PERAN PERBANKAN SYARIAH DALAM MENINGKATKAN
USAHA MKRO DITINJAU DARI UU NO. 21 TAHUN 2008
TENTANG PERBANKAN SYARIAH
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas–tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Sarjana Hukum
Oleh : HANISA ASTRI NIM : 060200230
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERAN PERBANKAN SYARIAH DALAM MENINGKATKAN
USAHA MIKRO DITINJAU DARI UU NO.21 TAHUN 2008
TENTANG PERBANKAN SYARIAH
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas–tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Sarjana Hukum
Oleh : HANISA ASTRI NIM : 060200230
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW
DISETUJUI OLEH :
KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS NIP. 1962 0421 1988 03 2001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT serta
sembah sujud kepada-Nya, karena dengan rahmat dan hidayat-Nya sehingga
penulisan skripsi ini dapat diselesaikan, selanjutnya shalawat beriring salam
disampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah memberikan
kecerahan dan keterangan iman, Islam dan ilmu kepada umat manusia.
Penulisan ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan memperoleh
gelar sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
Adapun judul skripsi ini adalah “Peran Perbankan Syariah Dalam Meningkatkan
Usaha Mikro Ditinjau Dari UU No. 21 Tahun 2008”. Judul ini diambil
berdasarkan ketertarikan Penulis untuk memahami lebih jelas tentang Peran
Perbankan Syariah dalam meningkatkan usaha mikro ditinjau dari UU No. 21
tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
Penulis telah berusaha mengarahkan segala kemampuan yang dimiliki
dalam penulisan skripsi ini tetapi penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput
dari kekurangan dan mungkin jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mohon
saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Penulis sadar sejak awal hingga akhir penulisan ini banyak menerima
bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, untuk itu dengan tulus
ikhlas penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MH, selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak M. Husni, SH, MHum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS, selaku Ketua Departemen Hukum
Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang dengan tulus telah
meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, dan memberi masukan
serta pandangan dan nasehat yang berguna bagi penulis.
6. Bapak Dr Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA, selaku Dosen Pembimbing I
yang dengan tulus, ikhlas meluangkan waktu untuk membimbing,
mengarahkan, memberi nasehat yang berguna bagi penulis sehingga penulisan
skripsi ini dapat selesai.
7. Bapak Syamsul Rizal SH, M,Hum selaku Dosen Pembimbing II yang dengan
tulus, ikhlas meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, memberi
nasehat yang berguna bagi penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai.
8. Alm Bapak Hermasyah SH, M,Hum yang telah banyak membimbing penulis
selama kuliah, semoga arwah Bapak diterima di Sisi Allah Swt.
9. Seluruh Dosen dan Staf administrasi di fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara yang telah mengajar dan membantu penulis selama menempuh
pendidikan di almamater tercinta ini.
10. Teriring doa dan takzim ananda dan rasa hormat serta terima kasih yang
yang telah berjuang membesarkan dan mendidik ananda dengan curahan kasih
sayang, membantu dengan semangat untuk menyelesaikan skripsi dan studi di
Fakultas Hukum USU.
11. Keluarga Penulis Hanry Prima( abang), Ayu Anggraini (kakak ipar), Hanida
Dwi Ardani SS (kakak), Aulia Jihan Nizam (adik), Audina Mutia Ningrum
(adik) yang telah memberikan semangat dan dorongan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
12. Nurul Ain SH yang telah memberikan semangat, dorongan, perhatian kepada
penulis dan kesabarannya terhadap penulis dalam menghadapi masa-masa
penulisan skripsi ini.
13. Teman – teman baik penulis, Randy Syahputra, deasy, feby, layla, budi,
(moga cepat kelar kuliah nya) rahmat, bembenk, terima kasih telah mejadi
teman terbaik dan selalu memberikan semangat.
14. Teman –teman baik penulis alwan, keke, milki, neira, hafid, fadil, terima kasih
telah menjadi teman terbaik dan selalu memberikan semangat.
15. Kepada keluarga Besar Alm. Rusmin semua nya terima kasih atas dukungan
dan Semangat yang telah diberikan oleh penulis.
16. Kepada ka Uun, bg ali, buk atun, Ari, Om herman terima kasih telah
memberikan semangat.
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi kita
semua. Serta dapat memberikan gambaran dan menambah wawasan tentang
permasalahan yang penulis bahas serta dapat menambah referensi bagi pihak –
pihak yang berkepentingan.
Medan, Agustus 2010
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
ABSTRAKSI ... viii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 13
D. Kegunaan Penelitian ... 13
E. Keaslian Judul... 13
F. Tinjauan Kepustakaan ... 14
G. Metodologi ... 14
1. Sifat penelitian ... 17
2. Sumber data ... 17
3. Teknik pengumpulan data ... 18
H. Sistematika Penulisan ... 19
BAB II : PERAN PERBANKAN SYARIAH DALAM MENINGKATKAN USAHA MIKRO DITINJAU DARI UU NO. 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH ... A. Pengertian Perbankan dengan Prinsip Syariah ... 21
B. Ciri-ciri Perbankan Syariah ... 23
C. Produk Perbankan Syariah ... 25
BAB III : PENGATURAN PEMBIAYAAN USAHA MIKRO MENURUT UU NO. 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH ...
A. Pengertian Usaha Mikro dan Usaha Kecil ... 43
B. Ciri-ciri Usaha Mikro ... 46
C. Pembiayaan Usaha Mikro ... 52
D. Perkembangan Usaha Mikro di Indonesia ... 54
E. Pengaturan Pembiayaan Usaha Mikro dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ... 61
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ... 81
A. Kesimpulan ... 81
B. Saran ... 82
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Proses Aplikasi Pembiayaan Mudharabah Muthlaqah... 31
Tabel 4.2.Proses Aplikasi Pembiayaan Mudharabah Muqayyah ... 32
Tabel 4.3.Aplikasi Pembiayaan Musyarakah ... 33
ABSTRAKSI
Usaha mikro, kecil dan menengah merupakan perluasan pengertian usaha kecil dan menengah (UKM). Usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan salah satu bagian penting dari perekonomian suatu negara ataupun daerah, tidak terkecuali di Indonesia. Ada beberapa aspek yang dapat menjadi perhatian bagi umat Islam di Indonesia. Pada bank konvensional, bank telah menetapkan benda-benda yang diperolehkan sebagai jaminan. Sedangkan pada bank dengan sistem syariah, yang dijadikan sebagai jaminan adalah proyek yang dikerjakan secara bersama-sama antara bank sebagai pemilik modal dengan nasabah sebagai pengelola usaha. Selain itu bank syariah sama sekali tidak mengenal hal yang disebut dengan “bunga” yang dianggap riba dan hukumnya haram.
Penulisan skripsi yang berjudul Peran Perbankan Syariah Dalam Meningkatkan Usaha Mikro Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah bertujuan Bagaimana peran perbankan syariah dalam meningkatkan usaha mikro ditinjau dari UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Bagaimana pengaturan pembiayaan usaha mikro diatur dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Untuk menjawab permasalahan itu digunakan hukum normatif melalui penggunaan data sekunder, seperti buku-buku, peraturan perundang-undangan, buku-buku tentang pembiayaan, situs di internet, dan hasil – hasil penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian ini.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa dalam Peran perbankan syariah dalam meningkatkan usaha mikro menurut UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah sebagai lembaga yang memberikan modal bagi perkembangan usaha mikro. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil perlu memperhatikan klasifikasi dan tingkat perkembangan usaha kecil, tetapi dengan tetap menerapkan keluwesan dalam pembinaan sehingga tidak justru menghambat upaya pembinaan dan pengembangan dari Usaha Kecil (Dunia Industri Kecil). Pengaturan pembiayaan usaha mikro terdapat dalam Pasal 22 UU No. 20 Tahun 2008 dalam rangka meningkatkan sumber pembiayaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil, Pemerintah melakukan upaya antara lain Pengembangan sumber pembiayaan dari kredit perbankan dan lembaga keuangan bukan bank, Pengembangan lembaga modal ventura, Pelembagaan terhadap transaksi anjak piutang. Peningkatan kerjasama antara Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui koperasi impan pinjam dan koperasi jasa keuangan konvensional dan syariah.
