• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuatan Pupuk Organik Bokashi dari Tepung Ikan Limbah Perikanan Waduk Cirata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembuatan Pupuk Organik Bokashi dari Tepung Ikan Limbah Perikanan Waduk Cirata"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Waduk Cirata merupakan salah satu waduk yang terdapat di daerah Cianjur, Jawa Barat, yang memiliki luas 6.200 ha. Waduk ini merupakan salah satu basis perikanan darat di Jawa Barat yang bertumpu pada perikanan budidaya. Sektor perikanan budidaya di Waduk Cirata umumnya berbasis pada keramba jaring apung (KJA). Pertambahan jumlah KJA yang cukup pesat di Waduk Cirata menyebabkan penurunan kualitas air yang berasal dari sisa pakan dan kotoran ikan yang terendapkan di dasar waduk yang pada akhirnya menyebabkan kualitas air menjadi buruk dan menyebabkan kematian masal pada ikan saat terjadi peristiwa upwelling (Prihadi 2005). Tahun 1991, 1993 dan 1997 jumlah ikan yang mati di Waduk Cirata berturut-turut 34,5 ton, 29,2 ton dan 29,3 ton. Jumlah ikan yang mati pasca terjadinya upwelling tahun 2007 mencapai 60 ton (Suyono 2008), sedangkan angka kematian ikan tahun 2010 mencapai 150 ton (Yulianto 2011).

Ikan yang mati tersebut menjadi limbah yang memiliki nilai ekonomis rendah karena tidak layak untuk dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Untuk meningkatkan nilai ekonomis dari limbah tersebut, diperlukan suatu usaha pengolahan limbah menjadi suatu produk yang memiliki nilai tambah bagi masyarakat. Salah satu bentuk pengolahan limbah perikanan tersebut adalah dibuat pupuk organik dengan bahan baku limbah perikanan.

(2)

mudah untuk diproduksi secara masal. Salah satu jenis pupuk organik yang banyak dikembangkan saat ini adalah bokashi.

Bokashi adalah pupuk yang dihasilkan dari proses fermentasi atau peragian bahan organik dengan teknologi EM (Effective Microorganism). Keunggulan teknologi EM adalah pupuk organik dapat dihasilkan dalam waktu yang relatif singkat dibandingkan dengan cara konvensional. EM merupakan gabungan dari beberapa bakteri dan fungi, misalnya bakteri asam laktat, bakteri fototropik, ragi, jamur fermentasi dan bakteri golongan Actinomycetes, yang memiliki kemampuan untuk menyuburkan tanaman dan menguraikan bahan organik (Mayer et al. 2010). Bahan baku pembuatan pupuk bokashi merupakan limbah pertanian seperti jerami, rumput, sekam, tanaman kacang-kacangan, pupuk kandang atau serbuk gergaji, namun bahan yang paling baik digunakan yaitu dedak padi karena kandungan gizi yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme (Sani 2007).

Limbah perikanan yang menumpuk akibat kualitas air yang buruk di Waduk Cirata memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik bokashi. Berdasarkan landasan pemikiran di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul ”Pemanfaatan Tepung Ikan dari Limbah Perikanan Waduk Cirata Sebagai Bahan Baku Pembuatan Pupuk Organik Bokashi”. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber daya yang berharga bagi kemajuan perikanan dan pertanian.

1.2 Tujuan

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk membuat pupuk organik bokashi yang berasal dari tepung ikan hasil pengolahan limbah perikanan Waduk Cirata. Tujuan khusus penelitian ini antara lain:

1) Menentukan kualitas terbaik dari pupuk organik yang dihasilkan dengan melihat kandungan unsur hara yang terkandung dalam pupuk tersebut.

(3)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Perikanan

Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik dari industri maupun dari domestik (rumah tangga). Limbah padat lebih dikenal sebagai sampah, yang seringkali tidak dikehendaki kehadirannya karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah terdiri dari senyawa organik dan senyawa anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah (Ginting 2007).

Limbah perikanan mengandung nutrisi yang tidak berbeda dari bahan utamanya dan telah banyak juga diteliti pemanfaatannya (Poernomo 1997). Limbah perikanan dapat berasal dari kegiatan perikanan hulu (budidaya), maupun kegiatan perikanan hilir (pengolahan, transportasi, pemasaran). Hasil samping dari kegiatan budidaya dapat berupa ikan yang mati selama proses budidaya misalnya yang terjadi pada waduk Cirata. Hasil samping industri pengolahan perikanan umumnya berupa kepala, jeroan, kulit, tulang, sirip, darah dan air bekas produksi. Kegiatan pengolahan secara tradisional umumnya kurang mampu memanfaatkan hasil samping ini, bahkan tidak termanfaatkan sama sekali sehingga terbuang begitu saja. Hasil samping kegiatan industri perikanan dapat digolongkan menjadi lima kelompok utama, yaitu hasil samping pada pemanfaatan suatu spesies atau sumberdaya; sisa pengolahan dari industri-industri pembekuan, pengalengan, dan tradisional; produk ikutan; surplus dari suatu panen utama atau panen raya; dan sisa distribusi (Sukarno 2001).

(4)

2.2 Tepung Ikan

Tepung ikan adalah komoditas olahan hasil perairan yang diperoleh dari suatu proses reduksi bahan mentah menjadi suatu produk yang sebagian besar terdiri dari komponen protein ikan. Tepung ikan mempunyai kandungan protein yang tinggi dan merupakan salah satu komponen penting dalam pertumbuhan. Tepung ikan mempunyai nilai gizi sepuluh kali lebih besar dibandingkan tepung yang dibuat dari hewan darat. Dengan demikian, penggunaan tepung ikan dalam produk berfungsi sebagai penyuplai protein (Irianto dan Giyatmi 2002).

Berdasarkan bahan baku, tepung ikan dapat digolongkan menjadi tepung ikan yang berwarna gelap yang biasanya terbuat dari limbah pengolahan ikan dan tepung ikan berwarna putih kekuningan yang biasanya terbuat dari ikan rucah. Bahan mentah yang untuk produksi tepung ikan dapat dibedakan atas tiga kategori utama menurut Irianto dan Giyatmi (2002), yaitu:

a) Ikan yang sengaja ditangkap untuk produksi tepung ikan dan sering disebut ikan industri, seperti ikan teri di Peru, ikan teri dan ikan pilchard di Afrika Selatan, ikan herring dan ikan capelin di Norwegian dan Denmark.

b) Hasil tangkap samping dari kegiatan perikanan lain

c) Limbah ikan dari kegiatan industri pengolahan, seperti karkas dari industri fillet serta kepala dan isi perut dari industri pengalengan.

Salah satu syarat pengolahan tepung ikan adalah tersedianya bahan mentah yang berlebihan dan harganya murah, karena tepung ikan juga relatif murah di pasaran. Jenis bahan mentah yang digunakan oleh pengolahan atau pabrik tepung ikan di Indonesia adalah ikan utuh dan limbah dari pengolahan lainnya. Biasanya ikan utuh yang diolah menjadi tepung ikan adalah ikan yang bermutu rendah atau ikan yang tidak terserap oleh industri pengolahan yang lain dan ikan yang berasal dari hasil tangkapan sampingan (Irianto dan Giyatmi 2002).

(5)

yang tidak baik, maka akan menghasilkan tepung ikan yang tidak sesuai dengan harapan, yaitu kadar protein rendah dan kadar lemak tinggi. Selain bahan mentah yang digunakan mempunyai mutu yang baik, bahan mentah yang digunakan juga sebaiknya memiliki nilai ekonomis yang rendah (Irianto dan Giyatmi 2002).

Penggolongan teknologi pengolahan tepung ikan didasarkan pada proses pemasakan dan pengeringan bahan mentah ikan. Terdapat dua metode utama pengolahan tepung ikan yang telah diterapkan secara komersial, yaitu penggolahan sistem basah dan pengolahan sistem kering. Pengolahan sistem basah digunakan terutama untuk memproduksi tepung ikan dari bahan baku ikan yang berlemak tinggi (>5%). Metode ini telah diterapkan secara luas dan paling umum dijumpai pada pengolahan tepung ikan. Pengolahan sistem basah meliputi pengukusan, pengepresan, pengeringan, penggilingan hingga diperoleh tepung ikan kering. Proses pengolahan tepung ikan menggunakan sistem kering digunakan untuk bahan mentah yang memiliki kadar lemak rendah (<5%). Proses pengolahan sitem kering meliputi penggilingan kasar, pengeringan, pengepresan, dan penggilingan (Irianto dan Giyatmi 2002).

2.3 Pengomposan

Pengomposan adalah proses dekomposisi biologi dari bahan organik yang dapat dipercepat secara artificial oleh populasi berbagai macam mikrob (bakteri, Actinomycetes dan fungi) dalam kondisi lingkungan aerobik atau anaerobik (Crawford 2003). Proses pengomposan melibatkan suhu yang tinggi sebagai hasil produksi panas dari proses pemecahan senyawa organik kompleks oleh mikrob yang menghasilkan energi panas. Hasil akhir dari proses pengomposan berupa produk kompos yang cukup stabil dalam bentuk padatan kompleks dan tidak menimbulkan efek negatif yang dapat merugikan lingkungan saat diberikan atau digunakan pada lahan (Wei et al. 2000).

(6)

optimal. Semakin banyak jumlah jasad renik yang ada, maka semakin cepat pula proses dekomposisi terjadi (Gomez et al. 2002).

