• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan"

Copied!
197
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

OLEH

AGUSTRISNO

047024014

PEMBIMBING

1.

Prof. Dr. CHALIDA FACHRUDDIN.

2.

Drs. R. HAMDANI HRP, MSi.

PROGRAM MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)
(3)
(4)

Nama Mahasiswa : Agustrisno Nomor Induk Mahasiswa : 047024014

Program Studi : Magister Studi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing:

Aggota,

(Drs. R. Hamdani Hrp., MSi)

Ketua,

(Prof. Dr. Chalida Fachruddin)

Ketua Program Studi,

(Drs. Subhilhar, MA., PhD.)

Direktur SPs USU,

(Prof. Dr. Ir.T.Chairun Nisa B., MSc.)

(5)
(6)

Abstrak

Tulisan ini berawal dari pemikiran yang menyatakan bahwa, berbagai bukti telah menunjukan, pada umumnya warga masyarakat Tionghoa telah mengalami hidup yang lebih sejahtera bila dibandingkan dengan warga masyarakat lain yang non-Tionghoa. Pada hal mereka adalah penduduk pendatang di negeri ini. Namun proses dinamika kehidupan yang terus berkembang dan tiada hentinya ini, seakan-akan iramanya dapat diikuti terus oleh mereka di manapun dia berada. Orang-orang Tionghoa kebanyakan telah meraih sukses dalam kegiatan usaha terutama dibidang ekonomi, dengan tanpa meninggalkan kebiasaan budaya dan tradisi nenek moyangnya.

Dengan pendekatan yang menggunakan pengalaman antropologis-filosofis yang didasarkan pada kajian kepustakaan dan wawancara di lapangan terhadap 42 orang informan yang bersedia diwawancarai, yang terdiri dari pedagang sebanyak 28 orang informan, dan mahasiswa sebanyak 14 orang, sikap hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi bagi masyarakat Tionghoa adalah didorong oleh cita-cita hidup yang ingin dicapainya di mana pun dia berada. Cita-cita hidup ini, dilatar belakangi oleh kombinasi antara pengalaman kultural dan pengalaman struktural di dalam hidup mereka. Dalam pengalaman-pengalaman mereka itu ternyata tersembunyi di dalamnya kandungan filosofis yang dikenal dengan yin dan yang. Suatu nilai kehidupan yang bersifat teleologis atau futurologis yang mengarah kepada suatu keinginan dalam suasana yang sifatnya keseimbangan atau harmoni. Keseimbangan dan harmoni inilah, yang mereka anggap sebuah kehidupan dalam keberadaan yang bersifat bahagia (wu-wei). Hal inilah yang telah menjadi faktor pengarah dan pendorong bagi mereka, agar hidup mereka senantiasa bersikap hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi.

(7)

Abstract

This writing based on thought telling us that, various of facts showed, generally the society of Tionghoa has lived more happily than the other society who non-Tionghoa. Moreover they are the comer to this country. However the process of living-dynamic which in creases continually and endless, as if the rythem can be followed on and on by them wherever they are. Most of the Tionghoa people has been successful in business activites especially in the economy, without leaving acustomed culture and the tradition of.

By getting close to which using the experience of anthropo-philosofies that based on the explanation of books and interviewed in the field to 42 informen who willingly be interviewed, they are merchants; 28 informen and 14 collegers, the behavior of economical, perservering, digence, diligent, perserved, well-mannered, quick an powerful, and high spirit of self-trade for the society of Tionghoa is promoted by living ambition which want to be reached where ever be. This living ambition, been background by combination between cultural experience and structural experience in their living. In their experiences there are hiddin philosophies which called yin and yang. A mean of life that teleologist or futurelogist purposing to a curiosity to the condition that is balance and harmony characteristic. The balance and harmony which they regard as a living in civilized which be charasteristic happiness (wu-wei). This, as a factor of the destinator and promotor for them, so that their living always be economic, perservering, diligent, digence, well-mannered quick and powerfull, and high spirit og self-trade.

(8)

tugas perkuliahan S2, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, untuk mencapai gelar Magister di Program Studi Pembangunan. Disusun sedemikian rupa, moga-moga akan bermanfaat bagi kita semua yang menaruh perhatian pada soal-soal kajian ilmu sosial, khususnya bidang Studi Pembangunan. Terutama bagi kita yang memfokuskan perhatiannya pada fenomena kehidupan warga masyarakat Tionghoa perantau yang ada di kota Medan. Adapun, sudut pandang dalam tulisan ini dipergunakan dengan pendekatan antropo-filosofis. Data-data yang ada, diperoleh dari lapangan, dikumpulkan selama lebih kurang lima bulan lamanya.

Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih kepada mereka yang telah sudi membantu kami sehingga kertas kerja (tesis) ini dapat diselesaikan dalam bentuk yang sekarang ini. Secara khusus penulis ingin menyebut Ibu Prof.Dr. Chalida Fachruddin yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan bimbingannya, juga dorongan semangat pada penulis, sejak penulis mengikuti perkuliahan di S1 Jurusan Antropologi Fakultas Sastra USU. Bimbingan dan dorongan semangat dari Ibu ternyata terus berlanjut, hingga penulis mengikuti Program S2 pada bidang Studi Pembangunan ini. Kepada Bapak Drs. R. Hamdani Harahap, M.Si, juga telah banyak memberikan bimbingan dan dorongan bagi penulis serta saran-saran yang sangat besar manfaatnya untuk menyelesaikan tesis ini.

(9)

selesaikan perkuliahan di Program Studi Pembangunan ini. Bagaimanapun penulis tidak mungkin melupakan beliau, karena beliau telah banyak berjasa pada penulis dengan memberikan berbagai kemudahan-kemudahan secara finansial.

Selanjutnya penulis ingin juga menyebut kebaikan dari para penguji yaitu Bapak Prof.Dr. Suwardi Lubis, MA., yang telah memberikan saran dan pendapat, yang sangat bermanfaat, kendatipun beliau sangat sibuk, namun masih sempat memberikan peluang waktu kepada penulis. Begitu pula, kepada Bapak Drs. Gustanto M.Hum. tidak mungkin penulis lupakan, saran maupun kritikan yang beliau sampaikan, sungguh tebaran mutiara yang harus penulis untai menjadi sebuah benda yang tidak ternilai harganya.

Penulis juga tidak dapat melupakan rekan-rekan yang telah berjasa membantu dalam penyelesaian tesis ini, terutama para mahasiswa-mahasiswi departemen Antropologi FISIP USU Medan yang dengan kemurahan hatinya telah membantu penulis mengumpulkan data di lapangan. Penulis mohonkan, semoga kelak di kemudian hari Allah SWT memberikan ganjaran yang setimpal atas kebajikan ini.

Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Dina Rahma Nasution, S.Sos., Mas Iwan, Ibu Annisa, Ibu Dina, Sdr. Dadek yang juga turut memberi dorongan serta banyak membantu sejak penulis mengikuti perkuliahan di Program Studi Pembangunan USU hingga di saat-saat penyelesaian perkuliahan. Akhirnya, penulis ucapkan terima kasih kepada Ibunda (Wagirah) yang tercinta, Rima Mulianawati isteriku, kedua puteraku Muhammad Ridho Akbar dan Roisyam Az’mal, yang penuh dengan kasih sayang, pengertian dan kesabaran telah memberikan kemudahan-kemudahan pada penulis.

(10)

kita semua, serta berguna dan bermanfaat bagi kalangan dunia ilmu-ilmu sosial untuk mencapai tujuan yang semakin mendekati kebenaran yang diharapkan, dan mengurangi kadar kesalahan atau kekhilafan.

Beriring do’a kehadirat Allah SWT semoga arwah Ayanda, Almarhum Tumijan, beserta sanak keluarga yang telah berpulang keramatullah, diterima di sisiNya. Amin…

Medan, Akhir Nopember 2007

(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Agustrisno, lahir di Medan pada tanggal 23 Agustus 1960. Putra pertama dari pasangan orang tua Tumijan dan Wagirah.

Riwayat Pendidikan:

Pendidikan SD Negeri II di Kedai Durian Medan pada tahun 1973, SMP Negeri II Medan tahun 1976, SMA Negeri III Medan tahun 1980, Sarjana Muda Fakultas Sastra USU pada tanggal 27 Agustus 1985, Sarjana (S1) Jurusan Antropologi Fakultas Sastra USU Medan tahun Desember 1985. pernah mengikuti Program S2 di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1995-2000.

Pengalaman Kerja

No. Waktu Nama Pekerjaan

1. 1985 Staf Pengajar di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra USU Medan.

2. 1987-Sekarang Staf Pengajar di Departemen Antropologi FISIP USU Medan – Sekarang.

3. 2000-Sekarang Staf Pengajar di Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran USU Medan.

4. 2000-Sekarang Staf Pengajar di Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran USU Medan.

5. 2003-Sekarang Staf Pengajar di STIKes TAKASIMA SUMUT Medan.

6. 2003-Sekarang Staf Pengajar di STIKes Mutiara Indonesia Medan.

7. 2003-Sekarang Staf Pengajar di STIKes Deli Husada Deli Tua

8. 2003-Sekarang Staf Pengajar di STIKes Medistra Lubuk Pakam.

(12)

Gigi USU Medan.

