LAJU RESAPAN AIR PADA BERBAGAI JENIS TANAH DAN
BERAT JERAMI DENGAN MENERAPKAN TEKNOLOGI
BIOPORI DI KECAMATAN MEDAN AMPLAS
T E S I S
Oleh
RASMITA BR. GINTING
077004023/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
SE K O L
A
H
P A
S C
A S A R JA
N
LAJU RESAPAN AIR PADA BERBAGAI JENIS TANAH DAN
BERAT JERAMI DENGAN MENERAPKAN TEKNOLOGI
BIOPORI DI KECAMATAN MEDAN AMPLAS
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
RASMITA BR. GINTING
077004023/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : LAJU RESAPAN AIR PADA BERBAGAI JENIS
TANAH DAN BERAT JERAMI DENGAN
MENERAPKAN TEKNOLOGI BIOPORI
DI KECAMATAN MEDAN AMPLAS Nama Mahasiswa : Rasmita Br. Ginting
Nomor Pokok : 077004023
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Ir. Sumono, MS) Ketua
(Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D) Anggota
(Dr. Sutarman, M.Sc) Anggota
Ketua Program Studi,
(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS)
Direktur,
(Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)
Telah diuji pada
Tanggal : 6 Nopember 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Ir. Sumono, MS
Anggota : 1. Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D
2. Dr. Sutarman, M.Sc
3. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS
LAJU RESAPAN AIR PADA BERBAGAI JENIS TANAH DAN BERAT JERAMI DENGAN MENERAPKAN TEKNOLOGI BIOPORI
DI KECAMATAN MEDAN AMPLAS
Rasmita Br. Ginting, Prof. Dr. Ir. Sumono, MS, Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D dan Dr. Sutarman, M.Sc
ABSTRAK
Isu lingkungan yang perlu menjadi perhatian di Kota Medan diantaranya adalah terjadinya genangan pada saat hujan dan menurunnya ketersediaan air tanah. Timbulnya masalah tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor: pertama pesatnya pembangunan, kedua tingginya peningkatan jumlah penduduk, ketiga minimnya fasilitas infrastruktur dan keempat tingginya pemanfaatan air tanah. Dalam hal ini tentu diperlukan berbagai upaya pengelolaannya baik secara kebijakan administratif maupun aplikasi teknis.
Teknologi lubang resapan biopori sangat tepat diterapkan di Kota Medan, karena kondisi fisik kota yang mana umumnya memiliki persentase lahan kedap yang tinggi sedangkan biopori tersebut dapat dengan ukurannya yang relatif kecil sehingga dapat diaplikasikan pada lokasi lahan yang sempit. Lubang resapan biopori memiliki berbagai manfaat yaitu: mengurangi genangan, menambah ketersediaan air tanah dan mengurangi volume sampah organik. Cara membuat lubang resapan biopori adalah dengan menggali tanah secara vertikal kedalaman 80 cm diameter 10 cm diberi jerami yang akan berfungsi sebagai sumber energi bagi kelangsungan hidup organisme tanah. Organisme tersebut akan berperan dalam pembentukan pori-pori tanah, bertambahnya pori-pori tanah berbanding lurus dengan meningkatnya laju resapan air ke dalam tanah. Untuk menentukan berapa jumlah lubang resapan biopori yang perlu dipasang untuk satuan lahan kedap, maka perlu diketahui berapa laju resapan air pada masing-masing jenis tanah.
pada tanah entisol dengan berat jerami 200 g berbeda nyata pada taraf 5% terhadap tanah inseptisol dan ultisol.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa jumlah biopori yang dibutuhkan berbeda berdasarkan jenis tanahnya. Angka laju resapan air pada tanah ultisol sangat rendah, sehingga pemanfaatan lahan harus dibarengi dengan pendekatan pengelolaan yang baik agar tidak menimbulkan permasalahan genangan pada saat hujan dan berkurangnya ketersediaan air tanah.
INFILTRATION RATE VARIOUS TYPES OF WATER ON SOIL AND STRAW WITH WEIGHT APPLYING TECHNOLOGY BIOPORI
SANDPAPER SUB IN MEDAN
Rasmita Br. Ginting, Prof. Dr. Ir. Sumono, MS, Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D and Dr. Sutarman, M.Sc
ABSTRACT
The environmental issue as a concern of Medan City included the flood in rainy season and declined supply of underground water. The problem was effected by some factors: first, the rapid development, second high rate of population growth, third the minimum facility and infrastructure, and fourth the high utilization of underground water. Of course, it required some attempt of management either administrative policy of technical application.
Technology of biopore absorption hole was very relevant to apply in Medan City, because physical condition of city has a very high percentage of tighted land, while the size of biopore was relative small, thus it could be applied in narrow location. The biopore absorpotion hole has some significant: To decrease the flood, to add the supply of underground water and to decrease the volume of organic waste. The method of preparing biopore absorpotion hole was to dig the land vertically into 80 cm of depth at 10 cm diameter, filled with straws as energy source for organism survival of soil. The organism would serve to form the soil pores. The addition of soil pores was directly proportional would serve to form the soil pores. The addition of soil pores was directly the number of biopore absorption hole to install for a tighted land, it would be important to know the rate of water precipitation in each type of soil.
lowest, thus the utilization of land should be accompanied by good approach of management to prevent the problem of flood especially in rainy season and declined supply of underground water.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat kasih dan
karuniaNya sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dan menyelesaikan
penulisan tesis ini dengan judul Laju Resapan Air pada Berbagai Jenis Tanah dan
Berat Jerami dengan Menerapkan Teknologi Biopori di Kecamatan Medan Amplas.
Penelitian ini dilaksanakan guna memenuhi salah satu persyaratan untuk
memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktur
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang,
MSIE., juga kepada Ketua Program Studi Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS., demikian
pula ucapan terima kasih saya ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Sumono, MS., sebagai
Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D., sebagai
Anggota Komisi Pembimbing dan Dr. Sutarman, M.Sc., sebagai Anggota Komisi
Pembimbing yang telah membimbing, mengarahkan serta memberikan masukan yang
berharga kepada penulis dalam penyelesaian penulisan tesis ini. Selanjutnya penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS dan Prof. Dr.
Erman Munir, MSc, masing-masing sebagai Dosen Pembanding yang telah banyak
Demikian pula penulis mengucapkan terima kasih kepada semua rekan-rekan
PSL khususnya angkatan 2007, yang telah memberikan motivasi dan dukungan moril
bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada suami terkasih Drs.
Effendi Purba yang dengan segala cinta dan kesabarannya selalu mendampingi,
membantu dan memberi saran dari saat mulai mengikuti perkuliahan hingga
selesainya penyusunan tesis ini. Tesis ini penulis persembahkan kepada anak-anak
tersayang, dengan harapan kiranya dengan selesainya penulisan tesis ini akan menjadi
pemacu semangat bagimu untuk lebih giat menimba ilmu pada masa mudamu kini
dan menggali ilmu sepanjang usiamu. Kiranya Tuhan Yang Maha Pengasih akan
melimpahkan berkat dan rahmatNya kepada semua pihak yang telah berpartisipasi
dalam berbagai aspek kepada penulis, sehingga penulisan tesis ini telah selesai.
Penulis berharap kiranya tesis ini akan bermanfaat bagi pengembangan
pengetahuan masyarakat umum dan khususnya bagi Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara.
Medan, Nopember 2010 Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Pada tanggal 14 April 1966 penulis lahir di kota dingin Kabanjahe, Kabupaten
Karo sebagai anak bungsu dari lima bersaudara. Menikah dengan Drs. Effendi Purba
pada tanggal 30 Oktober 1998 dan dikaruniai dua orang anak, seorang putra Egia
Rinaldi Purba dan seorang putri Evita Aloina. Pendidikan yang telah ditempuh SD
Negeri 1001820 di Pancurbatu, tamat pada tahun 1979, SMP Negeri I Pancurbatu,
tamat pada tahun 1982, SPP-SPMA Negeri Medan, tamat pada tahun 1985, pada
tahun 1992 kuliah di Fakultas Pertanian Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan
Univeritas Karo serta memperoleh Gelar Sarjana, pada tahun 1997, mahasiswa
Program Studi PSL Sekolah Pascasarjana USU mulai tahun 2007.
