UJI RESISTENSI KLON IRR SERI 400 TERHADAP PENYAKIT GUGUR
DAUN Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc PADA TANAMAN
KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg.) DI LABORATORIUM
S K R I P S I
OLEH
ELIANA PERANGIN-ANGIN
DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
UJI RESISTENSI KLON IRR SERI 400 TERHADAP PENYAKIT GUGUR
DAUN Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc PADA TANAMAN
KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg.) DI LABORATORIUM
S K R I P S I
OLEH :
ELIANA PERANGIN-ANGIN
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Menempuh Ujian Sarjana
di Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, Medan
DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Skripsi : UJI RESISTENSI KLON IRR SERI 400 TERHADAP
PENYAKIT GUGUR DAUN Colletotrichum
gloeoesporioides (Penz.) Sacc PADA TANAMAN KARET
(Hevea brasiliensis Muell Arg.) Di LABORATORIUM.
Nama : Eliana Perangin-angin
NIM
: 0
3
0
3
020
3
5
Departemen : Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan
Disetujui oleh:
Komisi Pembimbing:
(Ir.Lahmuddin Lubis, MP)
Ketua
(Ir.Kasmal Aripin, MSi) (Dra.Sekar Woelan, MP)
Anggota Pembimbing Lapangan
Mengetahui:
(Ir. Marheni, MP)
Ketua Departemen
ABSTRACT
Eliana Perangin-Angin "
Uji Resistensi Klon IRR Seri 400 Terhadap
Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeoesporioides (Penz). Sacc Pada
Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) di Laboratorium
". With the
conselling Mr. Ir. Lahmuddin Lubis, MP as leader, Mr. Ir. Kasmal Aripin, MSi as
couthor and Mrs. Dra. Sekar Woelan, MP as counselling field.
The research was conducted in Laboratory Plant Protection Sungei Putih
Rubber Research Center since August 2007 to October 2007.
The aims of the research was to know level of resitance of rubber IRR
400 clones to fall of leaf
C. gloeoesporioides
disease.
The research used the desigen Complete Random Device (CRD) non
factorial with 29 treatmens (25 clones treatment of IRR 400 series and 4 control
clone) and 3 mutliplication. The rubber IRR 400 series were used is IRR 400,
IRR 401, IRR 402, IRR 403, IRR 404, IRR 405, IRR 406, IRR 407, IRR 408, IRR
409, IRR 410, IRR 411, IRR 412, IRR 413, IRR 414, IRR 415, IRR 416, IRR
417, IRR 418, IRR 419, IRR 420, IRR 421, IRR 422, IRR 423, IRR 424 and BPM
1, BPM 24, RRIC 100, and PB260 is control clones.
The result of research Mean showed that the IRR 400 series and 4 control
clones were resistence which do not varieted to
C. gloeoesporioides.
Klon BPM 1
was rather resistence. IRR 400, IRR 401, IRR 402, IRR 403, IRR 404, IRR 405,
IRR 406, IRR 407, IRR 408, IRR 409, IRR 410, IRR 411, IRR 412, IRR 413, IRR
414, IRR 415, IRR 416, IRR 417, IRR 418, IRR 419, IRR 420, IRR 421, IRR
422, IRR 423, IRR 424, BPM 24, RRIC 100 and PB 260 was moderate
The result of research mean showed that growth fast pock-market
(mm/day) highest found is clone IRR 420 and growth fast pock-market (mm/day)
lower found is IRR 423.
ABSTRAK
Eliana Perangin-angin ”
Uji Resistensi Klon IRR Seri 400 Terhadap
Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeoesporioides (Penz). Sacc Pada
Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) di Laboratorium
”
.
Dengan
komisi pembimbing Bapak Ir. Lahmuddin Lubis, MP selaku ketua,
Bapak Ir. Kasmal Aripin, MSi selaku anggota dan Ibu Dra. Sekar woelan, MP
selaku pembimbing lapangan.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Proteksi Tanaman Balai
Penelitian Sungei Putih dari bulan Agustus sampai Oktober 2007.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat resitensi klon karet
IRR seri 400 terhadap penyakit gugur daun
C. gloeoesporioides.
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial
dengan 29 perlakuan (25 perlakuan klon IRR seri 400 dan 4 klon pembanding)
dan 3 ulangan. Klon IRR seri 400 yang digunakan dalam penelitian adalah IRR
400, IRR 401, IRR 402, IRR 403, IRR 404, IRR 405, IRR 406, IRR 407, IRR
408, IRR 409, IRR 410, IRR 411, IRR 412, IRR 413, IRR 414, IRR 415, IRR
416, IRR 417, IRR 418, IRR 419, IRR 420, IRR 421, IRR 422, IRR 423, IRR 424
dan klon pembanding yang digunakan adalah BPM 1, BPM 24, RRIC 100 dan
PB260.
Hasil rata-rata penelitian menunjukkan bahwa klon IRR seri 400 dan 4
klon pemanding yang di uji menunjukkan tingkat resistensi yang tidak bervariasi
terhadap
C. gloeoesporioides.
Klon
BPM 1 adalah klon yang tergolong agak
tahan. Klon IRR 400, IRR 401, IRR 402, IRR 403, IRR 404, IRR 405, IRR 406,
IRR 407, IRR 408, IRR 409, IRR 410, IRR 411, IRR 412, IRR 413, IRR 414,
IRR 415, IRR 416, IRR 417, IRR 418, IRR 419, IRR 420, IRR 421, IRR 422,
IRR 423, IRR 424, BPM 24, RRIC 100 dan PB 260 adalah klon yag tergolong
moderat
Hasil rata-rata penelitian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan bercak
(mm/hari) tertinggi pada perlakuan IRR 420 dan laju pertumbuhan bercak
(mm/hari) terendah terdapat pada perlakuan IRR 423.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan
rahmad-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.
Adapun judul Skipsi ini adalah
Uji Resistensi Klon IRR Seri 400
Terhadap Penyakit Gugur Daun (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc
pada Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) di Laboratorium
yang
merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana di
Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas
Sumatera utara, Medan.
Penulis
mengucapakan
terima
kasih
kepada
Bapak
Ir.
Lahmuddin
Lubis,
MP.
selaku
ketua
komisi
pembimbing,
Bapak Ir. Kasmal Aripin Msi. selaku anggota, dan Ibu Dra. Sekar Woelan, MP.
selaku pembimbing lapangan, serta kepada seluruh staf pengajar Departemen
Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara,
Medan.
Penulis juga mengucapkan termakasih kepada semua pihak yang
membantu sampai selesainya Skripsi ini. Penulis mengharapkan kritik dan saran
yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan Skripsi ini dan semoga
bermamfaat bagi pembaca.
Medan,
Maret
2008
DAFTAR ISI
Hal
ABSTRACT ………....………...
i
ABSTRAK ………. ………
ii
KATA PENGANTAR……… ………... iii
DAFTAR ISI ………. iv
DAFTAR TABEL ……… vi
DAFTAR GAMBAR ……… vii
DAFTAR LAMPIRAN ……… viii
PENDAHULUAN
Latar
Belakang………..
1
Tujuan
Penelitian………..
4
Hipotesa
Penelitian………...
5
Kegunaan
Penelitian……….
5
TINJAUAN PUSTAKA
Biologi
Penyakit………...
6
Gejala
Serangan………
8
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyakit………...
10
Daur Hidup Penyakit………
12
Pengendalian
Penyakit……….
12
Karateristik
Klon
……….
13
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian……….
15
Bahan dan Alat………...
15
Metode Penelitian ………..
16
Pelaksanaan
Penelitian………....
17
Persiapan Bahan Inokulasi... 17
Inokulasi pada Cakram Daun (Leaf disc)... 20
Parameter
Pengamatan………....
20
Pengamatan warna koloni dan morfologi... 21
Intensitas serangan pada cakram daun... 21
Laju Pertumbuhan Bercak... 22
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil ...
24
Morfologi dan Warna Koloni Jamur ...
24
Intensitas Serangan (%) ...
24
Laju Pertumbuhan Bercak (%)...
25
Pembahasan...
29
Morfologi dan Warna Koloni Jamur ...
29
Intensitas Serangan (%) ...
29
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ...
38
Saran...
38
DAFTAR TABEL
No.
Judul
Hlm
1.
Klasifikasi Penilaian Intensitas Serangan (%)
C. gloeosporioides
…… 21
2.
Uji Beda Rataan Intensitas Serangan (%)
C. gloeosporioides
untuk
Setiap Waktu Pengamatan (hsi) ……….………. 34
3.
Uji Beda Rataan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari)
C. gloeosporioides
DAFTAR GAMBAR
No.
Judul
Hlm
1.
Gejala Serangan
C. gloeosporioides
... 10
2.
Heamacytometer ... 18
3.
Biakan Murni Jamur
C. Gloeosporioides
... 23
4.
Spora
C. gloeosporioides
... 24
5.
Histogram Intensitas Serangan (%)
C. gloeosporioides
………
.
