• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

C. Perilaku Sosial Keagamaan

Dalam kamus Bahasa Indonesia perilaku dapat diartikan dengan “tingkah laku” sehingga kemudian tingkah laku juga bisa diartikan suatu perbuatan atau aktivitas. Diantara ahli sosiologi ada yang mengartikan bahwa tingkah laku adalah, respon yang berupa reaksi, tanggapan, jawaban, atau balasan yang dilakukan oleh manusia.31

Dengan mencoba melihat penyebab timbulnya perilaku yang dilakukan oleh kemauan sendiri. Teori ini didasarkan atas asumsi-sumsi sebagai berikut; Pertama, bahwa “manusia pada umumnya melakukan sesuatu dengan cara-cara yang masuk akal”. Kedu, “manusia akan

30

Al-Quran (Q.S,35;28) hal 437 31

Saifuddin Azwar, Sikap Manusia Teori Dan Pengukurannya, edisi ke 2 ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2005), h.10.

mempertimbangkan semua informasi yang ada, dan terakhir” Ketiga, “secara implisit maupun ekspelisit” manusia memperhitungkan implikasi tindakan mereka.32

Dari ketiga tindakan di atas, mengatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu proses pengambilan keputusan yang teliti, beralasan dan terbatas hanya pada tiga hal juga yaitu: perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum, tetapi oleh sikap yang spesifik terhadp sesuatu. Perilaku tidak hanya dipengaruhi oleh sikap tertentu, tetapi juga oleh norma- norma subjektif yaitu: keyakinan kita mengenai apa yang orang lain inginkan agar kita perbuat, sikap terhadap suatu perilaku bersama dengan norma-norma subjektif membentuk suatu intensi atau niat untuk berperilaku tertentu.

Weber mangklasifikasikan tentang perilaku sosial ini terhadap empat tipe: Pertama, “kelakuan yang diarahkan secara rasional kepada tercapainya suatu tujuan” (zweck). Kedua, “kelakuan yang berorientasi kepada suatu nilai (wert) nilai keindahan (estesis), nilai

kemerdekaan (politik), nilai persaudaraan (keagamaan), kesetiaan pribadi, atau hal apapun yang mereka anggap penting”. Tipe kelakuan ini bersifat rasional sebab pelaku mau menanggung segala resiko yang berkaitan dengan kelakuannya. Ketiga,“ kelakuan yang menerima orientasinya dari perasaan atau emosi seseorang, dan oleh karena itu disebut kelakuan efektif atau emosional”. Keempat,“kelakuan yang menerima arahnya dari tradisi, sehingga disebut kelakuan teradisional.”33

Selanjutnya dalam perspektif sosiologis, agama dipandang sebagai “sistem kepercayaan” yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu, berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu atau kelompok sehingga setiap perilaku yang diperankannya akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial digerakan oleh kekuatan dari dalam berdasarkan nilai-nilai ajaran agama yang

menginternalisasi sebelumnya. 32

Saifuddin Azwar, Sikap Manusia Teori Dan Pengukurannya, h. 11 33

KJ, Veeger. Realitas Sosial Refleksifilsafat Sosial Atas Hubungan Individu-Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,1993), h. 172-174.

Perilaku manusia yang terbentuk oleh norma-norma masyarakat, tidak berarti sebagai potensi dirinya secara kultural dinafikan begitu saja, justru “potensi kultural individu itu

diadaptasikan dan diintegrasikan secara sosialistik sehingga menjadi sistem sosial yang muatan simboliknya diterima dan menjadi ciri khas masyarakat tertentu.”34 Compton dan Galaway yang mengetengahkan pendapat Lippt dan Westley, dalam Social Work And Process 1979;109 berpendapat bahwa:

“Dinamika perilaku masyarakat yang membentuk kebudayaan yang khas yang saling menentukan adalah; karena kebutuhan yang sama akan tujuan yang hendak dicapai yang dikokohkan oleh hubungan fungsional, dan pilihan sosial yang teruji, serta generalisasi kepentingan yang lebih teranspormatif, dan stabil untuk dijadikan norma- norma kehidupan dalam masyarakat.”35

