pemberi contoh terhadap jama’ahnya. Pemegang peran tersebut dalam tradisi sebagai orang muslim sudah tidak asing lagi dengan panggilan nama Kiyai, Ulama, dan Ustadz.

Dari ketiga istilah tersebut bagi masyarakat awam bisa saja memberikan arti yang sama. Namun bagi insan akademis yang dianganggap penting untuk mencari tahu apa arti, dan bagaimana pemakaian suatu istilah-istilah dengan tepat tentunya di antara yang satu degan yang lainnya mempunyai pengertian yang berbeda. Walaupun di antara istilah-istilah tersebut bisa saja mempunyai beberapa persamaan.

B. Pengertian Ulama, Kiyai dan Ustaz

Dalam hal ini adalah tokoh agama yang dipandang mampu dan profesional dalam

menyelesaikan berbagai masalah keagamaan, baik masalah ritual keagamaan maupun sosial. Ulama, Kiyai dan Ustaz hirarkisnya jelas, “Ustaz biasanya mempunyai pengaruh lokal yang

terbatas, pengetahuan keislamannya tidak seluas kiyai.”25 Ustadz hanya sebagai guru yang mengajar di pesantren, maka dari itu ustadz tidak sertamerta disebut kiyai atau ulama, karena ustadz hanya pengajar bukan pimpinan di pesantren tertentu, tetapi ulama dan kiyai biasanya selalin sebagai pimpinan pesantren juga sekaligus sebagai ustaz. Artinya: selain dia menjadi pimpinan pesantren kiyai juga bisa dikatakan sebagai pemilik pesantren, tapi terkadang ada juga kiyai tidak mempunyai pesantren. terkadang sewaktu-waktu dia juga ikut mengajar baik di dalam pesantren tersebut atau bahkan di luar.

Ustadz yang dikatagorikan sebagai Kiyai adalah Ulama yang memiliki kapasitas keilmuan yang diakui oleh komunitas tertentu. Sebagaimana seorang pengasuh Pondok Pesantren atau Mubalig (Penceramah) yang tingkat jam terbangnya dalam berceramah cukup lama, tinggi

ilmunya, dan popularitasnya meluas buyasanya akan dipanggil kiyai dalam komunitas

25

(30)

muslim tertentu, karena dia dipandang memiliki ilmu yang luas dan tinggi, serta profesional dalam bidangnya, misalnya ahli dalam Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Falak, Ilmu Ushul Fikih, dan lain sebagainya.

Semenetara Ulama adalah istilah umum (dalam Bahasa Arab) yang diperuntukan bagi orang yang memiliki ilmu pengetahuan luas, dan ilmu itu dipergunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bahkan dalam buku “Islam Kebangsaan” yang ditulis oleh KH, Sa’id Aqiel Siradj yang dikutip oleh Zainal Arifin Thoha,

”Ualama adalah orang yang memiliki pengetahuan, ahli ilmu atau ilmuan; dia adalah orang yang mengetahui kebesaran Allah SWT melalui alam semesta, sehingga timbulah perasaan Khosyyah dan Khauf. Atau biasa dikatakan orang yang berpengetahuan luas, beriman dan bertakwa kepada Allah.”26

Kiyai juga biasa dikatakan sebagai pemimpin nonformal sekaligus pemimpin spiritual, dan sebagai pemegang amanah yang berkewajiban untuk mendidik, membina, membantu,

melayani dan mengarahkan para anggotanya, sehingga membuat kiyai posisinya sangat dekat dengan kelompok-kelompok masyarakat lapisan bawah, apa lagi di daerah pedesaan dia

sebagai tokoh atau sesepuha dan sebagai pemimpin masyarakat. kiyai memiliki jama’ah yang diikat oleh hubungan keguyuban yang erat dan ikatan budaya paternalistik, petuah-petuahnya atau nasihat-nasihatnya selalu didengar, dan dilaksanakan oleh jama’ah, komunitas atau masa yang dipimpinnya.27

