LAMPIRAN
Berikut ini penulis akan menyajikan sebuah contoh kontrak yang dibuat antara franchise dengan dealer produk “Avon”.
Kontrak (perjanjian)
Franchise
Dealer
Avon
611. Perusahaan setuju untuk :
Perjanjian Franchisee Dealer ini dibuat sejak hari ke__________tanggal______bulan________2001 antara PT Avon Indonesia, 208 Cilandak Commercial Estate, Jalan Raya KKO Cilandak, Jakarta Selatan, (selanjutnya disebut sebagai Perusahaan) dan (selanjutnya disebut sebagai
Franchisee Dealer).
a. Menjual kepada Franchise Dealer produk-produk perusahaan dengan potongan harga yang sewaktu-waktu akan ditetapkan oleh perusahaan menurut kebijaksanaannya sendiri;
b. Memberikan rabat sebagai perangsang kepada Franchise Dealer atas sejumlah pembelian minuman, rabat sebagai perangsang demikian itu sewaktu-waktu akan ditetapkan oleh perusahaan menurut kebijaksanaannya sendiri.
2. Franchise Dealer setuju bahwa ia akan :
a. Membeli produk dari perusahaan terutama untuk dijual kembali, termasuk kepada pengecer lainnya;
b. Bertanggung jawab untuk memperoleh semua izin, lisensi dan pendaftaran-pendaftaran pajak yang diperlukan, jika ada untuk menjual produk-produk tersebut, dan memberikan salinan-salinannya kepada perusahaan pada waktu yang diminta; dan
c. Membayar ke perusahaan atas pembelian-pembelian yang diadakan sesuai dengan persyaratan dan kebijakan kredit perusahaan pada tanggal yang telah ditentukan tanpa perlu diminta oleh perusahaan.
3. Perusahaan dan Franchise Dealer bersama-sama meyetujui bahwa :
a. Perusahaan telah memberikan kepada Franchise Dealer daftar potongan harga dan rabat insentif, yang salinannya dilampirkan dalam perjanjian itu, berlaku sejak tanggal perjanjian ini, dengan syarat harus mendapat pemeriksaan kredit akhir dan persetujuan terlebih dahulu dari kantor cabang bersangkutan yang akan memberikan kepada Franchise Dealer
persyaratan dengan kebijakan kredit awal yang berlaku bagi Franchise Dealer. Perusahaan dapat mengubah potongan harga dan rabat insentif dan persyaratan serta kebijakan kreditnya pada setiap waktu dan dengan cara apa pun.
b. Franchise Dealer hanya akan menjual, menawarkan untuk dijual dan dipromosikan produk-produk yang dibeli oleh Franchise Dealer dari perusahaan.
61
c. Franchiee Dealer adalah pedagang eceran yang mandiri dan mempunyai kebijakan sendiri untuk menentukan di mana dan bagaimana produk-produk yang dibeli dari perusahaan akan dijual. Namun demikian, ada beberapa jenis lokasi di mana Franchise Dealer tidak diperkenankan menjual produk-produk tersebut di atas, yaitu toko serba ada yang besar dan toko yang merupakan mata rantai dari jaringan pertokoan yang terkenal.
d. Franchise Dealer dan perusahaan merupakan pihak-pihak yang mandiri.
Franchise Dealer bukanlah pegawai dari perusahaan atau agen perusahaan. Dalam perjanjian ini ataupun perjanjian di kemudian hari tidak akan menjadikan Franchise Dealer pegawai atau agen dari perusahaan. Franchise Dealer bertanggung jawab untuk membayar pajaknya sendiri atas penghasilan yang telah diperolehnya dari penjualan produk yang dibelinya dari perusahaan.
e. Perjanjian ini menggantikan semua perjanjian lisan atau tertulis yang diadakan antara perusahaan dan Franchise Dealer sebelum tanggal perjanjian itu.
f. Salah satu pihak dapat mengakhiri perjanjian ini menurut kehendaknya, dengan atau tanpa sebab, setiap waktu setelah memberitahu pihak lainnya. Setelah pengakhiran perjanjian itu, Franchise Dealer tidak berhak membeli produk-produk dari perusahaan, tetapi bertanggung jawab kepada perusahaan atas produk-produk yang sudah dibeli sesuai dengan kebijakan kredit yang berlaku, potongan harga, dan rabat sebagai perangsang.
Franchise Dealer dan perusahaan dengan ini mengesampingkan ketentuan-ketentuan Pasal 1226 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Republik Indonesia.
g. Untuk keperluan menyampaikan pemberitahuan kepada pihak lain sebagaimana yang ditentukan di dalam perjanjian ini, setiap pihak menyetujui bahwa pemberitahuan tersebut harus dibuat secara tertulis dan akan dianggap sebagai telah diberikan (1) pada hari ketiga setelah diposkan atau setelah diterima jika dikirim dengan surat tercatat, atau (2) pada hari penyampaiannya, jika disampaikan secara langsung kepada pihak lainnya pada alamat sebagaimana diuraikan pada permulaan perjanjian ini, atau ke alamat lain sebagaimana mungkin diberikan oleh pihak yang akan menerima pemberitahuan itu kepada pihak lainnya, yang mana lebih dulu terjadi.
h. Apabila terjadi sengketa secara langsung atau tidak langsung timbul dari perjanjian ini atau dari pemutusannya, hanya Pengadilan Negeri Jakarta Selatanlah yang mempunyai kekuasaan hukum atas perkara tersebut. Untuk keperluan perjanjian dan setiap hal yang timbul sehubungan dengan perjanjian ini dan transaksi-transaksi yang direncanakan, Franchise Dealer
Franchise Dealer PT Avon Indonesia a.n. Presiden Direktur
Branch Sales Manager
Nama Jelas Nama jelas:
DAFTAR PUSTAKA BUKU
Angelo, Rocco M dan Vladimir, Andrew N, Business Law, Cincinnati, South West, 1990.
Basarah, Moch dan Mufidin, H.M. Faiz, Bisnis Franchise dan Aspek-aspek Hukumnya, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2000.
Emerson, Robert W, Franchisee Contract Clauses and the Francisor’s Duty of care Towards Its Franchisees, North Carolina, North Carolina Law Review, 1993.
Fox, Stephen, Membeli dan Menjual Bisnis dan Franchise, Jakarta, Elex Media Komputindo, 1993.
Harrison, Jeffrey L, Law and Economics, Minnesota, West Publishing Company, 1995.
Hees, David, Protecting Reasonable Expectations of Franchisees and Franchisors, Iowa, 1995.
H.S, Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Jakarta, PT. Sinar Grafika, 2004.
Kansil, C.S.T dan Kansil, Christine, Modul Hukum Perdata, Jakarta, PT.Pradnya Paramita, 2004.
Kaplan, Bernard A, A Guide to Modern Business and Commercial Law-Comprehensive and Practical Handbook, Chicago, Illinois, 1990.
Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997.
Lubis, Mulya, Kontrak Franchise, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2002. Mendelsohn, Martin, The Guide to Franchising, England, Oxford, 1986. Mufidin, H.M.Faiz, Bisnis Franchise, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2010. Saliman, Abdul R, Ahmad Jalis, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Jakarta,
Kencana, 2004.
Sugono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, PT. Rajawali Pers, 2010.
Webster, Bryce, The Insider’s Guide to Franchising, AMACON, 1986.
Widjaja, Gunawan dan Yani, Ahmad, Hukum Arbitrase, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 2001.
Winarto, Profil Franchising di Indonesia, Jakarta, Majalah Manajemen, 2000.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 259/MPP/KEP/7/1977 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba.
KAMUS, HARIAN, MAKALAH, MAJALAH DAN WEBSITE Kamus Hukum Indonesia, PT.Umbara, Yogyakarta, 2004.
UNCTC, Transnational Corporation and Technology Transfer : Effects and Policy Issues, United Nations, New York, 1987.
Oxford Learner,s Pocket Dictionary, Oxford, England, 2000.
Harian Republika, Pemegang Paten Perlu Perlindungan Hukum, Tanggal 24 Mei 2004.
Harian Bisnis Indonesia, Amir Karamoy, Sukses Lewat Usaha Waralaba, 1996. Hasil Seminar Institut Pendidikan dan Manajemen Indonesia, Peta Pewaralabaan
di Dunia Manajemen, Jakarta, 2000.
Peter Mahmud Marzuki, Makalah Kontrak dan Pelaksanaannya, Bali, 2000.
Ridhwan Khaerandy, Aspek-Aspek Hukum Franchise, Yogyakarta, Majalah Unisa, 1992.