…… 35
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Judul
Hlm
1.
Bagan Penelitian………….………41
2.
Nilai SkalaBercak……… ……….42
3.
Data Pengamatan Intensitas Serangan (%)
C. gloeosporioides
pada
Pengamatan 2 hsi...43
4.
Data Pengamatan Intensitas Serangan (%)
C. gloeosporioides
pada
Pengamatan 2 hsi Setelah Di Transformasi
Arc . Sin
√
x...44
5.
Data Pengamatan Intensitas Serangan (%)
C. gloeosporioides
pada
Pengamatan 3 hsi...45
6.
Data Pengamatan Intensitas Serangan (%)
C. gloeosporioides
pada
Pengamatan 3 hsi Setelah Di Transformasi Arc . Sin
√
x...46
7.
Data Pengamatan Intensitas Serangan (%)
C. gloeosporioides
pada
Pengamatan 4 hsi...47
8.
Data Pengamatan Intensitas Serangan (%)
C. gloeosporioides
pada
Pengamatan 4 hsi Setelah Di Transformasi Arc . Sin
√
x...48
9.
Data Pengamatan Intensitas Serangan (%)
C. gloeosporioides
pada
Pengamatan 5 hsi...49
10.
Data Pengamatan Intensitas Serangan (%)
C. gloeosporioides
pada
Pengamatan 5 hsi Setelah Di Transformasi Arc . Sin
√
x...50
11.
Data Pengamatan Intensitas Serangan (%)
C. gloeosporioides
pada
Pengamatan 6 hsi...51
12.
Data Pengamatan Intensitas Serangan (%)
C. gloeosporioides
pada
Pengamatan 6 hsi Setelah Di Transformasi Arc . Sin
√
x...52
13.
Data Pengamatan Intensitas Serangan (%)
C. gloeosporioides
pada
Pengamatan 7 hsi...53
14.
Data Pengamatan Intensitas Serangan (%)
C. gloeosporioides
pada
Pengamatan 7 hsi Setelah Di Transformasi Arc . Sin
√
x...54
15.
Data Pengamatan Intensitas Serangan (%)
C. gloeosporioides
pada
Pengamatan 8 hsi...55
16.
Data Pengamatan Intensitas Serangan (%)
C. gloeosporioides
pada
Pengamatan 8 hsi Setelah Di Transformasi Arc . Sin
√
x...56
17.
Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari)
C. Gloeosporioides
Pada Pengamatan 2 hsi...57
18.
Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari)
C. Gloeosporioides
pada Pengamatan 2 hsi Setelah
Di Transformasi
(
x
+
0
.
5
)
……...58
19.
Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak
(mm/hari)
C. Gloeosporioides
pada Pengamatan 3 hsi...59
20.
Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari)
C. gloeosporioides
pada Pengamatan 3 hsi Setelah Di Transformasi
(
x
+
0
.
5
)
…………60
21.
Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari)
C. Gloeosporioides
pada Pengamatan 4 hsi...61
C. Gloeosporioides
Pada Pengamatan 4 hsi Setelah Di Transformasi
(
x
+
0
.
5
)
………...62
23.
Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari)
C. gloeosporioides
Pada Pengamatan 5 hsi...63
24.
Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari)
C. Gloeosporioides
pada Pengamatan 5 hsi Setelah Di Transformasi
(
x
+
0
.
5
)
………...64
25.
Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari)
C. Gloeosporioides
pada Pengamatan 6 hsi...65
26.
Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari)
C. gloeosporioides
pada Pengamatan 6 hsi Setelah Di Transformasi
(
x
+
0
.
5
)
………...…66
27.
Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari)
C. gloeosporioides
pada Pengamatan 7 hsi...67
28.
Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari)
C. gloeosporioides
pada Pengamatan 7 hsi Setelah Di Transformasi
(
x
+
0
.
5
)
…………..68
29.
Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari)
C. gloeosporioides
pada Pengamatan 8 hsi...69
30.
Data Pengamatan Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari)
C. Gloeosporioides
pada Pengamatan 8 hsi Setelah Di Transformasi
(
x
+
0
.
5
)
…………...70
31.
Foto daun klon IRR seri 400 dan klon pembanding...71
32.
Cakram daun……….……….72
33.
Lokasi pengambilan sampel daun klon IRR seri 400 di lahan
Sungei Putih...73
PENDAHULUAN
Latar belakang
Usaha perkebunan karet dimulai di daerah-daerah jajahan negara Eropa
terutama oleh Inggris dan Belanda. Pada tahun 1876 Henry Wickhnam
memasukkan biji karet yang berasal dari Amerika Selatan ke kebun Raya Bogor,
kemudian terbukti bahwa pertumbuhan karet di Bogor sangat memuaskan, oleh
karena itu kemudian disusul pemasukan bibit-bibit karet berikutnya yaitu pada
tahun 1890 dari Kew Garden ke Bogor (Setyamidjaja, 1995).
Karet merupakan salah satu komoditas pertanian yang mempunyai peranan
penting bagi Indonesia maupun negara-negara produsen karet lainnya. Di
Indonesia karet merupakan salah satu hasil pertanian yang banyak menunjang
perekonomian rakyat maupun negara. Hasil devisa yang diperoleh dari karet
cukup besar, bahkan Indonesia pernah menguasai produksi karet dunia
(Anonim
b, 2007).
Mobilitas manusia dan barang memerlukan komponen yang terbuat dari
karet, misalnya ban mobil, converyor belt, komponen otomotif, sepatu, sandal,
dan lain-lain. Itu pula yang mendorong naiknya permintaan akan karet alam
maupun karet sintetis, naiknya permintaan membuat ekspor karet alam dan barang
karet Indonesia pada Januari-Agustus 2006 mencatat rekor fantasis 3.75 miliar
dolar. Pada priode yang sama tahun 2005 nilai ekspor karet masih 2.173 miliar
dolar. Pada priode yang sama tahun 2006 ekspor karet alam Indonesia mencapai 4
miliar dollar. Ini artinya kinerja ekspor karet mulai mengejar crude palm oil
Produksi karet nasional meningkat seiring dengan membaiknya harga pada
tahun 2004. Pada tahun 2003 produksi karet 1.79 ton, pada tahun 2004 Produksi
karet 2.06 ton, pada tahun 2005 produksi karet 2.13 juta ton (Anonim
c, 2007),
Menurut Ariyani (2006) produksi karet pada tahun 2007 diperkirakan mencapai
2.4 juta ton.
Dalam usaha meningkatkan pendapatan petani/perkebunan karet dan
meningkatkan ekspor non migas, pemerintah telah mengembangkan penanaman
karet dengan perluasan areal, peremajaan, rehabilitasi. Namun demikian
pengunaan klon sebagai bahan tanaman merupakan salah satu faktor yang sangat
penting bagi budidaya karet, terutama klon yang mempunyai ketahanan terhadap
penyakit (Azwar dkk., 1998).
Klon dalam budidaya karet merupakan bahan tanaman yang
dikembangkan dan dianjurkan antara lain untuk memperoleh hasil dan mutu yang
tinggi dan seragam. Di alam produktivitas karet sangat dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu genetik, lingkungan dan manajemen. Salah satu respon faktor genetik
terhadap lingkungan adalah sifat ketahanannya terhadap penyakit. Penyakit
tanaman karet merupakan kendala dominan di bandingkan dengan gangguan
lainnya. Di samping dapat menurunkan produksi karet, sering juga penyakit dapat
mengakibatkan gagalnya suatu program pengembangan tanaman karet.
Dalam tiga dasawarsa terakhir, pada semua negara penghasil karet, penyakit
gugur daun
C. gloeosporioides
dan
C
.
cassiicola
dikenal sebagai faktor
yang dapat menimbulkan kerugian yang besar dan bahkan berkelanjutan
Klon memiliki keunggulan dibandingkan dengan tanaman yang
dikembangkan melalui biji. Keungulan yang dimiliki oleh klon antara lain
tumbuhnya tanaman lebih seragam, umur produksinya lebih cepat dan produksi
lateks yang dihasilkan juga lebih banyak. Adapun klon juga memiliki kekurangan
seperti daya tahan masing-masing klon terhadap hama penyakit tidak sama
sehingga klon unggul yang diinginkan harus mempunyai sifat yang ideal yaitu
produksi lateks yang tinggi, resisten terhadap pengaruh hama, penyakit dan
pengaruh angin dan batang yang tumbuh lurus (Anonim
a, 1996).
Klon IRR Seri 400 merupakan klon unggul harapan turunan dari hasil
persilangan 1992, sebanyak 25 klon yang diseleksi untuk masuk ke pengujian plot
promosi. Untuk dapat di rekomendasikan sebagai klon unggul baru, diperlukan
suatu data informasi mengenai ketahanan penyakit, khususnya penyakit daun.
Karena itu diperlukan suatu pengujian ketahanan terhadap penyakit daun
(Woelan, 2006).
