• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pupuk Organik Cair Dan Agensia Hayati Terhadap Pencegahan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) Pada Pembibitan Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Pupuk Organik Cair Dan Agensia Hayati Terhadap Pencegahan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) Pada Pembibitan Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.)"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PUPUK ORGANIK CAIR DAN AGENSIA HAYATI TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT ANTRAKNOSA

(Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.)

PADA PEMBIBITAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.)

SKRIPSI

Oleh : RANI MAHNELI

010302044/ ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PENGARUH PUPUK ORGANIK CAIR DAN AGENSIA HAYATI TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT ANTRAKNOSA

(Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.)

PADA PEMBIBITAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.)

SKRIPSI

Oleh : RANI MAHNELI

010302044/ ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Skripsi : PENGARUH PUPUK ORGANIK CAIR DAN AGENSIA HAYATI TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) PADA PEMBIBITAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.)

Nama : Rani Mahneli

NIM : 010302044

Departemen : Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Jurusan : Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

(4)

ABSTRACT

Rani Mahneli, “Pengaruh Pupuk Organik Cair dan Agensia Hayati

Terhadap Pencegahan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) Pada Pembibitan Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) “. With

the leader Ir. Zulnayati as a chief and Ir. Kasmal Aripin, M.Si as a member.

The research hads been done in Green House of Faculty of Agriculture, North Sumatera University, Medan with high of place ± 25 m from sea level. Research is started in July until September 2007.

The aim of the research is to know about the influences of Organic Liquid

Fertilizer and Biological Agents for preventing of Antracnosa disease (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.)Sacc.) for seedling of cocoa (Theobroma

cacao L.)

Tise research use completely randomized design factorial by two factors.

First factor is organic liquid fertilizer with 3 responses, they are P0 (control), P1 (2 cc/liter), P2 (4 cc/liter). The second factor is biological agents with 3

responses, they are A0 (control), A1 (0,0005 gr/seed), A2 (0,001 gr/seed). The parameter that is perceived is intensity of attack of Colletotrichum gloeosporioides (%).

The result of research shows that the giving of organic liquid fertilizer is significant to 2-5 weeks after planting to intensity of attack Colletotrichum

gloeosporioides. The highest average to respons of P0 is 8,81 % and the lowest is

to respons of P2 is 0,55 %. The giving of biological agents is significant to 2-5 weeks after planting to intensity of attack Colletotrichum gloeosporioides. The highest average to respons of A0 is 5,96 % and the lowest is to respons of A2 is 1,78 %.

The result of research shows that the giving of organic liquid fertilizer and biological agents is significantly to 2-5 weeks after planting to intensity of attack

Colletotrichum gloeosporioides. The highest average to respons of P0A0 is 8,91 %

(5)

ABSTRAK

Rani Mahneli, “Pengaruh Pupuk Organik Cair dan Agensia Hayati

Terhadap Pencegahan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) Pada Pembibitan Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) “.

Dengan komisi pembimbing Ir. Zulnayati sebagai Ketua dan Ir. Kasmal Aripin, M.Si sebagai Anggota.

Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 25 m dari permukaan laut. Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai dengan September 2007.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Pupuk Organik Cair dan

Agensia Hayati Terhadap Pencegahan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) Pada Pembibitan Tanaman Kakao

(Theobroma cacao L.)

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua faktor yang terdiri dari, faktor pertama Pupuk Organik Cair yang terdiri dari 3 taraf perlakuan yaitu P0 (kontrol/tanpa perlakuan), P1 (2 cc/liter), P2 (4 cc/liter). Faktor kedua dengan 3 taraf perlakuan yaitu A0 (kontrol/tanpa perlakuan), A1 (0,0005 gr/bibit), A2 (0,001 gr/bibit). Parameter yang diamati adalah intensitas serangan

Colletotrichum gloeosporioides.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik cair memberikan pengaruh yang nyata terhadap penyakit Antraknosa Colletotrichum

gloeosporioides 2-5 minggu setelah tanam. Rataan tertinggi terdapat pada perlakuan

P0 sebesar 8,81% dan terendah pada perlakuan P2 sebesar 0,55%. Pemberian agensia hayati memberikan pengaruh yang nyata terhadap penyakit Colletotrichum

gloeosporioides pada pengamatan 2-5 minggu setelah tanam. Rataan tertinggi

terdapat pada perlakuan A0 sebesar 5,96% dan terendah pada perlakuan A2 sebesar 1,78%.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Rani Mahneli, dilahirkan di Medan pada tanggal 27 Januari 1983, anak ke-3

dari 5 bersaudara dari Ayahanda Ibrahim dan Ibunda Sulastri.

Tahun 1995 tamat dari SD Negeri 060900 Medan. Tahun 1998 tamat dari

SMP Negeri 2 Medan, dan Tahun 2001 tamat dari MAN 1 Medan dan pada Tahun

yang sama melanjutkan pendidikan di Departemen Ilmu Hama dan Penyakit

Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan, melalui jalur

UMPTN.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di Organisasi IMAPTAN dan

Komunikasi Muslim (Komus) HPT di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera

Utara Medan, selain itu penulis juga melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL)

pada bulan Juli – Agustus 2005 di IP2TP (Instalasi Penelitian dan Pengkajian

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT atas berkat

dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada

waktunya.

Adapun judul dari skripsi ini adalah "Pengaruh Pupuk Organik

Cair Dan Agensia Hayati Terhadap Pencegahan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.)Sacc.) Pada Pembibitan Tanaman

Kakao (Theobroma cacao L.)". Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk

dapat menempuh ujian sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera

Utara, Medan.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Ir. Zulnayati dan Ir. Kasmal Aripin, MSi sebagai Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan dorongan, saran serta arahandalam penyelesaian skripsi ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Medan, Nopember 2007

(8)

DAFTAR ISI

Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Kakao Botani Tanaman ... 4

Syarat Tumbuh ... 6

Penyakit Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) Penyebab Penyakit ... 7

Faktor Yang Mempengaruhi ... 8

Daur Hidup Penyakit ... 9

Gejala Serangan ... 9

Pengendalian ... 11

Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Cair dan Agensia Hayati pada Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) ... 12

BAHAN DAN METODA Tempat dan Waktu Penelitian ... 15

Bahan dan Alat... 15

Metode Penelitian ... 15

Pelaksanaan Penelitian Persiapan Media Tanam ... 17

Perlakuan Benih ... 17

Penanaman Benih ... 18

Pengamatan Persentase Perkecambahan ... 18

Persiapan Inokulum ... 18

(9)

Perlakuan Pemupukan ... 19 Pemberian Agensia Hayati ... 20 Pemeliharaan Tanaman ... 20 Parameter Penelitian

Intensitas serangan penyakit Antraknosa ... 20

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Pupuk Organik Cair (P) terhadap Intensitas Serangan