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN KONTRAK FRANCHISE
A. Pengertian Perlindungan Hukum
Secara umum, perlindungan berarti mengayomi sesuatu dari hal-hal yang berbahaya, sesuatu itu bisa saja berupa kepentingan maupun benda atau barang. Selain itu perlindungan juga mengandung makna pengayoman yang diberikan oleh seseorang terhadap orang yang lebih lemah.
Dengan demikian, perlindungan hukum dapat diartikan dengan segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada warganya agar hak-haknya sebagai seorang warganegara tidak dilanggar, dan bagi yang melanggarnya akan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Dalam kaitannya dengan franchise sebagai bagian dari HaKI, maka perlindungan hukum dapat diartikan dengan perlindungan terhadap pemegang HaKI merupakan pengakuan atas kerja keras yang bersangkutan dalam mengembangkan sebuah karya.28
1. Adanya pengayoman dari pemerintah terhadap warganya.
Dengan demikian, suatu perlindungan dapat dikatakan sebagai perlindungan hukum apabila mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
2. Jaminan kepastian hukum.
3. Berkaitan dengan hak-hak warganegara.
4. Adanya sanksi hukuman bagi pihak yang melanggarnya.
28
B. Peraturan yang Mengatur tentang Franchise
Perlindungan terhadap franchise akan lebih memadai apabila terdapat adanya peraturan perundang-undangan yang mengikat antara kedua belah pihak yang terikat dengan perjanjian franchise, yakni franchisor dan franchise agar kepentingan kedua belah pihak dapat terlindungi dengan baik.
Di belahan benua Amerika dan benua Eropa, negara-negara di sana telah menetapkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang franchise dan telah diterapkan dengan sangat baik sekali bagi para pihak yang terikat dengan perjanjian franchise. Di Amerika Serikat sendiri sebagai negara yang pertama sekali mengenal franchise dan telah mengenalkan franchise kepada negara lain di dunia, telah banyak mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang franchise. Salah satu peraturan franchise yang paling terkenal dari Ameriksa Serikat adalah peraturan franchise yang berlaku di negara bagian California. Peraturan franchise yang berlaku di California ini telah dituangkan dalam “California’s Franchise Investment Law” yang dibuat pada tahun 1970 dan tetap berlaku sampai sekarang. Tidak adanya perubahan pada peraturan
California’s Franchise Investment Law sampai sekarang ini, telah membuktikan bahwa investasi franchise ini pada dasarnya adalah sangat menguntungkan kedua belah pihak, baik pihak franchisor maupun bagi pihak franchise.29
Di negara-negara Eropa, Masyarakat Eropa (ME) telah secara bersama-sama menyusun “Franchise Agreement Regulation” pada tahun 1988. Peraturan
Franchise Agreement Regulation ini telah memberikan jaminan kebebasan kepada negara-negara Eropa untuk melakukan monopoli dalam melaksanakan kegiatan
29
franchise. Padahal sebelumnya negara-negara Eropa terikat pada larangan praktik monopoli yang dianut dalam perjanjian Roma.30
Di kawasan Association of South East Asian Nations (ASEAN), perkembangan franchise yang terjadi di belahan benua Amerika dan benua Eropa ternyata juga berimbas kepada perkembangan franchise yang semakin hari semakin terasa kuat. Perkembangan franchise di kawasan ASEAN tidak hanya memberikan pengaruh dalam dunia bisnis saja, melainkan juga memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam dunia hukum. Implikasi dari perkembangan hukum franchise telah dibahas oleh ASEAN pada Konferensi
Asean Law Association (ALA) di Bali tahun 1990. Hasil dari Konferensi ALA ini hanya menghasilkan rekomendasi kepada negara-negara ASEAN untuk mengikuti perkembangan dunia franchise dengan menetapkan peraturan perundang-undangan yang sejalan dengan perkembangan franchise di dunia.31
1. Pasal 1320 dan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Di Indonesia sendiri, walaupun bisnis franchise telah berkembang dengan sangat pesat, namun hanya ada sebuah peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai masalah franchise ini. Sekarang ini terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mempunyai hubungan dengan franchise, yakni sebagai berikut :
Pasal 1338 KUH Perdata menganut tentang sistem terbuka, maksudnya setiap orang atau badan hukum diberikan kebebasan untuk menentukan kontrak, baik yang sudah dikenal di dalam KUH Perdata maupun yang belum dikenal dalam KUH Perdata. Di samping itu, yang menjadi dasar 30
Ibid. Hal. 12.
31
hukum dalam pengembangan franchise di Indonesia adalah Pasal 1320 KUH Perdata.
Pasal 1320 KUH Perdata mengatur tentang syarat sahnya suatu perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak, cakap untuk melakukan perbuatan hukum, adanya obyek tertentu dan adanya klausa yang halal. 2. Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba
Peraturan Pemerintah ini terdiri dari 11 Pasal. Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi : pengertian waralaba, para pihak dalam perjanjian waralaba, keterangan-keterangan yang harus disampaikan oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba, dan bentuk perjanjiannya. 3. Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten
Undang-Undang ini terdiri dari 139 Pasal. Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi : pengertian paten dan para pihak, ruang lingkup paten, permohonan paten, pengumuman dan pemeriksaan substantif paten, pengalihan lisensi paten, pembatalan paten, pelaksanaan paten oleh pemerintah, Administrasi paten, penyelesaian sengketa paten dan ketentuan pidana.
4. Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek
5. Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang
Undang-Undang ini terdiri dari 19 Pasal. Hal-hal yang diatur di dalamnya meliputi : pengertian rahasia dagang, hak pemilik rahasia dagang, pengalihan hak dan lisensi, penyelesaian sengketa, pelanggaran rahasia dagang, dan ketentuan pidana.
6. Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
Undang-Undang ini terdiri dari 38 Pasal. Hal-hal yang diatur di dalamnya meliputi: pengertian usaha kecil, pengertian usaha menengah, pengertian usaha besar, Kriteria usaha kecil, pembinaan, pengembangan dan jaminan usaha kecil, kemitraan usaha kecil dan sanksi administratif.
7. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 259/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba
Keputusan Menteri ini terdiri atas 8 bab dan 26 Pasal. Hal-hal yang diatur dalam Keputusan Menteri ini meliputi : pengertian umum, bentuk perjanjiannya, kewajiban pendaftaran dan kewenangan penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW), persyaratan waralaba, pelaporan, sanksi, ketentuan peralihan dan penutup.
8. Keputusan Menteri Perdagangan No. 376/Kep/XI/1988 tentang Kegiatan Perdagangan
bidang produksi tersebut dengan perusahaan nasional sebagai penyalur. Dengan keputusan tersebut franchisor yang memproduksi barang dapat melakukan hubungan langsung dengan para pengecernya. Para pengecer tersebut adalah para franchise.32
C. Latar Belakang timbulnya Kontrak Franchise
Banyak orang masih skeptis dengan kepastian hukum terutama dalam bidang franchise di Indonesia. Namun saat ini kepastian hukum untuk berusaha dengan format bisnis franchise yang jauh lebih baik dari sebelum tahun 1997. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya payung hukum yang dapat melindungi bisnis
franchise tersebut. Berbagai peraturan tersebut diharapkan dapat menjamin kepastian hukum dalam bisnis franchise di Indonesia, karena masih menimbulkan berbagai persoalan, seperti : perlindungan terhadap HaKI, perlindungan terhadap investor, pencegahan terhadap persaingan usaha monopoli dan oligopoli oleh
franchisor, dan bagaimana memfasilitasi modal asing lewat franchise. Persoalan-persoalan ini perlu dituangkan dalam bentuk undang-undang yang khusus mengatur tentang franchise. Dengan adanya undang-undang tersebut nantinya diharapkan akan dapat memberikan kepastian hukum dalam usaha franchise.
Dilihat dari ruang lingkup dan konsepnya, sebenarnya kontrak franchise
berada di antara kontrak lisensi dan distributor. Adanya pemberian izin oleh pemegang Hak Milik Intelektual atau know-how lainnya kepada pihak lain untuk menggunakan merek ataupun prosedur tertentu merupakan unsur perjanjian lisensi. Di pihak lain, dengan adanya quality control dari franchisor terhadap
32
produk-produk pemegang lisensi yang harus sama dengan produk-produk lisensor, seakan-akan pemegang franchise merupakan distributor franchisor.