“Sebutan kiyai, pada dasarnya adalah wacana khas Jawa, itu pun terbatas hanya Jawa Tengah dan Jawa Timur pada zaman kerajaan, sebutan ini diperuntukan bagi orang-orang yang dianggap memiliki ilmu Kasepuhan, karenanya orang yang memiliki ilmu itu disebut sesepuh atau orang yang dituakan. Bahkan ada pula yang mengertikan kiyai adalah: sosok seorang muslim dengan keilmuan agama yang tinggi dan luas, karismatik, peduli dengan lingkungannya, berjuang membangun dan memajukan masyarakat yang diayominya.”28

Peran kiyai yang dianggap serba menentukan terkadang akhirnya justru menyumbangkan terbangunnya otoritas yang mutlak, dalam teradisi pesantren misalnya: kiyai adalah pimpinan

26

Zainal Arifin Thoha, Runtuhnya Singgasana Kiyai (NU Pesantren Kekuasaan: Pencarian tak Kunjung Usai) cet, II, (Yogyakarta: Agustus 2003), h. 308.

27

Mijamil, Qomar. Pesantren dari Transfirmasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakrta: Erlangga Anggota IKAPI), h. 29

28

(31)

tunggal yang memegang wewenang yang hampir mutlak, dalam artian tidak ada orang lain yang lebih dihormati dari pada kiyai, dia merupakan pusat kekuasaan tunggal yang

mengendalikan sumber-sumber keilmuan tertentu terutama pengetahuan tentang keagamaan, dan wibawa yang merupakan sandaran bagi santri-santrinya, dan jama’ah yang diayominya. Kiyai selain menjadi tokoh yang melayani sekaligus melindungi para santri, bahkan kiyai menguasai dan mengendalikan seluruh sektor kahidupan pesantren, sehingga para ustadz dan para santri baru mereka berani melakukan sesuatu tindakan yang baru mereka akan meminta persetujuan kiyai untuk melakukannya, setelah mendapatkan restu atau persetujuan dari kiyai selaku sesepuh atau pimpinan pesantren atau organisasi.

Dengan demikian sebagaimana dituliskan di atas bahwa kedudukan kiyai adalah memegang kedudukan ganda, selain dia sebagai pengasuh juga sekaligus pemilik pesantren, tapi penulis tegaskan kembali, jika kiyai atau ulama ada pula yang tidak memiliki pesantren. Secara struktural kedudukan ini sama dengan kedudukan bangsawan feodal dimana menreka

dianggap memiliki sesuatu yang tidak bisa dimiliki oleh orang lain yang berada di sekitarnya. Maka dengan sikap seperti ini hampir setiap kiyai atau ulama yang ternama beredar atau lagenda tentang keampuhan secara umum bersifat magis.

Sedangkan Ulama secara tradisonal dan konvensional, dipandang sebagai orang yang memiliki penguasaan mendalam atas ilmu-ilmu agama dan spesialisasi (keahlian khusus dalam ilmu-ilmu tertentu) dalam kehidupan keagamaan.29 Bahkan dikatakan juga dalam hadits ulama adalah pewaris para Nabi “Al-‘Ulama Waratsat Al-Anbiya”, namun yang menjadi masalah bagi kita sekarang adalah, siapakah ulama itu? Sebagai jawaban yang mendekati pertanyaan tersebut sebagaimana dalam firman allah SWT, dalam surah Fathir ayat 28

29

(32)

!

Dan demikian (pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa,dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.(QSAl-Faathir ayat 28.”30 Dalam ayat ini identitas yang paling sakral dan esensial. Ulama tidak dipandang dari bebrapa atribut yang dikenakan misalnya; seberapa bagus pakaian yang dikenakannya, seberapa banyak asasoris yang dikenakan dalam pakaiannya, tapi seorang ulama adalah yang hatinya dipenuhi oleh rasa takut, cinta, dan malu kepada Allah SWT. Perasaan ini merupakan gumpalan “Magma” yang terpendam yang sewaktu-waktu bisa mencuat kepermukaan, menggelegar dan meletus atau keluar dari mulutnya berupa inovasi untuk melakukan “Amarma’ruf dan Nahyil Munkar”, pikirannya dipenuhi konsep-konsep untuk kemajuan umat, langkah dalam kehidupannya berisi motivasi-motivasi yang membuat maslahat, selamat, nikmat bagi umat dari dunia hingga akhirat.