Proses pengomposan terdiri atas pengomposan aerob dan pengomposan anaerob. Proses pengomposan aerob kurang lebih dua per tiga unsur karbon (C) menguap menjadi CO2 dan sisa satu per tiga bagian bereaksi dengan nitrogen

dalam sel hidup. Selama proses pengomposan aerob, tidak timbul bau busuk. Selama proses pengomposan berlangsung, akan terjadi eksotermik sehingga timbul panas akibat pelepasan energi. Kenaikan suhu dalam timbunan bahan organik menghasilkan suhu yang menguntungkan mikroorganisme termofilik. Tetapi apabila suhu mencapai 65-70˚C, kegiatan mikroorganisme akan menurun karena kematian organism akibat panas yang terlalu tinggi. Pada proses pengomposan anaerobik, penguraian terjadi dalam suasana tanpa oksigen. Pada tahap awal, bakteri fakultatif penghasil asam menguraikan bahan organik menjadi asam lemak, aldehida dan lain-lain. Proses selanjutnya, bakteri dari kelompok lain akan mengubah asam lemak menjadi gas metan, ammonia, CO2 dan hidrogen

(Sutanto 2002). Pada proses aerob, energi yang dilepaskan lebih besar, sekitar 484-674 kkal/mol glukosa, jika dibandingkan dengan proses anaerob yang hanya melepaskan glukosa sebanyak 25 kkal/mol (McKinley et al. 1985).

Prinsip dasar dari pengomposan adalah pencampuran bahan organik kering yang kaya karbohidrat dengan bahan organik basah yang banyak mengandung nitrogen (N). bahan baku kompos juga harus memiliki karakteristik yang khas agar dapat dikomposkan. Pada umumnya, bahan baku yang mengandung karbon kering sangat baik untuk dijadikan kompos, namun bahan baku tersebut harus dicampur dengan bahan lain yang memiliki kualitas berbeda. Proses dekomposisi berlangsung secara berkelanjutan sampai bahan organik yang kompleks berangsur-angsur diubah menjadi elemen yang sederhana beserta senyawa anorganik dari terjadinya mineralisasi (Djaja 2008).

2.4 Pupuk Organik

(7)

dikomposkan. Bahan organik ini akan mengalami pembusukan oleh mikroorganisme sehingga sifat fisiknya akan berbeda dengan keadaan semula. Pupuk organik termasuk pupuk majemuk lengkap karena kandungan unsur haranya lebih dari satu unsur dan mengandung unsur mikro. Pupuk organik dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu pupuk organik padat dan pupuk organik cair (Hadisuwito 2011).

Pupuk organik merupakan salah satu bahan yang sangat penting dalam upaya memperbaiki kesuburan tanah karena terbebas dari unsur kimia yang memiliki potensi untuk merusak kesuburan tanah dalam jangka panjang. Secara kualitatif, kandungan unsur hara dalam pupuk organik tidak dapat lebih daripada pupuk anorganik, namun penggunaan pupuk organik secara terus-menerus dalam rentang waktu tertentu akan menjadikan kualitas tanah lebih baik disbanding pupuk anorganik. Penggunaan pupuk organik tidak akan meninggalkan residu pada hasil tanaman sehingga aman bagi kesehatan manusia (Musnamar 2003). Standar kualitas pupuk organik kompos berdasarkan SNI 19-7030-2004 dapat dilihat Tabel 1.

Tabel 1 Standar kualitas pupuk organik kompos berdasarkan SNI 19-7030-2004

(8)

kecukupan bahan organik mempunyai kemampuan mengikat air lebih besar daripada tanah yang kandungan bahan organik yang rendah. Nitrogen dan unsur hara yang lain dilepaskan oleh bahan organik secara perlahan melalui proses mineralisasi. Dengan demikian, apabila diberikan secara berkesinambungan, maka akan banyak membantu dalam membangun kesuburan tanah (Sutanto 2002).

Bahan/pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan. Sumber bahan untuk pupuk organik sangat beranekaragam, dengan karakteristik fisik dan kandungan kimia/hara yang sangat beragam sehingga pengaruh dari penggunaan pupuk organik terhadap lahan dan tanaman dapat bervariasi. Pupuk organik atau bahan organik tanah merupakan sumber nitrogen tanah yang utama, selain itu peranannya cukup besar terhadap perbaikan sifat fisika, kimia biologi tanah serta lingkungan. Pupuk organik yang ditambahkan ke dalam tanah akan mengalami beberapa kali fase perombakan oleh mikroorganisme yang terdapat pada tanah untuk menjadi humus atau bahan organik tanah (Balitbang Pertanian 2006).

2.5 Unsur Hara

(9)

Unsur nitrogen atau N merupakan unsur hara di dalam tanah yang sangat berperan bagi pertumbuhan tanaman. Perilaku nitrogen di dalam tanah sulit diperkirakan karena transformasinya sangat kompleks. Lebih dari 98% N di dalam tanah tidak tersedia untuk tanaman karena terakumulasi dalam bahan organik atau terjerat dalam tanah liat. Oleh karena itu, bahan organik sudah ditransformasi menjadi pupuk dapat membantu menyediakan N bagi tanaman. Suplai unsur N melaui pemupukan unsur N melaui pemupukan lebih diutamakan untuk tanaman karena N merupakan unsur yang paling banyak hilang dari lahan setelah dipanen. Tanaman yang kekurangan N akan terus mengecil, bahkan secara cepat berubah menjadi kuning karena N yang tersedia tidak cukup untuk membentuk protein dan klorofil (Yuliarti 2009).

Selain unsur N, unsur hara lain yang penting bagi tanaman yaitu fosfor atau P. Fosfor merupakan zat yang penting, tetapi selalu berada dalam keadaan kurang di dalam tanah. Unsur P sangat penting sebagai sumber energi. Oleh karena itu, kekurangan P dapat menghambat pertumbuhan dan reaksi-reaksi metabolism tanaman. Sementara itu, kandungan fosfor pada tanaman membantu dalam pertumbuhan bunga, buah, dan biji, serta mempercepat pematangan buah. Jika tanaman kekuarangan unsur ini, maka dapat menyebabkan daun dan batang menjadi kecil, daun berwarna hijau tua keabu-abuan, mengkilap, dan terlihat pigmen merah pada daun bagian bawah dan selanjutnya mati. Selain itu, pembentukan bunga menjadi terhambat dan produksi buah dan bijinya kecil (Subaedah 2007).

(10)

2.6 Bokashi

Bokashi adalah pupuk yang dihasilkan dari proses fermentasi atau peragian bahan organik dengan teknologi EM (Effective Microorganism). Keunggulan teknologi EM adalah pupuk organik dapat dihasilkan dalam waktu yang relatif singkat dibandingkan dengan cara konvensional. EM merupakan gabungan dari beberapa bakteri dan fungi yang memiliki kemampuan untuk menyuburkan tanaman dan menguraikan bahan organik seperti bakteri asam laktat, bakteri fototropik, ragi, jamur fermentasi dan bakteri golongan Actinomycetes (Mayer et al. 2010).

Bahan baku pembuatan pupuk bokashi merupakan limbah pertanian seperti jerami, rumput, sekam, tanaman kacang-kacangan, pupuk kandang atau serbuk gergaji, namun bahan yang paling baik digunakan yaitu dedak padi karena mengandung zat gizi yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Bokashi sudah digunakan oleh petani Jepang dalam perbaikan tanah secara tradisional untuk meningkatkan keragaman mikroba dalam tanah dan meningkatkan persediaan unsur hara bagi tanaman. Secara tradisional, bokashi dibuat dengan cara memfermentasikan campuran bahan organik seperti dedak dan kotoran hewan dengan tanah dari hutan atau gunung yang mengandung berbagai jenis mikroorganisme, namun saat ini bokashi telah dibuat dengan menggunakan kultur mikroba seperti EM (Effective Microorganism). Penggunaan EM dalam bokashi dapat memperbaiki kesehatan dan kualitas tanah, memperbaiki mutu tanaman, serta sebagai inokulan untuk meningkatkan keragaman mikroba di dalam tanah (Sani 2007).

Keunggulan pupuk bokashi menurut Sarbini (2008) antara lain:

a. Biaya pembuatan yang murah karena menggunakan bahan baku dari limbah pertanian, limbah peternakan, limbah industri serta limbah rumah tangga b. Mengandung unsur hara yang lebih lengkap, baik makro maupun mikro c. Dapat dibuat sendiri

d. Memperbaiki struktur tanah. Tanah menjani gembur, perembesan air lebih cepat, daya tahan terhadap erosilebih kuat dan tanah lebih mudah diolah. e. Melepaskan unsur hara yang terikan oleh tanah dan menahannya dari tercuci

(11)

f. Member suasana lingkungan yang baik bagi jasad renik dalam tanah, sehingga bahan organik dapat terurai oleh jasad renik untuk dimanfaatkan oleh tanaman.

