• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desain Model Pembelajaran Kolaboratif un

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Desain Model Pembelajaran Kolaboratif un"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Desain Model Pembelajaran Kolaboratif untuk Mata Pelajaran Fisika di SMK

Euis Ismayati

Fakultas Teknik Universitas Negeri Surabaya Kampus Ketintang Surabaya Indonesia

euisheru@gmail.com

Abstrak

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan pendidikan kejuruan yang dijalankan berdasarkan prinsip investasi SDM (human capital investment) yang mengacu pada kualitas pendidikan dan produktivitas kerja untuk bersaing di pasar kerja global. Untuk itu pendidikan kejuruan memiliki keterkaitan langsung dengan dunia usaha/industri yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja terampil. Beberapa hasil penelitian mengungkapkan tentang etos kerja lulusan SMK yang masih belum memuaskan, unjuk kerjanya masih rendah, kurang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan maupun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kurang bisa mengembangkan diri, kurang mampu bekerjasama (bekerja berkolaborasi) dan berargumentasi. Sedangkan pada umumnya para pimpinan perusahaan di dunia kerja menuntut para karyawannya memiliki kemampuan berpikir kreatif dan bekerja berkolaborasi.Kemampuan siswa beradaptasi dengan teknologi di lingkungan pekerjaan, dipengaruhi oleh proses pembelajaran di sekolah termasuk pembelajaran sains. Proses pembelajaran sains dapat melatih siswa untuk berpikir dan bersikap ilmiah, yang seharusnya dilatihkan oleh guru melalui pendekatan pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan materi yang diajarkan. Untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan bekerja berkolaborasi, siswa harus dilatih dan dibina dengan pendidikan di sekolah melalui proses pembelajaran yang menggunakan model-model pembelajaran yang mengacu pada sistem diskusi kelompok yang bersifat kolaborasi antar teman, yaitu Model Pembelajaran Kolaboratif (Collaborative Learning). Model pembelajaran kolaboratif untuk mata pelajaran Fisika di SMK harus didesain sedemikian rupa agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Pembelajaran kolaboratif memiliki kelebihan-kelebihan, selain melatih siswa untuk bekerja berkolaborasi, juga melatih siswa untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis.

Kata kunci: Fisika, berpikir kritis, bekerja berkolaborasi, pembelajaran kolaboratif.

PENDAHULUAN

Pendidikan kejuruan memegang peranan penting dalam menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, karena itu pendidikannya harus berorientasi pada peningkatan kualitas SDM yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja dan mampu bersaing di pasar internasional. Dengan demikian perlu peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang sistem pendidikannya dapat menghasilkan lulusan yang siap kerja dan menjadi tenaga kerja terampil tingkat menengah, dimana arah pengembangan pendidikannya diorientasikan pada pemenuhan permintaan pasar kerja di Indonesia yang mengacu pada prinsip demand driven.

(2)

tenaga kerja asing yang ada di Indonesia (Ismayati, 2009). Sedangkan pada umumnya para pimpinan perusahaan di dunia kerja/industri menuntut para karyawannya memiliki kemampuan berpikir kreatif dan bekerja berkolaborasi.

Pemerintah mengembangkan SMK melalui program keahlian yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja di dunia usaha/industri. Program keahlian ini bertujuan untuk meningkatkan relevansi antara program keahlian di SMK dengan kebutuhan di dunia kerja dan untuk menciptakan link and match antara dunia pendidikan (SMK) dengan dunia kerja. Namum dalam mengembangkan program tersebut perlu diperhatikan, bahwa untuk mengusai teknologi dan industri diperlukan penguasaan sains, dan Fisika sebagai bagian dari sains mempunyai peranan yang besar dalam perkembangan teknologi; karena produk teknologi sangat mendukung perkembangan sains selanjutnya (Poedjiadi, 2005). Pengajaran sains memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembentukan kinerja lulusan dijenjang pendidikan dasar dan menengah, dan dapat membekali peserta didik dengan pengetahuan prasyarat untuk belajar dijenjang pendidikan lebih lanjut.