ABSTRAKSI
Usaha mikro, kecil dan menengah merupakan perluasan pengertian usaha kecil dan menengah (UKM). Usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan salah satu bagian penting dari perekonomian suatu negara ataupun daerah, tidak terkecuali di Indonesia. Ada beberapa aspek yang dapat menjadi perhatian bagi umat Islam di Indonesia. Pada bank konvensional, bank telah menetapkan benda-benda yang diperolehkan sebagai jaminan. Sedangkan pada bank dengan sistem syariah, yang dijadikan sebagai jaminan adalah proyek yang dikerjakan secara bersama-sama antara bank sebagai pemilik modal dengan nasabah sebagai pengelola usaha. Selain itu bank syariah sama sekali tidak mengenal hal yang disebut dengan “bunga” yang dianggap riba dan hukumnya haram.
Penulisan skripsi yang berjudul Peran Perbankan Syariah Dalam Meningkatkan Usaha Mikro Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah bertujuan Bagaimana peran perbankan syariah dalam meningkatkan usaha mikro ditinjau dari UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Bagaimana pengaturan pembiayaan usaha mikro diatur dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Untuk menjawab permasalahan itu digunakan hukum normatif melalui penggunaan data sekunder, seperti buku-buku, peraturan perundang-undangan, buku-buku tentang pembiayaan, situs di internet, dan hasil – hasil penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian ini.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa dalam Peran perbankan syariah dalam meningkatkan usaha mikro menurut UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah sebagai lembaga yang memberikan modal bagi perkembangan usaha mikro. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil perlu memperhatikan klasifikasi dan tingkat perkembangan usaha kecil, tetapi dengan tetap menerapkan keluwesan dalam pembinaan sehingga tidak justru menghambat upaya pembinaan dan pengembangan dari Usaha Kecil (Dunia Industri Kecil). Pengaturan pembiayaan usaha mikro terdapat dalam Pasal 22 UU No. 20 Tahun 2008 dalam rangka meningkatkan sumber pembiayaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil, Pemerintah melakukan upaya antara lain Pengembangan sumber pembiayaan dari kredit perbankan dan lembaga keuangan bukan bank, Pengembangan lembaga modal ventura, Pelembagaan terhadap transaksi anjak piutang. Peningkatan kerjasama antara Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui koperasi impan pinjam dan koperasi jasa keuangan konvensional dan syariah.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Efek dari krisis finansial global belakangan sudah mulai dirasakan oleh masyarakat secara umum, dan yang paling merasakannya adalah yang tingkat ekonominya golongan kecil dan menengah. Dimana angka pengangguran semakin signifikan meningkat dalam hitungan beberapa bulan belakangan, dunia usaha semakin sulit akibat nilai tukar rupiah yang semakin anjlok dan berakibat pada berbagai harga kebutuhan masyarakat, artinya perekonomian masyarakat semakin tidak stabil. Jika hal ini tidak diantisipasi dapat mengakibatkan angka kemiskinan kita semakin meningkat lagi.
Persoalan ini tidak hanya menjadi tanggungjawab sekelompok orang, namun dibutuhkan kerjasama semua stake holder sehingga kita mampu membebaskan bangsa dan secara khusus daerah kita dari jeratan kemiskinan tersebut. Seperti pemanfaatan anggaran yang tepat sasaran dan nyata serta bernilai produktif oleh Pemkab/Pemko umpamnya, meningkatkan volume pemberdayaan sumber-sumber yang ada untuk kalangan masyarakat miskin atau mereka yang berpenghasilan rendah/rumah tangga. Atau dengan beberapa kiat sederhana yang memberikan peluang bagi warga miskin dalam modal usaha berupa kredit-mikro.
Upaya pengembangan dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM) dewasa ini mendapat perhatian yang cukup besar dari berbagai
pihak, baik pemerintah, perbankan, swasta, lembaga swadaya masyarakat
maupun lembaga-lembaga internasional. Hal ini dilatarbelakangi oleh
perekonomian nasional setelah mengalami krisis ekonomi yang
berkepanjangan.
Usaha mikro, kecil dan menengah merupakan perluasan pengertian usaha
kecil dan menengah (UKM). Usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan
salah satu bagian penting dari perekonomian suatu negara ataupun daerah,
tidak terkecuali di Indonesia. Sebagai gambaran, kendati sumbangannya
dalam output nasional (Product Domestic Regional Bruto /PDRB) hanya
56,7% dan dalam ekspor nonmigas hanya 15 persen, namun UKM memberi
kontribusi sekitar 99% dalam jumlah badan usaha di Indonesia serta
mempunyai andil 99,6% dalam penyerapan tenaga kerja. Namun, dalam
kenyataannya selama ini UKM kurang mendapatkan perhatian. Dapat
dikatakan bahwa kesadaran akan pentingnya UKM dapat dikatakan barulah
muncul belakangan ini saja.1
Peran UMKM dalam perekonomian domestik semakin meningkat
terutama setelah krisis 1997. Di saat perbankan menghadapi kesulitan untuk
mencari debitur yang tidak bermasalah, UMKM menjadi alternatif penyaluran
kredit perbankan.
Berdasarkan hasil penelitian Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2000, UMKM (kurang lebih 40 juta unit) mendominasi lebih dari 90% total unit usaha dan menyerap angkatan kerja dengan prosentase yang hampir sama. Data BPS juga memperkirakan 57% Product Domestic Bruto (PDB) bersumber dari unit usaha ini dan menyumbang hampir 15% dari ekspor barang Indonesia. Ditinjau dari reputasi kreditnya, UMKM juga mempunyai prestasi yang cukup membanggakan dengan tingkat kemacetan kredit yang relatif kecil. Pada akhir 2002, kredit bermasalah
1Aloysius Gunadi Brata, “Distribusi Spasial UKM Di Masa Krisis Ekonomi,” artikel,
UMKM (Non Performing Loan/NPL) hanya 3,9%, jauh lebih kecil dibandingkan dengan total kredit perbankan yang mencapai 10,2%.2
Kondisi tersebut mencerminkan bahwa pemberian kredit ke UMKM
merupakan salah satu upaya dalam rangka penyebaran risiko perbankan,
sementara suku bunga kredit UMKM sesuai dengan tingkat bunga pasar sehingga
bank akan mempunyai margin yang cukup. Sektor ini mempunyai ketahanan yang
relatif lebih baik dibandingkan dengan usaha besar karena kurangnya
ketergantungan pada bahan baku impor dan potensi pasar yang tinggi mengingat
harga produk yang dihasilkan relatif rendah sehingga terjangkau oleh golongan
ekonomi lemah. Namun demikian, UMKM juga mempunyai karakteristik
pembiayaan yang unik, yakni diperlukannya ketersediaan dana pada saat ini,
jumlah dan sasaran yang tepat, prosedur yang relatif sederhana, adanya
kemudahan akses ke sumber pembiayaan serta perlunya program pendampingan
(technical assistance).
Tampilnya Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil bukan
berarti Departemen lain terlepas dalam pembangunan UKM, tentunya sesuai
dengan tugas dan peran Departemen teknis masing-masing. Hal ini dibuktikan
dengan adanya peraturan pemerintah sebagai acuan untuk membangun UKM.
Peraturan-peraturan tersebut meliputi:
1. Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 1223/KMKK.013/1989 tentang Pedoman Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi melalui Badan Usaha Milik Negara.
2. Surat Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 81 Tahun 1994 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pembinaan Kepada Usaha Kecil dan Koperasi.
3. Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 13/M/SK/I/1990. 4. Undang-undang No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil. 5. Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan,
2
6. Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1998 Tentang Pengembangan dan Usaha Kecil dan
7. Instruksi Presiden No. 10 Tahun 1999 Tentang Pemberdayaan Usaha Menengah.3
Banyaknya peraturan dan perundangan tersebut dan berkembang tidak
sesuai dengan harapan. Kenyataan di lapangan menunjukkan tidak semua UKM
dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal yang kondusif menunjang
tumbuhnya UKM. Faktor internal yang menjadi penyebab terhalangnya
perkembangan UMKM antara lain disebabkan karena masih lemahnya sumber
daya manusia UKM untuk akses dengan permodalan, pemasaran, dan lingkungan
pendukung lainnya. Sedangkan faktor eksternal yang berasal dari luar adalah
masih kurangnya komitmen dan kordinasi pemerintah untuk membangun UKM,
lemahnya lembaga pendukung seperti bank, lembaga penjaminan dan lembaga
pelayanan jasa penunjang UKM. Oleh sebab itu perlu dicari paradigma baru untuk
mengembangkan UKM.4
Era globalisasi membuka peluang sekaligus tantangan bagi pengusaha
Indonesia termasuk usaha kecil, karena pada era ini daya saing produk sangat
tinggi, live cycle product relatif pendek mengikuti trend pasar, dan kemampuan
inovasi produk relatif cepat.5 Ditinjau dari sisi ekspor, liberalisasi berdampak
positif terhadap produk tekstil/pakaian jadi, akan tetapi kurang menguntungkan
sektor pertanian khususnya produk makanan.