Penggunaan EM dalam pembuatan pupuk bokashi memberikan beberapa keuntungan menurut Nasir (2008), antara lain:

a. Memperbaiki perkecambahan bungan, buah, dan kematangan hasil tanaman. b. Memperbaiki lingkungan fisik, kimia, serta biologi tanah serta menekan

pertumbuhan hama dan penyakit dalam tanah c. Meningkatkan kapasitas fotosintesis tanaman

(12)

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Agustus 2012. Sampel limbah perikanan diperoleh dari Waduk Cirata-Jangari, Cianjur. Pembuatan pupuk organik beserta analisis pH, dan temperatur dilaksanakan di Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Pertanian,

Cianjur, Jawa Barat. Analisis proksimat limbah dan analisis kandungan N-Total, C-Organik, dan rasio C/N, dilaksanakan di Laboratorium Pengujian Mutu, Pusat

Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Pertanian, Cianjur, Jawa Barat. Analisis total fosfor dan total kalium dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Aplikasi pupuk organik pada tanaman kangkung darat (I. reptana) dilaksanakan di Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Pertanian, Cianjur, Jawa Barat.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan yang mati akibat upwelling dari Waduk Cirata. Bahan-bahan lainnya meliputi dedak padi, ampas kelapa, EM-4, molase, akuades, benih tanaman kangkung darat (I.reptana), tanah, polybag, urea, KCL, SP36 dan bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penentuan kadar proksimat dan unsur hara makro.

(13)

3.3 Prosedur Penelitian

Penelitian dilakukan dalam tiga tahap yaitu pembuatan tepung ikan, pembuatan pupuk organik bokashi, dan aplikasi pupuk organk bokashi pada tanaman kangkung darat (I. reptana)

3.3.1 Pembuatan tepung ikan

Proses pembuatan tepung ikan diawali dengan pencucian ikan untuk menghilangkan kotoran dan darah yang menempel. Selanjutnya, limbah ikan utuh digiling menggunakan chopper untuk memperkecil ukuran partikel limbah. Selanjutnya, limbah dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari selama +2 hari untuk menurunkan kadar airnya hingga 20%. Selanjutnya, dilakukan proses penepungan. limbah ikan yang telah kering dihaluskan dengan grinder lalu disaring menggunakan ayakan sehingga didapatkan tepung ikan

dengan butiran yang homogen. Tepung ikan yang dihasilkan akan dilakukan analisis proksimat dan hara makro (N-Total, P2O5, C-Organik, K2O, dan rasio

C/N). Diagram alir pembuatan tepung ikan disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram alir pembuatan tepung limbah ikan

Analisis proksimat, C-organik, N-total, rasio C/N, P2O5, K2O

Limbah ikan

Pencucian

Penggilingan

Pengeringan

Penepungan

(14)

3.3.2 Pembuatan pupuk organik bokashi

Pembuatan pupuk organik bokashi diawali dengan persiapan bahan baku yaitu dedak padi, ampas kelapa dan tepung ikan. Bahan baku terlebih dahulu dijemur untuk mengurangi kadar airnya. Bahan baku dicampurkan dengan komposisi yang divariasikan sebagai perlakuan. Komposisi dari dedak padi, ampas kelapa dan tepung ikan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi bahan baku pembuatan pupuk organik bokashi Kode

perlakuan

Komposisi (%)

Dedak padi Ampas kelapa Tepung ikan

P0 0 0 100

P1 50 20 30

P2 40 20 40

P3 30 20 50

P4 20 20 60

(15)

dilakukan selama 18 hari. Setelah proses pengomposan selesai, pupuk bokashi dijemur di tempat yang tidak terkena sinar matahari hingga agak kering lalu dilakukan analisis kadar air dan hara makro mencakup rasio C/N, karbon organik, total nitrogen, kandungan fosfor dan kalium yang dapat dipertukarkan. Diagram alir pembuatan pupuk organik bokhasi disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram alir pembuatan pupuk organik bokashi

3.3.3 Aplikasi pupuk organik bokashi pada tanaman kangkung darat (I. reptana) Pupuk yang dihasilkan kemudian diaplikasikan pada tanaman kangkung darat (I. reptana). Tanaman kangkung darat (I. reptana) darat ditanam pada polybag berukuran 35 x 35 cm dan diisi dengan tanah sebanyak 3 kg. Bibit

kangkung darat (I. reptana) yang digunakan adalah sebanyak 0,018 g/poyibag. Bibit sebanyak 0,018 g akan menghasilkan anakan kangkung darat (I. reptana) sebanyak 15-20 batang. Bibit tersebut terlebih dahulu disemai selama 2 minggu. Anakan tanaman kangkung darat (I. reptana) selanjutnya dipindahkan ke polybag (dihitung sebagai 0 MST (Minggu Setelah Tanam)) setelah 2 minggu,.

Dedak padi Tepung ikan Ampas kelapa

Pencampuran (Perlakuan P0,P1,P2, P3,P4)

Penambahan larutan EM

Pengomposan (18 hari) Pengukuran pH dan suhu (setiap hari)

Penjemuran

Pupuk organik bokashi

Analisis: - C-organik - N-total - rasio C/N - P2O5

(16)

Pemupukan dilakukan pada saat penanaman di polybag sebelum anakan kangkung ditanam. Tanaman kangkung darat (I. reptana) kemudian dipanen saat berumur 4 MST (Susila 2006).

Perlakuan aplikasi pupuk organik bokashi pada tanaman kangkung darat (I. reptana) dapat dilihat pada Tabel 3. Aplikasi ini pada setiap perlakuan terdiri

dari 5 kali ulangan sehingga didapatkan 35 unit percobaan. Pengamatan terhadap tanaman kangkung darat (I. reptana) setiap minggu selama 4minggu, berdasarkan umur panen tanaman kangkung darat (I. reptana) yaitu 25-30 hari (4MST) (Susila 2006). Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah cabang dan jumlah daun. Perlakuan dalam penanaman disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Aplikasi pupuk organik bokashi pada tanaman kangkung darat

Kode Perlakuan Dosis/Polybag

KN

Pupuk Perlakuan P0 (Tepung ikan (100%)) Pupuk Perlakuan P1 (Dedak padi (50%), ampas kelapa (20%), tepung ikan (30%)) Pupuk Perlakuan P2 (Dedak padi (40%), ampas kelapa (20%), tepung ikan (40%)) Pupuk Perlakuan P3 (Dedak padi (30%), ampas kelapa (20%), tepung ikan (50%)) Pupuk Perlakuan P4 (Dedak padi (20%), ampas kelapa (20%), tepung ikan (60%)) Kontrol positif jumlah daun dan bobot tanaman kangkung darat (I. reptana).

3.4.1 Analisis kadar air (BSN 1992)

(17)

selama 1 jam. Botol timbang tersebut kemudian diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Sampel seberat 1-2 g ditimbang setelah terlebih dahulu digerus. Botol timbang yang telah diisi sampel dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 102-105°C selama 5-6 jam. Botol timbang kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin (30 menit) kemudian ditimbang dan ulangi prosedur ini hingga memperoleh bobot yang tetap.

Perhitungan kadar air dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:

Keterangan: A = Berat botol timbang kosong (g)

B = Berat botol timbang yang diisi dengan sampel (g) C = Berat botol timbang dengan sampel yang sudah dikeringkan (g)

3.4.2 Analisis kadar abu (BSN 1992)

Prinsip analisis kadar abu yaitu untuk mengetahui jumlah abu yang terdapat pada suatu bahan terkait dengan mineral dari bahan yang dianalisis. Cawan porselen dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven bersuhu 105°C selama +30 menit. Cawan porselen kemudian dimasukkan ke dalam desikator (30 menit) dan kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 2-3 g ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam cawan porselen. Cawan porselen selanjutnya dibakar di atas kompor listrik sampai tidak berasap dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 550°C hingga mencapai pengabuan sempurna. Cawan dimasukkan di dalam desikator dibiarkan sampai dingin dan kemudian ditimbang.

Perhitungan kadar abu dapat dilakukan menggunakan rumus:

Keterangan: A = Berat cawan kosong (g)

B = Berat cawan dengan sampel (g)

(18)

3.4.3 Analisis kadar protein (BSN 1992)

Prinsip dari analisis kadar protein yaitu untuk mengetahui kandungan protein kasar (crude protein) pada suatu bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terbagi atas tiga tahapan, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi.

1. Tahap destruksi

Sampel ditimbang sebanyak 0,5 g. Sampel lalu dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 mL. Tambahkan 2 g selenium dan 25 mL H2SO4 ke dalam

tabung tersebut. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410°C ditambah 10 mL air. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi jernih.

2. Tahap destilasi

Larutan yang telah jernih didinginkan dan masukkan ke dalam labu ukur 100 mL. Larutan diencerkan dengan akuades, tepatkan hingga tanda garis. Pipet 5 mL larutan dan masukkan ke dalam alat penyuling, tambahkan 5 mL NaOH 30% dan beberapa tetes indikator PP lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlemeyer 125 mL yang berisi 10 mL asam borat (H3BO3) 2% yang

mengandung indikator bromcherosol green 0,1% dan methyl red 0,1% dengan perbanding 2:1.

3. Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,01 N sampai warna larutan pada erlemeyer berubah warna menjadi merah muda. Volume titrasi dibaca dan dicatat.

Perhitungan kadar protein dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:

Keterangan : W = Bobot sampel

V1 = Volume HCl 0,01 N yang dipergunakan penitaran

sampel

V2 = Volume HCl yang dipergunakan penitaran blanko

N = Normalitas HCl fp = Faktor pengenceran

(19)

3.4.4 Analisis kadar lemak (BSN 1992)

Sampel sebanyak 1-2 g (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan

dimasukkan ke dalam selongsong lemak, lalu dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan

tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet lalu dipanaskan dengan menggunakan pemanas listrik selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (Ws).

