• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Hukum Pemborong Terhadap Pemerintah dalam Kontrak Pengadaan varang/Jasa Pemerintah (Studi Kasus Pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tanggung Jawab Hukum Pemborong Terhadap Pemerintah dalam Kontrak Pengadaan varang/Jasa Pemerintah (Studi Kasus Pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan)"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

TANGGUNGJAWAB HUKUM PEMBORONG

TERHADAP PEMERINTAH DALAM

KONTRAK PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

(Studi Kasus Pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

O L E H

NIM : 080200151

Reiza Amien Nasution

Departemen : Hukum Ekonomi

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

TANGGUNGJAWAB HUKUM PEMBORONG

TERHADAP PEMERINTAH DALAM

KONTRAK PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

(Studi Kasus Pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

O L E H

NIM : 080200151

Reiza Amien Nasution

Departemen : Hukum Ekonomi

Disetujui Oleh : Ketua Departemen

NIP. 197501122005012002 Windha, SH, M.Hum

Pembimbing I Pembimbing II

NIP. 131 570 455 NIP.197501122005012002 Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.MHWindha, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAK ... v

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Metodelogi Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II : PENGATURAN HUKUM TENTANG PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH ... 20

A. Hakekat dan Filosofi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah .... 20

B. Prinsip-PrinsipHukum Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ... 23

(4)

BAB III : BENTUK-BENTUK KONTRAK DALAM PERJANJIAN

PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH ... 36

A. Kontrak Pengadaan Barang/JasaPemerintahDitinjau dari Hukum Perjanjian ... 36

B. Mengikatnya Perjanjian Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ... 42

C. Bentuk-Bentuk Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah 45 D. Wanprestasi dalam Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ... 48

BAB IV : TANGGUNGJAWAB HUKUM PEMBORONG TERHADAP PEMERINTAH DALAM KONTRAK PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH ... 51

A. Hak dan Kewajiban Pemborong ... 51

B. Tugas-tugas Pemerintah (Dinas Pekerjaan Umum) Yang Berkaitan Dengan Pengadaan Barang/Jasa ... 55

C. Faktor-faktor penyebab terjadinya pelanggaran dalam Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ... 57

D. Tanggung Jawab Pemborong Terhadap Pelanggaran Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ... 63

BAB V : PENUTUP ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 74

(5)

ABSTRAK

TANGGUNG JAWAB HUKUM PEMBORONG TERHADAP PEMERINTAH DALAM KONTRAK PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

(Studi Kasus Pada Dinas pekerjaan Umum kota medan)

Reiza Amien Nasution* Bismar Nasution**

Windha***

*

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Dosen Pembimbing I

***

Dosen Pembimbing II

Dilihat dari keberhasilannya dalam memenuhi perkembangan industri, perusahaan jasa konstruksi menunjukkan peran yang strategis dalam upaya-upaya pembangunan yang sedang dilakukan terutama dalam ikut serta menegakkan asas pemerataan dalam pembangunan.

Adapun permasalahan yang dikemukakan adalah bagaimana pengaturan pengadaan barang/jasa pemerintah menurut Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa pemerintah ?bagaimana bentuk-bentuk kontrak dalam perjanjian pengadaan barang/jasa pemerintah ? dan bagaimana tanggung jawab hukum pemborong terhadap pemerintah dalam kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah ?. Untuk itu dipergunakan metode penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research).

Dari permasalahan tersebut diperoleh kesimpulan bahwa pengadaan barang/jasa pemerintah menurut Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 pembiayaannya baik sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD, bentuk-bentuk kontrak dalam perjanjian pengadaan barang/jasa menurut Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan dibuat dalam perjanjian tertulis. Tanggungjawab hukum pemborong terhadap pemerintah dalam kontrak pengadaan barang/jasa yakni dalam hal pemborong lalai atau wanprestasi maka Pemerintah dapat memutuskan kontrak secara sepihak apabila denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan akibat kesalahan penyedia barang/jasa sudah melampaui 5% (lima persen) dari nilai kontrak. Selain itu dalam hal pemutusan kontrak dilakukan karena kesalahan penyedia barang/jasa maka : jaminan pelaksanaan dicairkan, sisa uang muka harus dilunasi oleh penyedia barang/jasa atau jaminan uang muka dicairkan, penyedia barang/jasa membayar denda dan/atau penyedia barang/jasa dimasukkan dalam Daftar Hitam. Apabila terjadi perselisihan antara para pihak dalam Penyediaan Barang/Jasa Pemerintah, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan perselisihan tersebut melalui musyawarah untuk mufakat.

(6)

ABSTRAK

TANGGUNG JAWAB HUKUM PEMBORONG TERHADAP PEMERINTAH DALAM KONTRAK PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

(Studi Kasus Pada Dinas pekerjaan Umum kota medan)

Reiza Amien Nasution* Bismar Nasution**

Windha***

*

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Dosen Pembimbing I

***

Dosen Pembimbing II

Dilihat dari keberhasilannya dalam memenuhi perkembangan industri, perusahaan jasa konstruksi menunjukkan peran yang strategis dalam upaya-upaya pembangunan yang sedang dilakukan terutama dalam ikut serta menegakkan asas pemerataan dalam pembangunan.

Adapun permasalahan yang dikemukakan adalah bagaimana pengaturan pengadaan barang/jasa pemerintah menurut Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa pemerintah ?bagaimana bentuk-bentuk kontrak dalam perjanjian pengadaan barang/jasa pemerintah ? dan bagaimana tanggung jawab hukum pemborong terhadap pemerintah dalam kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah ?. Untuk itu dipergunakan metode penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research).

Dari permasalahan tersebut diperoleh kesimpulan bahwa pengadaan barang/jasa pemerintah menurut Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 pembiayaannya baik sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD, bentuk-bentuk kontrak dalam perjanjian pengadaan barang/jasa menurut Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan dibuat dalam perjanjian tertulis. Tanggungjawab hukum pemborong terhadap pemerintah dalam kontrak pengadaan barang/jasa yakni dalam hal pemborong lalai atau wanprestasi maka Pemerintah dapat memutuskan kontrak secara sepihak apabila denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan akibat kesalahan penyedia barang/jasa sudah melampaui 5% (lima persen) dari nilai kontrak. Selain itu dalam hal pemutusan kontrak dilakukan karena kesalahan penyedia barang/jasa maka : jaminan pelaksanaan dicairkan, sisa uang muka harus dilunasi oleh penyedia barang/jasa atau jaminan uang muka dicairkan, penyedia barang/jasa membayar denda dan/atau penyedia barang/jasa dimasukkan dalam Daftar Hitam. Apabila terjadi perselisihan antara para pihak dalam Penyediaan Barang/Jasa Pemerintah, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan perselisihan tersebut melalui musyawarah untuk mufakat.

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Saat ini negara Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan di berbagai bidang untuk meningkatkan taraf kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sesuai dengan tujuan negara yakni mencapai masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Salah satu bidang pembangunan itu adalah bidang ekonomi yang diwujudkan dalam bentuk pembangunan fisik berupa perumahan, perkantoran, pelabuhan, industri, jalan dan sebagainya. Pelaksanaan pembangunan itu dilakukan baik oleh pemerintah dan swasta yang bekerja sama dengan pemborong. Dalam proses pelaksanaan pembangunan ini tidak semuanya terlaksana dan berhasil dengan baik. Penyelesaian proyek oleh pemborong sering mengalami hambatan, baik karena kesalahan pekerja sendiri maupun oleh peristiwa tertentu yang tidak terduga sebelumnya, misalnya oleh bencana alam, bahkan ketidakmampuan pemborong juga bisa menyebabkan kerugian. Dengan demikian timbul keraguan bahwa proyek-proyek yang direncanakan tidak terlaksana sesuai dengan keinginannya.

(8)

pembangunan yang sedang dilakukan terutama dalam ikut serta menegakkan asas pemerataan dalam pembangunan.

Sejak awal pertumbuhannya sebagai perusahaan/industri maka harus disadari bahwa proses-proses konstruksi memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan produksi-produksi pabrik pada umumnya. Dalam jasa konstruksi tumpuan utamanya terletak pada kualitas dan kemampuan sumber daya manusia, para pengelola maupun tenaga kerjanya, sedangkan dalam industri pabrik tumpuan utamanya terletak pada kualitas mesin-mesinnya. 1

1. Perumahan untuk tempat tinggal.

Dapat dikatakan bahwa suatu bentuk perusahaan/industri jasa konstruksi secara nyata telah tumbuh dan berkembang serta mampu membias kejangkauan matra pengetahuan yang cukup luas, mulai dari rekayasa, teknologi, ekonomi sampai dengan masalah-masalah sumber daya yang saling mempengaruhi satu sama lain.