Colletotrichum gloeosporioides ... 22

Pengaruh Agensia Hayati (A) terhadap Intensitas Serangan

Colletotrichum gloeosporioides ... 24

Pengaruh Interaksi Pupuk Organik Cair (P) dan Agensia Hayati (A) terhadap Intensitas Serangan Colletotrichum

gloeosporioides 25

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 28 Saran ... 28

DAFTAR PUSTAKA

(10)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

1. Rataan Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides (%) pada

perlakuan Pupuk Organik Cair (P) untuk setiap waktu pengamatan 22

2. Rataan Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides (%) pada

perlakuan Agensia Hayati (A) untuk setiap waktu pengamatan 24

3. Rataan Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides (%) pada

perlakuan Pupuk Organik Cair (P) dan Agensia Hayati (A) untuk

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1. Jamur Colletotrichum gloeosporioides 8

2. Gejala Serangan Antraknosa 10

3. Histogram Interaksi Pupuk Organik (P) dan Agensia Hayati (A) terhadap Intensitas Serangan C. gloeosporioides (%) pada

setiap waktu pengamatan (MST) 25

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Bagan Pelaksanaan Penelitian 31

2. Data Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides 2 MST 32

3. Data Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides 3 MST 34

4. Data Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides 4 MST 36

5. Data Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides 5 MST 38

6. Foto Lahan Penelitian 40

7. Foto Bibit Tanaman Kakao yang terserang Antraknosa 41

8. Data Pengamatan Temperatur (°C) dan Kelembaban Udara (%)

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Saat sekarang ini komoditas non-migas mempunyai arti penting dalam

ekspor Indonesia terutama tanaman perkebunan. Tanaman kakao merupakan salah

satu komoditas ekspor yang mempunyai arti penting dalam perekonomian

Indonesia, karena merupakan salah satu bidang usaha yang dapat memberikan

sumber penghidupan bagi rakyat (Siswoputranto, 1978).

Tanaman kakao termasuk tanaman tropis. dikenal masyarakat Indonesia

pertama kali pada tahun 1780. Semula nilai komersialnya belum begitu diutamakan

bagi penanamnya. Dan untuk mengembangkan ekspor non-migas, komoditas

pertanian yang mempunyai prospek baik terus ditingkatkan. Salah satu yang

diharapkan dapat membantu meningkatkan devisa negara adalah kakao. Lahan

penanamannya setiap tahun, terus ditingkatkan. Sebab biji coklat mengandung

lemak mencapai 50 - 60% dari berat biji, bisa dibuat berbagai macam produk

makanan, bahkan juga bisa dimanfaatkan untuk pembuatan sabun, parfum,

obat-obatan, dan bahan dasar pembuatan kosmetik (Spilane, 1995).

Produksi kakao di Indonesia dihasilkan dari perkebunan besar negara dan

swasta yang terdapat didaerah Sumatera Utara dan Jawa Timur, selain itu juga

produksi yang berasal dari perkebunan rakyat yang tersebar di daerah-daerah

(14)

usaha-usaha dibidang pembudidayaan kakao ini telah dapat meningkatkan hasil devisa bagi

negara melalui ekspor dan mendorong ekonomi daerah terutama daerah pedesaan.

Untuk itu, sejak tahun 1980, Pemerintah memberikan prioritas terhadap produksi

kakao sebagai salah satu mata dagang yang dikembangkan secara cepat

(Siregar dkk, 2006).

Benih dan bibit merupakan salah satu faktor produksi yang memegang

peranan sangat penting dalam menentukan mutu dan produktifitas tanaman.

Kekeliruan dalam pemilihan, penyediaan dan penanganan terhadap benih dan bibit

akan berdampak fatal dan akan mengakibatkan kerugian yang terus menerus bagi

petani/pengusaha perkebunan, serta untuk memperbaikinya memerlukan waktu yang

lama (Anonim, 1995).

Dalam hal ini faktor perlindungan terhadap benih/bibit khususnya terhadap

gangguan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) memegang peranan yang sangat

penting dan perlu ditingkatkan. OPT tidak hanya menyerang benih., tetapi juga dapat

menyerang bibit di pembibitan. Akibat gangguan OPT tersebut dapat menyebabkan

meningkatnya jumlah benih dan bibit yang tidak memenuhi persyaratan untuk

ditanam. Apabila benih/bibit yang tidak baik terpaksa ditanam, dapat mengakibatkan

kerugian yang besar karena akan mendapatkan tanaman dengan kualitas dan

kuantitas produksi rendah dan akan berakibat fatal (Anonim, 1995).

OPT pada bibit kakao yang sangat merugikan salah satunya adalah penyakit

Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides). Jamur ini menyerang daun muda

dengan gejala terjadinya bintik-bintik nekrosis berwarna coklat. Jika penyakit ini

(15)

mengalami kematian karena bibit tidak mampu memproduksi asimilat yang cukup

untuk pertumbuahan (Anonim, 1995).

Salah satu pengendalian yang dapat dilakukan pada pembibitan kakao adalah

pengendalian secara biologi. Teknologi pertanian yang tergantung pada bahan kimia

berdasarkan pertimbangan fisik dan ekonomi dianggap berhasil menanggulangi

kerawanan pangan, tetapi ternyata harus dibayar mahal dengan meningkatnya

kerusakan yang terjadi dimuka bumi ini (Sutanto, 2002).

Tanaman yang tumbuh ditanah yang kaya akan bahan organik dinyatakan

lebih sehat dari gangguan penyakit meskipun patogen/parasit fakultatif terdeteksi

keberadaannya. Hal ini disebabkan karena penambahan bahan organik kedalam

tanah juga meningkatkan aktivitas dan populasi mikroba tanah yang mungkin juga

berperan sebagai mikroorganisme antagonis yang dapat berfungsi sebagai antagonis

bagi patogen penyakit tanaman (Yulianti dan Nidar, 1999).

Tujuan Penelitian

Mengetahui pengaruh pemberian pupuk organik cair dan agensia hayati

terhadap pencegahan penyakit Antraknosa pada pembibitan tanaman kakao

(Theobroma cacao L.)

Hipotesa Penelitian

Ada pengaruh pemberian pupuk organik cair dan agensia hayati terhadap

pencegahan penyakit Antraknosa pada pembibitan tanaman kakao (Theobroma cacao

(16)

Kegunaan Penelitian

- Sebagai salah satu syarat untuk dapat meraih gelar sarjana di Departemen

Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas

Sumatera Utara, Medan..

- Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang memerlukan.

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman

Tanaman kakao diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Devisio : Spermatophyta

Subdevisio : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Malvales

Famili : Sterculiceae

Genus : Theobroma

Spesies : Theobroma cacao L.

(Anonim, 2004)

Kakao termasuk tanaman kauliflori yang artinya bunga dan buah tumbuh

pada batang dan cabang tanaman. Dalam setiap buah terdapat sekitar 20 - 50 butir

biji, yang tersusun dalam lima baris dan menyatu pada bagian poros buah.