Kenyataannya pengetahuan sains peserta didik dijenjang pendidikan lanjutan masih rendah, disebabkan dalam proses pembelajaran yang diajarkan bukan metode ilmiahnya melainkan hanya fakta-fakta (Karhami, 1997). Pernyataan tersebut dikuatkan oleh beberapa siswa dan guru pengajar Fisika di SMK Kelompok Teknologi dan Industri, bahwa pada umumnya siswa kurang tertarik dan termotivasi pada pembelajaran Fisika, sehingga hasil belajarnya rendah. Hal ini disebabkan guru menyajikan materi pelajaran fisika dengan metode yang sama dan monoton, yaitu: ceramah, tanya jawab, dan mengerjakan tugas. Selain itu kegiatan pembelajarannya bersifat ”teacher centred” dan tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kreativitasnya (Ismayati, 2009).

KAJIAN TEORI

Pembelajaran kolaboratif diperkenalkan oleh George Jardine, seorang profesor logika dan filosofi di University of Glasgow. Jardine merancang sebuah metode pembelajaran yang disebut sebagai kajian-rekan untuk membantu mempersiapkan pembelajaran siswanya agar berpartisipasi dalam masyarakat di Inggris. Meskipun pada akhirnya pembelajaran kolaboratif pada saat ini banyak digunakan di kalangan pendidikan secara luas, demikian juga di Indonesia.

Definisi Pembelajaran Kolaboratif

Pannen, dkk (2001) berpendapat, bahwa kolaborasi diartikan sebagai “bekerja bersama dengan orang lain dalam proyek bersama (to work with another or others on a joint project)”, dan kolabortif berarti bersifat kerja bersama sebagai aliansi strategis (penghargaan atas perbedaan intelektual). Wieserma (2000) mendukung pendapat tersebut, bahwa pembelajaran Kolaboratif merupakan sebuah filosofi mengajar, bekerja bersama, membangun bersama, belajar bersama, berubah bersama, berkembang bersama. Ini merupakan sebuah filosofi yang sesuai dengan dunia global saat ini.

(3)

pembelajaran individu (melalui proses kelompok), pembelajaran dari rekan dan pembelajaran secara kelompok (Sazally, 2003).

Karakteristik Kelas Kolaboratif

Tinzmann, dkk (1990) mengemukakan empat karakteristik umum kelas kolaboratif, yaitu: 1. Pengetahuan bersama antar guru dan siswa: Dalam kelas kolaboratif ilmu pengetahuan

merupakan pengetahuan bersama. Guru kolaboratif menilai dan mengembangkan pengetahuan, pengalaman personal, bahasa, strategi dan kultur yang dibawa siswa kedalam situasi pembelajaran. Siswa diberi kesempatan untuk berbagi pengetahuannya, sehingga seluruh kelas akan mendapatkan tambahan pengetahuan. Jika siswa melihat bahwa pengalaman dan pengetahuannya dinilai, mereka akan termotivasi untuk mempelajari cara-cara baru, dan cenderung membuat hubungan penting antara pembelajarannya sendiri dengan pembelajaran di sekolah sehingga mereka akan lebih berkembang.

2. Kewenangan bersama antara guru dan siswa: Guru kolaboratif mengajak siswa untuk menetapkan tujuan pelajaran pada materi pelajaran yang akan diajarkan, memberikan pilihan aktifitas dan tugas sesuai minat dan tujuan yang berbeda dari siswa, dan mendorong siswa untuk menilai yang mereka pelajari. Guru membantu siswa mendengarkan berbagai opini dengan saling menghargai pendapat temannya, mendukung pengetahuan yang disertai dengan bukti, melibatkan pemikiran yang kritis dan kreatif, serta berpartisipasi dalam dialog terbuka dan bermakna.

3. Guru sebagai mediator: Guru sebagai mediator dalam pembelajaran akan membantu siswa menghubungkan informasi baru dengan pengalaman-pengalaman yang mereka miliki di lingkungannya, membantu siswa memahami apa yang harus mereka lakukan, dan membantu siswa mempelajari cara-cara belajar yang baik. Peran guru sebagai mediator dapat memaksimalkan kemampuan siswa dalam menunjukkan tanggung jawabnya terhadap pembelajaran.