Seperti telah dikemukakan di atas bahwa perusahaan jasa konstruksi telah berhasil tumbuh dan berkembang menjadi suatu industri yang potensial, sehingga senantiasa menyangkut seluruh aspek kepentingan hidup umat manusia.

Pembangunan dalam bidang industri jasa konstruksi tersebut antara lain meliputi aspek kepentingan masyarakat yang berupa bangunan-bangunan :

2. Gedung perkantoran berlantai banyak 3. Bangunan industri

4. Jembatan 5. Jalan

6. Kilang minyak dan sebagainya.

1

(9)

Berdasarkan hal-hal di atas, maka perusahaan jasa konstruksi dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu :

1. Konstruksi rancang bangun. 2. Konstruksi pengadaan barang dan 3. Konstruksi jasa

Konstruksi rancang bangun meliputi :

1. Konstruksi bangunan gedung, jembatan, jalan, bangunan air, lapangan terbang dan sebagainya.

2. Konstruksi pemasangan peralatan-peralatan listrik dan mesin. Pemasangan peralatan-peralatan listrik meliputi : instalasi penerangan, instalasi tenaga listrik, instalasi telepon dan sebagainya. Sedangkan pemasangan peralatan-peralatan mesin meliputi : pintu-pintu air dan katup-katup, saringan-saringan, tangki-tangki bahan bakar/air/gas dan sebagainya.

3. Konstruksi pengadaan barang.

Konstruksi pengadaan barang yaitu konstruksi baik sebagian maupun seluruhnya yang berhubungan dengan pengadaan peralatan kerja, peralatan listrik, peralatan mesin, peralatan laboratorium dan bahan bangunan.

4. Konstruksi jasa

Konstruksi jasa yaitu konstruksi baik sebagian atau seluruhnya yang berhubungan dengan bantuan-bantuan, nasehat-nasehat, rancangan-rancangan, pemasangan peralatan-peralatan dan sebagainya. 2

2

(10)

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, agar pembangunan tersebut berhasil dengan baik, dalam pelaksanaan pembangunan fisik harus didukung oleh sarana dan prasarana yang baik serta peraturan-peraturan yang jelas terutama yang menyangkut hak dan kewajiban para pihak yang melaksanakan pekerjaan pembangunan tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan perjanjian yang dibuat dalam pelaksanaan pekerjaan pemborongan seperti yang diatur dalam Pasal 1601 b KUHPerdata.

Menurut Pasal 1601 b KUHPerdata, perjanjian pemborongan adalah “perjanjian dengan mana pihak yang satu (si pemborong) mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain (pihak yang memborongkan) dengan menerima suatu harga yang ditentukan”. Dalam suatu perjanjian pemborongan itu harus ada pihak yang saling mengikatkan diri yaitu antara si pemborong dengan pihak yang memborongkan dan dalam perjanjian pemborongan itu ditentukan hak si pemborong serta kewajibannya, adanya suatu pembayaran, adanya risiko dan lain-lain. Pihak yang memborongkan atau pengembang dapat berupa badan hukum baik pemerintah maupun swasta. Si pengembang mempunyai rencana memborongkan proyek sesuai dengan surat perjanjian pengadaan barang/jasa dan apa yang tercantum dalam bestek (rencana kerja)

(11)

jangka waktu yang lama. Untuk mencapai keinginan tersebut dilakukan berbagai upaya antara lain dengan mengadakan penilaian terhadap bonafiditas calon pemborong yang akan melaksanakan pekerjaan.

Perjanjian pengadaan barang/jasa sebagai suatu perjanjian yang mengandung risiko tinggi dan memerlukan penanganan yang baik dan untuk mendapatkan hasil yang baik dibutuhkan kesadaran dan rasa tanggung jawab dari masing-masing pihak, baik dari pihak pemborong maupun dari pihak yang memborongkan. Untuk itu perlu diadakan seleksi atas keadaan setiap pemborong dan apabila pemborong melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian pengadaan barang/jasa atau bestek(rencana kerja)bisa dijadikan alasan bahwa pemborong telah wanprestasi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, sebagai pelaksana dari pembangunan suatu proyek maka tanggung jawab pemborong sangat dibutuhkan terhadap suatu pekerjaan. Untuk itu pemborong harus dapat melaksanakan pekerjaan pemborongan bangunan tersebut dengan baik dan tentunya juga tepat waktu.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan penulis kemukakan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan pengadaan barang/jasa pemerintah menurut Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa pemerintah ? 2. Bagaimana bentuk-bentuk kontrak dalam perjanjian pengadaan barang/jasa

(12)

3. Bagaimana tanggung jawab hukum pemborong terhadap pemerintah dalam kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan utama dari penulisan ini adalah untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu dengan memberikan sumbangan pemikiran dan pemahaman kepada pembaca yang berminat mengenai perjanjian kerja.

Namun berdasarkan pokok permasalahan yang dikemukakan di atas maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaturan pengadaan barang/jasa pemerintah menurut Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa pemerintah.

2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk kontrak dalam perjanjian pengadaan barang/jasa pemerintah.

3. Untuk mengetahui tanggung jawab hukum pemborong terhadap pemerintah dalam kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah

Sedangkan manfaat dari penulisan ini adalah :

(13)

2. Secara praktis yaitu hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh gambaran tentang tanggung jawab pemborong terhadap pemerintah dalam perjanjian kerja.

Di samping itu juga, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi pemikiran pada praktisi hukum sesuai yang diinginkan oleh masyarakat, pemerintah dan aparat penegak hukum di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Menurut yang penulis ketahui, belum ada tulisan yang mengangkat mengenai Tanggung jawab Pemborong Terhadap Pemerintah Dalam Perjanjian Kerja (Studi Pada Kantor Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara). Penulisan ini diangkat karena ingin mengetahui lebih lanjut tentang tanggung jawab pemborong terhadap pemerintah dalam perjanjian kerja tersebut.

E. Tinjauan Kepustakaan

Era reformasi merupakan era perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Era reformasi telah dimulai sejak tahun 1998 yang lalu. Latar belakang lahirnya era reformasi adalah tidak berfungsinya roda pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama di bidang politik, ekonomi dan hukum. Maka dengan adanya reformasi, penyelenggara negara berkeinginan untuk melakukan perubahan secara radikal (mendasar) dalam ketiga bidang tersebut.3

3

(14)

Dalam bidang hukum, diarahkan kepada pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru dan penegakan hukum (law of enforcement). Tujuan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru adalah untuk menggantikan peraturan yang lama yang merupakan produk pemerintah Hindia Belanda diganti dengan peraturan yang baru yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, rasa keadilan, dan budaya hukum masyarakat Indonesia. Pada era reformasi ini telah banyak dihasilkan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan keinginan masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 jo. Undang-Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan lain-lain. Undang-undang yang dibentuk dan dibuat dalam era reformasi itu, yang paling dominan adalah undang-undang atau hukum yang bersifat sektoral, sedangkan hukum yang bersifat dasar (basic law) kurang mendapat perhatian.

(15)

III KUHPerdata menganut sistem terbuka (open system), artinya bahwa para pihak bebas mengadakan kontrak dengan siapapun, menentukan syarat-syaratnya, pelaksanaannya, dan bentuk kontrak, baik berbentuk lisan maupun tertulis. Di samping itu, diperkenankan untuk membuat kontrak baik yang telah dikenal dalam KUHPerdata maupun di luar KUHPerdata.