Pengalaman pekerjaan yang dilalui sebagai Staf Pengajar pada Sekolah
Pertanian Menengah Atas Yayasan Gajah Mada tahun 1985-1986, Penyuluh
Pertanian pada Dinas Pertanian Kabupaten Karo tahun 1986-1998, Bagian Tata
Usaha pada BIPP Kota Binjai tahun 1998-2002, Staf pada BAPEDALDA Kota
Medan tahun 2002-2003, Kasi Pencemaran pada Dinas Lingkungan Hidup Kota
Medan tahun 2003- 2009, Kasubbid Konservasi pada Badan Lingkungan Hidup Kota
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... v
RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 7
1.3. Landasan Teori ... 7
1.4. Tujuan Penelitian ... 10
1.5. Hipotesis ... 11
1.6. Manfaat Penelitian ... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12
2.1. Biopori ... 12
2.2. Lubang Resapan Biopori ... 13
2.3. Peranan Bahan Organik ... 14
2.4. Perawatan Lubang Resapan Biopori ... 16
2.5. Manfaat Lubang Resapan Biopori ... 16
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 22
4.2. Hasil Pengamatan Laju Resapan Air... 31
4.2.1. Laju Resapan Air pada Jenis Tanah Ultisol (A)... 31
4.2.2. Laju Resapan Air pada Jenis Tanah Inseptisol (B) ... 32
4.2.3. Laju Resapan Air pada Jenis Tanah Entisol (C) ... 32
4.3. Analisis Data Laju Resapan Air pada Masing-masing Jenis Tanah ... 33
4.3.1. Uji F ... 34
4.3.2. Uji Beda Nyata Jarak (BNJ) ... 35
4.4. Analisis Data Laju Resapan Air pada Berbagai Jenis Tanah dan Berat Jerami ... 38
4.4.1. Uji F ... 39
4.5. Laju Resapan Air pada Berbagai Berat Jerami ... 42
4.6. Laju Resapan Air pada Berbagai Jenis Tanah... 43
4.6.1. Faktor Tekstur Tanah ... 44
4.6.2. Faktor Kerapan Isi ... 46
4.7. Jumlah Lubang Resapan Biopori yang Dianjurkan ... 46
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 49
5.1. Kesimpulan... 49
5.2. Saran ... 50
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
4.1. ANOVA untuk Jenis Tanah Ultisol ... 34
4.2. ANOVA untuk Jenis Tanah Inseptisol ... 34
4.3. ANOVA untuk Jenis Tanah Entisol ... 35
4.4. Uji BNJ untuk Jenis Tanah Ultisol ... 36
4.5. Uji BNJ untuk Jenis Tanah Inseptisol ... 36
4.6. Uji BNJ untuk Jenis Tanah Entisol ... 37
4.7. Data Laju Resapan Air dengan Kombinasi Perlakuan Berbagai Jenis Tanah dan Berat Jerami ... 39
4.8. ANOVA ... 39
4.9. Uji BNJ dari Interaksi Perlakuan ... 40
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Tampak Samping Lubang Resapan Biopori di dalam Tanah... 13
2.2. Sayatan Penampang Tanah dalam yang Telah Berkembang
dengan Liang-liang yang Memanjang ke Berbagai Arah ... 15
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Denah Percobaan……….. 53
2. Tabel Pengamatan Penelitian……… 54
3. Data Laju Resapan Air dengan Perlakuan Berbagai Jenis Tanah
dan Berat Jerami Dibandingkan dengan Kontrol……….. 55
4. Data Hasil Analisis Tanah………. 56
5. Data Hasil Analisis Kadar Air Tanah……… 57
6. Data Curah Hujan Kecamatan Medan Amplas Tahun 2010……. 58
7. Curah Hujan dan Hari Hujan di Kecamatan Medan Amplas
Tahun 2005-2009……….. 59
8. Intensitas Curah Hujan Maksimum (mm/jam) di Kecamatan
Medan Amplas Tahun 2005-2009………. 60
9. Temperatur Udara di Kecamatan Medan Amplas Tahun 2005-
2009……….. 61
10. Kelembaban Udara di Kecamatan Medan Amplas Tahun 2004-
2009……….. 62
11. Peta Jenis Tanah Kota Medan……….. 63
12. Peta Jenis Tanah Kecamatan Medan Amplas……….. 64
LAJU RESAPAN AIR PADA BERBAGAI JENIS TANAH DAN BERAT JERAMI DENGAN MENERAPKAN TEKNOLOGI BIOPORI
DI KECAMATAN MEDAN AMPLAS
Rasmita Br. Ginting, Prof. Dr. Ir. Sumono, MS, Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D dan Dr. Sutarman, M.Sc
ABSTRAK
Isu lingkungan yang perlu menjadi perhatian di Kota Medan diantaranya adalah terjadinya genangan pada saat hujan dan menurunnya ketersediaan air tanah. Timbulnya masalah tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor: pertama pesatnya pembangunan, kedua tingginya peningkatan jumlah penduduk, ketiga minimnya fasilitas infrastruktur dan keempat tingginya pemanfaatan air tanah. Dalam hal ini tentu diperlukan berbagai upaya pengelolaannya baik secara kebijakan administratif maupun aplikasi teknis.
Teknologi lubang resapan biopori sangat tepat diterapkan di Kota Medan, karena kondisi fisik kota yang mana umumnya memiliki persentase lahan kedap yang tinggi sedangkan biopori tersebut dapat dengan ukurannya yang relatif kecil sehingga dapat diaplikasikan pada lokasi lahan yang sempit. Lubang resapan biopori memiliki berbagai manfaat yaitu: mengurangi genangan, menambah ketersediaan air tanah dan mengurangi volume sampah organik. Cara membuat lubang resapan biopori adalah dengan menggali tanah secara vertikal kedalaman 80 cm diameter 10 cm diberi jerami yang akan berfungsi sebagai sumber energi bagi kelangsungan hidup organisme tanah. Organisme tersebut akan berperan dalam pembentukan pori-pori tanah, bertambahnya pori-pori tanah berbanding lurus dengan meningkatnya laju resapan air ke dalam tanah. Untuk menentukan berapa jumlah lubang resapan biopori yang perlu dipasang untuk satuan lahan kedap, maka perlu diketahui berapa laju resapan air pada masing-masing jenis tanah.
pada tanah entisol dengan berat jerami 200 g berbeda nyata pada taraf 5% terhadap tanah inseptisol dan ultisol.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa jumlah biopori yang dibutuhkan berbeda berdasarkan jenis tanahnya. Angka laju resapan air pada tanah ultisol sangat rendah, sehingga pemanfaatan lahan harus dibarengi dengan pendekatan pengelolaan yang baik agar tidak menimbulkan permasalahan genangan pada saat hujan dan berkurangnya ketersediaan air tanah.
INFILTRATION RATE VARIOUS TYPES OF WATER ON SOIL AND STRAW WITH WEIGHT APPLYING TECHNOLOGY BIOPORI
SANDPAPER SUB IN MEDAN
Rasmita Br. Ginting, Prof. Dr. Ir. Sumono, MS, Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D and Dr. Sutarman, M.Sc
ABSTRACT
The environmental issue as a concern of Medan City included the flood in rainy season and declined supply of underground water. The problem was effected by some factors: first, the rapid development, second high rate of population growth, third the minimum facility and infrastructure, and fourth the high utilization of underground water. Of course, it required some attempt of management either administrative policy of technical application.