Sebagaimana dalam kontrak lisensi, pada kontrak franchise, pemegang
franchise juga wajib membayar sejumlah royalti untuk penggunaan merek dagang dan proses pembuatan produk yang sama besarnya ditetapkan berdasarkan perjanjian. Royalti kadang-kadang bukan ditetapkan dari persentase keuntungan melainkan dari berapa unit. Dalam hal demikian, pihak franchisor tidak peduli apakah pemegang franchise akan mengalami keuntungan atau kerugian. Selain itu, franchise juga diharapkan mampu untuk mendesain perusahaannya sedemikian rupa sehingga mirip dengan desain perusahaan franchisor. Begitu juga dengan manajemennya, tidak jarang franchisor juga memberikan asistensi dalam manajemen. Dalam hal tersebut, biasanya franchise harus membayar sejumlah biaya tambahan bagi asistensi tersebut. Tidak jarang pula franchisor dalam keperluan pembuatan produknya mengharuskan pemegang franchise untuk membeli bahan-bahan dari pemasok yang ditunjuk oleh franchisor. Hal ini dalam hukum kontrak dikenal dengan istilah tying-in agreement. Bahkan beberapa ketentuan auditing keuangan juga dilakukan oleh pihak franchisor, semua ini dilakukan dengan alasan quality control. Walaupun demikian adanya, namun pada dasarnya melalui kontrak franchise ini sebenarnya diharapkan terjadinya alih teknologi antara franchisor dengan franchise.33
Dengan posisi kontrak franchise yang terletak diantara lisensi dan distributor, ada baiknya juga jika kita melihat bidang-bidang usaha yang menjadi ruang lingkup kontrak franchise34
33
Ibid. Hal.166
34
Ibid. Hal.97
1. Bidang usaha makanan
2. Jasa konsultan dan kepentingan bisnis 3. Jasa properti
4. Hotel dan motel
5. Produk kesehatan dan kebugaran 6. Biro perjalanan
7. Produk dan jasa pendidikan 8. Salon kecantikan dan rambut 9. Jasa periklanan
10.Binatu
11.Toko permainan anak-anak 12.Produk kacamata dan asesorisnya 13.Cetak foto
14. Rumah sakit dan klinik.
Lembaga franchise pada awal perkembangannya di Amerika Serikat sebenarnya hanya berupa dalam tahapan distributor, sedangkan jaman franchise
modern baru dimulai pada era akhir tahun 1940-an. Hal ini dapat dilihat pada berkembangnya MC. Donald’s (1955), Carvel Ice Cream (1945), John Robert Power (1955), Kentucky Fried Chicken (1952), dan lain-lain. Sejak tahun 1972 sampai dengan tahun 1988, usaha franchise mengalami peningkatan yang sangat besar di negara asalnya. Sampai saat sekarang ini, jumlah unit usaha franchise
sedangkan di Jepang sebanyak 102.397 unit usaha franchise serta Inggris sebanyak 16.600 unit usaha franchise.35
35
Hasil Seminar Institut Pendidikan dan Manajemen Indonesia, Peta Pewaralabaan di Dunia Manajemen, Jakarta, 2000. Hal.1-3
Di Indonesia, sistem bisnis dengan
franchise yang mulai berkembang sejak tahun 1980-an, saat ini telah banyak sekali franchise asing yang masuk ke Indonesia, baik dalam perdagangan barang maupun jasa.
Melihat data yang telah dikemukakan tadi, mungkin dapat dipikirkan, mengapa sebuah perusahaan seperti Kentucky Fried Chicken yang dapat menghasilkan keuntungan yang demikian besar mau menjalankan sistem
franchise? Apakah latar belakang dari dilakukannya kontrak franchise? Jawabannya, tentu saja demi meningkatkan efisiensi dan produktifitas. Bisa dibayangkan, jika sebuah perusahaan induk mempunyai cabang usaha ( company-owned unit) sebanyak sepuluh cabang, maka perusahaan induk masih dengan sangat mudah mengendalikannya. Akan tetapi, bagaimana jika sebuah perusahaan induk mempunyai jumlah cabang usaha di atas sepuluh cabang dan beberapa cabang di antaranya malah terletak di luar negeri, maka akan sangat sulit untuk melakukan kontrol dalam aspek finansial, sumber daya manusia dan tingkat risiko. Dari penjelasan tadi, dapat kita ambil sebuah kesimpulan bahwa, jika sebuah perusahaan membuka cabang usaha, maka risiko sepenuhnya berada di tangan perusahaan induk. Sedangkan apabila usaha mereka difranchisingkan, maka risiko akan dipikul oleh franchise.
1. Kekurangan modal untuk ekspansi usaha atau pasar.
Sebuah perusahaan untuk membuka sebuah cabang baru tentu saja membutuhkan banyak biaya tambahan, seperti : lokasi baru, tenaga kerja tambahan. Semua ini tentu saja membutuhkan banyak persediaan modal, namun bila semuanya dialihkan kepada sistem franchise, tentu saja perusahaan induk tidak perlu lagi untuk mengeluarkan modal atau biaya tambahan, malah perusahaan induk akan mendapatkan keuntungan dari fee
dan royalti dari franchise.
2. Kekurangan sumber daya manusia.
Membuka sebuah cabang baru tentu saja membutuhkan sumber daya manusia yang sama handalnya dengan perusahaan induk. Hal ini bukanlah sebuah pekerjaan yang gampang, karena mencari sumber daya manusia yang ahli ditambah dengan situasi dan kondisi dari lingkungan yang berbeda bisa saja membuat sebuah cabang baru agak sukar untuk berkembang seperti yang diharapkan. Dengan adanya sistem franchise, perusahaan induk tidak perlu memikirkan mengenai struktur manajemen dan kepemilikan franchise, karena franchise merupakan milik orang lain. Dengan kata lain, dengan adanya franchise akan diperoleh sumber daya manusia yang telah mengenal baik situasi lingkungan di wilayah tempat
franchise beroperasi.
3. Melakukan perluasan pasar (penetrasi pasar) secara tepat dan cepat.
Selain itu, sistem franchise ini memungkinkan sebuah perusahaan induk untuk memperluas daerah pemasarannya sampai ke luar wilayah dari negara tempat perusahaan induk itu berada.
Jadi, dengan adanya keterangan tadi, dapat diketahui latar belakang diadakannya kontrak franchise oleh pihak franchisor. Namun, ternyata latar belakang terjadinya sebuah kontrak franchise juga berkaitan erat dengan pihak
franchise. Bagi pihak franchise sendiri, dengan adanya kontrak antara mereka dengan pihak franchisor juga membawa dampak keuntungan bagi dunia usaha mereka. Keuntungan yang paling utama adalah perusahaan kecil yang mempunyai kontrak franchise langsung memiliki sistem bisnis yang mapan (estabilished business), serta produk-produk dan jasa yang memiliki reputasi, sehingga mereka akan langsung dikenal. Bagi pihak franchise, untuk membentuk sebuah citra yang baik di kalangan konsumen, biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun lamanya. Dengan adanya kontrak ini, mereka tidak perlu lagi merumuskan konsep bisnis, cara memperkenalkan produk atau jasa, atau mempromosikan produk atau jasanya di pasaran sedangkan pembentukan citra perusahaan bisa didapat dalam jangka waktu yang relatif singkat.
berkat adanya sistem sentralisasi operasi yang dikembangkan oleh jaringan bisnis
franchise ini.
Memang tidak semua sistem franchise dapat menjamin sebuah kesuksesan, namun paling tidak dengan adanya seperangkat peralatan yang telah teruji kemampuan dan kualitasnya akan menjadi jaminan bagi sebuah kontrak
franchise untuk sukses. Dengan sistem franchise, biasanya standarisasi dan kualitas kontrol sebuah produk dan jasa akan tetap terjaga karena adanya keseragaman kualitas antara franchise dengan franchisor.
D. Pengertian Kontrak Franchise
Sebelum dibahas mengenai pengertian kontrak franchise dari para ahli, ada baiknya jika kita melihat pengertian dari kontrak terlebih dahulu. Kontrak atau contracts (bahasa Inggris) maupun overeenkomst (bahasa Belanda), dalam pengertian yang lebih luas sering dinamakan dengan istilah perjanjian. Kontrak adalah suatu peristiwa di mana terdapat dua orang atau lebih yang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, biasanya dilakukan secara tertulis. Para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan, dan berkewajiban untuk menaati dan melaksanakannya, sehingga perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hukum yang disebut dengan perikatan (verbintenis). Dengan demikian kontrak dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat kontrak tersebut karena itu kontrak yang mereka buat merupakan sumber hukum formal dan asal kontrak tersebut adalah kontrak yang sah.36
36
Menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata37
1. Adanya kesepakatan
, suatu kontrak atau perjanjian akan dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat sahnya sebuah perjanjian, yakni:
Kesepakatan kedua belah pihak dilakukan secara bebas atau dengan kebebasan. Adanya kebebasan bersepakat (konsensual) para subyek hukum atau orang, dapat terjadi dengan :
a. Secara tegas, baik dengan melalui ucapan kata atau tertulis. b. Secara diam, baik dengan suatu sikap atau dengan isyarat38 2. Cakap untuk melakukan perbuatan hukum
.