Kontrak-kontrak yang telah diatur dalam KUHPerdata, seperti jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam-meminjam, pemberian kuasa, penangungan utang, perjanjian untung-untungan dan perdamaian. Di luar KUHPerdata, kini telah berkembang berbagai kontrak baru, seperti leasing(penyewaan), sewa beli,

franchise(memakai nama dagang), production sharing(kontrak bagi hasil), joint venture (kerjasama dua pihak atau lebih dalam bidang bisnis) dan lain-lain. Walaupun kontrak-kontrak itu telah hidup dan berkembang dalam masyarakat, namun peraturan yang berbentuk undang-undang belum ada, yang ada yakni Peraturan Menteri. Peraturan itu hanya terbatas pada peraturan yang mengatur tentang leasing, sedangkan kontrak-kontrak yang lain belum mendapat pengaturan secara khusus. Akibat dari tidak adanya kepastian hukum tenctang kontrak tersebut maka akan menimbulkan persoalan dalam dunia perdagangan, terutama ketidakpastian bagi para pihak yang mengadakan kontrak. Dalam kenyataannya salah satu pihak sering kali membuat kontrak dalam bentuk standar, sedangkan pihak lainnya akan menerima kontrak tersebut karena kondisi sosial ekonomi mereka yang lemah. 4

4

(16)

Selanjutnya dapat pula dikatakan bahwa perjanjian pemborongan secara umum diatur dalam Pasal 1601-1617 KUHPerdata dan peraturan-peraturan khusus yang dibuat oleh pemerintah seperti Keppres Nomor 16 Tahun 1994 sebagaimana yang telah dirubah dengan Keppres Nomor 17 Tahun 2000 diatur tentang perjanjian pemborongan secara umum.

Dalam Pasal 1601 KUHPerdata dijelaskan bahwa didalam perjanjian pemborongan hanya ada dua pihak terikat yaitu pihak yang memborongkan atau prinsipal dan pihak yang menerima borongan yakni pemborong atau rekanan.

Menurut KUHPerdata perjanjian untuk melakukan pekerjaan terbagi dalam tiga macam yaitu :

1. Pekerjaan untuk melakukan jasa tertentu. 2. Perjanjian perburuhan

3. Perjanjian pemborongan pekerjaan.

Dari pembagian di atas dapat dikatakan bahwa perjanjian pemborongan bangunan adalah tergolong ke dalam perjanjian pemborongan pekerjaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1601 KUHPerdata.

Menurut Subekti perjanjian pemborongan dapat pula diartikan sebagai : “Suatu perjanjian antara seorang (pihak yang memborongkan pekerjaan) dengan seorang lain (yang memborong), pihak pertama menghendaki suatu hasil pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lawan, atas pembayaran harga tertentu sebagai borongan”.5

5

(17)

Sedangkan Sri Soedewi Maschun Sofwan memberikan pengertian perjanjian pemborongan bangunan adalah : “Perjanjian pemborongan bangunan tergolong dalam perjanjian untuk melakukan pekerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1601 b KUHPerdata ialah pihak yang satu mengikatkan diri dengan pihak lain untuk menghasilkan pekerjaan tertentu dengan harga tertentu”.6

Rumusan ini tidak jauh berbeda dengan rumusan yang diberikan oleh Wirjono Prodjodikoro yang mengatakan bahwa : “Persetujuan pemborongan kerja adalah sebagai suatu persetujuan dalam mana pihak satu si pemborong berjanji guna pihak yang memborongkan akan menyelenggarakan suatu pekerjaan tertentu dengan suatu upah tertentu”. 7

Keterlibatan pihak ketiga ini dimungkinkan berdasarkan Pasal 1317 jo Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang keterlibatan pihak ketiga dalam perjanjian sebagai berikut : “Diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada orang lain, memuat suatu janji yang seperti itu”. Di samping itu ada pula pihak-pihak lain yang dinamakan peserta dalam

Dalam perjanjian pemborongan dimungkinkan hadirnya pihak ketiga yang tidak merupakan para pihak dalam perjanjian, akan tetapi mempunyai peranan yang cukup penting dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan.

6

Sri Soedewi, Himpunan Karya Pemborongan Bangunan, (Yogyakarta: Liberty, 1982), hlm. 17.

7

(18)

perjanjian, yaitu antara lain pihak perencana dan pengawas yang mempunyai hak dan kewajiban tertentu dalam perjanjian pemborongan.

Dunham mengatakan, where a person has agreed to perform certain work (for example, to erect a building) and he in turn engages a third party to handle

all or part of that which is included in the original contract, the agreement with

such third person is called a subcontract”.8

1. Volume pekerjaan tidak terlalu besar.

Yang artinya bila seseorang yang telah menyetujui untuk melakukan suatu pekerjaan (sebagai contoh, untuk membangun suatu bangunan) dan sebaliknya dia meminta pihak ketiga untuk menangani seluruhnya atau sebagian dari pekerjaan pembangunan tersebut yang termasuk di dalam kontrak, perjanjian dengan pihak ketiga ini disebut perjanjian dengan sub kontraktor.

Pada dasarnya mengelola pekerjaan sub kontraktor adalah sama dengan mengelola pekerjaan kontraktor utama. Hanya saja beberapa hal menuntut perhatian yang lebih besar karena hal-hal sebagai berikut :

2. Spesialisasi pada jenis pekerjaan tertentu.

3. Tidak melengkapi diri dengan prosedur atau sistem pengendalian yang lengkap.

Volume pekerjaan sub kontraktor umumnya tidak terlalu besar, demikian juga biaya dan laba yang akan diterima, sehingga bila ada pengeluaran tambahan, misalnya harus mengadakan pekerjaan ulang untuk perbaikan (rework) akan sulit ditolerir. Untuk mencegah hal ini, penjabaran lingkup kerja hendaknya sejelas

8

(19)

mungkin dan sebelum penandatanganan kontrak, kedua belah pihak harus sudah mencapai suatu pengertian yang sama mengenai masalah tersebut.

Pada umumnya sub kontraktor tidak melengkapi diri dengan sistem pengendalian (prosedur maupun perangkat) selengkap dan secanggih seperti yang dimiliki oleh kontraktor utama, meskipun demikian banyak pendapat menyatakan bahwa bila menjumpai hal tersebut sebaiknya jangan mengubah atau membongkar apa yang telah dimiliki sub kontraktor untuk disamakan dengan sistem yang digunakan kontraktor utama, tetapi cukup dengan mengadakan penyesuaian. Membongkar prosedur atau cara kerja yang sudah mengakar dapat menyebabkan kebingungan karena tidak terbiasa sehingga efisiensi yang diharapkan justru tidak tercapai. Oleh karena itu agar pengembang atau kontraktor dapat mengendalikan pekerjan sub kontraktor dengan efektif maka hal-hal yang harus diperhatikan adalah :

1. Adanya Pasal-Pasal kontrak yang jelas yang berkaitan dengan definisi lingkup kerja. Kontrak ini akan dapat dipakai sebagai patokan pengendalian.

2. Digunakan metode pengukuran hasil kerja dan kinerja, yang sejauh mungkin dinyatakan dalam besaran kuantitatif.

3. Prosedur yang mengatur change order(perubahan kontrak)dan back charge(penagihan biaya)dengan implementasi yang ketat.

4. Laporan berkala yang menunjukkan analisis prakiraan dan kecenderungan kapan pekerjaan terselesaikan dan berapa besar biaya penyelesaian.9

9

(20)

Selanjutnya, pemerintah dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum bertugas untuk membantu tugas dari kepala daerah untuk melaksanakan tugas di bidang perumahan dan pemukiman, jalan dan jembatan, irigasi serta peralatan dan alat-alat berat.

Adapun fungsi dari Dinas Pekerjaan Umum tersebut adalah untuk membantu kepala daerah dalam melaksanakan tugas bidang perumahan dan pemukiman, jalan dan jembatan, irigasi serta peralatan dan alat-alat berat. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Kepala Dinas menyelenggarakan fungsi :

1. Penyiapan konsep kebijakan daerah dan pelaksanaan kewenangan daerah serta pelaksanaan tugas-tugas dinas di bidang pekerjaan umum.

2. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan jangka menengah dan tahunan di bidang pekerjaan umum sesuai ketentuan yang ditetapkan.

3. Penyelenggaraan koordinasi dan kerja sama dengan pihak-pihak terkait untuk pengembangan kapasitas pekerjaan umum.

4. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan kepala daerah sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya.

5. Pemberian masukan yang perlu kepada kepala daerah sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya.

6. Pelaporan dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas dan fungsinya kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah.10

10

(21)

Selanjutnya, sesuai dengan visi Dinas Pekerjaan Umum yakni terwujudnya infrastruktur jalan/jembatan, sumber daya air, perumahan dan pemukiman yang baik serta misinya yakni :

1. Melaksanakan pekerjaan konstruksi jalan/jembatan secara berkualitas dan berkuantitas, agar terjamin ketahanan dan kekuatan untuk dapat memenuhi standard pelayanan.