4. Pengelompokan siswa secara heterogen: Dalam kelas kolaboratif, siswa terlibat dalam sebuah ruang lingkup pemikiran, bahwa setiap orang belajar dari orang lainnya. Setiap siswa diberi kesempatan dalam memberikan kontribusi dan menghargai kontribusi dari siswa lain. Sehingga dalam kelas kolaboratif siswa tidak dipisah-pisah menurut kemampuan, prestasi, minat atau karakteristik lainnya. Hal ini agar siswa yang dikategorikan sebagai siswa gagal dalam kelas, bisa belajar dari siswa yang pandai. Demikian pula siswa yang yang pandai bisa belajar dari siswa kebanyakan.

Peran Guru dalam Merancang Tugas-tugas Pembelajaran

Dalam pembelajaran kolaboratif peran guru dan siswa saling terkait. Berdasarkan studi Wiserma (2000), pertama, guru harus menjadi seorang pembimbing bagi para siswanya, menjelaskan tujuan-tujuan pembelajaran, karena pembelajaran kolaboratif mungkin merupakan sebuah sistem pembelajaran baru bagi siswa dan mereka mungkin membutuhkan waktu untuk terbiasa dengan sistem baru tersebut. Kedua, guru harus menjelaskan penggunaan peran-peran didalam kelompok siswa. Anggota dalam kelompok memiliki peran-peran penting, yaitu membimbing siswa yang ragu dan membantu mereka menjadi lebih partisipatif untuk mendapatkan hasil kelompok yang lebih komplit dan memuaskan. Pada pembelajaran kolaboratif terdapat komunikasi interpersonal efektif yaitu anggota kelompok tetap saling berkomunikasi yang cukup jelas dan terarah.

(4)

yang ditetapkan oleh guru (Tinzmann, dkk, 1990). Astleitner (2001) menyatakan, bahwa pembelajaran yang diatur-sendiri dapat mendorong siswa belajar memiliki tanggung jawab terhadap pengawasan (monitoring), penyesuaian, penentuan pertanyaan-sendiri dan pengajuan pertanyaan antara siswa satu dengan yang lainnya.

Penilaian dan Evaluasi.

Dalam pembelajaran kolaboratif terdapat cara-cara penilaian terhadap siswa melalui evaluasi. Wiserma (2000) mengungkapkan dua teknik yang dapat digunakan untuk mengevaluasi siswa di kelas, yaitu:

1. Evaluasi kelompok (antar rekan): Teknik ini digunakan untuk ujian parsial maupun ujian akhir, dengan tujuan untuk untuk mendorong keterlibatan siswa. Pada awal pertemuan siswa membahasnya dalam kelompok-kelompok kolaboratif, kemudian seorang perwakilan tim mempresentasikan ide-idenya kepada kelas dan guru. Teknik evaluasi ini didasarkan pada komentar-komentar kelas dan guru, dan nilai prosentase keterlibatanya diserahkan pada guru. Evaluasi antar rekan harus benar-benar dirahasiakan untuk menghindari terjadinya bias. Mereka bisa benar-benar menunjukkan perasaannya tentang anggota-anggota kelompok.

2. Evaluasi antar rekan di kelas: Teknik ini bisa digunakan untuk presentasi kelompok di kelas (menggunakan video atau melalui peran langsung). Ketika dilakukan presentasi kelompok di depan kelas, guru bisa meminta tiga atau empat siswa yang bukan anggota dari kelompok kolaboratif melakukan presentasi, untuk mengevaluasi presentasi tersebut. Guru harus menetapkan standar evaluasinya, sehingga evaluator betul-betul memahaminya. Peran guru dalam kelompok pembelajaran kolaboratif sebagai pembimbing, sehingga siswa akan merasa sangat dihargai karena siswa belajar sendiri, belajar lebih banyak, belajar ketrampilan interpersonal/sosial, merasa lebih terlibat, merasa lebih berguna, merasa lebih percaya diri, menikmati kelas, saling mengajar, mengajar guru, menjadi siswa independen, dan menjadi penduduk yang lebih baik di dunia ini.