Technology of biopore absorption hole was very relevant to apply in Medan City, because physical condition of city has a very high percentage of tighted land, while the size of biopore was relative small, thus it could be applied in narrow location. The biopore absorpotion hole has some significant: To decrease the flood, to add the supply of underground water and to decrease the volume of organic waste. The method of preparing biopore absorpotion hole was to dig the land vertically into 80 cm of depth at 10 cm diameter, filled with straws as energy source for organism survival of soil. The organism would serve to form the soil pores. The addition of soil pores was directly proportional would serve to form the soil pores. The addition of soil pores was directly the number of biopore absorption hole to install for a tighted land, it would be important to know the rate of water precipitation in each type of soil.
lowest, thus the utilization of land should be accompanied by good approach of management to prevent the problem of flood especially in rainy season and declined supply of underground water.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kelangsungan hidup semua makhluk hidup sangat tergantung pada
ketersediaan air. Manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan tidak dapat bertahan hidup
tanpa adanya air. Dengan demikian sudah menjadi kewajiban kita sebagai manusia
yang diberi akal, untuk bertanggung jawab melestarikan sumberdaya air yang ada
di bumi ini. Di alam air akan tetap bergerak mulai dari penguapan oleh permukaan
laut ke atmosfer, kemudian terjadi kondensasi yang akhirnya jatuh sebagai titik-titik
hujan ke permukaan tanah. Melalui proses infiltrasi dan perkolasi air akan masuk dan
tertahan sementara di dalam tanah, di sungai dan di waduk sehingga dapat
dimanfaatkan manusia, kemudian air tersebut akan kembali lagi ke laut demikian
seterusnya tak pernah berhenti, yang dikenal dengan Siklus Hidrologi (Asdak, 2003).
Hutan maupun vegetasi lain sangat berperan dalam berlangsungnya proses hidrologi.
Dengan adanya vegetasi maka air yang terserap akan lebih banyak, sebagian terserap
oleh seresah di permukaan tanah sehingga aliran air di permukaan tanah semakin
kecil. Air yang tersimpan di dalam tanah dan terserap dalam seresah merupakan
simpanan air yang tersedia dalam waktu yang lama (Soemarwoto, 2004).
Air merupakan salah satu kebutuhan yang esensial bagi kehidupan manusia,
yang dimanfaatkan manusia diberbagai sektor kebutuhan mulai dari kebutuhan sehari
dan lain sebagainya. Melihat nilai strategis dari sumberdaya air maka sistem
manajemen sumberdaya air merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Dewasa
ini air merupakan salah satu isu global sehingga berbagai kebijakan manajemen
sumberdaya air perlu dilakukan untuk menanggulangi terjadinya krisis air bersih yang
berkelanjutan (PPLH Regional Sumatera, 2009).
Namun dengan bertambahnya populasi manusia seiring dengan meningkatnya
kebutuhan maka konservasi terhadap sumberdaya air kurang mendapat perhatian,
bahkan penebangan pohon dan kerusakan hutan terjadi semakin tidak terkendali
di berbagai tempat. Hal ini tentu mengakibatkan terganggunya siklus hidrologi yang
memberi dampak negatif terhadap lingkungan yaitu: terjadi erosi, berkurangnya
persediaan air tanah, mempercepat pergerakan air dari hulu sampai di hilir sehingga
pada musin hujan di daerah hilir akan rawan terjadi banjir.
Sebagai kawasan hilir yang dilalui Sungai Deli dan Sungai Babura, Kota
Medan merupakan salah satu daerah yang rawan banjir. Kondisi banjir hampir selalu
terjadi pada beberapa daerah daerah tertentu terutama pada saat musim penghujan,
keadaan tersebut tentu saja merupakan suatu permasalahan yang perlu diperhatikan
karena sangat merugikan bagi masyarakat.
Kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara memiliki luas wilayah
seluas 26.510 ha terletak di pantai Timur Sumatera, dengan ketinggian 2,5-40 m
di atas permukaan laut, kemiringan 0-3% merupakan daerah dataran rendah dengan
topografi cenderung landai ke utara dan menjadi tempat pertemuan dua sungai yaitu
bila dibandingkan dengan beberapa kota besar lainnya di Indonesia, sehingga menjadi
keterbatasan dalam pelaksanaan pembangunan (BAPPEDA Kota Medan, 2008).
Dengan keterbatasan ruang yang ada sudah seharusnya Pemerintah Kota Medan
menyusun penataan ruang dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan dan
luas lahan terbuka sebagai daerah resapan air agar kemungkinan terjadinya banjir
dapat diminimis.
Selain karena faktor curah hujan yang tinggi dan akibat meningkatnya
penebangan hutan di daerah hulu, faktor-faktor internal yang mempengaruhi
terjadinya banjir di Kota Medan adalah:
a. Pembangunan yang sangat pesat
Berkembangnya investor untuk menanamkan modal di berbagai sektor usaha
mengakibatkan pembangunan fisik semakin meningkat dan berbanding lurus
dengan meningkatnya pemanfaatan lahan, sehingga daerah resapan air (recharge
area) semakin berkurang. Dengan demikian maka pada musim hujan limpasan air
larian (runn off) sangat tinggi.
b. Peningkatan jumlah penduduk
Kota Medan ibukota Provinsi Sumatera Utara merupakan daerah tujuan urban
bagi masyarakat yang berasal dari kota-kota di sekitarnya untuk mencari
pekerjaan mendapatkan peluang berusaha melanjutkan penduduk Kota Medan
terus meningkat dan sebagainya. Sehingga pertumbuhan terus bertambah bahkan
areal persawahan yang sangat efektif manampung air hujan, juga telah
pemukiman tanpa dikendalikan oleh pihak pemerintah akan mengakibatkan
berkurangnya daerah resapan air di Kota Medan. Menurut Syahrin (2003) bahwa
pelaku pembangunan perumahan dan pemukiman oleh kelompok swasta
komersial, eksistensinya didominasi oleh nilai mencari keuntungan dengan
pemanfaatan lingkungan secara kompetitif. Hal ini menunjukkan bahwa
kepedulian pelaku pembangunan terhadap penyediaan lahan resapan air akan
terus berkurang.
c. Minimnya fasilitas infrastruktur
Fasilitas infrastruktur khususnya saluran drainase yang ada di Kota Medan masih
sangat minim baik dari segi fisik maupun volumenya. Bahkan saluran drainase
perkotaan yang telah ada kurang terpelihara sehingga banyak yang mengalami
pendangkalan akibat sedimen, penyumbatan oleh sampah dan gulma. Sedangkan
saluran drainase di daerah pinggiran kota masih berupa saluran alami (tanah) yang
umumnya akan mudah tersumbat karena tumbuhnya gulma di sepanjang saluran.
Sistim pemeliharaan drainase yang sangat minim mengakibatkan saluran
drainase tidak berfungsi maksimal untuk mengalirkan air, terutama pada musim
hujan sehingga mengakibatkan terjadinya genangan.
Permasalahan genangan yang akan mengakibatkan banjir merupakan salah
satu kondisi serius yang perlu menjadi perhatian oleh Pemerintah Kota Medan,
instansi terkait serta seluruh masyarakat yang bermukim di Kota Medan. Pemerintah
Kota Medan telah melakukan berbagai upaya antara lain dengan membangun saluran
Di samping itu masalah ketersediaan air tanah juga merupakan hal yang perlu
diperhatikan oleh Pemerintah Kota Medan, karena pada saat ini pemanfaatan air
bawah tanah senantiasa terus meningkat oleh pelaku usaha dan masyarakat seiring
dengan pesatnya pembangunan dan meningkatnya jumlah penduduk di Kota Medan.
Menurut Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Medan diketahui bahwa
setiap tahun terjadi peningkatan angka stakeholder yang menyampaikan permohonan
izin pemanfaatan air bawah tanah dan hingga tahun 2009 terinventarisasi sebanyak
306 unit sumur bor yang memiliki izin, sedangkan yang tidak terinventarisir
kemungkinan jumlahnya jauh lebih banyak. Meningkatnya pemanfaatan air bawah
tanah yang tidak terkendali tanpa adanya upaya pengelolaan dan pengawetannya akan
berdampak terjadinya penurunan permukaan air tanah, sehingga rongga-rongga tanah
hanya terisi oleh oksigen.
Seperti kita ketahui bahwa sebagian besar wilayah Kota Medan merupakan
wilayah pesisir yang berdekatan dengan pantai, maka dengan demikian kekosongan
yang terjadi di dalam tanah secara perlahan-lahan akan terisi oleh air laut hal ini
dikenal dengan terjadinya intrusi air laut. Menurut Sastra (2009) bahwa beberapa
daerah di Kota Medan terindikasi telah terjadi intrusi air laut sejauh 13 km dari garis
pantai bagian utara Kota Medan.
Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengurangi terjadinya genangan dan
menambah peresapan air ke dalam tanah, salah satu diantaranya adalah dengan
menerapkan teknologi Lubang Resapan Biopori. Lubang resapan biopori yang diisi
aktivitas mikro organisme, dengan meningkatnya pori-pori tersebut akan
memepercepat resapan air ke dalam tanah pada saat hujan turun. Sedangkan aktivitas
mikroorganisme itu sendiri sangat tergantung kepada ketersediaan makanan berupa
bahan organik yang salah satunya berasal dari jerami, jumlah (berat) jerami yang
tersedia akan mempengaruhi aktivitas mikroorganisme yang pada gilirannya akan
meningkatkan jumlah pori-pori yang terbentuk di dalam tanah. Selain kemampuan
mikroorganisme dalam membentuk pori-pori tanah, peresapan air ke dalam tanah
juga akan tergantung pada jenis tanahnya.
Dengan demikian maka apabila lubang resapan biopori dalam jumlah yang
sesuai pada jenis tanah tertentu, dapat mengurangi terjadinya genangan di permukaan
tanah pada saat tejadi hujan dan akan meningkatkan peresapan air kedalam tanah.
Untuk menentukan berapa jumlah biopori yang perlu dipasang tentu terlebih dahulu
perlu diteliti berapa laju resapan dari masing-masing jenis tanah yang ada di Kota
Medan.
Seperti yang telah diuraikan bahwa lubang resapan biopori telah diterapkan
di berbagai kota, tetapi aplikasi yang telah dilakukan masih sebatas sebagai upaya
pengelolaan lingkungan dan sejauh ini belum diperoleh data tentang pelaksanaan
penelitian dengan demikian maka nilai laju resapan di berbagai kota belum dapat
ditampilkan. Hal ini yang memotivasi penulis untuk melakukan penelitian tentang
laju resapan air pada berbagai jenis tanah dengan menerapkan lubang resapan biopori.
bahwa laju resapan air adalah sebesar 180 liter/jam (tanpa menyebutkan jenis
tanahnya).
1.2. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut di atas diketahui bahwa banjir dan
ketersediaan air tanah merupakan salah satu permasalahan yang pokok di Kota
Medan dan penerapan lubang resapan biopori merupakan salah satu alternatif
pengendaliannya. Penerapan lubang resapan biopori dalam pelaksanaannya sangat
mudah dan peralatan yang dipakai juga mudah diperoleh, sehingga dapat dilakukan
oleh semua lapisan masyarakat. Namun untuk mengetahui sejauhmana teknologi ini
dapat meningkatkan resapan air ke dalam tanah, maka perlu diteliti masalah-masalah
sebagai berikut:
1. Berapa besar laju resapan air pada berbagai jenis tanah dan berat jerami yang
berbeda dengan menerapkan teknologi lubang resapan biopori.
2. Berapa unit lubang resapan biopori yang dibutuhkan agar mampu menyerap air
dari luas lahan yang tertutup (kedap air).
1.3. Landasan Teori
Perubahan pemanfaatan lahan terbuka menjadi lahan kedap air secara nyata
akan mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan dan genangan air dan
keadaan ini tidak segera diatasi kemungkinan kondisi buruk ini akan mengalami
peningkatan setiap tahunnya.
Pada saat curah hujan tinggi maka secara otomatis genangan air akan
meningkat dan genangan yang tidak tertampung akan mengalir ke sungai. Ditambah
lagi apabila di daerah hulu juga curah hujan tinggi, maka hal ini akan berdampak
terjadinya banjir di kota Medan. Sedangkan akibat kurangnya peresapan air ke dalam
tanah maka ketersediaan air tanah juga akan menurun, sementara pemanfaatan air
tanah akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk di Kota Medan.
Dalam hal ini Pemerintah Kota Medan tentu saja sangat membutuhkan
berbagai alternatif teknis untuk mengatasi terjadinya banjir. Kebijakan
pengelolaannya secara administrasi pemerintah telah menerapkan UU No. 26 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Tata Ruang yang menetapkan bahwa untuk daerah
perkotaan diwajibkan memiliki 30% ruang terbuka hijau (RTH) dari total luas kota,
dengan ketentuan ruang terbuka hijau sebesar 10% disediakan oleh masyarakat
sebagai pengguna lahan secara perorangan sedangkan sebesar 20% disediakan oleh
pemerintah. Apabila luas ruang terbuka hijau telah terpenuhi tentu saja akan sangat
berperan menyerap air pada musim hujan yang akan berfungsi untuk mengurangi
genangan dan meningkatkan ketersediaan air tanah. Namun secara fakta di Kota
Medan jumlah ruang terbuka hijau yang tersedia belum mencukupi di mana menurut
data Bappeda Kota Medan (2010) menunjukkan bahwa luas RTH yang tersedia
di Kota Medan baru mencapai 5%. Dengan demikian perlu dibarengi dengan
solusinya, karena teknologi ini sangat murah dan dapat dilakukan di mana saja oleh
masyarakat secara individu di pekarangan, lokasi perkantoran, pabrik, rumah sakit,
perhotelan dan semua lokasi kegiatannya lainnya. Teknologi ini pertama kali
ditemukan oleh Kamir R. Brata (staf pengajar Departemen Ilmu Tanah dan Sumber
Daya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB) pada tahun 2006 dan telah diterapkan
di berbagai Kota di Indonesia bekerja sama dengan pemerintah daerah yaitu:
Surabaya, Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Makassar (htt://erabaru.or.id, 2007).
Di Kota Medan teknologi ini tepat untuk diterapkan, karena kondisi bangunan
fisik kota umumnya terbangun dengan koefisien dasar bangunan (KDB) yang sangat
tinggi > 80%. Lahan yang tidak terbangun seperti: parkir, sempadan bangunan dan
lahan sisa lainnya permukaannya juga ditutup dengan berbagai material faving blook,
cor beton dan aspal, sehingga resapan air akan terhambat. Lubang resapan biopori
dapat dipasang pada semua tempat seperti: taman, saluran air hujan, permukaan tanah
yang terbuka, permukaan lapisan tanah yang tertutup bahkan dapat dilakukan pada
lahan yang sempit.
Menurut Brata (2008), cara membuat lubang biopori adalah dengan menggali
tanah sedalam 80-100 cm, diameter 10-15 cm dengan bor biopori dan untuk
penguatan permukaan lubang biopori perlu dipasang pipa paralon sepanjang 20 cm,
kemudian kedalam lubang yang digali dimasukkan sampah organik sampai penuh
(tidak dipadatkan) agar terdapat ruang udara yang cukup. Dua minggu kemudian
bahan organik akan mulai terurai dan liang-liang pori juga mulai terbentuk di dalam
berlangsungnya aktivitas mikro organisme maka penambahan bahan organik secara
kontiniu perlu dilakukan. Sejalan dengan pertambahan waktu maka jumlah liang pori
yang terbentuk di dalam tanah akan meningkat pula, sehingga laju resapan air hujan
ke dalam akan meningkat.
Banyaknya liang pori yang terbentuk karena adanya aktivitas mikro
organisme dengan tersedianya bahan organik akan tergantung kepada jenis tanahnya.
Kondisi tanah yang sangat berpengaruh adalah tekstur, pada tanah yang bertekstur
lepas akan lebih cepat terbentuk liang pori dibanding dengan tanah yang bertekstur
liat (Brata, 2008). Banyaknya liang pori yang terbentuk di dalam tanah akan
mempengaruhi laju resapan air ke dalam tanah, semakin banyak liang pori yang
terbentuk maka peresapan air ke dalam tanah juga akan meningkat.
1.4. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh interaksi perlakuan jenis tanah dan berat jerami
terhadap laju resapan air pada lubang resapan biopori.
2. Menetapkan jumlah lubang resapan biopori yang perlu dipasang pada luasan
1.5. Hipotesis
1. Ada pengaruh jenis tanah yang signifikan terhadap laju resapan air pada
lubang resapan biopori.
2. Ada pengaruh berat jerami yang signifikan terhadap laju resapan air pada
lubang resapan biopori.
