• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Penambahan Ekstrak Wortel (Daucus Carota, L) Terhadap Bilangan Peroksida Dan Bilangan Asam Pada Minyak Goreng Bekas Selama Penyimpanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Penambahan Ekstrak Wortel (Daucus Carota, L) Terhadap Bilangan Peroksida Dan Bilangan Asam Pada Minyak Goreng Bekas Selama Penyimpanan"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

1

PERBANDINGAN KAPASITAS PELAT DUA ARAH BETON

PRATEGANG DAN PELAT DUA ARAH BETON BERTULANG

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk menempuh ujian sarjana teknik sipil

BUDI EZRA WIJAYA

06 0404 057

BIDANG STUDI STRUKTUR

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSIITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAK

Pada perencanaan suatu konstruksi, seorang perencana dituntut untuk mendesain suatu bangunan yang kuat, mudah dalam pelaksanaan, aman ketika dilakukan pembebanan maksimum dan memenuhi fungsi serta kebutuhan bangunan. Salah satunya adalah dengan pelat dua arah dalam perencanaan konstruksi. Penggunana pelat dua arah beton bertulang dalam konstruksi telah sering dijumpai, namun pada kondisi-kondisi tertentu penggunaan pelat dua arah beton prategang lebih baik penggunaannya.

Perencanaan dan perhitungan mengikuti peraturan SNI 03-2847-2002 dan ACI merupakan bentuk penyelesaian yang sudah dianggap umum dan lebih mudah untuk mendesain suatu struktur pelat, metode ACI juga dapat menghitung kehilangan prategang untuk beton prategang sehingga perhitungan pelat lebih akurat, disamping itu juga dilakukan analisis pelat terhadap kuat geser dan kontrol lendutan.

Dari hasil yang diperoleh, diketahui bahwa Pelat dua arah beton prategang mempunyai luasan yang lebih besar dibandingkan dengan pelat dua arah beton bertulang dengan data-data yang telah ditentukan, perbandingan luas antara pelat dua arah beton prategang dengan pelat dua arah beton bertulang untuk rasio ly/lx = 1,2 diperoleh 1,45; Untuk rasio ly/lx = 1,3 diperoleh 1,56; Untuk rasio ly/lx = 1,4 diperoleh 1,57.

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada saya, sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan dengan baik.

Tugas akhir ini merupakan syarat untuk mencapai gelar sarjana Teknik Sipil bidang struktur Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Perbandingan Kapasitas Pelat Dua-Arah Beton Prategang dan Pelat Dua-Arah Beton Bertulang.”

Saya menyadari bahwa dalam menyelesaikan tugas akhir ini tidak terlepas dari dukungan, bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya terutama kepada kedua orang tua yang sangat saya cintai, mereka adalah motivator terbesar bagi saya. Tiada balasan yang dapat diberikan selain membahagiakannya dengan menyelesaikan perkuliahan ini dengan hasil yang memuaskan.

Selain itu, saya juga mengucapkan terimakasih banyak kepada beberapa pihak yang berperan penting yaitu :

1. Bapak Ir.Torang Sitorus selaku pembimbing, yang telah banyak memberikan dukungan, masukan, bimbingan serta meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam membantu saya menyelesaikan tugas akhir ini.

(4)

3. Bapak Ir.Andi Putra Rambe, MBA. dan ibu Adina Sari Lubis, ST.MT. yang memberikan dukungan, masukan, nasihat, motivasi, serta meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam membantu saya menyelesaikan tugas akhir ini.

4. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan selaku Ketua Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Ir. Teruna Jaya, M.Sc selaku Sekretaris Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak/Ibu seluruh staff pengajar Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

7. Seluruh pegawai administrasi yang telah memberikan bantuannya selama ini kepada saya.

8. Buat abangku Boby Suhendra dan adikku Venny Ria Pratiwi, Alvin Tandi Prastya, Hengky Wijaya yang telah banyak membantu.

9. Buat Diana Juwita Harahap yang selalu memberikan motivasi dan membantu dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

10. Buat saudara/i seperjuangan Angga, Anggi, Agung, Andi, Alfi, Rivan, Rahmat, Didik, Riky, Atha, Najib, Ani, Avril, Zul, Haikal, Farqi, Choir, Radi, Citra, Wynda, Yovanka, Irin, Nurul, Ade, Fauzi, Herry, Ucup, Fahim, Tami, Ghafar, Ajo, teman-teman mahasiswa/i angkatan 2006, serta adik-adik mahasiswa/i 2007 dan 2009 yang tidak bisa disebutkan semuanya atas semangat dan bantuannya selama ini.

11. Seluruh rekan-rekan yang tidak mungkin saya tuliskan satu-persatu atas dukungannya yang sangat baik.

(5)

membangun dari para pembaca demi perbaikan di masa akan datang. Akhir kata saya mengucapakan terimakasih yang sebesar-besarnya dan semoga tugas akhir ini bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, November 2010

Budi Ezra Wijaya

(6)
(7)

2.4.2 Relaksasi Tegangan Baja (R) ... 24

2.4.3 Kehilangan yang Diakibatkan oleh Rangkak (CR) ... 26

2.4.4 Kehilangan yang Diakibatkan oleh Susut (SH) ... 28

2.4.5 Kehilangan yang Diakibatkan Friksi (F)... 30

2.4.6 Kehilangan Karena Dudukan Angker (A) ... 35

2.4.7 Perubahan Prategang Akibat Lentur Pada Suatu Komponen Struktur (DfPb) ... 35

2.4.8 Kehilangan Total Yang Diizinkan Untuk Desain ... 36

2.5 SISTEM LANTAI BETON PRATEGANG DUA-ARAH ... 37

2.5.6 Pembatasan Tegangan Beton Terhadap Lentur ... 54

2.5.7 Penulangan ... 55

2.6.4 Efek Pola Pembebanan Terhadap Pertambahan Momen Positif ... 62

2.6.5 Kekuatan Geser ... 64

2.6.6 Metode Langsung Untuk Menghitung Defleksi ... 64

(8)

3.1 PEMODELAN PELAT ... 68

3.1.1 Deskripsi Model Pelat ... 68

3.1.2 Data Geometri Pelat ... 69

3.2 PEMBEBANAN PADA PELAT ... 70

3.3 PERHITUNGAN PELAT PRATEGANG ... 70

3.3.1 Pelat dengan Rasio 1,2 ... 71

3.3.2 Pelat dengan Rasio 1,3 ... 90

3.3.3 Pelat dengan Rasio 1,4 ... 109

3.4 PERHITUNGAN PELAT BETON BERTULANG ... 128

3.4.1 Pelat dengan Rasio 1,2 ... 128

3.4.2 Pelat dengan Rasio 1,3 ... 137

3.4.3 Pelat dengan Rasio 1,4 ... 145

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 157

6.1 Kesimpulan ... 157

6.2 Saran ... 157

(9)

1

PERBANDINGAN KAPASITAS PELAT DUA ARAH BETON

PRATEGANG DAN PELAT DUA ARAH BETON BERTULANG

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk menempuh ujian sarjana teknik sipil

BUDI EZRA WIJAYA

06 0404 057

BIDANG STUDI STRUKTUR

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSIITAS SUMATERA UTARA

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada saya, sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan dengan baik.

Tugas akhir ini merupakan syarat untuk mencapai gelar sarjana Teknik Sipil bidang struktur Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Perbandingan Kapasitas Pelat Dua-Arah Beton Prategang dan Pelat Dua-Arah Beton Bertulang.”

Saya menyadari bahwa dalam menyelesaikan tugas akhir ini tidak terlepas dari dukungan, bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya terutama kepada kedua orang tua yang sangat saya cintai, mereka adalah motivator terbesar bagi saya. Tiada balasan yang dapat diberikan selain membahagiakannya dengan menyelesaikan perkuliahan ini dengan hasil yang memuaskan.

Selain itu, saya juga mengucapkan terimakasih banyak kepada beberapa pihak yang berperan penting yaitu :

1. Bapak Ir.Torang Sitorus selaku pembimbing, yang telah banyak memberikan dukungan, masukan, bimbingan serta meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam membantu saya menyelesaikan tugas akhir ini.

(11)

3. Bapak Ir.Andi Putra Rambe, MBA. dan ibu Adina Sari Lubis, ST.MT. yang memberikan dukungan, masukan, nasihat, motivasi, serta meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam membantu saya menyelesaikan tugas akhir ini.

4. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan selaku Ketua Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Ir. Teruna Jaya, M.Sc selaku Sekretaris Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak/Ibu seluruh staff pengajar Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

7. Seluruh pegawai administrasi yang telah memberikan bantuannya selama ini kepada saya.

8. Buat abangku Boby Suhendra dan adikku Venny Ria Pratiwi, Alvin Tandi Prastya, Hengky Wijaya yang telah banyak membantu.

9. Buat Diana Juwita Harahap yang selalu memberikan motivasi dan membantu dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

10. Buat saudara/i seperjuangan Angga, Anggi, Agung, Andi, Alfi, Rivan, Rahmat, Didik, Riky, Atha, Najib, Ani, Avril, Zul, Haikal, Farqi, Choir, Radi, Citra, Wynda, Yovanka, Irin, Nurul, Ade, Fauzi, Herry, Ucup, Fahim, Tami, Ghafar, Ajo, teman-teman mahasiswa/i angkatan 2006, serta adik-adik mahasiswa/i 2007 dan 2009 yang tidak bisa disebutkan semuanya atas semangat dan bantuannya selama ini.