C. Perilaku Sosial Keagamaan

Dalam kamus Bahasa Indonesia perilaku dapat diartikan dengan “tingkah laku” sehingga kemudian tingkah laku juga bisa diartikan suatu perbuatan atau aktivitas. Diantara ahli sosiologi ada yang mengartikan bahwa tingkah laku adalah, respon yang berupa reaksi, tanggapan, jawaban, atau balasan yang dilakukan oleh manusia.31

Dengan mencoba melihat penyebab timbulnya perilaku yang dilakukan oleh kemauan sendiri. Teori ini didasarkan atas asumsi-sumsi sebagai berikut; Pertama, bahwa “manusia pada umumnya melakukan sesuatu dengan cara-cara yang masuk akal”. Kedu, “manusia akan

30

Al-Quran (Q.S,35;28) hal 437 31

(33)

mempertimbangkan semua informasi yang ada, dan terakhir” Ketiga, “secara implisit maupun ekspelisit” manusia memperhitungkan implikasi tindakan mereka.32

Dari ketiga tindakan di atas, mengatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu proses pengambilan keputusan yang teliti, beralasan dan terbatas hanya pada tiga hal juga yaitu: perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum, tetapi oleh sikap yang spesifik terhadp sesuatu. Perilaku tidak hanya dipengaruhi oleh sikap tertentu, tetapi juga oleh norma-norma subjektif yaitu: keyakinan kita mengenai apa yang orang lain inginkan agar kita perbuat, sikap terhadap suatu perilaku bersama dengan norma-norma subjektif membentuk suatu intensi atau niat untuk berperilaku tertentu.

Weber mangklasifikasikan tentang perilaku sosial ini terhadap empat tipe: Pertama, “kelakuan yang diarahkan secara rasional kepada tercapainya suatu tujuan” (zweck). Kedua, “kelakuan yang berorientasi kepada suatu nilai (wert) nilai keindahan (estesis), nilai

kemerdekaan (politik), nilai persaudaraan (keagamaan), kesetiaan pribadi, atau hal apapun

yang mereka anggap penting”. Tipe kelakuan ini bersifat rasional sebab pelaku mau menanggung segala resiko yang berkaitan dengan kelakuannya. Ketiga,“ kelakuan yang menerima orientasinya dari perasaan atau emosi seseorang, dan oleh karena itu disebut kelakuan efektif atau emosional”. Keempat,“kelakuan yang menerima arahnya dari tradisi, sehingga disebut kelakuan teradisional.”33

Selanjutnya dalam perspektif sosiologis, agama dipandang sebagai “sistem kepercayaan” yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu, berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu atau kelompok sehingga setiap perilaku yang diperankannya akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial digerakan oleh kekuatan dari dalam berdasarkan nilai-nilai ajaran agama yang

menginternalisasi sebelumnya. 32

Saifuddin Azwar, Sikap Manusia Teori Dan Pengukurannya, h. 11 33

(34)

Perilaku manusia yang terbentuk oleh norma-norma masyarakat, tidak berarti sebagai potensi dirinya secara kultural dinafikan begitu saja, justru “potensi kultural individu itu

diadaptasikan dan diintegrasikan secara sosialistik sehingga menjadi sistem sosial yang muatan simboliknya diterima dan menjadi ciri khas masyarakat tertentu.”34 Compton dan Galaway yang mengetengahkan pendapat Lippt dan Westley, dalam Social Work And Process 1979;109 berpendapat bahwa:

“Dinamika perilaku masyarakat yang membentuk kebudayaan yang khas yang saling menentukan adalah; karena kebutuhan yang sama akan tujuan yang hendak dicapai yang dikokohkan oleh hubungan fungsional, dan pilihan sosial yang teruji, serta generalisasi kepentingan yang lebih teranspormatif, dan stabil untuk dijadikan norma-norma kehidupan dalam masyarakat.”35

Dalam hal tersebut diatas penulis akan menyajikan bagaimana eksistensi kelompok kecil (minoritas) dan bisa dikatakan baru yang berada ditengah-tengah kelompok besar