Pemerintah dan Bangsa Indonesia terjerat beban ekonomi dan moneter
yang berkelanjutan dan menghawatirkan, berkenaan beban utang dan
3 Riana Panggabean, “Membangun Paradigma Baru Dalam Mengembangkan UKM,”
http://www.smecda.com/deputi7/file_infokop/riana.htm. diakses tanggal 21 Maret 2006.
4 Ibid. 5
ketergantungan sektor produksi (barang dan jasa). Hal ini disebabkan berbagai
investasi yang tidak efektif dan responsif serta berbagai kebijakan moneter dan
perbankan yang kaku serta tidak selektif mewujudkan mekanisme pasar yang
sehat, disamping itu tersingkirnya potensi mikro ekonomi masyarakat yang justru
bergerak dalam lingkup potensi internal.
Sistem ekonomi Islam merupakan model dan proses yang menghendaki
gerak interaktif dinamis yang berimbang secara struktural dengan gerak keadilan
disertai kebajikan yang berdasarkan potensi dasar sumberdaya manusia dan alam.
Ekonomi Islam merupakan tatanan perekonomian yang bergerak berdasarkan
dinamika dan motivasi Al-Qur’an dan sunnah Rasululah SAW.
Pada sisi orientasi pembangunan ekonomi konvensional lebih menekankan
pada nilai optimalisasi yang merujuk pada target minimisasi atau maksiminasi.
Sementara itu Islam menekankan pada nilai manfaat dan kemaslahatan yang akan
diperoleh masyarakat, sehingga indikator yang digunakan adalah hasil akhir dari
optimalisasi yang berhubungan dengan zakat, infak dan sadaqah serta berbagai
kebajikan ibadan dan amal sholeh lainnya. Itulah sebabnya gerak ibadah dan amal
sholeh dari kemajuan ekonomi akan memapankan hukum yang pada akhirnya
akan mengecilkan jumlah pelanggaran kejahatan.
Salah satu jalan yang dipakai untuk melaksanakan sistem ekonomi Islam
adalah dengan diberikannya kesempatan bagi pengelola bank dan masyarakat
untuk melaksanakan sistem perbankan yang berdasatkan syariat Islam, yaitu
sistem Perbankan syariah. Sistem perbankan syariah merupakan solusi bagi umat
bank konvensional dianggap mengandung riba sehingga meninmbulkan
keengganan bagi umat Islam untuk menyimpan uangnya maupun meminta kredit
di bank. Namun masih banyak permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah
maupun pengelola bank dalam menjalankan sistem perbankan syariah ini. masih
banyak umat yang belum mengetahui akan sistem kerja dan keuntungan dari
melaksanakan sistem perbankan syariah.
Ummat Islam merupakan umat mayoritas yang ada di Indonesia. Sistem
perbankan yang ada selama ini dianggap kurang “islami” karena masih
mengandung unsur riba bagi sebagian umat Islam. Sementara riba dianggap hal
yang haram dan dilarang oleh Allah SWT. Dalam memenuhi kebutuhannya,
seseorang kadangkala tidak memiliki uang atau dana yang cukup. Untuk itu salah
satu cara yang ditempuh adalah dengan mengajukan permohonan kredit. Namun
secara konvensional, bank telah menetapkan sejumlah tertentu yang harus dibayar
oleh kreditur secara berkala, misalnya 5% perbulan. Hal ini telah lama berlaku di
Indonesia hingga timbulnya UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang
memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk melakukan kegiatan perbankan
dengan sistem syariah.
Ada beberapa aspek yang dapat menjadi perhatian bagi umat Islam di
Indonesia. Pada bank konvensional, bank telah menetapkan benda-benda yang
diperolehkan sebagai jaminan. Sedangkan pada bank dengan sistem syariah, yang
dijadikan sebagai jaminan adalah proyek yang dikerjakan secara bersama-sama
antara bank sebagai pemilik modal dengan nasabah sebagai pengelola usaha.
Selain itu bank syariah sama sekali tidak mengenal hal yang disebut dengan
Dengan adanya produk-produk perbankan syariah ini maka dapat
memberikan kesempatan bagi umat Islam untuk menjalankan sistem
perekonomian Islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah rasul.
Pembinaan usaha mikro dan usaha kecil merupakan bentuk partisipasi BUMN dalam
mewujudkan sebeasar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini disebutkan dalam Penjelasan Umum
No. II Undang-undang No. 19 Tahun 2003 yang menyebutkan:
Dalam sistem perekonomian nasional, BUMN ikut berperan menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Peran BUMN dirasakan semakin penting sebagai pelopor dan/atau perintis dalam sektor-sektor usaha yang belum diminati usaha swasta. Di samping itu, BUMN juga mempunyai peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar, dan turut membantu pengembangan usaha kecil/koperasi. BUMN juga merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis pajak, dividen dan hasil privatisasi.
Pelaksanaan peran BUMN tersebut diwujudkan dalam kegiatan usaha pada hampir seluruh sektor perekonomian, seperti sektor pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan, manufaktur, pertambangan, keuangan, pos dan telekomunikasi, transportasi, listrik, industri dan perdagangan, serta konstruksi.
Pembinaan dan pengembangan terhadap usaha kecil yang telah berhasil
berkembang menjadi usaha menengah, masih dapat dilanjutkan dalam jangka
waktu 3 (tiga) tahun lagi untuk lebih memantapkan usahanya setelah menjadi
usaha menengah tersebut masih dapat memanfaatkan bantuan pembinaan dari
pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.6
Lembaga pembiayaan dan lembaga penjaminan adalah lembaga yang sudah
ada atau yang akan dibentuk, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun dunia usaha. Sedangkan
lembaga pendukung lainnya antara laian dapat berupa lembaga pendidikan dan
6 Florianus SP Sangsun, Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah, Visimedia, Jakarta, 2007,
pelatihan, lembaga pengkajian, lembaga pemasaran dan informasi, klinik
konsultasi bisnis, inkubator, lembaga bantuan hukum dan pembelaan.7 Lembaga
pembiayaan menyediakan dukungan modal untuk pembinaan dan pengembangan
usaha kecil antara lain meliputi skim modal awal, modal bergulir, kredit usaha
kecil, kredit program dan kredit modal kerja usaha kecil, kredit kemitraan, modal
ventura dana dari bagian laba Badan Usaha Milik Negara, anjak piutang dan
kredit lainnya untuk meningkatkan ekspor dan pengembangan teknologi usaha
kecil.
Pelaksanaan penjaminan usaha kecil, baik lembaga penjamin yang dimiliki
pemerintah maupun swasta memberikan bantuan kemudahan berupa
penyederhanaan tata cara atau persyaratan yang ringan serta pendirian lembaga
penjaminan usaha kecil di daerah, baik di daerah Tingkat I (satu) maupun Daerah
Tingkat II (dua). Pada dasarnya, kemitraan usaha industri kecil menjangkau
pengertian yang luas. Kemitraan itu berlangsung antara semua pelaku dalam
perekonomian baik dalam arti asal usul kepemilikannya, yang meliputi Badan
Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Swasta, dan Koperasi, maupun dalam
arti ukuran usaha yang meliputi Usaha Besar, Usaha Menengah dan Usaha Kecil.
Selain aspek pelaku, dalam aspek objeknya, kemitraan bersifat terbuka dan
menjangkau segala sektor kegiatan ekonomi. Menyadari bahwa upaya
mewujudkan struktur perekonomian yang semakin seimbang dan kuat
membutuhkan peran yang lebih besar dari Usaha Kecil sebagai kegiatan ekonomi
rakyat, yang sebenarnya juga masih sangat memerlukan iklim usaha yang
kondusif, pembinaan dan pengembangan, maka diperlukan perhatian yang lebih
7 Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 32 Tahun 1998, tentang Pembinaan dan
besar lagi untuk mengarahkan kemitraan usaha di antara Usaha Besar dan Usaha
Menengah dengan Usaha Kecil.