11. Seluruh rekan-rekan yang tidak mungkin saya tuliskan satu-persatu atas dukungannya yang sangat baik.

(12)

membangun dari para pembaca demi perbaikan di masa akan datang. Akhir kata saya mengucapakan terimakasih yang sebesar-besarnya dan semoga tugas akhir ini bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, November 2010

Budi Ezra Wijaya

(13)
(14)

2.4.2 Relaksasi Tegangan Baja (R) ... 24

2.4.3 Kehilangan yang Diakibatkan oleh Rangkak (CR) ... 26

2.4.4 Kehilangan yang Diakibatkan oleh Susut (SH) ... 28

2.4.5 Kehilangan yang Diakibatkan Friksi (F)... 30

2.4.6 Kehilangan Karena Dudukan Angker (A) ... 35

2.4.7 Perubahan Prategang Akibat Lentur Pada Suatu Komponen Struktur (DfPb) ... 35

2.4.8 Kehilangan Total Yang Diizinkan Untuk Desain ... 36

2.5 SISTEM LANTAI BETON PRATEGANG DUA-ARAH ... 37

2.5.6 Pembatasan Tegangan Beton Terhadap Lentur ... 54

2.5.7 Penulangan ... 55

2.6.4 Efek Pola Pembebanan Terhadap Pertambahan Momen Positif ... 62

2.6.5 Kekuatan Geser ... 64

2.6.6 Metode Langsung Untuk Menghitung Defleksi ... 64

(15)

3.1 PEMODELAN PELAT ... 68

3.1.1 Deskripsi Model Pelat ... 68

3.1.2 Data Geometri Pelat ... 69

3.2 PEMBEBANAN PADA PELAT ... 70

3.3 PERHITUNGAN PELAT PRATEGANG ... 70

3.3.1 Pelat dengan Rasio 1,2 ... 71

3.3.2 Pelat dengan Rasio 1,3 ... 90

3.3.3 Pelat dengan Rasio 1,4 ... 109

3.4 PERHITUNGAN PELAT BETON BERTULANG ... 128

3.4.1 Pelat dengan Rasio 1,2 ... 128

3.4.2 Pelat dengan Rasio 1,3 ... 137

3.4.3 Pelat dengan Rasio 1,4 ... 145

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 157

6.1 Kesimpulan ... 157

6.2 Saran ... 157

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Pelat dua arah dengan balok-balok pendukungnya

Gambar 2.1 Kurva tegangan-regangan untuk berbagai kekuatan beton Gambar 2.2 Kurva regangan-waktu

Gambar 2.3 Kurva susut-waktu

Gambar 2.4a Penampang strand prategang 7 kawat standard Gambar 2.4b Penampang strand prategang 7 kawat dipadatkan Gambar 2.5 Angker hold-down untuk tendon prategang harping. Gambar 2.6 Skema landasa (bed) pemberian prategang.

Gambar 2.7a Angker strand

Gambar 2.7b Angker strand tunggal

Gambar 2.7c Chuck angker dari Supreme Products

Gambar 2.7d Pengangkeran ganda, pengikat, dan sambungan daktil Gambar 2.7e Pengikat

Gambar 2.7f Sambungan daktil Dywidag (DDC) untuk sambungan balok-kolom daktil pada daerah gempa

Gambar 2.8 Hubungan tegangan-relaksasi pada stress-relieved strands Gambar 2.9 Distribusi tegangan akibat gaya gesekan di tendon

Gambar 2.10a Kehilangan akibat friksi kelengungan Alinyemen tendon Gambar 2.10b Gaya-gaya di segmen yang amat kecil di mana F1 ada di ujung

pendongkrakan

Gambar 2.8c Poligon gaya dengan mengasumsikan bahwa F1 = F2 di segmen kecil dalam (b).

(17)

Gambar 2.12a Perubahan pada bentuk longitudinal balok akibat pemberian prategang

Gambar 2.12b Perubahan pada bentuk longitudinal balok akibat beban eksternal Gambar 2.13a Lantai pelat datar dua-arah

Gambar 2.13b Lantai slab dua-arah di atas balok-lantai Gambar 2.13c Lantai slab waffle

Gambar 2.14a Kontur kelengkungan dan defleksi pada panel lantai Gambar 2.14b Central slips dalam panel slab dua-arah

Gambar 2.15 Denah lantai dengan portal ekivalen (daerah yang diarsir dalam arah x)

Gambar 2.16 Jalur kolom dan jalur tengah dari portal ekivalen (arah y) Gambar 2.17a Momen pada panel

Gambar 2.17b Diagram benda-bebas

Gambar 2.18a Beban penyeimbang dalam panel prategang dua-arah tampak tiga dimensi

Gambar 2.18b Penampang L-L dalam arah panjang Gambar 2.18c Penampang S-S dalam arah pendek

Gambar 2.19 Koefisien beban-kerja dalam slab dan pelat aksi dua-arah

Gambar 2.20 Koefisien momen beban-ultimit dalam slab dan pelat aksi dua-arah Gambar 2.21a Koefisien momen untuk bentang banyak

Gambar 2.21b Luas slab yang dipakai menghitung M0 Gambar 3.1 Pemodelan panel beton bertulang dua-arah Gambar 3.2a denah panel prategang dua-arah

Gambar 3.2b Potongan arah T-B

(18)

Gambar 3.3 Kurva hubungan antara bentang terpanjang (ly) maksimum dengan rasio pelat (ly/lx) untuk pelat beton prategang dan pelat beton bertulang

Gambar 3.4 Kurva hubungan antara luas maksimum pelat dengan rasio pelat (ly/lx)

Gambar 3.5 Kurva hubungan perbandingan antara betang terpanjang maksimum pelat beton prategang dengan bentang terpanjang maksimum pelat beton bertulang dan rasio pelat

(19)

DAFTAR NOTASI

As luas tulangan tarik non-prategang

b lebar muka tekan komponen struktur

d jarak dari serat tekan terluar terhadap titik berat tulangan tarik

e dasar logaritma Napier Ec modulus elastisitas beton

Es modulus elastisitas tulangan

f’c kuat tekan beton yang disyaratkan

f’ci kuat tekan beton pada kondisi prategang awal

f’ci kuat tekan beton pada saat pemberian prategang awal

fpe tegangan tekan pada beton akibat gaya prategang efektif saja (setelah memperhitungkan semua kehilangan prategang) pada serat terluar penampang dimana tegangan tarik terjadi akibat beban luar

fps tegangan pada tulangan prategang pada saat penampang mencapai kuat nominalnya

fpu kuat tarik tendon prategang yang disyaratkan

fpy kuat leleh tendon prategang yang disyaratkan

fy kuat leleh yang disyaratkan untuk tulangan non-prategang

h tinggi total komponen struktur

I momen inersia penampang yang menahan beban luar terfaktor yang bekerja

ln bentang bersih diukur dari muka-ke-muka tumpuan

Mn kuat momen nominal pada suatu penampang

(20)

P gaya tendon prategang

s jarak maksimum dari tulangan transversal sepanjang ld dari sumbu-ke-sumbu

Vc kuat geser nominal yang dipikul oleh beton

Vu gaya lintang horizontal terfaktor pada suatu lantai

wd beban mati terfaktor per unit luas

wl beban hidup terfaktor per unit luas

wu beban terfaktor per unit luas

x dimensi keseluruhan yang lebih pendek dari bagian persegi suatu penampang

y dimensi keseluruhan yang lebih panjang dari bagian persegi suatu penampang

αm nilai rata-rata rasio kekakuan lentur penampang balok terhadap kekuatan lentur

pelat dengan lebar yang dibatasi secara lateral oleh garis-garis sumbu tengah dari panel-panel yang bersebelahan (bila ada) untuk semua balok pada tepi-tepi dari suatu panel

β rasio bentang bersih dalam arah memanjang terhadap arah memendek dari pelat

dua arah

ρ rasio tulangan tarik non-prategang

(21)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kawat-kawat untuk beton prategang

Tabel 2.2 Strand standar tujuh kawat untuk beton prategang Tabel 2.3 Kehilangan lump-sum dari AASHTO

Tabel 2.4 Perkiraan kehilangan prategang untuk pascatarik Tabel 2.5 Jenis-jenis kehilangan prategang

Tabel 2.6 Nilai KSH untuk komponen struktur pascatarik Tabel 2.7 Koefisien gesek kelengkungan dan wobble

Tabel 2.8 Persentase kehilangan tegangan yang dianjurkan oleh T.Y.Lin Tabel 2.9 Faktor-faktor momen untuk mendistribusikan M0 pada bentang

eksterior Tabel 2.10 Harga αmin

(22)

ABSTRAK

Pada perencanaan suatu konstruksi, seorang perencana dituntut untuk mendesain suatu bangunan yang kuat, mudah dalam pelaksanaan, aman ketika dilakukan pembebanan maksimum dan memenuhi fungsi serta kebutuhan bangunan. Salah satunya adalah dengan pelat dua arah dalam perencanaan konstruksi. Penggunana pelat dua arah beton bertulang dalam konstruksi telah sering dijumpai, namun pada kondisi-kondisi tertentu penggunaan pelat dua arah beton prategang lebih baik penggunaannya.