11. 2004-Sekarang Staf Pengajar di Akper Gleneagles Medan.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... i

ABSTRAK ……… iv

ABSTRACT ………. v

DAFTAR TABEL ……… vi

DAFTAR GAMBAR ……….... vii

DAFTAR LAMPIRAN ……… viii

RIWAYAT HIDUP ………. ix

I. PENDAHULUAN ………. 1

1. 1. Latar Belakang Masalah ………... 1

1. 2. Perumusan Masalah………. 19

1. 3. Tujuan dan Manfaat Penelitian……… 19

1. 4. Kerangka Pemikiran ………. 21

II. TINJAUAN PUSTAKA ………...34

2. 1. Tulisan-tulisan Mengenai Keberadaan Masyarakat Tionghoa…….34

(14)

2. 3. Tulisan Mengenai Keberadaan Warga Tionghoa Hubungannya

Atau Perbandingannya Dengan Warga Masyarakat Setempat…..42

2. 4. Tulisan Bersifat Etnografis Mengenai Keberadaan Warga Tionghoa di Indonesia……….49

III. METODOLOGI PENELITIAN ……….53

3. 1. Jenis dan Desain Penelitian……….53

3. 2. Lokasi Penelitian……….54

3. 3. Populasi dan Informan……….55

3. 4. Waktu Penelitian………..56

3. 5. Teknik Pengumpulan Data ………..56

3. 6. Metode Analisis / Analisis Data………...59

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………62

4. 1. Pengalaman Kultural/Budaya Warga Tionghoa………....62

4. 1. 1. Perilaku Rasional Dalam Bisnis………..70

4. 1. 2. Perilaku Irrasional Dalam Bisnis………...80

4. 1. 2. a. Hopeng ………..80

4. 1. 2. b. Hokie………..85

4. 2. Pengalaman Struktural Warga Tionghoa Dalam Hidup Bermasyarakat ………..88

4. 2. 1. Pengalaman Peluang………88

(15)

4. 3. Pandangan Teleologis Warga Tionghoa Medan ………101

V. PENUTUP ………111

5. 1. Kesimpulan .………..111

5. 2. Saran………...113

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Surat Permohonan Izin Penelitian………..129

2. Surat Keterangan Pelaksanaan Penelitian……… 130

3. Daftar Pedoman Wawancara. ………131

(18)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel :Kerangka berpikir respons kultrual dan struktural masyarakat

(19)

1. 1. Latar Belakang Masalah

Sejak pemerintah kolonial Belanda berupaya membuka areal perkebunan di tanah Deli dan sekitarnya, yang dipelopori oleh Jacob Nienhuys pada tahun 1863 dengan menyewa tanah seluas 4.000 bau dari Sultan Mahmud untuk jangka waktu selama 20 tahun (O’Malley, 1983:30-49). Kemudian areal ditambah lagi seluas 26.000 bau, pada tahun 1869 dengan tenaga kerja sebanyak 1.525 orang, yang kebanyakan didatangkan dari Cina. Sehingga daerah ini menjadi ramai dan terkenal (Said, 1990). Dikalangan para investor lain pun banyak yang tertarik perhatiannya untuk datang ke tanah Deli. Tanaman kebun yang terpenting dan sangat dikenal pada waktu itu adalah tembakau. Daun tembakau yang dihasilkan dari daerah ini merupakan daun tembakau yang mutunya dianggap terbaik. Sebab, daun tembakau dari tanah Deli ini dapat dijadikan sebagai bahan baku pembalut cerutu dan dikenal sebagai “tembakau Deli” (Sinar, 1994: 25). “Tembakau Deli pada akhir abad ke-19 dan ketiga dasawarsa pertama dari abad ke20 menjadi suatu komoditi ekspor yang

amat penting dan yang menjadi sangat terkenal di pasaran dunia” (Koentjaraningrat,

1982: 246).

(20)

dinamakan Deli Maatschappij (Deli Mij). Karena kampung Labuhan mudah dilanda banjir bila dimusim penghujan, maka pusat perkantoran perkebunan dipindahkan di kampung Medan Putri pada tahun 1869. Lambat-laun kampung Medan Puteri akhirannya lebih dikenal dengan sebutan Medan saja.

Sungguh sulit menjelaskan asal usul nama Medan, sebab tidak ada dokumen ilmiah yang dapat menjelaskannya. Menurut Wahid dkk, yang dikutip dari Djawatan Penerangan Kotapradja-I Medan (2005: 40), terdapat dua versi mengenai asal-usul kata “Medan”. Ada versi yang mengatakan asal usul kata “Medan” diambil dari kata ‘Medan-peperangan’, karena dahulu merupakan dataran hutan rimba, tempat dimana telah terjadi arena peperangan antara Kerajaan Deli dengan Kerajaan Aceh. Versi lain mengatakan bahwa, kata “Medan” berasal dari India “maiden”, yang artinya ‘tanah dataran’. Sedangkan kata Deli itu sendiri barasal dari kata “Delhi” yang ada di India, dan yang diduga masih ada hubungannya dengan sultan pertama, yang memerintah di kesultanan Deli, yaitu: Tuanku Zulqarni Bahatsid Segh Mataruludin, termasuk masih keturunan bangsawan yang memerintah di kerajaan Delhi Hidustan.

Sejak adanya pusat perkantoran perkebunan tembakau inilah, ramai orang-orang berdatangan. Ternyata mereka tidak hanya melakukan aktivitas berbisnis saja, tetapi juga membuat daerah ini sebagai tempat-tempat pemukiman. Berangsur-angsur semakin banyaklah kelompok-kelompok pemukiman dan akhirnya tumbuh menjadi perkampungan-perkampungan baru, seperti: kampung Petisah Hulu, kampung Petisah Hilir, kampung Sungai Rengas, kampung Aur, kampung Keling, kampung

(21)

seorang Kepala kampung. Bangunan kantor-kantor yang lainnya pun didirikan, seperti bangunan emplasmen stasiun kereta-api yang dinamai Deli Spoorweg

Maatschappij pada tahun 1883,1 bangunan hotel—Grand Hotel—pada tahun 1884. Bangunan bank—Javasche Bank—pada tahun 1909.2 Bangunan pertokoan di sekitarnya yang disebut Kesawan. Bangunan Kantor Pos pada tahun 1909. Bangunan gedung bioskop, dan berbagai sarana umum lainnya (Passchier, 1995: 56).

Perubahan dan kemajuan zaman tak bisa dibendung, Medan telah menjadi sebuah kota yang semakin besar dan semakin ramai. Gedung-gedung, sarana jalan dan kantor-kantor, beserta toko-toko tempat perbelanjaan, semakin banyak menghiasi kota Medan. Medan terus berkembang cepat dengan mengalirnya para pendatang yang berasal dari berbagai wilayah, juga dari India, Pakistan, Cina, dan Eropa. Oleh karena itu, pemerintah Belanda memberikan status pemerintahan yang otonom untuk wilayah Medan pada tanggal 4 April 1918. Sejak saat itulah Medan menjadi sebuah kota yang sepenuhnya berada dalam pengelolaan pemerintahan kotapraja. Untuk menambah prasarana dan sarana perkotaan, pemerintah menambah lagi jaringan jalan-jalan baru, membangun berbagai gedung, jembatan, rumah sakit, saluran pipa air minum, fasilitas jaringan listerik, dan lain-lain sebagainya. Perkembangan kota Medan yang demikian pesatnya, sehingga dirasakan oleh orang-orang dari Eropa sebagai “Parijs van Sumatera” pada awal abad ke-18 (Breman, 1997).

1 Sekarang stasiun kereta api tersebut dikenal dengan stasiun kereta-api titi gantung.

2

(22)

Kalau dahulunya kota Medan, hanyalah sebuah perkampungan kecil saja di tanah Deli, dan hanya berfungsi sebagai lokasi tempat pemukiman penduduk asli setempat (suku-bangsa Melayu), yaitu kampung Medan Putri. Letak kampung Medan Putri ini dahulu berada di pertemuan antara delta sungai Deli dan delta sungai Babura, yakni sekitar 10 km di sebelah Selatan kampung Labuhan. Namun kini

wilayah kampung Medan Putri sudah berubah menjadi kota Medan, menjadi mekar dan menjadi lebih luas. Medan berkembang menjadi sebuah kota yang besar, bukan disebabkan oleh kegiatan perdagangan, tetapi justeru dipicu oleh pengaruh bekas areal perkebunan yang terdapat di sekitarnya.

Berbeda dengan kota-kota di Indonesia yang lainnya, yang pada umumnya timbul sebuah kota pra-sejarah bermula disebabkan oleh pusat-pusat istana, seperti: Gianyar dan Klungkung di Bali, Yogya dan Solo di Jawa Tengah; atau pusat keagamaan, seperti: kota Gede dekat Yogyakarta; dan pelabuhan, seperti: Banten, Demak, Gresik, dan Ujung Pandang (Koentjaraningrat, 1982: 251)). Kota Medan merupakan kota bentukkan baru, yang bermula sebagai pusat administarai yang timbul berkat pengaruh kolonial Belanda guna penyaluran investasi ke daerah ini. Proses perkotaan di sini disebabkan oleh perkembangan di bidang demografi, pertambahan penduduk yang besar dengan mendatangkan para migran untuk pengelolaan perkebunan (Nas, 1979: 97-98).

