ARGA PANDIWIJAYA
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
PENDUGAAN PERUBAHAN CADANGAN KARBON
DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI
ARGA PANDIWIJAYA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
Karbon di Taman Nasional Gunung Merapi. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan LILIK BUDI PRASETYO.
Perubahan iklim merupakan dampak langsung dari adanya pemanasan global. Pemanasan global adalah peristiwa meningkatnya suhu bumi yang terkait langsung dengan gas-gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari aktifitas manusia. Solusi mengatasi perubahan iklim akibat pemanasan global dapat dilakukan dengan dua aspek yaitu adaptasi dan mitigasi. Meningkatkan cadangan karbon dan mengurangi emisi GRK hasil aktifitas manusia merupakan cara mitigasi efektif dalam menekan perubahan iklim. Hutan merupakan kawasan yang mampu menyerap dan menyimpan cadangan karbon melalui proses fotosintesis. Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) merupakan kawasan yang memiliki hutan dengan beberapa tipe perubahan penggunaan lahan akibat aktifitas manusia maupun proses alami. Perubahan ini akan berpengaruh terhadap besarnya cadangan karbon tersimpan TNGM, padahal hutan TNGM dapat dijadikan baseline cadangan karbon sebagai suatu kawasan penyerap dan penyimpan karbon. Penelitian bertujuan untuk menduga perubahan cadangan karbon TNGM pada periode 1991−2001, 1991−2009 dan 2001−2009.
Pengukuran cadangan karbon di lapang dilakukan selama 3 bulan yaitu Juni sampai Agustus 2010. Bahan yang digunakan berupa Landsat 5 TM dan Landsat 7 ETM (Path 120 Row 065) serta peta rupa bumi dan tata batas kawasan. Cadangan karbon yang diukur merupakan cadangan karbon di atas permukaan tanah dengan menggunakan metode tidak merusak untuk pohon dan metode merusak untuk tumbuhan bawah, semak dan padang rumput. Pengolahan data pendugaan biomassa menggunakan persamaan allometrik yang kemudian akan dikonversi untuk mendapatkan nilai karbon.
Total pengukuran karbon sebanyak 35 plot dari berbagai tipe penggunaan lahan, yaitu hutan sekunder, hutan tanaman campuran, hutan tanaman pinus, perdu, bambu, semak dan padang rumput. Tipe penggunaan lahan yang memiliki cadangan karbon terbesar adalah hutan sekunder (172.08 Mg.ha-1
) dan yang memiliki cadangan karbon terkecil adalah semak dan padang rumput (3.62 Mg.ha-1). Cadangan karbon tersimpan periode 1991-2001 mengalami kemerosotan sebesar 157458.71 Mg, periode 1991−2009 berkurang sebesar 145391.26 Mg dan periode 2001−2009 mengalami kenaikan sebesar 12067.45 Mg. Kecenderungan cadangan karbon merapi mengalami penurunan pada periode 1991 sampai 2001, sedangkan pada periode 2009 cenderung meningkat walaupun peningkatan cadangan karbon sangat kecil.
SUMMARY
ARGA PANDIWIJAYA (E34063181). Carbon Stocks Changes Assessment in Gunung Merapi National Park. Under Supervision of AGUS HIKMAT and LILIK BUDI PRASETYO.
Climate change is a direct effect of global warming. Global warming means increasing temperature of the earth's which directly related to greenhouse gases (GHG) emissions from human activities. Solutions to accomplish climate change from effect of global warming are adaptation and mitigation. Increasing carbon stocks and reducing GHG emissions from human activities is an effective ways of mitigation climate change. Forest is an area that could absorb and save carbon stocks through photosynthesis. Gunung Merapi National Park (GMNP) is a region that has forests with several types of land use changed because of human activities or natural processes. This change will affect the amount of carbon stock at GMNP, whereas GMNP forest can used as be baseline of carbon sink area and carbon stock. The study aimed to assess carbon stocks changes within period of 1991−2001, 1991−2009, and 2001−2009.
Carbon stocks measurement was conducted in 3 months from June to August 2010. Materials used in the research are Landsat 5 TM and Landsat 7 ETM (Path 120 Row 065), earth visual map, and boundaries region map. Carbon stocks above ground measured by using non-destructive methods for trees and destructive methods for ground cover, bushes, and grassland. Processing data of biomass assessment using allometry equation which will be converted to carbon values.
Carbon measurement was conducted at 35 plots from various types of land used, namely secondary forest, mixed plantation forest, pine plantation forest, shrub, bamboo, bush, and grassland. The largest land used carbon stocks was secondary forest (172.08 Mg.ha-1
) and the smallest carbon stocks were shrub and grassland (3.62 Mg.ha-1
). Carbon stocks in period 1991−2001 was declined 157458.71 Mg and in period 1991-2009 was also reduced of about 145391.26 Mg, but period 2001−2009 was increased by 12067.45 Mg. There was trend of carbon stocks in GMNP declined in period of 1991 to 2001, conversely in 2009 tended to increase although the increasing was very small.
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pendugaan Perubahan
Cadangan Karbon di Taman Nasional Gunung Merapi adalah benar-benar hasil karya
saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan
sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di
bagian akhir skripsi.
Bogor, Maret 2011
Arga Pandiwijaya
Judul Skripsi : Pendugaan Perubahan Cadangan Karbon di Taman Nasional Gunung Merapi
Nama Mahasiswa : Arga Pandiwijaya NIM : E34063181
Menyetujui,
Pembimbing I,
Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F.Trop NIP. 196209 18 198903 1 002
Pembimbing II,
Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc NIP.196203 16 198803 1 002
Mengetahui,
Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni,MS NIP. 195809 15 198403 1 003
Syukur Alhamdulillahirabbil „alamin penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, atas seizin-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pendugaan Perubahan Cadangan Karbon di Taman Nasional Gunung Merapi”. Salah satu penyebab pemanasan global yaitu meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari aktifitas manusia.
Solusi efektif untuk menekan perubahan iklim akibat pemanasan global yaitu dengan
meningkatkan cadangan karbon dan mengurangi emisi GRK.
Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) sebagai gunung aktif di dunia
memiliki peran penting dalam menekan perubahan iklim. Perubahan penggunaan
lahan di TNGM pada umumnya disebabkan erupsi dan pertambangan pasir.
Perubahan penggunaan lahan menyebabkan perubahan cadangan karbon yang
dimiliki TNGM. Perubahan-perubahan ini dapat diketahui dengan aplikasi Sistem
Informasi geografi (SIG) dan penginderaan jauh.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F.Trop
dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc selaku dosen pembimbing atas masukan
dan arahannya. Penghargaan yang tulus kepada Bapak (Alm. Sujadi Sumarta), Ibu
(Endang Panularsih) dan adik (Annis Linawati) atas doa, semangat dan kasih
sayangnya. Penghargaan penulis sampaikan pula kepada seluruh staf Balai Taman
Nasional Gunung Merapi (TNGM) dan masyarakat sekitar Gunung Merapi yang telah
membantu penulis di lapangan dalam memperoleh data untuk penyusunan skripsi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian skripsi.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca,
pengelola TNGM dan masyarakat sekitar Gunung Merapi untuk pengelolaan kawasan
konservasi. Penulis menyadari skripsi masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
saran dan kritik akan penulis terima dengan tangan terbuka.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal
01 Pebruari 1988 dari pasangan Bapak Sujadi Sumarta (Alm)
dan Ibu Endang Panularsih sebagai anak pertama dari dua
bersaudara. Pendidikan Sekolah Dasar Negeri Cibuluh I
Bogor diselesaikan pada tahun 2000, Sekolah Menengah
Pertama Negeri 5 Bogor diselesaikan pada tahun 2003, pada
tahun 2006 penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri
3 Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB
melalui jalur seleksi Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI), lalu penulis memilih
departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi
kemahasiswaan yakni menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA), ketua Kelompok Pemerhati Flora
(KPF Rafflesia) 2008/2009, anggota Fotografi Konservasi (FOKA) dan anggota
pencak silat MERPATI PUTIH. Kegiatan lapang yang pernah diikuti antara lain,
Eksplorasi konservasi Flora, Fauna dan Ekowisata (RAFFLESIA) di Cagar Alam
Gunung Simpang Bandung 2008, Praktek Pengelolaan Ekosistem Hutan (P2EH)
2008 di Baturraden dan Cilacap, Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2008 di
Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, Eksplorasi konservasi Flora, Fauna dan
Ekowisata di Cagar Rawa Dano Banten 2009, Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) 2009
di Gunung Walat Sukabumi, Cibadak dan KPH Cianjur, Studi Konservasi
Lingkungan (SURILI) 2009 di Taman Nasional Manupeu Tanadaru, dan Praktek
Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Gunung Ciremai. Sebagai salah
satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan
skripsi dengan judul Pendugaan Perubahan Cadangan Karbon di Taman Nasional
Gunung Merapi di bawah bimbingan Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F.Trop dan Prof. Dr.
Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya serta
shalawat serta salam kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah
memberikan kekuatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi. Penulis
menyadari bahwa terlaksananya penelitian hingga penyusunan skripsi ini tidak
terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam bentuk moril maupun materil, oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orang tua tercinta Alm. H. Sujadi Sumarta (Bapak), Endang Panularsih (Ibu),
Annis Linawati (Adik) serta anggota keluarga lainnya atas doa, kasih sayang,
bimbingan, semangat, nasihat, pelajaran, kekuatan dan dukungannya.
2.
Dosen pembimbing Bapak Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F.Trop dan Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc yang telah memberikan arahan, bimbingan,nasihat, solusi serta saran selama penelitian hingga penulisan skripsi.
3. Dosen penguji Bapak Ujang Suwarna, S.Hut, M.Sc, Bapak Ir. Jajang Suryana,
M.Sc, dan Bapak Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS.
4. Dosen beserta staf KPAP atas bimbingan serta pelayanan selama penulis
mendapat ilmu di Departemen Konservasi Sumbersaya Hutan dan Ekowisata,
Fakultas Kehutanan, IPB.
5. Dosen, seluruh staf, dan teman-teman Fakultas Kehutanan dari MNH, THH,
dan SVK.
6. Taman Nasional Gunung Merapi yang telah memberikan izin melakukan
penelitian di kawasan Taman Nasional.
7. Seluruh staf Taman Nasional Gunung Merapi baik yang di kantor maupun di
lapangan yang memberi bantuan demi kelancaran penelitian. Mbak Silvi,
Mbak Sita, Mas Asep dan istri (Mbak Siwa), Mas Dhani dan seluruh pegawai
yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
8. Keluarga Om Nono, Bule Titi, Gitta, Adit di Klaten, terima kasih atas seluruh
bantuannya selama hidup di Klaten, kasih sayang dan perhatiannya.
10.Seluruh keluarga besarku KSHE 43 Cendrawasih terima kasih atas segala
dukungan dan kasih sayang serta bantuan yang tak terhingga sampai akhir
penulisan skripsi.
11.Teman seperjuangan penelitian Junef Murtri Susantyo S.Hut dan Alvian Febri
Anggana S.Hut.
12.Teman-teman Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan Arif Prasetyo,
S.Hut, Jojo, Riki, Muis, Cha-cha, Nano, Haray, Age, Ebay, Gamma dan Amri.
13.Kemas Robby Wirawan S.Hut dan segenap penghuni Wisma LESTARI (Aga,
Olop, Ferry, dan Jamhari) atas semangat dan canda tawa.
14.Teman-teman Kelompok Pemerhati Rafflesia 43 (Mika, Aisyah, Dian, Catur,
dll) terima kasih bantuan dan kerjasama timnya.
15.Yunus, afroh dan autis.
16.Untuk kamu yang memberikan semangat dan perubahan, terima kasih banyak.
Semua yang terekam tidak akan pernah mati.
17.Kakak-kakak kelas dan adik-adik kelas di DKSHE.
18.Keluarga besar HIMAKOVA.
19.Pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Bogor, Maret 2011
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFAR LAMPIRAN ... vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan Penelitian ... 3
1.3 Manfaat Penelitian ... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Emisi Gas Rumah Kaca dan Mitigasi ... 4
2.2 Penggunaan Lahan dan Kandungan Karbon Tersimpannya .. 5
2.3 Biomassa dan Karbon Tersimpan ... 7
2.4 Sistem Informasi Geografi (SIG) ... 8
2.5 Kombinasi Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Perubahan Lahan dan Pendugaan Karbon ... 10
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 13
3.2 Alat dan Bahan ... 13
3.3 Batasan Masalah Kajian ... 14
3.4 Data yang Dikumpulkan ... 14
3.5 Metode Pengambilan Data ... 14
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Kawasan ... 22
4.2 Letak dan Luas Kawasan ... 22
4.3 Topografi ... 23
4.4 Iklim dan Hidrologi ... 25
4.5 Geologi dan Tanah ... 25
iii
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Distribusi Pengambilan Titik ... 28
5.2 Vegetasi di Lokasi Penelitian ... 31
5.3 Penggunaan Lahan ... 34
5.4 Biomassa Tersimpan dan Cadangan Karbon di Berbagai Sistem Penggunaan Lahan ... 41
5.5 Perubahan Cadangan Karbon Tersimpan ... 43
5.6 Cadangan Karbon Tersimpan Taman Nasional Gunung Merapi dan Konsep REDD ... 49
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 52
6.2 Saran ... 52
DAFTAR PUSTAKA ... 53
No Halaman
1. Karbon tersimpan di berbagai tipe penggunaan lahan pada beberapa lokasi
penelitian...6
2. Parameter-parameter biomassa dan nekromassa di atas permukaan tanah serta metode pengukurannya...8
3. Saluran citra landsat TM ...12
4. Informasi citra satelit landsat yang digunakan ...13
5. Daftar peta pendukung ...14
6. Ukuran dan jumlah plot contoh pengukuran cadangan karbon di beberapa tipe pengunaan lahan. ...16
7. Daftar persamaan allometrik yang digunakan untuk menduga nilai biomassa tersimpan pada beberapa tipe vegetasi ...16
8. Persentase nilai konversi karbon dalam biomassa di berbagai tipe penggunaan lahan ...17
9. Kelas penggunaan lahan yang digunakan untuk klasifikasi ulang tipe penutupan lahan di Taman Nasional Gunung Merapi ...18
10. Potensi fauna yang terdapat di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi….27 11. Luas dan persentase penggunaan lahan di TNGM tahun 1991 ...35
12. Luas dan persentase penggunaan lahan di TNGM tahun 2001 ...37
13. Luas dan persentase penggunaan lahan di TNGM tahun 2009 ...39
14. Kandungan biomassa tersimpan dan cadangan karbon di beberapa tipe penggunaan lahan TNGM tahun 2009 ...41
15. Perubahan penutupan lahan dan cadangan karbon di Taman Nasional Gunung Merapi (1991−2001) ...44
16. Perubahan penutupan lahan dan cadangan karbon di Taman Nasional Gunung Merapi (1991−2009) ...46
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1. Ilustrasi pemisahan penyimpanan data dan presentasi dalam SIG ...9
2. Uraian subsistem SIG ...10
3. Komponen sistem penginderaan jauh ...12
4. Plot contoh untuk pengukuran biomassa ...15
5. Alur pembuatan peta pendugaan cadangan karbon tersimpan Taman Nasional Gunung Merapi ...19
6. Alur pendugaan karbon tersimpan di berbagai tipe penggunaan lahan ...20
7. Peta Taman Nasional Gunung Merapi ...23
8. Peta distribusi ground control point (GCP)...29
9. Peta distribusi plot contoh pengukuran karbon ...30
10. Hutan sekunder Gunung Bibi (kiri) dan Telogo Muncar (kanan) ...31
11. Hutan tanaman campuran jalur pendakian Selo ...32
12. Hutan tanaman pinus Kinahrejo (kiri) dan Dukun Ngargomulyo (kanan) ...33
13. Perdu pada jalur pendakian Selo ...33
14. Vegetasi bambu Dendrocalamus asper (kiri) dan Gigantochloa apus (kanan) ...34
15. Padang rumput Selo (kiri) dan semak belukar Ngargomulyo (kanan) ...34
16. Peta penggunaan lahan Taman Nasional Gunung Merapi tahun 1991 ...36
17. Peta penggunaan lahan Taman Nasional Gunung Merapi tahun 2001 ...38
18. Peta penggunaan lahan Taman Nasional Gunung Merapi tahun 2009 ...40
No Halaman
1. Daftar Spesies Tumbuhan dan Kerapatan Jenis ...57
2. Data Pengukuran Biomassa Hutan Sekunder ...59
3. Data Pengukuran Biomassa di Hutan Tanaman Campuran ...70
4. Data Pengukuran Biomassa di Hutan Tanaman Pinus ...71
5. Data Pengukuran Biomassa Perdu ... 77
6. Data Pengukuran Biomassa Bambu ... 78
7. Data Pengukuran Biomassa Semak dan Padang Rumput ... 78
8. Nilai Akurasi Peta Penggunaan Lahan Merapi Tahun 1991 ... 80
9. Nilai Akurasi Peta Penggunaan Lahan Merapi Tahun 2001 ... 81
10. Nilai Akurasi Peta Penggunaan Lahan Merapi Tahun 2009 ... 82
11. Daftar distribusi ground control point (GCP) ... 83
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perubahan iklim merupakan dampak langsung dari adanya pemanasan
global (global warming). Pemanasan global adalah peristiwa meningkatnya suhu
bumi yang terkait langsung dengan gas-gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan
dari aktifitas manusia. GRK merupakan suatu istilah untuk kelompok gas yang
menjaga suhu permukaan bumi agar tetap hangat. Istilah GRK digunakan karena
sistem kerjanya seperti rumah kaca yaitu menahan panas matahari di dalam rumah
kaca agar suhu tetap hangat. Akumulasi berlebihan dari gas-gas seperti CO2,
methana (CH4), NOx, CFC dan lain-lain dapat menyebabkan suhu bumi meningkat tinggi. Solusi efektif mengatasi perubahan iklim akibat pemanasan
global dapat dilakukan dengan dua aspek yaitu adaptasi dan mitigasi (CIFOR
2009).