2. Melaksanakan pemeliharaan jalan/jembatan dan jaringan irigasi secara rutin dan periodik.

3. Melaksanakan pengendalian dan penanggulangan bencana alam yang mempengaruhi keadaan sumber daya air, seperti banjir, tanah longsor, abrasi/reklamasi pantai dan kekeringan dalam rangka mempertahankan fungsi daerah pertanian, industri, pemukiman dan daerah penting serta strategis lainnya.11

F. Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian merupakan suatu cara yang dilakukan untuk memperoleh gambaran data keterangan dari suatu obyek yang diteliti.

Adapun metodologi penelitian yang dipergunakan dalam pembuatan skripsi ini adalah dengan menetapkan :

1. Sifat Penelitian.

Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Langkah pertama dilakukan penelitian normatif yang

11

(22)

didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan perjanjian kerja. Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini.

2. Bahan Penelitian

Bahan dalam skripsi ini diambil dari data-data sebagai berikut : a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum ini mencakup ketentuan-ketentuan tentang pengadaan barang/jasa yang ditelusuri dalam perundang-undangan, Peraturan Pemerintah dan yurisprudensi

b. Bahan hukum sekunder

Dengan bahan ini ditingkatkan pemahaman peraturan-peraturan yang ditemukan dalam bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder diperoleh dari kepustakaan, artikel yang ada hubungannya dengan pengadaan barang/jasa.

c. Bahan hukum tertier

(23)

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka

penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara :

a. Library research (penelitian kepustakaan) yaitu dengan mengadakan

penelitian terhadap data-data yang diperoleh dari literatur, catatan kuliah serta majalah-majalah ilmiah yang ada kaitannya dengan skripsi ini dan digunakan sebagai rujukan dalam pembahasan skripsi ini untuk memperkuat dalil dan fakta penelitian.

b. Field research (penelitian lapangan) yaitu dengan melakukan pendekatan

langsung pada sumbernya untuk memperoleh data dalam praktek dengan pengumpulan bahan-bahan yang ada pada Kantor Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan.

4. Teknik Analisis Data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi.

G. Sistematika Penulisan

(24)

Secara garis besar gambaran skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN

Merupakan Bab yang memberikan ilustrasi dan informasi yang bersifat umum dan menyeluruh serta sistematis terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PENGADAAN

BARANG/JASA PEMERINTAH

Dalam Bab ini diuraikan tentang hakekat dan filosofi pengadaan barang/jasa pemerintah, prinsip-prinsip hukum pengadaan barang/jasa pemerintah serta aturan pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintahdalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010.

BAB III BENTUK-BENTUK KONTRAK DALAM PERJANJIAN

PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

(25)

BAB IV TANGGUNGJAWAB HUKUM PEMBORONG TERHADAP PEMERINTAH DALAM KONTRAK PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

Pada Bab ini diuraikan tentang Hak dan Kewajiban Pemborong, Tugas-tugas Pemerintah (Dinas Pekerjaan Umum) yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa, faktor-faktor penyebab terjadinya pelanggaran dalam kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah serta tanggung jawab pemborong terhadap pelanggaran kontrakpengadaan barang/jasa pemerintah

BAB V PENUTUP

(26)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TENTANG

PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

A. Hakekat dan Filosofi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Pengadaan barang dan jasa dimulai sejak adanya pasar dimana orang dapat membeli dan atau menjual barang. Cara atau metoda yang digunakan dalam jual beli barang di pasar adalah dengan cara tawar menawar secara langsung antara pihak pembeli atau pihak pengguna dengan pihak penjual atau pihak penyedia barang. Apabila dalam proses tawar-menawar telah tercapai kesepakatan harga, maka dilanjutkan dengan transaksi jual beli, yaitu pihak penyedia barang menyerahkan barang kepada pihak pengguna dan pihak pengguna membayar berdasarkan harga yang disepakati kepada pihak penyedia barang. Proses tawar menawar dan proses transaksi jual beli dilakukan secara langsung tanpa didukung dengan dokumen pembelian maupun dokumen pembayaran dan penerimaan barang.12

Apabila barang yang akan dibeli, jumlah dan jenisnya banyak, dan setiap jenis barang tersebut dilakukan tawar menawar, maka akan memakan waktu. Untuk menghemat waktu, pengguna menyusun secara tertulis jenis dan jumlah barang yang akan dibeli, selanjutnya diberikan kepada penyedia barang untuk mengajukan penawaran secara tertulis pula. Daftar barang yang disusun secara tertulis tersebut kiranya yang menjadi asal-usul dokumen pembelian.Sedangkan

(27)

penawaran harga yang dibuat secara tertulis merupakan asal usul dokumen penawaran.

Perkembangan selanjutnya pihak pengguna menyampaikan daftar barang yang akan dibeli tidak hanya kepada satu tetapi kepada beberapa penyedia barang. Dengan meminta penawaran kepada beberapa penyedia barang, pengguna dapat memilih harga penawaran yang paling murah dari setiap jenis barang yang akan dibeli. Cara tersebut kiranya yang menjadi cikal-bakal pengadaan barang dengan cara lelang.

Cara pembelian barang berkembang tidak terbatas pada pembelian barang yang telah ada di pasar saja tetapi juga pembelian barang yang belum tersedia di pasar. Pembelian barang yang belum ada di pasar dilakukan dengan cara pesanan. Agar barang yang dipesan dapat dibuat seperti yang diinginkan, maka pihak pemesan menyusun nama, jenis, jumlah barang yang dipesan beserta spesifikasinya secara tertulis dan menyerahkannya kepada pihak penyedia barang. Dokumen tertulis tersebut dinamakan dokumen pemesanan barangyang kiranya menjadi asal-usul dari dokumen lelang.

(28)

Sekarang pengadaan barang tidak terbatas pada barang yang berwujud tetapi juga barang yang tidak berwujud. Barang tidak berwujud umumnya adalah jasa. Misalnya jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan pendidikan, jasa konsultasi, jasa supervise, jasa manajemen, dan lain-lainnya. Pengadaan barang tak berwujud yang umumnya berupa jasa tersebut merupakan asal usul pengadaan jasa konsultasi dan jasa lainnya.

Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong terjadinya perubahan dan kemajuan dalam semua bidang kegiatan, termasuk kegiatan pengadaan barang jasa. Apabila ada tahap awal pengadaan barang dan jasa merupakan kegiatan jual beli langsung di suatu tempat (pasar), sekarang pengadaan barang dan jasa dapat dilakukan secara tidak secara langsung. Yang sekarang sedang berkembang pengadaan barang melalui media teknologi informasi (misalnya: melalui internet) dan dapat dilakukan dan berlaku dimana saja. Pengadaan barang dan jasa yang pada awalnya merupakan kegiatan praktis, sekarang sudah menjadi pengetahuan yang dapat dipelajari dan diajarkan.13

Dapat pula dikatakan bahwa pengadaan barang/jasa pemerintah menurut Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 pembiayaannya baik sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD. Pengadaan barang/jasa yang dananya bersumber dari APBN/APBD tersebut, mencakup pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari pinjaman atau hibah dalam negeri yang diterima oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. Selanjutnya pengadaan barang/jasa tersebut dilakukan melalui swakelola dan pemilihan

(29)

penyedia barang/jasa. Pengadaan barang/jasa Pemerintah dalam Peraturan Presiden ini meliputi barang, pekerjaan konstruksi, jasa konsultasi dan jasa lainnya.

Pengadaan barang dan jasa pada hakekatnya adalah upaya pihak pengguna untuk mendapat atau mewujudkan barang dan jasa yang diinginkan dengan menggunakan metoda dan proses tertentu untuk dicapai kesepakatan harga, waktu, dan kesepakatan lainnya.

Agar hakekat atau esensi pengadaan barang dan jasa tersebut dapat dilaksanakan sebaik-baiknya, maka kedua belah pihak yaitu pengguna dan penyedia haruslah selalu berpatokan kepada filosofi pengadaan barang dan jasa, tunduk kepada etika dan norma pengadaan barang dan jasa yang berlaku, mengikuti prinsip-prinsip, metoda dan proses pengadaan barang dan jasa yang baku.

Berdasarkan uraian dan pengertian tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa filosofi pengadaan barang dan jasa adalah upaya mendapatkan barang dan jasa yang diinginkan yang dilakukan atas dasar pemikiran yang logis dan sistimatis

(the system of thought), mengikuti norma dan etika yang berlaku, berdasarkan metoda dan proses pengadaan yang baku.