Secara prinsip, kemitraan usaha tetap diarahkan dapat berlangsung atas
dasar dan berjalan berdasar norma-norma ekonomi yang berlaku dan atau lazim,
serta adanya kebutuhan dalam keterkaitan usaha yang saling memerlukan, saling
memperkuat dan saling menguntungkan. Dalam kaitannya dengan keperluan
untuk memberi perhatian dan dorongan yang lebih besar kepada terwujudnya
kemitraan Usaha Besar dan Usaha Menengah dengan Usaha Kecil, prinsip prinsip
di atas pada prinsipnya juga tetap diberlakukan. Yang diberi penekanan adalah,
adanya penciptaan iklim dan pembinaan sehingga dapat mempercepat
perwujudannya.8 Termasuk dalam pengertian Usaha Kecil juga badan hukum
koperasi yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian.
Salah satu bentuk pembinaan usaha mikro adalah dengan menjalankan
sistem waralaba. Meskipun didorong untuk bermitra dengan cara pemberian
waralaba dengan Usaha Kecil, tetapi tetap perlu diperhatikan faktor kemampuan
atau kesesuaian usaha di bidang yang diwaralabakan tersebut. Hal ini penting agar
dorongan untuk mewujudkan kemitraan tersebut tidak malah merusak iklim usaha
pada umumnya. Persaingan sehat adalah: “persaingan yang bersifat terbuka antar
pelaku ekonomi dalam hal memperoleh kesempatan dan perlakuan yang sama dan
adil dalam menghasilkan, menjual dan membeli suatu barang atau jasa sehingga
tidak terjadi dominasi pasar yang merugikan masyarakat banyak.”9
8 Penjelasan atas Peraturan Pemerintah RI Nomor 44 Tahun 1997, tentang Kemitraan. 9 Ngurah Parsua, “Membangun Ekonomi Kerakyatan melalui jaringan dan
Secara bersamaan, langkah-langkah tersebut dimaksud untuk mencegah
berlangsungnya praktik persaingan tidak sehat. Dalam kehidupan perekonomian
pada umumnya, praktik curang atau persaingan tidak sehat tersebut meliputi
kegiatan yang beraneka ragam, seperti antara lain:
1. Tindakan yang menyesatkan atau membingungkan atau juga memberi kesan yang salah kepada konsumen dalam menentukan pilihan atas produk yang dikehendaki.
2. Memberikan pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai alasan atau jumlah pengurangan harga.
3. Pemberian keterangan asal atas barang atau jasa yang membingungkan atau meyesatkan.
4. Pemberian pernyataan tentang kualitas atau standar, model, dan kadar suatu produk yang tidak benar.10
Pencegahan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat di atas juga
dibarengi dengan kebijakan juga perlu diarahkan untuk mencegah
penyalahgunaan posisi dominan, dan berlangsungnya persekutuan untuk
menghindari persaingan. Upaya pencegahan penyalahgunaan posisi dominan
dilakukan dengan beberapa praktik yang lazim dan tidak dibenarkan antara lain:
1. Menolak dengan alasan yang tidak wajar untuk mengadakan jual beli dan atau melakukan diskriminasi harga, mutu, jumlah, cara pembayaran, atau waktu penyaluran dalam jual beli.
2. Menetapkan persyaratan agar pembeli tidak menjual barang atau jasa lain yang sejenis, dan atau harus membeli berikut barang barang aatau jasa lain.
3. Melakukan perbuatan yang tidak wajar yang baerakibat merugikan, menghalangi, dan atau membatasi pesaing.
4. Mengeluarkan pernyataan palsu atau tindakan menyesatkan mengenai sifat, kegunaan, mutu, ukuran, dan spesifikasi barang atau kasa yang dihasilkan atau dijual.
5. Dengan sengaja melakukan pembatasan, penghentian produksi, penjualan, penyaluran barang atau jasa, yang berakibat menaikkan harga secara tidak wajar.11
10 Ibid. 11
Praktik persekutuan lain yang juga perlu ditangkal adalah tindakan yang
dapat
atau dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindari persaingan. Dalam hal ini
yang biasa dilakukan dengan cara:
1. Membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar yang menyebabkan
terhambatnya persaingan sehat.
2. Secara langsung atau tidak langsung menetapkan harga yang tidak wajar
sehingga menghalangi atau menyingkirkan pesaing.
3. Membatasi atau menghentikan produksi, penjualan atau penyaluran barang
atau jasa, yang berakibat menaikkan barang secara tidak wajar.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian dalam
bentuk skripsi dengan judul: ”Peran Dan Fungsi Perbankan Syariah Dalam
Meningkatkan Usaha Mikro Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 Tentang Perbankan Syariah”
B. Perumusan masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimana peran perbankan syariah dalam meningkatkan usaha mikro
ditinjau dari UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah?
b. Bagaimana pengaturan pembiayaan usaha mikro diatur dalam UU No. 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian mengenai judul di atas adalah agar dapat memecahkan permasalahan yang telah dikemukakan. Adapun tujuan dari
1. Untuk mengetahui peran perbankan syariah dalam meningkatkan usaha
mikro ditinjau dari UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Untuk mengetahui pengaturan pembiayaan usaha mikro dalam UU No. 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan atau faedah penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Secara teoritis
Penulisan ini sebagai bentuk penambahan literatur terhadap pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pengetahuan tentang hal-hal yang berhubungan pemberian kredit perbankan berdasarkan
prinsip syariah.
b. Secara praktis
Secara praktis hendaknya hasil dari penelitian ini dapat memberikan
jalan
keluar bagi seluruh pihak yang berkepentingan dengan pemberian kredit
perbankan dengan sistem syariah.
E. Keaslian Judul
Permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah
hasil dari pemikiran dan ide sendiri yang didasarkan pada referensi dari
buku-buku, artikel-artikel, serta informasi dari media cetak maupun elektronik. Dengan
demikian dapat di katakan bahwa skripsi ini adalah merupakan karya penulis asli.
F. Tinjauan Kepustakaan
Sistem Ekonomi Islam yang dilandasi dan bersumber pada ketentuan
kepada waktu, dan kebersamaan. Adapun sistem ekonomi Islam meliputi antara
lain:
1. Mengakui hak milik individu sepanjang tidak merugikan masyarakat.
2. Individu mempunyai perbedaan yang dapat dikembangkan berdasarkan
potensi masing-masing. Adanya jaminan sosial dari negara untuk masyarakat
terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok manusia .
3. Mencegah konsentrasi kekayaan pada sekelompok kecil orang yang memiliki
kekuasaan lebih.
4. Melarang praktek penimbunan barang sehingga mengganggu distribusi dan
stabilitas harga.
5. Melarang praktek asosial (mal-bisnis).12
Karnaen Perwaatmadja dan Syafi’i Antonio menyebutkan defenisi bank Islam:
”Bank Islam adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariat
Islam, yakni bank yang dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan
syariah Islam khususnya yang menyangkut tata bermuamalat secara Islam”.13
Warkum Sumitro menyebutkan defenisi bank Islam adalah:
Bank Islam berarti yang tata cara beroperasinya didasarkan pada tata cara bermuamalah secara Islam, yakni dengan mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Di dalam operasionalisasinya bank Islam harus mengikuti dan praktek-praktek usaha yang dilakukan di zaman Rasulullah, bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya tetapi tidak dilarang oleh Rasulullah atau bentuk-bentuk usaha baru sebagai hasil ijithad para ulama yang tidak menyimpang dari ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadist.14
12 Gita Danupranata, “Ekonomi Islam”, cetakan pertama, 2006, UPFE-UMY,
Yogyakarta, hlm. 26-27.
13
Karnaen Perwaatmadja dan Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1992, hlm. 1-2.