Meningkatkan cadangan karbon dan mengurangi emisi GRK hasil aktifitas
manusia merupakan solusi efektif dalam menekan perubahan iklim (Bakhtiar et al.
2008). United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)
merupakan kesepakatan global untuk melakukan upaya mitigasi terhadap dampak
perubahan iklim. Tujuan utama UNFCCC adalah mengurangi emisi GRK
sehingga konsentrasi gas-gas tersebut masih dalam batas tidak membahayakan
bumi dengan tetap memperhatikan kelangsungan pembangunan. Indonesia
merupakan salah satu negara anggota UNFCCC. Setiap tahunnya UNFCCC
melakukan pertemuan untuk membahas perkembangan isu perubahan iklim dunia,
pertemuan ini dinamakan Conference of the Parties (COP).
Pada tahun 2007 Indonesia menjadi tuan rumah COP 13 di Nusa Dua Bali,
topik utama COP 13 adalah Reducing Emission from Deforestation and
Degradation (REDD). Konsep REDD adalah upaya untuk mengurangi deforestasi
dan degradasi hutan. REDD menjanjikan aliran dana yang besar bagi negara yang
memiliki hutan luas seperti Indonesia. Menurut Masripatin (2007) dengan laju
deforestasi hutan Indonesia tahun 2000−2005 yang mencapai 1.2 juta ha per tahun
dan asumsi stok karbon antara 100−300 Mg.ha-1maka potensi dana REDD untuk
Hutan alam memiliki banyak fungsi seperti pelestarian plasma nutfah,
pengatur tata air maupun sebagai penyerap dan penyimpan karbon. Hutan alam
merupakan penyimpan karbon tertinggi bila dibandingkan dengan sistem
penggunaan lahan pertanian (Hairiah & Rahayu 2007). Keanekaragaman pohon di
hutan alam lebih tinggi karena pada hutan alam banyak terdapat tumbuhan bawah
dan serasah. Jumlah karbon yang diserap dan disimpan oleh tanaman diasumsikan
sebanding dengan jumlah karbon organik dalam tegakan (Basuki et al. 2004).
Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) merupakan wilayah hutan yang
berfungsi sebagai daerah tangkapan air. Keunikan kawasan TNGM ialah karena
Gunung Merapi merupakan gunung teraktif di dunia. Sejak tahun 1768 sudah
tercatat lebih dari 80 kali letusan Gunung Merapi, letusan besar Gunung Merapi
terjadi tahun 1822, 1872, 1930 dan 2010 (Sudradjat 2010). Dampak sering
terjadinya letusan Gunung Merapi dan gangguan manusia maka vegetasi
ekosistem merapi sering mengalami suksesi. Faktor gangguan manusia seperti
konversi hutan menjadi lahan pertanian, pengambilan rumput yang berlebihan dan
pertambangan pasir dengan menggunakan peralatan berat dapat menyebabkan
deforestasi dan degradasi hutan. Faktor gangguan TNGM dapat mengakibatkan
menurunnya cadangan karbon, padahal kondisi hutan TNGM memiliki peran
penting dalam upaya penurunan pemanasan global.
Kemampuan vegetasi hutan dalam melakukan proses fotosintesis sangat
tinggi terlebih lagi untuk hutan daerah tropis. Hutan tropis memiliki kemampuan
tumbuh hingga mencapai dimensi yang lebih besar dibandingkan dengan pohon di
hutan selain tropis. Pertambahan dimensi berbanding lurus dengan kemampuan
vegetasi dalam menyerap dan menyimpan karbon. Menjaga hutan dari gangguan
manusia dan melakukan rehabilitasi hutan secara tepat dapat menjadikan jumlah
biomassa pohon semakin meningkat. Peningkatan biomassa seiring dengan
bertambahnya dimensi pohon akan memperbesar kandungan karbon di dalam
pohon bahkan hutan.
Potensi cadangan karbon yang dimiliki oleh hutan Gunung Merapi
memacu untuk melakukan penelitian di TNGM. Penelitian tentang pendugaan
jumlah biomassa dan karbon tersimpan dalam suatu kawasan konservasi sampai
3
jumlah karbon tersimpan pada suatu kawasan yang memiliki tipe penggunaan
lahan yang berbeda. Teknologi penginderaan jarak jauh merupakan suatu cara
efektif untuk melakukan pemantauan perubahan lahan dari waktu ke waktu.
Integrasi data tentang perubahan penutupan vegetasi dari data hasil pendugaan
pengukuran karbon tersimpan yang diwakili oleh beberapa skala plot dapat
memberikan pendugaan perubahan cadangan karbon pada skala lanskap.
Pendugaan cadangan karbon secara time series dapat dijadikan sebagai baseline
cadangan karbon dan untuk menduga kondisi cadangan karbon dari tahun-tahun
sebelumnya.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujan untuk menduga perubahan cadangan karbon di
Taman Nasional Gunung Merapi pada periode 1991−2001, 1991−2009 dan 2001−
2009.
1.3 Manfaat Penelitian
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini dapat dijadikan baseline cadangan
karbon dalam pengelolaan TNGM sebagai suatu kawasan penyerap dan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Emisi Gas Rumah Kaca dan Mitigasi
Dalam 5 tahun terakhir, global warming telah menjadi isu publik yang
penting bagi masyarakat dunia. Intergovermental Panel on Climate Change
(IPCC) dalam Bakhtiar et al. (2008) menerangkan bahwa sejak tahun 1990 sampai
2005 temperatur suhu diseluruh permukaan bumi telah mengalami peningkatan
antara 0.15°C sampai 3°C, jika peningkatan suhu terus berlanjut maka
diperkirakan tahun 2040 lapisan es di kutub bumi akan habis meleleh. Konsentrasi
gas CO2 di atmosfer juga mengalami kenaikan sebesar 1.5 ppmv per tahun, oleh
karena itu diperkirakan dalam 100 tahun mendatang rata-rata temperatur suhu
global akan meningkat 1.7°C sampai 4.5°C (Houghton et al. 2001 diacu dalam
Lusiana et al. 2005). Peningkatan suhu permukaan bumi tidak dipungkiri
merupakan akumulasi dari gas-gas rumah kaca seperti CO2, methana (CH4), NOx, CFC dan lain-lain.
Gas rumah kaca (GRK) merupakan suatu istilah untuk kelompok gas yang
menjaga suhu permukaan bumi agar tetap hangat. Istilah GRK digunakan karena
sistem kerjanya seperti rumah kaca yaitu menahan panas matahari di dalam rumah
kaca agar suhu tetap hangat. Sektor peternakan merupakan kontributor terbesar
dalam terciptanya emisi gas-gas rumah kaca, selain itu sektor kehutanan juga
dianggap sebagai salah satu kontributor yang cukup besar bagi total emisi GRK
karena adanya aktifitas deforestasi, degradasi dan perambahan hutan.
Meningkatkan cadangan karbon dan mengurangi emisi GRK hasil aktifitas
manusia merupakan cara mitigasi efektif dalam menekan perubahan iklim global
(Bakhtiar et al. 2008).
Mitigasi merupakan upaya mengurangi sumber GRK maupun menekan
peningkatan GRK agar bumi tetap dalam batas tidak membahayakan kehidupan
dan agar proses pembangunan tidak terhambat sehingga tujuan pembangunan
berkelanjutan dapat tercapai. Menekan tingkat deforestasi sehingga memperkecil
5
2.2 Penggunaan Lahan dan Kandungan Karbon Tersimpannya
Dalam ekologi hutan, penggunaan lahan memiliki peran penting sebagai
sebuah indikator tempat tumbuh dan penutup lantai hutan (Soerianegara &
Indrawan 2008). Arsyad (2000) diacu dalam Purwanti (2008) menjelaskan bahwa
lahan merupakan lingkungan fisik yang mempunyai faktor-faktor penunjang
seperti iklim, relief, tanah, air, vegetasi serta benda lain yang memiliki pengaruh
terhadap penggunaan lahan. Pengunaan lahan adalah kegiatan memanfaatkan
lahan baik secara alami maupun buatan manusia pada sebidang tanah (Vink 1975
diacu dalam Purwanti 2008). Perubahan pengunaan lahan dari vegetasi menjadi
nonvegetasi dapat merubah albedo dan jumlah sinar matahari yang dapat diserap
oleh permukaan tanaman, selain itu juga menjadi salah satu penyebab perubahan
iklim secara global (Hairiah et al. 2001).