Biji dibungkus oleh daging buah atau pulp yang berwarna putih dan rasanya manis.

Pulp tersebut mengandung zat penghambat perkecambahan, namun karena biji

kakao tidak memiliki masa dorman maka seringkali biji dalam buah pun dapat

(17)

Kakao biasanya bersifat dimorfismo, artinya mempunyai dua percabangan

atau tunas vegetatif , yaitu tunas ortotrof yang tumbuh ke samping, cabang kipas

atau fan. Tanaman yang berasal dari biji setelah mencapai tinggi sekitar 0,9 – 1,5

meter, akan membentuk jorket, yang kemudian tumbuh 3 - 6 cabang yang arahnya

kesamping dengan sudut 0 - 900. Tanaman kakao yang diperbanyak secara vegetatif

tidak membentuk jorket (Siregar, dkk, 2006).

Daun kakao mempunyai dua persendian atau articullation yang terletak pada

pangkal dan ujung tangkai daun. Masa tumbuh tunas-tunas baru disebut flush,

dimana tunas membentuk 3 – 6 helai daun baru sekaligus. Faktor lingkungan yang

mempengaruhi pertunasan adalah suhu udara. Perbedaan suhu siang dan malam

yang besar akan memacu pertunasan. Suhu dan kelembaban berkaitan dengan

intensitas naungan. Kakao yang tanpa naungan akan bertunas lebih sering dan lebih

intensif. Pada saat bertunas tanaman kakao lebih peka terhadap serangan hama dan

penyakit (Susanto, 1994).

Perakaran kakao tumbuh cepat pada bibit dari biji yang baru berkecambah,

dari panjang akar 1 cm pada umur 1 minggu tumbuh menjadi 16-18 cm pada umur 1

bulan dan 25 cm pada umur 3 bulan (Susanto, 1994).

Bunga dari kakao terdiri dari 5 daun kelopak dan 5 daun mahkota. Bunga

kakao berwarna putih-ungu atau kemerahan. Hampir 75 % penyerbukan bunga

kakao dibantu oleh serangga (Anonim, 2004).

Warna buah kakao beraneka ragam, namun pada dasarnya hanya ada dua

macam yaitu : buah muda berwarna hijau putih dan bila masak menjadi warna

kuning, dan buah muda yang berwarna merah setelah masak menjadi oranye. Buah

(18)

bulan. Hal ini merupakan gejala spesifik dari kakao yang disebut physiological effect

thinning. Buah yang mengalami peristiwa ini panjangnya kurang dari 10 cm. Pada

umumnya setelah umur 70 – 100 hari atau sepanjang 10 cm sudah bebas dari

proses ini (Susanto, 1994).

Syarat Tumbuh

Distribusi curah hujan yang merata sepanjang tahun lebih penting daripada

jumlah hujan tahunan sebab tanaman kakao lebih cocok bila bulan kering tidak

melebihi dari 3 bulan (Anonim, 2004)

Suhu dapat mempengaruhi pembentukan flush, pembungaan dan kerusakan

daun. Misalnya pebedaan suhu siang dan malam yang besar akan mendorong

terjadinya flush. Suhu rata-rata di Indonesia sekitar 25 – 26 0C, maka kemungkinan

untuk pengembangan kakao masih besar. Kelembaban udara relatif maksimum

100% pada malam hari dan 70% - 80 % pada siang hari. Kelembaban yang rendah

akan mempengaruhi evapotranspirasi menjadi lebih cepat, sedangkan kelembaban

yang tinggi mengundang perkembangan cendawan patogen.

Pada pembibitan, sinar matahari yang banyak akan menyebabkan batang bibit

menjadi kecil-kecil, daunnya sempit, dan bibit relatif pendek (Susanto, 1994).

Faktor tanah yang sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman kakao adalah

sifat fisik tanah, sifat kimia tanah, dan kandungan bahan organik tanah. Tanah yang

baik untuk kakao adalah yang bila musim hujan drainase baik dan pada musim

kemarau dapat menyimpan air. Jadi tekstur tanah yang cocok bagi tanaman kakao

adalah tanah liat berpasir dan lempung liat berpasir (Siregar, dkk, 2006).

Tanaman kakao dapat tumbuh pada tanah yang memiliki kisaran pH 6,0

(19)

cukup tersedia bagi tanaman. Pada pH yang tinggi misalnya lebioh dari 8,0

kemungkian tanaman akan kekurangan unsur hara, dan akan keracuan Al, Mn dan

Fe pada pH yang rendah, misalnya kurang dari 4,0 (Siregar, dkk, 2006).

Penyakit Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) Penyebab Penyakit

Penyakit disebabkan oleh jamur Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.

Jamur ini memiliki sistematika sebagai berikut :

Kingdom : Fungi

Divisio : Mycota

Sub Divisio : Deuteromycotina

Kelas : Dueteromycetes

Ordo : Melanconiales

Famili : Melanconiaceae

Genus : Colletotrichum

Spesies : Colletotrichum gloeosporioides (Penz.)Sacc.

(Semangun, 1996).

Berikut adalah gambar jamur Colletotrichum gloeosporioides (Penz.)Sacc.

b. Konidia dengan konidiofor c. Konidia Keterangan :

(20)

(Barnett, 1960)

Semua ordo Melanconiales dimasukkan ke dalam satu famili khusus yaitu

Melanconiaceae dimana banyak spesiesnya yang hidup sebagai parasit dan

penyakitnya dikenal sebagai antraknosa (Alexopoulus dan Mims, 1979)

C. gloeosporioides mempunyai miselium yang jumlahnya agak banyak, hifa

bersepta tipis, mula-mula terang kemudian gelap (Mehrotra, 1983). Konidiofor

pendek, tidak bercabang, tidak bersepta dengan ukuran 7-8 x 3-4 m (Weber, 1973).

C. gloeosporioides khususnya pada daun muda yang agak dewasa

menghasilkan konidium jamur yang bewarna merah jambu (Semangun, 2000).

Massa konidia yang berwarna merah jambu ini akhirnya menjadi coklat gelap

(Weber, 1973).

Colletotrichum umumnya mempunyai konidium hialin, bersel satu,

berukuran 9-24 x 3-6 m, tidak bersekat, jorong memanjang, terbentuk pada ujung

konidiofor yang sederhana. Pada saat berkecambah konidium yang bersel satu tadi

membentuk sekat. Pembuluh kecambah membentuk apresorium sebelum

mengadakan infeksi. Diantara konidiofor biasanya terdapat rambut-rambut (seta)

yang kaku dan berwarna coklat tua (Semangun, 2000).

konidia C. gloeosporioides

(sumber : daun kakao yang terinfeksi antraknosa)

Gambar 1. Colletotrichum

gloeosporioides

Sumber : Fhoto Langsung (Perbesaran 10 x 8

(21)

Faktor Yang Mempengaruhi

Spora tumbuh paling baik pada suhu 25 - 28 0C, sedang dibawah 5 0C dan

diatas 40 0C tidak dapat berkecambah (Semangun, 2000) Pada kondisi yang lembab,

bercak-bercak pada daun akan menghasilkan kumpulan konidia yang berwarna putih

(Anonim, 1995). Faktor lingkungan yang kurang menguntungkan seperti peneduh

yang kurang, kesuburan tanah yang rendah, atau cabang yang menjadi lemah karena

adanya kanker batang. Jamur juga dapat mengadakan infeksi melalui bekas tusukan

atau gigitan serangga (Semangun, 2000).