(mayoritas), Kinloch yang dikutif oleh Yusron Rajak mengatakan faktor yang mempengaruhi kelompok minoritas dapat dikaji dengan menggunakan beberapa dimensi berlainan.“Dimensi sejarah, dimensi demografi, dimesi sikap, dimensi institusi, dimensi gerakan sosial.”36

Paradigma perilaku sosial memusatkan perhatiannya pada hubungan individu dengan lingkungannya, lingkungan itu terdiri dari macam objek sosial dan bermacam-macam objek non sosial. Paradigma ini mempelajari bagaimana tingkah laku individu yang berlangsung dalam hubungan dengan faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor lingkungan, sehingga menimbulkan perubahan dalam tingkah-laku individu. Intinya mempelajari “hubungan fungsional antara tingkah tingkah-laku dengan perubahan yang terjadi dalam lingkungan aktor.”37

34

Bani Ahmad Saebani. Sosiologi Agama, Kajian Tentang Perilaku Institusional Dalam Beragama Anggota PERSIS Dan Nanhdatul Ulama. cet Pertama, (Bandung: PT Rafika Aditama, 2007), h. 1.

35

Bani Ahmad Saebani. Sosiologi Agama, hal. 2 36

Yusron Rajak (editor), Sosiologi Sebuah Pengantar Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam, cet Pertama (Jakarta:PT Laboratorium Sosiologi Agama, 2008),h.35.

37

(35)

Paradigma perilaku sosial berbeda dengan paradigma definisi sosial, dimana definisi sosial memusatkan perhatian pada proses interaksi, dimana aktor adalah dinamis dan mempunyai kekuatan kreatif di dalam proses interaksi, sehingga aktor tidak hanya sekedar penanggap pasif terhadap stimulus, tetapi menginterpretasikan stimulus yang diterimanya itu. Sementara dalam paradigma prilaku sosial, individu kurang sekali menerima kebebasan, tanggapan yang diberikannya ditentukan oleh sifat dasar stimulus yang datang dari luar dirinya. Dari

penjelasan diatas dapat dipahami jika perilaku sosial keagamaan bisa diartikan sebagai tindakan-tindakan yang berkaitan dengan nilai-nilai ajaran dan tuntunan ajaran Islam atau yang menjadi kaputusan institusi.

Kemudian manusia dalam pertumbuhannya sering terpengaruh oleh lingkungan dimana mereka hidup dan dibesarkan. Manusia juga tidak bisa hidup sendiri, tentunya selalu

membutuhkan orang lain dalam kehidupannya, oleh sebab itu manusia sering disebut sebagai mahkluk sosial, selain itu manusia sebagai mahkluk sempurna karena sejak lehir telah

diberikan fitrah oleh Tuhan (Allah SWT) yaitu; perasaan keagamaan yang kemudian bisa disebut jika manusia itu mahkluk beragama, namun dengan demikian perilaku keagamaan tersebut tidak bisa terlepas dari pengaruh masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

Perilaku sosial keagamaan mengandung arti bahwa perilaku atau tindakan manusia yang bersifat keagamaan yang dalam hal ini tidak bisa terlepas dari tiga fungsi yaitu: Cipta, Rasa, dan Karsa. Cipata (resion) yang merupakan fungsi intelektual manusia, sehingga melalui cipta tersebut seseorang dapat menilai dan membandingkan bahkan dapat memutuskan suatu tindakan terhadap stimultan tertentu yang muncul. Sedangkan rasa yang merupakan suatu tenaga dalam jiwa manusia yang banyak berperan dalam membentuk motivasi atau dorongan dalam corak tingkah laku seseorang, dan karsa adalah yang menimbulkan amalan-amalan

(36)

Sebelum membahas permasalahan yang selanjutnya penulis akan gambarkan terlebih dahulu tentang karismatik. “Karisma” istilah berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “ Pemberian” dan semula dikenal sebagai “pemberian dari Tuhan” atau suatu “Ilham” dari Tuhan yang memanggil untuk memberikan pelayanan kekaryaan atau kepemimpinan. Sebagaimana yang digambarkan oleh Marx Weber;

“Marx Weber mendefinisikan karisma sebagai suatu sifat tertentu dari suatu kepribadian seorang individu berdasarkan dimana orang itu dianggap luar biasa, dan diperlakukan sebagai seorang yang mempunyai sifat-sifat gaib sifat unggul atau paling sedikit dengan kekuatan-kekuatan yang khas dan luar biasa.”38