Hairiah et al. (2001) menjelaskan bahwa perubahan pengunaan lahan
dengan membakar biomassa di atas permukaan tanah dapat mengurangi total
karbon sekitar 66%. Bila dibandingkan dengan pemotongan pohon tanpa
membakar, kehilangannya relatif kecil yaitu sebesar 22%. Dalam plot yang tidak
terbakar beberapa karbon tersimpan dari vegetasi asli masih tersisa, misalnya
cabang atau ranting yang besar, batang pohon dan beberapa pepohonan yang
dibiarkan.
Studi mengenai pengukuran karbon tersimpan di berbagai tipe pengukuran
lahan di Indonesia masih jarang. Karbon tersimpan di setiap penggunaan lahan
selalu berbeda, bahkan untuk satu tutupan lahan sekalipun. Keadaan ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti struktur vegetasi, pengelolaan yang
berbeda dan rezim iklim (Purwanti 2008). Soerianegara dan Indrawan (2008)
menjelaskan bahwa faktor iklim seperti curah hujan, suhu, kelembaban dan defisit
tekanan uap air (vapor pressure deficit) memiliki pengaruh besar terhadap
pertumbuhan pohon. Hal ini secara langsung akan berpengaruh terhadap besar
kecilnya stok karbon tersimpan di suatu hutan. Menurut Mudiarso et al. (1995)
diacu dalam Lusiana et al. (2005) bahwa hutan-hutan di Indonesia diperkirakan
memiliki stok karbon tersimpan antara 161 Mg.ha-1sampai 300 Mg.ha-1.
Lasco et al. (2004) menjelaskan bahwa kadar kandungan karbon tersimpan
al. (2004) meneliti kandungan karbon tersimpan tegakan pinus (Pinus merkusii
Jungh. & de Vriese) dan damar (Agathis loranthifolia Salisb) di RPH Somagede
BKPH Karanganyar KPH Kedu Selatan, masing-masing sebesar 126.8 Mg.ha-1
dan 21.6 Mg.ha-1 (Tabel 1).
Tabel 1 Karbon tersimpan di berbagai tipe penggunaan lahan pada beberapa lokasi penelitian
Sistem Lokasi Karbon tersimpan
(Mg.ha-1) Hutan primer Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur1 230.1 Hutan primer Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan, Sumatra Selatan2
178.44
Hutan primer Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah3
250.9
Hutan sekunder Taman Nasional Manupeu Tanadaru, NTT4 135.4 Hutan sekunder Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan, Sumatra Selatan2
81.65
Hutan sekunder Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur1 212.9 Agroforestri muda Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur1 37.7 Agroforestri sederhana Leuwiliang, Bogor, Jawa Barat5 21.31−80.79 Agroforestri kopi muda Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan, Sumatra Selatan2
27.92
Agroforestri kopi tua Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Sumatra Selatan2
63.69
Agroforestri coklat muda
Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Sumatra Selatan2
14.04
Padang ilalang Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur1 4.2 Padang ilalang Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan, Sumatra Selatan2 3.57
Padang rumput -6 1.97
Padang rumput Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Sumatra Selatan2
1.47
Sawah (padi) Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur1 4.8 Semak belukar Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan, Sumatra Selatan2
10.51
Tegakan Schima wallichii di areal setelah kebakaran umur 1-4 tahun
Hutan Sekunder Jasinga, Bogor, Jawa Barat7 0.4−2.7
Sumber: 1Lusiana et al. (2005); 2Prasetyo (2010); 3HIMAKOVA (2008); 4
HIMAKOVA (2009); 5Yuly (2008); 6Hairiah et al. (2001); 7Nurhayati (2005). *1 Mg = 106 g = 1 Ton.
Hilmi (2003) juga telah meneliti kadar karbon tersimpan tegakan hutan
mangrove di Indragiri Hilir, Riau. Spesies bakau hitam (Rhizophora mucronata
Lam) memiliki kandungan karbon tegakan berkisar antara 3.26 Mg.ha-1 sampai
3.96 Mg.ha-1. Spesies bakau minyak (Rhizophora apiculata Blume) memiliki
kandungan karbon tegakan berkisar antara 47.01 Mg.ha-1sampai 119.37 Mg.ha-1,
sedangkan spesies tunjang (Bruguiera gymnorhiza Lam) memiliki kandungan
7
jumlah karbon tersimpan di berbagai tipe penggunaan lahan di beberapa lokasi
penelitian disajikan dalam Tabel 1.
2.3 Biomassa dan Karbon Tersimpan
2.3.1 Definisi biomassa dan karbon tersimpan
Biomassa adalah jumlah keseluruhan bahan organik pohon yang berada di
atas dan di bawah permukaan tanah yang dinyatakan dalam berat kering tanur ton
per unit area (Brown 1997). Tumbuhan memiliki komponen biomassa di atas dan
di bawah permukaan tanah tetapi komponen biomassa terbesar terdapat pada atas
permukaan tanah. Karbon atau zat arang merupakan suatu unsur berbentuk padat
maupun cair yang biasanya banyak terdapat di dalam perut bumi, di dalam
tumbuhan maupun di udara (atmosfer) dalam bentuk gas. Penyimpanan karbon
tumbuhan pada bagian atas pemukaan tanah lebih besar dibandingkan bagian
bawah permukaan tanah, tetapi jumlah karbon di atas pemukaan tanah tetap
ditentukan oleh besarnya jumlah karbon di bawah permukaan tanah. Hal ini
terkait dengan kondisi kesuburan tanah (Hairiah & Rahayu 2007). Karbon
memiliki peran penting dalam proses fotosintesis. Proses ini menyerap CO2 dan
menghasilkan C6H12O6 berikut O2 yang sangat bermanfaat sebagai kebutuhan
dasar makhluk hidup (CIFOR 2008).
Pohon menyimpan karbon diseluruh bagian tubuhnya. Penyimpanan
karbon di atas permukaan tanah meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan
bawah, massa dari bagian pohon yang sudah mati (nekromassa) dan serasah.
Penyimpanan karbon di bawah permukaan tanah meliputi biomassa akar dan
bahan organik tanah. Hutan alami yang keanekaragaman spesiesnya tinggi dengan
serasah melimpah merupakan gudang penyimpanan karbon yang baik (Hairiah &
Rahayu 2007). Hairiah et al. (2001) menjelaskan bahwa jenis vegetasi pada
penggunaan lahan sangat mempengaruhi banyaknya karbon tersimpan.
Lusiana et al. (2005) menjelaskan beberapa cara untuk menaikkan
penyerapan karbon (stok karbon), yaitu dengan menjaga hutan agar dapat tumbuh
secara alami, mengurangi pemanenan hutan, menambah jumlah pohon di dalam
Hutan alam merupakan sumber penyimpanan karbon terbaik. Hairiah dan
Rahayu (2007) menjelaskan bahwa sifat tumbuhan hidup yang selalu menimbun
karbon dinamakan sekuestrasi (carbon sequestration). Besarnya sekuestrasi pada
tanaman hidup dapat dijadikan suatu parameter untuk menggambarkan banyaknya
CO2 di atmosfer yang mampu diserap oleh tanaman. Tumbuhan yang telah mati
pun secara tidak langsung dapat menggambarkan CO2 yang tidak dilepaskan ke
udara lewat pembakaran.