Daur Hidup Penyakit

Jamur Colletotrichum menghasilkan konidia dalam jumlah banyak. Konidia

terbentuk pada permukaan bercak pada daun terinfeksi, dan konidia tersebut mudah

lepas bila ditiup angin atau bila terkena percikan air hujan. Konidia sangat ringan dan

dapat menyebar terbawa angin sampai ratusan kilometer sehingga penyakit tersebar

luas dalam waktu yang singkat (Soepena, 1995). Konidia mungkin juga

dipencarkan oleh serangga. Di Sumatera Utara diduga bahwa infeksi pada semai

kakao di pembibitan berasal dari kebun karet yang ada didekatnya yang sedang

terserang penyakit gugur daun Colletotrichum (Semangun, 2000).

Gejala Serangan

Colletotrichum umumnya menyerang daun muda. Daun-daun muda hanya

rentan selama ± 5 hari pada waktu kuncup membuka dan selama 10 hari yang

(22)

warnanya sudah berubah dari warna perunggu menjadi pucat. Pada waktu ini kutikula

sudah terbentuk dan daun menjadi cukup tahan. Jika infeksi terjadi pada bagian awal

dari masa 15 hari tersebut maka daun akan segera layu dan rontok. Tetapi jika infeksi

terjadi pada tingkat yang lebih, kemudian daun sudah mempunyai ketahanan dalam

mencegah terjadinya kerusakan yang meluas, sehingga meskipun sebagian daun

berubah bentuk dan sangat banyak berbercak-bercak daun-daun tidak akan gugur

(Semangun, 2000).

Gejala serangan ditandai dengan terjadinya bintik-bintik nekrosis berwarna

coklat. Setelah daun berkembang, maka bintik nekrosis tersebut berkembang menjadi

bercak berlubang dengan ’halo’ berwarna kuning disekeliling jaringan yang sakit, dan

terjadinya jaringan yang mati yang melekuk (antraknos). Pada daun yang terserang

berat, akan mengalami kerontokan/gugur sehingga bibit akan menjadi gundul

(23)

Gambar 2. Gejala Serangan Antraknosa Sumber : Foto Langsung

Pengendalian

1. Menanam klon yang tahan.

2. Memperbaiki keadaan tanaman, antara lain dengan menambah pupuk dan

mengatur naungan.

3. Untuk mengurangi sumber infeksi, ranting-ranting dan buah yang sakit dipotong

dan dipendam dalam tanah.

4. Penambahan bahan organik untuk meningkatkan kesuburan tanah dan kesehatan

tanaman.

5. Penggunan fungisida.

(24)

Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Cair dan Agensia Hayati pada Tanaman Kakao (Theobroma cacao L. )

Dari data yang dilaporkan beberapa lembaga bahwa pertanian organik

memiliki kelebihan atau keuntungan dibanding dengan pertanian non organik.

Beberapa keuntungan tersebut antara lain sebagai berikut:

a. Meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan OPT

Pemberian pupuk organik menjadikan vigor akar dan batang tanaman lebih

kokoh sehingga mengurangi serangan beberapa OPT

b. Meningkatkan aktivitas mikroorganisme antagonis

Pemberian pupuk organik dapat meningkatkan populasi mikroorganisme yang

menguntungkan bagi tanaman seperti rhizobium dan mikoriza. Selain itu, juga

meningkatkan populasi dan aktivitas mikroorganisme antagonis seperti

Trichoderma sp

c. Membantu mencegah erosi

d. Pemberian pupuk organik membantu menurunkan tingkat erosi pada tanah yang

mudah terkikis oleh air dan angin. Penambahan bahan organik akan merangsang

pertumbuhan fungi, bakteri, dan aktinomicetes.

(Musnamar, 2003).

Pupuk hijau dan pengembalian bahan organik tanah: pelapukan bahan-bahan

organik alam tanah menghasilkan sejumlah zat-zat beracun, khususnya asam. Tetapi

juga zat-zat yang dapat membunuh dan menghalangi keberadaan organisme parasitik.

Penambahan secara terus-menerus bahan organik dapat memperbaiki tekstur tanah

(25)

pertumbuhan tanaman yang lebih baik dan perkembangan akar yang lebih cepat. Hal

ini memacu tanaman untuk menghasilkan akar-akar yang baru dan untuk

menggantikan akar-akar yang sakit dan mati. Kehilangan atau kekurangan unsur hara

dapat dikurangi (Singh, 1998).

Pengendalian tanaman dengan fungisida dewasa ini telah memberikan

dampak negatif terhadap lingkungan, membunuh organisme non-target, menimbulkan

resistensi dan pemborosan. Alternatif lain yang telah banyak digunakan dengan

dampak terhadap lingkungan yang kecil sekali adalah pemanfatan musuh alami yang

telah digunakan sebagai agen pengendali hayati. Jamur Trichoderma merupakan

salah satu mikoparasit yang telah digunakan sebagai agen pengendali hayati bagi

jamur-jamur patogen (Supeno, 1999).

Pemberian agensia hayati atau mikroba antagonis dan perlakuan tertentu

seperti pemberian bahan organik untuk meningkatkan aktivitas mikroba tanah adalah

termasuk dalam usaha pengendalian secara hayati. Yang dimaksud dengan miroba

antagonis adalah mikroba yang aktivitasnya berdampak negatif terhadap kehidupan

patogen (Abadi, 2003).

Selain penggunaan organisme antagonis, penggunaan bahan organik yang

diberikan pada tanah dapat menurunkan keparahan penyakit. Hal ini dimungkinkan

karena bahan organik dapat membawa berbagai macam organisme antagonis yang

memang rata-rata adalah organisme saproba, sehingga penambahan bahan organik

kedalam tanah dapat membuat organisme antagonis berkembang lebih banyak.

(26)

Pupuk Organik Cair NASA memiliki kandungan unsur hara Total

(N+P2O5+K2O) 0,18 %, C organik 4,6%, Zn 41,04 ppm, Cu 8,43 ppm, Mn 80,12

ppm, Co 2,54 ppm, Fe 0,45 ppm, S 0,12 %, B 60,84 ppm, Si 0,01%, Al 6,38 ppm,

NaCl 0,98%, dan Sc 0,11 ppm (Anonim, 2005).