Penyakit gugur daun
Colletotrichum
atau gugur daun skunder menjadi
salah satu kendala utama bagi perkebunan karet seperti di propinsi Kalimantan
Barat dan dibeberapa daerah di Indonesia yang mempunyai iklim basah dengan
curah hujan tinggi dan merata sepanjang tahun. Penyakit tersebut disebabkan oleh
cendawan
Glomerella cingulata
atau sering dinamakan dengan nama fase
telemorf
C. gloeosporioides
. Penyakit tersebut merupakan penyakit penting pada
tanaman karet dan menjadi ancaman bagi kelangsungan budidaya karet di
Indonesia. Penurunan produksi yang ditimbulkan akibat penyakit tersebut
beberapa perkebunan di Jawa Barat, penurunan akibat penyakit tersebut
bervariasi antara 7 – 40 % (Suwarto dkk., 1995).
Penyakit
C
.
gloeosporioides
merupakan penyakit yang relatif baru pada
karet di Indonesia dan baru mendapat perhatian pada tahun 1970. Pada tahun
1989-1992 timbul epidemi penyakit gugur daun
C
.
gloeosporioides
di Kalimantan
terutama di Kalimantan Barat. Akibat serangan penyakit tersebut adalah tanaman
meranggas, banyak ranting dan dahannya yang mati. Terjadinya epidemi ini di
duga disebabkan karena penanaman klon unggul sebagai contoh GT 1 yang hasil
seleksi dari Jawa pada suatu wilayah sangat luas (Semangun, 2000).
Di Malaysia dan Sri Langka penyakit ini belum lama dikenal, di Jawa
Barat penyakit ini dapat menyebabkan kerugian 7 – 40% (Soepadmo, 1975).
Sedang di Sri Langka kerugian rata-rata hampir mendekati 12%. Penyakit daun
Colletotrichum
merupakan penyakit karet yang paling luas penyebarannya,
terdapat disemua negara penghasil karet alam. Penyakit ini dapat timbul pada
semua umur, dari mulai di pembibitan sampai ditanaman tua (Semangun, 2000).
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui tingkat resistensi klon karet IRR seri 400 terhadap
penyakit gugur daun
Colletotrichum gloeosporioides
(Penz.) Sacc. di
Hipotesa Penelitian
Diantara klon karet IRR seri 400 terdapat tingkat resistensi yang
berbeda-beda terhadap penyakit
Colletotrichum gloeosporioides
(Penz.) Sacc. di
laboratorium.
Kegunaan Penelitian
-
Sebagai bahan kelengkapan informasi bagi perkebunan karet untuk
mengetahui tingkat resistensi klon karet IRR seri 400 terhadap penyakit
gugur daun
Colletotrichum
gloeosporioides
(Penz.) Sacc.
-
Sebagai bahan penulisan skripsi untuk memenuhi persyaratan dalam
menempuh ujian sarjana pada Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
TINJAUAN LITERATUR
Biologi penyakit
Klasifikasi penyakit
C. gloeosporioides
(Penz.) Sacc menurut
Dwidjoseputro (1978) sebagai berikut:
Divisio
: Mycota
Sub divisi
: Eumycotyna
Kelas
:
Deuteromyces
Ordo
:
Melanconiales
Family
: Melanconiaceae
Genus
: Colletotrichum
Species :
Colletotrichum gloeosporioides
(Penz.) Sacc.
C. gloeosporioides
umumnya mempunyai konidium hialin berbentuk
silinder dengan ujung-ujung tumpul, kadang-kadang berbentuk agak jorong
dengan ujung agak membulat dengan pangkal yang agak sempit terpancung, tidak
bersekat, berinti satu, panjang 9 – 24 x 3 - 6
m, terbentuk pada konidiofor seperti
fialid berbentuk silinder, hialin berwarna agak kecoklatan (Semangun, 2000).
Ordo dari kelas Deutromyces ini mempunyai konidiofor yang pendek dan
beregresi (berkumpul) pada permukaan yang tipis dari perenkhimoid dan stroma
(satu aservulus). Konidia dibentuk dalam aservulus (Djas, 1980).
Konidia terbentuk tunggal pada ujung-ujung konidiofor, konidiofor
pendek, tidak berwarna, tidak bercabang, tidak bersekat. Sering diemukan pada
aservuli dari jamur C
olletotrichum
, tetapi tidak tetap tergantung kondisi tempat
Aservuli tersusun di bawah epidermis tumbuhan inang. Epidermis pecah
apabila konidia telah dewasa. Konidia keluar sebagai percikan berwarna putih,
kuning, jingga, hitam atau warna lain sesuai pigmen yang dikandung konidia.
Diantara Ordo Melanconiales yang konidianya cerah (hialin) adalah
Gloeosporium
dan
Colletotrichum
, keduanya mempunyai konidia yang
memanjang dengan penyempitan di bagian tengah (Dwidjoseputro, 1978).
C
. g
loeoeosporioides
termasuk parasit fakultatif, termasuk ke dalam ordo
Melanconiales, jamur ini memproduksi hialin, konidia bersel satu, berbentuk oval
memanjang, bergaris ramping, panjang 10-15 m dan lebar 5-7 m. Massa spora
berwarna merah jambu atau warna salmon. Aservuli dapat menyerang kulit dan
jaringan tanaman, konidiofornya tegak, pendek dan tidak bersekat
(Anonim
d, 2007).
Koloni jamur pada medium Agar Dexstroe kentang berwarna kelabu
sampai merah jingga. Miselium bersekat dan konidia berbentuk lonjong, bening
dan terdiri dari satu atau dua sel (Pawirosoemardjo dkk.., 1998).
Terdapat keragaman (variabilitas) genetik dalam satu species patogen
yaitu terdapat perbedaan ras-ras patogen, yang serangannya terbatas pada varietas
tertentu dari satu species inang. Dalam satu species patogen, terdapat ras-ras
fisiologis patogen yang secara morfologis tidak dapat dibedakan, tetapi berbeda
kemampuannya dalam menginfeksi kelompok-kelompok varietas inang yang
berbeda, hal ini membantu menjelaskan mengapa varietas yang tahan pada suatu
daerah geografis tertentu menjadi rentan pada daerah geografis lain, mengapa
tiba-tiba menjadi rentan, hal ini berhubungan dengan ras fisiologis yang berbeda-beda
(Agrios, 1996).
Patogen menyebabkan penyakit pada tumbuhan dengan cara melemahkan
inang dengan cara menyerap makanan secara terus menerus dari sel inang untuk
kebutuhannya, menghentikan atau mengganggu metabolisme sel inang dengan
toxin, enzim atau zat pengatur tumbuh yang disekresikannya, menghambat
transportasi makanan, hara mineral, dan air melalui jaringan pengangkut dan
mengkonsumsi kandungan sel inang setelah terjadi kontak (Agrios,1996).
Dalam kombinasi inang patogen, patogen (biasanya jamur) dapat
memproduksi toksin spesifik-inang yaitu toksin yang bertanggungjawab
terjadinya gejala, dan diduga bereaksi terhadap reseptor spesifik atau sisi sensitif
dalam sel inang. Hanya tanaman yang mempunyai reseptor sensitif atau sisi
sensitif semacam ini yang akan menjadi sakit. Spesies atau verietas tanaman yang
tidak mempunyai reseptor ini atau tidak mempunyai sisi sensitif semacam ini akan
tetap tahan terhadap toksin dan tidak akan terjadi gejala (Abadi, 2003).
Gejala Serangan Colletotrichum gloeosporioides.
Penyakit gugur daun
Colletotrichum
khususnya menyerang daun karet
muda yang baru terbentuk. Daun karet berumur kurang dari 20 hari merupakan
kondisi daun yang sangat peka terhadap
C. gloeosporioides
, karena itu
pembentukan daun baru setelah tanam mengugurkan daunnya secara alamiah yang
diikuti dengan musim penghujan berkepanjangan dapat menyebabkan daun muda
yang terbentuk menjadi gugur kembali, sehingga tanaman meranggas. Serangan
terhambat, masa matang sadap menjadi terhambat. Pada tanaman menghasilkan
(TM) serangan yang berat mengakibatkan penurunan produksi hingga mencapai
7– 40 % (Pawirosoemardjo dkk., 1998).
Daun-daun muda rentan selama lebih kurang 5 hari pada waktu kuncup
membuka (
bud break
) dan daun selama 10 hari, daun berkembang sampai
membuka penuh, warnanya berubah dari warna perunggu menjadi hijau pucat.
Pada waktu ini kutikula sudah terbentuk dan daun menjadi cukup tahan. Pada
daun yang lebih dewasa serangan
Colletotrichum
dapat menyebabkan tepi dan
ujung daun berkeriput, dan pada permukaan daun terdapat bercak-bercak bulat
berwarna coklat dengan tepi kuning, bergaris tengah 1 – 2 mm. Bila stadia umur
daun bertambah, bercak akan berlubang ditengahnya dan bercak tampak
menonjol dari permukan daun. Hal ini dapat digunakan sebagai salah satu
penanda yang penting adanya serangan penyakit
Colletotrichum
(Semangun, 2000).