(23)

di wilayah bagian Barat Indonesia dan dikenal sebagai daerah Membidang Metropolitan Area (MMA) (Sirojuzilam, 2005). Pesatnya pertumbuhan dan

perkembangan kota Medan dipercepat lagi oleh pengaruh kemajuan teknologi, yakni: transportasi, telekomunikasi, dan travel/tourism. Medan kini bukan hanya

perkampungan kecil dan bekas pusat perkebunan, tetapi juga telah menjadi kota industri dan perdagangan yang bertaraf internasional. Medan merupakan salah satu dari lima kota di Indonesia yang berprioritas menuju kota metropolitan, selain Jakarta, Surabaya, Bandung dan Semarang (Wahid, dkk., 2005: 7-8). Kendatipun perkembangan kota Medan telah dipicu bekas areal perkebunan yang terdapat di sekitarnya, namun pertumbuhan dan perkembangannya yang demikian pesat, tidaklah terlepas dari proses sejarah dan peristiwa kultural kehidupan masyarakatnya sendiri. “Orang tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan bahwa sejarah pertumbuhan dan perkembangan suatu masyarakat juga turut mempengaruhi dan menentukan

perkembangan kota-kota” (Menno, 1992: 13)

Proses sejarah dan peristiwa kultural diantaranya, yang dapat diduga menjadi salah satu faktor pendorong lajunya pertumbuhan dan perkembangan di kota Medan, tidaklah luput dari upaya kreativitas warga masyarakat keturunan Tionghoa yang ada di Medan. 3 Kedatangan mereka ke tanah Deli—khususnya di Medan dengan jumlah

3

(24)

yang relatif cukup besar—adalah upaya Jacob Nienhuys.4 Pada mulanya mereka didatangkan untuk menjadi kuli di perkebunan yang ada di sekitarnya. Gelombang pertama di datangkan dari Singapura, sebanyak 300 orang menurut catatan yang terdaftar dibagian arsip kedatangan di pelabuhan Belawan, kemudian menyusul sebanyak 100 orang lagi. Sebagian besar orang-orang Tionghoa yang didatangkan ke daerah ini berasal dari Penang, yang dahulunya adalah orang Tionghoa yang berasal dari suku Teo Chiu (dari propinsi Kwantung, Cina Selatan). Mereka dikumpulkan oleh broker-broker (Keh tau), dan sekaligus merupakan kepala gerombolan Kongsi Toh Pe Kong yang ada di sana (Sinar, 1994:58). Ada pula yang langsung didatangkan

dari daratan Cina bagian Selatan yaitu dari Propinsi Fukien dan Kwantung. Jumlah mereka, pada tahun 1874, sudah mencapai 4.476 orang, dan dalam tahun 1890 meningkat menjadi 53.806 orang. Selanjutnya pada tahun 1900 jumlah mereka sudah sebanyak 58.516 orang. Namun dalam proses perkembangan selanjutnya, kedatangan orang-orang Tionghoa ini tidak hanya sebagai kuli saja, tetapi ada juga yang melakukan aktivitas untuk perniagaan. Menurut sensus pada tahun 1920, migran Tionghoa jumlahnya sudah mencapai 121.716 orang, yang terdiri dari 92.985 orang pria dan hanya 18.731 orang saja yang wanita (Vleming Jr, 1989:185).

Suryadinata misalnya. Disamping itu istilah Cina bagi mereka mengandung konotasi bangsa yang tidak beradab, bangsa ‘Hua-na’. Dengan menggunakan istilah Tionghoa, menurut konsepsi mereka adalah manusia yang sudah berpegang teguh pada aturan peradatan yang dianggap cukup baik (Nio Joe Lan, Djakarta, 1961:34).

4

(25)

Ada pendapat yang menyatakan orang-orang Tionghoa mau meninggalkan daerah asalnya, karena pada saat itu, suasana politik dan kondisi sosial di tempat asalnya sedang memburuk. Perebutan dinasti tengah terjadi yang menimbulkan perang saudara diantara mereka, salah satu diantaranya adalah gagalnya pemberontakan Taiping (Soetriyono, 1989: 5) Kehidupan mereka di tempat asalnya dirasakan serba sulit, tanah kurang subur, penduduknya sangat padat terutama di daratan Cina bagian Selatan. Di samping itu, daerah asal mereka kerap kali terjadi bencana alam (banjir). Hal ini menjadi faktor pendorong bagi mereka untuk bermigrasi ke daerah Nan-Yang.5 Peluang semacam itu, memberi keuntungan pula bagi pihak kolonial untuk merekrut tenaga kerja yang murah, terampil dan rajin. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah Hindia Belanda selama beberapa dekade mendatangkan ratusan ribu orang Tionghoa dari bagian Selatan daratan Cina. Mereka kebanyakan adalah orang-orang Hokkian, didatangkan oleh pemerintah kolonial Belanda terutama untuk dijadikan buruh perkebunan ke daerah Sumatera Timur, sedangkan orang-orang Hakka untuk dijadikan sebagai buruh tambang di daerah pertambangan timah di pulau Bangka dan Bilitung. Namun, banyak juga orang-orang Tionghoa yang atas kemauannya sendiri berdatangan ke Indonesia untuk mencari kehidupan baru. Terutama ketika terjadi serangan yang dilakukan oleh tentera Jepang ke daerah Cina sekitar tahun 1937-38, membuat rakyat Cina Selatan

5

(26)

selalu dicekam ketakutan. Mereka pun pada mengungsi ke daerah lain, bahkan diantara mereka berupaya meninggalkan negerinya untuk merantau (Soetriyono, 1989: 30). Karena tujuan mereka memang untuk memperbaiki nasib, oleh karena itu kesungguhan untuk menduduki posisi yang dominan dalam bidang perekonomian memang mereka harapkan. Kesempatan ini diberi peluang pula oleh pemerintah kolonial.(Chalida, 1975:4).

(27)

tengah-tengah kehidupan masyarakat kota Medan yang heterogen dan serba kompleks kehandalan mereka membuat kota Medan “menjadi suatu yang lain”. Suatu fenomena yang menarik untuk dicermati (Bergerak, 1994: 4).

Dapat diperkirakan tidak sedikit diantara warga penduduk asli pribumi lainnya di kota Medan, yang kebutuhan hidupnya juga sangat bergantung pada kesuksesan bisnis orang Tionghoa ini. Warga penduduk asli pribumi ada yang menjadi pekerja sebagai karyawan/karyawati di pabrik-pabrik milik pengusaha Tionghoa, bahkan ada pula yang menjadi pekerja sebagai pelayan di pertokoan maupun sebagai pembantu rumah tangga di rumah-rumah keluarga orang-orang Tionghoa. Secara tidak disadari keberhasilan masyarakat Tionghoa di kota Medan dalam merespons pembangunan telah menimbulkan sebuah rangkaian rantai pekerjaan baru bagi penduduk Medan yang lainnya. Keberadaan dan keberhasilan mereka di kota Medan tidaklah sedikit membuat motivasi yang kuat terhadap masyarakat non-Tionghoa yang lainnya, sehingga tanpa disadari sudah menjadi suatu masyarakat yang kreatif (a creative society) dalam membangun kota Medan itu sendiri.

(28)

tetapi hampir semua kota di Indonesia. Sebagai contoh peristiwa-peristiwa yang terjadi sebagai berikut (Husodo: 1985, hal.42):

* Kegiatan anti Tionghoa pada tahun 1911, pada masa sekitar berdirinya Sarekat Dagang Islam

untuk menandingi penguasaan ekonomi oleh orang-orang Tionghoa.6

* Pada masa-masa revolusi kemerdekaan, telah timbul di beberapa tempat, akibat adanya kesan

bahwa di antara golongan non-pribumi Tionghoa telah ikut membantu penjajahan Belanda.

* 10 Mei 1963 di Jawa Barat, serangkaian peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dibeberapa

kota mulai dari kota Cirebon, menjalar ke kota-kota lain di Jawa Barat, Jawa Timur dan

berakhir di Yogya pada tanggal 21-22 Mei 1963.

* Peristiwa Aceh tahun 1966.

* 5 Agustus 1973 di Bandung.7

* November 1980 di Solo-Semarang dan sekitarnya yang bermula di Solo dan seminggu

kemudian nyaris menjalar ke kota-kota di Jawa Timur.

* Peristiwa di Tanjung Periok pada tahun 1984.

* Puncaknya, pada tragedi 13-14 Mei 1998 di Jakarta.8

Penyebab kerusuhan yang terjadi sebagian besar adalah berkisar pada masalah ekonomi. Golongan pribumi merasa pemerataan kegiatan usaha di bidang ekonomi belum diperolehnya. Sedangkan golongan orang-orang Tionghoa dianggap telah

6

Huru-hara anti Cina di Solo dan Surabaya pada tahun 1912, di Kudus pada tahun 1918, di Kebumen dan tangerang pada tahun 1946 (Marzali dalam Prisma, 12 Desember 1994: 57-71).

7

Peristiwa Malari di Jakarta pada tahun 1974 (Marzali dalam Prisma, 12 Desember 1994: 57-71).

8

(29)

menguasai perekonomian. Oleh karena itu golongan pribumi (non-Tionghoa) menganggap, kehidupan orang-orang Tionghoa bisa menjadi lebih kaya dari pada golongan pribumi. Kecemburuan sosial tersebut dijadikan alasan kemarahan kaum pribumi terhadap golongan non-pribumi keturunan Tionghoa ini. Sasaran-sasaran dari kemarahan kaum pribumi adalah pusat-pusat perdagangan dan pertokoan, yang sebagian besar dikuasai oleh golongan masyarakat Tionghoa, ataupun tempat-tempat tinggal yang sejak dari dahulu sudah merupakan tempat-tempat bermukimnya orang-orang Tionghoa secara eksklusif (Husodo: 1985, hal. 43).

Menurut hasil penelitian yang di lakukan oleh Haida Jasin dan Alan W. Smith pada tahun 1976, di Medan, dijelaskan bahwa: orang-orang Tionghoa yang jumlahnya hanya 8% dari jumlah penduduk di kota Medan, namun mereka dapat menguasai 58% sektor perekonomian daerah ini. Sedangkan penduduk pribumi yang jumlahnya mencapai 84% dari jumlah penduduk di kota Medan, hanya 40% saja yang dapat bergerak di sektor ekonomi (Jasin, 1978: 165-173). Demikian pula pendapat Usman Pelly; di kota Medan masyarakat Tionghoa merupakan kelompok yang penting dan berarti, terutama karena dapat menguasai kehidupan disektor ekonomi,

baik perdagangan maupun industri tingkat menengah dan atas (Pelly, 1983:6). Pemukiman etnis Tionghoa pada umumnya berada di kawasan elite strategis dan bergengsi (Bergerak, 1994: 4)

(30)

kompleks. Mereka berhasil karena memiliki karakter hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi sesuai dengan

tuntutan persyaratan agar dapat menjadi sukses (Husodo, 1985: 75 dan Greif, 1994: 4). Senada dengan hal itu, Mattulada juga menyatakan bahwa mereka berhasil karena mereka memiliki sikap mental yang responsif terhadap perkembangan dan kemajuan zaman (Mattulada,1980:5-18).