3. Ada pengaruh interaksi perlakuan antara jenis tanah dan berat jerami yang
signifikan terhadap laju resapan air pada lubang resapan biopori.
1.6. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat terhadap berbagai pihak,
yaitu:
1. Akan menambah pengetahuan masyarakat Kota Medan tentang cara dan
manfaat menerapkan teknologi lubang resapan biopori.
2. Akan menjadi bahan masukan dan acuan bagi Pemerintah Kota Medan dalam
menetapkan kebijakan untuk meminimalisasi terjadinya genangan pada saat
hujan dan menambah ketersediaan cadangan air tanah.
3. Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan, karena penelitan tentang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biopori
Biopori adalah ruangan atau pori-pori dalam tanah yang dibentuk secara alami
dengan adanya aktivitas makhluk hidup di dalam tanah seperti, akar tanaman, cacing,
rayap dan mikroorganisme lainnya (erabaru.or.id , 2008).
Menurut Brata (2008) biopori merupakan ruang atau pori dalam tanah yang
dibentuk oleh makhluk hidup, seperti mikroorganisme tanah dan akar tanaman.
Bentuk biopori menyerupai liang (terowongan kecil) di dalam tanah dan
bercabang-cabang dan sangat efektif untuk menyalurkan air dan udara ke dalam tanah. Liang
pori terbentuk oleh adanya pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman, serta
aktivitas fauna tanah seperti cacing tanah, rayap dan semut di dalam tanah.
Menurut Rauf (2009) biopori merupakan lubang pori di dalam tanah yang
dibuat oleh jasad biologi tanah seperti cacing tanah, tikus, semut, rayap dan lain-lain,
termasuk lubang bekas akar tanaman yang mati dan membusuk di dalam tanah.
Keberadaan biopori yang banyak akan meningkatkan daya serap tanah terhadap air,
karena air akan lebih mudah masuk ke dalam tubuh (profil) tanah.
Bentuk biopori meyerupai liang kecil dan bercabang-cabang yang sangat
efektif menyerap air ke dalam tanah. Berbagai ukuran dan jenis organisme tanah
hidup di antara pori-pori dan melalui pori tersebut organisme memperoleh air dan
sisa-sisa tanaman dan mahluk hidup lainnya. Populasi dan aktivitas organisme tanah
dapat ditingkatkan dengan menyediakan bahan organik yang cukup di dalam tanah,
sehingga organisme tanah akan memperoleh makanan yang cukup untuk hidup dan
berkembang biak. Konversi kawasan bervegetasi alami menjadi kawasan pemukiman
atau kegiatan lainnya akan mengakibatkan terjadinya pemadatan tanah sekaligus akan
merusak liang pori di dalam tanah (Brata, 2008). Hal tersebut tentu sangat
berpengaruh terhadap menurunnya laju resapan air ke dalam tanah pada saat musim
penghujan.
2.2. Lubang Resapan Biopori
Lubang Resapan Biopori (LRB) adalah lubang yang digali vertikal ke dalam
tanah berbentuk silindris berdiameter 10 cm, dengan kedalaman ± 1 meter (tidak
melebihi muka air tanah). Lubang resapan digali dengan menggunakan bor biopori
Penerapan teknologi lubang resapan biopori dimaksudkan untuk
meningkatkan jumlah dan luas liang pori yang terbentuk kesegala arah di dalam
tanah, dengan bertambahnya luas liang pori tersebut maka jumlah (volume) peresapan
air kedalam tanah akan semakin meningkat. Sesuai dengan tujuannya adalah untuk
meningkatkan peresapan air ke dalam tanah, maka pemasangan lubang resapan
biopori harus ditempatkan pada lokasi yang dilalui air atau tampat-tempat di mana
biasanya air tergenang pada saat hujan.
Tempat yang dianjurkan untuk pemasangan biopori adalah: di saluran
pembuangan air hujan, sekeliling pohon, kontur taman, pada sisi pagar, dan tempat
lain yang dianggap sesuai. Sudah semestinya biopori ditempatkan pada titik yang
berpotensi terjadi genangan, karena pembuatan biopori pada lokasi yang agak tinggi
maka laju resapan air tidak maksimal.
2.3. Peranan Bahan Organik
Agar lubang biopori tetap berfungsi optimal maka secara rutin diisi dengan
bahan organik, sehingga di dalam lubang resapan biopori akan tetap berlangsung
proses pengomposan secara aerobik oleh mikroorganisme tanah. Bahan organik yang
digunakan dapat diperoleh dari berbagai sumber antara lain sampah dapur rumah
tangga, potongan/pangkasan tanaman, sisa produksi pertanian yang tidak
dimanfaatkan dan sebagainya. Pada penelitian ini bahan organik yang digunakan
adalah jerami padi, dengan pertimbangan bahwa jerami padi mengandung nutrisi
diperoleh dalam jumlah yang banyak sehingga perlakuan lebih homogen, dengan
demikian error akan semakin kecil. Proses dekomposisi jerami yang dilakukan
mikroorganisme tanah berjalan sesuai dengan teori pengomposan aerobik, di mana
pada proses ini akan menghasilkan CO2, air (H2O), humus dan energi. Sepanjang
siklus hidupnya mikroorganisme sangat tergantung kepada bahan organik, di mana
energi yang dihasilkan akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhan
dan reproduksi (Djanuardi dan Setiawan, 2008). Dengan demikian maka keberhasilan
teknologi lubang resapan biopori sangat tergantung pada ketersediaan bahan makanan
mikroorganisme yang berasal dari sampah organik.
Menurut Brata (2008) dalam waktu 14 hari setelah pemberian bahan organik,
secara alami akan terbentuk biopori/liang-liang memanjang dan bercabang-cabang
di dalam tanah akibat aktivitas cacing dan mikroorganisme lainnya. Dengan
bertambahnya liang-liang di dalam tanah maka luas penampang permukaan tanah
yang dapat menyerap air akan bertambah.
Liang-2.4. Perawatan Lubang Resapan Biopori
Agar biopori tetap berfungsi optimal maka senantiasa perlu dilakukan
perawatan, yaitu dengan cara:
a. Penambahan Bahan Organik
Menambahkan sampah organik dengan tujuan untuk mempertahankan
ketersediaan bahan organik yang berguna untuk kelangsungan hidup dan aktivitas
mikro organisme tanah yang berperan dalam terbentuknya liang-liang pori
di dalam tanah, karena organisme tanah membutuhkan pakan setiap hari untuk
dapat tumbuh dan berkembang biak, selain itu juga agar lubang biopori tetap
penuh, sehingga tanah yang terbawa oleh air hujan tidak masuk ke dalam lubang
dan menjaga dinding biopori tidak roboh.
b. Memanen Kompos
Sampah organik yang dimasukkan ke dalam LRB akan terurai dan mengalami
pelapukan dengan bantuan berbagai organisme tanah menjadi kompos, yang
ditandai perubahan struktur menjadi lebih halus dan warna menjadi coklat
kehitaman. Pemanenan kompos sebaiknya dilakukan pada musim kemarau
di mana kondisi tanah tidak dalam keadaan basah (Brata, 2008).
2.5. Manfaat Lubang Resapan Biopori
Teknologi lubang resapan biopori memiliki manfaat yang sangat banyak
1. Mengurangi genangan
Pada daerah perkotaan umumnya pembangunan sangat berkembang maka
semakin meningkat pula kawasan tertutup (kedap air) sehingga mengurangi
daerah resapan yang mengakibatkan menurunnya volume resapan air ke dalam
tanah. Di samping itu lahan terbuka di sekitar pemukiman/perumahan umumnya
dalam keadaan padat akibat aktivitas manusia. Kondisi ini menyebabkan
peningkatan jumlah air hujan terbuang sebagai air larian (run off) yang
mengakibatkan terjadi genangan, sehingga pada musim hujan akan terjadi banjir.
Menurut Rauf (2009) untuk mengatasi banjir di daerah urban tidak hanya melalui
perbaikan drainase, tetapi juga dengan memperbanyak daerah-daerah tangkapan
air (water reservoir), salah satunya yaitu membuat lubang resapan biopori.