B. Prinsip Hukum Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

(30)

keterbukaan, transpraransi, tidak diskriminasi, dan akuntabilitas, sebagaimana diperlihatkan dalam bagan di bawah ini.14

1. Efisiensi

Yang dimaksud dengan prinsip efisiensi dalam pengadaan barang dan jasa adalah dengan menggunakan sumber daya yang tersedia diperoleh barang dan jasa dalam jumlah, kualitas yang diharapkan, dan diperoleh dalam waktu yang optimal.

2. Efektif

Yang dimaksud dengan prinsip efektif dalam pengadaan barang dan jasa adalah dengan sumber daya yang tersedia diperoleh barang dan jasa yang mempunyai nilai manfaat setinggi-tingginya.

3. Persaingan Sehat

Yang dimaksud dengan prinsip persaingan yang sehat dalam pengadaan barang dan jasa adalah adanya persaingan antar calon penyedia barang dan

Tidak diskriminatif Akuntabel

Persaingan sehat Efektif Efisiensi

Terbuka

Transparan

Tidak diskriminatif Akuntabel

(31)

jasa berdasarkan etika dan norma pengadaan yang berlaku, tidak terjadi kecurangan dan praktek KKN.

4. Terbuka

Yang dimaksud dengan prinsip terbuka dalam pengadaan barang dan jasa adalah memberikan kesempatan kepada semua penyedia barang dan jasa yang kompeten untuk mengikuti pengadaan.

5. Transparansi

Yang dimaksud dengan transparansi dalam pengadaan barang dan jasa adalah pemberian informasi yang lengkap tentang aturan main pelaksanaan pengadaan barang dan jasa kepada semua calon penyedia barang dan jasa yang berminat dan masyarakat.

6. Tidak Diskriminatif

Yang dimaksud dengan tidak diskriminatif dalam pengadaan barang dan jasa adalah pemberian perlakuan yang sama kepada semua calon penyedia barang dan jasa berminat mengikuti pengadaan barang dan jasa.

7. Akuntabilitas

Yang dimaksud dengan akuntabilitas dalam pengadaan barang dan jasa adalah pertanggungjawaban pelaksanaan pengadaan barang dan jasa kepada para pihak yang terkait dan masyarakat berdasarkan etika, norma, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 15

(32)

C. Aturan Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Dalam

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010

Peraturan pelaksanaan yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa disini, adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan pengadaan barang dan jasa serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa baik peraturan perundang-undangan nasional maupun internasional. Peraturan perundang-undangan nasional berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Presiden, sedangkan peraturan internasional berupa konvensi internasional, guideline dan standar-standar yang diterbitkan oleh asosiasi dan lembaga dan negara pemberi pinjaman/hibah.

1. Peraturan perundang-undangan nasional pengadaan barang dan jasa

Peraturan perundang-undangan nasional khusus mengatur pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang sekarang berlaku adalah Keppres No. 18 Tahun 2000. Sebelum Keppres No. 18/2000 terbit, ketentuan tentang pengadaan barang dan jasa tidak diatur tersendiri dalam satu Keppres akan tetapi diatur dalam beberapa Pasal dan Keppres tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sejak dimulainya REPELITA I pada tahun 1969 sampai tahun 1999 tercatat ada 16 Keppres tentang hal tersebut yang sebagian Pasal-Pasalnya mengatur tentang pelaksanaan pengadaan barang dan jasa.

(33)

(pengadaan barang dan jasa dilingkungan pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota serta BUMN dan BUMD), (ii) ketentuan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa termasuk ketentuan tentang metode pengadaan, sanggahan, pelelangan gagal, dan pengadaan barang dan jasa yang dibiayai dengan dana pinjaman/hibah luar negeri, (iii) ketentuan tentang perjanjian/kontrak pengadaan barang dan jasa, (iv) ketentuan tentang pengawasan pelaksanaan pengadaan serta (v) ketentuan tentang pendayagunaan produksi dalam negeri dan peran serta usaha kecil/koperasi setempat.

Keppres No. 18/2000 telah dilengkapi dengan Petunjuk Teknis Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah, yang memuat ketentuan lebih rinci tentang prosedur pengadaan barang, jasa pemborongan, jasa lainnya dan jasa konsultasi, pendayagunaan produksi dalam negeri, usaha kecil dan koperasi, pengawasan pemeriksaan, sertifikasi dan kualifikasi penyedia barang dan jasa.

Disamping Keppres No. 18 Tahun 2000, peraturan perundang-undangan nasional yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa, sebagai berikut:

a. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil

(34)

perizinan dan perlindungan. Keterkaitan antara Undang-undang No. 9 Tahun 1995 dengan Keppres 18 Tahun 2000 adalah disamping UU ini dijadikan konsideran dalam Keppres No. 18 Tahun 2000, UU ini juga dijadikan dasar pembuatan kebijakan pemerintah dalam rangka pendayagunaan produksi dalam negeri, peran serta usaha kecil/koperasi setempat dalam proses pengadaan barang/jasa instansi pemerintah.

b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

(35)

dapat diperiksa oleh KPPU dan apabila terbukti maka pengadaan dan kontraknya dapat dibatalkan oleh KPPU.

c. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan PP 29/2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi

Undang-undang No. 18 Tahun 1999 dimaksudkan untuk memberikan landasan hukun pengembangan iklim usaha, peningkatan daya saing, mewujudkan kemitraan yang sinergis antar penyedia jasa kontruksi besar, menengah dan kecil, perlindungan hak guna dan perlakukan yang adil bagi semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan jasa konstruksi.

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi merupakan pedoman bagi instansi pemerintah dalam melaksanakan pengadaan jasa konstruksi. Peraturan Pemerintah ini antara lain mengatur tentang tata cara pemilihan penyedia jasa konstruksi, kontrak kerja konstruksi dan kegagalan konstruksi. Adapun lingkupnya meliputi jasa konstruksi yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah maupun swasta.

(36)

d. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang /Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 dimaksudkan untuk memberikan landasan hokum bagi penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber pembiayaan berdasarkan prinsip desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan serta pengaturan perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur tentang tata cara pengadaan barang dan jasa atas beban APBD yang harus diatur dengan PERDA atau Keputusan Kepala Daerah. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa ketentuan pengadaan barang/jasa yang diatur dalam PERDA tersebut tetap harus mengacu, konsisten dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pengadaan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi urutannya.

(37)

e. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN

UU No. 28 Tahun 1999 dimaksudkan yntuk menetapkan asas bagi penyelenggaraan pemerintah yang bersih, yaitu asas Kepastian Hukum, Tertib Penyelenggaraan Negara, Kepentingan Umum, Keterbukaan, Proporsionalitas dan Akuntabilitas. Selain dari pada itu UU ini mengatur tentang hak dan kewajiban penyelenggara negara termasuk pimpro dan bendaharawan proyek yang memiliki fungsi strategis dan rawan terhadap praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.

UU ini juga masuk dalam konsideran “mengingat” dalam Keppres No. 18 Tahun 2000, dan asasnya sejalan dengan prinsip-prinsip dasar pengadaan barang/jasa.

f. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

Undang-Undang ini mengarur mengenai pendirian dan kedudukan yayasan sebagai badan hukum yang mempunyai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang bersifat nir laba dan tidak untuk mencari keuntungan semata (profit taking).

Yayasan dimungkinkan dapat melakukan kegiatan usaha yang sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan dengan cara mendirikan badan usaha atrau melalui penyertaan modal maksimal 25%, dan usaha tersebut harus sesuai dengan tujuan yayasan tersebut.

(38)

dan jasa instansi pemerintah salah satunya adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Dimana LSM dan PTS tersebut kebanyakan dalam bentuk Yayasan. Dengan berlakunya UU No. 16 Tahun 2001, maka LSM dan Perguruan Tinggi Swasta yang berbentuk Yayasan kalau mau menjadi penyedia barang dan jasa instansi pemerintah harus membentuk badan usaha atau menyertakan modal kepada salah satu badan usaha. Jadi yang menjadi penyedia barang dan jasa adalah badan usaha yang dibentuk yayasan tersebut bukan yayasannya. Disamping itu badan usaha tersebut harus bergerak di bidang yang sesuai denga tujuan yayasan tersebut.