Daun yang masih berwarna merah kecoklatan sangat rentan bila diserang
penyakit
C. gloeosporioides
. Serangan di tandai dengan bintik-bintik hitam,
bentuknya bergelombang atau tidak rata. Pada stadia daun yang lebih tua muncul
bercak coklat dengan warna coklat dan warna kuning disekelilingnya. Bercak
dapat berlubang dan permukaan tidak rata atau bercak bergabung yang
mengakibatkan cacat daun. Apabila serangan terjadi cukup berat, daun dapat
mengalami gugur atau ranting menjadi mati pucuk. Hal inilah yang dapat
Bercak daun
C. gloeosporioides
Gambar.1. Gejala Serangan
C. gloeosporioides
Sumber: Balai Penelitian Sungei Putih.
Klasifikasi
penilaian serangan penyakit
C. gloeosporioides
yaitu kategori
resisten 0-20 %, agak resisten 21-40%, moderat 41-60 %, agak rentan 61-80 %,
dan rentan 81-100 % (Pawirosoemardjo, 1999).
Faktor Mempengaruhi Penyakit
Dalam cuaca yang lembab massa spora menjadi lunak dan mudah tersebar
dengan perantara angin hingga ke jarak yang sangat jauh. Pada perkebunan karet
yang terletak di dataran tinggi atau yang mempunyai curah hujan tinggi akan
menderita serangan penyakit daun
C. gloeosporioides
yang lebih berat, hal ini
juga terlihat pada kebun-kebun yang mempunyai kelembaban tinggi yang di
sebabkan jarak tanam yang terlalu rapat, terletak di lembah, di rawa-rawa atau
daerah yang gulmanya tidak dikendalikan (Basuki, 1990).
Colletotrichum
adalah jamur yang bersifat kosmopolitan, sehingga dapat
menyebabkan timbulnya penyakit pada berbagai jenis tanaman termasuk tanaman
ultra violet dapat mengaktifkan spora-spora
Colletotrichum.
Perkecambahan spora
juga dapat terjadi pada kelembaban relatif 90% dengan suhu 15 – 35
û
C,
walaupun kelembaban relatif optimum untuk perkecambahan spora jamur ini
90 %. Spora
Colletotrichum
juga dapat bertahan pada suhu di atas 35
û
C, kondisi
ini yang mendukung perkembangan penyakit pada pertanaman karet di Sri
Langka, di luar musim hujan (Fernando
et all.
, 1999).
Pada
umumnya
C. gloeosporioides
umum terdapat di berbagai macam
tanaman sehingga diduga bahwa sumber infeksi selalu ada, jamur di sebarkan
dengan spora (konidium). Dalam cuaca yang lembab massa spora yang berwarna
merah jambu menjadi lunak dan mudah tersebar oleh percikan air hujan dan oleh
aliran udara yang lembab dan juga dapat disebarkan oleh hewan
(Semangun, 2000).
Kondisi tanaman yang kekurangan unsur hara, kurang pemeliharaan,
suhu udara 29 - 30
0C dan kelembaban udara yang tinggi lebih dari 95 %, serta
adanya air pada permukaan daun dan ranting, sangat memudahkan jamur ini untuk
dapat berkembang dengan cepat dan menginfeksi tumbuhan sehingga
menimbulkan penyakit yang kronis (Soekirman dan Budi, 2005).
Sumber infeksi jamur
C. gloeosporioides
tersebar merata dan
penyebarannya dalam bentuk spora (konidia). Pada kondisi lembab spora menjadi
lunak dan mudah penyebarannya oleh adanya tetesan air hujan dan aliran udara.
Penyebaran juga dapat di lakukan oleh hewan (Semangun, 2000).
Daur Penyakit
Konidium membentuk buluh kecambah yang membentuk apresorium pada
sel dan benang-benang jamur berkembang di dalam dan di antara sel-sel.
Mula-mula kloroplas rusak dan diikuti dengan rusaknya mitokondria, selama proses
infeksi patogen melepaskan enzim poligalakturonase, selulase, dan toksin
(Semangun, 2000).
Spora hanya dapat berkecambah bila ada air bebas, atau bila kelembaban
nisbi udara tidak kurang dari 95%. Infeksi tidak akan terjadi bila kelembaban
udara kurang dari 96%, spora tumbuh paling baik pada suhu 25
û
- 28
û
C
(Semangun, 2000).
Pengendalian Penyakit
Pengendalian penyakit
Colletotrichum
dapat dilakukan dengan cara:
- Memperbaiki saluran pembuangan air dan memberantas gulma secara intensif,
yang mempunyai tujuan untuk mengurangi kelembaban dalam rangka
menghambat perkembangan penyakit.
- Memberikan pupuk yang berimbang dan ekstra sesuai dengan anjuran, yang
mempunyai tujuan adalah menyehatkan tanaman sehingga tidak mudah
menderita ganguan jamur
Colletotrichum.
- Menyemprot atau mengasapi tunas-tunas muda dengan fungisida sebanyak tiga
kali dengan interval tujuh hari dalam periode pembentukan tunas, yang
mempunyai tujuannya untuk menekan laju perkembangan serangan penyakit
Colletotrichum
.
- Menanam klon yang resisten di daerah rawan penyakit gugur daun
Colletotrichum
, yang mempunyai tujuan untuk memangkas siklus penyakit .
Pada pembibitan tanaman karet diusahakan agar kelemaban nisbinya tidak
mencapai 95 %, di pembibitan tanaman okulasi dalam kantong plastik jangan
disusun terlalu rapat. Menanam klon karet yang tahan, menurut anjuran klon karet
yang tahan terhadap
Collotrichum
yaitu klon RRIC 100, BPM1. Klon yang rentan
terhadap penyakit ini diberi pupuk yang berimbang untuk mengurangi
pengguguran daun (Semangun, 2000).
Karakteristik Klon
Beberapa klon yang mempunyai ketahanan terhadap penyakit daun antara
lain : BPM 1, RRIC 100, BPM 24 dan PB 260. karakteristik dari masing-masing
klon akan di terangkan sebagai berikut:
Klon BPM 1 mempunyai ketahanan yang cukup baik terhadap penyakit
Corynespora
dan
Colletotrichum
sedangkan terhadap
Oidium
moderat. Potensi
produksi awal dapat mencapai rata-rata produksi aktual 1685 kg/ha/th selama 8
tahun penyadapan. Daerah pengembangan yang sesuai untuk klon PBM 1 yaitu
pada daerah beriklim sedang sampai dengan kering (Woelan dkk, 1999).
Klon RRIC 100 ketahanannya terhadap beberapa penyakit daun
(
Colletotrichum, Corynespora
dan
Oidium
) cukup baik. Potensi produksi awal
rendah dengan rata-rata produksi aktual 1567 kg/ha/th selama 8 tahun
penyadapan, lateks berwarna putih. Pengembangannya dapat dilakukan pada
daerah beriklim sedang sampai basah (Woelan dkk, 1999).
Klon BPM 24 merupakan hasil seleksi dari persilangan antara klon GT 1 x
klon AVROS. Ketahanan terhadap penyakit daun Corynespora cukup baik,
pengembangannya dapat di lakukan di daerah beriklim sedang. Lateks berwarna
putih kekuningan, dan dapat diolah menjadi SIR 3L (Woelan dkk, 1999).
Klon PB 260 tergolong tahan terhadap terhadap penyakit daun utama
(
Corynespora, Colletotrichum
dan
Oidium
), tetapi kurang tahan terhadap angin.
Potensi produksi awal cukup tinggi dengan rata-rata produksi aktual 2107 kg/ha/th
selama 9 tahun penyadapan, warna lateksnya putih kekuningan.
Pengembangannya dapat dilakukan pada daerah beriklim sedang sampai dengan
basah (Woelan dkk, 1999).
Klon IRR seri 400 merupakan hasil persilangan tahun 1992, dan dari hasil
seleksi yang terbaik sebanyak 10 % masuk ke dalam Pengujian pendahuluan dan
1% masuk ke dalam pengujian plot promosi. Dari hasil pengamatan pertumbuhan
di pengujian plot promosi, beberapa klon IRR seri 400 menunjukkan pertumbuhan
lebih baik dibandingkan klon pembanding BPM 24, RRIC 100, PB 217 dan
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Proteksi Tanaman Balai
Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet, kecamatan Galang, pada
ketinggian tempat
±
54 m di atas permukaan laut. Penelitian dilaksanakan pada
bulan September 2007 sampai dengan bulan Oktober 2007
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : isolat
Colletotrichum gloeosporioides
(Penz.) Sacc, Klon Karet IRR seri 400 yang
terdiri dari : IRR 400, IRR 401, IRR 402, IRR 403, IRR 404, IRR 405, IRR 406,
IRR 407, IRR 408, IRR 409, IRR 410, IRR 411, IRR 412, IRR 413, IRR 414, IRR
415, IRR 416, IRR 417, IRR 418, IRR 419, IRR 420, IRR 421, IRR 422, IRR
423, IRR 424, dan klon pembanding BPM 24, RRIC 100, BPM I, PB 260,
akuades steril, alkohol 96 %, klorox 0,1 %, kapas, kertas saring, kain muslin,
kertas label, PDA (Potato Dextrose Agar).