Agensia hayati Natural Glio mengandung bahan aktif Trichoderma sp. dengan

kandungan 1015 spora yang berfungsi secara alami sebagai pengendali biologis

terhadap penyakit dengan cara menghancurkan secara langsung penyebab penyakit.

Selain itu juga dapat melindungi perkecambahan biji dan akar tanaman dari infeksi

penyakit (Anonim, 2005).

Pupuk Organik Cair NASA mempunyai kelebihan sebagai berikut :

1. Menngkatkan kuantitas dan kualitas produksi tanaman serta kelestarian

lingkungan tanah.

2. Menjadikan tanah yang keras berangsur-angsur gembur.

3. Melarutkan sisa-sisa pupuk kimia dalam tanah, sehingga dapat dimanfatkan

tanaman.

4. Membantu perkembangan mikroorganisme tanah yang bermanfaat bagi tanaman.

(27)

BAHAN DAN METODA

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas

Sumatera Utara, Medan pada ketinggian + 25 m dpl, pada bulan Juli sampai

dengan September 2007.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan adalah benih kakao, tanah, pasir, kompos,

pupuk organik cair NASA, agensia hayati Natural Glio, dan polibag ukuran 12 x

17 cm.

Alat-alat yang digunakan antara lain cangkul, gembor, handsprayer,

timbangan elektronik, papan nama, kamera, kalkulator dan alat tulis.

Metoda Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap

(RAL) Faktorial dengan menggunakan 2 faktor perlakuan yaitu :

1. Faktor Pemberian Dosis Pupuk Organik Cair NASA dengan 3 taraf yaitu :

P0 = kontrol

P1 = 2 cc POC / liter air

P2 = 4 cc POC / liter air

2. Faktor Pemberian Dosis Agensia Hayati Natural Glio dengan 3 taraf yaitu :

A0 = kontrol

(28)

A2 = 1 mg per tanaman

Dengan demikian terdapat 9 kombinasi perlakuan yaitu :

P0A0 P1A0 P2A0

P0A1 P1A1 P2A1

P0A2 P1A2 P2A2

Untuk ulangan perlakuan dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

(t – 1) (r – 1) > 15

(9 – 1) (r – 1) > 15

9 ( r – 1) > 15

9r > 24

r > 2.67

r = 3

Jumlah tanaman untuk setiap perlakuan kombinasi adalah 30 tanaman (6 tanaman

sebagai sampel) sehingga jumlah seluruh tanaman yang dibutuhkan adalah :

jlh perlakuan kombinasi X ulangan X jlh tanaman tiap perlakuan

= 9 x 3 x 30 tanaman = 810 tanaman

Sedangkan jumlah tanaman sampel yang diamati adalah :

jlh perlakuan kombinasi X ulangan X jlh tanaman sampel tiap perlakuan =

9 x 3 x 6 tanaman = 162 tanaman

Bentuk Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dapat digambarkan dengan model

linear sebagai berikut :

(29)

Yijk = Nilai pengamatan pada suatu percobaan yang memperoleh perlakuan ke-i dari faktor pupuk organik cair dan taraf ke-j pada faktor agensia hayati dan ulangan ke-k

μ = Nilai tengah umum

i = Pengaruh taraf ke-i dari faktor pupuk organik cair

j = Pengaruh taraf ke-j dari faktor agensia hayati

( )ij = Pengaruh interaksi dari taraf ke-i dan taraf ke-j

∑ijk = Pengaruh galat pada satuan percobaan yang memperoleh perlakuan taraf ke-i dari faktor pupuk organik cair, taraf ke-j dari faktor agensia hayati dan

ulangan ke-k Selanjutnya bila analisis sidik ragam menunjukkan hasil yang nyata, maka

dilanjutkan dengan uji jarak Duncan (Bangun, 1980)

Pelaksanaan Penelitian Persiapan Media Tanam

Tanah terlebih dahulu dibersihkan dari akar, rumput-rumputan, batu dan kerikil.

Kemudian tanah diberikan campuran pasir dan kompos dengan perbandingan 1 : 1 : 1.

Campuran tanah, pasir dan kompos tersebut kemudian disterilkan dengan cara

dipanaskan didalam tong pengukus selama 1 – 2 jam. Setelah itu tanah

dikeringanginkan selama 1 hari. Kemudian tanah dimasukkan kedalam

masing-masing polibag yang berukuran 12 x 17 cm yang diisi ¾ bagian dari polibag.

Perlakuan Benih

Terlebih dahulu dilakukan pengujian kesehatan benih dengan menggunakan

(30)

kesehatannya ditempatkan dalam kotak tray diatas kertas filter yang dasarnya

didukung oleh kawat kassa sebagai penyangga. Lalu diberi air/aquadest untuk

mendapatkan kelembaban yang tinggi. Dan kemudian dilihat apakah ada patogen lain

yang tumbuh selain Colletotrichum gloeosporioides, dan jika ada maka sebelum

pananaman dilakukan pencegahan dengan merendam biji dalam air panas (Hot Water

Treatment). Caranya yaitu : biji-biji yang akan digunakan pertama-tama harus

didesinfeksi dahulu dengan larutan Clorox 0,1%, guna menghilangkan kontaminasi

yang mungkin terdapat pada permukan biji. Kemudian biji-biji ini direndam dengan

air panas ± 45 0C dalam beaker glass selama ± 10-15 menit. Dengan demikian

diharapkan patogen benih akan mati. (Zulnayati, 1999).

Penanaman Benih

Selanjutnya benih kakao ditanam kedalam polibag, masing-masing berisi 1

benih kakao. Benih kakao akan segera berkecambah dalam waktu 3 – 4 hari (Anonim,

1995). Selain itu dipersiapkan pula tanaman sisipan sebanyak 6 tanaman tiap

perlakuan untuk menggantikan benih yang tidak tumbuh.

Pengamatan Pesentase Perkecambahan

Setelah benih kakao berkecambah, dilakukan pengamatan persentase

perkecambahan benih kakao, diamati berapa jumlah benih yang tumbuh dan yang

tidak tumbuh. Dan jika terdapat benih yang tidak tumbuh, maka akan disisip sesuai

dengan masing-masing perlakuan. Diamati pula apakah benih tersebut tidak

berkecambah karena terserang penyakit atau karena mutu benih yang kurang baik.

(31)

Persentase Perkecambahan = Jumlah benih berkecambah x 100%

Jumlah benih seluruhnya

Persiapan Inokulum

Inokulum jamur dibiakkan dan dimurnikan pada media PDA. Kemudian

biakan murni tersebut dilihat terlebih dahulu dimikroskop apakah inokulum tersebut

benar C. gloeosporioides. Selanjutnya biakan yang telah murni dikulturkan kembali.