Dengan menerapkan lubang resapan biopori maka liang biopori yang
terbentuk akan berfungsi meningkatkan resapan air ke dalam tanah, sehingga
penggunaan lubang resapan biopori dalam jumlah yang sesuai akan mengurangi
terjadinya genangan dan pada akhirnya dapat mengendalikan banjir.
2. Menambah cadangan air tanah
Air hujan yang masuk ke dalam tanah dalam bentuk air bebas akan terus
mengalami pergerakan perlahan-lahan menuju tempat yang terendah. Jika terus
menerus diisi kembali, cadangan air bawah tanah akan dapat dipertahankan
walaupun pemanfaatan air bawah tanah untuk kebutuhan manusia cukup tinggi
(Asdak, 2001). Dengan meningkatnya resapan air ke dalam tanah tentu
Ketersediaan cadangan air bawah tanah sangat penting dan wajib dipelihara,
khususnya di daerah perkotaan karena air bawah tanah merupakan salah satu
cadangan sumber air bersih bagi masyarakat dan pelaku usaha kegiatan. Menurut
Rauf (2001) bahwa metode lubang resapan biopori merupakan salah satu tindakan
yang tepat dilakukan guna meningkatkan resapan air pada lahan pemukiman/
perkotaan, karena air yang masuk ke dalam biopori dapat dengan mudah bergerak
dalam profil tanah dan masuk sebagai sebagai air bawah tanah (ground water).
Pada tanah yang telah rusak di mana lapisan tanah atas (top soil) sudah
tipis akibat terkikis oleh air larian, lubang resapan biopori dapat membantu
mempercepat laju peresapan air ke dalam lapisan bawah tanah (sub soil) yang
relatif padat, serta membantu pemasukan bahan organik ke dalam tanah. Dengan
perbaikan kondisi sub soil tanah maka peresapan air semakin lancar, sehingga
cadangan air tanah semakin terjamin (BPLHD JABAR, 2009).
Jika tidak diisi kembali cadangan air bawah tanah akan berkurang karena
keluar sebagai mata air, mengalami penguapan pada lahan terbuka dan
evapotranspirasi pada lahan pertanian. Selain itu di wilayah perkotaan
berkurangnya ketersediaan air tanah sangat dipengaruhi oleh pemanfaatan air
bawah tanah yang sangat tinggi di berbagai sektor usaha dan untuk kebutuhan
masyarakat sehari-hari. Berbagai bentuk kehilangan tersebut perlu dipulihkan
kembali melalui upaya peresapan air ke dalam tanah pada saat terjadi hujan.
untuk memberi kesempatan air meresap ke dalam tanah dan tersimpan menambah
cadangan air tanah.
3. Mengurangi volume sampah organik
Sampah organik di Kota Medan sebahagian berasal dari sampah rumah
tangga yang menghuni kawasan pemukiman, berupa sisa makanan atau sampah
dapur. Selain itu juga berasal dari sisa tanaman berupa bekas pangkasan tanaman
pekarangan, sisa hasil panen tanaman yang tidak terjual dan jerami, peningkatan
jumlah penduduk mengakibatkan peningkatan volume sampah yang harus
diangkut ke tempat pembuangan sementara (TPS) dan tempat pembuangan akhir
(TPA).
Keterbatasan sarana dan prasarana penanganan sampah di Kota Medan
menyebabkan pengelolaan sampah tidak berjalan maksimal, sehingga masyarakat
mencari alternatif penanganan lain seperti membakar, membuang sampah ke
sungai, menumpukkan di seberang tempat yang sangat mengganggu estetika
lingkungan dan akan berdampak negatif terhadap pelestarian lingkungan.
Dengan menerapkan teknologi lubang resapan biopori maka sampah organik
yang dihasilkan setiap hari tidak lagi menjadi masalah, tetapi dapat dimanfaatkan
dengan memasukkannya ke dalam tanah yang digali (lubang resapan). Untuk
memperoleh makanannya mikroorganisme tanah akan menguraikan bahan organik
tersebut, sehingga populasinya akan terus bertambah dan aktivitasnya akan
2.6. Laju Resapan Air ke dalam Tanah
Secara umum peresapan air merupakan proses masuknya air hujan ke dalam
tanah sebagai akibat adanya gaya kapiler dan gaya gravitasi dengan cara infiltrasi
maupun perkolasi ke lapisan tanah yang lebih dalam. Dengan pengaruh gaya gravitasi
air hujan akan masuk ke dalam tanah melalui pori-pori tanah dan gaya kapiler akan
mengalirkan air tersebut ke atas ke bawah dan ke arah horizontal. Sedangkan laju
peresapan air adalah kecepatan masuknya air hujan ke dalam tanah selama hujan
berlangsung karena faktor alam maupun berkat adanya campur tangan manusia. Laju
peresapan air dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: tekstur tanah, bahan organik
tanah, kepadatan tanah, jenis dan jumlah vegetasi (Asdak, 2004).
Tekstur tanah adalah perbandingan antara fraksi pasir, debu dan liat
dinyatakan dalam persen. Semakin tinggi persentase pasir dalam tanah, maka akan
semakin besar ruang pori yang terdapat di antara partikel-partikel tanah tersebut,
sehingga akan memperlancar pergerakan air di dalam tanah (Hakim et al, 1986).
Menurut Hanafiah (2005) tekstur tanah menunjukkan komposisi partikel penyusun
tanah yang dinyatakan sebagai perbandingan proporsi (%) relatif antara fraksi pasir,
debu dan liat. Hakim et al (1986) mengemukakan bahwa kepadatan tanah yang
dimanifestasikan dengan kerapatan isi tanah adalah perbandingan antara berat
persatuan volume penyusun tanah dalam keadaan kering oven dengan volume tanah
(dinyatakan dalam gram/cm3). Hanafiah (2005) juga menyatakan bahwa kerapatan isi
tanah adalah berat tanah yang dikering ovenkan per satuan volume. Tanah liat yang
yang bertekstur kasar antara 1,3-1,8 g/cm3. Nilai kerapatan isi tanah berbanding lurus
dengan tingkat kekasaran partikel tanah, tanah liat yang bertekstur halus mempunyai
kerapatan isi lebih kecil dibanding tanah yang tanah bertekstur kasar dan semakin
tinggi nilai kerapatan isi tanah maka laju resapan air juga akan semakin besar.
Upaya meningkatkan peresapan air ke dalam tanah dewasa ini sudah sangat
mendesak untuk dilakukan, terutama di daerah perkotaan di mana kebutuhan dan
pemanfaatan air bersih yang bersumber dari air bawah tanah sangat tinggi karena
selain kualitasnya lebih baik biayanya juga relatif lebih murah.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara tepatnya
di Kecamatan Medan Amplas. Adapun pertimbangan dalam menentukan lokasi
penelitian adalah berdasarkan keragaman jenis tanah yang terdapat pada kecamatan
tersebut yaitu: tanah inseptisol, entisol dan ultisol, sehingga diasumsikan telah
mewakili untuk semua jenis tanah yang ada di Kota Medan. Penelitian dilakukan
mulai bulan Februari sampai dengan bulan April 2010.
3.2. Bahan dan Alat Penelitian
Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah air hujan dan
jerami padi, sedangkan alat-alat yang digunakan adalah:
a. Stopwacah,
b. Ember,
c. Sekop,
d. Bor biopori,
e. Pipa paralon,
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan melakukan
a. Percobaan dan observasi lapangan,
b. Studi pustaka.
3.4. Sampel dan Perlakuan
Perlakukan dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Faktor jenis tanah: Inseptisol, Entisol, dan Ultisol.
2. Faktor berat jerami: 250 g, 200 g, 150 g dan kontrol (tanpa jerami).
Adapun pertimbangan penentuan berat jerami adalah berdasarkan pendapat
Brata (2008) yang menyatakan bahwa pemanfaatan bahan organik pada satu unit
lubang resapan biopori maksimum sebanyak 300 g, sehingga dilakukan percobaan
dengan variasi yang lebih kecil.
Dari dua faktor dengan tiga perlakuan maka terdapat 9 kombinasi perlakukan
dalam percobaan tersebut, dengan ulangan sebanyak 3 kali sehingga jumlah sample
adalah 27 titik.