2. Peraturan Perundang-Undangan Internasional Pengadaan Barang dan Jasa Peraturan pengadaan barang dan jasa internasional terdiri dari peraturan yang diterbitkan oleh asosiasi/lembaga internasional dan lembaga/negara pemberi pinjaman/hibah luar negeri (PHLN).

a. Peraturan pengadaan yang diterbitkan oleh asosiasi dan lembaga internasional

1) FIDIC (Federation Internationale Des Ingenieurs-Conseils/Federasi internasional dari Insinyur Konsultan). Menerbitkan dokumen-dokumen standard yang berkaitan dengan dokumen lelang, dokumen evaluasi, dokumen prakualifikasi, dan kontrak konstruksi internasional.

(39)

peraturan yang berkaitan dengan perdagangan internasional diantaranya model tentang pengaturan pengadaan barang/jasa.

b. Peraturan pengadaan yang diterbitkan oleh asosiasi dan lembaga/negara pemberi pinjaman/hibah luar negeri

Pelaksanaan proyek yang dibiayai sebagian atau seluruh denga pinjaman/hibah luar negeri, termasuk pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, berpedoman pada pedoman/guidelines serta standar-standar dokumen pengadaan barang dan jasa yang diterbitkan oleh lembaga/negara pemberi pinjaman/hibah luar negeri (PPHLN) yang disepakati bersama dan dituangkan kedalam naskah perjanjian pinjaman/hibah luar negeri (NPPHLN).

Apabila NPPHLN dan Guidelines belum mengatur dapat menggunakan ketentuan peraturan pengadaan barang dan jasa nasional.

Pasal 6 ayat 3 Keppres No 18 Tahun 2000 memuat ketentuan tentang Ruang Lingkup Berlakunya Keputusan Presiden, yang berbunyi: keputusan Presiden ini berlaku untuk pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dari Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PHLN) yang sesuai atau tidak bertentangan denga pedoman dan ketntuan pengadaan barang/jasa dari pemberi pinjaman/hibah bersangkutan.

(40)

belum diatur di dalam perundang-undangan yang diterbitkan oleh lembaga pemberi pinjaman/hibah.

Berikut adalah beberapa peraturan pengadaan barang/jasa yang diterbitkan oelh Bank Dunia (IBRD), Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Japan Bank of International Cooperation (JBIC):

1) Peraturan pengadaan barang dan jasa yang diterbitkan oleh IBRD, a) Guideline for Selection and Employment of Consultants

b) Guideline of procurement Under IBRD Loan and IDA Crdit for Good And Civil Work

c) Standard Bidding Document for Procurement of Good (include Standard Form of Contract)

d) Standard Bidding Document for Procurement of Work (include Standard Form of Contract)

2) Peraturan pengadaan barang dan jasa yang diterbitkan oleh ADB a) Guideline on use of Consultant by ADB and Its Borrower

b) Hand Book on Policies Practice and Procedure Relating to the Procurement under ADB Loan

3) Peraturan pengadaan barang dan jasa yang diterbitkan oleh JBIC a) JBIC Loan Hand Book

4) Konvensi Internasional

(41)

akan menghadapi persoalan pilihan peraturan perundangan atau hukum mana yang akan diberlakukan. Dengan kata lain akan terdapat persoalan pilihan antara peraturan perundangan/hukum nasional dengan hukum asing yang akan digunakan.

Pilihan teresbut dapat diperjanjikan dalam kontrak bisnis internasional. Namun apabila diantara pihak tidak tercapai kesepakatan mengenai pilihan-pilihan tersebut, maka terdaoat asas hukum perdata internasional yang terkenal sebagai “the most

characteristic connection of the agreement”. Berdasarkan asas

tersebut maka peraturan perundangan/hukum dari pihak yang paling banyak melaksanakan pekerjaan yang diperjanjikan atau paling banyak karakteristiknya dalam pelaksanaan perjanjian.

Misalnya dalam perjanjian jual beli barang secara internasional, penyedia berkewajiban untuk menyediakan, mengumpulkan, menggudangkan, mengepak, mengangkut, mengasuransikan dan menyerahkan kepada pengguna. Sementara itu pengguna hanya menerima dan membayar sejumlah uang saja, maka peraturan perundangan/hukum yang berlaku adalah dari negara penyedia barang dan jasa tersebut.16

(42)

BAB III

BENTUK-BENTUK KONTRAK DALAM

PERJANJIAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

A. Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Ditinjau dari Hukum

Perjanjian

Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumber hukum materiil dan sumber hukum formal. 17

Sumber hukum materiil adalah tempat dari mana materi hukum itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan sosial, kekuatan politik, situasi sosial ekonomi, tradisi (pandangan keagamaan dan kesusilaan), hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional dan keadaan geografis. Sumber hukum formal merupakan tempat memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum formal itu berlaku. Yang diakui umum sebagai hukum formil ialah undang-undang, perjanjian antar negara, yurisprudensi dan kebiasaan. Keempat hukum formal ini juga merupakan sumber hukum kontrak.18

Sumber hukum kontrak yang berasal dari undang-undang merupakan sumber hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Pemerintah dengan persetujuan DPR. Sumber hukum kontrak yang berasal dari peraturan perundang-undangan akan diuraikan di bawah ini :

17

Algra, dkk, Mula Hukum, (Bandung : Binacipta, 1975), hlm. 74.

18

(43)

1. Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB)

AB merupakan ketentuan-ketentuan umum Pemerintah Hindia Belanda yang diberlakukan di Indonesia. AB diatur dalam Stb. 1847 Nomor 23, dan diumumkan secara resmi pada tanggal 30 April 1847. AB terdiri atas 37 Pasal. 2. KUHPerdata (BW)

KUHPerdata merupakan ketentuan hukum yang berasal dari produk Pemerintah Hindia Belanda, yang diundangkan dengan Maklumat tanggal 30 April 1847, Stb. 1847, Nomor 23, sedangkan di Indonesia diumumkan dalam Stb 1848. Berlakunya KUHPerdata berdasarkan pada asas konkordansi. Sedangkan ketentuan hukum yang mengatur tentang hukum kontrak diatur dalam Buku III KUHPerdata.

Sistem pengaturan hukum kontrak adalah sistem terbuka (open system). Artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam undang-undang. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi : ”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :

a. Membuat atau tidak membuat perjanjian b. mengadakan perjanjian dengan siapapun

(44)

d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. 19

Dalam sejarah perkembangannya, hukum kontrak pada mulanya menganut sistem tertutup. Artinya para pihak terikat pada pengertian yang tercantum dalam undang-undang. Ini disebabkan adanya pengaruh ajaran legisme yang memandang bahwa tidak ada hukum di luar undang-undang. Hal ini dapat dilihat dan dibaca dalam berbagai putusan Hoge Raad dari tahun 1910 sampai dengan tahun 1919.

Putusan Hoge Raad yang paling penting adalah putusan HR 1919, tertanggal 31 Januari 1919 tentang penafsiran perbuatan melawan hukum, yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Di dalam putusan HR 1919 definisi perbuatan melawan hukum, tidak hanya melawan undang-undang, tetapi juga melanggar hak-hak subjektif orang lain, kesusilaan dan ketertiban umum.

Menurut HR 1919 yang diartikan dengan perbuatan melawan hukum adalah berbuat atau tidak berbuat yang :

a. Melanggar hak orang lain

Yang dimaksud dengan hak orang lain, bukan semua hak, tetapi hanya hak-hak pribadi, seperti integritas tubuh, kebebasan, kehormatan dan lain-lain. Termasuk dalam hal ini hak-hak absolut, seperti hak kebendaan, hak atau kekayaan intelektual (HAKI) dan sebagainya.

b. Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku.

Kewajiban hukum hanya kewajiban yang dirumuskan dalam undang-undang.

19

(45)

c. Bertentangan dengan kesusilaan, artinya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu bertentangan dengan sopan santun yang tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

d. Bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam masyarakat. Aturan tentang kecermatan terdiri atas dua kelompok, yaitu :

1) Aturan-aturan yang mencegah orang lain terjerumus dalam bahaya

2) Aturan-aturan yang melarang merugikan orang lain ketika hendak menyelenggarakan kepentingannya sendiri. 20

Putusan HR 1919 tidak lagi terikat kepada ajaran legisme, namun telah secara bebas merumuskan pengertian perbuatan melawan hukum, sebagaimana yang dikemukakan di atas. Sejak adanya putusan HR 1919, maka sistem pengaturan hukum kontrak adalah sistem terbuka.