Untuk lebih jelasnya, konidia jamur C. gloeosporioides dapat dilihat pada Gbr 1.

(halaman 8).

Konidia C. gloeosporioides yang terbentuk diambil dengan cara sebagai

berikut : biakan murni ditetesi dengan aquadest steril sebanyak 10 ml kemudian

dikikis dengan jarum kait sehingga konidia yang ada terlepas dalam aquadest steril.

Campuran ini disaring dengan kain muslin sehingga potongan-potongan miselium

dan bagian yang kasar dari media akan tertinggal dan hanya konidia saja yang dapat

lewat.

Filtrat selanjutnya disentrifuge untuk mendapatkan suspensi konidia yang

konsentrat. Kerapatan konidia dalam suspensi dihitung dengan menggunakan

haemacytometer. Suspensi konidia ini diencerkan dengan menggunakan aqudest steril

sehingga mencapai kerapatan 2 x 105 konidia per ml.

Persiapan Inokulasi

Daun-daun yang baru berumur 3 - 5 hst dan telah tumbuh ± 2 – 3 helai daun

(32)

menggunakan hansprayer ke permukaan atas dan bawah daun secara merata.

Inokulasi dilaksanakan pada sore hari pukul 17.00 WIB.

Perlakuan Pemupukan

Pemupukan dilakukan pada saat penanaman benih dengan menggunakan

pupuk organik cair yang terlebih dahulu dicampur air dengan 3 taraf perlakuan yaitu

kontrol, 2 cc/liter air, dan 4 cc/liter air. Pemberian awal pupuk organik cair pada saat

penanaman benih dilakukan dengan menyemprotkannya ke tanah. Selanjutnya, jika

helaian daun telah membuka sempurna, maka pemberian pupuk organik tersebut akan

disemprotkan kebagian daun. Perlakuan pemupukan dilakukan lagi hingga 5 kali

perlakuan dengan interval 1 minggu.

Pemberian Agensia Hayati

Pemberian agensia hayati dilakukan pada saat penanaman benih dengan

menaburkan Natural Glio ke media tanah di polibag dengan 3 taraf yaitu kontrol, 0,5

mg per tanaman dan 1 mg per tanaman. Pemberian agensia hayati tersebut dilakukan

lagi dengan interval 1 minggu hingga 5 kali perlakuan.

Pemeliharaan Tanaman

Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, penyiangan gulma, dan

pengendalian hama.

Penyiraman dilakukan 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Volume

(33)

Penyiangan dilakukan terhadap gulma yang tumbuh baik didalam polibag.

Interval penyiangan dilakukan disesuaikan dengan pertumbuhan gulma.

Untuk mencegah serangan hama, cukup dilakukan tindakan mekanis dengan

menyingkirkan/membuang hama-hama yang menyerang pembibitan.

Parameter Penelitian

Intensitas serangan penyakit Anthraknosa

Untuk pengamatan Intensitas serangan penyakit Antraknose dilakukan pada 1

minggu setelah tanam (mst), kemudian diamati setiap selang waktu 7 hari sampai 5

kali pengamatan dengan rumus :

IS =

Kunci lapangan yang digunakan untuk menghitung intensitas serangan antraknosa adalah:

Z = Nilai skala kategori tertinggi N = Jumlah daun yang diamati

Keterangan :

IS = Intensitas serangan

n = Jumlah daun dalam tiap kategori

serangan

v = Nilai skala tiap kategori serangan

Skala Deskripsi gejala serangan antraknosa 0

Tidak ada serangan sama sekali

Luas permukaan daun terserang mencapai 1 - 20 % Luas permukaan daun terserang mencapai 21 - 40 % Luas permukaan daun terserang mencapai 41 - 60 % Luas permukaan daun terserang mencapai 61 - 80 % Luas permukaan daun terserang mencapai 81 - 100 %

(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Pupuk Organik Cair (P) terhadap Intensitas Serangan

Colletotrichum gloeosporioides (%)

Hasil analisa data Intensitas Serangan dapat dilihat pada lampiran 2-5. Dari

daftar sidik ragam pada pengamatan 3, 4 dan 5 minggu setelah tanam (MST)

diketahui terdapat perbedaan yang nyata antara Kontrol dengan perlakuan Pupuk

Organik Cair dosis 2 cc/ltr (P1) dan dosis 4 cc/ltr (P2) .

Tabel 1. Beda Uji Rataan Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides (%) pada perlakuan Pupuk Organik Cair (P) untuk setiap waktu pengamatan

Ket : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan Uji Jarak Duncan

Dari tabel 1. dapat dilihat bahwa pada pengamatan 2 MST perlakuan Kontrol

tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya yaitu dosis pupuk organik 2 cc/ltr (P1)

dan dosis 4 cc/ltr (P2). Hal ini disebabkan karena pada minggu kedua setelah tanam,

gejala serangan belum tampak pada kedua perlakuan dosis tersebut.

Pada pengamatan 3 MST dapat dilihat bahwa intensitas serangan tertinggi

terdapat pada perlakuan Kontrol (6,78 %) dan terendah pada perlakuan dengan dosis

pupuk organik 4 cc/ltr (0,35 %). Dari pengamatan intensitas serangan C.

gloeosporioides setiap minggunya menunjukkan persentase intensitas serangan yang

(35)

(8,81 %) yang berbeda nyata dengan perlakuan pupuk organik cair dosis 2 cc/ltr (2,21

%) dan dosis 4 cc/ltr (0,55 %). Hal ini disebabkan karena pada Kontrol, tanaman

tidak memperoleh unsur hara tambahan. Unsur hara yang diperolehnya hanya

bersumber dari tanah saja, sehingga kondisi tersebut memungkinkan mudahnya

tanaman untuk terserang penyakit. Diketahui secara umum juga bahwa tanaman pada

umur yang masih muda terlebih lagi dalam masa pembibitan sangat rentan terinfeksi

patogen.

Dari uraian diatas, maka pemberian pupuk terhadap tanaman terutama pada

masa pembibitan sangatlah penting dilakukan. Pemberian pupuk organik yang ramah

lingkungan, selain dapat menambah ketahanan tanaman terhadap serangan penyakit

juga dapat mengurangi residu bahan kimia yang dapat terakumulasi jika

pemberiannya dilakukan secara terus menerus apabila menggunakan pupuk kimia

ataupun pengendalian penyakit secara kimiawi. Hal ini sesuai dengan literatur dari

Sutanto (2002) yang menyatakan bahwa teknologi pertanian yang tergantung pada

bahan kimia berdasarkan pertimbangan fisik dan ekonomi dianggap berhasil

menanggulangi kerawanan pangan, tetapi ternyata harus dibayar mahal dengan

meningkatnya kerusakan yang terjadi dimuka bumi.

Perlakuan dosis pupuk organik 2 cc/ltr berbeda nyata dengan Kontrol tetapi

tidak berbeda nyata dengan dosis 4 cc/ltr. Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan

dosis yang diberikan tidak terlalu besar yaitu hanya berbeda 2 cc tiap perlakuan.