Perhitungan kadar lemak dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:

Keterangan: W1 = Berat sampel (g)

W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (g)

W3 = Berat lebu lemak dengan lemak (g)

3.4.5 Pengukuran suhu

Suhu selama proses pengomposan diukur dan dicatat setiap hari pada pagi hari. Pengukuran suhu dilakukan menggunakan alat ukur termometer ruang yang ditancapkan pada pupuk di beberapa titik.

3.4.6 Pengukuran pH

Nilai pH selama proses pengomposan diukur dan dicatat setiap hari pada pagi hari. Analisis derajat keasaman (pH) dilakukan dengan menggunakan pH tester yang ditancapkan pada pupuk di beberapa titik.

3.4.7 Karbon organik (AOAC 2007)

Pengukuran karbon organik menggunakan metode pengoksidasian dengan kromat dan asam sulfat. Sampel sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL. Kemudian ditambahkan 20 mL K2Cr2O7 2 N dan 15 mL H2SO4 pekat,

(20)

(digoyang setiap 15 menit) sampai semua sampel melarut. Sampel yang sudah larut diencerkan dengan akuades hingga tanda tera. Larutan ini kemudian dipipet sebanyak 10 mL ke dalam erlemeyer dan tambahkan indicator FeSO4 0,2 N

sebanyak 20 mL, encerkan dengan air. Selanjutnya dititrasi dengan larutan KMnO4 0,1 N.

Perhitungan C organik dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:

Keterangan : a = ml KMnO4 untuk sampel

b = ml KMnO4 untuk blanko

N = Normalitas KMnO4

fp = Faktor pengenceran

W = Berat sampel (mg) 3.4.8 Nitrogen total (BSN 1992)

Prinsip dari analisis kadar nitrogen yaitu untuk mengetahui kandungan nitrogen pada suatu bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis nitrogen total terbagi atas tiga tahapan, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi.

1. Tahap destruksi

Sampel ditimbang sebanyak 0,5 g. Sampel dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 mL. Tambahkan 2 g selenium dan 25 mL H2SO4 ke dalam tabung

tersebut. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 °C ditambah 10 mL air. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi jernih.

2. Tahap destilasi

Larutan yang telah jernih didinginkan dan masukkan ke dalam labu ukur 100 mL. Larutan diencerkan dengan akuades, tepatkan hingga tanda garis. Pipet 5 mL larutan dan masukkan ke dalam alat penyuling, tambahkan 5 ml NaOH 30% dan beberapa tetes indikator PP lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlemeyer 125 mL yang berisi 10 mL asam borat (H3BO3) 2% yang

(21)

3. Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,01 N sampai warna larutan pada erlemeyer berubah warna menjadi merah muda. Volume titrasi dibaca dan dicatat.

Perhitungan nitrogen total dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:

Keterangan : W = Bobot sampel

V1 = Volume HCl 0,01 N yang dipergunakan penitaran

sampel

V2 = Volume HCl yang dipergunakan penitaran blanko

N = Normalitas HCl fp = Faktor pengenceran

3.4.9 Total fosfor (AOAC 2007)

Fosfor dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer. Sampel yang berbentuk padat harus dilakukan dulu pengabuan basah. Sampel sebanyak 1 g ditambahkan 5 mL HNO3 didiamkan selama 1 jam pada suhu ruang di ruang

asam, kemudian dipanaskan diatas hot plate dengan temperatur rendah selama 4-6 jam (dalam ruang asam). Sampel dibiarkan semalam dalam keadaan tertutup. Sampel ditambahkan 0.4 mL H2SO4 , lalu dipanaskan di atas hot plate sampai

larutan berkurang (lebih pekat), ±1 jam. Kemudian ditambahkan 2-3 tetes larutan campuran HClO4: HNO3 (2:1). Sampel masih tetap di atas hot plate, karena

pemanasan terus dilanjutkan sampai ada perubahan warna dari coklat menjadi kuning tua sampai akhirnya berwarna kuning muda (±1 jam). Setelah ada perubahan warna, pemanasan masih dilanjutkan selama 10-15 menit. Pindahkan sampel, dinginkan dan tambahkan 2 mL aquades dan 0.6 mL HCl. Sampel dipanaskan kembali agar larut (± 15 menit) kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL. Apabila ada endapan disaring dengan glass wool.

Analisis kandungan fosfor dilakukan menggunakan spektrofotometer, namun sebelumnya dilakukan preparasi sampel dengan faktor pengenceran yang dibutuhkan. Sampel dipipet 0,5 mL dari hasil pengabuan basah, ditambah aquades hingga 3 mL dan Cl3La.7H2O 2 mL lalu dikocok. Kemudian sampel diukur

(22)

Perhitungan kandungan P dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:

Keterangan : fp = Faktor pengenceran

W = Bobot sampel (g) 3.4.10 Total kalium (AOAC 2007)

Kalium dianalisis menggunakan AAS. Sampel yang berbentuk padat harus dilakukan pengabuan basah terlebih dahulu. Sampel sebanyak 1 g ditambahkan 5 mL HNO3 didiamkan selama 1 jam pada suhu ruang di ruang asam, kemudian

dipanaskan diatas hot plate dengan temperatur rendah selama 4-6 jam (dalam ruang asam). Sampel dibiarkan semalam dalam keadaan tertutup. Sampel ditambahkan 0.4 mL H2SO4 , lalu dipanaskan diatas hot plate sampai larutan

berkurang (lebih pekat), ±1 jam. Kemudian ditambahkan 2-3 tetes larutan campuran HClO4: HNO3 (2:1). Sampel masih tetap diatas hot plate, karena

pemanasan terus dilanjutkan sampai ada perubahan warna dari coklat menjadi kuning tua sampai akhirnya berwarna kuning muda (± 1 jam). Setelah ada perubahan warna, pemanasan masih dilanjutkan selama 10-15 menit. Pindahkan sampel, dinginkan dan tambahkan 2 mL aquades dan 0.6 mL HCl. Sampel dipanaskan kembali agar larut (±15 menit) kemudian masukkan kedalam labu takar 100 mL. Apabila ada endapan disaring dengan glass wool.

Analisis kandungan kalium dilakukan menggunakan AAS, namun sebelumnya dilakukan preparasi sampel dengan faktor pengenceran sesuai dengan yang dibutuhkan. Sampel sebanyak 0,5 mL ditambah aquades hingga 5 mL dan (Cl3La.7H2O) 0,05 ml lalu divorteks. Kemudian sampel diukur dengan

menggunakan AAS.

Perhitungan kandungan K dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:

Keterangan : fp = Faktor pengenceran

(23)

3.4.11 Tinggi tanaman kangkung darat (I. reptana)

Pengukuran dan pengamatan tinggi kangkung darat dilakukan setiap 1 minggu selama 4 minggu. Tinggi tanaman diukur mulai dari pangkal batang sampai titik tumbuh dengan menggunakan penggaris. Untuk laju pertambahan tinggi tanaman didapat dari perhitungan berikut:

3.4.12 Jumlah daun tanaman kangkung darat (I. reptana)

Pengukuran dan pengamatan jumlah daun tanaman kangkung darat dilakukan setiap 1 minggu selama 3 minggu. Jumlah daun dihitung berdasarkan jumlah daun yang telah berkembang sempurna.

3.4.13 Bobot basah tanaman kangkung darat (I. reptana)

Penimbangan bobot basah tanaman kangkung darat dilaksanakan setelah tanaman dipanen. Penimbangan bobot basah dilakukan dengan menimbang kangkung yang telah dipanen dan dibersihkan dari tanah dengan menggunakan timbangan digital sehingga didapat bobot basahnya.

3.5 Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan satu faktor yaitu komposisi bahan baku pembuatan pupuk organik bokashi. Dosis bahan baku yang digunakan terdiri atas P0, P1, P2, P3, dan P4. Penelitian ini

digunakan juga kontrol positif menggunakan campuran pupuk urea, SP 36 dan KCl dan kontrol negatif yaitu tanpa pemupukan. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 5 kali sehingga diperoleh 35 satuan percobaan. Satu satuan percobaan berupa tanaman yang ditanam di polybag. Semua data pengamatan dianalisis dengan analisis sidik ragam. Model rancangan percobaan yang digunakan adalah :

(24)

Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan dari perlakuan ke-i pada ulangan ke-j

µ = Nilai rataan umum

αi = Pengaruh perlakuan ke-i terhadap respon

εij = Pengaruh acak yang timbul pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut:

H0 : αi= α( perlakuan tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati)

H1 : αi≠ α(paling sedikit ada sepasang perlakuan dimana αi≠α).