Perencanaan dan perhitungan mengikuti peraturan SNI 03-2847-2002 dan ACI merupakan bentuk penyelesaian yang sudah dianggap umum dan lebih mudah untuk mendesain suatu struktur pelat, metode ACI juga dapat menghitung kehilangan prategang untuk beton prategang sehingga perhitungan pelat lebih akurat, disamping itu juga dilakukan analisis pelat terhadap kuat geser dan kontrol lendutan.

Dari hasil yang diperoleh, diketahui bahwa Pelat dua arah beton prategang mempunyai luasan yang lebih besar dibandingkan dengan pelat dua arah beton bertulang dengan data-data yang telah ditentukan, perbandingan luas antara pelat dua arah beton prategang dengan pelat dua arah beton bertulang untuk rasio ly/lx = 1,2 diperoleh 1,45; Untuk rasio ly/lx = 1,3 diperoleh 1,56; Untuk rasio ly/lx = 1,4 diperoleh 1,57.

(23)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Beton adalah suatu bahan yang mempunyai kekuatan yang tinggi terhadap tekan, tetapi sebaliknya mempunyai kekuatan relative sangat rendah terhadap tarik. Beton tidak selamanya bekerja secara efektif didalam penampang-penampang struktur beton bertulang, hanya bagian tertekan saja yang efektif bekerja, sedangkan bagian beton yang retak dibagian yang tertarik tidak bekerja efektif dan hanya merupakan beban mati yang tidak bermanfaat. Hal inilah yang menyebabkan tidak dapatnya diciptakan srtuktur-struktur beton bertulang dengan bentang yang panjang secara ekonomis, karena terlalu banyak beban mati yang tidak efektif. Disampimg itu, retak-retak disekitar baja tulangan bisa berbahaya bagi struktur karena merupakan tempat meresapnya air dan udara luar kedalam baja tulangan sehingga terjadi karatan. Putusnya baja tulangan akibat karatan fatal akibatnya bagi struktur.

Dengan kekurangan-kekurangan yang dirasakan pada struktur beton bertulang seperti diuraikan diatas, timbullah gagasan untuk menggunakan kombinasi-kombinasi bahan beton secara lain, yaitu dengan memberikan pratekanan pada beton melalui kabel baja (tendon) yang ditarik atau biasa disebut beton pratekan.

(24)

mana diperlukan bentangan yang lebih panjang di antara unsur-unsur tumpuannya.

Gambar 1.1 Pelat dua arah dengan balok-balok pendukungnya.

(25)

itu, penghematan jangka panjang secara tidak langsung cukup besar, karena dibutuhkan perawatan yang lebih sedikit, yang berarti daya guna lebih lama sebagai akibat dari control kualitas yang lebih baik pada betonnya, dan pondasi yang lebih ringan dapat digunakan akibat berat kumulatif struktur atas yang lebih kecil.

1.2 TUJUAN

Penulis ingin melihat sejauh mana panjang bentang yang mampu ditumpu oleh pelat dua arah beton prategang dan pelat dua arah beton bertulang biasa secara perhitungan, analisis dan dengan data-data yang telah ditentukan. Sehingga diperoleh perbandingan luas bentang maksimum yang dapat ditumpu oleh pelat dua arah beton prategang dan pelat dua arah beton bertulang dengan data-data yang telah ditentukan.

I.3 PEMBATASAN MASALAH

Adapun pembatasan masalah yang diambil untuk mempermudah penyelesaian adalah :

a. Pelat dua-arah ditumpu oleh balok di semua tepinya, dengan kekangan rotasi yang dapat diabaikan tetapi pojok-pojoknya tetap dipertahankan tidak naik. b. Perbandingan sisi panjang dengan sisi pendek (ly/lx) yang ditinjau adalah 1,2;

1,3; 1,4.

c. Tebal pelat (h) direncanakan 120 mm.

(26)

e. Untuk beton bertulang digunakan mutu baja (fy) = 400 Mpa, untuk beton pratekan digunakan sistem pascatarik dengan tendon 270-K 7 (fpu = 1861,65 Mpa) kawat dengan diameter 12,7 mm.

f. Pembebanan diambil dari Pedoman Perencanaan Pembebanan untuk Ruang Pertemuan.

g. Tegangan dan lendutan yang dihitung adalah tersendiri pada masing-masing arah sesuai dengan referensi.

I.5 METODOLOGI PENULISAN

Metode yang digunakan dalam penulisan tugas akhir ini adalah kajian literatur berdasarkan prinsip perencanaan pada beton prategang serta masukan-masukan dari dosen pembimbing.

(27)

BAB II

STUDI PUSTAKA

2.1 KONSEP-KONSEP DASAR PEMBERIAN PRATEGANG

Beton prategang pada dasarnya adalah beton di mana tegangan-tegangan internal dengan besar serta distribusi yang sesuai diberikan sedemikian rupa sehingga tegangan-tegangan yang diakibatkan oleh beban-beban luar dilawan sampai suatu tingkat yang diinginkan. Pada batang beton bertulang, prategang pada umumnya diberikan dengan menarik baja tulangannya.

Kekuatan tarik beton polos hanyalah merupakan suatu fraksi saja dari kekuatan tekannya dan masalah kurang sempurnanya kekuatan tarik ini ternyata menjadi faktor pendorong dalam pengembangan material komposit yang dikenal sebagai “beton bertulang”.

Timbulnya retak-retak awal pada beton bertulang yang disebabkan oleh ketidakcocokan (non compatibility) dalam regangan-regangan baja dan beton barangkali merupakan titik awal dikembangkannya suatu material baru seperti “beton prategang”. Penerapan tegangan tekan permanen pada suatu material

(28)

2.2 MATERIAL UNTUK BETON PRATEGANG

2.2.1 Beton

Beton, khususnya beton mutu tinggi, adalah komponen utama dari semua elemen beton prategang. Dengan demikian, kekuatan dan daya tahan jangka panjang beton prategang harus diperoleh dengan menggunakan jaminan kualitas dan kontrol kualitas yang memadai pada tahap produksinya.

Kekuatan tekan kubus 28 hari minimum yang ditentukan di dalam peraturan I.S. adalah 40 N/mm2 untuk batang pratarik dan 30 N/mm2 untuk batang pascatarik. Perbandingan standar kekuatan silinder terhadap kekuatan kubus dianggap sebesar 0,8 bila tidak tersedia data percobaan yang relevan. Kadar semen minimum sebesar 300 sampai 360 kg/m3 telah ditetapkan terutama untuk memenuhi persyaratan daya tahan. Untuk mengamankan terhadap susut yang berlebihan, peraturan B.S. menetapkan bahwa kadar semen dalam campuran sebaiknya tidak melebihi 530 kg/m3.

Tegangan beton sesaat sesudah penyaluran gaya prategang (sebelum terjadinya kehilangan tegangan sebagai fungsi waktu) tidak boleh melampaui nilai sebagai berikut :

1. Tegangan serat tekan terluar 0,6f’ci

2. Tegangan serat tarik terluar f'ci 4 1

3. Tegangan serat tarik terluar pada ujung-ujung komponen struktur di

atas perletakan sederhana f'ci 2 1

(29)

Tegangan beton pada kondisi beban layan (sesudah memperhitungkan semua kehilangan prategang yang mungkin terjadi) tidak boleh melampaui nilai berikut:

1. Tegangan serat tekan terluar akibat pengaruh prategang, beban mati dan beban hidup tetap 0,45f’c

2. Tegangan serat tekan terluar akibat pengaruh prategang, beban mati dan beban hidup total 0,65f’c

3. Tegangan serat tarik terluar dalam daerah tarik yang ada pada awalnya

mengalami tekan f'c 2 1

Karena kurva tegangan-regangan yang terlihat dalam Gambar 2.1 berbantuk kurvilinier pada taraf pembebanan yang sangat awal, maka modulus elastisitas Young dapat diterapkan hanya pada tangen dari kurva di titik asal. Kemiringan garis lurus yang menghubungkan titik asal dengan tegangan tertentu (sekitar 0,4 f’c) merupakan modulus elastisitas tekan beton. Nilai ini, yang disebut

modulus elastisitas dalam perhitungan desain, memenuhi asumsi praktis bahwa regangan yang terjadi selama pembebanan pada dasarnya dapat dianggap elastic (dapat pulih kembali seluruhnya jika belum dihilangkan), dan bahwa regangan selanjutnya akibat bekerjanya beban disebut rangkak.

Untuk nilai wc diantara 1500 kg/m 3

dan 2500 kg/m3, nilai modulus

elastisitas beton Ec dapat diambil sebesar (wc)1,50,043 f' (dalam Mpa). Untuk c

(30)

Gambar 2.1 Kurva tegangan-regangan untuk berbagai kekuatan beton

Karena pada umumnya pemberian tegangan pada suatu elemen dilakukan sebelum beton kekuatan 28 hari, perlu ditentukan kuat tekan beton f’ci pada taraf prategang, begitu pula modulus beton Ec pada bebagai taraf riwayat pembebanan elemen tersebut. Rumus umum untuk menghitung kuat tekan sebagai fungsi dari waktu adalah

(2.1)

Di mana f’c = kuat tekan 28 hari t = waktu (hari)

α = faktor yang bergantung pada tipe semen dan kondisi

(31)

= 4,00 untuk semen tipe I yang dirawat basah dan 2,30 untuk semen tipe III yang dirawat basah

= 1,00 untuk semen tipe I yang dirawat uap dan 2,30 untuk semen tipe III yang dirawat uap

β = faktor yang bergantung pada parameter-parameter yang sama dengan ”α”, dengan nilai masing-masing 0,85; 0,92;

0,95 dan 0,98

Dengan demikian, untuk semen tipe I yang dirawat basah,

(2.2)

Rangkak, atau aliran material lateral, adalah peningkatan regangan terhadap waktu akibat beban yang terus menerus bekerja. Deformasi awal akibat beban adalah regangan elastis, sementara regangan tambahan akibat beban awal yang sama yang terus bekerja adalah regangan rangkak.