2.3.2 Pengukuran biomassa dan karbon tersimpan
Pengukuran biomassa sangat dibutuhkan untuk menduga besarnya jumlah
karbon tersimpan di dalam hutan dan pengaruhnya terhadap siklus biogeokimia
(Tresnawan & Rosalina 2002). Menurut Brown (1997) besarnya karbon tersimpan
mencapai 50% dari nilai biomassanya. Mengukur besarnya biomassa tersimpan di
atas permukaan tanah dapat menggunakan persamaan allometrik ataupun dengan
cara destruktif. Keunggulan menggunakan persamaan allometrik diantaranya
dapat mempersingkat waktu pengambilan data di lapangan, tidak membutuhkan
banyak sumber daya manusia, mengurangi biaya dan mengurangi kerusakan
pohon (Tresnawan & Rosalina, 2002). Parameter pengukuran biomassa,
nekromassa dan metode yang biasa digunakan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Parameter-parameter biomassa dan nekromassa di atas permukaan tanah serta metode pengukurannya
Parameter Metode
Tumbuhan bawah Destruktif
Serasah kasar dan halus Destruktif Tumbuhan berkayu Destruktif
Pohon hidup Non-destruktif, persamaan allometrik Pohon mati, sudah roboh (nekromassa) Non-destruktif
Tunggak pohon (nekromassa) Non-destruktif Sumber : Hairiah et al. (2001)
2.4Sistem Informasi Geografi (SIG)
Informasi geospasial tidak hanya dapat ditampilkan dalam bentuk peta,
tetapi dapat juga dalam bentuk SIG. Secara umum aplikasi SIG terbagi dalam tiga
9
menunjukkan hubungan antara pembentukan lingkungan atau perubahan lahan
dengan manusia. SIG dapat menambah sumber data yang dimiliki sehingga dapat
dilakukan pengolahan data secara akurat. Data yang terkumpul akan dianalisis
untuk mendapatkan hasil informasi baru yang akan dimanfaatkan sebagai acuan
dasar dalam melakukan pengelolaan agar maksud dan tujuan dapat dengan tepat
terwujud secara efisien. Pengguna SIG akan lebih mudah mengambil keputusan
dalam menganalisa data karena sebagian besar kegiatan pembangunan tidak lepas
dari penggunaan SIG.
SIG dinilai sebagai hasil penggabungan dua sistem, yaitu sistem komputer
untuk bidang kartografi (CAC) dan sistem komputer untuk bidang perancangan
(CAD) dengan teknologi basis data (database). Dengan demikian SIG mempunyai
keunggulan karena penyimpanan dan presentasi data dipisahkan sehingga data
dapat dipresentasikan dalam berbagai cara dan bentuk seperti Gambar 1(Prahasta
2005).
Gambar 1 Ilustrasi pemisahan penyimpanan data dan presentasi dalam SIG.
Bernhardsen diacu dalam Budiyanto (2005) menjelaskan bahwa
pengolahan data SIG terkait dengan perolehan data, ferifikasi data, kompilasi,
penyimpanan, pembaruan dan perubahan, manajemen dan pertukaran, manipulasi,
penyajian dan analisis. Terdapat dua jenis fungsi analisis, yaitu fungsi analisis
atribut dan fungsi analisis spasial (basis data atribut). Fungsi analisis atribut
terdiri dari operasi dasar sistem pengelolaan basis data (DBMS) dan perluasannya.
Operasi perluasan basis data, yaitu membaca dan menulis basis data dalam sistem
(misalkan dengan menggunakan driver ODBC), menggunakan bahasa basis data
standar SQL (structured query language) dan mengoperasikan fungsi analisis lain
yang sudah rutin digunakan di dalam sistem basis data. Fungsi analisis spasial
terdiri dari klasifikasi (reclassify), overlay, buffering, analisis tiga dimensi (3D),
proses digitalisasi gambar.
SIG dapat diuraikan menjadi beberapa subsistem, yaitu input data, output
data, manajemen data, manipulasi data serta analisis data. Subsistem dapat
melakukan permodelan data untuk meghasilkan informasi yang diharapkan. Jika
subsistem diatas diperjelas berdasarkan uraian jenis masukan, proses, dan jenis
keluaran yang ada di dalamnya, maka subsistem SIG juga dapat digambarkan
dalam Gambar 2 (Prahasta 2005).
Gambar 2 Uraian subsistem SIG.
2.5Kombinasi Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Perubahan Lahan dan Pendugaan Karbon
Penginderaan jauh terbentuk dari rangkaian proses panjang dengan
memanfaatkan sumber energi. Lillesand dan Kiefer (1997) menjelaskan bahwa
11
penginderaan jauh merupakan seni dan ilmu untuk mendapatkan informasi suatu
objek melalui analisis data tanpa adanya kontak langsung dengan objek yang
dikaji. Secara umum penginderaan jauh memiliki keterbatasan sistem yaitu
sumber energi, atmosfer, interaksi (pantulan) antara sumber energi dengan objek,
sensor, sistem pengolahan data dan pengguna data (Lillesand & Kiefer 1997).
Hasil penginderaan jauh akan sangat tergantung dengan keenam sistem tersebut.
Sumber energi merupakan awal dari proses panjang penginderaan jauh.
Sumber energi akan dipantulkan, lalu pantulan energi atau gelombang akan
direkam dan diterima oleh sensor satelit. Sensor satelit merupakan alat yang
memiliki kepekaan tinggi terhadap panjang gelombang, menghasilkan data spasial
rinci dengan nilai kecerahan absolute (Lillesand & Kiefer 1997). Data spasial
yang dihasilkan selanjutnya akan diolah sesuai dengan tujuan para pemakai data.
Tahap selanjutnya adalah interpretasi dan analisis yang dilakukan oleh
sumberdaya manusia yang akan berakhir pada sebuah aplikasi penginderaan jauh
(Gambar 3). Beberapa kegunaan dari aplikasi penginderaan jauh yaitu dapat
mengetahui besarnya perubahan lahan, identifikasi vegetasi, pendugaan biomassa
karbon, pendugaan Leaf Area Index (LAI), memprediksi hasil pencitraan dan lain
sebagainya.
Perubahan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan permukaan bumi,
contoh jenis kenampakan permukaan bumi seperti penggunaan lahan, bangunan
perkotaan, badan air dan lain-lain. Hasil penelitian Prasetyo (2010) menyebutkan
bahwa perubahan lahan yang terjadi pada hutan primer di Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan tahun 2000 sampai 2009 dengan menggunakan citra landsat
berkurang sebesar 2565.54 ha. Citra landsat dapat digunakan untuk mengetahui
berbagai informasi karena citra merupakan susunan 2 dimensi dari luasan kecil
yang disebut piksel (Wilasari 2009). Gunawan (2009) menjelaskan bahwa
perubahan posisi piksel dapat mengakibatkan perubahan informasi gelombang
Gambar 3 Komponen sistem penginderaan jauh.
Penginderaan jauh memiliki beberapa band yang sesuai dengan jenis
citranya. Berikut adalah fungsi band dari citra landsat TM yang tertera dalam
Tabel 3.
Tabel 3 Saluran citra landsat TM
Saluran Kisaran gelombang Kegunaan
1 0.45−0.52 Peningkata penetrasi ke dalam tubuh air, mendukung analisis sifat khas pengunaan lahan, tanah, dan vegetasi.
2 0.52−0.60 Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada spektrum hijau yang terletak di antara dua saluran spektral serapan klorofil. Pengamatan ini dimaksudkan untuk membedakan jenis vegetasi dan penilaian kesuburan.
3 0.63−0.69 Saluran terpenting untuk memisahkan vegetasi. Saluran ini terletak pada salah satu bagian serapan klorofil dan memperkuat kontras antar kenampakan vegetasi dan non-vegetasi.
4 0.76−0.90 Saluran yang peka terhadap biomassa vegetasi, juga untuk identifikasi jenis tanaman. Memudahkan pembedaan tanah dengan tanaman, serta lahan dan air.
5 1.55−1.75 Penentuan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman, dan kondisi kelembaban tanah.
6 10.40−12.50 Pemisahan formasi batuan.
7 2.08−2.35 Saluran infra merah termal, bermanfaat untuk klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi, pemisahan kelembaban tanah, dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan panas.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi kajian dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM)
Kabupaten Sleman, Magelang, Boyolali dan Klaten, Propinsi DI. Yogyakarta dan
Jawa Tengah. Penelitian dilaksanakan selama 7 bulan, dengan rincian 3 bulan
(Juni−Agustus 2010) pengambilan data lapang di TNGM dan 4 bulan (September−Desember 2010) pengolahan serta penyelesaian laporan akhir di Laboratorium Spatial Database and Analysis Facilities (SDAF) Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan secara umum dibagi menjadi dua, yaitu :
Alat dan bahan yang digunakan saat pengambilan data lapang yaitu alat tulis,
global positioning system (GPS) Garmin 76 CSxi, golok, kamera digital,
kompas, meteran, peta kawasan, pita ukur, tali rafia, tanur, blangko
pengukuran (tally sheet), timbangan, walking stick, oven, trash bag dan
alkohol 70%.
Alat dan bahan yang digunakan pada pengolahan dan analisis data yaitu
kalkulator, satu paket sistem informasi geografis (SIG), software ArcGis 9.3,
software ERDAS imagine 9.1, software microsoft word, software microsoft
excel, citra landsat, peta tata batas kawasan TNGM dan peta rupa bumi
Indonesia.
Informasi keseluruhan citra landsat dan peta pendukung yang digunakan
dalam penelititan ini tersaji di dalam Tabel 4 dan 5.