Interaksi dalam Pembelajaran Kolaboratif

Pada pembelajaran kolaboratif komunikasi berjalan melalui dua-arah yaitu berupa dialog. Tujuan utama bagi guru adalah mempertahankan dialog antar siswa agar terjadi aktifitas pembelajaran yang kondusif. Tinzmann, dkk (1990) dan Wiersema (2000) mengungkapkan, bahwa guru yang mengajar pada kelas kolaboratif mempertahankan jenis pembicaraan tingkat-tinggi dan interaksi serupa ketika seluruh kelas terlibat dalam diskusi. Mereka menghindari presentasi berupa pengkajian, latihan dan kuis yang mengajukan pertanyaan dengan satu jawaban yang benar dan hanya diketahui oleh guru. Dalam diskusi kolaboratif, siswa berbicara kepada teman-temannya dan kepada guru, menunjukkan berbagai sudut pandang, dan menerima pertanyaan tanpa memfokuskan pada aspek salah dan benar.

(5)

KAJIAN

Desain Model Pembelajaran Kolaboratif

Pada penulisan ini, desain model pembelajaran kolaboratif diadopsi dari desain Model Pembelajaran Conductive yang merupakan hasil penelitian penulis sendiri. Model pembelajaran Conductive lebih menekankan pada proses dan hasil belajar yang berbasis kompetensi, dimana produk yang dihasilkan lebih cenderung pada keterampilan-keterampilan yang relevan dengan pasar kerja peserta didik. Dengan demikian desain Model Pembelajaran Kolaboratif memiliki kesamaan dengan desain Model Pembelajaran Conductive.

Dalam pembelajaran fisika di SMK, materi yang diajarkan harus berorientasi pada keterampilan yang berbasis kompetensi, karena individu yang dihasilkan merupakan outcomes yang harus siap pakai. Pada pembelajaran kolaboratif diperkaya dengan diskusi kelompok siswa yang dapat menciptakan lingkungan interaktif dimana siswa memiliki tanggung jawab yang lebih besar terhadap pembelajarannya sendiri dan tema-temannya. Untuk keperluan tersebut diperlukan rancangan pengajaran yang tepat untuk digunakan dalam pembelajaran Fisika di SMK yaitu Model Pembelajaran Kolaboratif.

Gambar 1. Desain Model Pemblajaran Kolaboratif

Langkah-langkah Desain Pembelajaran Kolaboratif

Langkah-langkah perancangan model kolaboratif meliputi tahapan define dan desain. Langkah-langkahnya sebagai berikut:

Tahap Define

1. Analisis Pasar Kerja.Siswa

(6)

pekerjaan. Dari berbagai data yang telah terkumpul, selanjutnya dilakukan penataan dengan cara pengorganisasian jenis-jenis pekerjaannya.

2. Menetapkan Kompetensi Relevan dengan Dunia Usaha/Industri

Jenis-jenis pekerjaan yang telah diorganisasikan dinalisis secara umum, kemudian dianalisis lebih khusus yang tersusun secara logis dan sistematis. Dari analisis ini diperoleh jenis-jenis pekerjaan yang mempersyaratkan kompetensi tertentu. Selanjutnya dapat ditentukan kompetensi yang dipersyaratkan untuk mengerjakan jenis-jenis pekerjaan tersebut, sehingga perancang dapat menentukan tujuan umum tentang kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik dengan mengacu pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.

3. Melakukan Analisis Pembelajaran

Analisis pembelajaran merupakan proses penjabaran perilaku umum dalam kompetensi menjadi perilaku khusus yang tersusun secara logis dan sistematis. Dari susunan tersebut tergambar kedudukan perilaku khusus yang dilakukan lebih dahulu dari perilaku lainnya. Perilaku lainnya misalkan perilaku prasyarat, perilaku yang menurut proses psikologis akan muncul lebih dahulu atau secara kronologis terjadi lebih awal. Dalam menganalisis pembelajaran ini berkaitan erat dengan perilaku sebagai hasil belajar peserta didik. Tiap materi yang dianalisis berkaitan dengan perilaku yang ingin dicapai.