Gambar 2.2 mengilustrasikan pertambahan regangan rangkak terhadap waktu, dan seperti pada kasus susut, terlihat bahwa laju rangkak berkurang terhadap waktu. Rangkak tidak dapat diamati secara langsung dan hanya dapat ditentukan dengan mengurangkan regangan elastis dan regangan susut dari deformasi total. Meskipun susut dan rangkak merupakan fenomena yang tidak independen, dapat diasumsikan bahwa superposisi regangan berlaku, sehingga

(32)

Gambar 2.2 Kurva regangan-waktu

Pada dasarnya, ada dua jenis susut: susut plastis dan susut pengeringan.

Susut plastis terjadi selama beberapa jam pertama sesudah pengecoran beton segar di cetakan. Susut pengeringan terjadi sesudah beton mongering dan sebagian besar proses hidrasi kimiawi di pasta semen telah terjadi. Gambar 2.3 menunjukkan peningkatan regangan susut sh terhadap waktu. Kelajuannya berkurang terhadap waktu karena beton yang lebih tua lebih tahan terhadap tengangan dan ini berarti beton tersebut mengalami lebih sedikit susut, sedemikian sehingga regangan susut menjadi hamir asimtotis terhadap waktu.

(33)

Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya susut pengeringan adalah: 1. Agregat. Agregat beraksi menahan susut pasta semen. Beton dengan modulus

elastisitas tinggi atau dengan permukaan kasar lebih dapat menahan proses susut. dibutuhkan dalam pengeringan untuk mencapai daerah dalam.

4. Kondisi kelembaban di sekitar. Kelembaban relatif pada lingkungan sekitar sangat mempengaruhi besarnya susut. Temperatur lingkungan juga merupakan faktor.

5. Banyaknya penulangan. Beton bertulang menyusut lebih sedikit dibandingkan dengan beton polos.

6. Bahan tambahan. Efek ini bervariasi bergantung pada jenis bahan tambahan. 7. Jenis semen. Semen yang cepat mongering akan susut lebih banyak

dibandingkan jenis-jenis lainnya.

8. Karbonasi. Susut karbonasi disebabkan oleh reaksi antara karbondioksida (CO2) yang ada di atmosfir dan yang ada di pasta semen.

Branson merekomendasika hubungan regangan susut sebagai fungsi dari waktu untuk kondisi kelembaban standar (RH ≈ 40 persen):

(34)

 (2.3)

Di mana sh,u = 800 x 10-6 in./in. jika tidak ada data setempat (b) Untuk beton yang diolah uap sesudah berumur 1 sampai 3 hari,

 (2.4)

Untuk kelembaban yang tidak standar, faktor koreksi harus diterpkan, (a) Untuk 40 < H≤ 80 persen,

kSH= 1,40 – 0,010H (2.5) (b) Untuk 80 < H ≤ 100 persen,

kSH= 3,00 – 0,30H (2.6)

2.2.2 Baja Prategang

Baja prategang dapat berbentuk kawat-kawat tunggal, strands yang terdiri atas beberapa kawat yang dipuntir membentuk elemen tunggal dan batang-batang bermutu tinggi. Tiga jenis yang umum digunakan adalah:

 Kawat-kawat relaksasi rendah atau stress-relieved tak berlapisan.  Strands relaksasi rendah atau stress-relieved strands tak berlapisan.  Batang-batang baja mutu tinggi tak berlapisan.

Kawat-kawat stress-relieved adalah kawat-kawat tunggal yang ditarik-dingin yang sesuai dengan standar ASTM A 421; stress-relieved strands

mengikuti standar ASTM A 416. Strands terbuat dari tujuh kawat dengan memutir enam diantaranya pada pitch sebesar 12 sampai 16 kali diameter di sekeliling kawat lurus yang sedikit lebih besar. Pelepasan tegangan dilakukan sesudah kawat-kawat dijalun menjadi strand. Besaran geometris kawat dan strand

(35)

Tabel 2.1 Kawat-kawat untuk Beton Prategang

Sumber: Post-Tensioning Institute

Tabel 2.2 Strand Standar Tujuh Kawat untuk Beton Prategang

Diameter

Berat: kalikan dengan 1,49 untuk mendapatkan berat dalam kg per 1000 m. 1000 lb = 4448 N

Sumber: Post-Tensioning Institute

Untuk memaksimumkan luas baja strand 7 kawat untuk suatu diameter nominal, kawat standar dapat dibentuk menjadi strand yang dipadatkan seperti

(36)

terlihat dalam Gambar 2.4(b); ini berbeda dengan strand 7 kawat standar yang terlihat dalam Gambar 2.4(a).

(a) (b)

Gambar 2.4 Strands prategang 7 kawat standard dan dipadatkan. (a) Penampang

strand standar. (b) Penampang strand yang dipadatkan.

Relaksasi baja dalam baja prategang adalah kehilangan prategang apabila kawat-kawat atau strand mengalami regangan yang pada dasarnya konstan. Ini identik dengan rangkak pada beton, dengan perbedaan bahwa rangkak adalah perubahan rengangan, sedangkan relaksasi baja adalah kehilangan tegangan pada baja. Sesudah pemberaian tegangan, kehilangan tegangan akibat relaksasi pada kawat dan strands yang tegangannya dilepaskan dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

(2.7)

Di mana t adalah waktu dalam jam, dengan ketentuan fp/fpy ≥ 0,55 dan fpy  0,85

(37)

2.3 SISTEM PRATEGANG DAN PENGANGKERAN

2.3.1 Pemberian Pratarik

Baja pratarik diberi pratarik terhadap pengangkeran indipenden sebelum pengecoran beton di sekitarnya. Penjangkaran seperti ini ditumpu oleh bulkheads

yang stabil dan besar untuk memikul gaya terpusat yang sangat besar yang diberikan pada masing-masing tendon. Sebutan ”pratarik” berarti pemberian pratarik pada baja prategang, bukan pada baloknya. Dengan demikian, balok pratarik adalah balok prategang di mana tendon prategang yang ditarik sesudah balok dicor dan mencapai sebagian besar dari kuat betonya. Pemberian pratarik biasanya dilakukan di lokasi pembuatan balok pracetak, di mana landasan (bed) pracetak berupa slab beton bertulang yang panjang dicor di atas tanah dengan

bulkheads angker vertical atau dinding di ujung-ujungnya. Strand baja diregangkan dan diangker ke dinding vertikal, yang didesain untuk menahan gaya prategang eksentrisitas besar. Pemberian prategang dapat dilakukan dengan member prategang pada strand secara individual, atau semua strand pada satu operasi pendongkrakan.

Untuk profil tendon harped, landasan untuk memberikan prategang berupa alat pemegang seperti terlihat dalam Gambar 2.5. Karena landasan dapat mempunyai panjang ratusan feet, maka elemen prategang pracetak dapat dihasilkan pada satu operasi, dan strand prategang yang diekspos di antaranya dapat dipotong setelah beton mengeras. Pemberian pratarik pada beberapa elemen di satu landasan ditunjukkan secara skematis dalam Gambar 2.6.

Dalam pelaksanaan pratarik, strand dan kawat-kawat tunggal diangker dengan menggunakan beberapa sistem yang telah dipaten. Salah satunya, sistem

(38)

sistem pascatarik. Mekanisme penjepitan sistem ini diilustrasikan dalam Gambar 2.7(c). Sistem pengangkeran lain beserta sambungan daktil ditunjukkan dalam Gambar 2.7(d), (e), dan (f).

Gambar 2.5 Angker hold-down untuk tendon prategang harping.

(39)

2.3.2 Pemberian Pascatarik

Di dalam pemberian pascatarik, strand, kawat-kawat, atau batang-batang ditarik sesudah beton mengeras. Strand diletakkan di dalam saluran longitudinal di dalam elemen beton pracetak. Gaya prategang ditransfer melalui penjangkaran ujung seperti chucks dari Supreme Products seperti terlihat dalam Gambar 2.7. Tendon berupa strand tidak boleh dilekatkan atau disuntik sebelum terjadinya prategang penuh.

Gambar 2.7 (a) Angker strand, (b) Angker strand tunggal, (c) Chuck angker dari

(40)

Gambar 2.7 (lanjutan)(d) Pengangkeran ganda, pengikat, dan sambungan daktil, (e) Pengikat, (f) Sambungan daktil Dywidag (DDC) untuk sambungan balok-kolom daktil pada daerah gempa

2.3.3 Material Penyuntikan

(41)

2.3.4 Saluran

1. Cetakan

(a) Formed Ducts. Saluran yang dibuat dengan menggunakan lapisan tipis yang tetap di tempat. Harus berupa bahan yang tidak memungkinkan tembusnya pasta semen. Saluran tersebut harus mentransfer tegangan lekatan yang dibutuhkan dan harus dapat mempertahankan bentuknya pada saat memikul berat beton. Saluran logam harus berupa logam besi, yang dapat saja digalvanisasi.