Tabel 4 Informasi citra satelit landsat yang digunakan
Path/row Seri
28 April 2001 Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB
Tabel 5 Daftar peta pendukung
No Judul Sumber
1 Peta rupa bumi PPLH IPB dan Badan Planologi 2 Peta tata batas kawasan Taman Nasional Gunung Merapi
3.3 Batasan Masalah Kajian
Kajian yang dibahas terbatas pada jumlah cadangan karbon yang hilang
dari dalam kawasan TNGM dengan orientasi konversi karbon menjadi CO2
sebagai salah satu penyumbang gas rumah kaca. Cadangan karbon yang diukur
merupakan cadangan karbon di atas permukaan tanah (above ground carbon
stocks). Metode tidak merusak (nondestructive) digunakan untuk pohon dan perdu
sedangkan metode merusak (destructive) untuk tumbuhan bawah, semak dan
padang rumput. Perdu merupakan tumbuhan berkayu, pendek, bercabang-cabang
dan tidak memiliki batang tegak lurus yang panjang. Hutan tanaman campuran di
TNGM merupakan beberapa spesies pohon yang ditanam pada suatu lokasi
tertentu.
3.4 Data yang Dikumpulkan
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer
meliputi spesies pohon, diameter pohon, berat basah tumbuhan, berat kering
tumbuhan yang kemudian akan dicari nilai biomassa dan karbon tersimpannya,
tipe penggunaan lahan, sejarah penggunaan dan pengelolaan lahan. Data sekunder
meliputi data spasial kawasan TNGM, peta dasar pengelolaan TNGM dan studi
literatur kerapatan jenis pohon untuk mendukung data primer yang dikumpulkan
di lapang.
3.5 Metode Pengambilan Data
3.5.1 Bentuk, ukuran dan jumlah petak pengukuran biomassa tumbuhan
Pengambilan plot contoh dibuat agar dapat mewakili tipe penggunaan
lahan yang terdapat di lokasi penelitian. Peta hasil klasifikasi tidak terbimbing
dijadikan acuan dalam peletakan plot pengukuran. Terdapat beberapa jenis dan
15
TNGM. Pengukuaran biomassa pohon dilakukan dengan cara tidak merusak
(nondestructive) dan untuk tumbuhan bawah dengan cara merusak (destructive).
Plot contoh pengukuran dibuat pada setiap hektar penggunaan lahan yang
dipilih dengan langkah sebagai berikut (Hairiah & Rahayu 2007).
a. Plot berukuran 20 m x 100 m (2000 m2), digunakan untuk mengukur vegetasi
dengan diameter > 30 cm. Plot ini dinamakan plot besar.
b. Plot berukuran 5 m x 40 m (200 m2), digunakan untuk mengukur vegetasi
dengan diameter 5 cm sampai 30 cm dengan kondisi vegetasi yang relatif
seragam, artinya menghidari tempat-tempat yang terlalu rapat atau terlalu
jarang vegetasi. Plot ini dinamakan sub plot.
c. Plot berukuran 2 x 0.5 m x 0.5 m (0.5 m2), digunakan untuk mengambil contoh
tumbuhan bawah, rumput, semak belukar dan serasah. Plot ini dinamakan
sub-sub plot.
Bila pada plot terdapat tumbuhan tidak berkeping dua (dikotil) seperti
bambu, maka dilakukan pengukuran diameter pada masing-masing individu dalam
setiap rumpun. Pemilihan plot contoh berdasarkan keterwakilan tipe penggunaan
lahan. Pengambilan banyaknya plot contoh tergantung dari tingkat
keanekaragaman spesies, apabila keanekaragaman spesies sudah seragam maka
pengambilan plot contoh akan dihentikan.
Gambar 4 Plot contoh untuk pengukuran biomassa.
Keterangan :
a: Plot besar pengukuran vegetasi berdiameter > 30 cm, berukuran 20 m x 100 m. b: Sub plot pengukuran vegetasi berdiameter 5 cm−30 cm, berukuran 5 m x 40 m. c: Sub-sub plot pengukuran tumbuhan bawah, berukuran 2 x 0.5 m x 0.5 m.
Pengukuran diameter dilakukan karena memiliki korelasi positif dengan
biomassa, selanjutnya pendugaan jumlah cadangan karbon yang terdapat di dalam
vegetasi dapat dihitung. Nilai biomassa tumbuhan bawah, padang rumput, serasah
dan semak belukar didapatkan dari pemotongan tumbuhan bawah, rumput, serasah 20 m x 100 m
5 m x 40 m
dan semak belukar yang kemudian di ukur berat basah dan berat keringnya. Data
tentang pengukuran biomassa di beberapa tipe penggunaan lahan tersaji dalam
Lampiran 3 sampai 8. Jumlah plot pengukuran karbon di lapang tersaji dalam
Tabel 6.
Tabel 6 Ukuran dan jumlah plot contoh pengukuran cadangan karbon di beberapa tipe pengunaan lahan
Penggunaan lahan Ukuran plot (m2) Jumlah plot
Hutan sekunder 2000 14
Hutan tanaman campuran 2000 3
Hutan tanaman pinus 2000 5
Pendugaan biomassa dihitung dengan menggunakan persamaan allometrik
yang telah dibuat dan diuji oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Persamaan tersebut
disajikan di dalam Tabel 7.
Tabel 7 Daftar persamaan allometrik yang digunakan untuk menduga nilai biomassa tersimpan pada beberapa tipe vegetasi
Kategori biomassa Persamaan allometrik R2 Sumber
17
Hairiah dan Rahayu (2007) menjelaskan bahwa terdapat persamaan lain
yang dapat digunakan untuk menduga nilai biomassa tumbuhan bawah, yaitu
sebagai berikut.
Total BK =
BKc sub contoh
BBc sub contohx Total BB
Keterangan :
Persentase nilai karbon tersimpan dalam biomassa yang terdapat di
berbagai penggunaan lahan dihitung dengan menggunakan nilai konversi yang
digunakan oleh Lasco et al. (2004) dan Maoyi F (2007) dalam Tabel 8.
Tabel 8 Persentase nilai konversi karbon dalam biomassa di berbagai tipe penggunaan lahan
Tipe penggunaan lahan Persentase konversi karbon dalam
biomassa Sumber
3.5.2.3 Peta penggunaan lahan terklasifikasi
Analisa perubahan penggunaan lahan menggunakan metode klasifikasi
perbandingan penggunaan lahan multi waktu (time series). Data perubahan lahan
berasal dari penggunaan lahan multi waktu citra lansat 7 dan lansat 5 pada tahun
1991, 2001 dan 2009. Tahap awal ialah memperbaiki kesalahan geometrik yang
terjadi pada citra satelit. Kesalahan geometrik berupa kesalahan non-sistematis
yang terjadi pada citra satelit. Kesalahan yang mungkin terjadi seperti variasi
ketinggian tempat, variasi ketinggian satelit, variasi kecepatan sensor, kesalahan
panoramik, kelengkungan bumi, refraksi atmosfer, variasi bentuk relief
Proses koreksi geometrik yang dilakukan menggunakan hubungan matematik
antara koordinat piksel dalam citra satelit dengan koordinat piksel sebenarnya di
lapangan. Hubungan matematik dihasilkan dari data Ground Control Point (GCP)
yang diperoleh dari peta sungai dan garis pantai rupa bumi Indonesia (RBI).
Akurasi koreksi geometrik ditunjukkan dengan nilai RMS-error (root mean
square−error). Semakin kecil nilai RMS−error, ketepatan titik GCP semakin
tinggi. Uji keakuratan citra hasil koreksi geometrik dapat dilakukan dengan cara
overlay peta hasil koreksi dengan peta referensi, lalu dilihat penyimpangannya.
Citra koreksi geometik dalam penelitian ini dapat diterima apabila posisi
penyimpangan tidak melebihi satu piksel (900 m2).
Pemotongan citra menggunakan digitasi polygon peta batas kawasan
TNGM. Hasil pemotongan citra digunakan untuk klasifikasi tidak terbimbing
(unsupervised classification) sebagai panduan dalam melakukan survei lapang.
Survei lapang dilakukan untuk menentukan area contoh berupa titik lokasi
pengukuran biomassa tersimpan di beberapa tipe penggunaan lahan sebagai dasar
klasifikasi citra secara terbimbing (supervised classification).
Peta penggunaan lahan multi waktu hasil klasifikasi citra secara
terbimbing akan dilengkapi dengan atribut berupa kerapatan cadangan karbon di
setiap tipe penggunaan lahan hasil pengukuran di lapang dan studi literatur.
Pembagian klasifikasi penggunaan lahan di TNGM, dibagi menjadi 10 kelas yang
tersaji dalam Tabel 9.