Seseorang dikatakan cakap hukum apabila seorang laki-laki atau wanita telah berusia minimal dua puluh satu (21) tahun, atau bagi seorang laki-laki, apabila belum berusia dua puluh satu tahun, namun telah menikah. Dari Pasal 1330 KUH Perdata, perngertian tidak cakap hukum terjadi dalam tiga hal yakni:
a. Orang di bawah umur adalah orang yang belum kawin dan belum berusia dua puluh satu tahun.
b. Orang yang di bawah pengampuan (curatele), yaitu orang yang sudah dewasa dan berumur di atas dua puluh satu tahun, tetapi tidak mampu karena pemabuk, gila atau pemboros.
c. Wanita yang sedang mempunyai suami hilang kecakapannya karena dia harus mendampingi suaminya. (ketentuan ini telah dihapus oleh Pasal 31 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan)39 37
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal. 283
38
C.S.T.Kansil dan Christine Kansil, Modul Hukum Perdata, PT.Pradnya Paramita, Jakarta, 2004. Hal.224
3. Adanya hal tertentu
Hal tertentu mengenai obyek hukum benda itu oleh pihak-pihak ditegaskan dalam perjanjian mengenai :
a. jenis barang
b. kualitas mutu atau barang
c. buatan pabrik dan dari negara mana d. buatan tahun berapa
e. warna barang
f. ciri khusus barang tersebut g. jumlah barang
h. uraian lebih lanjut mengenai barang tersebut40 4. Adanya kausa yang halal
Pada benda (obyek hukum) yang menjadi pokok perjanjian itu harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut hukum sehingga perjanjian itu kuat.41
“ kontrak lisensi yang diberikan oleh franchisor dengan pembayaran tertentu, kontrak lisensi yang diberikan itu bisa saja berupa lisensi paten, merek
Setelah diketahui pengertian kontrak pada umumnya dan syarat-syarat sahnya sebuah kontrak, maka ada baiknya jika kita melihat beberapa definisi dari kontrak franchise menurut beberapa ahli franchise, yakni Bryce Webster dan Peter Mahmud Marzuki.
Menurut Bryce Webster, pengertian dari kontrak franchise adalah sebagai berikut:
39
Ibid. Hal.225-226
40
Ibid. Hal.227
41
perdagangan, merek jasa dan lain-lain yang digunakan untuk tujuan perdagangan tersebut “.42
“ Suatu kontrak yang memberikan hak kepada pihak lain untuk menggunakan nama dan prosedur yang dimiliki oleh yang mempunyai hak tersebut “.
Menurut Peter Mahmud Marzuki, pengertian kontrak franchise adalah sebagai berikut :
43
1. Adanya subyek hukum yaitu franchisor dan franchise
Definisi yang diberikan oleh Peter Mahmud Marzuki ini sangatlah bersifat pragmatis karena yang ditonjolkan dalam definisi kontrak franchise hanya terletak pada adanya kontrak berupa pemberian hak dan penggunaan nama serta prosedur yang dimiliki oleh yang mempunyai hak. Banyak kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam pendapatnya tersebut karena tidak memenuhi beberapa unsur sebagai berikut :
2. Adanya lisensi atas merek barang dan jasa 3. Adanya jangka waktu tertentu
4. Adanya pembayaran royalti
E. Ruang Lingkup Pengaturan Perjanjian Franchise
Mengingat bahwa franchise merupakan suatu perjanjian, maka sudah barang tentu terdapat hal-hal yang disepakati di dalam perjanjian tersebut sekaligus merupakan obyek hukumnya. Obyek hukum bagi para pihak merupakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dituntut atau yang harus dilaksanakan oleh para pihak sebagai subyek perjanjian. Dalam perjanjian atas
42
Ibid. Hal.87
43
beban, termasuk perjanjian franchise. Sesuatu yang merupakan hak bagi salah satu pihak akan merupakan kewajiban bagi pihak lainnya.
Pada umumnya suatu perjanjian franchise dibuat secara standar karena adanya keperluan atas uniformity, efficiency dan control karenanya perjanjian ini hampir tidak dapat dinegosiasikan lagi sehingga para penyewa franchise
dihadapkan kepada pilihan menyewa atau batal. Namun, dari beberapa elemen
franchise sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan yang lalu, terdapat beberapa obyek pengaturan perjanjian franchise, yaitu :
1. Nama dagang atau merek dagang.
Nama dagang atau merek dagang menjadi obyek perjanjian franchise oleh sebab nama dagang dan merek dagang yang semula menjadi hak monopoli
franchisor untuk menggunakan pada barang-barang atau jasa-jasa yang dijualnya kemudian dikarenakan oleh adanya perjanjian franchise, maka akan diberikan izin kepada pihak lainnya untuk menggunakan nama produk milik
franchisor. Nama dagang atau merek dagang merupakan jantung dari perjanjian franchise.
Di Amerika sebagai salah satu negara yang franchise telah sangat berkembang, dalam Federal Trade Commission ditentukan bahwa pencantuman merek dagang atau nama dagang pada dokumen penawaran
franchisor kepada calon penyewa merupakan syarat mutlak.44
Selain nama dagang atau merek dagang, hak cipta pun dapat dijadikan sebagai obyek perjanjian franchise. Hak cipta tersebut berkaitan dengan ciptaan-ciptaan video training, software computers, manual operation dan
bentuk-44
bentuk publikasi lainnya dari franchisor yang diserahkan kepada pihak penyewa franchise.
2. Rahasia dagang (trade secret).
Rahasia dagang sangat penting terutama dalam hal franchise chain-style business atau business format franchise dan manufacturing franchise karena pada kedua macam franchise tersebut diberi hak untuk mengetahui dan mempergunakan rahasia-rahasia tersebut. Sehhubungan dengan hal ini, maka dalam rumusan perjanjian akan ditentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang menyangkut kewajiban pihak penyewa franchise untuk tidak menyingkapkan rahasia tersebut kepada pihak ketiga dan menentukan lebih lanjut unsur manajemen perusahaan franchise yang boleh dan tidak boleh mengetahui rahasia tersebut, pembatasan kepada pihak penyewa di dalam menggunakan rahasia tersebut dan sanksi-sanksi yang dapat dituntutkan kepada pihak penyewa apabila kewajiban-kewajibannya tersebut dilanggar.
Trade secret, knowledge dan know-how bukan merupakan hak milik mutlak yang mendapat perlindungan khusus sebagaimana paten, merek dagang ataupun hak cipta. Oleh karena itu, perlindungan yang paling efektif dapat diperoleh dari perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Di beberapa Negara tertentu, hak-hak ini dilindungi oleh unfair competition law, tort law, the law of fiduciare atau hukum pidana.
3. Jasa pelatihan.
Jasa pelatihan merupakan obyek franchise yang sangat penting, baik bagi
para pihak penyewa biasanya sangat membutuhkan jasa pelatihan ini dan merupakan kewajiban pemilik franchise untuk memberikan pengajaran dan pelatihan kepada pihak penyewa. Jasa pelatihan ini dapat diberikan kepada penyewa sendiri ataupun kepada semua jajaran manajemennya.
Dalam kaitannya dengan jasa pelatihan ini, di dalam kontrak franchise akan disebutkan materi pelatihan, baik materi yang sudah ada sebelumnya maupun materi pengembangannya, jangka waktu atau periodisasi pelatihan, lokasi pelatihan, biaya-biaya pelatihan dan kemungkinan pencantuman sanksi bagi penyewa franchise jika gagal dalam evaluasi hasil pelatihan.
Dalam perkembangan franchise sekarang ini, terutama franchise penjualan makanan biasanya sangat memerlukan pelatihan ini. Resep dan takaran dalam membuat suatu masakan biasanya sangat penting untuk diajarkan oleh pihak
franchisor dalam pelatihan ini. Penulis mengkaji bahwa pada saat sekarang ini, jika seseorang menyewa franchise, maka biasanya pihak penyewa akan mendapatkan pelatihan secara gratis. Franchisor sewaktu pelatihan memberikan kesempatan kepada dua orang dari pihak penyewa untuk dapat belajar secara gratis, di samping itu penyewa juga mendapat fasilitas lainnya, seperti:
1) Bahan awal untuk memproduksi makanan 2) Seragam dengan logo
3) Perlengkapan atau peralatan 4. Bantuan teknis operasional.