Kesimpulannya, bahwa sejak tahun 1919 sampai sekarang sistem pengaturan hukum kontrak adalah bersifat terbuka. Hal ini didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dan HR 1919.

3. Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Undang-undang ini terdiri atas 11 Bab dan 53 Pasal. Hal-hal yang diatur dalam undang-undang itu meliputi ketentuan umum, asas dan tujuan, perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, posisi dominan, komisi pengawas persaingan usaha, tata cara penanganan perkara dan sanksi.

20

Nieuwenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Surabaya, Universitas

(46)

4. Undang-undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi

Di dalam undang-undang ini ada dua Pasal yang mengatur tentang kontrak, yaitu Pasal 1 ayat (5) dan Pasal 22 Undang-undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Yang diartikan dengan kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. (Pasal 1 ayat (5) Undang-undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.

Kontrak kerja konstruksi sekurang-kurangnya harus mencakup uraian mengenai :

1. Para pihak yang memuat secara jelas identitas para pihak.

2. Rumusan pekerjaan, yang memuat uraian yang jelas dan rinci tentang kerja, nilai pekerjaan dan batasan waktu pelaksanaan.

3. Masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, yang memuat tentang jangka waktu pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggungjawab penyedia jasa.

4. Tenaga ahli, yang memuat ketentuan tentang jumlah, klasifikasi, dan kualifikasi tenaga ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi.

5. Hak dan kewajiban, yang memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan serta hak penyedia jasa untuk memperoleh informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan konstruksi. 6. Cara pembayaran, yang memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna

(47)

7. Cedera janji, yang memuat ketentuan tentang tanggungjawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana yang diperjanjikan.

8. Penyelesaian perselisihan, yang memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan.

9. Pemutusan kontrak kerja konstruksi, yang memuat ketentuan tentang pemutusan kontrak kerja konstruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak.

10.Keadaan memaksa (force majeure), memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.

11.Kegagalan bangunan, yang memuat ketentuan tentang kewajiban penyedia jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan bangunan.

12.Perlindungan kerja, yang memuat tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial.

13.Aspek lingkungan, yang memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang lingkungan (Pasal 22 ayat (2) Undang-undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi). 21

5. Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa

Undang-undang ini terdiri atas 11 Pab dan 82 Pasal. Pasal-pasal yang erat kaitannya dengan hukum kontrak adalah Pasal 1 ayat (3) tentang pengertian

21

(48)

perjanjian arbitrase, Pasal 2 tentang persyaratan dalam penyelesaian sengketa arbitrase dan Pasal 7 sampai dengan Pasal 11 tentang syarat arbitrase.

6. Undang-undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

Undang-undang ini terdiri atas 7 Bab dan 22 Pasal. Hal-hal yang diatur dalam undang-undang ini adalah ketentuan umum, pembuatan perjanjian internasional, pengesahan dari perjanjian internasional, pemberlakuan dari perjanjian internasional, penyimpanan dari perjanjian internasional dan pengakhiran dari perjanjian internasional.

Traktat adalah suatu perjanjian yang dibuat antara dua negara atau lebih dalam bidang keperdataan, khususnya kontrak. Ini terutama, erat kaitannya dengan perjanjian internasional. Contohnya, perjanjian bagi hasil yang dibuat antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia Company tentang perjanjian bagi hasil tembaga dan emas. Yurisprudensi atau putusan pengadilan merupakan produk yudikatif, yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang berperkara, terutama dalam perkara perdata. Contohnya, putusan HR 1919 tentang pengertian perbuatan melawan hukum. Dengan adanya putusan HR 1919, maka pengertian melawan hukum tidak dianut arti luas, tetapi arti sempit. Putusan HR 1919 ini dijadikan pedoman oleh para hakim di Indonesia dalam memutuskan sengketa perbuatan melawan hukum.

B. Mengikatnya Perjanjian Kontrak Barang/Jasa Pemerintah

Sebelum membahas perjanjian kontrak, ada baiknya dimulai dari

(49)

autonomie) ; yang merupakan tiang pokok bangunan Hukum Perdata dibidang Hukum Perikatan. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 KUHPerdata yang

jika dianalisa terdiri dari 3 asas utama yaitu asas konsensualisme (terjadinya

perjanjian cukup dengan adanya persetujuan kehendak para pihak), asas kekuatan

mengikat dari perjanjian (perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya) dan asas kebebasan berkontrak (para pihak bebas menentukan

isi, luas dan bentuk perjanjian). Dalam perjalanan waktu terhadap asas kebebasan

berkontrak ini dipandang perlu untuk diadakan pembatasan terhadap batas-batas

kebebasannya; oleh karena manusia disamping sebagai mahluk individu, dia

merupakan mahluk sosial dan keberadaan hukum tidak hanya untuk melindungi

kepentingan individu namun juga kepentingan masyarakat.

Pada keadaan memaksa, keadaan yang berubah itu membuat tidak

mungkinnya atau terhalangnya pemenuhan prestasi; sedangkan pada perubahan

keadaan, berubahnya keadaan menimbulkan keberatan untuk memenuhi

perjanjian, karena apabila itu dipenuhi, maka salah satu pihak akan menderita

kerugian. Dan apabila dianalisa lebih lanjut maka pada keadaan memaksa

pemenuhan prestasi oleh debitur praktis menimbulkan keberatan, sebaliknya pada

perubahan keadaan, pemenuhan prestasi dari debituradalah sangat berat

dilaksanakan.

Dari analisa tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam keadaan memaksa

titik beratnya terletak pada posisi debitur yaitu debitur terhalang untuk memenuhi

(50)

kreditur apakah pihak kreditur berdasarkan itikad baik dan kepatutan dapat

menuntut pemenuhan prestasi dari debitur.

Semenjak abad petengahan para pihak dalam perjanjian tidak mau

dirugikan oleh terjadinya suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian,

sehingga pihak tersebut berlindung pada janji gugur secara diam-diam yang

disebut sebagai klausula rebus sic stantibus. Klausula ini menyatakan bahwa

perjanjian dianggap berlaku secara tetap selama keadaan tidak berubah dan kalau

keadaan berubah maka perjanjian menjadi gugur.22

Dalam perkembangannya Klausula Rebus sic Stantibus mulai ditinggalkan

dan masyarakat mulai membedakan antara keadaan memaksa dan perubahan

keadaan, sehingga dalam Pasal 1245 KUHPerdata sebagai suatu alasan pembenar

(rechtvaardigingsgrond) bagi debitur untuk tidak melaksanakan kewajibannya/prestasinya, dengan alasan bahwa akan bertentangan dengan

kepatutan jika debitur dalam keadaan seperti itu tetap diwajibkan memenuhi

prestasinya yang sebenarnya tidak dapat ia laksanakan. Namun sejak tahun 1915

keputusan-keputusan Hakim sudah mulai meninggalkan force majuere/overmacht

untuk menyelesaikan hal-hal mengenai perubahan keadaan dan telah

mempergunakan Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata sebagai pedoman. Hal ini

dipelopori oleh Levebach dengan teorinya “economies synallagma” yang artinya

Jadi dalam klausula ini tidak

dibedakan apakah ketidak-dapatan pemenuhan prestasi diakibatkan oleh keadaan

memaksa atau sekedar perubahan keadaan; sehingga di masa itu pihak debitur

begitu mengalami suatu perubahan keadaan dapat berlindung pada janji gugur; ini

berarti perjanjian menjadi batal demi hukum dengan adanya perubahan keadaan.

22

(51)

harus adanya keseimbangan antara kedua belah pihak dalam pengertian

ekonominya, jadi antara prestasi dan kontra prestasi secara timbal balik adalah

seimbang nilainya dan apabila terjadi ketegangan yang secara objektif merugikan

atau menguntungkan salah satu pihak, hal ini merupakan resiko yang harus

dipikulnya. Sehingga dengan demikian dalam hal terjadi perubahan keadaan

perlulah diperhatikan pembagian resiko antara para pihak terhadap suatu

kerugian.