(25)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Bahan Baku

Karekteristik bahan baku merupakan salah satu informasi yang sangat diperlukan pada awal suatu proses pengolahan, termasuk pembuatan pupuk. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan pupuk organik bokashi adalah tepung ikan, dedak padi dan ampas kelapa. Hasil analisis proksimat dan hara makro pada bahan baku disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil analisis proksimat dan hara makro bahan baku pupuk bokashi

Parameter Bahan baku

Tepung ikan Dedak padi Ampas kelapa

Proksimat

Air (%) 7.60±0,04 10.51±0,09 70.52±0,36

Abu (%) 22.34±0,28 11.16±0,64 0.24±0,01

Lemak (%) 16.69±0,02 12.39±0,21 3.75±0,19 Protein (%) 55,62±0,06 29,51±0,56 5,85±0,04

Hara makro

C-organik (%) 9,36±0,20 11,68±0,11 7,85±0,14 Total N (%) 9,63±0,01 5,28±0,10 0,93±0,01

Rasio C/N 0,97 2,21 8,44

Total K (%) 0,30 ±0,00 0,54±0,01 0,63±0,01 Total P (%) 3,26±0,08 0,53±0,00 0,03±0,00

Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa tepung ikan yang dihasilkan memiliki kadar air sebesar 7,60%, kadar abu sebesar 22,34%, kadar lemak sebesar 16,69%, kadar protein sebesar 55,52%, C-organik sebesar 9,36%, Total N sebesar 9,63%, nilai rasio C/N sebesar 0,97, total K sebesar 0,30% dan total P sebesar 3,26%. Total nitrogen dan total fosfor tepung ikan yang dihasilkan cukup tinggi yaitu 9,63% dan 3,26% yang menunjukkan bahwa tepung ikan yang dihasilkan cukup potensial sebagai sumber nitrogen dan fosfor untuk pupuk organik bokashi. Kandungan nitrogen yang dianjurkan untuk bahan baku pupuk organik yaitu > 3%, sedangkan untuk fosfor yaitu > 0,5% (Sutanto 2002).

(26)

pengurai bahan organik yang terhambat oleh tingginya kandungan lemak, terutama dari golongan Actinomycetes. Untuk bahan baku yang memiliki kadar lemak tinggi, umumnya dilakukan proses pengeluaran minyak melalui pengepresan sebelum bahan baku digunakan atau dikomposkan (Sutanto 2002).

Dedak padi memiliki kadar C-organik paling tinggi yaitu 11,68% yang potensial digunakan sebagai sumber karbon pada proses pengomposan. Dedak dan sekam padi merupakan bahan baku yang umum digunakan sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik karena memiliki kandungan karbon yang tinggi dan rasio C/N yang baik. Bahan ini umumnya dikombinasikan dengan bahan lain seperti kotoran sapi atau limbah sayuran sebagai sumber nitrogen sehingga dapat dihasilkan pupuk yang mampu memenuhi kebutuhan hara makro dan mikro untuk tanaman (Mustari 2004).

4.2 Pengomposan

Pupuk organik bokashi diproduksi melalui proses pengomposan bahan baku (tepung ikan, dedak padi, ampas kelapa) dengan bioaktifator EM. Proses pengomposan berlangsung selama 18 hari dengan dilakukan pengamatan beberapa parameter untuk menentukan kematangan pupuk. Parameter yang diamati selama proses pengomposan adalah pH dan suhu pupuk yang diamati setiap hari selama proses pengomposan berlangsung.

4.2.1 Perubahan pH

Nilai pH merupakan salah satu parameter yang menentukan kualitas akhir pupuk organik. Pupuk yang baik memiliki pH akhir berkisar antara 6,7-7,0. Perubahan pH selama proses pengomposan dapat menjadi suatu parameter aktivitas mikroba dalam mendekomposisi bahan-bahan organik yang terdapat dalam bahan baku pembuatan pupuk organik. Perubahan pH pupuk selama proses pengomposan disajikan pada Gambar 3.

(27)

proses pengomposan akan turun pada awal proses pengomposan karena aktivitas bakteri yang menghasilkan asam. Adanya mikroorganisme lain dari bahan yang didekomposisikan, yaitu bakteri perombak protein, maka pH akan kembali naik setelah beberapa hari dan pH akan berada pada kondisi netral pada akhir proses pengomposan. Kenaikan pH juga dipicu oleh perombakan senyawa nitrogen kompleks menjadi basa nitrogen oleh mikrob.

Gambar 3 Grafik perubahan pH pupuk selama proses pengomposan

Perubahan pH terkecil dicapai oleh perlakuan P0, sedangkan perubahan pH

terbesar dicapai oleh perlakuan P1. Dapat dilihat pada Gambar 3 bahwa semakin

besar komposisi tepung ikan yang digunakan pada pembuatan pupuk, maka perubahan pH semakin kecil. Perbedaan perubahan pH pada tiap perlakuan disebabkan oleh perbedaan ketersediaan karbon karena perbedaan komposisi sumber karbon yang ditambahkan sehingga akan mempengaruhi aktivitas mikroba selama proses pengomposan. Menurut Goyal et al. (2005), senyawa karbon pada proses pengomposan digunakan oleh mikroba pengompos sebagai sumber energi atau bahan bakar untuk merombak senyawa organik komplek menjadi bentuk yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Pada perlakuan P0, ketersediaan karbon

hanya terbatas dari tepung ikan yang memiliki kandungan C-organik yang rendah sehingga aktivitas mikroba pengurai tidak optimal, sedangkan perlakuan P1, P2, P3

dan P4 yang memiliki ketersediaan karbon lebih banyak karena adanya kontribusi

dedak padi sebagai sumber karbon tambahan sehingga memungkinkan mikroba

(28)

untuk memiliki aktivitas yang lebih optimal, terutama untuk perlakuan P1 yang

memiliki komposisi dedak padi lebih banyak yaitu 50%.

Aktivitas mikroba selama proses pengomposan juga dipengaruhi oleh kadar lemak dari tepung ikan yang cukup tinggi. Perlakuan P0 memiliki aktivitas

yang paling rendah yang terlihat dari perubahan pH yang kecil dikarenakan komposisi tepung ikan yang paling besar yaitu 100% sehingga perubahan pH selama proses pengomposan lebih kecil dibandingkan perlakuan lainnya, sedangkan perlakuan P1 memiliki aktivitas yang paling tinggi dikarenakan

komposisi tepung ikan yang paling rendah yaitu 30%. Kandungan lemak yang terlalu tinggi pada bahan baku pupuk dapat memperlambat proses pengomposan. Hal ini disebabkan aktivitas mikroba pengurai bahan organik yang terhambat oleh tingginya kandungan lemak, terutama dari golongan bakteri (Sutanto 2002). 4.2.2 Perubahan suhu

Suhu merupakan salah satu parameter penting dalam proses pengomposan. Selama proses pengomposan, panas dihasilkan dari aktifitas mikroba saat proses pencernaan bahan organik. Perubahan suhu pupuk bokashi selama proses pengomposan disajikan pada Gambar 4.

(29)

Gambar 4 bahwa semakin besar komposisi tepung ikan yang digunakan pada pembuatan pupuk, maka perubahan suhu yang dihasilkan semakin besar. Perbedaan pola perubahan suhu pada tiap perlakuan disebabkan oleh perbedaan ketersediaan karbon yang akan mempengaruhi aktivitas mikroba selama proses pengomposan. Menurut Goyal et al. (2005), senyawa karbon pada proses pengomposan digunakan oleh mikroba pengompos sebagai sumber energi atau bahan bakar untuk merombak senyawa organik komplek menjadi bentuk yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Selama proses perombakan, mikroba akan melepaskan energi panas yang menyebabkan terjadinya kenaikan suhu. Pada perlakuan P0, ketersediaan karbon hanya terbatas dari tepung ikan yang memiliki

kandungan C-organik yang rendah sehingga aktivitas mikroba pengurai tidak optimal, sedangkan perlakuan P1, P2, P3 dan P4 yang memiliki ketersediaan karbon

lebih banyak karena adanya kontribusi dedak padi sebagai sumber karbon tambahan sehingga memungkinkan mikroba untuk memiliki aktivitas yang lebih optimal.

Aktivitas mikrob selama proses pengomposan juga dipengaruhi oleh kadar lemak dari tepung ikan yang cukup tinggi, sama halnya pada perubahan pH. Perlakuan P0 memiliki aktivitas yang paling rendah dikarenakan komposisi tepung

ikan yang paling besar yaitu 100% sehingga perubahan suhu selama proses pengomposan lebih kecil dibandingkan perlakuan lainnya, sedangkan perlakuan P1 memiliki aktivitas yang paling tinggi dikarenakan komposisi tepung ikan yang

paling rendah yaitu 30%. Kandungan lemak yang terlalu tinggi pada bahan baku pupuk dapat memperlambat proses pengomposan. Hal ini disebabkan aktivitas mikroba pengurai bahan organik yang terhambat oleh tingginya kandungan lemak, terutama dari golongan bakteri (Sutanto 2002).

(30)

pada bahan. Penurunan suhu pada hari ke-5 hingga hari ke-10 disebabkan oleh kandungan air yang menurun yang menyebabkan aktivitas mikroba pengurai menurun, meskipun masih terdapat bahan organik yang dapat diurai. Setelah penambahan kadar air pada hari ke-10, suhu kembali naik yang menandakan aktivitas mikroba kembali meningkat.

4.3 Kualitas Pupuk Bokashi

Kualitas pupuk merupakan salah satu faktor yang menentukan keefektifan penggunaan pupuk saat diaplikasikan ke tanaman. Kualitas pupuk mencakup kandungan hara makro dan mikro, kadar air, kandungan bahan organik, pH dan rasio C/N. Kualitas pupuk organik bokashi yang diujikan adalah hara makro yang mencakup kadar karbon organik, kadar nitrogen, rasio C/N, kadar fosfor dan kadar kalium.