4. Mengidentifikasi Kemampuan Awal dan Karakteristik Siswa

Salah satu unsur penting dalam proses pengembangan desain instruksional adalah pertimbangkan tentang kemampuan awal dan karakteristik peserta didik. Program ini dikembangkan untuk peserta didik yang akan dilatih, dan salah satu ukuran keberhasilan rencana pengajaran yaitu pada tingkat pencapaian peserta didik yang terlibat. Populasi peserta didik terdiri dari berbagai macam pendidikan serta pengalaman yang berbeda-beda. Maka sangat penting untuk mengetahui kemampuan dan karakteristik awal peserta didik untuk dipertimbangkan dalam rancangan pengajaran.

5. Menyusun Indikator Pencapaian Kompetensi

Indikator pencapaian kompetensi ditandai dengan perubahan perilaku yang dapat diukur dan mencakup ranah pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Indikator dirumuskan dalam kata kerja operasional yang terukur dan/atau dapat diobservasi, sehingga indikator dapat digunakan untuk menyusun alat evaluasi. Indikator disusun berdasarkan kompetensi dasar yang ingin dicapai, sehingga semua indikator yang telah diususun akan dijadikan patokan untuk menyususn tes sebagai hasil belajar. Oleh karena itu indikator harus memuat unsur-unsur yang memberikan petunjuk, bahwa tes yang akan dilakukan itu benar-benar dapat mengukur perilaku yang terkandung di dalam materi tersebut.

Tahap Desain

1. Menyusun Tes Hasil Belajar

Tes pada suatu program pembelajaran digunakan untuk menetapkan apakah peserta didik telah menguasai kompetensi tertentu yang dilatihkan. Tes yang biasa digunakan dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu tes dan nontes. Instrumen tes digunakan untuk mengases kemampuan kognitif atau keterampilan, sedangkan instrumen nontes digunakan untuk mengases sikap/afektif.

(7)

Pada pembelajaran kolaboratif tes formal dilakukan pada saat Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS). Sedangkan tes non formal dapat dilakukan pada saat kegiatan diskusi kelompok. Guru menyusun format penilaian untuk tes formal dan informal. 2. Menetapkan Strategi Pembelajaran

Pada pelaksanaan pembelajaran kolaboratif, strategi yang digunakan adalah diskusi kolaboratif dengan mengacu pada persyaratan-persyaratan pembelajaran kolaboratif. Siswa dalam satu kelas dibagi menjadi beberapa kelompok siswa yang heterogen, tiap kelompok terdiri dari 4-5 siswa. Tiap anggota dalam kelompok siswa diberi tugas dan tanggung jawab masing untuk mempertahankan keutuhan pengetahuan dan kerjasama dalam kelompoknya. Dalam pembelajaran kolaboratif, selain diskusi kelompok dapat dikombinasikan dengan metode lainnya disesuaikan dengan kebutuhan materi pelajaran, misalnya dengan simulasi, demonstrasi, atau proyek.

3. Menetapkan Materi Pelajaran dan Media Pembelajaran

Pada saat menetapkan strategi pembelajaran, perancang menetapkan isi materi pelajaran yang akan diberikan, alat-alat yang dibutuhkan, dan media yang akan digunakan dalam pembelajaran. Pada saat memilih materi pelajaran hasil analisis indikator pencapaian tujuan pada tahap awal, akan menghasilkan perilaku-perilaku yang dibutuhkan oleh peserta didik. Perilaku-perilaku itu diorganisasikan berdasarkan strukturnya secara konseptual. Pengorganisasian perilaku ini akan menghasilkan suatu bahan kajian untuk disempurnakan sebagai bahan ajar.

Demikian pula pada pemilihan media pembelajaran guru harus mempertimbangkan media apa yang sebaiknya digunakan agar pembelajaran dapat berlangsung dengan efektif dan efisien. Artinya pembelajaran dapat meningkatkan pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan siswa. Guru harus benar-benar cermat dalam pemilihan media pembelajaran yang akan digunakan.