1) Bantuan pada saat persiapan pelaksanaan usaha franchise, antara lain : - Bantuan dalam pemilihan lokasi usaha
- Bantuan dalam menentukan arsitektur bangunan dan tata letak ruangan serta pemilihan bahan-bahan dan peralatannya yang akan menentukan standard an spesifikasinya
- Penentuan standar administrasi dan pembukuan - Penentuan standar penerimaan karyawan - Pedoman operasi bisnis franchise
- Pedoman pelaksanaan grand opening
Hak-hak penyewa untuk menerima standar-standar dan pedoman-pedoman tersebut di atas biasanya akan diperoleh melalui hak untuk menggunakan
manual operation milik franchisor. Apabila perjanjian franchise berakhir, maka manual operation harus dikembalikan kepada pihak franchisor.
2) Bantuan selama hubungan hukum berlangsung, antara lain : - Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan usaha
Pada dasarnya dalam kegiatan pengawasan dan evaluasi pelaksanaan usaha ini terdapat banyak kepentingan franchisor, khususnya dalam rangka menjaga dan mengembangkan kinerja franchise-nya.
- Pelaksanaan kegiatan pemasaran
mengiklankan franchise-nya tidak sebanding dengan jumlah biaya yang dibayarkan pihak franchise.
- Memilihkan kegiatan pemasaran yang dilakukan franchise
Di dalam perjanjian franchise juga terdapat ketentuan yang mewajibkan pihak penyewa untuk menyisihkan dana bagi kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh pihak franchisor. Dalam kaitannya dengan hal ini franchisor akan ikut serta memberikan pertimbangan dalam menentukan kegiatan pemasaran outlet franchise milik penyewa termasuk juga menyediakan medianya.
- Pemberian konsultasi selama perusahaan franchise beroperasi
Dalam menjalankan suatu usaha tentu saja ada kalanya grafik perkembangan naik dan turun. Pihak penyewa dalam hal ini biasanya bisa mendapatkan bantuan pertimbangan usaha secara gratis selama berlangsungnya kontrak franchise tetap berjalan. Konsultasi yang diberikan oleh pihak franchisor merupakan suatu kondisi untuk membantu mengembangkan usaha franchise milik penyewa, di mana perkembangan franchise milik penyewa juga akan menguntungkan pihak franchisor.
5. Pembelian bahan-bahan dan peralatan.
Standarisasi produk merupakan salah satu ciri dari jaringan bisnis franchise
bahkan sering kali termasuk penentuan kualitas bahan-bahan dan perlengkapan penjualan. Dengan demikian, untuk itu sering kali franchisor
pemasok tertentu, maka pihak pemasok bahan akan memberikan komisi kepada pihak franchisor.
Dalam Federal Trade Commission hal ini diantisipasi dengan adanya ketentuan yang mengharuskan franchisor memberikan penjelasan tentang komisi tersebut kepada pihak penyewa sebelum kontrak franchise
ditandatangani. Namun, hal ini di Amerika dapat dianggap sebagai tindakan
product restrictions yang tidak sah menurut anti trust law sebab akan berakibat kepada adanya pembatasan tethadap produk-produk pemasok pada pasar bebas.
Dalam menentukan tempat dan cara pembelian terhadap barang-barang yang harus dibeli dari franchisor mengingat franchisor merupakan satu-satunya pemasok bahan tersebut, karenanya pihak penyewa berkewajiban untuk membeli dari franchisor. Di samping itu, juga kemungkinan terdapat barang-barang yang harus dibeli dari pemasok lain dengan cara pembelian bersama-sama dengan penyewa lain. Dalam kaitannya dengan pembelian bahan-bahan dan peralatan ini yang perlu diperhatikan oleh para pihak adalah jangan sampai kontrak yang dibuat mencantunkan tie in clause yang akan memberatkan pihak penyewa. Di Amerika, perjanjian yang mencantumkan tie in clause dapat dikelompokkan sebagai perjanjian terlarang dalam rangka anti trust law. Untuk itu perlu dikaji apakah dalam suatu perjanjian terdapat tie in clause yang didasarkan kepada adanya analisis45
”There must be a tying arrangement between two distinct products or services, the defendant must have sufficient economics power in the tying market to impose significant restrictions in the tied product market, the amount of commerce in the tied product market must not be in substantial, the seller og
sebagai berikut :
45
the tying product must have an interest in the tied product, there must be a modicum of coercion shown”.
Artinya
”Semestinya harus terdapat adanya kesesuaian antara dua produk atau pelayanan, pemilik dapat mewajibkan penyewa untuk membeli barang-barang yang diperlukan walaupun tidak bersifat substansi untuk pengembangan pemasaran, penjualan bermacam produk seharusnya mempunyai keuntungan bagi setiap produk”.
Unsur-unsur tersebut dapat berupa tindakan-tindakan :
1) Franchisor mewajibkan pihak penyewa untuk membeli peralatan-peralatan yang tidak substansial bagi produk-produk yang franchise-nya diberikan kepada penyewa.
2) Franchisor memaksakan pihak penyewa untuk menyewa lokasi outlet dari
franchisor.
3) Franchisor menunjuk pemasok tertentu yang akan memasok kebutuhan-kebutuhan pihak penyewa.
6. Pengawasan kualitas produk.
Pengawasan kualitas produk ini merupakan hak dari franchisor terutama yang berkaitan dengan standarisasi produk-produk yang menggunakan nama dan merek dagang franchisor akan menentukan juga upaya-upaya yang harus dilaksanakan oleh pihak penyewa. Dengan kata lain, pengawasan atas kualitas produk juga sangat ditentukan oleh partisipasi pihak penyewa dan sanksi-sanksi apakah yang akan diberlakukan kepada pihak penyewa sekiranya penyewa tidak menjaga kualitas produk.
produk mereka selalu tetap terjaga. Bila perlu adanya sanksi pemutusan kontrak jika pihak penyewa tidak ikut serta dalam menjaga kualitas produknya.
7. Biaya franchise.
Biaya franchise merupakan obyek perjanjian karena biaya ini pada dasarnya merupakan kontraprestasi dari pihak penyewa kepada franchisor sehubungan penerimaan hak-haknya dari franchisor. Biaya-biaya franchise dapat tgerdiri dari :
1) Initial or joining fee.
Biaya yang dibayarkan oleh pihak penyewa pada saat pertama kali menutup perjanjian dengan franchisor. Pembayaran ini tidak dapat ditarik kembali oleh pihak penyewa. Pembayaran ini dapat diartikan sebagai biaya pendaftaran atau uang pangkal untuk bergabung dalam jaringan bisnis franchise. Initial fee ini dibayarkan sekaligus untuk seluruh jangka waktu selama berlangsungnya perjanjian franchise.
2) Royalties or continuing fee.
3) Biaya-biaya lain.
Selain biaya-biaya di atas, biasanya dalam mengembangkan usahanya pihak penyewa juga harus memperhitungkan biaya promosi dan marketing
sebagai konsekuensi persyaratan kegiatan pemasaran yang harus dilakukan dan dikelola oleh penyewa.
8. Pengalihan franchise.
Pengertian pengalihan di sini dapat diartikan sebagai akibat hukum dari perjanjian jual beli franchise yang dibuat oleh pihak penyewa dengan pihak ketiga atau pengalihan yang disebabkan karena adanya sistem pewarisan akibat meninggalnya pihak penyewa pertama. Di dalam perjanjian franchise
ketentuan yang mengatur pengalihan sering kali memberatkan penyewa karena harus meminta persetujuan dari franchisor.46
Demikian pula dalam hal penyewa meninggal dunia, sering kali perjanjian
franchise mencantumkan klausul bahwa sistem franchise akan kembali kepada
franchisor, dalam arti khusus franchise tidak dapat diwariskan kepada ahli waris pihak penyewa.
Sementara itu, sebelum franchisor memberikan persetujuan, beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon pembeli, baik yang menyangkut aspek finansial maupun penilaian franchisor terhadap kinerja kerja bisnis calon pembeli. Sedangkan tolok ukur yang dapat digunakan untuk kedua hal tersebut sering kali tidak ada, dalam arti sepenuhnya merupakan kewenangan
franchisor.
47
46
Mulya Lubis, Kontrak Franchise, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. Hal.110.
47
F. Bentuk dan Substansi Kontrak Franchise
Sebelum sebuah perusahaan terjun dalam sistem franchise, biasanya terdapat beberapa syarat utama yang harus dipenuhi oleh sebuah perusahaan agar dapat menjadi franchisor. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi tersebut antara lain :
1. Memiliki catatan pertumbuhan (track record) yang baik, minimal dua tahun berturut-turut.
2. Manajemen bisnisnya sudah mantap dan terpadu. 3. Sistem bisnisnya mudah diajarkan kepada pihak lain. 4. Produk dan jasa yang dijual dapat dipasarkan secara luas.