4.3.1 Kadar karbon organik

Karbon organik merupakan salah satu komponen penting dalam proses metabolisme dan sintetis makhluk hidup. Unsur karbon dapat membentuk senyawa rantai karbon yang berperan dalam pembentukan senyawa organik. Pada tumbuhan, senyawa karbon organik berperan dalam pembentukan selulosa dan pembentukan jaringan-jaringan serat (Satya et al. 2010). Hasil analisis C-organik pada pupuk organik bokashi yang dihasilkan disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 menunjukkan kandungan C-organik pupuk P0, P1, P2, P3, dan P4

secara berurutan adalah 13,17%, 17,77%, 17,65%, 17,24% dan 16,21%. Hasil perhitungan kandungan C-organik pada pupuk organik bokashi yang dihasilkan menunjukkan bahwa kandungan C-organik tertinggi terdapat pada pupuk P1 yaitu

sebesar 17,77%, sedangkan kandungan C-organik terkecil terdapat pada pupuk P0

(31)

yang cukup jauh dengan perlakuan lainnya karena sumber karbon hanya terbatas dari tepung ikan yang memiliki nilai C-organik yang rendah, sedangkan perlakuan P1, P2, P3 dan P4 mendapat tambahan suplai karbon dari penambahan dedak padi

dan ampas kelapa yang memiliki kandungan C-organik yang lebih tinggi. Perlakuan P1 dengan komposisi tepung ikan yang digunakan paling kecil memiliki

kandungan C-organik yang paling tinggi karena kontribusi bahan baku lainnya lebih besar. Perbandingan komposisi bahan baku akan mempengaruhi kandungan unsur hara yang dihasilkan. Perbandingan komposisi bahan baku pupuk organik yang tepat serta penggunaan teknologi pengomposan yang baik akan menghasilkan pupuk yang memiiki kualitas yang baik dan mampu dimanfaatkan dengan mudah oleh tanaman (Suwahyono 2011).

Gambar 5 Kandungan C-organik pada pupuk organik bokashi P0 (100%

tepung ikan), P1 (30% tepung ikan), P2 (40% tepung ikan),

P3 (50% tepung ikan), dan P4 (60% tepung ikan)

Kandungan C-organik pada perlakuan P1, P2, P3 dan P4 tidak menunjukkan

perbedaan yang jauh, sedangkan komposisi yang digunakan berbeda. Hal ini disebabkan oleh aktivitas mikroba yang menggunakan karbon sebagai sumber energi selama proses pengomposan. Dalam kondisi anaerobik, karbon organik diubah menjadi karbondioksida, metana dan lain-lain (Jenie dan Rahayu 1993).

Berdasarkan hasil analisis, kualitas semua pupuk organik bokashi yang dihasilkan memiliki kandungan C-organik yang berkisar antara 13,17%-17,77%.

(32)

Berdasarkan nilai tersebut maka pupuk organik yang dihasilkan sudah memenuhi nilai kandungan C-organik menurut SNI pupuk organik 19-7030-2004 yaitu sebesar 9,80-32,00%.

4.3.2 Total nitrogen

Unsur nitrogen atau N merupakan unsur hara di dalam tanah yang sangat berperan bagi pertumbuhan tanaman. Hasil analisis total nitrogen pada pupuk organik bokashi yang dihasilkan disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Kandungan total nitrogen pada pupuk organik bokashi P0 (100%

tepung ikan, P1 (30% tepung ikan), P2 (40% tepung ikan),

P3 (50% tepung ikan), dan P4 (60% tepung ikan)

Hasil perhitungan kandungan total nitrogen pada pupuk organik bokashi yang dihasilkan menunjukkan bahwa kandungan total nitrogen tertinggi terdapat pada pupuk P0 yaitu sebesar 7,80%, sedangkan kandungan total nitrogen terkecil

terdapat pada pupuk P1 yaitu sebesar 3.23%. Perbedaan kandungan total nitrogen

pada setiap perlakuan disebabkan oleh perbedaan komposisi tepung ikan yang diberikan. Perlakuan P0 memiliki kandungan total nitrogen yang paling tinggi

karena perlakuan P0 dibentuk dari 100% tepung ikan, sedangkan perlakuan P1, P2,

P3 dan P4 terdiri dari kombinasi tepung ikan, dedak padi dan ampas kelapa dengan

konsentrasi yang berbeda. Semakin besar proporsi tepung ikan yang ditambahkan, maka kandungan total nitrogen yang dihasilkan semakin besar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Supadma dan Arthagama (2008) yang menyatakan bahwa semakin tinggi kandungan unsur nitrogen bahan baku yang ditambahkan, tingkat

(33)

dekomposisi akan semakin mudah sehingga akan menghasilkan nilai total nitrogen yang tinggi pada kompos yang dihasilkan. Unsur nitrogen sangat berperan dalam pembentukan senyawa protein dan klorofil. Kekurangan unsur nitrogen dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat dan menyebabkan daun menjadi menguning (Yuliarti 2009).

Berdasarkan hasil analisis, kualitas semua pupuk organik bokashi yang dihasilkan memiliki kandungan total nitrogen yang berkisar antara 3,23%-7,80%. Berdasarkan nilai tersebut maka pupuk organik yang dihasilkan sudah memenuhi nilai kandungan total N menurut SNI pupuk organik 19-7030-2004 yaitu sebesar > 0,40%.

4.3.3 Rasio C/N

Nilai perbandingan C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Hasil perhitungan rasio C/N pada pupuk organik bokashi yang dihasilkan disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Nilai rasio C/N pada pupuk organik bokashi P0 (100% tepung

ikan), P1 (30% tepung ikan), P2 (40% tepung ikan),

P3 (50% tepung ikan), dan P4 (60% tepung ikan)

Gambar 7 menunjukkan nilai rasio C/N pupuk P0, P1, P2, P3, dan P4 secara

berurutan adalah 1,69, 5,50, 5,24, 4,22 dan 2,84. Nilai rasio C/N pada pupuk organik bokashi yang dihasilkan menunjukkan bahwa nilai rasio C/N tertinggi

(34)

terdapat pada pupuk P1 yaitu sebesar 5,50, sedangkan nilai rasio C/N terkecil

terdapat pada pupuk P0 yaitu sebesar 1,69. Secara umum, nilai rasio C/N yang

dihasilkan dari seluruh perlakuan tergolong kecil karena nilai rasio C/N yang dihasilkan < 10. Nilai rasio C/N yang dihasilkan seluruh perlakuan berkisar antara 1,69-5,50. Nilai tersebut belum memenuhi standar rasio C/N yang ditetapkan dalam SNI pupuk organik 19-7030-2004 yaitu sebesar 10 - 20.

. Nilai C/N merupakan perbandingan antara unsur karbon (C) dan unsur nitrogen (N). Pengomposan tergantung pada aktivitas mikroorganisme, sehingga dibutuhkan sumber karbon untuk menyediakan energi dan nitrogen sebagai zat pembangun sel mikroorganisme (Sembiring 2007). Nilai rasio C/N yang rendah dari setiap perlakuan disebabkan oleh penggunaan bahan baku yang memiliki kandungan nitrogen yang tinggi. Jika nilai rasio C/N terlalu rendah karena bahan baku yang kaya nitrogen, maka karbon akan menjadi nutrien pembatas atau aktivitas penyerapan hara akan dibatasi oleh kadar karbon (Graves et al. 2000). Selama proses pengomposan, terjadi penurunan nilai rasio C/N karena penggunaan karbon oleh mikroba pengurai sebagai sumber energi untuk mendekomposisi bahan organik. Jika rasio C/N terlalu rendah (kurang dari 30) kelebihan nitrogen (N) yang tidak dipakai oleh mikroorganisme tidak dapat diasimilasi dan akan hilang melaui volatisasi sebagai ammonia atau terdenitrifikasi (Ndegwa dan Thomson 2000). Gas ammonia yang terbentuk dapat menjadi racun bagi tanaman sehingga proses pelepasan ammonia diperlukan untuk mengurangi resiko kematian pada tanaman (Graves et al. 2000).

(35)

4.3.4 Total kalium

Kalium merupakan unsur hara makro yang sangat dibutuhkan tanaman untuk menstimulasi pembentukan bunga, daun dan buah. Hasil analisis total kalium pada pupuk organik bokashi yang dihasilkan disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Kandungan total kalium pada pupuk organik bokashi P0 (100%

tepung ikan), P1 (30% tepung ikan), P2 (40% tepung ikan),

P3 (50% tepung ikan), dan P4 (60% tepung ikan)

Hasil perhitungan kandungan total kalium pada pupuk organik bokashi yang dihasilkan menunjukkan bahwa kandungan total kalium tertinggi terdapat pada pupuk P1 yaitu sebesar 1,48%, sedangkan kandungan total kalium terkecil terdapat pada pupuk P0 yaitu sebesar 0,92%. Perbedaan kandungan total kalium pada setiap perlakuan disebabkan oleh perbedaan komposisi bahan baku yang ditambahkan pada pupuk. Perlakuan P0 memiliki kandungan total kalium yang

paling kecil dikarenakan suplai kalium hanya berasal dari tepung ikan yang memiliki kandungan kalium rendah, sedangkan perlakuan lainnya (P1, P2, P3, P4)

mendapat suplai kalium dari bahan baku lain (dedak padi dan ampas kelapa) yang memiliki kandungan kalium yang lebih besar dari tepung ikan. Tepung ikan sebagai bahan utama memiliki kandungan kalium yang relatif kecil yaitu 0,3% (dedak padi = 0,54%, ampas kelapa = 0,63%). Semakin besar proporsi tepung ikan dalam komposisi pupuk, maka akan memperkecil proporsi bahan baku lainnya sehingga kandungan kalium akan semakin kecil. Perbandingan komposisi bahan baku akan mempengaruhi kandungan unsur hara yang dihasilkan.