Oleh karena itu otoritas karisma itu dipusatkan kepada sifat-sifat luar biasa dari seseorang pribadi khusus, maka akan muncul suatu permasalah yang sulit mencari penggantinya bilamana pribadi orang yang mempunyai karisma tersebut meninggal dunia, karisma juga bisa saja dianggap sebagai suatu sifat yang diwariskan secara turun temurun walau tidak melalui suatu ikrar atau penyerahan secara kahusus, namun akan terjadi perubahan tertentu oleh karenanya sifat itu dimiliki oleh anggota keluarga yang paling dekat dengan sipemilik

karisma tersebut, seperti anak atau anggota keluarga lainnya.

Kekuasaan atau otoritas tidak bersifat tetap karena melekat pada posisi bukan pada pribadi. Jadi orang bisa saja berkuasa atau mempunyai otoritas dalam latar belakang tertentu dan tidak mempunyai kekuasaan atau otoritas tertentu dalam latar belakang yang lain, maka dari itu kiranya sangat jelas dalam masyarakat ada banyak kelompok atau perkumpulan dimana dalam kelompok yang satu seseorang bisa menjadi bawahan, namun dalam kelompok lain dia penguasa atau atasan.

Dahrendorf berpendapat “Otoritas dalam suatu perkumpulan bersifat dialektik.39” kerena dalam suatu kelompok akan ada dua kelompok yang selalu bertentangan, yaitu: pertama kelompok yang dikuasai atau bawahan, dan yang kedua kelompok yang mengusai atau

atasan. Dengan demikian seolah sangat mungkin rasanya kalau dalam suatu kelompok ada

38

Anthony Gidden.penerjemah Soeheba Kramadibrata. Kapitalisme dan Teori Social Modern, Suatu Analisis Karya Tulis Mark, Durkheim dan Max Weber.( Jakarta: Universitas Indonesia UI-PRESS, 1986),h. 197. 39

(37)

individu yang memegang dua peran yang pertama dia seorang atasan, namun dalam saat-saat tertentu dia akan menjadi bawahan.

Max weber mengambil istilah karisma, dari perbendaharaan kata pada permulaan

pengembangan agama Kristen guna menunjuk satu dari tiga jenis kekuasaan (authority) yang kini merupakan klasifikasi klasiknya mengenai kekuasaan atas dasar tuntunan keabsahannya. Ia membedakan antara:

Pertama, ”Kekuasaan Tradisional” yang tuntunan keabsahanya didasarkan atas suatu kepercayaan yang telah ada (established) pada kesucian yang amat kuno,

Kedua, “Kekuasaan Rasional” atau berdasarkan hukum (law) legal yang didasarkan atas kepercayaan terhadap legalitas peraturan-pelaturan dan hak bagi mereka, yang memegang kedudukan. Yang berkuasa berasarkan peraturan-peraturan untuk mengeluarkan perintah-perintah,

Ketiga,“kekuasaan karismatik” atau peribadi, yang didapatkan dari pengabdian diri terhadap kesucian, kepahlawanan tertentu, atau sifat yang patut dicontoh dari seseorang, dan dari corak tata-tertib yang diperlihatkan olehnya.40

Dari tiga kekuasaan tersebut akan muncul bentuk otoritas yaitu: “Otoritas Tradisional, Otoritas Legal Rasional, dan Otoritas Karismatis. Pertama, merupakan penggunaan

kekuasaan yang sah karena dijalankan sesuai dengan tradisi, Kedua, merupakan penggunaan kekuasaan yang abasah karena dijalankan sesuai dengan hukum atau peraturan yang tertulis. Ketiga, merupakan anthitesis dari kedua otoritas diatas dan semata-mata didasari oleh karisma peribadi.

Sedangkan yang dimaksud dengan otoritas (kekusaan) yang didefinisikan oleh para sosiolog adalah sebagai kekuasaan yang sah, walau pada umumnya otoritas adalah penggunaan

kekuasan yang sesuai dengan keteraturan prinsip-prinsip atau pedoman-pedoman yang

40

(38)

menjadi petunjuk bagi manusia pada umumnya untuk hidup bermasyarakat (normatif).41 Sehingga kalau demikian pengertian otoritas tersebut sangat erat kaitannya dengan masalah kepemimpinan.