“Bangsa Cina merupakan suatu kelompok yang penuh dengan segala macam legenda, misteri dan tradisi yang telah tua usianya…Beberapa aspek kepercayaan mereka sudah dibuktikan sesuai dengan standar ilmiah yang sangat penting bagi Dunia Barat, tetapi di antaranya masih dalam proses pengujian. Sering kali kita temukan bahwa orang Cina sendiri tidak tahu apa yang sesungguhnya mendasari tingkah laku dan kebiasaan mereka tersebut. Semua itu sudah terbentuk sejak berabad-abad yang lalu, dan mereka tetap mempertahankan ajaran yang menerangkan gaya hidup yang bersangkutan … Mereka tergolong bangsa yang paling tidak dikenal dan paling kurang dimengerti … mereka merupakan etnik langka yang masih dapat mempertahankan tradisi dan kepercayaannya yang telah berusia ribuan tahun, namun pada waktu bersamaan telah mampu menyesuaikan diri dalam abad computer sekalipun… “ (Bloomfield, 1986: 20).

Para ahli lain pun berpendapat bahwa kendatipun budaya Eropa yang memacu kemajuan teknik dan ilmu pengetahuan moderen, serta kegiatan ekonomi yang pesat, namun etos Timur yang diwarnai ajaran Konfusius dirasakan masih tetap kuat menguasai kehidupan perekonomian (Sudiarja, 1996:1).

(31)

penganut lebih dari satu kepercayaan sekaligus (sinkretisme), seperti ajaran Konfusius, Budha, dan Tao, yang dikenal dengan istilah Tri Dharma, Sam Kauw atau

San Chiao Wei Yi (ketiga agama adalah satu) (Hadiluwih, 1994: 207-208). Mereka

juga tetap mempercayai adanya berbagai makhluk supra-alami, yang dikenal dengan kepercayaan shenisme.9 Selain itu mereka mempercayai adanya “Pe’ Kong”, mereka juga percaya akan adanya “Datuk Kong”. Pada hal ”Datuk Kong” adalah makhluk gaib yang mempunyai ciri kepribadian khas lokal dan dianggap Muslim pula. Sedangkan “Pe’ Kong” adalah makhluk gaib yang mempunyai ciri kepribadian khas Konfusianis, namun keduanya baik “Pe’ Kong” maupun “Datuk Kong” keduanya ternyata mereka percayai secara terkombinasi. Keduanya dapat harmonikan dalam sistem kepercayaan shenisme, sehingga menjadi khas dan unik. Seni sinkretisasi semacam itu, merupakan seni kearifan filosofis hidup mereka, yang mereka warisi dari gerasi sebelumnya. Logika yang semacam itu merupakan hal yang wujudnya abstrak dan tersembunyi seakan-akan tanpa disadari oleh mereka sendiri. Namun aplikasinya dalam perilaku kehidupan sehari-hari dapat menjadi daya energi bagi prinsip-prinsip hidupnya. Hal semacam itu juga pernah dilakukan oleh To Thi Anh,

yang berupaya merajut antara pemikiran Barat dan pemikiran Timur dalam karyanya.10 Kasus seni mengkombinasikan semacam itu adalah upaya ekspresi yang dilandasi oleh latar belakang nilai filosofis kulturalnya, yakni kerangka pikir filosofis

9

Cheu Hock-Tong, 1982-83:203, Bloomfield, 1986:39, Gondomono, 1995:91.

10

(32)

yin-yang. Sebab nilai-nilai filosofis yin-yang, memiliki logika daya kemampuan

untuk mendorong terjadinya perubahan tetapi tetap memiliki kekhasan aslinya.

Logika yin-yang mengandung dinamika-akumulasi semacam akulturasi. Kombinasi semacam itu bertujuan dalam rangka mencari keseimbangan (harmoni), terhadap dua nilai atau lebih yang saling berbeda dan bertentangan, baik di luar maupun di dalam diri manusia. Menurut J.C. Cooper nilai yin maupun nilai yang dalam filosofis yin-yang dapat berkembang lagi menjadi nilai yin-minor dan nilai yang-mayor bagaikan hukum matetis seperti deret ukur berkelipatan dua.11

Warga masyarakat Tionghoa dalam merespon pembangunan, pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi di kota Medan seringkali memperoleh keberhasilan dalam hidupnya. Kendatipun status sosial mereka seringkali termarjinalisasi. Namun prinsip (so) untuk sikap hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi tidak pernah pupus dalam hidupnya walau dimanapun mereka itu berada. Hal ini dimungkinkan karena adanya dorongan semacam daya energi (ch’i) sebagaimana layaknya hukum (li) yang terkandung dalam nilai-nilai yin-yang. Pada satu pihak, mereka tetap dapat mempertahankan nilai-nilai tradisi dan kepercayaan warisan leluhurnya. Sedangkan di lain pihak, mereka harus terbuka terhadap kemungkinan yang ada, agar dapat merespons berbagai perobahan yang bakal dan yang sedang terjadi.12

11

J.C. Cooper, 1981:33-56.

12

(33)

Mempertahankan nilai-nilai tradisi dan kepercayaan yang demikian patuhnya. merupakan aplikasi dari nilai-nilai Yang. Sedangkan respons terhadap kemungkinan yang ada dan terjadi untuk diadopsi sehingga terjadi perobahan mirip dengan nilai Yin. Pengalaman sejarah adalah pelajaran, yang tidak mudah untuk dilupakan, dan

merupakan aplikasi dari nilai Yang. Masa depan, merupakan aplikasi dari nilai-nilai Yin, adalah harapan yang harus diraih dan harus diperjuangkan agar dapat mencapainya. Kombinasi antara nilai Yang dan nilai Yin inilah, faktor hukum yang menimbulkan reaksi (energi) sehinga mereka berprinsip untuk bersikap hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi

adalah upaya mereka merespons kemungkinan-kemungkinan yang bakal ada dan terjadi dalam kehidupan ini. Termasuk kemungkinan-kemungkinan yang ada dan bakal terjadi pada perkembangan di kota Medan.

To Thi Anh berpendapat bahwa: perbedaan antara nilai budaya Timur dan nilai budaya Barat seharusnya tidak dipertentangkan. Tetapi sebaliknya, keduanya

harus diharmonikan menjadi pasangan yang saling melengkapi (1984). Dalam hal

ini, tawaran yang di sampaikan To Thi Anh bukan didasarkan pada pandangan dan sikap yang bersifat netral, namun justeru dia berangkat dari latar belakang nilai budaya Timur itu sendiri, yakni: nilai-nilai filosofis yin-yang. Yang terdapat di dalam ajaran Kofusius, Budha, dan Tao. Dengan berlandaskan sistem berpikir filosofis yin-yang, To Thi Anh berhasil membangun sebuah sistem pemikirannya, kreativitas

(34)

warga masyarakatnya. Termasuk To Thi Anh sendiri, ketika memaparkan pemikirannya dilandasi oleh pemikiran binnary opposition sebagaimana yang terdapat dalam ajaran filosofis yin-yang. Betapa kuat nilai-nilai filosofis yin-yang, sehingga kreativitas berpikirpun seperti—To Thi Anh, salah seorang intelektual— ternyata juga dipengaruhi oleh logika Yin-Yang ini.

Namun pendapat dan sikap intelektual To Thi Anh tersebut telah membuktikan bahwa di dalam dirinya sudah menganggap, nilai budaya Barat memiliki keunggulan tersendiri dan merupakan saingan atau ancaman bagi nilai budaya Timur. Oleh karena itu, agar tidak terjadi konflik antara kedua nilai budaya

tersebut maka solusinya, dia berupaya merespons, dengan cara mengkombinasikan antara keduanya.

(35)

mengadopsinya dengan upaya mengkombinasikannya sehingga menjadi kepercayaan yang baru, khas, dan unik. Keberhasilan mereka dalam merespons kemungkinan-kemungkinan yang bakal ada dan terjadi terutama terhadap proses perkembangan di kota Medan diduga mempunyai indikasi yang sama semacam itu.

(36)

sebagaimana menurut Parsudi Suparlan, ideologi kesukubangsaan ternyata belum sepenuhnya hilang. Etnis Tionghoa masih sering disudutkan dan selalu ditempatkan dalam posisi sebagai etnis asing atau etnis yang berasal dari luar Indonesia (Suparlan).13

Jika nilai-nilai tradisi, kepercayaan, dan budaya merupakan aspek kultural masyarakat Tionghoa, maka yang dimaksud dengan aspek strukturalnya adalah keberadaan, posisi atau status sosial orang-orang Tionghoa di tengah-tengah kehidupan masyarakat, yaitu keberadaannya di dalam masyarakat kota Medan.