4. Mendesain dan Melaksanakan Evaluasi Formatif

Evaluasi formatif dalam perancangan pengajaran bertujuan untuk menentukan dan merevisi produk pembelajaran yang telah dibuat. Evaluasi formatif dapat diartikan sebagai proses kegiatan penampungan informasi yang berkaitan dengan peningkatan kualitas pembelajaran.

PEMBAHASAN

Dalam pembelajaran fisika, siswa dituntut untuk menggunakan daya nalarnya dengan mengaktifkan cara apa yang harus dipikirkan dan bagaimana proses berpikirnya, melalui metode-metode pembelajaran inquiry, discovery, kolaboratif, dan metode lainnya yang melatih siswa untuk berpikir kritis. Menurut Poedjiadi (2005) pada waktu mempelajari sains siswa dihadapkan pada berbagai fakta, kemudian mengembangkan eksplorasi terhadap materi yang dipelajari dan mengemukakan prediksi. Selanjutnya sesuai perkembangan kognitifnya mereka melakukan eksperimen untuk menemukan konsep yang seakan-akan mereka temukan sendiri atau memverifikasi konsep yang telah dikemukakan oleh gurunya. Proses pembelajaran sains tersebut melatih siswa untuk berpikir dan bersikap ilmiah, yang seharusnya dilatihkan oleh guru melalui pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan materi yang diajarkan dan sesuai dengan kebutuhan siswa.

(8)

usahanya. Untuk itu pengembangan kemampuan bekerja secara kolaboratif perlu dikembangkan dalam proses pembelajaran. Menurut Schrage (dalam Malek, 2004) pembelajaran kolaboratif melebihi aktivitas bekerjasama, karena pembelajarannya melibatkan penggabungan hasil penemuan dan hasil yang didapat dari pembelajaran baru. Dengan menjalankan aktivitas dalam pembelajaran kolaboratif secara tidak langsung keterampilan-keterampilan berkomunikasi akan dipelajari oleh pelajar.

Untuk mengembangkan kemampuan bekerja berkolaborasi, siswa harus dilatih dan dibina dengan pendidikan di sekolah melalui proses pembelajaran yang menggunakan model-model pembelajaran yang mengacu pada sistem diskusi kelompok yang bersifat kolaborasi antar teman, yaitu Pembelajaran Kolaboratif (Collaborative Learning). Interaksi antar siswa akan memberikan banyak kesempatan pada siswa untuk bertindak, belajar, dan memahami perlunya bekerja dalam kelompok; sehingga membantu siswa untuk saling memahami satu sama lain. Selain itu dengan belajar kolaboratif, siswa belajar untuk bekerja berkolaborasi dalam suatu tim yang merupakan cara baru untuk bekerja bagi siswa.

Dengan demikian desain model pembelajaran kolaboratif diperlukan untuk menjawab masalah pembelajaran fisika di SMK, dengan harapan dengan desain model pembelajaran kolaboratif ini dapat menuntun guru dalam merencanakan pembelajarannya untuk mencapai keberhasilan siswa dalam belajar.

KESIMPULAN

Pembelajaran kolaboratif merupakan sebuah definisi pembelajaran yang menganut faham kebersamaan dan ketergantungan positif antara individu siswa dalam kelompok. Kelompok siswa yang berinteraksi secara kolaboratif, memiliki keuntungan-keuntungan secara individu maupun kelompok, karena keduanya dapat saling memahami dan mendistribusikan pengetahuannya secara timbal-balik. Siswa yang ‘lemah’ akan mendapat dorongan dari siswa yang dinggap ‘kuat’ dalam pengetahuan.

Beberapa riset empiris telah membuktikan, bahwa siswa yang mengalami belajar secara kolaboratif akan mendapatkan peningkatan pengetahuan dan hasil belajar yang signifikan. Dengan demikian, pembelajaran kolaboratif perlu mendapatkan perhatian dari para pendidik, terutama dalam kajiannya yang tepat terhadap materi pelajaran yang akan diajarkannya.