5. Memiliki nama perusahaan dan merek dagang produk dan jasa yang telah dikenal masyarakat luas.
6. Memiliki eksekutif yang ahli dan terampil.
7. Manajemen perusahaan harus bersifat transparan (perusahaan yang akan memasuki sistem franchise hendaknya menyiapkan disclosure documents, berupa offering circulars, sehingga setiap calon pembeli franchise yang berminat dapat mempelajari terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan).
8. Setiap perusahaan yang akan terjun dalam sistem franchise harus menyiapkan perjanjian kontrak yang baku.
9. Menentukan prosedur dan persyaratan penerimaan pihak yang akan menyewa atau membeli hak franchise.
Waralaba48
Menurut ketentuan yang berlaku dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba
dan Pasal 2 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No: 259/MPP/Kep/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba, pihak perusahaan diwajibkan mendaftarkan usahanya tersebut kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan agar mendapatkan izin usaha. Setelah izin usaha telah disahkan, maka pihak perusahaan atau franchisor telah dapat menyewakan merek dagang produk atau jasanya kepada perusahaan lain yang tertarik untuk menyewa atau membelinya.
49
a. Pemberi franchise, berikut keterangan mengenai kegiatan usahanya;
, Sebelum membuat perjanjian, Pemberi waralaba atau franchisor wajib menyampaikan keterangan kepada Penerima waralaba atau calon franchise secara tertulis dan benar sekurang-kurangnya mengenai :
b. Hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang menjadi objek franchise;
c. Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi calon franchise;
d. Bantuan atau fasilitas yang ditawarkan franchisor kepada calon franchise; e. Hak dan kewajiban franchisor dan franchise;
f. Pengakhiran, pembatalan, dan perpanjangan perjanjian franchise serta hal-hal lain yang perlu diketahui calon franchise dalam rangka pelaksanaan perjanjian
franchise.
Di samping itu, penerima franchise utama wajib memberitahukan secara tertulis sebuah dokumen autentik kepada penerima franchise lanjutan bahwa
48
Ibid. Hal.2
49
franchise utama memiliki hak atau izin membuat perjanjian kontrak franchise
lanjutan dari franchisor.
Mengenai substansi sebuah kontrak franchise tentu saja berbeda-beda, tergantung kepada pihak franchisor dan penerima franchise untuk mengikuti ketentuan yang dianggap sesuai dan dapat mewakili keinginan mereka. Pada penulisan skripsi ini, penulis akan menuliskan beberapa substansi kontrak
franchise yang biasanya lazim digunakan dalam sebuah kontrak franchise, yakni : substansi kontrak menurut ketentuan “Pasal 7 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.259/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba”, substansi kontrak menurut hasil “seminar Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen”, substansi kontrak menurut “Masyarakat Eropa”, substansi kontrak menurut “Dov Izraeli” dan substansi kontrak menurut “Bryce Webster”.
Menurut Pasal 7 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.259/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba50
1. Nama, alamat, dan tempat kedudukan perusahaan masing-masing pihak.
telah ditentukan hal-hal yang harus dimuat dalam perjanjian atau kontrak franchise, yakni sebagai berikut :
2. Nama dan jabatan masing-masing pihak yang berwenang menandatangani perjanjian.
50
3. Nama dan jenis hak atas kekayaan intelektual, penemuan atau ciri khas usaha, misalnya : sistem manajemen, cara penjualan atau penataan, cara distribusi yang menjadi karakteristik utama dari obyek franchise. 4. Hak dan Kewajiban masing-masing pihak serta bantuan dan fasilitas
yang diberikan kepada penerima franchise. 5. Wilayah pemasaran.
6. Jangka waktu perjanjian dan tata cara perpanjangan perjanjian serta syarat-syarat perpanjangan perjanjian.
7. Cara penyelesaian perselisihan.
8. Ketentuan-ketentuan pokok yang disepakati yang dapat mengakibatkan pemutusan perjanjian atau berakhirnya perjanjian.
9. Ganti rugi dalam hal terjadinya pemutusan perjanjian. 10.Tata cara pembayaran imbalan.
11.Penggunaan barang atau bahan hasil olahan produksi dalam negeri yang dihasilkan dan dipasok oleh pengusaha kecil.
12.Pembinaan, bimbingan dan pelatihan kepada penerima franchise. Substansi dari kontrak franchise menurut ketentuan Pasal 7 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 259/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba, yang telah dikemukakan tadi pada dasarnya lebih bersifat perjanjian franchise (agreement franchise) yang mengandung makna :
2. Memberi kemungkinan franchisor untuk tetap mempunyai hak atas nama dagang atau merek dagang, format / pola usaha, dan hal-hal khusus yang dikembangkannya untuk suksesnya usaha tersebut.
3. Memberi kemungkinan franchisor mengendalikan sistem usaha yang dilisensikannya.
4. Hak, kewajiban dan tugas masing-masing pihak dapat diterima oleh
franchise.
Substansi kontrak menurut hasil seminar Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen51
1. Hak yang diberikan oleh franchisor kepada franchise.
, ditentukan hal-hal yang harus dimuat dalam sebuah perjanjian atau kontrak franchise yakni:
2. Hak yang diberikan meliputi antara lain penggunaan metode atau resep yang khusus, penggunaan merek dan atau nama dagang, jangka waktu hak tersebut dan perpanjangannya, wilayah kegiatan dan hak lain sehubungan dengan pembelian kebutuhan operasi jika ada.
3. Kewajiban dari franchise sebagai imbalan atas hak yang diterima dan kegiatan yang dilakukan oleh franchisor pada saat franchise memulai usaha maupun selama menjadi anggota dari sistem franchise.
4. Hak yang berkaitan dengan kasus penjualan hak franchise kepada pihak lain. Bila franchise tidak ingin meneruskan sendiri usaha tersebut dan ingin menjual kepada pihak lain, maka suatu tata cara perlu disepakati sebelumnya.
51
5. Hal yang berkaitan dengan pengakhiran perjanjian kerjasama dari masing-masing pihak.
Bagi Masyarakat Eropa yang menganut ketentuan yang terdapat dalam “Franchise Agreement Regulation”, dalam sebuah kontrak franchise harus mengandung beberapa unsur yakni :
1. Pembukuan
2. Masa berlaku perjanjian/kontrak 3. Biaya dan pembayaran lainnya 4. Tanggung jawab franchisor
5. Tanggung jawab franchise
6. Hak milik merek (trade mark, service mark, simbol/logo) 7. Prosedur operasi dan kerahasiaan
8. periklanan dan promosi 9. program latihan
10.catatan keuangan (financial records) 11.Asuransi
12.Pengalihan perjanjian franchise
13.Barang dan jasa yang dijual oleh franchise
14.Ketentuan lokasi
15.Ketentuan tentang kebangkrutan 16.Perpanjangan kontrak
Unsur-unsur ini dianggap perlu dicantumkan dalam sebuah kontrak franchise
agar tidak terjadi sengketa atau perselisihan yang tidak diinginkan antara
franchisor dengan franchise52
Don Izraeli, juga mengemukakan beberapa hal yang harus dimuat dalam sebuah perjanjian atau kontrak franchise
.
53
1. The rights of the franchisee, yaitu :
, yakni :
a. Hak untuk menggunakan trade name dan reputasi franchisor,
b. Hak untuk menggunakan penyusunan desain, paten, cara kerja, perlengkapan dan pengembangan produk franchisor,
c. Hak untuk menggunakan seluruh pusat pelayanan (the central service) kegiatan pengembangan untuk membantu franchisor,
d. Hak eksklusif untuk beroperasi di lokasi atau daerah tertentu, tanpa adanya kompetisi dari franchisor dan franchise lainnya.
2. The obligation and restriction on franchisee, yaitu : a. Hak dalam penjualan barang dan jasa milik franchisor, b. Hak memelihara standar kualitas produk dan jasa,
c. Hak bekerja sama dan koordinasi atas aktivitasnya dengan franchisor
dengan franchise lainnya.
d. Hak menjunjung tinggi kesan dan reputasi dunia bisnis,
e. Hak membuat kepastian pembayaran franchisor untuk dapat mandiri dalam menjalankan usahanya.
3. The obligation of the franchisor, yaitu :
a. Hak memasok semua jasa-jasa yang telah diuraikan dalam perspektus, b. Hak melakukan koordinasi dengan franchise.