(b)Cored Ducts.Saluran seperti ini harus dibentuk tanpa adanya tekanan yang dapat mencegah aliran suntikan. Semua material pembentuk saluran jenis ini harus disingkirkan.

2. Celah atau Bukaan Suntikan. Semua saluran harus mempunyai bukaan

untuk suntikan di kedua ujung. Untuk kabel draped, semua titik yang tinggi harus mempunyai celah suntikan kecuali di lokasi dengan kelengkungan kecil, seperti pada slab menerus. Celah suntikan atau lubang buangan harus digunakan di titik-titik rendah jika tendon akan diletakkan, diberi tegangan dan disuntikan pada cuaca beku. Semua celah atau bukaan suntikan harus dapat mencegah bocornya suntikan.

3. Ukuran Saluran. Untuk tendon yang terdiri dari kawat, batang atau strands, luas saluran harus sedikitnya dua kali luas neto baja prategang. Untuk tendon yang terdiri atas satu kawat, batang, atau strand, diameter saluran harus sedikitnya ¼ in. lebih besar dari pada diameter normal kawat, batang, atau

strand.

4. Peletakan Saluran. Sesudah saluran diletakkan, dan pencetakan selesai, harus

(42)

ada. Saluran harus dikencangkan dengan baik pada jarak-jarak yang cukup dekat untuk mencegah peralihan selama pengecoran beton. Semua lubang atau bukaan di saluran harus diperbaiki sebelum pengecoran beton. Celah atau bukaan untuk penyuntikan harus diangkerk dengan baik pada selubung dan pada baja tulangan atau cetakan, untuk mencegah peralihan selama operasi pengecoran beton.

2.3.5 Proses Penyuntikan

1. Saluran dengan dinding beton (cored ducts) harus disemprot untuk menjamin bahwa beton dapat dibasahi dengan baik.

2. Semua celah-titik-tinggi dan suntikan harus terbuka pada saat penyuntikan dimulai. Suntikan harus dapat mengalir dari celah pertama setelah pipa masukan sampai air pembersih residual atau udara yang terperangkap telah dikeluarkan, pada saat mana celah tersebut harus ditutup. Celah-celah lainnya harus ditutup secara berurutan dengan cara yang sama. Proses pemompaan pada masukan tendon tidak boleh melebihi 250 psi.

3. Bahan suntikan harus dipompa melalui saluran dan secara terus menerus ke luar di pipa buangan sampai tidak terlihat lagi ada air atau udara yang keluar. Waktu keluar suntikan tidak boleh kurang dari waktu pemberian bahan suntikan. Untuk menjamin bahwa tendon tetap terisi dengan bahan suntikan, maka keluaran dan/atau masukan harus ditutup. Tutup yang dibutuhkan tidak boleh lepas atau dibuka sampai bahan suntikan mengering.

(43)

5. Pada temperature di bawah 32oF, saluran harus dijaga bebas air untuk menghindari kerusakan akibat pembekuan.

6. Temperatur beton tidak boleh 35oF atau lebih tinggi dari temperatur pada saat penyuntikan sampai kubus suntikan yang berukuran 2 in. mencapai kuat tekan sebesar 800 psi.

7. Bahan suntikan tidak boleh melebihi 90oF selama pencampuran atau pemompaan jika perlu, pencampuran air harus didinginkan.

2.4 KEHILANGAN PRATEGANG

Pratengang efektif pada beton mengalami pengurangan secara

berangsur-angsur sejak dari tahap transfer akibat berbagai sebab. Secara umum ini dinyatakan sebagai “kehilangan prategang”.

Penentuan secara tepat besarnya semua kehilangan tersebut-khususnya yang bergantung pada waktu-sulit dilakukan karena kehilangan tersebut bergantung pada berbagai faktor yang saling berkaitan. Metode-metode empiris untuk memperkiraan kehilangan berbeda-beda menurut peraturan atau rekomendasi, seperti metode Prestressed Concrete Institute, cara komite gabungan ACI-ASCE, cara lump-sum ASSHTO, cara Comité Eurointernationale du Béton (CEB), dan FIP (Federation Internationale de la Précontrainte). Derajat kerumitan masing-masing metode bergantung pada pendekatan yang dipilih dan catatan praktek yang telah diterima.

Perkiraan kehilangan yang sangat teliti tidak saja dihindari melainkan juga tidak dijamin karena adanya faktor-faktror yang saling berkaitan yang mempengaruhi perkiraan tersebut. Dengan demikian, perkiraan lump-sum

(44)

lainnya. Kehilangan lump-sum seperti dirangkum di dalam Tabel 2.3 yang dikutip dari AASHTO dan Tabel 2.4 yang dikutip dari PTI. Kehilangan yang dicantumkan meliputi perpendekan elastis, relaksasi baja pratengan, rangkak dan susut, dan tabel tersebut berlaku hanya untuk kondisi pembebanan standar, kondisi lingkungan, prosedur, konstruksi, kontrol kualitas dan beton normal, dan pentingnya serta besarnya system. Analisis lebih rinci harus dilakukan jika kondisi-kondisi standar tidak terpenuhi.

Tabel 2.3 Kehilangan lump-sum dari AASHTO

Jenis baja

Kehilangan karena gesekan tidak termasuk. Kehilangan seperti ini harus dihitung dengan mengikuti Subbab 6.5 spesifikasi AASHTO

Tabel 2.4 Perkiraan Kehilangan Prategang Untuk Pascatarik

Bahan tendon pascatarik

(45)

di tabel ini, jika beton mengalami tegangan pada kekuatan rendah, jika beton mengalami prategang tinggi, atau jika kondisi ekposnya sangat kering atau sangat basah. Nilai di tabel ini tidak mencakup kehilangan akibat friksi.

Sumber: Post-Tensioning Institute.

Rangkuman sumber-sumber untuk mendapatkan nilai kehilangan prategang dan tahapan terjadinya dicantumkan dalam Tabel 2.5, di mana subskrip

i menunjukkan “awal” dan subskrip j menunjukkan taraf pembebanan sesudah pendongkrakan. Dari tabel ini, kehilangan total pratengang dapat dihitung untuk komponen struktur pascatarik sebagai berikut:

∆fpT = ∆fpA + ∆fpF + ∆fpES + ∆fpR + ∆fpCR + ∆fpSH (2.8)

Di mana ∆fpES hanya berlaku apabila tendon didongkrak secara sekuensial, dan

bukan secara simultan.

Dalam hal pascatarik, perhitungan kehilangan akibat relaksasi dimulai antara waktu transfer t1 = ttrdan akhir selang waktu t2 yang sedang ditinjau, jadi

fpi = fpJ - ∆fpA -∆fpF (2.9)

Tabel 2.5 Jenis-jenis Kehilangan Prategang

Jenis kehilangan prategang

Tahap terjadinya Kehilangan tegangan tendon

Komponen struktur

Saat transfer Saat pendongkrakan … ∆fpES

(46)

2.4.1 Perpendekan Elastis Beton (ES)

Beton memendek pada saat gaya prategang bekerja padanya. Karena tendon yang melekat pada beton di sekitarnya secara simultan juga memendek, maka tendon tersebut akan kehilangan sebagian dari gaya prategang yang dipikulnya.

Untuk elemen pascatarik, kehilangan akibat perpendekan elastis bervariasi dari nol jika semua tendon didongkrak secara simultan, hingga setengah dari nilai yang dihitung pada kasus pratarik dengan beberapa pendongkrak sekuensial digunakan, seperti pendongkrakan dua tendin sekaligus. Jika n adalah banyaknya tendon atau pasangan tendon yang ditarik secara sekuensial, maka:

(2.10)

Yang mana j menunjukkan nomor operasi pendongkrakan. Perhatikan bahwa tendon yang ditarik terakhir tidak mengalami kehilangan akibat perpendekan elastis, sedangkan tendon yang ditarik pertama mengalami banyak kehilangan yang maksimum.

2.4.2 Relaksasi Tegangan Baja (R)

Tendon stress-relieved mengalami kehilangan pada gaya prategang sebagai akibat dari perpanjangan konstan terhadap waktu. Besar pengurangan prategang bergantung tidak hanya pada durasi gaya prategang yang ditahan, melainkan juga pada rasio antara prategang awal dan kuat leleh baja pratengang

(47)

(a) Untuk tegangan akibat gaya pendongkrakan tendon, fpJ = 0,94 fpy, tetapi tidak lebih besar dari pada yang terkecil di antara 0,80 fpu dan nilai maksimum yang disarankan oleh pembuat tendon dan angker.

(b)Segera setelah transfer prategang, fpi= 0,82 fpy, tetapi tidak lebih besar dari pada 0,74 fpu.

(c) Pada tendon pascatarik, di pengakeran dan perangkai segera setelah transfer gaya = 0,70 fpu.

Nilai fpy dapat dihitung dari Batang prategang: fpy = 0,80 fpu Tendon stress-relieved, fpy = 0,85 fpu Tendon relaksasi rendah, fpy = 0,90 fpu

Jika fpR adalah tegangan prategang yang tersisa pada baja sesudah relaksasi, maka rumus berikut dapat digunakan untuk mendapatkan fpR untuk baja stress-relieved:

Di dalam rumus tersebut, t dinyatakan dalam jam dan log t mempunyai basis 10,

fpi/fpy melebihi 0,55, dan t = t2 t1. Juga, untuk baja relaksasi rendah, penyebut di

dalam suku log dalam persamaan tersebut dibagi dengan 45, bukan 10. Plot persamaan 2.11 ditunjukkan dalam Gambar 2.6.