Kombinasi antara aspek kultural dan aspek struktural inilah yang diduga, telah menimbulkan orientasi teleologis atau arahan bagi masyarakat Tionghoa yang hidup di kota Medan. Mereka memiliki kepandaian untuk menginterpretasikan kemungkinan-kemungkinan yang ada dan bakal terjadi di kota Medan. Kedua aspek inilah yang menjadikan faktor pendorong kebolehan mereka untuk membentuk pandangan teleologisnya, seperti memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi tersebut. Kendatipun pandangan teleologis tersebut keberadaannya tidak jelas bagi kita, samar-samar, bahkan dapat dikatakan gelap sama sekali bagi kita. Namun bagi mereka seakan-akan sudah dapat terbayangkan kemungkinan-kemungkinan yang ada dan akan terjadi. Sebagaimana menurut pendapat Berkeley, “Esse est percipi” (ada itu sama dengan ditanggap), sebenarnya ada itu berarti ada

dalam tanggapan dan pikiran mereka (Alisjahbana, 1981: 45). Pandangan teleologis

semacam itu hampir sama dengan pengertian kebudayaan menurut pendapat Parsudi

13

(37)

Suparlan. Dalam hal ini kebudayaan didefinisikan oleh Parsudi Suparlan, sebagai: “keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial, yang digunakan untuk

menginterpretasikan dan memahami lingkuangan yang dihadapi, dan untuk

menciptakan serta mendorong terwujudnya kelakuan”. Oleh karena itu kebudayaan

berfungsi dapat menjadikan seseorang individu membuat sistem pengkategorisasian terhadap keanekaragaman yang ada di lingkungan hidupnya secara lebih sederhana. Dapat membuat identifikasi, membuat metode yang sistematis, memprediksi kemungkinan yang terjadi, serta membuat model-model berpikir yang khas dalam rangka menginterpretasikan lingkungan hidupnya (1981). Dengan demikian kebudayaan dipahami sebagai faktor stimulus bagi seseorang individu atau suatu warga masyarakat yang berasal dari pengalaman hidup dalam lingkungannya dan sekaligus juga sebagai faktor pendorong keinginan atau motivasinya.

Disebabkan adanya pandangan teleologis inilah, yang menjadikan faktor pendorong ataupun menjadi faktor penyebab untuk bertindak hidup dengan berprinsip hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha

yang tinggi. Pandangan teleologis tersebut dapat diperoleh oleh seorang individu,

(38)

1. 2. Perumusan Masalah.

Pengalaman kultural dan struktural yang dimiliki masyarakat Tionghoa di Medan merupakan sumber pembelajaran bagi mereka, yang telah membentuk pandangan teleologis dalam hidupnya. Pandangan teleologis itu sendiri merupakan daya pendorong ataupun faktor penyebab untuk bertindak hidup dengan berprinsip hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha

yang tinggi. Yang menjadi masalah dan hal yang perlu diungkapkan dalam penelitian

ini adalah, apa dan bagaimana pandangan teleologis atau futurologis mereka itu dalam menghadapi kehidupan ini ?

1. 3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini berupaya mengkaji pandangan teleologis yang dimiliki masyarakat Tionghoa Medan dalam rangka merespons fenomena kehidupan yang mungkin ada dan terjadi di kota Medan. Peristiwa-peristiwa apa atau perobahan-perobahan apa yang bakal ada dan terjadi di kota Medan. Bagaimana mereka membuat prediksi, bereaksi, membuat strategi, berprinsip dan sekaligus mempersiapkan diri terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada dan bakal terjadi tersebut. Secara rinci ada tiga hal yang ingin dikaji dalam penelitian ini:

1. Kemungkinan-kemungkinan apa, yang ada dan bakal terjadi dalam kehidupan di kota Medan

(39)

3. Persiapan-persiapan yang bagaimana harus dilakukan untuk menghadapi hal tersebut.

Ke-piawai-an semacam itu sungguh suatu pelajaran yang tak terhingga nilainya. Mana kala potensi pengalaman hidup berbudaya semacam itu dapat terungkap dan terbukti dalam penelitian ini, dapatlah dipetik untuk dijadikan pelajaran bagi masyarakat yang lainnya. Dengan kata lain, belajar dari pengalaman budaya orang lain dalam merespons kehidupan yang berupa pandangan teleologis, tidaklah mengurangi nilai dan makna kehidupan itu sendiri. Bahkan dapat dijadikan sebagai alat untuk mengkoreksi, introspeksi, dan mengevaluasi diri terhadap kekurangan-kekurangan maupun kelemahan-kelemahan yang kita miliki selama ini. Nilai-nilai budaya yang tidak lagi relevan dalam membuat pandangan teleologis atau memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang ada dan yang bakal terjadi, seperti perobahan-perobahan, peristiwa-peristiwa yang mungkin timbul, sebaiknya diperbaiki. Pada gilirannya nanti, selain dapat memperkaya khazanah nilai-nilai budaya yang selama ini sudah kita dimiliki, juga dapat memperkecil kesenjangan-kesenjangan sosial yang sering kali, justeru menimbulkan kecemburuan sosial di antara sesama warga di dalam masyarakat.

1. 4. Kerangka Pemikiran

(40)

merespons fenomena kehidupan, atau dapat membentuk pandangan teleologis warga masyarakatnya. Budaya suatu masyarakat, biasanya mengandung potensi daya energi untuk membentuk corak atau warna sikap mental dan watak yang khas (etos) bagi individu-individu warga masyarakatnya. Rata-rata sikap mental dari suatu warga masyarakat memiliki kesamaan, antara satu individu dengan individu yang lainnya. Namun berbeda budaya, akan berbeda pula keunikannya. Pada gilirannya nanti akan membedakan pula sikap mental individu yang berasal dari satu warga masyarakat, dengan masyarakat yang lainnya. Dengan kata lain dapat membedakan pula basic personality type (tipe kepribadian dasar) bagi individu yang berasal dari satu warga

(41)

Dengan meminjam istilah Ruth Benedict, di dalam pribadi individu tersebut, daya energi budaya sudah menjadi unconscious canons of choice (Benedict, 1960), atau E.Sapir menyebutnya dengan isitilah: unconscious system of meaning (sistem makna di bawah sadar). Menurut Claude Levi-Strauss, daya energi budaya tersebut merupakan hukum yang secara tidak disadari atau tanpa dikenalnya lagi sudah membentuk watak atau sikap mental individu warga masyarakat tadi. Sehingga mengikat sistem pemikirannya seperti memaksa, harus ditaati, dan senantiasa selalu mempengaruhi dalam kehidupannya (van Baal, 1988:118).

Daya energi kebudayaan tersebut menurut Parsudi Suparlan (1981), memiliki kemampuan untuk menjadikan seseorang individu dapat membuat sistem pengkategorisasian terhadap keanekaragaman yang ada di lingkungan hidupnya

secara lebih sederhana. Dapat membuat identifikasi, atau membuat metode yang sistematis, memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang bakal ada dan terjadi

(teleologis), serta membuat model-model berpikir yang khas dalam rangka menginterpretasikan lingkungan hidupnya. Menurut Koentjaraningrat, daya energi kebudayaan dapat membentuk metalitas individu warga masyarakat. Daya energi budaya semacam itu bentuknya dapat berupa, sistem nilai budaya, sistem sosial, dan sistem kepribadian.

(42)

yang paling abstrak jenjangnya, dalam sistem berpikir manusia, dan yang paling luas pula lingkup jangkauanya dalam kehidupan sebagian besar warga suatu masyarakat (Koentjaraningrat, 1984:25-31). Isi yang terdapat di dalamnya mengandung campuran elemen kognitif, afektif, dan direktif sehingga dapat membentuk metalitas warga masyarakatnya. Oleh karena itu setiap individu warga masyarakat dapat menilai tentang sesuatu hal: apakah berupa benda-benda, aktivitas, perilaku,

peristiwa-peristiwa, hubungan-hubungan dan lain sebagainya, yang berada di sekitarnya.

Berbagai ahli berpendapat bahwa, daya energi budaya yang berbentuk sistem nilai ini kecuali dapat membentuk sikap mental, juga memberi arah bagi diri individu

warga suatu masyarakat. Diri individu tadi dapat membuat configurations (konfigurasi-konfigurasi) dalam hidupnya kata E.Sapir. Namun, dapat juga membuat tema-tema budaya (culture themes) sebagaimana menurut M.Opler. Sedang E.A.Hoebel berpendapat bahwa, dengan adanya daya energi budaya yang berbentuk sistem nilai, manusia dapat membuat postulates (postulat-postulat) (Koentjaraningrat,

1984a:115-169). R.Redfield berpendapat dengan adanya daya energi sistem nilai budaya, menjadikan manusia mempunyai world view (pandangan dunia) atau peta mengenai jagad (Shri Ahimsa Putra, 1985:103-133). Ruth Benedict menyatakan,

manusia dengan daya energi sistem nilai budaya tadi dapat membuat patterns of culture (pola-pola budaya) (Benedict, 1960; Danandjaja, 1988). Clyde Kluckhohn

(43)

Max Weber dan Franz-Magnis Suseno, menyatakan bahwa dengan daya energi sistem nilai budaya ini, manusia memiliki dorongan untuk beretika dalam hidupnya (Weber, 1958; Franz-Magnis Suseno, 1993). Usman Pelly menyatakan bahwa pada dasarnya para perantau melakukan mobilitas dari daerah asalnya karena dimotivasi oleh daya energi sistem nilai budaya ini. Daya energi sistem nilai budaya tersebut dinamakan oleh Usman Pelly sebagai missi budaya (Pelly, 1994). Sedangkan Miyamoto Musashi melukiskan keberhasilan bisnis masyarakat Jepang karena sikap mentalnya didorong oleh daya energi sistem nilai budayanya yang terdiri dari istilah-istilah seperti Zen, Bushido, dan Heiho (1984).

Dengan adanya daya energi sistem nilai budaya, sering kali menjadikan berbedanya karakter antara masyarakat yang satu dengan lainnya. Ruth Benedict berupaya mendeskripsikan kehidupan masyarakat Jepang, dengan sikap mental individu yang lembut bagaikan Bunga Seruni dan sekaligus keras bagaikan Pedang Samurai (1946). Sedangkan hasil karyanya yang lain, dengan menggunakan metode

content analysis, Benedict berpendapat bahwa pada masyarakat Dobu digambarkan

sebagai individu yang memiliki sifat schizophrenian. Di mana warga masyarakatnya selalu bersikap curiga dan penuh ketakutan terhadap sesamanya, tidak suka menolong apalagi bekerja sama bergotong royong dengan orang lain, disamping itu mereka gemar pula dengan ilmu gaib. Masyarakat Indian Kwakiutl digambarkannya sebagai Dionysian, suatu adat kebiasaan bersikap dinamis dan agresif, suka bersaing dan

(44)

Dalam melakukan upacara, warga masyarakat Indian Kwakiutl sering kali, para pemimpinnya menonjolkan kekuasaan dan gengsi sosial, suka memamerkan kekayaannya di depan umum. Masyarakat Pueblo Zuni digambarkan berwatak Apollonian, di mana warganya selalu bersikap suka damai, pasif terhadap hidup,

gemar bekerja sama secara bergotong-royong (Benedict, 1960).