Dalam hal tersebut diatas penulis akan menyajikan bagaimana eksistensi kelompok kecil (minoritas) dan bisa dikatakan baru yang berada ditengah-tengah kelompok besar

(mayoritas), Kinloch yang dikutif oleh Yusron Rajak mengatakan faktor yang mempengaruhi kelompok minoritas dapat dikaji dengan menggunakan beberapa dimensi berlainan.“Dimensi sejarah, dimensi demografi, dimesi sikap, dimensi institusi, dimensi gerakan sosial.”36

Paradigma perilaku sosial memusatkan perhatiannya pada hubungan individu dengan lingkungannya, lingkungan itu terdiri dari bermacam-macam objek sosial dan bermacam- macam objek non sosial. Paradigma ini mempelajari bagaimana tingkah laku individu yang berlangsung dalam hubungan dengan faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor lingkungan, sehingga menimbulkan perubahan dalam tingkah- laku individu. Intinya mempelajari “hubungan fungsional antara tingkah laku dengan perubahan yang terjadi dalam lingkungan aktor.”37

34

Bani Ahmad Saebani. Sosiologi Agama, Kajian Tentang Perilaku Institusional Dalam Beragama Anggota PERSIS Dan Nanhdatul Ulama. cet Pertama, (Bandung: PT Rafika Aditama, 2007), h. 1.

35

Bani Ahmad Saebani. Sosiologi Agama, hal. 2 36

Yusron Rajak (editor), Sosiologi Sebuah Pengantar Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam, cet Pertama (Jakarta:PT Laboratorium Sosiologi Agama, 2008),h.35.

37

Paradigma perilaku sosial berbeda dengan paradigma definisi sosial, dimana definisi sosial memusatkan perhatian pada proses interaksi, dimana aktor adalah dinamis dan mempunyai kekuatan kreatif di dalam proses interaksi, sehingga aktor tidak hanya sekedar penanggap pasif terhadap stimulus, tetapi menginterpretasikan stimulus yang diterimanya itu. Sementara dalam paradigma prilaku sosial, individu kurang sekali menerima kebebasan, tanggapan yang diberikannya ditentukan oleh sifat dasar stimulus yang datang dari luar dirinya. Dari

penjelasan diatas dapat dipahami jika perilaku sosial keagamaan bisa diartikan sebagai tindakan-tindakan yang berkaitan dengan nilai-nilai ajaran dan tuntunan ajaran Islam atau yang menjadi kaputusan institusi.

Kemudian manusia dalam pertumbuhannya sering terpengaruh oleh lingkungan dimana mereka hidup dan dibesarkan. Manusia juga tidak bisa hidup sendiri, tentunya selalu

membutuhkan orang lain dalam kehidupannya, oleh sebab itu manusia sering disebut sebagai mahkluk sosial, selain itu manusia sebagai mahkluk sempurna karena sejak lehir telah diberikan fitrah oleh Tuhan (Allah SWT) yaitu; perasaan keagamaan yang kemudian bisa disebut jika manusia itu mahkluk beragama, namun dengan demikian perilaku keagamaan tersebut tidak bisa terlepas dari pengaruh masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

Perilaku sosial keagamaan mengandung arti bahwa perilaku atau tindakan manusia yang bersifat keagamaan yang dalam hal ini tidak bisa terlepas dari tiga fungsi yaitu: Cipta, Rasa, dan Karsa. Cipata (resion) yang merupakan fungsi intelektual manusia, sehingga melalui cipta tersebut seseorang dapat menilai dan membandingkan bahkan dapat memutuskan suatu tindakan terhadap stimultan tertentu yang muncul. Sedangkan rasa yang merupakan suatu tenaga dalam jiwa manusia yang banyak berperan dalam membentuk motivasi atau dorongan dalam corak tingkah laku seseorang, dan karsa adalah yang menimbulkan amalan-amalan atau peraktek-peraktek keagamaan yang benar dan logis.

Dokumen terkait