(48)

Pendekatan untuk suku (log t2 – log t1) dalam Persamaan 2.11 dapat dilakukan sedemikian hingga log t = log (t2 t1) tanpa kehilangan ketelitian yang berari. Dalam hal ini, kehilangan karena relaksasi tegangan menjadi:

(2.12)

Di mana fpi adalah tegangan awal di baja yang dialami elemen beton.

Jika analisis kehilangan dengan cara langkah demi langkah dibutuhkan, maka inkremen kehilangan pada suatu tahap dapat didefinisikan sebagai:

(2.13)

Di mana t1 adalah waktu pada awal suatu interval dan t2 adalah waktu di akhir interval, yang keduanya dihitung dari saat pendongkrakan.

2.4.3 Kehilangan yang Disebabkan oleh Rangkak (CR)

Penelitian eksperimental yang dilakukan selama setengah abad yang lalu mengindikasikan bahwa aliran di material terjadi di sepanjang waktu apabila ada beban atau tegangan. Deformasi atau aliran lateral akibat tegangan longitudinal disebut rangkak (creep). Perlu ditekankan bahwa tegangan rangkak dan kehilangan tegangan hanya terjadi akibat beban yang terus menerus selama riwayat pembebanan suatu elemen struktural.

(49)

rangkak CR dan rengangan elastis EL dapat dihubungkan linier sedemikan hingga koefisien rangkak Cu dapat didefinisikan sebagai:

Nilai Cu bervariasi di antara 2 dan 4 dengan rata-rata 2,35 untuk rangkak ultimit. Kehilangan prategang di komponen struktur prategang akibat rangkak dapat didefinisikan untuk komponen struktur bonded.

(2.16)

Di mana fcs adalah tegangan di beton pada level pusat berat tendon prategang. Pada umumnya, kehilangan ini merupakan fungsi dari tegangan di tendon pada penampang yang sedang ditinjau. Pada komponen struktur pascatarik nonbonded, pada dasarnya kehilangan dapat dipandang seragam di sepanjang bentangnya. Dengan demikian, nilai rata-rata untuk tegangan beton di antara titik-titik angker dapat digunakan untuk menghitung rangkak di komponen struktur pascatarik.

Rumus komite ACI-ASCE untuk menghitung kehilangan akibat rangkak pada dasarnya sama dengan Persamaan 2.16

(2.17)

atau

(50)

Di mana KCR = 2,0 untuk komponen struktur pratarik

= 1,60 untuk komponen struktur pascatarik (keduanya untuk beton normal)

= tegangan di beton pada level pusat berat baja segera setelah

transfer

= tegangan di beton pada level pusat berat baja akibat semua

beban mati tambahan yang bekerja setelah prategang diberikan

n = rasio modulus

Perhatikan bahwa KCR harus dikurangi 20 persen untuk beton ringan.

2.4.4 Kehilangan yang Disebabkan oleh Susut (SH)

Seperti halnya pada rangkak beton, besarnya susut beton dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktro tersebut meliputi proporsi campuran, tipe agregat, tipe semen, waktu perawatan, waktu antara akhir perawatan eksternal dan pemberian prategang, ukuran komponen struktur dan kondisi lingkungan. Ukuran dan betuk komponen struktur juga mempengaruhi susut. Kira-kira 80 persen dari susut terjadi pada tahun pertama. Nilai rata-rata regangan susut ultimit pada beton yang dirawat basah maupun yang dirawat uap dilaporkan sebesar 780 x 10-6 in./in. di dalam ACI 209 R-92 Report. Nilai rata-rata ini dipengaruhi oleh panjang perawatan basah awal, kelembaban relative sekitar, rasio volume-permukaan, temperatur dan komposisi beton. Untuk memperhitungkan pengaruh-pengaruh tersebut, nilai rata-rata regangan susut harus dikalikan dengan faktor koreksi SH sebagai berikut

(51)

Komponen-komponen dari SH adalah faktor-faktor untuk berbagai kondisi lingkungan dan ditabulasikan di dalam ACI Commiittee Report R435-95, subbab 2.

Untuk kondisi standar, Prestressed Concrete Institute menetapkan nilai rata-rata untuk regangan susut ultimit nominal (SH)u = 820 x 10-6 in./in.

(mm/mm). jika SH adalah regangan susut sesudah menyesuaikan untuk kelembaban relative pada rasio volume-permukaan V/S, kehilangan prategang pada komponen struktur pratarik adalah:

∆fpSH = SHx Eps (2.20)

Untuk komponen struktur pascatarik, kehilangan prategang akibat susut agak lebih kecil karena sebagian susut telah terjadi sebelum pemberian pascatarik. Jika kelembaban relatif diambil sebagai nilai persen dan efek rasio V/S ditinjau, rumus umum Prestressed Concrete Institute untuk menghitung kehilangan prategang akibat susut menjadi

(2.21)

Di mana KSH = 1,0 untuk komponen struktur pratarik. Tabel 2.6 memberikan nilai

KSH untuk komponen struktur pascatarik.

Tabel 2.6 Nilai KSH untuk Komponen Struktur Pascatarik

(52)

Penyesuaian kehilangan susut untuk kondisi standar sebagai fungsi dari waktu t dalam hari sesudah 7 hari untuk perawatan basah dan 3 hari untuk perawatan uap dapat diperoleh dari rumus-rumus berikut

(a) Perawatan basah, sesudah 7 hari

 (2.22)

Di mana (SH)u adalah regangan susut ulitimit, t = waktu dalam hari sesudah susut ditinjau.

(b) Perawatan uap, sesudah 1 sampai 3 hari

 (2.23)

Perlu diperhatikan bahwa memisahkan perhitungan rangkak tersebut merupakan hal yang lazim dilakukan di dalam praktek. Juga, variasi secara signifikan terjadi di dalam nilai susut dan rangkak akibat variasi dalam besarn komponen material dari berbagai sumber, meskipun produknya adalah yang diproduksi di lapangan, seperti balok pratarik. Jadi, disarankan untuk mendapatkan informasi dari pengujian aktaul, khususnya pada produk-produk manufaktur, kasus-kasus rasio bentan/tinggi besar dan/atau pembebanan sangat besar.

2.4.5 Kehilangan yang Disebabkan Friksi (F)

(53)

kelengkungan dapat ditetapkan terlebih dahulu, sedangkan efek wobble

merupakan hasil dari penyimpangan alinyemen yang tak sengaja atau yang tak dapat dihindari, karena saluran tidak dapat secara sempurna diletakkan.

Perlu diperhatikan bahwa kehilangan tegangan friksional maksimum terjadi di ujung balok jika pendongkrakan dilakukan dari satu ujung. Dengan demikian, kehilangan akibat adanya gesekan bervariasi secara linier di sepanjang bentang balok dan dapat diinterpolasikan untuk lokasi tertentu jika dikehendaki perhitungan yang lebih teliti.

Efek Kelengkungan

Pada saat tendon ditarik dengan gaya F1 di ujung pendongkrakan, tendon tersebut mengalami gesekan dengan saluran di sekitarnya sedemikian hingga tegangan di tendon akan bervariasi dari bidang pendongkrakan ke jarak L di sepanjang bentang seperti terlihat dalam Gambar 2.9. jika panjang tendon yang sangat kecil dibuta sebagai diagram benda bebas seperti terlihat dalam Gambar 2.10, maka

Dengan mengintergrasikan kedua sisi persamaan di atas

(54)

Gambar 2.9 Distribusi tegangan akibat gaya gesekan di tendon

Gambar 2.10 Kehilangan akibat friksi kelengkungan. (a) Alinyemen tendon. (b) Gaya-gaya di segmen yang amat kecil di mana F1 ada di ujung pendongkrakan. (c) Poligon gaya dengan mengasumsikan bahwa F1 = F2 di segmen kecil dalam (b).

Efek Wobble

(55)

prinsip-prinsip yang sama dengan yang telah digunakan dalam menurunkan Persamaan 2.25,

LogeF1 = -KL (2.26)

atau

F2 = F1e-KL (2.27)

Dengan menggabungkan efek wobble dengan efek kelengungan, maka

F2 = F1e Jadi, kehilangan tegangan ∆fpF akibat gesekan dapat dinyatakan dengan

fpF = f1–f2=(1 - e

-α-KL

) (2.29)

Dengan mengasumsikan bahwa gaya prategang antara bagian awal dari porsi yang melengkung dan ujungnya kecil (kira-kira 15 persen), maka adalah cukup akurat untuk menggunkan tarik awal untuk seluruh kelengkungan dalam Persamaan 2.29. Jadi, Persamaan 2.29 dapat disederhanakan menjadi

∆fpF = -f1(α + KL) (2.30)

Di mana L dinyatakan dalam feet.

Karena rasio tinggi balok terhadap bentangnya kecil, maka panjang proyeksi tendaon dapat digunakan untuk menghitung α. Dengan mengasumsikan

bahwa kelengkungan tendon sesuai dengan busur lingkaran, maka sudut pusat α di

sepanjang segmen yang melengkung di dalam Gambar 2.11 besarnya dua kali kemiringan di ujung segmen. Jadi,

(56)

Jika

y  ½ mdan α/2 = 4y/x

maka

α = 8y/x radian (2.31)

Tabel 2.7 memberikan nilai-nilai desain untuk koefisien gesek kelengkungan  dan koefisien gesek panjang atau wobble K yang dikutip dari ACI 318 Commentary.