Sedang M.Opler misalnya, sistem keperibadian masyarakat Indian Apache Chiricahua di Amerika Serikat, digambarkan sebagai masyarakat yang hidupnya

memiliki orientasi tema-tema berpikir. Antara tema pikir yang satu, dengan lainnya, boleh jadi saling bertentangan. Sebagai contoh misalnya, di satu sisi masyarakat Indian Apache Chiricahua menganggap ideal kalau berusia panjang. Oleh sebab itu biasanya orang-orang tua yang berusia lanjut sangatlah di hormati. Pada sisi lain, orang yang berprilaku aktif, agresif dan sibuk kendatipun masih berusia muda, menjadi tipe yang ideal pula. Oleh karena itu, orang tua yang berusia lanjut, tetapi pemalas dalam hidupnya, menjadi orang yang tidak begitu dihormati lagi (Koentjaraningrat, 1984a:115-169).

Franz-Magnis Suseno, menyatakan bahwa sistem nilai budaya Jawa telah membentuk prilaku orang Jawa pada umumnya, sehingga dikalangan orang-orang Jawa, rata-rata mereka memiliki sikap mental: sepi ing pamrih, rame ing gawe (1993).14

14

(45)

Sedangkan Clifford Geertz berupaya melukiskan sikap mental pada masyarakat Jawa disebabkan oleh latar belakang pengaruh ajaran agama Islam yang berkembang di Mojokuto (desa Pare) Jawa Tengah. Masyarakat di Jawa yang dikategorikan menjadi tiga kelompok oleh Geertz, terdiri dari: orang-orang Jawa santri, yaitu orang Jawa yang taat dan menjalankan ajaran agama Islam secara murni;

kemudian orang-orang Jawa Priyayi, adalah orang Jawa yang menjalankan ajaran agama Islam disamping masih meyakini ajaran agama Hindu; dan yang terakhir adalah orang-orang Jawa abangan, yaitu orang Jawa yang melaksanakan ajaran agama Islam tetapi bersinkretis dengan keyakinan Kepercayaan Asli (Geertz, 1981). Ketiga kelompok masyarakat Jawa ini memiliki karakter hidup yang berbeda satu sama lain. Hal ini disebabkan oleh proses penyerapan sistem nilai Islam yang berbeda-beda antara kelompok yang satu dengan yang lainnya.

Max Weber pernah mencoba melukiskan keadaan di kalangan masyarakat Eropa dalam penelitiannya. Ia berpendapat bahwa, diantara warga penganut agama Nasrani (Kristen) terdapat dua golongan yang berbeda, yaitu: warga penganut Protestan dan warga penganut Katolik. Perbedaan ini disebabkan oleh sistem nilai

(46)

Kesemua pandangan mengenai kebudayaan tadi, pada dasarnya telah mendorong kesadaran manusia untuk menggunakan pikirannya dalam menanggapi atau menghadapi hidup ini. Karena masing-masing kebudayaan memiliki kekhasan atau perbedaan dalam cara menanggapi kehidupan ini, maka masing-masing kebudayaan pun mengajarkan sistem berpikir yang berbeda-beda pada masing-masing warga masyarakatnya. Kemudian. semua kebudayaan pada hakekatnya mengandung pandangan yang bersifat teleologis, oleh sebab itu manusia yang melakukan perbuatan atau kegiatan tertentu secara sadar dalam hidupnya bukanlah perbuatan atau kegiatan yang kebetulan saja, atau karena dorongan naluri belaka. Namun manusia melakukan suatu kegiatan atau tindakan dalam hidupnya karena tindakannya itu dianggap bermakna atau bernilai. Karena mengandung makna dan nilai inilah, manusia mau melakukannya. Dengan kata lain, tindakan dan kegiatan manusia itu mengandung tujuan (teleologis), karena tindakannya bermakna atau bernilai.

Pandangan yang menganggap warisan sistem nilai budaya adalah modal personality yang menjadikan satu-satunya faktor pendorong jiwa wira usaha atau

(47)

mereka dapat diakui keberadaan di dalam masyarakat. Mereka berusaha untuk melakukan penyesuaian yaitu dengan jalan berkreativitas dalam situasi-situasi perobahan yang terjadi (Kilby, 1975: 6-21). Pendapat Young ada relevansinya dengan kenyataan yang pernah dialami oleh berbagai warga masyarakat seperti orang-orang Yahudi pada zaman pertengahan di Eropa, orang-orang Libanon di Afrika Barat, orang-orang India di Afrika Timur dan orang-orang Tionghoa yang terdapat di Asia Tenggara. Dengan demikian pendapat Young dapat dijadikan bahan kontribusi dalam kerangka pemikiran. Sebab orang-orang Tionghoa di Medan pun pernah memiliki pengalaman hidup semacam itu. Status mereka sebagai imigran, diharapkan dapat diterima menjadi bagian salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia, ternyata mengalami tekanan-tekanan. Hal inilah merupakan salah satu faktor insentif yang membentuk kepribadian kreatif bagi mereka.

Respons masyarakat Tionghoa di Medan salah satu diantaranya adalah untuk beralih dari suatu kondisi status sosial yang dianggap tidak menyenangkan dan kabur agar dapat diterima keberadaannya sebagai bagian dari struktur sosial warga masyarakat Medan umumnya. Untuk membuktikan tumbuhnya rasa kepercayaan bagi warga masyarakat lainnya, agar mereka bertahan di perantauan. Dengan kata lain, tidak diposisikan sebagai tamu tetapi sebagai kerabat sendiri oleh warga masyarakat Medan lainnya.

(48)

didorong oleh keinginannya agar status sosial mereka diterima sebagai orang Thailand. Sedangkan masyarakat Thailand hanya mengenal dua kelompok status sosial, yaitu: Nai dan Phrai. Kedua status sosial tersebut berhubungan secara vertical dyadic alliances. Status sosial kelompok Nai menduduki lapisan yang teratas, dan

berfungsi sebagai patron, yang terdiri dari keluarga bangsawan, yang menguasai pemerintahan. Sedangkan status sosial kelompok Phrai menduduki lapisan yang bawah, yang terdiri dari Phrai Luang (abdi kerajaan), berfungsi sebagai pegawai administrasi kerajaan, dan Phrai Som (rakyat biasa), yang bekerja sebagai petani, dan dikuasai oleh Nai secara individual, sehingga ruang geraknya menjadi terbatas. Sehingga segala aktivitasnya harus berdasarkan persetujuan Nai (patronnya). Kekakuan hubungan struktur sosial inilah yang memberikan peluang bagi para migran Cina di Thailand untuk melibatkan dirinya sebagai pedagang dan berbagai kewirausahaan lainnya (Skinner, 1960).

Berdasarkan hasil kajian Young dan Skinner tersebut, telah membuktikan bahwa keberadaan status sosial ini juga dapat mengilhami terbentuknya pandangan teleologis mereka. Mereka melakukan kegiatan tertentu adalah dalam rangka untuk

melegalitaskan kondisi status sosial di dalam masyarakat. Dengan kata lain agar mereka tidak diposisikan sebagai tamu tetapi sebagai kerabat sendiri oleh warga masyarakat Medan lainnya.

(49)

nilai budaya merupakan faktor interen atau aspek kulturalnya, maka status sosial

merupakan faktor eksteren atau aspek strukturalnya. Kombinasi antara keduanya telah membentuk pandangan teleologis. Dengan adanya pandangan teleologis inilah yang menentukan daya energi pendorong agar mereka bersikap hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi.

Dalam kerangka konseptual, penulis/peneliti cenderung menggunakan istilah teleologis sebuah pemikiran filosofis metafisik tentang hukum kausal yang berbeda

dengan pemikiran mekanis. Dalam pandangan teleologis, suatu rentetan kejadian mendahulukan akibat dari pada sebab. Dengan kata lain, bukan sebab yang menentukan akibat, bukan karena mereka bersikap hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi sehingga mereka

memperoleh keberhasilan dan kesuksesan berbisnis; melainkan sebaliknya, akibatlah yang menetapkan sebab. Tujuan dan keinginannyalah yang menjadikan mereka bersikap hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi. Gambaran-gambaran tentang keinginan/kemauan atau tujuan

mereka itulah yang menjadi pendorong orang-orang Tionghoa untuk melakukan tindakkannya. Tujuan yang menjadi pendorong dari tindakkannya itu sama dengan yang ditujunya sendiri.

(50)

Pikiran dan tanggapannya itulah yang memimpin kemauan dalam memilih alat dan cara bekerja untuk menacapai tujuan.

Disini nyataaah kepada kita, bahwa yang dalam perbuatan manusia yang sadar berupa dikuasai oleh sesutau tujuan, dalam lingkungan perbuatan yang tiada sadar berupa ketaklukan kepada sesuatu susunan yang teratur dan lengkap, yang (meskipun tiada dengan sadar) mempunyai suatu tujuan bersama yang nyata dan pasti. Dalam hubungan ini perkataan tujuan menjadi searti dengan ketaklukan kepada kelengkapan… yang membuat kemungkinan menjadi kenyataan dan selanjutnya membawanya kepada tujuan dan akhir keadaannya (Alisjahbana, 1981: 61-67).