Alat yang digunakan adalah petridish, erlenmeyer, tabung reaksi, beker
glass, gelas ukur, autoclave, mikroskop, mikropipet, haemacytomer, kotak
inokulasi, cover glass, lampu bunsen, pinset, hot plate, jarum inokulasi, preparat,
centrifuge, pelubang gabus, waterbath dan alat-alat yang mendukung
Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan mengunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) non faktorial yang terdiri dari 29 perlakuan dengan 3 ulangan. sehingga di
dapat perlakuan 29 x 3 = 87 perlakuan (Lampiran 1).
Klon IRR seri 400 yang digunakan terdiri dari 29 perlakuan yaitu 25
perlakuan dan 4 faktor pembanding. Adapun klon IRR seri 400 yang digunakan
dalam penelitian yaitu:
K
1= IRR 400
K
11= IRR 411
K
21= IRR 421
K
2= IRR 401 `
K
12= IRR 412
K
22= IRR 422
K
3= IRR 402
K
13= IRR 413
K
23= IRR 423
K
4= IRR 404
K
14= IRR 414
K
24= IRR 424
K
5= IRR 405
K
15= IRR 415
K
25= BPM 24 *
K
6= IRR 406
K
16= IRR 416
K
26= RRIC 100 *
K
7= IRR 407
K
17= IRR 417
K
27= IRR 403
K
8= IRR 408
K
18= IRR 418
K
28= PB 260 *
K
9= IRR 409
K
19= IRR 419
K
29= BPM I *
K
10= IRR 410
K
20= IRR 420
Keterangan : * Klon Pembanding
Jumlah perlakuan (t) : 29
Jumlah ulangan (r) : 3
(t-1) (r-1)
≥
15
(29-1) (r-1)
≥
15
28r
≥
43
Metode linier yang digunakan adalah :
Yij = µ + i + ij
Dimana :
Yij
= Respon atau nilai pengamatan dari perlakuan ke i ulangan ke j
µ
= Nilai tengah umum.
i
= Pengaruh perlakuan ke i.
ij
= Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke i ulangan ke j.
Jika efek perlakun nyata atau sangat nyata, maka di lanjutkan dengan uji
Beda Nyata Terkecil (BNT) (Bangun, 1990).
Pelaksanaan Penelitian
Persiapan bahan inokulasi
Daun yang yang sakit diambil dari lapangan, dibiakkan dalam media PDA
sampai di peroleh biakan yang murni. Isolat
C. gloeoesporioides
(penz). Sacc
dimurnikan pada media PDA. Dari biakan murni, jamur kembali dibiakkan dalam
media PDA, lalu diinkubasikan dalam inkubator selama 3 x 24 jam pada suhu 28
ºC dan RH 89 %. Konidia yang terbentuk dirontokkan dengan cara : biakan murni
C. gloeosporioides
ditetesi dengan akuades steril secukupnya, kemudian dikikis
dengan mengunakan jarum ose, sehingga seluruh konidia yang terdapat pada
ujung konidiofor terlepas dan masuk ke dalam larutan. Campuran larutan ini
disaring dengan mengunakan kain muslin, sehingga potongan-potongan misellium
atau bagian-bagian yang kasar dari media akan tertinggal pada kain muslin,
sedangkan yang dapat lolos hanya filtrat selanjutnya disentrifuge untuk
steril sehingga mencapai kerapatan konidia sebanyak 7.10
4konidia/ml.
Konsentrasi ini dapat dihitung dengan mengunakan haemacytometer
Jumlah konidia
C. gloeosporioides
dihitung dengan menggunakan alat
[image:30.595.161.438.195.479.2]hitung Haemacytometer
Gambar 2. Haemacytometer
Kotak a,b, c, d dan e adalah kotak yang dihitung jumlah konidianya. Adapun
cara kerjanya sebagai berikut:
1.
Bersihkan permukaan kamar hitung dengan air mengalir dan kemudian
keringkan dengan tissue atau kain yang lembut.
2.
Tempatkan gelas penutup di atas slide, kemudian dijepit dengan penjepit
yang yang ada disebelah kanan-kiri.
3.
Siapkan suspensi sel yang dihitung, usahakan sel yang tersuspensi dalam
cairan menyebar merata.
4.
Ambil sedikit suspensi sel dengan dropping pipet dan teteskan sebanyak 2
mengisi seluruh ruangan yang ada pada bilik tersebut. Suspensi yang
berlebih akan terbuang ke dalam parit pembuangan.
5.
Biarkan selama 1 – 2 menit, agar sel yang ada di dalam bilik stabil.
6.
Tempatkan heamacytometer pada meja mikroskop dan hitung jumlah sel
yang ada dengan rumus sebagai berikut:
Jumlah sel/ml =
∑
(a + b + c + d + e) X 50000
Hasil perhitungan konidia Jamur
C. gloeosporioides
.
•
Isolat
C. gloeosporioides
a : 18 Konidia
b : 22 konidia
c : 24 Konidia
d : 17 Konidia
e : 21 Konidia
+
102 konidia
Jumlah Konidia =
∑
( a + b + c + d + e ) x 50000
= ( 18 + 22 + 24 + 17 + 21 ) x 50000
= 102 x 50000
= 5100000
= 5,1 . 10
6Maka untuk membuat kerapatan 7 . 10
4konidia ml/ air digunakan rumus
pengenceran sebagai berikut:
V
1N
1= V
2N
2V
2= 0.728. 10
4ml = 7280ml
Maka penembahan akuadest sebagai pengenceran untuk menghasilkan kerapatan
konidia 7.10
4ml/air adalah : 7280 – 100 = 7180 ml.
Inokulasi pada Cakram daun (leaf disc)
Daun yang akan di gunakan dalam pengujian diambil dari areal pengujian
plot promosi (lampiran 33). Daun yang diambil dari payung ke-3, umur
±
10 hari
setelah muncul dan membuka sempurna. Setiap daun dari klon IRR seri 400 yang
diuji dilubangi dengan alat pelubang gabus (
cork borer
) sehingga terbentuk
cakram daun dengan diameter 1,2 cm. kemudian cakram daun direndam dengan
suspensi
C.
goeosporioides
dengan kerapatan 7.10
4konidia/ ml selama 1-2 menit.
Selanjutnya cakram daun tersebut diletakkan ke dalam cawan petri yang
dilapaisai dengan kertas saring yang lembab. Pada setiap cawan petri diletakkan
10 cakram daun yang tersusun secara acak (lampiran 32).
Parameter Pengamatan
Pengamatan warna koloni dan morfologi jamur C. gloeosporioides
Biakan murni sebelum di Inokulasikan diamati warna koloni secara
visual dan morfologinya secara mikroskopis.
Intensitas serangan pada cakram daun (leaf disc).
Potongan cakram daun yang telah diinoukulasi dengan suspensi
C. gloeosporioides
diamati pada hari ke 1 - 9. pengamatan dilakukan dengan
membandingkan luas bercak yang timbul dengan luas cakram daun secara visual.
Nilai skala bercak daun ditetapkan 0-4 (Lampiran 2.)
Skala 1 = terdapat bercak < 1/4 bagian
Skala 2 = terdapat bercak < 1/2 bagian
Skala 3 = terdapat bercak > 1/2-3/4 bagian
Skala 4 = terdapat bercak > 3/4 bagian
(Pawirosoemardjo,1999)
Nilai Intensitas Serangan dinyatakan dengan rumus:
%
100
)
(
x
ZxN
nxv
IS
=
∑
Keterangan:
I = Intensitas serangan
n = Jumlah daun tiap kategori serangan
v = Nilai skala dari siap kategori serangan
Z = Nilai skala dari kategori tertinggi
N = Jumlah daun yang diamati
Klasifikasi
penilaian
intensitas serangan penyakit
C. gloeosporioides
di
[image:33.595.113.444.260.463.2]sajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi Penilaian Serangan Penyakit
C. gloeosporioides:
Klasifikasi Nilai
Resisten
Agak resisten
Moderat
Agak rentan
Rentan
0 - 20 %
21 - 40 %
41 - 60 %
61 - 80 %
81 - 100 %
Laju pertumbuhan bercak (mm/hari)
Menghitung laju pertumbuhan bercak (mm/hari) pada tiap pengamatan
dengan membandingkan laju pertumbuhan bercak pada waktu pengamatan dengan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Morfologi dan Warna Koloni Jamur C. gloeosporioides.