52
Ibid. Hal.158
53
4. The distribution of profits and sources of income to the franchisor
Franchisor mengharapkan suatu hasil yang menguntungkan dari
enterpreneurship-nya dan program serta jasa yang telah diberikan kepada
franchise. Sehubungan dengan franchise setuju untuk membayar. Pembayaran pertama, yaitu penggunaan hak untuk bekerja sama dalam sistem bisnis, lokasi yang eksklusif, bantuan konsultasi pencarian lokasi dan desain lay-out, pelatihan bagi franchise dan para karyawannya, perlengkapan dan investasi lainnya. Pembayaran yang kedua, termasuk royalti, seperti: persentase dari laba franchise atas harga dari hasil pembicaraan (premises) yang menyangkut peralatan, pembayaran untuk pemasokan barang atau produk, pengepakan barang dan lain-lain.
5. Control over the franchised business
Di sini franchisor mengadakan pemeriksaan terhadap bisnis yang dilakukan dengan segera setelah penandatanganan kontrak :
a. Untuk meyakinkan seluruh pembayaran yang akan menjadi haknya dan dilakukan dengan segara setelah penandatanganan kontrak.
b. Untuk meyakinkan bahwa usaha yang dilakukan oleh franchise akan berhasil.
c. Untuk melindungi franchise dari bahaya yang mengancamnya.
Di dalam kontrak ini terdapat dua macam pemeriksaan, yaitu sebagai berikut:
a. Sistem komunikasi
untuk melakukan pemeriksaan pembukuan, keadaan dan kualitas maupun hal-hal lain yang menyangkut bisnis tersebut.
b. Sistem sanksi
Hal ini antara lain berkenaan dengan masalah pengurangan jasa atau bantuan, penuntutan di muka pengadilan, atau tidak dapat meneruskan kontrak yang telah berakhir, dan lain-lain.
6. Expiration and termination of the relationship
Kontrak franchise memiliki msa berlaku tertentu dan biasanya dapat diperpanjang dengan pembayaran fee kembali.
Bryce Webster, lebih merinci lagi klausul-klausul yang harus dimuat dalam perjanjian atau kontrak franchise, yaitu sebagai berikut :
a. Syarat-syarat kontrak (term of contract), b. Pembaharuan kontrak (contract renewal), c. Pemilihan lokasi (location selection),
d. Wilayah dan eksklusif (territory and exclusively), e. Persetujuan kontrak (lease approval),
f. Biaya franchise, modal awal dan kas yang dibutuhkan (franchisee fess, initial and cash requirements),
g. Royalti dan biaya tetap (Royalties or regular fees), h. Kebijakan beriklan (advertising policies),
i. Batasan penggunaan merek dagang (trademark use restriction),
k. Bantuan langsung dan persiapan lokasi (on-site assistance and location preparation),
l. Penggunaan petunjuk pengoperasian (use of operation manual), m. Praktek pengoperasian (operating practices),
n. Kewajiban dalam pembelian (obligation to purchise),
o. Peralatan dan perawatan tempat (equipment and premiesess maintances),
p. Hak untuk inspeksi (right of inspection),
q. Hak untuk pemeriksaan keuangan (right to audit),
r. Usaha-usaha / bisnis-bisnis yang serupa atau klausul non kompetisi (similar bussiness or noncompetition clause),
s. Rahasia dagang (trade secret),
t. Klausul pembatalan (cancellation clause).
Ada beberapa hal yang tercantum dan diperhatikan dalam kontrak
Franchise, yaitu :
a. Momentum penandatanganan kontrak,
b. Para pihak yang terlibat dalam kontrak, yaitu perusahaan dengan Franchise Dealer,
c. Hak dan kewajiban antara perusahaan dengan Franchise Dealer, Kewajiban perusahaan :
(1) Menjual barang (2) Memberikan rabat
(1) Membeli produk
(2) Bertanggung jawab untuk memperoleh semua izin, lisensi dan pendaftaran pajak
(3) Membayar kepada perusahaan atas pembelian-pembelian yang diadakan antara perusahaan dengan Dealer, dan
(4) Membayar pajak-pajak yang berkaitan dengan perjanjian ini. Hak
Franchise Dealer adalah berhak atas potongan harga (rabat) barang. d. Kedudukan antara perusahaan dengan Franchise Dealer merupakan
perusahaan mandiri, yang tidak ada hubungan antara satu dengan lainnya, e. Kebebasan untuk mengakhiri kontrak antara para pihak, dengan syarat harus
ada pemberitahuan lebih dahulu dari salah satu pihak,
f. Pengadilan yang berwenang mengadili sengketa antara perusahaan dengan
Franchise Dealer adalah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
G. Hak dan Kewajiban Franchisor dengan Franchise
Kontrak yang dibuat oleh pihak franchisor dengan franchise berlaku sebagai Undang-undang bagi kedua belah pihak. Sejak penandatanganan kontrak antara kedua belah pihak akan menimbulkan hak dan kewajiban. Kewajiban dari pihak franchisor adalah menyerahkan lisensi kepada franchise, sedangkan yang menjadi haknya adalah sebagai berikut :
1. Logo merek dagang (trade mark), nama dagang (trade name) dan nama baik/reputasi (good will) yang terkait dengan merek dan atau nama tersebut. 2. Format/pola usaha, yaitu suatu sistem usaha yang terekam dalam bentuk buku
3. Dalam kasus tertentu berupa rumus, resep, desain dan program khusus.
4. Hak cipta atas sebagian dari hal di atas bisa dalam bentuk tertulis dan terlindungi dalam undang-undang hak cipta.
Hak franchise adalah menerima lisensi, sedangkan kewajiban dari
franchise adalah sebagai berikut :
1. Membayar royalti kepada franchisor, royalti yang diambil pada umumnya antara tiga persen (3%) sampai lima belas persen (15%), tergantung kepada jenis bisnisnya.
2. Membayar fee (biaya), berupa biaya yang dibayarkan satu kali di awal perjanjian.
3. Menjaga kualitas barang dan jasa yang difranchise-kan. 4. Menjual barang.
5. Bertanggung jawab memperoleh semua izin, lisensi dan pendaftaran pajak. 6. Membayar pajak yang berkaitan dengan perjanjian ini.
H. Jangka Waktu Berlakunya Kontrak Franchise
Franchise yang mengandung makna kebebasan, tidak mengungkapkan kapan jangka waktu berakhirnya sebuah perjanjian franchise secara mendetail. Walaupun sebenarnya, jangka waktu berlakunya kontrak franchise sangatlah penting. Para pihak yang terikat dalam sebuah kontrak franchise diberikan kebebasan untuk menentukan jangka waktu berakhirnya sebuah kontrak franchise
yang mereka lakukan.
tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba telah menetapkan jangka waktu perjanjian franchise sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun.54
Pihak franchisor mempunyai hak untuk tidak memperpanjang kontrak
franchise tanpa perlu mengemukakan alasan apapun. Tentu saja ketentuan ini Pada umumnya perjanjian franchise dibuat dengan jangka waktu 5, 10 sampai dengan 15 tahun dengan tiap-tiap lima tahun opsi perpanjangan. Bagi pihak franchisor, biasanya mereka lebih menyukai jangka waktu kontrak yang pendek karena sistem ini akan memungkinkan pihak franchisor untuk menjual kembali franchisenya dengan harga yang lebih mahal setelah berakhirnya masa kontrak. Sedangkan bagi pihak penyewa, mereka akan lebih senang jika perikatan yang terjadi dalam jangka waktu yang lama karena akan lebih leluasa meraih keuntungan sebagai keseimbangan dari kerugian-kerugian yang kemungkinan dialami pada tahun-tahun pertama perjanjian franchise. Selain itu, jangka waktu yang lama juga memungkinkan pihak penyewa franchise beradaptasi dengan sistem franchise sehingga dapat meminimalkan kerugian yang mungkin terjadi.
Setelah jangka waktu itu telah berakhir, maka para pihak dapat memperpanjang kontrak franchise sesuai dengan yang diinginkan oleh para pihak tersebut, selama kontrak yang telah mereka lakukan dianggap sangat menguntungkan bagi kedua belah pihak yang terikat dalam kontrak franchise
tersebut. Selain itu, pihak franchisor dan penyewa juga dapat memasukkan klausul-klausul hukum yang baru dalam perjanjian perpanjangan kontrak tersebut yang mana pada perjanjian awal tidak ada, misalnya : pembatasan wilayah usaha.
54
BAB IV
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI FRANCHISE MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16
TAHUN 1997
A. Pengertian hak dan kewajiban yang tidak seimbang
Hak adalah sesuatu yang harus kita dapatkan sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus kita kerjakan. Dalam perjanjian franchise, biasanya hak dan kewajiban yang dijalankan oleh pihak franchisor dengan franchise bisa saja tidak seimbang, di mana pihak franchise biasanya akan lebih dirugikan dengan isi dan substansi yang tertuang dalam sebuah kontrak franchise. Lahirnya suatu kontrak menimbulkan suatu hubungan hukum perikatan yang berupa hak dan kewajiban. Pemenuhan hak dan kewajiban itulah yang menjadi akibat hukum dari suatu kontrak. Dengan kata lain, akibat hukum kontrak sebenarnya adalah pelaksanaan dari isi kontrak itu sendiri. Pasal 1339 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu kontrak tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam kontrak tersebut, tetapi juga segala sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan atau diwajibkan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Tentang hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak tertuang dalam isi perjanjian yang disepakati kedua belah pihak.
sesuai dengan target, maka pihak franchisor dapat memutuskan kontrak secara sepihak.