Secara filosofis hukum kausal (sebab-akibat) yang di dalamnya terkandung pandangan metafisika teleologis biasanya mengarah kepada keadaan yang determinisma atau serba tertentu. Berbeda dengan pandangan mekanis, suatu rentetan

kejadian dapat mengarah kepada keadaan yang serba tertentu (determinisma) atau dapat juga pada keadaan yang serba taktentu (indeterminisma). Para ahli ilmu sosial pada umumnya menamai pandangan teleologis ini dengan istilah orientasi ataupun ethos yang bermakna futurologis.

Dimana pandangan teleologis orang-orang Tionghoa Medan itu terdapat ? Tentu saja hal tersebut, ada tersembunyi di dalam khazanah kultural/budaya maupun di dalam pengalaman struktural kehidupan mereka. Bagaimana pandangan teleologis orang-orang Tionghoa tersebut sehingga menentukan mereka untuk bersikap hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang

tinggi, hal inilah yang menjadi fokus perhatian untuk dikaji dalam penelitian ini.

(51)

Tabel

Kerangka Berpikir

Repons Kulturan dan Struktural Masyarakat Tionghoa

Terhadap Pembangunan Di Kota Medan

Pengalaman

Kultural /Budaya

Pengalaman

Struktural

Respons Kultural & Struktural Sebagai Penentu:

Sikap Masyarakat Tionghoa Medan Untuk:

hemat,

ulet,

tekun,

rajin,

gigih,

luwes,

cepat dan tangguh,

serta semangat wira usaha yang tinggi PANDANGAN

TELEOLOGIS / ORIENTASI / ETHOS/ atau FUTUROLOGIS

(52)
(53)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Tulisan-tulisan Mengenai Keberadaan Masyarakat Tionghoa

Kajian mengenai kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia telah banyak dilakukan oleh para ahli atau Sinolog. Masalahnya karena masyarakat Tionghoa di negeri kita maupun di negara-negara Asia Tenggara lainnya, dipandang sebagai warga pendatang atau perantau yang dikenal dengan istilah: ‘Huakiau’, ‘Tionghoa Perantau’ atau ‘Perantau Tionghoa’ dalam bahasa Inggerisnya ‘Overseas Chinese’. Umumnya karya-karya tulis mengenai orang-orang Tionghoa ini erat berkaitkan dengan cara pandang, selera, maupun motivasi yang ingin disampaikan oleh penulisnya sendiri. Masing-masing para ahli atau penulis dalam mengkaji kehidupan warga keturunan Tionghoa ini mempunyai penekanan yang mungkin bisa saling berbeda. Namun demikian, hampir semua para ahli melihatnya dari kaca mata cakupan kehidupan nasional keindonesiaan, tidak hanya menyangkut masalah ‘Rukun Rumah Tangga’ di dalam negeri, tetapi juga menyangkut ‘Rukun Tetangga’ yang berhubungan dengan keberadaan Indonesia di antara negara-negara Asia Tenggara lainnya (Wangania, 1976: 41-56).

(54)

pengungkapan yang telah dibuat oleh para ahli dapat dikelompokan menjadi tiga tipologi.

Pertama, para ahli yang berupaya mengkaji keberadaan orang-orang

Tionghoa dengan mengkaitkannya terhadap kebijaksanaan pemerintah. Kebijaksanaan dimaksud adalah produk berupa Undang-undang, kebijaksanaan berupa hukum, peraturan-peraturan maupun keputusan-keputusan mengenai keberadaan orang-orang Tionghoa di Indonesia.

(55)

Negara Indonesia keturunan Asing, terutama etni Tionghoa Indonesia, dengan tujuan agar terciptanya stabilitas nasional.

Ada kalanya kebijaksanaan yang dibuat oleh pihak pemerintah tersebut, tidak hanya dapat memberikan pengaruh hubungan atau interaksi sosial, antara warga etnis Tionghoa dengan warga etnis lainnya. Namun bisa jadi, kebijaksanaan pemerintah tersebut sengaja diproduk sedemikian rupa, sering kali di dalamnya tersirat demi kepentingan warga pribumi. Sebagaimana disinyalir dalam tulisan oleh Parsudi Suparlan (http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel_ps2.htm):

“…bahwa diskriminasi secara legal atau hukum dan sosial terhadap orang Cina di Indonesia adalah produk dari interaksi antara dominannya ideologi kesukubangsaan orang Indonesia pribumi pada tingkat nasional dengan kesukubangsaan Cina sebagai asing, dalam konteks-konteks persaingan dan perebutan sumberdaya. ”

Sedangkan tipologi ketiga, adalah tulisan-tulisan para ahli atau peneliti yang berupaya mendeskripsikan keberadaan orang-orang Tionghoa di Indonesia dalam bentuk etnografis dengan tanpa mengkaitkannya dengan perspektif tipologi yang

pertama maupun yang kedua. Ada kalanya tulisan-tulisan yang bersifat etnografis

(56)

sistem keseniannya saja, atau sistem perekonomiannya saja. Namun pada umumnya, tulisan-tulisan yang termasuk dalam tipologi ketiga ini, belum banyak upaya yang melakukan suatu kajian komparatif antara kehidupan orang-orang Tionghoa di Indonesia pada suatu daerah tertentu, dengan membandingkannya orang-orang Tionghoa yang hidup dan berada di daerah Indonesia lainnya, kecuali tulisan J.L.Vleming Jr. (1989). Vleming berupaya melakukan perbandingan tentang

kehidupan ekonomi orang-orang Tionghoa di pelbagai daerah di Indonesia pada masa kolonial Belanda.

Mengapa para ahli atau peneliti cenderung mengungkapkan jenis kajiannya jenis tipologi yang pertama dan kedua bukan yang ketiga. Mungkin para ahli masih menganggap masalah tipologi pertama maupun yang kedua dipandang lebih penting atau mendesak dan merupakan persoalan yang rumit dan belum terselesaikan secara mendasar, sehingga banyak mengundang perhatian dan prioritas untuk mengkajinya.

2. 2. Tulisan Mengenai Warga Tionghoa Hubungannya Dengan Kebijaksanaan Pemerintah

Para ahli yang telah mengkaji (membicarakan) mengenai kehidupan orang-orang Tionghoa di Indonesia dan yang mengkaitkannya dengan kebijaksanaan pemerintah, sejak pemerintahan kolonial Belanda hingga dimasa Orde Baru, contohnya seperti dalam tulisan: Leo Suryadinata yang berjudul: Political Thingking of Indonesian Chinese: 1900-1977 (Singapore: 1979, Singapore University Press).

(57)

Tionghoa di Indonesia (diterjemahkan oleh Dede Oetomo dari judul aslinya: The

Culture of the Chinese Minority in Indonesia), Jakarta: 1988, Gramedia.

Menurut Suryadinata, kebijaksanaan pemerintah dianggap telah mempengaruhi orang-orang Tionghoa terutama pemikiran politiknya, sehingga mendorong masyarakat ini untuk bermotivasi mengembangkan kehidupan ekonomi, pendidikan, pers dan status kewargaan negara mereka di Indonesia; Sementara di dalam kesempatan lain juga, Melly G. Tan (editor) dalam bukunya Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia (Jakarta: 1979, Gramedia) berupaya memfokuskan kajiannya

terhadap masalah pembinaan bangsa, yang masih erat berkaitan dengan masalah kebijakan pemerintah terhadap orang-orang Tionghoa di Indonesia. Demikian pula yang dilakukan Stuart W.Greif dalam bukunya: “WNI”, Problematik Orang Indonesia Asal Cina (Jakarta:1994, Grafiti), yang menggunakan studi kasus dengan

mewawancarai sebanyak 25 orang keturunan etnis Tionghoa di Jawa dan Bali pada tahun 1985; dalam kajiannya juga mengkaitkan kebijaksanan pemerintah yang pada saat itu masih dalam kekuasaan pemerintahan Orde Baru, dalam prakatanya ia menyatakan, bahwa:

“Pertemuan saya dengan orang Indonesia keturunan Cina yang pertama terjadi di Bali. Walaupun sudah dewasa ia tak bisa berbahasa Cina…Ketika memberikan kartu namanya kepada saya, terbacalah sebuah nama Jawa-Sanskerta yang indah. Ia telah mengubah namanya pada tahun 1966. Ia sendiri berdarah setengah Jawa dan isterinya seorang wanita Toraja dari Sulawesi yang beragama Kristen. Akan tetapi di bawah hukum Indonesia (pen: masa Orde Baru), yang meneruskan tradisi Belanda, anak-anak orang itu masih

dianggap Cina. Sedikit sekali ciri-ciri rasial dan bekas-bekas budaya Cina

(58)

Kita memang tidak bisa menyangkal bahwa pada masa Orde Baru ketentuan-ketentuan pokok yang dikeluarkan negara menurut H.Junus Jahja antara lain (Jahja, 1998:82-92):

1. Resolusi MPRS No.III/MPRS/1966, tentang Pembinaan Kesatuan Bangsa tanggal 5 Juli. Hal-hal yang relevan dalam Keppre ini antara lain: merealisasikan dengan konsekuen larangan perangkapan kewarganegaraan; mempercepat proses integrasi melalui asimilasi warganegara keturunan asing; dan menghilangkan segala hambatan-hambatan yang mengakibatkan yang tidak harmonisnya hubungan mereka dengan warga negara asli.