Tabel 9 Kelas penggunaan lahan yang digunakan untuk klasifikasi ulang tipe penutupan lahan di TNGM
No Tipe penggunaan lahan 1 Hutan sekunder
2 Hutan tanaman campuran 3 Hutan tanaman pinus 4 Bambu
5 Perdu
6 Semak dan padang rumput 7 Lahan terbuka
8 Pasir 9 Batu
10 Awan dan bayangan
Pengujian akurasi harus dilakukan pada peta klasifikasi terbimbing.
19
dengan peta hasil klasifikasi terbimbing yang telah dilakukan recode. Akurasi
diterima jika laporan akurasi mencapai 85%. Setelah uji akurasi dapat diketahui
jumlah perubahan cadangan karbon yang tersimpan di lokasi penelitian
berdasarkan data cadangan karbon di setiap penggunaan lahan dan perubahan
penggunaan penggunaan lahan di TNGM pada waktu yang berbeda. Keseluruhan
alur dari tahap pendugaan cadangan karbon yang tersimpan di TNGM dapat
dilihat dalam Gambar 5.
Gambar 5 Alur pembuatan peta pendugaan cadangan karbon tersimpan TNGM.
3.5.2.4Pendugaan cadangan karbon
Pendugaan cadangan karbon berdasarkan data spasial dilakukan dengan
mengklasifikasikan kelas-kelas penggunaan lahan berdasarkan hasil survei yang
telah dilakukan, kemudian dikonversi menjadi kelas cadangan karbon berdasarkan
atribut cadangan karbon. Pendugaan cadangan karbon berdasarkan data spasial
dilakukan dengan menggunakan informasi luas penggunaan lahan hasil
klasifikasi. Luas tiap kelas penggunaan lahan kemudian dikalikan dengan data
kelas penggunaan lahan yang bersangkutan. Bagan alur pendugaan cadangan
karbon tersimpan dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Alur pendugaan karbon tersimpan di berbagai tipe penggunaan lahan.
3.5.2.5Pendugaan perubahan cadangan karbon
Pendugaan perubahan cadangan karbon dilakukan dengan
membandingkan hasil karbon yang didapat dari hasil pengukuran karbon di
lapangan sesuai dengan wilayah penggunaan lahan. Nilai karbon dari setiap tipe
penggunaan lahan hasil observasi langsung akan dijadikan nilai karbon bandingan
pada beberapa tahun terakhir, terhitung mulai tahun 1991 (time series). Data
penggunaan lahan tahun 1991, 2001 dan 2009 digunakan untuk menduga karbon.
Pendugaan cadangan karbon pada 3 citra terklasifikasi dengan tahun yang berbeda
pada dasarnya dilakukan sebagai proses pemberian atribut ulang pada peta
penggunaan lahan dengan data cadangan karbon pada skala plot tipe penggunaan
lahan yang sama. Hasil yang diharapkan adalah dugaan cadangan karbon
berdasarkan tipe penggunaan lahan pada waktu yang berbeda sehingga dapat
21
3.5.2.6Pendugaan pelepasan karbon
Pendugaan pelepasan karbon dilakukan untuk membandingkan seberapa
besar peran unsur karbon (C) yang terserap pada proses fotosintesis dalam
senyawa CO2. Rumus yang digunakan bersumber dari von Mirbach (2000)
dengan asumsi bahwa kehilangan karbon tersimpan seluruhnya dalam bentuk gas.
Unsur karbon yang memiliki berat atom 12 dan unsur oksigen yang memiliki
berat atom 16 bergabung menjadi CO2 sehingga akan menghasilkan berat molekul
CO2 sebesar 44. Nilai 3.667 merupakan perbandingan antara berat molekul
senyawa CO2 dengan berat atom unsur C. Rumus pendugaan pelepasan karbon
terhadap senyawa CO2 hanyalah pendugaan besarnya kandungan unsur karbon
dalam senyawa CO2 yang dapat terserap ataupun terlepas akibat adanya
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1Sejarah Kawasan
Kawasan Gunung Merapi merupakan kawasan hutan negara yang
dilindungi sejak tahun 1931, bernilai penting dan strategis karena berfungsi
sebagai daerah tangkapan air yang bermanfaat bagi wilayah Sleman, Yogyakarta,
Klaten, Boyolali, Magelang dan sekitarnya. Pada tahun 1975, menteri pertanian
menetapkan sebagian kawasan hutan lindung Gunung Merapi menjadi Cagar
Alam Plawangan Turgo. Kemudian pada tahun 1984, menteri kehutanan merubah
sebagian kawasan lindung Gunung Merapi yang ada di Yogyakarta menjadi
Taman Wisata Alam Plawangan Turgo. Pada tahun 1989 menteri kehutanan
membuat kebijakan baru dengan mengesahkan Cagar Alam dan Taman Wisata
Alam Plawangan Turgo yang terletak di Kabupaten Sleman, Provinsi D.I
Yogyakarta dengan luas kawasan sebesar 282.25 ha.
Penunjukan kawasan hutan Gunung Merapi sebagai Taman Nasional
Gunung Merapi (TNGM) sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
pada tanggal 4 Mei 2004 dengan SK No. 134/Menhut-II/2004 tentang perubahan
fungsi kawasan hutan lindung menjadi kawasan taman nasional, yang terletak di
Kabupaten Magelang, Boyolali dan Klaten Provinsi Jawa Tengah serta Kabupaten
Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berikut adalah gambar peta
TNGM yang tercantum pada Gambar 8.
4.2Letak dan Luas Kawasan
Secara administrasi pemerintahan TNGM, terletak di Kabupaten
Magelang, Boyolali dan Klaten Provinsi Jawa Tengah serta Kabupaten Sleman di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara geografis terletak antara
110o15’−110o37’ BT dan 07o22’−07o52’ LS. Luas TNGM sebesar 6.410 ha yang
terdiri dari 1283.99 ha di D. I. Yogyakarta dan 5126.01 ha di Jawa Tengah.
23
Gambar 7 Peta Taman Nasional Gunung Merapi.
a. Bagian utara dilingkupi oleh pegunungan yang merupakan pertemuan antara
Gunung Merbabu dan Gunung Merapi. Batas alam ini dibentuk dari hulu sungai
pepe di wilayah timur dan hulu sungai Pabelan di wilayah barat. Secara
adminitratif masuk dalam Kabupaten Boyolali, Propinsi Jawa Tengah.
b. Kaki gunung bagian timur dan selatan merupakan wilayah yang datar dan
merupakan persawahan dengan kesuburan tanah yang tinggi. Bagian timur ini
membentang sampai bertemu dengan sungai Bengawan Solo dan bagian selatan
bertemu dengan hulu sungai Dengkeng.
c. Hulu Sungai Progo menjadikan batas alam gunung di bagian barat.
4.3Topografi
Keadaan topografi di kawasan TNGM dapat dibedakan berdasarkan
a. Kabupaten Klaten
Bagian barat dan utara wilayah Kabupaen Klaten berupa lereng Gunung
Merapi yang berbatasan dengan Kabupaten Sleman.
Landai sampai berbukit dengan ketinggian 100−150 m dpl. b. Kabupaten Boyolali
Berada diantara Gunung Merapi yang masih aktif dan Gunung Merbabu yang
sudah tidak aktif, dengan ketinggian 75−1500 m dpl.
Empat sungai melintas di wilayah ini (Serang, Cemoro, Pepe dan Gandul).
Disamping itu ada sumber-sumber air lain berupa mata air dan waduk.
c. Kabupaten Magelang
Merupakan bagian lereng Gunung Merapi yang ke arah barat, terletak
pada ketinggian sekitar 500 m dpl, semakin kearah puncak Gunung Merapi maka
kelerengan lahan semakin curam.
d. Kabupaten Sleman
Kelerengan landai hingga lahan yang memiliki kelerengan sangat curam
dengan ketinggian 100−1500 m dpl.
Bagian paling utara merupakan lereng Gunung Merapi yang miring ke arah
selatan. Pada lereng selatan Gunung Merapi terdapat dua bukit yaitu Bukit
Turgo dan Bukit Plawangan yang merupakan bagian kawasan wisata
Kaliurang. Di Bagian lereng puncak merapi reliefnya curam sampai sangat
curam. Bagian selatan masih berupa lahan persawahan dengan sistem teras
yang cukup baik. Sedangkan bagian tengah berupa lahan kering dan paling
utara merupakan bagian dari lereng Gunung Merapi yang berupa hutan.
Secara umum kondisi topografi di kawasan TNGM merupakan bentang
alam yang sangat khas, yaitu puncak merapi dengan lerengnya yang menuju
kesegala arah dengan lereng yang sangat curam di wilayah yang dekat dengan
puncak dan semakin melandai kearah bawah. Lereng merapi di bagian timur
(Selo) relatif lebih terjal, sementara di bagian barat dan utara (Babadan,
Kinahrejo) relatif lebih landai. Arah letusan gunung api sangat jarang menuju
ke timur, yang paling sering menuju ke arah barat daya. Proses letusan sering
25
Barat akan semakin landai. Wilayah puncak Gunung Merapi sampai ketinggian
1500 m dpl, merupakan daerah terjal dengan kemiringan lebih dari 30o.