Gambar 2.11 Evaluasi pendekatan sudut pusat tendon.

Tabel 2.7 Koefisien Gesek Kelengkungan dan Wobble

Jenis Tendon

Tendon kawat 0,0010-0,0015 0,15-0,25

Strand 7 kawat 0,0005-0,0020 0,15-0,25

Batang mutu tinggi 0,0001-0,0006 0,08-0,30

Tendon di saluran metal yang rigid

Strand 7 kawat 0,0002 0,15-0,25

Tendon yang dilapisi mastic

Tendon kawat dan Strand 7 kawat 0,0010-0,0020 0,05-0,15

Tendon yang dilumasi dahulu

Tendon kawat dan Strand 7 kawat 0,0003-0,0020 0,05-0,15

(57)

2.4.6 Kehilangan Karena Dudukan Angker (A)

Kehilangan karena dudukan angker pada komponen struktur pascatarik diakibatkan adanya blok-blok pada angker pada saat gaya pendongkrakan ditransfer ke angker. Kehilangan ini juga terjadi pada landasan cetakan prategang pada komponen struktur pratarik akibat dilakukannya penyesuaian pada saat gaya prategang ditransfer ke landasan. Cara mudah untuk mengatasi kehilangan ini adalah dengan memberikan kelebihan tegangan. Pada umumnya besarnya kehilangan karena dudukan angker bervariasi antara ¼ in dan 3/8 in. (6,35 mm dan 9,53 mm) untuk angker dengan dua blok. Besar pemberian kelebihan tegangan yang dibutuhkan bergantung pada system pengangkeran yang digunakan karena system mempunyai kebutuhan penyesuaian sendiri-sendiri, dan pembuatnya diharapkan mensuplai data mengenai gelincir yang dapat terjadi akibat penyesuaian angker. Jika ∆A adalah besar gelincir, L adalah panjang tendon, dan Eps adalah modulus kawat prategang, maka kehilangan prategang akibat gelincir angker menjadi

(2.32)

2.4.7 Perubahan Prategang Akibat Lentur Pada Suatu Komponen Struktur

(DfPb)

Pada saat melentur akibat prategang atau beban eksternal, suatu balok menjadi cembung atau cekung bergantung pada bebanya, seperti terlihat dalam Gambar 2.12. apabila regangan tekan satuan di beton sepanjang level tendon adalah c, maka perubahan prategang di baja yang berkaitan dengan itu adalah

(58)

Di mana Es adalah modulus elastisitas baja. Perhatikan bahwa kehilangan akibat lentur tidak perlu diperhitungkan jika level tegangan prategang diukur sesudah suatu balok melentur, sebagaimana yang biasa terjadi.

Gambar 2.12 Perubahan pada bentuk longitudinal balok. (a) Akibat pemberian prategang. (b) Akibat beban eksternal.

2.4.8 Kehilangan Total Untuk Desain

(59)

Tabel 2.8 Persentase Kehilangan Tegangan yang dianjurkan oleh T.Y. Lin

Tipe kehilangan Persentase kehilangan tegangan

Pratarik Pascatarik

Dalam rekomendasi ini dianggap bahwa telah dilakukan pemberian tegangan berlebihan secara sementara untuk mengurangi relaksasi, dan untuk mengimbangi kehilangan-kehilangan gesekan dan angkur.

Kalau fpe = tegangan efektif pada tendon setelah kehilangan

fpi = tegangan pada tendon pada saat transfer

η = faktor reduksi untuk kehilangan prategang

Nilai-nilai η pada umumnya diambil sama dengan 0,85 untuk batang pratarik dan 0,80 untuk pascatarik.

2.5 SISTEM LANTAI BETON PRATEGANG DUA-ARAH

2.5.1 Tinjauan Metode

(60)

satu aspek dari sistem-sistem tersebut. Pemberian prategang biasanya adalah pascatarik sesuadah plat dua-arah tersebut dicor.

Gambar 2.13 Sistem-sistem lantai aksi dua-arah. (a) Lantai pelat datar dua-arah. (b) Lantai slab dua-arah di atas balok-lantai. (c) Lantai slab waffle.

(61)

Serikat. Teori defleksi-kecil pada plat, mengasumsikan bahwa materialnya homogeny dan isotropis, merupakan dasar rekomendasi standar ACI dengan tabel koefisien momen. Penelitian-penelitian, terutama oleh Westergaard, yang secara empiric memungkinkan adanya redistribusi momen secara terbatas, mendasari apa yang ada di dalam standar tersebut. Dengan demikian, solusi elastis, yang bahkan dapat menjadi lebih rumit untuk kondisi batas dan beton sederhana di mana belum ada computer, mengharuskan adanya kondisi idealisasi yang melewati batas-batas ekonomis.

Pada tahun 1943, johansen mengemukakan teori garis-leleh untuk mengevaluasi kapasitas kolaps pada slab. Sejak saat itu, penelitian mendalam mengenai perilaku ultimit slab beton bertulang telah dilakukan. Penelitian oleh banyak ahli, seperti Ockleston, Mansfield, Rzhanitsyn, Powell, Wood, Sawczuk, Gamble-Sozen-Siess, dan Park, banyak member kontribusi di dalam pemahaman perilaku kondisi batas slab dan plat pada saat gagal demikian pula pada taraf beban yang masih bias memberikan daya layan.

Metode portal ekivalen merupakan metode terpenting yang dibahas karena terbatasnya metode desain langsung di dalam penggunaanya pada system lantai prategang dua-arah dan dibutuhkannya penentuan kekakuan yang teliti di joints

slab-kolom di dalam proses desain.

2.5.2 Perilaku Dari Pelat Dan Slab Dua-Arah

2.5.2.1 Aksi Dua-Arah

(62)

berdefleksi seperti bentuk piring akibat beban eksternal tersbut, dan pojok-pojoknya akan terangkat apabila panel tersebut tidak dicor secara monolitik dengan tumpuannya. Kontur yang ditunjukkan pada Gambar 2.14(a) menunjukkan bahwa kelengkungan dan, oleh karena itu, momen di daerah tengah C lebih besar di dalam arah pendek y di mana konturnya lebih curam dibandingkan dengan yang ada pada arah panjang x.

Evaluasi uraian momen dalam arah x dan y sangat rumit karena perilaku plat tersebut yang sangat statis tak tentu. Kasus sederhana yaitu panel (a) pada Gambar 2.14 dijelaskan dengan mengambil jalur AB dan DE di tengah-bentang, seperti pada bagian (b), sedemikian hingga defleksi di kedua jalur di titik pusat C

sama.

(63)

Defleksi dari suatu balok yang ditumpu sederhana dan dibebani secara seragam adalah 5wl4/384EI, dengan kata lain ∆ = kwl4, di mana k adalah suatu konstanta. Apabila tebal kedua jalur sama, maka defleksi jalur AB adalah kwABL

4

dan defleksi jalur DE adalah kwDES4, dengan wAB dan wDE adalah bagian dari intensitas beban total w yang ditransfer masing-masing ke jalur AB dan DE, jadi w = wAB + wDE. Dengan menyamakan defleksi dari kedua jalur di titik tengah C, kita mengalami momen yang lebih besar. Hal ini sesuai dengan pembahasan mengenai kecuraman kontur-kelengkungan pada Gambar 2.14(a).

2.5.2.2 Efek Kekakuan Relatif

(64)

Rasio antara kekakuan tumpuan-balok dan kekakuan slab dapat menyebabkan kelengkungan dan momen di arah panjang lebih besar daripada di arah pendek, karena lantai secara keseluruhan seperti plat ortotropik yang ditumpu di atas kolom-kolom tanpa balok. Apabila bentang panjang L yang terdapat pada system lantai berupa panel slab tanpa balok semacam itu jauh lebih besar daripada bentang pendek S, maka momen maksimum di pusat suatu panel plat akan mendekati momen di tengah suatu jalur yang dibebani terbagi rata dengan bentang L yang dijepit di kedua ujungnya.

Ringkasan, apabila slab semakin fleksibel dan mempunyai tulangan yang semakin banyak, maka redistribusi momen baik di arah pendek maupun di arah panjangnya bergantung pada kekakuan relative dari tumpuan dan panel tersebut. Kelebihan tegangan di satu daerah dapat berkurang dengan adanya redistribusi momen ke daerah yang bertegangan lebih kecil.

2.5.3 Metode Portal Ekivalen

(65)

ideal tersebut dengan cara sama seperti memandang portal aktual, yang berarti bahwa metode ini lebih eksak dan mempunyai batasan yang lebih sedikit dibandingkan dengan metode desain langsung. Pada dasarnya, metode ini meliputi distribusi momen penuh dengan lebih banyak siklus apabila dibandingkan dengan metode desain langsung, yang meliputi hanya pendekatan distribusi momen satu-siklus.

Gambar 2.15 Denah lantai dengan portal ekivalen (daerah yang diarsir dalam arah x).