14 Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait , Raja
Dengan diperkenankannya jenis bank berdasarkan prinsip bagi hasil, maka
dalam sistim perbankan kita saat itu di samping bank konvensional yang kita
kenal selama ini, bank dapat pula memilih kegiatan usaha berdasarkan prinsip
bagi hasil. Kegiatan bank berdasarkan prinsip bagi hasil pada dasarnya merupakan
perluasan jasa perbankan bagi masyarakat yang membutuhan dan menghendaki
pembayaran imbalan yang tidak didasarkan pada sistim bunga, tetapi atas dasar
prinsip bagi hasil atau jual beli sebagaimana digariskan syariat Islam. Juga
diharapkan akan dapat saling melengkapi dengan lembaga-lembaga keuangan
lainnya yang terlebih dahulu dikenal dalam sistim perbankan kita.
Uang dan sistim perbankan dirancang untuk memberikan kontribusi yang signifikan bagi pencapaian tujuan-tujuan utama sosio-ekonomi Islam. Berikut ini dikemukakan tujuan dan fungsi dari sistim keuangan dan perbankan syari’ah:
1. Kesejahteraan ekonomi yang menyeluruh berdasarkan full employment dan tingkat pertumbuhan ekonomi optimum.
2. Keadilan sosio-ekonomi dengan pemerataan distribusi pendapatan dan kesejahteraan.
3. Stabilitas dalam nilai uang sehingga memungkinkan dapat dipergunakan sebagai satuan perhitungan, patokan yang adil dalam penangguhan pembayaran dan nilai tukar yang stabil.
4. Mobilitas dan investasi tabungan bagi pembanguan ekonomi dengan aminan pengembalian yang adil dan prospektif.
5. Penagihan yang efektif dari semua jasa dan produk perbankan.15
Dengan telah adanya Undang-Undang yang mengatur usaha Dunia
Industri Kecil, merupakan suatu statemen tentang adanya Dunia Usaha Industri
Kecil, sekaligus merupakan peringatan bahwa kehadiran Dunia Industri Kecil
begitu penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, karena usaha kecil
15
mempunyai kedudukan, potensi dan peranan yang sangat strategis dalam
mewujudkan tujuan pembangunan ekonomi khususnya dan pembangunan
Nasional pada umumnya.
Sebagaimana diketahui, Indonesia telah mempunyai suatu
Undang-Undang yang secara khusus mengatur kegiatan usaha industri kecil, seperti
terdapat di Negara tetangga Malaysia yang disebut dengan program Bumi Putra.16
Definisi dari Industri Kecil (Usaha Kecil) adalah kegiatan ekonomi rakyat yang
berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan
tahunan serta kepemilikan.
Pemberdayaan Industri Kecil bertujuan untuk menumbuhkan dan
meningkatkan kemampuan usaha kecil menjadi usaha yang tangguh dan mandiri
serta dapat berkembang menjadi usaha menengah dan juga untuk meningkatkan
peranan industri kecil dalam pembentukan produk nasional, perluasan kesempatan
kerja dan berusaha, meningkatkan ekspor, serta peningkatan dan pemerataan
pendapatan untuk mewujudkan dirinya sebagai tulang punggung serta
memperkukuh struktur perekonomian nasional.
Industri kecil harus memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.
200.000.000,-(dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha, memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1000.000.000,-(satu
milyar rupiah), pemiliknya merupakan warga Negara Indonesia, berdiri sendiri
dan bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki,
dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha
menengah atau usaha besar, atau berbentuk usaha orang perseorangan, badan
16
usaha yang tidak berbadan hukum, termasuk koperasi. Adanya keterbatasan modal
dan dunia usaha industri kecil, menimbulkan akibat terbatasnya pendapatan,
sehingga kemampuan untuk memupuk modal sukar berkembang.
Bila ingin membina dan mengembangkan Dunia Usaha Industri Kecil,
atau Usaha Kecil maka harus membenahi hal-hal yang menjadi penghambat
berkembangnya usaha industri kecil, dan memberikan sarana yang memungkinkan
pembinaan dan pengembangan tersebut.
G. Metode Penelitian 1. Sifat/ bentuk penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Langkah
pertama dilakukan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum
sekunder yaitu inventarisasi peraturan–peraturan yang berkaitan dengan peran dan
fungsi perbankan syariah dalam meningkatkan usaha mikro ditinjau dari
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Selain itu
dipergunakan juga bahan–bahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini.
2. Sumber data
Sumber data ini berasal dari data sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini
adalah :
a. Bahan hukum primer berupa UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.dan UU No.20 tahun 2008 tentang usaha Mikro,Kecil
dan Menengah
c. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk – petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum serta bahan – bahan primer, sekunder dan tersier diluar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini17. Selanjutnya Situs Web juga menjadi bahan bagi penulisan skripsi ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.
3. Teknik pengumpulan data
Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka
penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan
(library research), yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku –
buku, majalah – majalah, surat kabar, peraturan perundang – undangan dan bahan
– bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.
Data yang diperoleh melalui studi pustaka dikumpulkan dan diurutkan
kemudian diorganisasikan dalam satu pola, kategori, dan satuan uraian dasar.
Analisis data dalam skripsi ini adalah analisis dengan cara kualitatif yaitu
menganalisis secara lengkap dan komperensif keseluruhan data sekunder yang
diperoleh sehingga dapat mejawab permasalahan-permasalahan dalam skripsi
ini18.
H. Sistematika Penulisan
17
Bambang sunggono, 1998, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm 195
18 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982,
Gambaran secara keseluruhan mengenai skripsi ini akan dijabarkan
dengan cara menguraikan sistematika penulisannya yang terdiri atas 4 (empat) bab
yaitu:
BAB I Pendahuluan merupakan bab yang memberikan ilustrasi guna
memberikan informasi yang bersifat umum dan menyeluruh serta sistematis terdiri
dari latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian
penulisan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II Merupakan bab yang berisikan tentang Peran Perbankan Syariah
Dalam Meningkatkan Usaha Mikro Ditinjau Dari UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah Pengertian.
BAB III Merupakan bab yang berisikan tentang Pengaturan Pembiayaan
Usaha Mikro Diatur Dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
BAB IV Kesimpulan dan saran, merupakan bagian akhir yang berisikan
kesimpulan dan saran dari hasil penulisan dan kaitannya dengan permasalahan
BAB II
PERAN PERBANKAN SYARIAH DALAM MENINGKATKAN USAHA MIKRO DITINJAU DARI UU NO. 21 TAHUN 2008
TENTANG PERBANKAN SYARIAH
A. Pengertian Perbankan dengan Prinsip Syariah
Istilah lain yang digunakan untuk sebutan bank syariah adalah bank Islam.
Karnaen Perwaatmadja dan Syafi’i Antonio menyebutkan defenisi bank Islam:
”Bank Islam adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariat
Islam, yakni bank yang dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan
syariah Islam khususnya yang menyangkut tata bermuamalat secara Islam”.19
Warkum Sumitro menyebutkan defenisi bank Islam adalah:
Bank Islam berarti yang tata cara beroperasinya didasarkan pada tata cara bermuamalah secara Islam, yakni dengan mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Di dalam operasionalisasinya bank Islam harus mengikuti dan praktek-praktek usaha yang dilakukan di zaman Rasulullah, bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya tetapi tidak dilarang oleh Rasulullah atau bentuk-bentuk usaha baru sebagai hasil ijithad para ulama yang tidak menyimpang dari ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadist.20
Sejalan dengan hal tersebut, Sudarsono menyatakan bahwa Bank Syari’ah
adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan
jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi
disesuaikan dengan prinsip-prinsip Syari’ah. oleh karena itu, usaha Bank akan
selalu berkaitan dengan masalah uang sebagai dagang utamanya.21
19 Karnaen Perwaatmadja dan Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Dana
Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1992, hlm. 1-2.
20 Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait , Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 35.
21 Heri Sudarsono, Bank Dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Ekonisia, Yogyakarta ,
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, yang dimaksud dengan bank syariah adalah bank
yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Sedangkan
pengertian prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Penjelasan Umum UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
menyebutkan tentang fungsi disahkannya peraturan perbankan yang
berdasarkan prinsip syariah.