Warna koloni yang di peroleh sebelum di inokulasikan pada cakram daun
berwarna putih. Massa spora berwarna merah jambu atau berwarna salmon. Pada
media yang telah tua di tumbuhi miselium berwarna putih cerah, seperti yang
telah tersaji pada gambar 3a, 3b, 3c dan 3d.
Gambar 3a. Biakan jamur 2 hsi Gambar 3b. Biakan Jamur 9 hsi
Gambar 3c. Biakan jamur 16 hsi Gambar 3d. Biakan jamur 22 hsi
Sumber : Foto langsung
Hasil pengamatan morfologi jamur yang di amati secara mikroskopik,
konidium berbentuk silinder dengan ujung-ujung tumpul sampai meruncing,
kadang-kadang berbentuk agak jorong dengan ujung agak membulat dengan
pangkal yang agak sempit terpancung. Tidak bersekat, berinti satu, berbentuk
Konidia tidak berwarna dan transparan, seperti yang telah tersaji pada gambar
[image:36.595.249.411.145.260.2]4.
Gambar 4. Spora
C. gloeosporioides
Sumber : Foto langsung
Intensitas Serangan (%).
Data hasil pengamatan intensitas serangan pada 2-8 hari setelah inokulasi
(hsi), daftar analisis sidik ragamnya dapat dilihat pada Lampiran 3-8. Dari daftar
sidik ragam tersebut dapat dilihat bahwa intensitas serangan berpengaruh sangat
nyata pada pengamatan 2-7 hsi tetapi tidak nyata pada pengamatan 8 hsi, hal ini
dapat dilihat pada Tabel 2.
Pada pengamatan I (2 hsi) perlakuan IRR 406 berbeda sangat nyata
dengan perlakuan lain, IRR 409 dan IRR 410 berbeda sangat nyata dengan IRR
406 juga sangat berbeda nyata dengan perlakuan lain.
Pada pengamatan II (3 hsi) dapat dilihat bahwa perlakuan IRR 406 tidak
berbeda nyata dengan perlakuan IRR 423, IRR 409, tetapi berbeda nyata dengan
perlakuan IRR 407, IRR 412, IRR 404, IRR 410, IRR 420, IRR 415, IRR 417,
IRR 405, IRR 401, IRR 414, IRR 422, IRR 404, IRR 411, IRR 413, IRR 416,
IRR 400, IRR 403, IRR 408, IRR 418, IRR 419, IRR 421, IRR 424, RRIC 100,
IRR 404, IRR 411, IRR 413, IRR 416, IRR 400, IRR 408, IRR 418, IRR 419,
IRR 421, IRR 424, IRR 403, RRIC 100, BPM 24, PB 260 dan BPM 1.
Pada pengamatan III (4 his), perlakuan IRR 423 tidak berbeda nyata
dengan perlakun IRR 404, IRR 413, RRIC 100, IRR 400, IRR 406, IRR 412 dan
IRR 417, tetapi tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan. Perlakuan BPM 1
tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR 418, PB 260, tetapi berbeda nyata
dengan semua perlakuan.
Pada pengamatan ke IV (5 hsi) dapat dilihat bahwa perlakuan BPM 1
berbeda nyata dengan perlakuan lain. Perlakuan IRR 400 tidak berbeda nyata
dengan perlakuan IRR 404, IRR 413, IRR 417, IRR 419, IRR 423, IRR 408, IRR
409, IRR 422, IRR 405, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan IRR 406, IRR
407, IRR 412, IRR 403, IRR 410, IRR 420, IRR 411, IRR 402, IRR 416, IRR
415, IRR 421, IRR 424, IRR 401, IRR 414, RRIC 100, PB 260, BPM 24 dan
BPM 1. Perlakuan IRR 418 tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR 405, IRR
406, IRR 407, IRR 412, IRR 403, IRR 410, IRR 420, IRR 411, IRR 402, IRR
416, IRR 415, IRR 421, IRR 424, IRR 401, IRR 414, RRIC 100, PB 260.
Pada pengamatan ke V (6 hsi ). Perlakuan IRR 413 tidak berbeda nyata
dengan perlakuan IRR 400, IRR 417, IRR 419, IRR 404, IRR 408, IRR 405, IRR
403, IRR 412, IRR 422, IRR 423, PB 260, IRR 411, BPM 24, IRR 407, RRIC
100, IRR 409, dan IRR 410, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan IRR 410, IRR
420, IRR 401, IRR 402, IRR 406, IRR 421, IRR 418, IRR 424, IRR 414, 416,
IRR 415 dan BPM 1. Perlakuan IRR 415 tidak berbeda nyata dengan perlakuan
420, IRR 401, IRR 402, IRR 406, IRR 421, IRR 418, IRR 424, IRR 414, 416, dan
419, IRR 404, IRR 408, IRR 405, IRR 403, IRR 412, IRR 422, IRR 423, PB 260,
IRR 411, BPM 24, IRR 407, RRIC 100, IRR 409 dan IRR 410.
Pada pengamatan VI ( 7 hsi ), perlakuan IRR 415 berbeda sangat nyata
dengan perlakuan lainnya.
Intensitas serangan (%)
C. gloeosporioides
selama pengamatan 2-8
hsi dalam bentuk histogram untuk setiap klon dapat dilihat pada gambar 4. Pada
gambar histogram dapat dilihat bahwa rata-rata intensitas serangan tertinggi
terdapat pada 8 hsi dan terrendah pada 2 hsi.
Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari)
Data hasil pengamatan pertumbuhan bercak pada 2-8 hsi, daftar analisis
sidik ragamnya dapat dilihat pada lampiran 9-15. Dari daftar sidik tersebut dapat
dilihat bahwa kecepatan tumbuh bercak berpengaruh sangat nyata pada
pengamatan 2-7 hsi, tetapi tidak nyata pada pengamatan 8 hsi. Hal ini dapat dilihat
pada tabel 3.
Pada pengamatan I (2 hsi ) perlakuan IRR 406 berbeda sangat nyata
dengan perlakuan lainnya. Perlakuan IRR 409 berberda sangat nyata dengan
perlakuan lainnya. Perlakuan IRR 400 berbeda nyata dengan perlakuan IRR 406
dan IRR 409, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
Pada pengamatan II (3 hsi) perlakuan IRR 406 sangat berbeda nyata
dengan perlakuan lainnya. Perlakuan IRR 415 tidak berbeda nyata dengan
perlakuan IRR 423, IRR 409, IRR 402, IRR 407, IRR 405, IRR 412, IRR 422,
IRR 410, IRR 417, BPM 24 dan RRIC 100, tetapi tidak berbeda sangata nyata
dengan perlakuan IRR404, IRR 416, IRR 420, IRR 419, IRR 400, IRR 401, IRR
PB 260 dan BPM I. Perlakuan IRR 400, IRR 401, IRR 408, IRR 411, IRR 413,
IRR 414, IRR 418, IRR 421, IRR 424, IRR 403, BPM I tidak berbeda nyata
dengan perlakuan IRR 402, IRR 407, IRR 405, IRR 412, IRR 422, IRR 410, IRR
417, BPM 24 dan RRIC 100, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR
406, IRR 415, IRR 423, IRR 409.
Pada pengamatan III (4 hsi ), perlakuan IRR 400 berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya. Perlakuan IRR 423 tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR
404, IRR 412, IRR 413, IRR 407 dan IRR 417, tetapi berbeda nyata dengan
perlakuan IRR 417, BPM 24, RRIC 100, IRR 405, IRR 419, IRR 424, IRR 416,
IRR 422, IRR 421, IRR 409, IRR 415, IRR 406, IRR 414, IRR 402, IRR 401,
IRR 420, IRR 410, IRR 411, IRR 408, PB 260, IRR 403, IRR 418 dan BPM 1.
Perlakuan BPM 1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR 409, IRR 415, IRR
406, IRR 414, IRR 402, IRR 401, IRR 420, IRR 410, IRR 411, IRR 408, PB 260,
IRR 403, dan IRR 418, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan IRR 400, IRR 423
IRR 404, IRR 412, IRR 413, IRR 407 dan IRR 417, IRR 417, BPM 24, RRIC
100, IRR 405, IRR 419, IRR 424, IRR 416, IRR 422, IRR 421.
Pada pengamatan IV (5 hsi) perlakuan IRR 400, IRR 413 tidak berbeda
nyata dengan perlakuan IRR 417, IRR 419, IRR 403, IRR 408, IRR 410, IRR
411, IRR 424 dan PB 260, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan IRR 422, IRR
423, IRR 420, IRR 407, IRR 405, IRR 404, IRR 414, IRR 409, IRR 416, IRR
418, IRR 402, IRR 412, IRR 421, IRR 415, IRR 401, IRR 406, BPM 24, RRIC
100 dan BPM I. Perlakuan BPM I tidak berbeda nyata dengan perlakauan IRR
410, IRR 411, IRR 424, IRR 423, IRR 422, IRR 420, IRR 407, IRR 405, IRR
406, BPM 24 dan RRIC 100. tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR
400, IRR 413, IRR 417, IRR 419, IRR 403, IRR 408 dan PB 260.