(36)

Perbandingan komposisi bahan baku pupuk organik yang tepat serta penggunaan teknologi pengomposan yang baik akan menghasilkan pupuk yang memiiki kualitas yang baik dan mampu dimanfaatkan dengan mudah oleh tanaman (Suwahyono 2011).

Kalium berfungsi dalam pembentukan protein dan karbohidrat bagi tanaman. Selain itu, unsur ini juga beperan penting dalam pembentukan antibodi tanaman untuk melawan penyakit. Ciri fisik tanaman yang kekurangan kalium yaitu daun tampak keriting dan mengkilap. Lama kelamaan, daun akan menguning di bagian pucuk dan pinggirnya, bagian antara jari-jari daun juga menguning, sedangkan jari-jari tetap hijau. Ciri fisik lain akibat kekurangan unsur ini adalah tangkai daun menjadi lemah, dan mudah terkulai serta biji keriput (Muhammad 2007). Tanaman menyerap kalium dalam bentuk ion K+. Kalium di dalam tanah ada dalam berbagai bentuk, yang potensi penyerapannya untuk setiap tanaman berbeda-beda. Ion-ion K+ di dalam air tanah dan ion-ion K+ yang di adsorpsi, dapat langsung diserap. Kalium pada tanaman berfungsi sebagai pembentuk dan pengangkut karbohidrat, sebagai katalisator dalam pembentukan protein pada tanaman, mengatur kegiatan berbagai unsur mineral, menetralkan reaksi dalam sel terutama dari asam organik, menaikan pertumbuhan jaringan meristem, mengatur pergerakan stomata, memperkuat tegaknya batang tanaman sehingga tanaman tidak mudah roboh, mengaktifkan enzim, meningkatkan kadar karbohidrat dan gula dalam buah, membuat biji tanaman menjadi lebih berisi dan padat, meningkatkan kualitas buah karena bentuk, kadar, dan warna yang lebih baik, membuat tanaman menjadi lebih tahan hama dan penyakit, dan membantu perkembangan akar tanaman (Syakir dan Gusmaini 2012).

(37)

4.3.5 Total Fosfor

Unsur fosfor merupakan zat yang penting, tetapi selalu berada dalam keadaan kurang di dalam tanah. Hasil analisis total fosfor pada pupuk organik bokashi yang dihasilkan disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 Kandungan total fosfor pada pupuk organik bokashi P0 (100%

tepung ikan), P1 (30% tepung ikan), P2 (40% tepung ikan),

P3 (50% tepung ikan), dan P4 (60% tepung ikan)

Hasil perhitungan kandungan total fosfor pada pupuk organik bokashi yang dihasilkan menunjukkan bahwa kandungan total fosfor tertinggi terdapat pada pupuk P0 yaitu sebesar 2,90%, sedangkan kandungan total fosfor terkecil

terdapat pada pupuk P1 yaitu sebesar 1,46%. Perbedaan kandungan total fosfor

pada setiap perlakuan disebabkan oleh perbedaan komposisi tepung ikan yang diberikan. Perlakuan P0 memiliki kandungan total fosfor yang paling tinggi karena

perlakuan P0 dibentuk dari 100% tepung ikan, sedangkan perlakuan P1, P2, P3 dan

P4 terdiri dari kombinasi tepung ikan, dedak padi dan ampas kelapa dengan

konsentrasi yang berbeda. Data total fosfor pada Gambar 9 menunjukkan bahwa semakin besar proporsi tepung ikan yang ditambahkan, maka kandungan total P yang dihasilkan semakin besar. Kandungan total fosfor memiliki korelasi dengan kandungan total nitrogen. Menurut Hidayati et al. (2008), semakin besar nitrogen yang dikandung maka multiplikasi mikroorganisme yang merombak fosfor akan meningkat, sehingga kandungan fosfor dalam bahan juga meningkat, demikian

(38)

juga kandungan fosfor dalam pupuk seiring dengan kandungan fosfor dalam bahan. Unsur fosfor sangat penting sebagai sumber energi. Oleh karena itu, kekurangan fosfor dapat menghambat pertumbuhan dan reaksi-reaksi metabolism tanaman. Sementara itu, kandungan fosfor pada tanaman membantu dalam pertumbuhan bunga, buah, dan biji, serta mempercepat pematangan buah (Subaedah 2007).

Berdasarkan hasil analisis, kualitas semua pupuk organik bokashi memiliki kandungan total fosfor antara 1,46% - 2,90%. Berdasarkan nilai tersebut maka pupuk organik yang dihasilkan sudah memenuhi nilai kandungan total fosfor menurut SNI pupuk organik 19-7030-2004 yaitu sebesar > 0,20%.

4.4 Aplikasi Pupuk Organik Bokashi

Pengaruh aplikasi pupuk organik bokashi yang dihasilkan pada tanaman kangkung darat (I. reptana) diamati yang meliputi parameter laju pertumbuhan tinggi, tinggi panen, jumlah daun dan bobot basah panen.

4.4.1 Laju pertumbuhan tinggi kangkung darat (I. reptana)

Laju pertumbuhan tinggi tanaman merupakan salah satu indikator keberhasilan pupuk untuk mensuplai unsur hara bagi tanaman. Laju pertumbuhan tinggi tanaman dihitung dari pertambahan tinggi tanaman setiap minggunya. Laju pertumbuhan tinggi kangkung darat (I. reptana) disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10 menunjukkan pemberian pupuk bokashi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap laju pertumbuhan tinggi tanaman kangkung darat. Perlakuan terbaik diperoleh perlakuan P1 dengan laju pertumbuhan tinggi tertinggi

dari perlakuan pupuk bokashi yaitu sebesar 9,50 cm/minggu, sedangkan laju pertumbuhan tinggi terendah terdapat pada perlakuan P0 yaitu sebasar

7,75 cm/minggu. Hasil uji Duncan menunjukkan perlakuan pupuk bokashi P1 dan

P2 berbeda nyata dengan perlakuakn pupuk bokashi lainnya (P0, P3, P4),

sedangkan perlakuan P1 dan P2 tidak berbeda nyata serta perlakuan P3 dan P4 tidak

(39)

yaitu 5,50 dan 5,24, sedangkan perlakuan P0 memiliki nilai rasio C/N terendah

yaitu 1,69. Perlakuan P1 dan P2 memiliki nilai rasio C/N yang paling mendekati

rasio C/N tanah yaitu 10 yang merupakan nilai rasio C/N yang paling optimal untuk penyerapan unsur hara dan pertumbuhan tanaman. Nilai rasio C/N menandakan tingkat kematangan pupuk. Jika nilai rasio C/N terlalu rendah karena bahan baku yang kaya nitrogen, maka karbon akan menjadi nutrien pembatas atau aktivitas penyerapan hara akan akan terhambat dan dibatasi oleh kadar karbon. Rasio C/N yang terlalu rendah juga dapat menghambat penyerapan unsur hara lainnya sehingga dapat menghambat pertumbuhan tanaman (Graves et al. 2000). Pemberian pupuk yang belum matang dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi terhambat, bahkan dapat menyebabkan tanaman menjadi mati karena mikrob masih memiliki aktivitas untuk memecah bahan organik yang ada (Crawford 2003).

Gambar 10 Pengaruh perlakuan KN (tanpa pupuk), pupuk P0 (100%

tepung ikan), pupuk P1 (30% tepung ikan), pupuk P2

(40% tepung ikan), pupuk P3 (50% tepung ikan), pupuk P4

(60% tepung ikan), dan KP (pupuk kimia) terhadap laju

pertumbuhan tinggi kangkung darat (I. reptana)

(40)

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang berbeda nyata antara perlakuan terbaik pupuk bokashi yaitu perlakuan P1 dengan

KN (tanpa pupuk) terhadap laju pertumbuhan tinggi tanaman kangkung, namun

tidak berbeda nyata dengan KP (pupuk kimia) selama masa tanam. Hal ini

disebabkan perlakuan pemupukan mampu memberikan suplai unsur hara yang cukup untuk pertumbuhan tanaman. Unsur hara pada perlakuan KN diduga tidak mampu mencukupi kebutuhan unsur hara pada akhir masa tanam sehingga laju pertumbuhan tinggi menjadi menurun pada akhir masa tanam karena hanya bergantung pada unsur hara dari tanah. Asupan unsur hara yang cukup akan menopang pertumbuhan tanaman seraca optimal, namun apabila asupan unsur hara tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman, maka pertumbuhan akan terhambat bahkan mati karena kekurangan makanan (Ruhnayat 2007).