2. Keputusan Presidium Kabinet N0.127/U/Kep/12/1966, mengenai ganti nama bagi warganegara Indonesia yang memakai nama Cina. Keputusan ini berkaitan dengan prosedur yang sangat mempermudah etnik Cina yang ingin ganti secara sukarela dengan nama Indonesia. Hampir semua WNI-Cina mengganti nama mereka menjadi nama Indonesia setelah keputusan ini dikeluarkan. Namun dalam kenyataannya, walaupun WNI sudah ganti nama dan tidak bisa lagi berbahasa Cina, acapkali masih tetap dianggap ‘orang luar’, misalnya masalah KTP dengan kode-kode khusus serta keharusan menunjukan formulir K-1. Termasuk juga Instruksi Menteri Dalam Negeri No.X01 tahun 1977 tentang Petunjuk Pelaksanaan pendaftaran Penduduk masih terdapat ‘kebiasaan’ membeda-bedakan sesama warga negara. Termasuk juga Peraturan Menteri Kehakiman RI No.M.01-HC.03.01 tahun 1987yang mengharuskan WNI keturunan menyertakan Surat Tanda Bukti Kewarganegaraan RI pada saat pendaftaran ciptaan. Tidak hanya itu, Surat Edaran Medgri No.477/75054 tahun 1978 mengenai petunjuk pengisian kolom agama pada KTP, pada hal hanya ada lima agama yang diakui pemerintah. Sedangkan Kong Hu Cu tidak diakui oleh pemerintah.

3. Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adapt istiadat Cina tanggal 6 Desember 1967. Kebijakan pemerintah ini dibuat dengan pertimbangan bahwa agam, kepercayaan, dan adapt istiadat Cina di Indonesia, dalam manifestasinya dapat menimbulkan pengaruh psikologis, mental, dan moril bagi warga negara Indonesia lainnya. Hal ini dinilai dapat menghambat jalannya proses asimilasi. Adapun isi instruksi tersebut adalah:

(59)

afinitas cultural pada negeri leluhur, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorang; perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak mencolok di depan umum, tetapi dilakukan dalam lingkungan keluarga; instruksi ini dianggap sangat penting untuk mengurangi jarak antara etnik Cina dan warga negara lainnya. Selain itu, dengan adanya instruksi ini, maka pertunjukan seperti Barong say, arak-arakan Toapekong, dan perayaan Imlek (sejak tahun 1960 memang sudah kurang popular) dirayakan dalam lingkungan intern atau keluarga saja. 4. Keppres 240/1967 tentang kebijaksanaan pokok yang menyangkut

WNI keturunan asing. Dalam kebijakan ini ditentukan bahwa warga negara Indonesia keturunan asing adalah sama kedudukannya di dalam hukum dengan bangsa Indonesia lainnya. Pembinaannya dijalankan melalui proses asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya kehidupan eksklusif rasial. Dinyatakan pula, bahwa perbedaan perlakuan antara warga negara Indonesia keturunan asing dan warga negara Indonesia asli ditiadakan dan tidak dibenarkan.

5. GBHN 1978 dan 1988 mengenai kebijaksanaan pembauran terhadap etnik Cina yang dinyatakan bahwa:

‘Usaha-usaha pembauran bangsa perlu dilanjutkan di segala bidang kehidupan, baik dibidang ekonomi maupun sosial, dan budaya, dalam rangka usaha memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa serta memantapkan ketahanan nasional.’

(60)

berakhir pula cita-cita mereka dalam peristiwa politik Getapu/PKI 1965, yang berakibat diskriminasi terhadap mereka timbul kembali.

Demikian pula yang diungkapkan dalam sebuah buku, yang merupakan kumpulan dari 13 tulisan mengenai konfusianisme, yang dianggap sudah sejak lama menjadi bagian dari kehidupan keimanan bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Buku tersebut merupakan terbitan interfidei Yogyakarta, 1995. Banyak peristiwa sejarah yang melibatkan golongan etnis Tionghoa ini secara tidak disadari sudah turut memperkaya khazanah kehidupan budaya bangsa Indonesia. Sehubungan proses pembentuk bangsa yang telah dan terus berlangsung, bagaimanapun keberadaan etnis Tionghoa ini mencari tempat secara proposional. Pada dasarnya semua kelompok termasuk etnis Tionghoa ini ingin diakui eksistensinya, selaku bagian integral dari sebuah bangsa. Namun hubungan antar kelompok ‘pribumi’ dan ‘non-pribumi’ sering kali jadi kendala, dan dipicu pula oleh masalah kesenjangan ekonomi antara ‘pribumi’ dan ‘non-pribumi’. Mungkinkah ajaran konfusianisme dapat memberikan

suatu pandangan yang bersifat kreatif bagi etnis Tionghoa dalam pergulatannya untuk mencari jati diri di Indonesia. Semua pemikiran para ahli yang terkumpul di dalam buku tersebut selalu memberikan harapan dan peluang yang bersifat positif.

(61)

pertunjukan. Kemudian pada masa pemerintahan presiden Megawati pada tahun 2002 perayaan Imlek diakui oleh negara sebagai hari libur nasional (Budhiyanto, 2004).

Sebagai kesimpulan sementara, ternyata kebijaksanaan yang dibuat oleh pihak-pihak penguasa pemerintahan, sejak zaman kolonial Belanda, mungkin juga hingga pemerintahan saat ini, sangat berpengaruh terhadap kehidupan warga masyarakat Tionghoa pada umumnya, termasuk mereka yang berada di Medan. Pengaruh tersebut dapat sebagai peluang ataupun sebaliknya dapat menjadi penekan. Namun faktor penekan ini adalah daya energi yang dapat berubah menjadi pendorong pula dikalangan masyarakat Tionghoa dalam kehidupan berbisnis.

2. 3. Tulisan Mengenai Keberadaan Warga Tionghoa Hubungannya Atau Perbandingannya Dengan Warga Masyarakat Setempat.

Dampak dari kebijaksanaan pemerintah sejak zaman kolonial Belanda hingga pada masa pemerintahan Orde Baru telah pula memberikan pengaruh terhadap keberadaan orang-orang Tionghoa di daerah-daerah tertentu, termasuk warga masyarakat yang tinggal di kota Medan. Kenyataan semacam itu memberi inspirasi kepada peneliti-peneliti lain untuk mengkaji hubungan atau interaksi sosial antara warga Tionghoa di Medan, dengan warga setempat yang bukan Tionghoa.

Diantaranya seperti yang terdapat dalam tulisan: Chalida Fachruddin, Penanggulangan Masalah Cina di Kotamadya Medan dan daerah Sekitarnya, Suatu

tinjauan historis tentang masalah yang dihadapi dalam menanggulangi dominasi

(62)

bahwa pembangunan sosial ekonomi masyarakat pribumi pada umumnya menghadapi rintangan disebabkan oleh monopoli warga masyarakat Tionghoa itu sendiri dalam sektor-sektor penting dalam perdagangan dan perekonomian. Hal ini dilatar belakangi pada kenyataan historis dari kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia sejak zaman Belanda sebagai peletak dasarnya. Mereka membuat kantong-kantong pemukiman yang khusus di daerah perkotaan, sehingga menyebabkan warga Tionghoa dapat mempertahankan kehidupan yang eksklusif. Tradisi semacam itu terus dapat bertahan karena didukung pula dengan cara hidup yang berkelompok-kelompok. Cara menanggulangi kehidupan sosio-ekonomi Tionghoa yang merintangi perkembangan sosio-ekonomi masyarakat pribumi di Indonesia dibutuhkan campur tangan pihak pemerintah yang berkuasa, agar memberikan dukungan berupa bimbingan, pengarahan, serta kemudaha-kemudahan kepada warga pribumi (1975:8).

Pada tahun 1986 Usman Pelly pernah melakukan penelitian mengenai asimilasi dikalangan pelajar pada tingkat SMP dan SMA yang terdapat di kota Medan. Hal itu dilakukannya pada sekolah yang dianggap merupakan tempat pembauran, yakni: Perguruan Sutomo, Perguruan Budi Murni, Perguruan Methodis, Perguruan Kalam Kudus, dan Perguruan Amir Hamzah. Setiap perguruan ditetapkan 50 orang murid SMP dan 50 orang murid SMA yang duduk di kelas III. Dalam hal ini Usman Pelly menggunakan tujuh variabel yaitu: budaya, struktural, amalgamasi, identifikasi, sikap, perilaku, dan civics. Tujuan dalam peneltian tersebut untuk memperoleh

Gambar

Gambar :  Berbagai jenis ragam pakwa ………………………...122 - 128
Tabel :Kerangka berpikir respons kultrual dan struktural masyarakat  Tionghoa  terhadap pembangunan di kota Medan………………….33
Kerangka Berpikir  Tabel  Repons Kulturan dan Struktural

Referensi

Dokumen terkait

The geological maps, including lineament, lithology and landform for all states in Malaysia were produced from the image processing techniques implemented to Landsat TM images

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan pembuat MOL yaitu bonggol pisang Apu ( Mussa paradisica linn ), keong mas ( Pomacea canaliculata ) dan urin

Akan tetapi untuk nilai koefisien redaman rotasi ( B ) ternyata perhitungan teoritis memiliki perbedaan yang cukup besar, hal ini kemungkinan disebabkan bahwa

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah membuat aplikasi Sistem Informasi Administrasi Keuangan Siswa di MI Muhammadiyah Basin Kebonarum Klaten sehingga dapat

Nama- nama calon petugas yang lolos seleksi administrasi dan berhak mengikuti ujian tertulis dan wawancara dapat dilihat pada lampiran 1.. Jadwal dan tempat pelaksanaan tes

Studi Pemasangan Tapping Pada Transformator Distribusi Tiga Phasa (Aplikasi Pada PT. Morawa Elektrik Transbuana).. Repository University of

Evaluasi Pembangunan Pasca Otonomi Daerah di Sulawesi Selatan, Kerjasama Bappeda Propinsi Sulsel dengan Lembaga Penelitian Unhas,

Setelаh dilаkukаn penelitiаn lebih lаnjut, vаriаbel serikаt buruh, posisi jаbаtаn kаryаwаn, produktivitаs kerjа kаryаwаn, dаn pemerintаh memiliki