3.5. Variabel yang Diamati
Adapun variabel yang diamati pada penelitian ini adalah variabel terikat
(dependen) yaitu laju resapan air. Selain variabel tersebut untuk mendukung hasil
3.5.1. Laju Resapan Air
Laju resapan air adalah variabel yang akan diamati dalam penelitian ini,
diukur dengan cara sebagai berikut:
a. persiapkan air dalam wadah (X liter).
b. kemudian tuangkan air perlahan-lahan ke dalam lubang resapan biopori.
c. lakukan penuangan air secara kontiniu selama 1 jam (Z).
d. ukur sisa air dalam wadah (Y liter).
e. hitung berapa jumlah air yang terserap (X-Y) liter.
Untuk menentukan laju resapan air dihitung dengan rumus ;
X – Y (liter) Laju Resapan =
Z (jam)
3.5.2. Tekstur Tanah
Untuk mengetahui keadaan tekstur tanah pada lokasi penelitian, maka
dilakukan analisa dengan metode hydrometer yaitu dengan cara kerja sebagai berikut:
a. Ambil sampel tanah pada titik lokasi penelitian,
b. Timbang 25 gram sampel tanah kering udara yang telah diayak dengan ayakan
10 mesh,
c. Masukkan ke dalam erlemeyer 250 ml dan tambahkan 50 ml larutan natrium
Pyrophospat, kocok sampai tercampur merata lalu biarkan satu malam,
e. Kemudian pindahkan ke dalam gelas ukur (silinder) 500 ml dan tambahkan
aquadest sampai batas tanda garis,
f. Sebelum dilakukan pembacaan kocok sebanyak 50 kali,
g. Kemudian masukkan hidrometer dan pembacaan pertama dilakukan setelah
40 menit,
h. Pembacaan kedua dilakukan setelah 3 jam berikutnya, untuk memperoleh
liat.
Untuk menghitung persentase masing-masing fraksi dilakukan dengan rumus:
Pembacaan Hydrometer I
% LIAT + DEBU = x 100% Berat contoh tanah
Pembacaan Hydrometer II
% LIAT = x 100% Berat contoh tanah
% DEBU = % (Liat + Debu) - % Liat
% PASIR = 100% - % (Liat + Debu)
3.5.3. Kerapatan Isi (Bulk Densiti) Tanah
Kerapatan isi tanah ditetapkan dengan dengan melakukan analisa
di laboratorium dengan cara kerja sebagai berikut:
a. Pada titik lokasi penelitian diambil tanah dengan menggunakan cincin
(tabung) tembaga, dengan cara: tekan tabung sampai tiga perempat bagian
masuk ke dalam tanah, letakkan tabung lain di atas tabung pertama, tekan
hingga tabung kedua masuk 1 cm ke dalam tanah, kemudian kerat tanah
sekop atau cangkul. Kemudian pisahkan kedua tabung dengan hati-hati,
potong kelebihan tanah bagian atas dan bawah tabung sampai merata.
b. Masukkan tanah kedalam cawan, kemudian cawan dimasukkan ke dalam oven
selama 5 jam pada suhu 1050C.
c. Tanah kering oven diayak dengan ayakan 10 mesh, kemudian masukkan ke
dalam gelas ukur 100cc, hingga mencapai angka 55 cc.
d. Ketok-ketok dinding gelas ukur dengan tangan selama 15 menit, sampai
permukaan tidak turun lagi.
e. Catat volume tanah tersebut.
f. Pindahkan tanah tersebut kedalam wadah lalu ditimbang.
Untuk menentukan kerapatan isi tanah dihitung dengan rumus:
berat tanah Bulk densiti (g/cc) =
volume tanah
3.6. Pelaksanaan Penelitian
Untuk menentukan titik penempatan lubang resapan biopori dilakukan dengan
berpedoman pada peta jenis tanah. Berdasarkan peta tersebut diketahui bahwa
Kecamatan Medan Amplas merupakan salah satu wilayah yang memiliki tiga
keragaman jenis, yaitu tanan inseptisol, entisol dan ultisol (peta lokasi penelitian
terlampir). Pada tanah ultisol tanah secara acak ditetapkan titik lokasi penelitian
dengan menerapkan tiga perlakuan berat jerami yang berbeda masing-masing 150 g,
dilakukan tiga ulangan, sehingga diperoleh sebanyak sembilan titik perlakuan dan
pada setiap ulangan dibuat satu titik tanpa perlakuan sebagai kontrol. Demikian juga
dilakukan pada jenis tanah inseptisol dan entissol, dengan demikian diperoleh
perlakuan sebanyak 27 titik perlakuan. Pada setiap titik dilakukan pengeboran dengan
kedalam 80 cm dan diameter 10 cm, kemudian pada setiap lubang biopori
dimasukkan jerami sesuai dengan denah percobaan.
3.6.1. Pengumpulan Data
Menurut Brata (2008) bahwa 14 hari setelah dimasukkan ke dalam lubang
biopori, bahan organik mulai terurai dan mikroorganisme mulai aktif membentuk
pori-pori di dalam tanah. Satu bulan setelah pemberian jerami jumlah liang-liang pori
yang terbentuk di dalam tanah akan semakin bertambah, sehingga telah dapat
dilakukan penelitian sebagai berikut: tanah di sekeliling lubang resapan biopori
dengan radius (50 cm) disiram dengan air selama 1 jam, dengan demikian diharapkan
nilai bisa laju resapan air dapat dihindarkan. Selanjutnya persiapkan air yang berasal
dari air hujan atau air sumur (air yang tidak terkontaminasi dengan senyawa kimia)
lalu tuangkan perlahan ke dalam lubang resapan biopori selama satu jam, kemudian
hitung berapa jumlah air yang terserap ke dalam tanah dan hasilnya dicatat sebagai
laju resapan air. Untuk memperoleh data yang lebih akurat, maka percobaan seperti
diatas dilakukan setiap hari selama 15 hari pada semua titik lokasi percobaan dan
kontrol yang selanjutnya hasilnya dicatat dan dihimpun sebagai data primer.
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Provinsi Sumatera Utara, data keragaman
jenis tanah di Kota Medan dari Balai Penelitian Kelapa Sawit, data kadar air tanah
awal dari laboratorium Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian USU-Medan dan
berbagai data pendukung lainnya dari pihak terkait (data terlampir).
3.7. Analisis Data Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen
komparatif yaitu percobaan yang dilakukan dengan membandingkan pengaruh
perlakuan-perlakuan terhadap populasi (Nazir, 2005). Pada penelitian ini terdiri atas
dua faktor dengan tiga level perlakuan sehingga diperoleh sebanyak sembilan
perlakuan. Dengan asumsi bahwa kondisi curah hujan, temperatur dan kelembaban
udara pada lokasi penelitian dalam keadaan yang homogen, maka rancangan yang
digunakan untuk eksperimen ini ialah Rancangan Acak Lengkap faktorial dengan
model sebagai berikut:
Y ijk = µ + á1 + â1 + ( áâ)ij + ªijk ijk
Di mana:
Yijk = laju resapan air yang diamati.
µ = nilai tengah umum.
á1 = pengaruh taraf ke-i dari faktor jenis tanah.
Âj = pengaruh taraf ke- j dari faktor berat jerami.
(áâ)ij = pengaruh interaksi taraf ke-i dari faktor jenis tanah dan taraf
ªijk = galat percobaan taraf ke-1 dari faktor jenis tanah dan taraf ke-j
dari faktor berat jerami pada ulangan yang ke-k
(Sastrosupadi, 1999).
Untuk mengetahui apakah perlakuan memberi pengaruh yang signifikan
terhadap laju resapan air, maka dilakukan uji F untuk masing-masing perlakuan dan
interaksi perlakuan dengan rumus:
F h (x) = KT (x)
KT Error
Selanjutnya untuk mengetahui interaksi perlakuan mana yang akan
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap laju resapan air, maka dilanjutkan
dengan uji Beda Nyata Jarak (BNJ) untuk masing-masing faktor jenis tanah dan berat
jerami.