4.4.2 Tinggi panen tanaman tanaman kangkung darat (I. reptana)

Laju pertumbuhan tinggi tanaman merupakan salah satu indikator keberhasilan pupuk untuk mensuplai unsur hara bagi tanaman. Tinggi panen tanaman tanaman kangkung darat (I. reptana) disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11 menunjukkan pemberian pupuk bokashi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tinggi panen tanaman kangkung darat. Perlakuan terbaik diperoleh perlakuan P1 dengan tinggi panen tertinggi dari perlakuan pupuk

bokashi yaitu sebesar 38,00 cm, sedangkan bobot basah terendah terdapat pada perlakuan P0 yaitu sebesar 31 cm. Hasil uji Duncan menunjukkan perlakuan

pupuk bokashi P1 dan P2 berbeda nyata dengan perlakuakn pupuk bokashi lainnya

(P0, P3, P4), sedangkan perlakuan P1 dan P2 tidak berbeda nyata serta perlakuan P3

dan P4 tidak berbeda nyata. Hasil uji lanjut Duncan pada parameter tinggi panen

tanaman kangkung darat (I. reptana) disajikan pada Lampiran 8b. Sama seperti pada laju pertumbuhan tinggi, perbedaan pada setiap perlakuan disebabkan oleh perbedaan nilai rasio C/N dari setiap pupuk bokashi yang dihasilkan. Perlakuan P1

dan P2 memiliki nilai rasio C/N paling tinggi yaitu 5,50 dan 5,24, sedangkan

perlakuan P0 memiliki nilai rasio C/N terendah yaitu 1,69. Perlakuan P1 dan P2

(41)

Jika nilai rasio C/N terlalu rendah karena bahan baku yang kaya nitrogen, maka karbon akan menjadi nutrien pembatas atau aktivitas penyerapan hara akan akan terhambat dan dibatasi oleh kadar karbon. Nilai rasio C/N yang terlalu rendah juga dapat menghambat penyerapan unsur hara lainnya sehingga dapat menghambat pertumbuhan tanaman (Graves et al. 2000). Pemberian pupuk yang belum matang dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi terhambat, bahkan dapat menyebabkan tanaman menjadi mati karena mikrob masih memiliki aktivitas untuk memecah bahan organik yang ada (Crawford 2003).

Gambar 11 Pengaruh perlakuan KN (tanpa pupuk), pupuk P0 (100%

tepung ikan), pupuk P1 (30% tepung ikan), pupuk P2

(40% tepung ikan), pupuk P3 (50% tepung ikan), pupuk P4

(60% tepung ikan), dan KP (pupuk kimia) terhadap tinggi

panen kangkung darat (I. reptana)

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang berbeda nyata antara perlakuan terbaik pupuk bokashi yaitu perlakuan P1 dengan

KN (tanpa pupuk) tehadap tinggi panen tanaman kangkung, namun tidak berbeda

nyata dengan KP (pupuk kimia). Hal ini disebabkan perlakuan pemupukan mampu

memberikan suplai unsur hara yang cukup untuk pertumbuhan tinggi tanaman. Unsur hara pada perlakuan KN diduga tidak mampu mencukupi kebutuhan unsur

(42)

pada akhir masa tanam karena hanya bergantung pada unsur hara dari tanah. Asupan unsur hara yang cukup akan menopang pertumbuhan tanaman seraca optimal, namun apabila asupan unsur hara tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman, maka pertumbuhan akan terhambat bahkan mati karena kekurangan makanan (Ruhnayat 2007).

4.4.3 Jumlah daun tanaman kangkung darat (I. reptana)

Pertambahan jumlah daun merurakan salah satu bentuk pertumbuhan yang diukur secara meristik (berdasarkan jumlah). Jumlah daun mengindikasikan pertumbuhan tanaman, semakin banyak jumlah daun yang dihasilkan maka pertumbuhan tanaman tersebut semakin baik. Jumlah daun tanaman kangkung darat (Ipomea reptana) disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Pengaruh perlakuan KN (tanpa pupuk), pupuk P0 (100%

tepung ikan), pupuk P1 (30% tepung ikan), pupuk P2

(40% tepung ikan), pupuk P3 (50% tepung ikan), pupuk P4

(60% tepung ikan), dan KP (pupuk kimia) terhadap jumlah

daun kangkung darat (I. reptana)

(43)

terbanyak pada perlakuan pupuk bokashi saat panen (4 MST) terdapat pada perlakuan P1 dan P2 yaitu sebanyak 14,80 daun, sedangkan jumlah daun terkecil

terdapat pada perlakuan P0 yaitu sebanyak 13,60 daun. Hasil uji lanjut Duncan

menunjukkan bahwa semua perlakuan pupuk bokashi tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap jumlah daun yang dihasilkan. Hal tersebut disebabkan pupuk bokashi yang dihasilkan mampu memberikan asupan kalium yang cukup untuk pertumbuhan jumlah daun tanaman kangkung darat. Semua perlakuan pupuk bokashi memiliki total K diatas standar yang telah ditetapkan pada SNI pupuk organik yaitu > 0,10% sehingga unsur kalium tidak menjadi faktor pembatas pertumbuhan tanaman kangkung. Kalium mampu meningkatkan perkembangan akar dan daun tanaman. Kalium juga berperan penting dalam proses pembukaan stomata yang dapat mempengaruhi laju fotosintesis tanaman (Syakir dan Gusmaini 2012).

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang berbeda nyata antara perlakuan pupuk bokashi (P0, P1, P2, P3, P4) terhadap KN

(tanpa pupuk) pada 3 MST dan 4 MST tehadap jumlah daun tanaman kangkung, namun tidak berbeda nyata dengan KP (pupuk kimia) selama masa tanam. . Hasil

uji lanjut Duncan pada parameter jumlah daun tanaman kangkung darat (I. reptana) disajikan pada Lampiran 8c. Hal ini disebabkan perlakuan pemupukan

mampu memberikan suplai unsur hara yang cukup untuk pertumbuhan daun. Unsur hara pada perlakuan KN yang hanya berasal dari tanah diduga tidak mampu

mencukupi kebutuhan unsur hara yang dibutuhkan tanaman kangkung darat hingga akhir masa tanam sehingga jumlah daun yang yang tumbuh menjadi sedikit, bahkan mulai gugur saat memasuki 4 MST karena hanya bergantung pada unsur hara yang terbatas dari tanah yang tidak diberi pupuk. Asupan unsur hara yang cukup akan menopang pertumbuhan tanaman seraca optimal, namun apabila asupan unsur hara tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman, maka pertumbuhan akan terhambat bahkan mati karena kekurangan makanan (Ruhnayat 2007).

(44)

didekat permukaan apeks tajuk. Pembelahan periklinal yang diikuti pertumbuhan sel menyebabkan adanya primodial daun sebagai titik inisiasi pertumbuhan daun muda. Sedangkan pembelahan antiklinal meningkatkan luas permukaan primodial tersebut. Pertambahan jumlah dan lebar daun disebabkan oleh meristem yang menghasilkan sejumlah sel baru (Kurniasari et al 2010).

4.4.4 Bobot basah panen tanaman kangkung darat (Ipomea reptana)

Bobot basah merupakan salah satu parameter yang dapat mewakili pertumbuhan tanaman. Semakin besar bobot tanaman berarti semakin banyak biomassa yang dihasilkan, dalam hal ini tentunya berkaitan dengan jumlah unsur

hara yang tersedia di tanah. Bobot basah panen tanaman kangkung darat (I. reptana) disajikan pada Gambar 13.

Gambar 13 Pengaruh perlakuan KN (tanpa pupuk), pupuk P0 (100%

tepung ikan), pupuk P1 (30% tepung ikan), pupuk P2

(40% tepung ikan), pupuk P3 (50% tepung ikan), pupuk P4

(60% tepung ikan), dan KP (pupuk kimia) terhadap bobot

basah panen kangkung darat (I. reptana)

Gambar 13 menunjukkan pemberian pupuk bokashi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap bobot basah panen tanaman kangkung darat. Perlakuan terbaik diperoleh perlakuan P1 dengan bobot basah panen tertinggi dari

perlakuan pupuk bokashi yaitu sebesar 19,80 gr, sedangkan bobot basah terendah

Gambar

Gambar 1 Diagram alir pembuatan tepung limbah ikan
Gambar 2 Diagram alir pembuatan pupuk organik bokashi
Tabel 4 Hasil analisis proksimat dan hara makro bahan baku pupuk bokashi
Gambar 3 Grafik perubahan pH pupuk selama proses pengomposan
+7

Referensi

Dokumen terkait

h. Proporsi tenaga kerja yang bersertifikat kompetensi berdasarkan bidang/jenis profesi;.. Tingkat rekognisi kompetensi dalam penerimaan karyawan; j. Tingkat

Sebagian besar spesies capung yang ditemukan berasal dari Famili Libellulidae karena famili ini memiliki jumlah spesies yang banyak dengan sebaran yang luas dan

3 Studi Perencanaan Jaringan Pipa Air Bersih dengan Menggunakan Sistem Zoning pada Daerah Pelayanan Buring Bawah 2 Kota Malang.. Skripsi 2002 T Sipil, FT,

Apabila pengeluaran pemerintah sektor industri pengolahan meningkat 1 persen (semula Rp 60.062 juta menjadi Rp 60.662 juta), pembentukan modal tetap sektor industri

2) Sampai saat ini setelah 3 tahun berjalannya program penanggulangan pengangguran, dari pihak Karang Taruna “Eka Taruna Bhakti” belum dilakukan pemberian kredit

Pasien refrakter (±25%-30% pada ITP) didefinisikan sebagai kegagalan terapikortikosteroid dosis standar dan splenektomi serta membutuhkan terapi lebih lanjut karena ATyang rendah

Tabel 2.3.6 Banyaknya Perolehan Suara Sah Menurut Kecamatan Table Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Blora, Tahun 2005. Number of Voice Result by District in Blora Regency, on

Sebagai salah satu instalasi yang memberikan pelayanan pembedahan, selayaknya memiliki sebuah pedoman yang dapat memandu atau sebagai acuan dalam