Masalah kepemimpinan (leadership) adalah merupakan suatu kemampuan untuk

mempengaruhi pengikut dalam suatu komunitas di masyarakat yang menyangkut penggunaan kekuasaan dan dapat diterima, atau adanya pengakuan pemimpin oleh para pengikut.

kemampuan mempengaruhi bertautan dengan pemuasan kebutuhan para pengikut. Prof. Drs. Onong Uchjayana mengatakan dalam bukunya yang berjudul “Human Relations dan Public Relations” dalam manajemen. Kepemimpinan adalah ”suatu proses dimana seseorang memimpin (direct), membimbing (guids), mempengaruhi (influences) dan mengontrol (controls) pikiran, perasaan, atau tingkah laku orang lain.”42 K, Permadi memberikan

pengertian kepemimpinan itu adalah kegiatan untuk mempengaruhi orang lain atau seni untuk mempengaruhi perilaku manusia, baik perorangan maopun kelompok.

Sehingga jika demikian dapat dikatakan jika kepemimpinan tidak harus dibatasi oleh aturan-aturan atau tatakrama birokrasi, kepemimpinan tidak harus diikat dan terjadi dalam organisasi tertentu. Meleinkan kepemimpinan bisa terjadi dimana saja dengan syarat, seseorang bisa menunjukan kemampuannya dalam membawa dan mempengaruhi orang lain yang menjadi pengikutnya kearah tercapainya suatu tujuan tertentu. Tipe-pipe kepemimpinen yang seperti ini dijadikan patokan oleh Kihadjar Dewantoro adalah:

”Tipe pemimpin yang berbeda-beda (Pemimpin Tradisional, Karismatik, dan Rasional) kepada setiap pemimpin dari tipe manapun, tetap diberlakukan patokan kepemimpinan. ing ngarso sung tuladha (di muka menjadi suritauladan) ing madya mbangun karsa (di tengah memberikan semangat) tut wuri handayani (di belakang memberi pengaruh baik).”43

David Berry. Pokok-Pokok Pikiran Dalam Sosiologi, h.203. 42

Onong Uchjayana, Humanrelation Dan Public Relation Dalam Manajemen, cet ke 7 (Bandung: CV Mandar Maju 1989), hal. 195.

43

(39)

Dari bebrapa definisi diatas secara umum kepemimpinan bisa didefinisikan sebagai seni atau proses kegiatan seseorang dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi atau mengontrol anggotanya, baik pikiran atau keinginan untuk bekerja, dalam rangka mencapai suatu tujuan yang diinginkan bersama dalam suatu organisasi atau kelompok-kalompok lain yang berada di masyarakat.

Sementara dalam fungsi kepemimpinannya adalah memandu, menuntun, membimbing, membangun, memberi atau membangunkan motivasi-motivasi kerja mengemudikan atau menjalankan roda organisasi, membangun jaringan komunikasi yang baik memberi

pengawasan (supervisi) yang efersien dan membawa pengikutnya (jama’ah) kepada sasaran yang ingin digapainya sesuai dengan waktu perencanaan yang biyasanya tertulis dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumahtangga (AD/ART) organisasi.

Dalam pembahasan otoritas dan kepemimpinan, penulis akan memberikan pendekatan melalui dua pendekatan yaitu pendekatan sosiologis dan pendekatan Islam sebagai berikut:

1.Pendekatan Sosiologis

Seorang pemimpin harus mempunyai kesadaran-kesadaran kemasyarakatan atau “sosial basis” yang mencakup susunan masyarakat serta “cultural focus” masyarakat yang

bersangkutan. Kehadiran pribadi-pribadi pemimpin yang membawa pengaruh besar terhadap warga masyarakat untuk menjauhkan diri dari penyimpangan yang merugikan kehidupan bersama. Hendro Puspito mengatakan bahwa kehadiran para pemimpin yang berwibawa dan berpengaruh dalam kelompok tersentu mempunyai dua arti lebih tinggi.