Akan tetapi pemberian pupuk organik cair terbukti efektif untuk mencegah timbulnya

(36)

ketahanan tanaman terhadap serangan OPT, yang juga sesuai dengan literatur

Musnamar (2003) yang menyatakan bahwa pemberian pupuk organik menjadikan

vigor akar dan batang tanaman lebih kokoh sehingga mengurangi serangan beberapa

OPT. Ini dapat dilihat dari observasi visual yang diperoleh pada tanaman yang diberi

pupuk organik cair. Tanaman menjadi lebih subur dan memiliki jumlah daun yang

lebih lebar dan banyak jika dibandingkan pada tanaman yang tidak diberikan pupuk

organik cair. Unsur C organik sebesar 4.6 % (Anonim 2005) yang terkandung dalam

pupuk tersebut mampu membantu pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik jika

dibandingkan tanpa pemberian pupuk.

Pengaruh Agensia Hayati (A) terhadap Intensitas Serangan Colletotrichum

gloeosporioides (%)

Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian agensia hayati yang

berbahan aktif Trichoderma berpengaruh nyata terhadap pencegahan penyakit

Antraknosa (C. gloeosporioides).

Tabel 2. Beda Uji Rataan Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides (%) pada perlakuan Agensia Hayati (A) untuk setiap waktu pengamatan (MST)

Intensitas Serangan (%)

Ket : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan Uji Jarak Duncan

Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa pada pengamatan 2 MST perlakuan Kontrol

(37)

dan dosis 1 mg/bibit (A2). Hal ini disebabkan karena pada perlakuan A1 dan A2

gejala serangan belum rata terjadi. Sedangkan pada minggu ketiga dan keempat

setelah tanam, perlakuan dengan dosis 0,5 mg/bibit tidak berbeda nyata dengan

Kontrol tetapi berbeda nyata dengan dosis 1 mg/bibit. Hal ini dapat disebabkan

karena dosis yang diberikan untuk dosis 0,5 gr/bibit terlalu kecil sehingga tidak

begitu mampu untuk mencegah timbulnya penyakit. Sementara pada perlakuan dosis

1 mg/bibit minggu ketiga, keempat dan kelima terlihat perbedan yang nyata.

Dari tabel tersebut juga diperoleh persentase intensitas serangan tertinggi

terdapat pada minggu kelima perlakuan Kontrol yaitu sebesar 5,96 % dan terendah

pada perlakuan dengan dosis 1 mg/bibit yaitu 1,78 %. Hal ini disebabkan karena

agensia hayati pada perlakuan tersebut terbukti efektif dalam aktifitasnya yang

antagonis terhadap kehidupan patogen. Agensia hayati yang digunakan mangandung

bahan aktif Trichoderma yang mampu menjadi pengendali biologis terhadap

penyakit. Dengan adanya pemberian agensia hayati, maka tanaman menjadi lebih

tahan terhadap serangan penyakit jika dibandingkan tanpa pemberian agensia. Hal ini

sesuai dengan literatur Abadi (2003) yang berisi bahwa mikroba antagonis

aktivitasnya berdampak negatif terhadap kehidupan patogen. Dengan pemberian

agensia tersebut, maka tanaman mampu berkembang lebih baik lagi karena penyakit

tidak mampu menginfeksi tanaman sehingga pertumbuhannya juga lebih optimal.

Pengaruh Interaksi Pupuk Organik Cair (P) dan Agensia Hayati (A) terhadap Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides (%)

(38)

telah dilakukan, diketahui bahwa interaksi pupuk organik cair dan agensia hayati

memberikan pengaruh yang nyata pada beberapa waktu pengamatan. Berikut adalah

histogram interaksi pupuk organik cair dan agensia hayati terhadap Intensitas

Serangan C. gloeosporioides.

P0A0 P0A1 P0A2 P1A0 P1A1 P1A2 P2A0 P2A1 P2A2

Gbr. 3 Histogram Interaksi Pupuk Organik Cair (P) dan Agensia Hayati (A) terhadap Intensitas Serangan C. gloeosporioides (%) pada setiap waktu pengamatan (MST)

(39)

Ket : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan Uji Jarak Duncan

Dari tabel dan histogram diatas dapat dilihat bahwa pada pengamatan 2 MST

perlakuan P0A0 (kontrol) tampak menunjukkan gejala serangan 0,70 % sedangkan

pada perlakuan lainnya diketahui 0 % gejala serangan. Hal ini disebabkan karena

pada pengamatan 2 MST C. gloeosporioides belum merata menginfeksi seluruh

tanaman (sampel). Diketahui dari tabel 3 bahwa interaksi pupuk organik cair dan

agensia hayati memberikan pengaruh yang nyata pada beberapa waktu pengamatan.

Dari data rataan intensitas serangan C. gloeosporioides pada semua

perlakuan diatas, diperoleh intensitas serangan tertinggi terdapat pada Kontrol sebesar

8,91 % dan terendah pada perlakuan P2A2 sebesar 0,15 %. Sedangkan jika

dibandingkan tanpa perlakuan Kontrol, maka persentase intensitas serangan tertinggi

terdapat pada perlakuan agensia hayati 0,0005 gr/bibit yaitu sebesar 5,61 %. Dari

uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian pupuk organik cair dan agensia

hayati cukup berpengaruh pada perkembangan penyakit C. gloeosporioides pada

pembibitan tanaman kakao. Pemberian pupuk organik cair dan agensia hayati dapat

menambah ketahanan tanaman terhadap penyakit. Selain itu juga dapat menambah

kesuburan tanaman karena dapat menambah unsur hara bagi tanaman. Hal ini sesuai

dengan literatur Abadi (2003), selain penggunaan organisme antagonis, penggunaan

bahan organik yang diberikan pada tanah dapat menurunkan keparahan penyakit. Hal

ini dimungkinkan karena bahan organik dapat membawa berbagai macam organisme

(40)

banyak. Selain itu, bahan organik dapat meningkatkan ketahanan tanaman karena

tanaman akan tumbuh lebih baik pada tanah yang kaya akan bahan organik. Selain itu

pada pupuk organik cair terdapat unsur Kalium yang diketahui dapat menambah

ketahanan tanaman dalam menghadapi kekeringan dan penyakit. Hal ini dapat dilihat

pada efektifitasnya pemberian pupuk tersebut dalam meningkatkan ketahanan

tanaman terhadap penyakit antraknosa yang menyerang bibit kakao. Tanaman kakao

tampak lebih subur jika dibandingkan tanpa pemberian pupuk organik cair dan

(41)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pemberian pupuk organik cair (P) pada pembibitan tanaman kakao berpengaruh

nyata terhadap intensitas serangan C. gloeosporioides yang terlihat pada

pengamatan 5 MST intensitas serangan tertinggi pada Kontrol (P0) yaitu 8,81 %

dan terendah pada perlakuan P2 (4 cc/ltr) yaitu 0,55 %.