Berikut ini adalah batasan-batasan pada metode desain langsung:

1. Ada paling sedikit tiga bentang pada masing-masing arah.

2. Rasio antara bentang panjang dan bentang pendek di dalam sebuah panel tidak boleh melebihi 2,0.

3. Panjang bentang yang bersebelahan di setiap arah tidak boleh berbeda melebihi sepertiga dari panjang bentang yang lebih panjang.

(66)

5. Beban yang ada hanyalah beban gravitasi dari terbagi rata di atas seluruh panel. Beban hidup tidak boleh melebihi tiga kali beban mati.

6. Apabila panel ditumpu oleh balok di semua sisi, maka kekakukan relatif balok pada dua-arah yang saling tegak lurus tidak boleh lebih kecil dari 0,2 atau lebih besar dari 5,0.

Karena adanya batasan-batasan tersebut, untuk slab-slab lantai beton prategang, kita harus menggunakan metode portal ekivalen.

Pada dasarnya ada empat langkah utama dalam desain panel lantai:

1. Tentukan momen static total di masing-masing arah yang saling tegak lurus.

2. Distribusikan momen total untuk desain penampang terhadap momen negatif dan positif.

3. Distribusikan momen negatif dan positif ke jalur kolom dan jalur tengah dan ke balok panel, apabila ada. Jalur kolom mempunyai lebar 25 persen dari lebar portal ekivalen di masing-masing sisi as kolom, dan keseimbangan di dalam lebar portal ekivalen adalah jalur tengah.

4. Selaraskan ukuran dan distribusi dari penulangan ini pada kedua-arah yang saling tegak lurus tersebut.

(67)

tumpuan bujur sangkar yang luas penampang sama. Momen statik totalnya adalah

M0 = wl2/8. Di dalam panel slab dua-arah sebagai komponen dua dimensi, idealisasi struktur dengan arah x dan sekali lagi dalam arah orthogonal y. apabila suatu diagram benda-bebas dari panel interior tipikal seperti terlihat dalam Gambar 2.17(a) ditinjau, kondisi simetri mereduksi geser dan momen puntir menjadi sama dengan nol di sepanjang tepi segmen potongan. Apabila tidak ada kekangan di kedua ujung A dan B, maka panel tersebut dapat dipandang sebagai hanya ditumpu dalam arah bentang ln. apabila kita melakukan pemotongan di tengah-bentang, seperti terlihat dalam Gambar 2.17(b), dan meninjau setegah panelnya sebagai diagram benda-bebas, maka momen M0 di tengah-bentang adalah

(68)

(2.33)

Gambar 2.17 Momen sederhana M0 bereaksi pada panel slab dua-arah interior arah x. (a) Momen pada panel. (b) Diagram benda-bebas.

Karena adanya kekangan di tumpuan, maka M0 di dalam arah x akan terdistribusi ke tumpuan-tumpuan dan tengah-bentangnya sedemikian rupa sehingga

M0 = MC + ½ (MA + MB) (2.34)

Distribusi tersebut akan bergantung pada derajat kekakuan tumpuan. Dengan cara yang sama, M0 pada arah y tentunya adalah jumlah dari momen-momen di tengah-bentang dan rata-rata dari momen-momen di kedua tumpuan dalam arah tersebut.

Dalam arah orthogonal, Persamaan 2.34 menjadi

M0’ = MC + ½ (MA + MB)

Di mana M0, MA, MB, dan MC masing-masing tegak lurus M0, MA, MB, dan MC. Juga, dengan cara seperti Persamaan 2.33,

(2.35)

(69)

2.5.4 Penyeimbang Beban Dua-Arah

Penyeimbang beban merepresentasikan gaya-gaya yang mengimbangi beban gravitasi eksternal. Gaya-gaya ini dihasilkan oleh komponen transversal dari gaya prategang longitudinal pada suatu tendon yang berbentuh parabolic atau

harped. Beban w di dalam Persamaan 2.34 sampai 2.35 menunjukkan intensitas beban transversal eksternal ke bawah, yang dapat berupa intensitas beban-kerja

ww atau intensitas beban terfaktor wu. intensitas beban ke atas di slab akibat komponen transversal dari gaya prategang, akan mengurangi efek dari ww dan dapat dipilih sedemikian hingga tepat mengimbangi intensitas beban ke bawah tertentu. Pada kondisi seperti ini, slab dua-arah tersebut tidak mengalami lentur maupun punter, dan analisisnya menjadi jauh lebih sederhana.

(70)

Gambar 2.18 Beban penyeimbang dalam panel prategang dua-arah. (a) Tampak tiga dimensi. (b) Penampang L-L dalam arah panjang. (c) Penampang S-S dalam arah pendek.

Apabila suatu slab dua-arah yang terletak di atas tumpuan kaku seperti dinding diberi pratengang pada kedua-arah orthogonal yang memiliki bentang arah-pendek LS dan bentang arah-panjang LL, seperti terlihat dalam Gambar 2.18, maka intensitas dari beban penyeimbang ke atas yang dibutuhkan untuk menghasilkan beban-beban desain seimbang dapat dihitung dengan rumus,

dan

Dengan PS dan PL adalah gaya-gaya prategang efektif sesudah semua kehilangan, masing-masing dalam arah pendek LS dan panjang LL, per lebar satuan slab, dan

eS dan eL adalah eksentrisitas maksimum tendon prategang. Beban penyeimbang

total per lebar satuannya menjadi

(2.36)

(71)

dan PL yang dapat memenuhi persamaan statika 2.36. seandainya panel slab tersebut ditumpu di atas balok, atau seandainya panel-panel sederhana tersebut ditumpu oleh dinding, maka desain yang paling ekonomis tentunya adalah memberikan beban W hanya di arah pendek saja, atau beban ½ W di masing-masing arah untuk kasus panel slab berbentuk bujur sangkar. Panel slab yang dibebani oleh Wseimbang dan mengalami tegangan akibat gaya prategang PS dan PL akan mengalami distribusi tegangan seragam PS/h dan PL/h di masing-masing arah, dengan h adalah tebal slab. Panel slab akan betul-betul datar, tanpa adanya defleksi atau lawan-lendut. Setiap deviasi pada beban yang bekerja dari Wseimbang akan membutuhkan penggunaan teori elastis biasa untuk melakukan analisis plat dua-arah.

Karena slab dua-arah pascatarik prategang biasanya berupa plat datar yang ditumpu langsung di atas kolom, maka semua bebannya harus dipikul dalam kedua-arah dengan menggunakan salah satu dari antara tendon terlekat atau tendon yang terdistribusi seragam, dengan pemusatan tendon di jalur kolom dari panel plat dua-arah.

Distribusi tegangan yang seragam dan defleksi/lawan-lawan lendut nol bukan merupakan keharusan di dalam mendesain sistem lantai. Seandainya merupakan keharusan, maka penyeimbang beban tentunya bukan selalu merupakan cara yang paling ekonomis untuk menentukan gaya-gaya prategang. Sebagai gantinya, perencana sering menggunakan beban seimbang parsial

Wseimbang < WD + WL untuk sistem lantai banyak-panel. Apabila intensitas beban

(72)

Tegangan satuan di beton di arah pendek dan panjang akibat pembebanan tak seimbang diperoleh dengan menambahkan tekanan seragam akibat pembebanan seimbang dan tegangan lentur di beton yang ditimbulkan oleh momen lentur MS dan ML yang berasal dari beban tak seimbang Ww Mseimbang. Tegangan beton yang dihasilkan di serat atas dan bawah di masing-masing arah dinyatakan sebagai berikut:

Arah pendek

Arah panjang

Di dalam persamaan-persamaan di atas, subskrip t menunjukkan atas (top) dari slab dan subskrip b menunjukkan bawah (bottom) dari slab, c = h/2, lebar b = 12 in., dan

dan

Adalah gaya prategang satuan. Koefisien momen beban-kerja untuk mengevaluasi

MS dan ML dapat diperoleh dari bagan di dalam Gambar 2.19 untuk setiap kondisi

(73)
(74)

Gambar

Gambar 2.1 Kurva tegangan-regangan untuk berbagai kekuatan beton
Gambar 2.2 Kurva regangan-waktu
Tabel 2.1 Kawat-kawat untuk Beton Prategang
Gambar 2.4 Strands prategang 7 kawat standard dan dipadatkan. (a) Penampang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan dari penelitian ini adalah Rata-rata kapasitas aerobik maksimal pada atlet

Laporan akhir ini membahas mengenai Persepsi Kualitas Jasa Terhadap Pelanggan Jasa Transportasi BRT Trans Musi dikoridor III, dimana penelitian ini menggunakan 5 dimensi

- Dari Output yang terjadi ini, maka dapat dihitung nilai tambahnya untuk masing-masing

PPK yang menerbitkan SPD, pegawai yang melakukan perjalanan dinas, para pejabat yang mengesahkan tanggal berangkat / tiba, serta bendahara pengeluaran bertanggung jawab

Institut Pertanian Bogor Optimasi Teknologi Ekstraksi dengan Tekanan Tinggi. untuk Bahan Herbal

Banyak faktor yang memengaruhi Inisiasi Menyusu Dini sangat sulit untuk berkembang, salah satunya adalah karena Inisiasi Menyusu Dini merupakan ilmu yang baru dan

Dengan memperhatikan visi dan misi tersebut, tujuan dan sasaran Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan tahun 2015-2019 adalah : (1) Mendukung pemenuhan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek dari pembebanan mesin statik dan dinamik saat mesin beroperasi pada frekuensi puncak terhadap struktur dan