Guna menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberikan keyakinan kepada masyarakat dalam menggunakan produk dan jasa Bank Syariah, dalam Undang-Undang Perbankan Syariah ini diatur jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, dan larangan bagi Bank Syariah maupun UUS yang merupakan bagian dari Bank Umum Konvensional. Sementara itu, untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan kesyariahan operasional Perbankan Syariah selama ini, diatur pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim.22
Dengan diperkenankannya jenis bank berdasarkan prinsip bagi hasil, maka
dalam sistim perbankan kita saat itu di samping bank konvensional yang kita
kenal selama ini, bank dapat pula memilih kegiatan usaha berdasarkan prinsip
bagi hasil. Kegiatan bank berdasarkan prinsip bagi hasil pada dasarnya merupakan
perluasan jasa perbankan bagi masyarakat yang membutuhan dan menghendaki
pembayaran imbalan yang tidak didasarkan pada sistim bunga, tetapi atas dasar
prinsip bagi hasil atau jual beli sebagaimana digariskan syariat Islam. Juga
22
diharapkan akan dapat saling melengkapi dengan lembaga-lembaga keuangan
lainnya yang terlebih dahulu dikenal dalam sistim perbankan kita.
Disamping itu, pendirian jenis bank bagi hasil ini akan dapat memberi
pelayanan kepada bagian dari masyarakat yang karena prinsip agama atau
kepercayaa tidak bersedia memanfaatkan jasa-jasa bank konvensional. Bagaimana
pun juga harus diakui bahwa dalam masyarakat banyak kelompok yang memiliki
prinsip bahwa sistem bunga yang dianut oleh perbankan merupakan pelanggaran
terhadap syari’at agama dan merupakan riba yang di dalam hukum Islam
merupakan perbuatan dosa atau haram, sejalan dengan itu, bank dengan prinsip
bagi hasil dimaksudkan untuk melayani segmen pasar tersebut.
B. Ciri-ciri Perbankan Syariah
Sistem perbankan syariah merupakan sistem perbankan yang beropersi
berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan bank
konvensional. Ciri-ciri yang berdapat dalam sistem perbankan syariah antara lain:
1. Beban biaya yang disepakati bersama pada waktu akad perjanjian diwujudkan dalam bentuk jumlah yang nominal, yang besarnya tidak kaku. Hal ini sesuai dengan S. Al-Baqarah ayat (280).
2. Penggunaan persentase dalam hal kewajiban untuk melakukan pembayaran selalu dihindarkan, karena persentase bersifat melekat pada sisa utang meskipun batas waktu perjanjian sudah berakhir.
3. Di dalam kontrak-kontrak pembiayaan proyek, bank Islam tidak menerapkan perhitungan berdasarkan keuntungan yang pasti (fixed
return) yang ditetapkan di muka, karena pada hakikatnya yang
mengetahui untung ruginya suatu proyek yang dibiayai oleh bank hanya Allah semata.
5. Adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas untuk mengawasi operasionalisasi bank dari sudut syari’ahnya.23
Ciri-ciri perbankan syariah seperti tersebut di atas bersifat universal dan
kumulatif. Artinya bank syariah yang beroperasi di mana saja harus memiliki
ciri-ciri yang disebutkan di atas, jika tidak dipenuhi, maka hilanglah identitasnya
sebagai bank syariah.
Selain itu sistem perbankan yang menggunakan prinsip syari’ah memiliki
karakteristik antara lain sebagai berikut:
1. Peniadaan pembebanan bunga yang berkesinambungan 2. Membatasi kegiatan spekulasi yang tidak produktif.
3. Prinsip bahwa pembiayaan ditujukan kepada usaha-usaha yang halal sesuai dengan prinsip syari’ah dan memiliki keunggulan imperatif terhadap sistem perbankan konvensional.24
Selain itu sistem perbankan syari’ah yang menerapkan pola pembiayaan usaha
dengan prinsip bagi hasil sebagai salah satu usaha pokok dalam kegiatan
perbankan syari’ah juga akan menumbuhkan rasa tanggungjawab pada
masing-masing pihak, baik bank maupun debiturnya akan memperhatikan prinsip
kehati-hatian dan akan memperkecil kemungkinan resiko terjadinya kegagalan usaha.
Adanya karakteristik perbankan syari’ah dengan bank konvensional
menyebabkan timbulnya keengganan bagi pengguna jasa perbankan terutama bagi
pengguna jasa yang akan berpindah dari bank konvensional ke bank syari’ah.
Keengganan tersebut disebabkan antara lain karena hilangnya kesempatan untuk
mendapatkan penghasilan tetap berupa bunga dari simpanan. Hal ini menjadi
salah satu kendala bagi bank syari’ah untuk mendapatkan nasabah dengan cepat.
23 Ibid, hlm. 20.
24 Ashari Akmal Tarigan (ed), Ekonomi dan Bank Syari’ah pada Millenium ketiga, IAIN
Produk-produk Perbankan Syariah
Kalau kita mencermati isi Pasal 6 sampai dengan Pasal 15
Undang-Undang Perbankan yang diubah, maka telah dan membatasi kegiatan usaha bank,
yakni: pertama, mengatur kegiatan-kegiatan usaha yang boleh dan tidak boleh
dilakukan oleh bank; kedua, kegiatan usaha bank tersebut dibedakan antara Bank
Umum dan Bank Perkreditan rakyat; dan ketiga, bank umum
dapatmengkhususkan untuk melaksanakan kegiatan usaha tertentu dan memilih
jenis usaha yang sesuai keahlian dan bidang usaha yang ingin dikembangkannya.
Kegiatan usaha yang dijalankan oleh bank Umum lebih luas dari pada
kegiatan usaha yang dijalankan oleh Bank Perkreditan Rakyat, karena ada
kegiatan bank umum yang dilarang untuk dilakukan pada Bank Perkreditan
Rakyat. Bagi bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip
syariah, wajib menerapkan prinsip syariah dalam melakukan kegiataan usahanya.
Karena sifat yang berdasarkan syariah, maka produk-produk syariah bank
konvensional, yaitu diantaranya bank maupun nasabah tidak diperkenankan
menerima bunga bank. Akan tetapi, jika ada hasil, maka hasil tersebutlah yang
dibagi di antara bank dengan pihak nasabah. Selain itu, produk-produ dari bank
syariah harus disesuaikan dengan ajaran-ajaran Islam yang melarang riba.
Beberapa produk syariah memang ada counterpart-nya dalam prodik bank umum,
sementara yang lainnyaterasa asing sama seali. Bahkan, beberapa prinsip dalam
perbankan konvensional terpaksa dilarang dan ini memang merupakan konsekunsi
dari pengakuan terhadap eksistensi bank syariah itu sendiri. Di antara prinsip
saham pada perusahaan lain yang dibiayainya sendiri menjadi pembeli barang
modal barang atau perdaganagn untuk perusahaan atau orang lain
Pasal 6 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
menentukan bahwa: “Usaha bank umum dalam menyediakan pembiayaan
dan/atau melalukan kegiatan usaha lain berdasarkan prinsip syariah ditetapkan
dengan ketentuan Bank Indonesia.“ Berdasarkan ketentuan di atas,
kegiatan-kegiatan usaha yang dilakukan Bank Umum dengan menerapkan prinsip syariah,
dirinci lebih lanjut dalam Pasal 28 dan Pasal 29 Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 32/34/KEP/DIR. Dikatakan Bank Umum Syariah wajib
menerapkan prinsip syariah dalam melakukan kegiatan usahanya yang meliputi:
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi:
a. Giro berdasarkan prinsip wadiah;
b. Tabungan bedasarkan prinsip wadiah atau mudharabah; c. Deposito berdasarkan prinsip mudharabah; atau
d. Bentuk lain berdasarkan wadiah atau mudharabah. 2. Melakukan penyaluran dana melalui:
a. Transaksi jual beli berdasarkan prinsip: 1) murabah;
2) istisnah; 3) ijarah; 4) salam;
5) jual beli lainnya.
b. Pembiyaan bagi hasil berdasarkan prinsip: 1) mudharabah;
2) musyarakah;
3) bagi hasil lainnya.
c. Pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip: 1) hiwalah;
2) rahn; 3) qardh.