2. Pemberian agensia hayati (A) pada pembibitan tanaman kakao berpengaruh nyata

terhadap intensitas serangan C. gloeosporioides yang terlihat pada pengamatan 5

MST dengan intensitas serangan tertinggi pada Kontrol (A0) 5,96 % dan terendah

pada perlakuan 1 mg/bibit (A2) yaitu 1,78 %.

3. Pemberian pupuk organik cair dan agensia hayati pada pembibitan tanaman kakao

berpengaruh nyata terhadap intensitas serangan C. gloeosporioides dimana

persentase intensitas serangan tertinggi pada Kontrol yaitu 8,91 % dan terendah

pada perlakuan interaksi pupuk organik 4 cc/ltr (P2) dengan agensia hayati 1

mg/bibit (A2) sebesar 0,15 %.

4. Dosis pemberian agensia hayati yang tepat untuk mencegah intensitas serangan C.

gloeosporioides adalah 1 mg/bibit.

5. Efektifitas perlakuan pupuk organik cair dengan dosis 2 cc/ltr sama dengan

perlakuan dosis 4 cc/ltr.

(42)

Perlu dilakukan pengujian pemberian dosis pupuk organik cair yang lebih

tinggi untuk mengetahui pencegahan yang efektif terhadap serangan penyakit

(43)

DAFTAR PUSTAKA

Abadi, A.L., 2003. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Bayumedia Publishing. Malang. Hal : 68-71.

Alexopoulus,C.J. and C.W.Mims. 1979. Introductory Mycology. Jhon Willey and Sons. New York. Page : 569.

Anonim, 1995. Pedoman Perlindungan pada Masa Pra Tanam Kakao Terhadap Gangguan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Dep. Pertanian. Dirjen Perkebunan. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. Jakarta. Hal : 1 - 2, 9 - 10,19.

________, 2004. Panduan Lengkap Budidaya Kakao. Agromedia Pustaka. Jakarta. Hal : 12.

________, 2005. Pupuk Organik Cair dan Agensia Hayati. Warta Natural Nusantara. 08 Januari 2005.

Barnett, H.L. 1960. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Burgess Publishing Company. Morgantown West Virginia. Page : 195.

Bangun, M.K. 1980. Perancangan Percobaan Untuk Analisis Data. FP USU.

Medan. Hal : 91.

Mehrotra, R.S. 1983. Plant pathology. Tata MacGraw Hill. Publishing Company

Limited. New Delhi. Page : 157.

Musnamar, E.I. 2003. Pupuk Organik Padat : Pembuatan dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal : 42.

Semangun, H., 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. UGM Press. Yogyakarta.Hal : 98 – 103.

(44)

Singh, R.S. 1998. Plant Diseases. Seventh Edition. Oxford and IBH Publishing Co.Limited. New Delhi. Page : 653.

Siregar, T.H.S, Riyadi, S. dan L.Nuraeni. 2006. Pembudidayaan, Pengolahan dan Pemasaran Coklat. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal : 8,33, 21-22.

Siswoputranto, P.S. 1978. Perkebunan Teh, Kopi dan Kakao Internasional. Gramedia. Jakarta. Hal : 10.

Soepena, H. 1995. Colletotrichum gloeosporioides dan Colletotrichum acutatum sebagai Penyebab Penyakit Gugur Daun pada Tanaman. Warta Puslitbun Karet Sungei putih. Hal : 10 – 13.

Spilane, J.J. 1995. Komoditi Kakao : Peranannya dalam Perekonomian Indonesia. Kanisius. Yogyakarta. Hal : 23.

Susanto, F.X. 1994. Tanaman Kakao : Budidaya dan Pengolahan Hasil. Kanisius. Yogyakarta. Hal : 20, 34 – 69.

Sutanto, R., 2002. Pertanian Organik, Kanisius, Yogyakarta. Hlm : 23.

Supeno, B. 1999. Uji Patogenisitas Jamur Trichoderma harzianum yang Digunakan sebagai Agen Pengendalian Hayati. Prosiding : Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Universitas Jenderal Sudirman. Purwokerto, 2000. Hal : 477.

Weber, G.F. 1973. Bacterial and Fungal Diseases of Plant in The Tropics. University of Florida Press. Gainessville. Page : 468.

Yulianti, T. dan Nidar, I. 1999. Pertanian Organik dan Penyakit Tanaman, Prosiding : Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Universitas Jenderal Sudirman. Purwokerto, 2000. Hal : 592.

(45)

Lampiran 1.

2. Tanaman Sampel (tiap perlakuan)

(46)

Keterangan :

(47)

Lampiran 6. Foto Lahan Penelitian

(48)

Lampiran 7. Foto Bibit Tanaman Kakao yang terserang Antraknosa

(49)
(50)

Gambar

Gambar 1.  Colletotrichum gloeosporioides
Tabel 1. Beda Uji Rataan Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides               pada perlakuan Pupuk Organik Cair (P) untuk setiap waktu pengamatan  (%)
Tabel 2. Beda Uji Rataan Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides (%) pada perlakuan Agensia Hayati (A) untuk setiap waktu pengamatan (MST)
Tabel 3. Beda Uji Rataan Intensitas Serangan Colletotrichum gloeosporioides (%) pada Interaksi Pupuk Organik Cair (P) dan Agensia Hayati (A) untuk setiap waktu pengamatan (MST)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian perhitungan portofolio menggunakan metode Markowitz dengan bantuan GUI Matlab pada saham LQ45, penulis mengusulkan saran guna

Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk menyelesaikan studi jenjang strata satu (S1) pada Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Segi sosial, anak yang pandai dalam kelompok tersebut dapat membantu anak yang kurang pandai dalam menyelesaikan tugas (Usman, 2002). Penggunaan strategi pembelajaran

Akan tetapi indikator tersebut relevan dijadikan sebagai ukuran dasar pengelolaan hutan lestari untuk aspek produksi karena indikator tersebut merupakan

Pemakaian bahan bakar dapat dihemat, jika motor induk kapal direnovasi dengan menggunakan propeller yang dapat dioperasionalkan pada load engine yang berada pada torsi maksimum

Dalam bentuk eufemisme bahasa batak Toba dengan bahasa Pakpak dapat kita lihat pada tindak tutur deklaratif merupakan tuturan yang cenderung mendeklarasikan atau mengumumkan

H7: User Experience berpengaruh signifikan secara simultan terhadap customer satisfaction pada pengguna pengguna aplikasi iflix.. Metodologi Penelitian 3.1 Populasi

Penelitian tentang hubungan fear of failure dengan persepsi mahasiswa terhadap harapan orang tua telah dilakukan oleh Hidayah (2012) hasil penelitiannya