(40)

4. Seorang pemimpin dipandang sebagai suri tauladan bagi bawahan, khususnya dalam kesetiaan pada kaidah-kaidah sosial umumnya dan peraturan-peraturan Negara kahususnya.”44

Pemimpin merupakan figur sentral dalam kelompok sosial atau masyarakat, sesuai dengan posisi yang ditempatinya dia memegang peran penting dalam mengatur kelangsungan hidup kelompok, seperti membina hubungan antar peribadi, menciptakan suasana yang harmonis, mengatasi ketegangan dan konflik. Istilah pemimpin mempunyai berbagai macam pengertian misalnya:

Pertama, pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan khusus dalam suatu bidang, sehingga mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas tertentu demi pencapaian tujuan. Kedua, sebabai mana yang dikatakan oleh Hendry Pratt Fairchild, pemimpin adalah seseorang yang memimpin dengan jalan memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengatur, manunjukan, mengorganisasi, dan mengontrol usaha orang lain atau melalui “Prstise”, kekuasaan atau posisi. Ketiga, John Gage Alle mengatakan bahwa pemimpim adalah pemandu, penunjuk, penuntun dan komando, dan Keempat, pemimpin adalah kepala “Aktual” dari organisasi kota, dusun, atau ‘sub-sub devisi’ lainnya.45

Deliar Noer menggatakan: berbagai organisasi baik sosial, pendidikan, atau politik telah kita lihat berbagai sifat tiap organisasi itu, dimana kecenderungan yang mereka tekankan dalam pemikiran masing-masing adalah; “Sifat kecenderungan organisasi ini dibentuk oleh

pimpinan organisasi serta lingkungan dimana organisasi itu bergerak.”46 Maka dari itu dalam kehidupan berkelompok (organisasi) diperlukan adanya keterkaitan antara tiga unsur

kemampuan sebagai pemimpin yaitu:

44

D. Hendro Puspito OC. Sosiologi Sistematik, h. 327. 45

Yusron Rajak, Sosiologi Sebuah Pengantar Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam, h. 155. 46

(41)

a. Kemampuan untuk memahami, bahwa manusia itu berbeda antara yang satu dengan yang lain, sehingga dalam situasi yang berbeda mempunyai kekuatan motivasi yang berbeda pula, b. Mempunyai kemampuan untuk menghidupkan motivasi pengikutnya (Jama’ah) agar menggunakan kapasitas mereka sebagai anggota secara penuh dalam suatu pekerjan dan c. Kemampuan menerapkan perilaku dalam iklim kerja yang serasi, artinya sebagai seorang pimpinan harus bisa melayani, memberi contoh mengayomi, bahkan menempatkan mereka sesuai kapasitas atau keahliannya. Dari ketiga poin tersebut diatas menekankan jika seorang pemimpin itu baik dalam pemerintahan atau dalam oegranisasi-organisasi lain harus bisa diterima oleh semua anggota.

2. Pendekatan Islam

Perilaku sosial keagamaan secara universal dalam kehidupan kamunitas muslim harus diikat dengan komando yang tegas sehingga perilaku Umat Islam tidak menyimpang dari tujuan.

Dalam hal ini Umat Islam perlu seorang pemimpin atau “Kekhalifahan” yang jelas disebut dengan konsep “Imamah” dan “Imaroh” yang maksudnya bersatu di bawah satu komando Imam/Amir sebagai pimpinan Jam’iyah, yang berfungsi menyatukan kehendak dan

memperkuat keyakinan terhadap pelaksanaan kegiatan-kegiatan keagamaan dengan mempertimbangkan keputusan-keputusan dalam organisasi.47

Suatu organisasi atau institusi yang mewadahi para Ulama merupakan bagian dari tertibnya kepemimpinan dalam Islam yang konsepnya dapat dikatakan dengan Khilafah,Imamah, dan Imarah. Isa Asahari memaknai konsep Imamah dan Imarah kedalam empat hal, yaitu: 1. Terbentuknya susunan umat yang rela menjadi makmum, yakni penganut setia kepemimpinan di tubuh organisasi Islam.

47

Gambar

gambar, foto,

Referensi

Dokumen terkait