Merancang (mendesain) suatu pembelajaran merupakan upaya untuk meningkatkan dan memperbaiki kualitas pembelajaran sebagaimana yang diharapkan. Oleh karena itu seorang guru sebagai agen pembelajaran diharapkan mampu merancang suatu pembelajaran, untuk mencapai hasil yang diinginkan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Perancangan atau desain pembelajaran kolaboratif untuk fisika di SMK memerlukan perhatian khusus pada bidang kompetensi, karena kurikulum di SMK memiliki hubungan link and match dengan dunia kerja, maka tujuan pembelajaran pada materi pelajaran fisika harus dapat mendukung kualitas lulusan di dunia kerja siswa

REFERENSI

Astleitner, Hermann. The Effects of ARCS-Strategis on Self-Regulated Learning With Instructional Texts. Jurnal: http://www.usq.edu.au/electpub/e-jist/docs/Vol7 No1/Full Papers/x Effects ARCS.htm. 2001.

(9)

Fisika di SMK (SMK Kelompok Teknologi dan Industri Bidang Keahlian Teknik Listrik). Disertasi tidak dipublikasikan. Universitas Negeri Malang.

Karhami, S, K. 1997. Kontribusi Pendidikan IPA dalam Pembentukan Kinerja Lulusan Sekolah: Suatu Kajian dari Kurikulum Kelompok Mata Pelajaran IPA di Pendidikan Dasar dan Menengah. Jurnal: Kajian Dikbud No. 010. Hal 22-28.

Kirschner, Paul. 2004. Design, Development, and Implementation of Electronic Learning Environments for Collaborative Learning. Jurnal: ETR & D. Vol.52, No. 3. Hal 39-46.

Malek, Zarina. A. 2004. Kemampuan Mengajar Guru: Teori, Strategi dan Perkaedahan dalam Pendidikan Komputer. Malaysia: Artikel Khusus Guru .

Pannen, Paulina. Dkk. 2001. Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Ditjen Dikti: PAU.

Poedjiadi, Anna. 2005. Sains Teknologi Masyarakat. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sazally, A.A. Hussein. Individu dalam Organisasi. Artikel: Selangkah Di Hadapan. Institut Tadbiran Awam Negara Kampus Wilayah Utara Sungai Petani Kedah. Malaysia. http://www.geocities.com/psmintura/artikel/individu_dalam_organisasi.htm

Tinzmann, M B. et.all. What Is the Collaborative Classroom ?. Jurnal: NCREL. Oak Brook. 1990.

Wiersema, Nico. How does Collaborative Learning Actually Work in a Classroom and How do Students React to it ? A Brief reflection. Jurnal:

Referensi

Dokumen terkait

MENINGKATKAN KETERAMPILAN LEMPAR-TANGKAP BOLA KECIL MELALUI MODIFIKASI PERMAINAN TRADISIONAL BOY-BOYAN PADA SISWA KELAS V SDN CISITU 2 KOTA BANDUNG.. Universitas Pendidikan Indonesia

Kepemimpinan supervisi merupakan kepemimpinan pendidikan, yaitu kepemimpinan yang menimbulkan kepemimpinan bagi yang dipimpin (Depdiknas, 2001: 13). Seorang supervisor harus

[r]

Setelah lolos seleksi dan lulus Program Beasiswa S2 (Magister) yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan bekerja sama dengan Universitas Gajah Mada, Program Studi S2

lebih tinggi dalam ruang lingkup ilmu informatika dan komputer, sejumlah kegiatan matrikulasi yang diikuti dengan tes kualifikasi diperlukan – dimana hasilnya tidak saja akan

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) terhadap hasil belajar matematika

Deskripsi : Bahasa yang digunakan sesuai dengan kematangan sosio-emosional peserta didik dengan ilustrasi yang menggambarkan konsep-konsep mulai dari lingkungan terdekat

Pada penelitian ini, belum terbukti bahwa vaksinasi HPV dapat menjadi faktor pencegah kejadian kanker serviks, hal ini dikarenakan data hasil penelitian baik pada penderita