Wilayah yang paling luas adalah kawasan dengan kemiringan 12o−30o terletak pada ketinggian 750−1500 m dpl dan daerah inilah yang merupakan daerah resapan air.
4.4Iklim dan Hidrologi
Tipe iklim berdasarkan Schmidt dan Ferguson (1951) termasuk tipe ikilm
C atau agak basah. Curah hujan bervariasi dengan curah terendah sebesar 875
mm/tahun dan curah tertinggi sebesar 2527 mm/tahun. Bulan basah terjadi pada
bulan November sampai bulan Mei. Sedangkan bulan kering terjadi pada bulan
Juni sampai dengan Oktober.
Secara umum di wilayah Gunung Merapi terdapat 3 daerah aliran sungai
(DAS) utama, yaitu DAS Progo (bagian barat), DAS Opak (bagian tengah) dan
DAS Bengawan Solo (bagian timur). Sistem sungai yang terbentuk oleh ketiga
sungai besar tersebut membentuk tiga bagian pola aliran sungai. Kawasan ini juga
merupakan kawasan dengan cadangan air tanah yang melimpah dan banyak
dijumpai mata air yang banyak dimanfaatkan untuk irigasi, perkebunan,
peternakan, perikanan, objek wisata dan untuk air kemasan.
4.5Geologi dan Tanah
Secara geologis, wilayah TNGM terletak pada perpotongan antara dua
sesar, yaitu sesar transversal dan sesar longitudinal Pulau Jawa. Batuan utama
penyusun Gunung Merapi terdiri dari dua fase, yaitu :
a. Endapan vulkanik Gunung Merapi muda yang tersusun oleh tufa, lahar,
breksi dan lava andesitis hingga basaltis yang penyebarannya merata di seluruh
wilayah gunung merapi.
b. Endapan vulkanik kwarter tua yang terdapat secara lokal pada topografi
perbukitan kecil di sekitar Gunung Merapi muda yang merupakan bagian dari
aktivitas Gunung Merapi tua, yaitu terdapat di Bukit Gono, Turgo, Plawangan,
Jenis tanahnya terdiri dari regosol, yang kemudian berkembang pada
fisiografi berupa lereng vulkanik. Bahan induk tanah adalah material vulkanik
karena Gunung Merapi adalah gunung yang paling aktif di dunia. Tanah regosol
merupakan tanah yang tergolong muda sehingga belum mengalami perkembangan
profil. Tanah ini dicirikan oleh warna tanah kelabu sampai kehitaman dengan
tekstur tanah yang tergolong kasar yaitu tanah berpasir. Struktur tanah belum
terbentuk sehingga termasuk tekstur granuler.
Selain jenis tanah regosol, juga ditemukan tanah andosol. Jenis tanah ini
ditemukan di Kecamatan Cepogo dan Kecamatan Selo. Karakteristik tanah ini
dicirikan oleh tekstur geluh debuan, struktur remah atau gumpal remah,
konsistensi gembur, permeabilitas sedang, bahan organik sedang hingga rendah
dengan pH 5.0−5.5 serta (kapasitas tukar kation) KTK dan kejenuhan basa tinggi.
4.6Kondisi Flora dan Fauna
Taman Nasional Gunung Merapi memiliki tiga zona penyusun vegetasi,
yaitu zona atas, zona tengah dan zona bawah. Pada zona atas berlangsung proses
xyrocere, yaitu suksesi sekunder yang terjadi pada hutan batuan kering, sehingga
vegetasinya didominasi spesies lumut, rerumputan, herba dan perdu. Zona tengah,
merupakan hutan alam pegunungan tropis dan zona bawah, merupakan zona
interaksi antara manusia dan alam yang vegetasinya didominasi oleh tanaman
dengan pola agroforestri, meliputi agroforestri pola rumput-rumputan, pola
komoditi komersial, pola holtikultura, pola pangan dan pola kayu-kayuan.
Menurut Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
(2004) kawasan Gunung Merapi memiliki kurang lebih 72 spesies flora. Hutan
sekunder dan hutan tanaman didominasi oleh spesies puspa (Schima noronhae)
dan Pinus (Pinus merkusii). Dalam kawasan hutan merapi dijumpai spesies
anggrek endemik dan langka, yaitu Vanda tricolor. Spesies anggrek lainnya yang
ada tidak kurang dari 47 jenis, antara lain Dendrobium saggitatum, Dendrobium
crumenatum, Eria retusa, Oboronia similis dan Spathoglottis plicata.
Spesies flora lainnya antara lain Acacia decurrens, Bambusa spp, Albizia
27
leucoocephla, Hibiscus tiliaceus, Arthocarpus integra, Cauarina sp, Syzygium
aromaticum, Melia azadiracht, Erytrina variegata, Ficus alba dan lain-lain.
Spesies tumbuhan dan rumput yang paling banyak dimanfaatkan oleh penduduk
untuk memenuhi kebutuhan mereka yaitu Imperata cylindrica, Panicum reptans,
Antraxon typicus, dan Pogonatherum paniceum.
Berikut beberapa potensi fauna yang terdapat di kawasan Taman Nasional
Gunung Merapi dalam Tabel 10.
Tabel 10 Potensi fauna yang terdapat di kawasan TNGM
No Kelas Satwa Jenis Satwa
No Nama Lokal Nama Ilmiah
1 Mamalia 1 Macan tutul Panthera pardus
2 Kucing besar Felis sp
3 Musang Paradoxurus hermaprodus
4 Bajing Laricus insignis
5 Bajing kelapa Colosciurus notatusi
6 Monyet ekor panjang Macaca fascicularis
7 Lutung kelabu Presbytis fredericae
8 Babi hutan Sus scrofa
9 Kijang Muntiacus muntjak
10 Rusa Cervus timorensis
2 Aves 1 Elang jawa Spizaetus bartelsi
2 Bondol jawa Lonchura leucogastroides
3 Burung madu jawa Aethopyga mystacalis
4 Burung madu gunung Aetophyga eximia
5 Burung cabai gunung Dicaeum sanguinolenium
6 Cekakak jawa Halycon cyanoventris
7 Gemak Turnix silvatica
8 Serindit jawa Loriculus pusilus
9 Elang hitam Ictinaetus malayensis
10 Jalak suren Sturnus contra
11 Betet Psittacula alexandri
12 Alap-alap macan Falco severus
13 Elang bido Spilornis cheela
14 Walet gunung Collocalia volcanorum
3 Reptilia 1 Ular sowo Dytas coros
2 Ular gadung Trimeresurus albobabris
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Distribusi Pengambilan Titik
Pengambilan titik distribusi terbagi menjadi 2 macam yaitu titik kontrol
lapang (ground control point) dan titik distribusi plot contoh pengukuran karbon.
Pengambilan distribusi ground control point (GCP) berdasarkan sungai, ketinggian
tempat dan tipe penggunaan lahan. GCP yang diambil sebanyak 74 titik dengan
pengambilan titik secara acak berdasarkan keterwakilan setiap tipe penggunaan lahan
dan ketinggiannya (Gambar 8). Pengambilan GCP dilakukan menyeluruh pada setiap
kabupaten (Sleman, Klaten, Boyolali dan Magelang) di Taman Nasional Gunung
Merapi (TNGM). Tujuan pengambilan GCP ialah untuk mengetahui informasi
terbaru keadaan kawasan TNGM sehingga dapat dilakukan uji keakuratan geometri
antara kondisi dilapang dengan interpretasi warna peta citra landsat.
Pengambilan titik distribusi karbon merupakan lokasi pengambilan plot
contoh pengukuran karbon. Titik distribusi karbon yang diambil sebanyak 35
(Gambar 9) dari 4 kabupaten (Sleman, Klaten, Boyolali dan Magelang) di TNGM.
Penentuan titik karbon berdasarkan tipe penutupan lahan yang diambil setiap awal
dan akhir plot karbon. Keakuratan distribusi GCP dan titik karbon ditentukan oleh
alat penerima sinyal global positioning system (GPS). Sistem kerja GPS dipengaruhi
oleh jumlah sinyal satelit yang ditangkap saat pengambilan titik. Penangkapan sinyal
oleh GPS dipengaruhi faktor atmosfer, bentuk tutupan tajuk pohon dan pantulan
sinyal terhadap topografi bumi (Lillesand & Kiefer 1997). TNGM memiliki topografi
yang curam sehingga pada saat pengambilan titik harus memilih lokasi yang tidak