Hubungan hukum antara franchisor dengan franchise ditandai dengan ketidakseimbangan kekuatan tawar menawar (unequal bargaining power). Perjanjian franchise merupakan perjanjian baku yang dibuat oleh franchisor, di mana pihak franchisor telah menetapkan syarat-syarat dan standarisasi yang harus diikut i oleh franchise, sehingga kondisi ini memungkinkan pihak franchisor untuk membatalkan perjanjian apabila mereka menilai franchise tidak dapat memenuhi kewajibannya.
Dalam sebuah kontrak franchise biasanya terdapat adanya kondisi-kondisi bagi pemutusan perjanjian, seperti : kegagalan memenuhi jumlah penjualan, kegagalan memenuhi syarat pengoperasian, dan sebagainya. Franchisor selalu mempunyai discretionary power untuk selalu menilai semua aspek usaha
franchise, sehingga substansi kontrak selalu tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi pihak franchise dalam menghadapi pemutusan perjanjian dan penolakan franchisor untuk memperbaharui perjanjian55
Franchisor dapat memanfaatkan kedudukan untuk menguji pasar, dan setelah mengetahui kondisi pasar menguntungkan, maka franchisor memutuskan kontrak dengan franchise, selanjutnya franchisor akan mengoperasikan outlet atau tempat usaha sendiri di wilayah franchise. Hal inilah yang membuat perlindungan hukum terhadap franchise perlu mendapat perhatian yang serius karena pada dasarnya franchise akan dapat menumbuhkan pola kemitraan antara usaha kecil
.
55
dengan usaha menengah dan besar sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.
B. Kedudukan pihak franchisor lebih tinggi secara ekonomi daripada franchise
Pihak franchisor dalam memberikan hak penyewaan franchise berhak menentukan isi dan substansi daripada kontrak. Pihak penyewa franchise yang tidak keberatan dengan substansi kontrak boleh saja mengikatkan diri sesuai isi kontrak. Namun bila keberatan, pihak penyewa dapat saja meminta kepada pihak
franchisor untuk meninjau kembali substansi daripada kontrak. Jika pihak
franchisor keberatan untuk mengubah kembali substansi kontrak, maka bagi pihak penyewa diberikan pilihan untuk menerima atau menolak.
Pada kegiatan franchise yang semakin merebak di sendi-sendi perekonomian masyarakat Indonesia pada masa sekarang ini, seyogyanya pihak
franchisor memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada pihak franchise. Hal ini dapat ditinjau dari hal di mana pihak franchisor dapat menyewakan franchisenya kepada berbagai pihak yang tertarik untuk bergabung, namun pihak penyewa dilarang untuk menyewakan franchise tersebut kepada pihak lain. Selain itu, pihak franchisor juga memiliki kelebihan dalam hal memutuskan sebuah kontrak franchise.
Mengenai kelebihan franchisor, juga dapat ditinjau dari isi suatu kontrak
ketentuan Peraturan Pemerintah No.16 Tahun 1997 tentang Waralaba maupun Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No.259/MPP/KEP/7/1977 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba, disebutkan bahwa dalam sebuah kontrak franchise harus dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia. Ketentuan ini adalah sebuah konsekuensi logis tentang adanya kewajiban untuk mendaftarkan kontrak
franchise. Selain itu penulis juga pernah mengutip ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah No.16 Tahun 1997 tentang Waralaba, pada pembahasan sebelumnya mengenai kewajiban franchisor untuk melakukan penyingkapan (disclosure) terhadap berbagai aspek yang bersifat material, yang dapat mempengaruhi keputusan franchise sebagai penerima waralaba untuk menolak atau menerima persyaratan yang akan dituangkan dalam suatu kontrak franchise (franchisee Agreement). Kedua hal ini merupakan perlindungan awal yang telah diberikan oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia kepada pihak franchise agar tidak dirugikan oleh franchisor.
Selanjutnya dalam Pasal 8 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No.259/MPP/KEP/7/1977 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba, mengatur jangka waktu kontrak franchise yang berlaku sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun, telah memberikan perlindungan hukum kepada franchise sebagai penerima waralaba, karena dengan demikian pihak franchisor tidak dapat memutuskan sebuah kontrak
dapat dilakukan untuk mencegah franchisor memanfaatkan franchise hanya sekadar utuk menguji pasar, namun juga harus dicermati bahwa klausula-klausula tentang pemutusan konrak yang biasanya tunduk pada penilaian franchisor.
Pasal 11 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No.259/MPP/KEP/7/1977 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba, disebutkan bahwa pihak penerima franchise
wajib mendaftarkan kontrak franchise beserta keterangan tertulis kepada Departemen Perindustrian dan Perdagangan untuk memperoleh Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW). Pasal 14 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No.259/MPP/KEP/7/1977, juga menyebutkan bahwa jika franchisor memutuskan kontrak sebelum berakhirnya masa kontrak dan kemudian berniat untuk melakukan perikatan konrak baru dengan pihak perusahaan lain, maka penerbitan STPUW bagi pihak
franchise yang baru hanya akan diberikan jika pihak franchisor telah menyelesaikan segala permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pemutusan kontrak tersebut dengan pihak franchise yang lama. Dengan demikian jika ada tuntutan ganti rugi dari franchise yang diajukan kepada franchisor, maka ganti rugi itu harus dibayarkan terlebih dahulu, sebelum franchisor dapat menunjuk pihak franchise yang baru.
Tidak tertutup kemungkinan sengketa pemutusan kontrak dan ganti rugi ini akan dilanjutkan di depan forum pengadilan. Jika demikian halnya, maka harus menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan tetap yang harus ditaati oleh para pihak yang bersengketa. Sebenarnya tidak semua sengketa pemutusan kontrak
Seharusnya pengadilan merupakan jalur terakhir yang akan ditempuh oleh para pihak yang bersengketa jika segala daya dan upaya penyelesaian sengketa telah dijalani, namun ternyata masih tidak terdapat kata kesesuaian antara kedua belah pihak, barulah ditempuh jalur pengadilan.
Menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa56
1. Konsultasi
, disebutkan bahwa selain jalur pengadilan, para pihak dapat menyelesaikan sengketa perdata melalui jalur di luar pengadilan, yakni arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa, seperti :
Tindakan penyelesaian sengketa bersifat personal antara pihak yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang disebut dengan konsultan. Pihak konsultan hanya memberikan pendapat hukum, sebagaimana diminta oleh kliennya, selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa akan diambil sendiri oleh para pihak yang bersengketa.
2. Negosiasi
Persetujuan antara kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang sehingga mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara.
3. Mediasi
Kesepakatan antara para pihak yang bersengketa atau beda pendapat dengan diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli atau melalui seorang mediator.
56
4. Konsiliasi
Suatu tindakan atau proses yang dilakukan para pihak untuk mencapai perdamaian di luar pengadilan dan mencegah dilaksanakannya proses litigasi
(peradilan). 5. Penilaian ahli.
Opini atau pendapat hukum dari para ahli hukum atas permintaan dari setiap pihak yang memerlukannya, tidak terbatas pada para pihak dalam perjanjian57
C. Pemutusan Kontrak secara Sepihak oleh Franchisor akibat Kondisi Pasar
.
Franchisor menawarkan produknya untuk dipasarkan oleh franchise
dengan tujuan untuk memperluas pasar tanpa perlu membuka dan mengoperasikan sendiri tempat usaha dan dengan demikian menghemat biaya investasi. Permasalahan timbul jika franchisor menyadari kenyataan bahwa setelah kontrak franchise berjalan, ternyata jumlah permintaan atas produk barang atau jasa terhadap franchise menurun. Dapatkah kondisi ini dijadikan sebagai alasan untuk memutuskan kontrak dengan franchise? Dan karena alasan ini bersifat ekonomis, dapatkah kondisi ini diklasifikasikan sebagai good cause?
Pihak franchisor di dalam memutuskan sebuah kontrak franchise dengan pihak franchise seharusnya memberlakukan good cause requirement sebagai syarat utama dalam pemutusan kontrak franchise. Menurut Illionois Franchisee
57 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,
Hukum Arbitrase, PT.Raja Grafindo Persada,