Pada pengamatan V ( 6 hsi ), perlakuan IRR 404 tidak berbeda nyata
dengan perlakuan IRR 412, IRR 405, IRR 409, IRR 408, IRR 411, IRR 422, IRR
400, IRR 403, IRR 413, IRR 423, RRIC 100, IRR 417, BPM 24, IRR 419, IRR
410, PB 260, IRR 407, dan IRR 420, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan IRR
421, IRR 418, IRR 406, IRR 401, IRR 424, IRR 402, IRR 416, IRR 414, BPM 1
dan irr 415. Perlakuan IRR 415 tidak berbeda nyata dengan perlakuan IRR 420,
IRR 421, IRR 418, IRR 406, IRR 401, IRR 424, IRR 402, IRR 416, IRR 414, dan
BPM 1, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan IRR 404 IRR 412, IRR 405, IRR
409, IRR 408, IRR 411, IRR 422, IRR 400, IRR 403, IRR 413, IRR 423, RRIC
100, IRR 417, BPM 24, IRR 419, IRR 410, PB 260, dan IRR 407.
Pada pengamatan VI ( 7 hsi ), perlakuan BPM 1 tidak berbeda nyata
dengan perlakuan IRR 414, IRR 416, dan IRR 402, tetapi berbeda nyata dengan
perlakuan IRR 406, IRR 401, IRR 421, IRR 418, IRR 415, IRR 420, IRR 424,
IRR 407, RRIC 100, IRR 422, BPM 24, PB 260, IRR 419, IRR 403, IRR 412,
IRR 409, IRR 410, IRR 405, IRR 411, IRR 408, IRR 423, IRR 417, IRR 413,
IRR 404, dan IRR 400. Perlakuan IRR 400 tidak berbeda nyata dengan perlakuan
IRR 424, IRR 407, RRIC 100, IRR 422, BPM 24, PB 260, IRR 419, IRR 403,
IRR 412, IRR 409, IRR 410, IRR 405, IRR 411, IRR 408, IRR 423, IRR 417,
IRR 413 dan IRR 404, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan BPM 1, IRR 414,
IRR 416, dan IRR 402, IRR 406, IRR 401, IRR 421, IRR 418, IRR 415, IRR 420.
Laju Pertumbuhan bercak (mm/hari)
C. gloeosporioides
selama
gambar 3. dari gambar dapat dilihat rata-rata laju pertumbuhan bercak tercepat
pada perlakuan 6 hsi dan yang terlambat pada 2 hsi.
Pembahasan
Warna Koloni dan Morfologi Jamur C. gloeosporioides
Dari hasil dapat di lihat bahwa warna pada media yang telah tua di
tumbuhi miselium yang berwarna putih, warna koloni jamur ini cerah, hal ini
sesuai dengan literatur Dwidjoseputro (1978) yang menyatakan bahwa diantara
ordo melanconiales yang konidianya cerah adalah
Gloeosporium
dan
Colletotrichum
, dapat dilihat pada gambar 2a, 2b, 2c dan 2d.
Massa spora berwarna merah jambu atau warna salmon, hal ini sesuai
dengan literature Anonim (2007) yang menyatakan masa spora yang dihasilkan
jamur C.
gloeosporioides
berwarna merah jambu atau berwarna salmon.
Hasil pengamatan morfologi jamur secara mikroskipik, spora jamur C.
gloeosporioides berukuran sangat kecil dan banyak, sehingga pada waktu
pengamatan di bawah mikroskop bertumpuk-tumpuk dan di lapangan mudah
terbawa angin, hal ini sesuai dengan literatur Basuki (1990) yang menyatakan
dalam cuaca lembab massa spora menjadi lunak dan mudah tersebar dengan
perantaraan angin hingga kejarak yang sangat jauh.
Intensitas Serangan (%).
Pada pengamatan I (2 hsi) intensitas serangan tertinggi terdapat pada
perlakuan IRR 406 yaitu sebesar 15.00 %. Intensitas serangan tertinggi terdapat
pada perlakuan IRR 406 yaitu sebesar 15.00 %, sedangkan intensitas serangan
IRR 408, IRR 411 , IRR 412, IRR 413 , IRR 414, IRR 416, IRR 417, IRR 418,
IRR 419, IRR 420, IRR 421, IRR 422, IRR 423, IRR 424, RRIC 100, IRR 403,
PB 260 dan BPM I yaitu sebesar 0 %. Klon IRR 406 pada pengamatan I (2 hsi)
masih tergolong dalam kategori resisten Hal ini sesuai dengan hasil
Pawirosoemardjo (1999) yaitu nilai skala 0-20% tergolong dalam kategori
resisten.
Pada pengamatan II (3 hsi) dapat dilihat bahwa intensitas serangan
tertinggi terdapat pada perlakuan IRR 406 yaitu sebesar 23,33 % dan yang
terendah terdapat pada perlakuan IRR 400, IRR 408, IRR 418, IRR 419, IRR 421,
IRR 424, IRR 403, PB 260 dan BPM 1 yaitu sebesar 0 %. Klon IRR 406 pada
pengamatan II (3 hsi) masih tergolong dalam kategori agak resisten. Hal ini sesuai
dengan hasil Pawirosoemardjo (1999) yaitu nilai skala 21-40 % tergolong dalam
kategori agak resisten.
Pada pengamatan III (4 hsi) dapat dilihat bahwa intensitas serangan
tertinggi terdapat pada perlakuan IRR 423 yaitu sebesar 44,17 % dan yang
terendah terdapat pada perlakuan BPM 1 yaitu sebesar 0 %. Klon IRR 423 pada
pengamatan III (4 hsi) masih tergolong dalam kategori moderat. Hal ini sesuai
dengan hasil Pawirosoemardjo (1999) yaitu nilai skala 41-60 % tergolong dalam
kategori moderat.
Pada pengamatan ke IV (5 hsi) dapat dilihat bahwa intensitas serangan
tertinggi terdapat pada perlakuan IRR 400 yaitu sebesar 73,33 % dan Intensitas
serangan terendah terdapat pada perlakuan BPM 1, yaitu sebesar 0 %. Klon IRR
Hal ini sesuai dengan hasil Pawirosoemardjo (1999) yaitu nilai skala 61-80 %
tergolong dalam kategori agak rentan.
Pada pengamatan ke V (6 hsi), dapat dilihat bahwa intensitas serangan
tertinggi terdapat pada perlakuan IRR 413 yaitu sebesar 96,67 % dan yang
terendah pada perlakuan BPM I yaitu sebesar 54.17 %. Klon IRR 413 pada
pengamatan V (6 hsi) tergolong dalam kategori rentan dan klon BPM 1 tergolong
moderat. Hal ini sesuai dengan hasil Pawirosoemardjo (1999) yaitu nilai skala
41-60 % tergolong dalam kategori moderat dan skala 81-100 % dikelompokkan
dalam kategori rentan.
Pada pengamatan VI (7 hsi), dapat dilihat bahwa intensitas serangan
tertinggi terdapat pada perlakuan IRR 400, IRR 404, IRR 419, IRR 422 dan IRR
403 yaitu sebesar 100 %, dan intensitas serangan terendah terdapat pada perlakuan
IRR 415 yaitu sebesar 75.00 %. Klon IRR 400, IRR 404, IRR 419, IRR 422 dan
IRR 403 pada pengamatan VI (7 hsi) tergolong dalam kategori rentan dan klon
IRR 415 (K
15) tergolong agak rentan. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Pawirosoemardjo (1999) yaitu nilai skala 61-80 % tergolong dalam kategori agak
rentan dan skala 81-100 % tergolong kategori rentan.
Data rata-rata pengamatan intensitas serangan 2-8 his. Perlakuan PBM 1
berbeda kategorinya dengan perlakuan lainnya, Intensitas serangan rata-rata
terendah terdapat pada perlakuan BPM 1 yaitu sebesar 34.88 % dan intensitas
serangan tertinggi terdapat pada perlakuan IRR 413 yaitu sebesar 57.74 %. Klon
Dari hasil pengamatan rata-rata dapat dilihat klon pembanding BPM 24,
PB 260, RRIC 100 tergolong dalam kategori moderat. Klon pembanding PB 260
dan RRIC 100 tergolong tahan dan klon BPM 24 moderat, terhadap jamur
C. gloeosporioides.
Perubahan ketahanan ini disebabkan adanya keragaman
(variabilitas) genetik dalam satu species patogen, hal ini sesuai dengan literatur
Agrios (1996) yang menyatakan bahwa dalam satu species patogen, terdapat
ras-ras fisiologis patogen yang secara morfologis tidak dapat di bedakan, tetapi
berbeda kemampuannya dalam menginfeksi kelompok-kelompok varietas inang
yang berbeda. Hal ini membantu menjelaskan mengapa varietas yang tahan pada
suatu waktu menjadi rentan pada waktu yang lain.