3. Membeli, menjual dan/atau menjamin atas risiko sendiri surat-surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata
(underlyimng transaction) berdasarkan prinsip jual beli atau hiwalah;
4. Membeli surat-surat berharga Pemerintah dan/atau Bank Indonesia yang diterbitkan atas dasar prinsip syariah;
6. Menerima pembayaran tagihan atas surat surat yang diterbitkan dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga berdasarkan prinsip wakalah;
7. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat-surat berharga berdasarkan prinsip wadiyah yad amanah;
8. Melakukan kegiatan penitipan termasuk penata usahaannya untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip
wakalah;
9. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah laian dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat dibursa efek berdasarkan prinsip ujr;
10. Memberikan fasilitas letter of credit berdasarkan prinsip wakalah,
murabahah, mudharabah, musyarakah dan wadiah serta memberikan
fasilitas garansi bank berdasarkan prinsip kafalah;
11. Melakukan kegiatan usaha kartu debit berdasarkan prinsip ujr; 12. Melakukan kegiatan wali amanat berdsarkan prinsip wakalah;
13. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan Bank Umum Syariah sepanjang disetujui oleh Dewan Syariah Nasional.
Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud di atas, bank
Umum Syariah dapat pula:
1. Melakukan kegiatan dalam valuta asing berdsarkan prinsip sharat, 2. Melakukan kegiatan pernyataan modal berdsarkan prinsip musyarakah
dan/atau mudharabah untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan dengan syarat harus menarik kembali pernyatannya; dan
3. Melakukan kegiatan pernyataan modal sementara berdasarkan prinsip
musyarakah dan/atau mudharabah untuk mengatasi akibat
4. Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus.25
Seperti halnya dalam bank Konvensional, produk perbankan yang
ditawarkan bank syari’ah pun terbagi kepada dua bagian pokok, yaitu produk
pengerahan dan penyaluran dana.
25 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, Citra Aditya
Peranan Perbankan Syariah dalam Meningkatkan Usaha Mikro
Pembinaan dan pengembangan usaha kecil perlu memperhatikan
klasifikasi dan tingkat perkembangan usaha kecil, tetapi dengan tetap menerapkan
keluwesan dalam pembinaan sehingga tidak justru menghambat upaya pembinaan
dan pengembangan dari Usaha Kecil (Dunia Industri Kecil).
Dalam penyaluran dana yang berhasil dihimpun dari nasabah atau
masyarakat, bank syariah menawarkan beberapa produk perbankan sebagi berikut:
1. Pembiayaan Mudharabah
Mudharabah merupakan akad kerja sama antara pemilik dana (shahibul maal) dengan pengusaha (mudharib) untuk melakukan suatu usaha bersama.
Keuntungan yang diperoleh dibagi antara keduanya dengan perbandingan nisbah
yang disepakati sebelumnya. Prinsip mudharabah ini dalam perbankan digunakan
untuk menerima simpanan dari nasabah, baik dalam bentuk tabungan atau
deposito. Dan juga untuk melakukan pembiayaan.
Adapun rukun dan syaratnya adalah sebagai berikut.
Rukun Mudharabah:
1. Ada shahibul maal (modal/nasabah); 2. Mudharib (pengusaha/bank) ;
3. Amal (usaha/pekerjaan);
4. Hasil (bagi hasil/keuntungan), dan 5. Aqad (ijab-qabul), 26
Sedangkan syarat-syaratnya, khususnya berkaitan dengan modal, maka
modalnya harus dalam bentuk uang tunai atau barang yang dapat dihargakan
dengan harga pada masa itu sesuai dengan mata uang yang dapat berlaku; dan
26 Neni Sri Imaniyati, Hukum Ekonomi dan Ekonomi Islam dalam Perkembangan,
modal tersebut juga harus diketahui dengan jelas (dapat diukur). Pembagian
keuntungan antara mudharib dan shahibul maal berdasarkan nisbah sesuai
kesepakatan awal dan tidak dalam jumlah yang pasti. Nisbah bagi hasil
disetujui dalam kontrak; dan perbandingan bagi hasil dapat ditentukan dalam
persen atau pembagian. Dari segi kerugian: kerugian finansial menjadi beban
pemilik dana sedangkan pengelola tidak memperoleh imbalan atas uasaha
yang telah dilakukan. Adapun kerugian akibat salah urus atau kelalaian
mudharib menjadi beban mudharib.
Dari karakteristik mudharabah di atas, maka aplikasi perjanjian jenis ini
harus memenuhi ketentuan tersebut (syarat dan rukun serta
ketentuan-ketentuan khusus lainnya). Misalkan isi perjanjian tentang bagi hasil:…… dan
pihak pertama pemilik dana/ shahibul maal/ deposan/ pemegang rekening) dan
pihak kedua (bank/pengelola dan/mudharib) berjanji akan berbagi hasil atas
dana pihak pertama dalam bentuk …. (deposito/ tabungan /usaha) dengan
perbandingan bagi hasil… (40%(empat puluh persen) )….. Untuk pihak
pertama dan… (60%(enam puluh persen)).. untuk pihak kedua…. “, dan
begitu pula seterusnya tentang kerugian, jumlah modal, jangka waktu
penempatan , dan lainnya.
Selanjutnya, pada saat jatuh tempo nasabah berkewajiban mengembalikan
modal kepada bank, baik dengan cara dicicil atau dilunasi seluruhnya.
Keberlakuan bagi hasil antara nasabah dan bank berlangsung selam modal yang di
mudharabah ini dibedakan antara: “Pembiayaan mudharabah mutlaqah dengan
pembiayaan mudharabah muqayyadah.”27
Dalam pembiayaan mudharabah mutlaqah nasabah diberikan kebebasan
untuk melakukan usaha dan tidak terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan
oleh pihak bank, sedangkan dalam pembiayaan mudharabah muqayyadah nasabah
hanya melakukan jenis usaha tertentu dan terikat dengan syarat-syarat yang
ditetapkan oleh bank sebagai penyedia modal. Proses aplikasi kedua pembiayaan
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Tabel 4.1
Proses Aplikasi Pembiayaan Mudharabah Muthlaqah
27 H. A Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Ummat, (Sebuah
Pengenalan), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 74
Perjanjian bagi hasil
Mudharib/
Nasabah
Rab al-Mal/ Bank
Proyek/usaha
Pembagian keuntungan
Tabel 4.2.
Proses Aplikasi Pembiayaan
Mudharabah Muqayyah
2 dana 1 proyek
3 paper
investasi investasi
2. Pembiayaan Musyarakah
Pembiayaan musyarakah adalah pembiayaan sebagian dari modal usaha,
yang mana pihak bank dapat dilibatkan dalam proses manajemennya. Modal yang
disetor bisa berupa uang, barang perdagangan (trading asset), property,
equipment, atau intangible asset (seperti hak paten dan googwill) dan
barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang.
Dalam pelaksanaan kegiatan usaha pemilik modal diperkenankan
menyerahkan pengelolaan usahanya kepada pihak lain (ketiga). Dalam hal seperti
ini dapat dilakukan dalam dua bentuk perjanjian, yaitu perjanjian musyarakah
antar pemilik modal atau perjanjian murabahah antara pemilik modal dengan
pengelola usaha. Pembagian keuntungan ditentukan dalam perjanjian sesuai
dengan proporsi masing-masing pihak, yakni antara bank dan nasabah penerima
NASABAH BANK PROYEK
Bank Reksadana
Manajer Investasi
Ekuiti
Obligasi Bagi hasil
modal. Proses aplikasi pembiayaan musyarakah ini dapat digambarkan sebagai
berikut.
Tabel 4.3.
Aplikasi Pembiayaan Musyarakah
3. Pembiayaan Murabahah
Murabahah dalam istilah fiqh ialah akad jual beli atas barang tertentu. Dalam
transaksi jual beli tersebut, penjual menyebutkan dengan jelas barang yang
diperjual belikan termasuk harga pembeliaan dan keuntungan yang diambil.
Murabahah dalam teknis perbankan adalah akad jual beli antara bank selaku
penyedia barang dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Bank
memperoleh keuntungan jual-beli yang disepakati bersama. Rukun dan syarat
murabahah dalam perbankan adalah sama dengan syarat dalam fiqh dalam hal
jual-beli. Syarat-syarat lain seperti barang-barang, harga dan cara pembayaran
adalah sesuai dengan kebijaksanaan bank yang bersangkutan.
Adapun rukun dan syaratnya adalah sebagai berikut.