3.8. Jumlah Lubang Resapan Biopori
Setelah diperoleh angka laju resapan air untuk masing-masing jenis tanah,
maka dapat ditentukan berapa jumlah lubang resapan biopori yang perlu dipasang
liter/jam) (
lubang per air resapan laju
) m ( kedap bidang luas
mm/jam) (
hujan intensitas LRB
Jumlah
2
Nilai intensitas hujan diperoleh dari data intensitas hujan berdasarkan Badan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Wilayah Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Medan Amplas yang memiliki luas
wilayah 1.376 ha dengan morfologi relatif datar dengan ketinggian 15 m di atas
permukaan laut. Jumlah penduduk tercatat sebanyak 113.127 jiwa yang terdiri dari
26.500 kepala keluarga, dari angka tersebut 13.820 kepala keluarga memanfaatkan
PDAM sebagai sumber air bersih, sedangkan selebihnya masih memanfaatkan air
tanah (BPS Kota Medan, 2009).
4.2. Hasil Pengamatan Laju Resapan Air
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan diperoleh hasil bahwa
laju peresapan air ke dalam tanah menunjukkan angka yang berbeda-beda pada
masing-masing jenis tanah ultisol, entisol dan inseptisol.
4.2.1. Laju Resapan Air pada Jenis Tanah Ultisol (A)
Untuk jenis tanah ultisol perlakuan dengan berbagai level berat jerami
memberikan angka laju peresapan air yang berbeda-beda, seperti yang disajikan pada
Lampiran 3. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa dari perlakuan berbagai taraf
level berat jerami, memberikan peningkatan angka laju resapan air apabila
diperoleh pada level berat jerami 200 gram sedangkan angka laju resapan air yang
terendah diperoleh pada level berat jerami 250 gram.
4.2.2. Laju Resapan Air pada Jenis Tanah Inseptisol (B)
Pada jenis tanah Inseptisol masing-masing perlakuan dengan berbagai level
berat jerami yang berbeda diperoleh peningkatan angka laju resapan air dibandingkan
dengan kontrol. Berdasarkan data pada Lampiran 3 diketahui bahwa laju resapan air
tertinggi diperoleh pada level berat jerami 200 gram, dan laju resapan air terendah
pada perlakuan berat jerami 250 gram.
4.2.3. Laju Resapan Air pada Jenis Tanah Entisol (C)
Angka laju resapan air yang diperoleh pada tanah entisol untuk semua level
berat jerami juga menunjukkan peningkatan laju resapan air bila dibandingkan
dengan kontrol. Adapun tingkat laju resapan air tertinggi terdapat pada level berat
jerami 200 gram, selanjutnya pada level berat jerami 250 gram dan laju resapan
terendah pada level berat jerami 150 gram, seperti terlihat pada Lampiran 3.
Berdasarkan data dan uraian tentang laju resapan air pada masing-masing
jenis tanah entisol, inseptisol dan ultisol diketahui bahwa pada semua jenis tanah
perlakuan dengan level berat jerami yang berbeda-beda memberikan peningkatan laju
resapan air terhadap kontrol dan diantara ketiga taraf level berat jerami juga terdapat
0
Gambar 4.1. Laju Resapan Air pada Berbagai Jenis Tanah dan Berat Jerami
Gambar 4.1 di atas menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan berat
jerami memberikan peningkatan laju resapan air terhadap kontrol. Namun perlakuan
yang memberikan peningkatan laju resapan tertinggi diperoleh pada berat jerami 200
gram untuk semua jenis tanah. Sedangkan diantara ketiga jenis tanah yang diuji angka
laju resapan tertinggi diperoleh pada jenis tanah entisol, kemudian jenis tanah
inseptisol dan terendah pada jenis tanah ultisol.
4.3. Analisis Data Laju Resapan Air pada Masing-masing Jenis Tanah
Untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing variabel independen
terhadap variabel dependen (laju resapan air) maka terlebih dahulu dilakukan analisis
data yang diperoleh untuk masing-masing jenis tanah pada taraf level berat jerami
yang berbeda-beda.
4.3.1. Uji F
Uji F digunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan berbagai taraf level
berat jerami terhadap tingkat laju resapan air pada masing-masing jenis tanah
dibandingkan dengan kontrol sebagai berikut.
Tabel 4.1. ANOVA untuk Jenis Tanah Ultisol
Sumber db JK KT Fh F.05
Jerami 3 279.11 39.04 17.20* 4.76
Error 6 31.00 5.17 - -
Total 9 310.19 - - -
Keterangan: * = signifikan
Berdasarkan hasil uji F diperoleh F hitung 17,20 > F.05 sehingga dapat
dinyatakan bahwa perlakuan pemberian jerami dalam berbagai level berat pada jenis
tanah ultisol memberikan perbedaan laju resapan yang signifikan terhadap kontrol.
Tabel 4.2. ANOVA untuk Jenis Tanah Inseptisol
Sumber db JK kT Fh F.05
Jerami 3 4071,56 1357,19 7,58* 4,76
Error 6 1073,68 178,98 - -
Total 9 5145,24 - - -
Keterangan:
Berdasarkan hasil uji F tersebut diperoleh nilai F hitung 7,58 > F.05 sehingga
dapat dinyatakan bahwa perlakuan dengan pemberian jerami pada berbagai level
berat yang berbeda pada tanah Inseptisol memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap laju resapan air dibandingkan dengan kontrol.
Tabel 4.3. ANOVA untuk Jenis Tanah Entisol
Sumber db JK KT Fh F.05
Jerami 3 8784,82 2928,27 95,91* 4,76
Error 6 183,16 30,53 - -
Total 9 8967,98 - - -
Keterangan:
* = signifikan
Dari hasil uji F tersebut diperoleh nilai F hitung sebesar 95,91 > F.05
sehingga dapat dinyatakan bahwa perlakuan pemberian jerami dalam berbagai level
berat yang berbeda pada tanah entisol memberikan perbedaan yang signifikan
terhadap tingkat laju resapan air apabila dibandingkan dengan kontrol.
Berdasarkan uji F yang telah dilakukan terhadap jenis tanah ultisol, inseptisol
dan entisol tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa perlakuan pemberian jerami
dalam berbagai level berat yang berbeda memberikan pengaruh yang signifikan
4.3.2. Uji Beda Nyata Jarak (BNJ)
Untuk mengetahui level perlakuan berat jerami yang memberikan pengaruh
signifikan terhadap laju resapan air, maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Jarak
untuk masing-masing jenis tanah sebagai berikut:
Tabel 4.4. Uji BNJ untuk Jenis Tanah Ultisol
K J 250 J 150
J 200=26,57 18,45* 3,68ns 0,95ns
J150=25,62 17,50* 2,77ns -
J 250=22,89 14,77* -
Kontrol=8,12 -
Keterangan:
* = signifikan (berbeda nyata pada taraf 5%)
Ns = non signifikan (tidak berbeda nyata pada taraf 5%)
Berdasarkan hasil Uji BNJ pada jenis tanah ultisol dapat diketahui bahwa:
a. Perlakuan dengan berat jerami 200 gram, 250 gram dan 150 gram memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap kontrol.
b. Perlakuan dengan berat jerami 200 gram belum memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap perlakuan berat jerami 250 gram dan 150 gram.
c. Perlakuan dengan berat jerami 250 gram belum memberikan pengaruh yang
Tabel 4.5. Uji BNJ untuk Jenis Tanah Inseptisol
Berdasarkan hasil Uji BNJ yang dilakukan diketahui bahwa perlakuan dengan
berbagai berat jerami pada jenis tanah Inseptisol adalah sebagai berikut:
a. Perlakuan dengan berat jerami 200 gram, 250 gram dan 150 gram memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap kontrol.
b. Perlakuan dengan berat jerami 200 gram memiliki tingkat laju resapan tertinggi
dan berbeda nyata dengan perlakuan berat jerami 250 gram dan 150 gram.
c. Perlakuan dengan berat jerami 250 gram belum memberikan pengaruh yang
signifikan dengan perlakuan berat jerami 150 gram.
Tabel 4.6. Uji BNJ untuk Jenis Tanah Entisol