Laju Pertumbuhan Bercak (mm/hari)
Pada pengamatan hari I (2 hsi) pertumbuhan bercak tertinggi terdapat
pada perlakuan IRR 406 yaitu sebesar 0.3 mm sedangkan pertumbuhan bercak
terendah terdapat pada perlakuan IRR 400, IRR 401, IRR 402, IRR 403, IRR 404,
IRR 407, IRR 408, IRR 410, IRR 411, IRR 412, IRR 413, IRR 414, IRR 415, IRR
416, IRR 417, IRR 418, IRR 419, IRR 420, IRR 421, IRR 422, IRR 423, IRR
424, BPM 24, RRIC 100, PB 260 dan BPM 1 yaitu sebesar 0 mm.
Klon IRR 406, IRR 405, dan BPM 24, pada 2 hsi telah menunjukkan
adanya gejala serangan atau tumbuhnya bercak pada daun, hal ini menunjukkan
bahwa daun dari IRR 406, IRR 405 dan BPM 24 sangat peka terhadap jamur
C.
gloeosporioides
, hal ini sesuai dengan literatur Abadi (2003) yang menyatakan
dalam kombinasi inang-patogen, patogen biasanya dapat memproduksi toksin
spesifik-inang yaitu toksin yang bertanggung jawab atas terjadinya gejala dan di
Hanya tanaman yang memeiliki reseptor sisi sensitif semacam ini yang akan
menjadi sakit.
Laju pertumbuhan bercak (mm/hari) pada pengamatan 3 hsi – 7 hsi
mengalami kenaikan yang cukup cepat, daun-daun yang di inokulasikan
bercaknya cepat menyebar bila telah terinfeksi, jamur mengambil makanan untuk
hidupnya dari daun hal ini sesuai dengan literatur Agrios (1996) yang menyatakan
patogen menyebabkan penyakit pada tumbuhan dengan cara melemahkan inang
dengan cara menyerap makanan secara terus-menerus dari sel-sel inang untuk
kebutuhan hidupnya.
Dari hasil rata-ratan dapat dilihat bahwa pertumbuhan bercak
tertinggi terdapat pada perlakuan IRR 420 yaitu sebesar 3.82 mm dan yang
terendah terdapat pada IRR 423 yaitu sebesar 2.84 mm. Hal ini menunjukkan
bahwa jamur
C. gloeosporioides
sangat cepat menginfeksi daun muda. Hal ini
sesuai dengan hasil pernyataan Pawirosoemardjo dkk (1998), yang menyatakan
bahwa daun karet yang berumur kurang dari 20 hari merupakan kondisi yang peka
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1.
Warna koloni awalnya berwarna putih kemerah jambuan, semakin tua
warnanya menjadi putih.
2.
Konidium berbentuk silinder dengan ujung-ujung tumpul sampai
meruncing, kadang-kadang berbentuk agak jorong dengan ujung agak
membulat dengan pangkal yang agak sempit terpancung. Tidak bersekat,
berinti satu, berbentuk oval.
3.
Laju pertumbuhan bercak tertinggi terdapat pada perlakuan IRR 420 yaitu
sebesar 3.82 mm/hari dan yang terendah terdapat pada IRR 423 yaitu
sebesar 2.84 mm/hari.
4.
Klon pembanding BPM 1 tergolong dalam kategori agak tahan dan
keseluruhan klon IRR seri 400 dan pembanding lainnya tergolong dalam
kategori moderat. Metode cakram dapat digunakan sebagai informasi awal
untuk menentukan tingkat ketahanan tanaman karet klon IRR seri 400.
Saran
Disarankan
penelitian
lanjutan mengenai uji resistensi Klon IRR seri 400
pada tanaman karet (
Havea brasiliensis
Muell Arg) terhadap penyakit gugur daun
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, A.L, 2003. Ilmu Penyakit Tumbuhan I, Bayu Media. Malang. Hal 40.
Agrios, G.N, 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan, di terjemahkan oleh Busnia M,
UGM Press, Yogyakarta. Hal 8,18.
Alexopoulus, C.J. and C.W. Mims., 1979. Introductory mycology. Jhon weley and
Sons, New York, P 569.
Anonim
a, 1996. Karet “Strategi Pemasaran Tahun 2000, Budidaya dan
Pengolahan “, Penebar Swadaya. Jakarta.
_______
b, 2007. Produksi Karet Nasional 2007 di Perkirakan 2,4 juta ton, Diakses
dari
_______
c, 2007. Karet “Bisnisnya Masih Empuk”. Diakses dari
_______
d, 2007.
Colletotrichum
, Diakses dari
. Tgl
19-05-2007.
Ariyani, R.R., 2006. Harga Karet Bakal Terus Naik, Diakses dari
Azwar. R., Suhendry. I, Daslin,A., dan Lasminingsih, M., 1998. Lokakarya
Nasional Pemulian Karet 1998 dan Diskusi Nasional Prospek Karet
Alam Abad 21, Pusat Penelitian Karet, Asosiasi Penelitian Perkebunan
Indonesia, hal 225.
Bangun. M.K,. 1990. Rancangan Percobaan, Fakultas Pertanian. Universitas
Sumatera Utara, hal 24-28.
Basuki,. 1990. Penyakit Gugur Daun
Colletotrichun
pada Tanaman Karet, Pusat
Penelitian Perkebunan Tanjung Morawa (P4TM), hal 2-7.
Djas. F,. 1980. Classification of Fungi and Specifik Characteristic of Each Class,
Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara, Medan hal 29.
Dwidjoseputro. Prof.D.S,. 1978. Pengantar Mikologi,Alumni. Bandung, hal 79.
Fernando.T,H,P,S,. Jaya Singhe, C.K, and Wijesunera R.L.C,. 1999. Affecting
Spore Production, Germination and Viability of
Colletotrichum
Isolates
from
Hevea brasiliensis.
Diakses dari
Khaerudin, 2007. Penyeludupan Bokar Turunkan Kapasitas Produksi Karet.
Diakses dari
Pawirosoemardjo,S., Syafiuddin dan Sujatno., 1998. Resistensi Klon Harapan
terhadap Penyakit Utama Tanaman Karet, Lokakarya Nasional
Pemulian Karet 1998 dan Diskusi Nasional Prospek Karet dalam Abad
21.Pusat Penelitian Karet.Asosiasi Peneliti Perkebunan Indonesia. Hal
224.
Pawirosoemardjo. S., 1999. Laporan Hasil Penelitian Epidemiologi dan
Pengendalian Penyakit Gugur Daun
Corynespora
dan
Colletotriuchum
Secara Terpadu. Pusat Penelitian Karet, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Bagian Proyek Penelitian Karet Sungai Putih,
Hal 5.
Pawirosoemardjo. S, dan Budi, S., 2005. Pengenalan dan Pengendalian Penyakit
Tanaman Karet, dalam Seri Buku Saku 01, Balai Penelitian Getes, Pusat
Pusat Penelitian Karet Indonesia. Hal 25
Semangun, H., 2000. Penyakit-Penyakit Karet Perkebunan di Indonesia. UGM
Press, Yogyakarta, Hal 78.
Setyamidjaja. D, 1995. Karet “Budidaya dan Penggolahan”, Kanisius,
Yogyakarta. Hal 40.
Suwarto., Soepena. H., dan Azwar. R., 1995. Resistensi Klon-Klon Karet
Terhadap Penyakit Gugur Daun
Colletotriuchum
di Provinsi Kalimantan,
Lokakarya Nasional Pemuliaan Tanaman Karet 1995, Pusat Penelitian
Karet Assosiasi. Penelitian Perkebunanan Indonesia, Hal 238.
Woelan, S., I. Suhendry., A. Daslin dan R. Azwar., 1999. Karakteristik Klon
Anjuran Rekomendasi 1999-2001. Warta Pusat Penelitian Karet, Pusat
Penelitian Karet Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia. Hal 37-50.
______, 2006. Rekombinasi Keunggulan Potensi Genetik Plasma Nutfah Karet
Melalui Persilangan Buatan. Laporan Akhir Tahun 2006. PAATP. Pusat
Penelitian Karet, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal 2-4.
Lampiran 2.
Skala 0
Skala 1
Skala
2
Skala
3
[image:50.595.152.463.114.570.2]Skala 4
Lampiran 3. Data intensitas serangan (%)
C. gloeosporioides
2 hsi
Ulangan Perlakuan
I II III
Total Rataan
IRR 400 0 0 0 0.00 0.00
IRR 401 0 0 0 0.00 0.00
IRR 402 0 0 0 0.00 0.00
IRR 404 0 0 0 0.00 0.00
IRR 405 5 0 0 5.00 1.67
IRR 406 17.5 17.5 10 45.00 15.00
IRR 407 0 0 0 0.00 0.00
IRR 408 0 0 0 0.00 0.00
IRR 409 7.5 5 2.5 15.00 5.00