Perkembangan di Indonesia terlihat dalam Putusan Mahkamah Agung

tanggal 27 April 1955 mengenai Sengketa Kebon Kopi, yang singkatnya

berbunyi: Adalah pantas dan sesuai dengan rasa keadilan, apabila dalam hal

menggadai tanah kedua belah pihak masing-masing memikul separuh dari risiko

kemungkinan perubahan harga nilai uang rupiah, diukur dari perbedaan harga

emas pada waktu menggadaikan dan waktu menebus tanah itu. Jadi menurut

yurisprudensi di Indonesia resiko atas perubahan keadaan sesuai dengan rasa

keadilan dan kepantasan (kepatutan) adalah dibagi dua.

C. Bentuk-Bentuk Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

(52)

Menurut ketentuannya, segera setelah diadakan pemilihan pemborong, pihak pengembang segera membuat SPK (Surat Perjanjian Kerja) terlebih dahulu agar pemborong segera dapat bekerja sesuai dengan bestek dan spesifikasi bangunan yang telah ditentukan dan selanjutnya pihak pengembang membuat surat perjanjian pemborongan.23

Mengenai isi perjanjian pemborongan di dalam KUHPerdata tidak ditentukan maka para pihak yaitu pihak pengembang dan pemborong bebas menentukan isi dari perjanjian tersebut. Hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. 24

(1) Memenuhi syarat sebagai suatu kontrak.

Para pihak bebas membuat kontrak dan mengatur sendiri isi kontrak tersebut, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut :

(2) Tidak dilarang oleh undang-undang. (3) Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku.

(4) Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik. 25

Isi perjanjian pemborongan antara satu perusahaan dengan perusahaan yang lain berbeda, hanya saja ada hal-hal tertentu dalam perjanjian pemborongan yang harus tercantum dan selalu ada dalam perjanjian pemborongan yaitu mengenai tugas pekerjaan, dasar pelaksanaan pekerjaan, cara pembayaran,

23

Hasil wawancara dengan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan, tanggal 10 Mei 2012.

24

Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung : Alumni, 1997), hlm. 29.

25

(53)

pekerjaan tambah/kurang, penyelesaian perselisihan, jangka waktu pemeliharaan, sanksi dan force majeure(keadaan memaksa).

Apabila dikaitkan dengan unsur dari perjanjian yaitu unsur essensialia

maka isi perjanjian yang sudah ditetapkan oleh kedua belah pihak ini selalu harus ada dalam setiap perjanjian pemborongan, unsur mutlak, tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian pemborongan itu tak mungkin dapat terlaksana. Meskipun isi perjanjian pemborongan antara perusahaan berbeda tetapi untuk hal-hal tertentu tetap ada yang menjadi essensialia dari perjanjian tersebut. Jadi dalam perjanjian pemborongan essensialianya adalah syarat tentang pekerjaan dan upah.

Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa isi perjanjian pemborongan menurut pemborong lebih menguntungkan pihak pengembang, meskipun dibuat atas kesepakatan kedua belah pihak tetapi biasanya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh pihak pengembang.

Kalimat yang digunakan pada Pasal-Pasal yang dibuat pada perjanjian kontrak borongan pada Pemerintah/Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan tersebut terlihat bahwa isi perjanjian pemborongan lebih menguntungkan pihak pengembang sehingga dapat dikatakan perjanjian pemborongan itu tidak seimbang. Pemborong dalam menyelesaikan pekerjaannya tidak dapat memperpanjang sendiri waktu yang diberikan meskipun dalam keadaan

overmacht, tetapi harus memberitahukannya terlebih dahulu kepada pihak

(54)

D. Wanprestasi Dalam Kontrak Pengadaan Barang/Jasa

Sebagaimana diketahui bahwa perjanjian atau kontrak merupakan suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya pada satu orang atau lebih lainnya. Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.26

Apabila salah satu pihak lalai atau tidak menepati prestasi sebagaimana yang telah diperjanjikan dinamakan melakukan wanprestasi. Wujud dari wanprestasi tersebut meliputi :27

1. Tidak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan untuk dilaksanakan. 2. Melaksanakan apa yang diperjanjikan tetapi tidak sama dengan isi

perjanjian.

3. Terlambat dalam melakukan kewajiban perjanjian.

4. Melakukan sesuatu yang diperjanjikan untuk tidak dilakukan. Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut : 1. Perikatan tetap ada.

Kreditur masih dapat menuntut kepada debitur pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Disamping itu, kreditur berhak menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkan

26

M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Cetakan Kedua, (Bandung : Alumni, 1986), hlm. 56.

27

(55)

kreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur melaksanakan prestasi tepat pada waktu.

2. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata). 3. Beban risiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah

debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa.

4. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal 1266 KUHPerdata.

Selanjutnya kreditur dapat menuntut kepada debitur yang telah melakukan wanprestasi hal-hal sebagai berikut :28

1. Kreditur dapat meminta pemenuhan prestasi saja dari debitur.

2. Kreditur dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada debitur (Pasal 1267 KUHPerdata).

3. Kreditur dapat menuntut dan meminta ganti rugi, hanya mungkin kerugian karena keterlambatan.

4. Kreditur dapat menuntut pembatalan perjanjian.

5. Kreditur dapat menuntut pembatalan disertai ganti rugi kepada debitur. Ganti rugi itu berupa pembayaran uang denda.

Di dalam hukum kontrak Amerika, sanksi utama terhadap breach of contract adalah pembayaran compensation (ganti rugi), yang terdiri atas costs

28

(56)

(biaya) dan damages (ganti rugi), serta tuntutan pembatalan perjanjian

(rescission).

Akibat kelalaian kreditur yang dapat dipertanggungjawabkan, yaitu : 1. Debitur berada dalam keadaan memaksa.

2. Beban risiko beralih untuk kerugian kreditur, dan dengan demikian debitur hanya bertangungjawab atas wanprestasi dalam hal ada kesengajaan atau kesalahan besar lainnya.

3. Kreditur tetap diwajibkan memberi prestasi balasan (Pasal 1602 KUHPerdata).29

29

(57)

BAB IV

TANGGUNGJAWAB HUKUM PEMBORONG TERHADAP

PEMERINTAH DALAM KONTRAK PENGADAAN

BARANG/JASA PEMERINTAH

A. Hak dan Kewajiban Pemborong

Telah sama-sama diketahui bahwa manusia adalah membawa/menyandang hak dan kewajiban di dalam hubungan hukum. Memang bukan manusia saja yang menyandang subyek hukum melainkan badan hukum pun dapat dikatakan sebagai penyandang hak dan kewajiban.

Tujuan hukum membawa manusia ke arah suasana yang serba berkeadilan, berketenangan di dalam interaksi sosial dalam masyarakat seperti pepatah latin mengatakan “Ubi Sosiates, Ibi Ius” atau dengan kata lain “masyarakat dan hukum itu tidak mungkin dapat dipisah-pisahkan”. Oleh karena itu dalam suatu perjanjian para pihak masing-masing memiliki hak dan kewajiban seperti halnya perjanjian pengadaan barang/jasa pemerintah.

1.Hak Pemborong

Dalam hal ini yang menjadi hak dari pemborong adalah menerima uang atas pembayaran secara tepat waktu dan tepat jumlah yang harus dijamin oleh pemberi kerja/pengembang

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga masalah penelitian yang diteliti ini ialah bagaimana nilai ekonomi dan pemenuhan hak-hak anak dalam keluarga miskin di Desa Tanjung Gusta Kecamatan Sunggal

Pada Gambar 1 menunjukkan perbandingan kandungan cemaran logam Cd dalam sampel buah Pisang dan Pepaya yang ditanam di areal bekas Tambang Batubara, berdasarkan hasil

3.Hubungan paritas dengan kejadian preeklampsi pada ibu bersalin di RS PKU Muhammdiyah Yogyakarta Tahun 2009 Hasil penelitian kejadian preeklampsia paling banyak

Pada periode ini, Spanyol berada di bawah pemerintahan seorang yang bergelar amir (panglima atau gubernur) tetapi tidak tunduk kepada pusat pemerintahan Islam, yang ketika itu

Walaupun pada beberapa kecamatan rasio tenaga medis dibandingkan dengan jumlah penduduk berada dibawah standar yang ditetapkan Kementrian Kesehatan Republik

Atau melibatkan masyarakat (tokoh) dalam perencanaan program PKBM. 3) PKBM sebaiknya didirikan berdampingan dengan sarana pendidikan/keagamaan dan pembangunan masyarakat, atau

Penggunaan metode centralized authentication untuk user hotspot dengan Mikrotik RouterOS ini merupakan manajemen user hotspot tingkat lanjut, dimana