Nasabah
Parsial: Asset
Value
Bank Syari’ah Parsial: Asset Value
Proyek/Usaha
Bagi Hasil Keuntungan Sesuai Porsi Kontribusi Modal (Nasabah)
Rukun murabahah:
a. “Penjual;
b. Pembeli;
c. Barang yang diperjualbelikan;
d. Harga; dan
e. Ijab-qabul.”28
Sedangkan syaratnya: mengenai barang yang diperjualbelikan: sifat, jenis dan
jumlahnya jelas dan tidak termasuk kategori barang haram. Harga pembelian
dan keuntungan serta cara pembayarannya harus disebut dengan jelas dan
dinyatakan secara tertulis.
Murabahah dalam teknis perbankan: harga jual bank adalah harga beli dari
supplier ditambah keuntungan yang disepakati bersama. Jadi, nasabah
mengetahui keuntungan yang diambil oleh bank. Selama akad belum berakhir,
maka harga jual beli tidak boleh berubah. Apabila terjadi perubahan, akad
tersebut menjadi batal; cara pembayaran dan jangka waktu yang disepakati
bersama, dapat lumpsum atau secara angsuran.
Pembiayaan murabahah adalah pembiayaan untuk membeli barang
nasional ataupun internasional. Dalam produk ini bank tidak melakukan
perdagangan baik dengan pemasok maupun dengan penerima kredit, karena
barang yang dibeli langsung diatasnamakan penerima kredit. Harga jual adalah
harga beli diatambah mark up yang diperhitungkan secara lum sum dan disetujui
penerima kredit. Sekalipun barang yang dibeli diatasnamakan penerima kredit,
tetapi surat tanda bukti pemilikan tetap dipegang bank selama harga pembelian
28
belum dilunasi. Proses aplikasi pembiayaan murabahah ini dapat digambarkan
sebagi berikut.
Tabel 4.4.
Aplikasi Pembiayaan Murabahah
1.Negosiasi & Persyaratan
4. Pembiayaan Al Bai’ Bithaman Ajil
Pembiayaan Al Bai’ Bithaman Ajil adalah pembiayaan untuk pembelian
barang dengan cicilan. Syarat-syarat dasar dari produk ini hampir sama
dengan pembiayaan murabahah. Perbedaan di antara keduanya terletak pada
cara pembayaran, dimana pada pembiayaan murabahah pembayaran
ditunaikan setelah berlangsungnya akad kredit, sedangkan pada pembiayaan
Al Bai’ Bithaman Ajil cicilan baru dilakukan setelah nasabah penerima barang
mampu memperlihatkan hasil usahanya.
5. Pembiayaan salam
Pembiayaan salam diaplikasikan dalam bentuk pembiayaan berjangka
pendek untuk produksi agribisnis atau industri jenis lainnya. Pembelian
produksi agribisnis atau industri sejenis lainnya harus diketahui jenis, macam,
ukuran, mutu, dan jumlahnya secara jelas. Harga jual yang disepakati harus
dicantumkan dalam akad dan tidak boleh berubah selama berlakunya akad.
BANK BANK
Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad,
maka produsen harus bertanggung jawab dengan cara antara lain harus
mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti dengan barang
yang sesuai dengan pesanan.
6. Pembiayaan Istishna’
Pembiayaan istishna’ diaplikasikan dalam bentuk pembiayaan manufaktur,
industri kecil-menengah, dan kontruksi. Dalam pembiayaan ini kriteria barang
pesanan harus ada kejelasan mengenai jenis, macam, ukuran, mutu, dan
jumlah barang yang dipesan. Harga jual yang disepakati dicantumkan dalam
akad istishna dan tidak boleh berubah selama akad masih berlaku. Jika terjadi
perubahan kriteria pesanan dan terjadi perubahan harga setelah akad
ditandatangani, maka seluruh biaya tambahan tetap ditanggung oleh nasabah.
Dalam pelaksanaannya, pembiayaan istishna dapat dilakukan dengan dua
cara, yakni pihak produsen ditentukan oleh bank atau pihak produsen
ditentukan oleh nasabah. Pelaksanaan salah satu dari kedua cara tersebut harus
ditentukan dimuka dalam akad berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
7. Pembiayaan sewa beli
Pembiayaan sewa beli (ijarah wa iqtina atau ijarah muntahiyyah bi tamlik)
adalah akad sewa suatu barang antar bank dengan nasabah, dimana nasabah
diberi kesempatan untuk membeli objek sewa pada akhir akad atau dalam
dunia usaha dikenal dengan finance lease. Harga sewa dan harga beli
ditetapkan bersama diawal perjanjian. Dalam pembiayaan ini yang menjadi
obyek sewa disyaratkan harus barang yang bermanfaat dan dibenarkan oleh
Pembiayaan sewa beli ini dapat dilakukan dengan cara:
Pertama-tama lembaga pembiayaan atau perusahaan leasing yang berdasarkan syariah Islam membeli asset yang akan dibeli oleh nasabah. Setelah terbeli, maka lembaga tersebut menyewakan asset itu dalam jangka waktu dan harga yang ditentukan dalam perjanjian kedua belah pihak.29
8. Hiwalah
Hiwalah adalah produk perbankan syariah yang disediakan untuk
membantu supplier dan mendapatkian modal tunai agar melanjutkan
produksinya. Dalam hal ini bank akan mendapatkan imbalan (fee) atas jasa
pemindahan piutang. Besarnya imbalan yang akan diterima bank ditetapkan
berdasarkan hasil kesepakatan antar bank dengan nasabah.
9. Rahn
Produk perbankan ini disediakan untuk membantu nasabah dalam
pembiayaan kegiatan multiguna. Rahn sebagai produk pinjaman berarti bank
hanya memperoleh imbalan atas penyimpanan, pemeliharaan, asuransi, dan
administrasi barang yang digadaikan. Berkenaan dengan hal tersebut, maka
produk rahn ini biasanya hanya digunakan bagi keperluan sosial, seperti
pendidikan dan kesehatan.
Pembinaan dan pengembangan terhadap usaha kecil yang telah berhasil berkembang menjadi usaha menengah, masih dapat dilanjutkan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun lagi untuk lebih memantapkan usahanya setelah menjadi usaha menengah tersebut masih dapat memanfaatkan bantuan pembinaan dari pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.30
Lembaga pembiayaan dan lembaga penjaminan adalah lembaga yang sudah
ada atau yang akan dibentuk, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
29 M. Amin Aziz, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, Bangkit, Jakarta, tt, hlm.
104
30 Florianus SP Sangsun, Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah, Visimedia, Jakarta, 2007,
berlaku, baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun dunia usaha. Sedangkan
lembaga pendukung lainnya antara laian dapat berupa lembaga pendidikan dan
pelatihan, lembaga pengkajian, lembaga pemasaran dan informasi, klinik
konsultasi bisnis, inkubator, lembaga bantuan hukum dan pembelaan.31 Lembaga
pembiayaan menyediakan dukungan modal untuk pembinaan dan pengembangan
usaha kecil antara lain meliputi skim modal awal, modal bergulir, kredit usaha
kecil, kredit program dan kredit modal kerja usaha kecil, kredit kemitraan, modal
ventura dana dari bagian laba Badan Usaha Milik Negara, anjak piutang dan
kredit lainnya untuk meningkatkan ekspor dan pengembangan teknologi usaha
kecil.
Secara prinsip, kemitraan usaha tetap diarahkan dapat berlangsung atas
dasar dan berjalan berdasar norma-norma ekonomi yang berlaku dan atau lazim,
serta adanya kebutuhan dalam keterkaitan usaha yang saling memerlukan, saling
memperkuat dan saling menguntungkan. Dalam kaitannya dengan keperluan
untuk memberi perhatian dan dorongan yang lebih besar kepada terwujudnya
kemitraan Usaha Besar dan Usaha Menengah dengan Usaha Kecil, prinsip prinsip
di atas pada prinsipnya juga tetap diberlakukan.
Yang diberi penekanan adalah, adanya penciptaan iklim dan pembinaan
sehingga dapat mempercepat perwujudannya.32 Termasuk dalam pengertian
Usaha Kecil juga badan hukum koperasi yang didirikan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Salah satu bentuk
pembinaan usaha mikro adalah dengan menjalankan sistem waralaba. Meskipun
31 Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 32 Tahun 1998, tentang Pembinaan dan
Pengembangan Usaha Kecil, Op.Cit., Pasal 14.
32