• Tidak ada hasil yang ditemukan

The development direction of private forest as the supply of raw material for primary timber industry in East Java

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The development direction of private forest as the supply of raw material for primary timber industry in East Java"

Copied!
330
0
0

Teks penuh

(1)

HUTAN KAYU DI PROVINSI JAWA TIMUR

IRENA ALDIANOVERI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Arahan Pengembangan Hutan Rakyat Untuk Pemenuhan Bahan Baku Industri Primer Hasil Hutan Kayu di Provinsi Jawa Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

(3)

IRENA ALDIANOVERI. The Development Direction of Private Forest as the supply of Raw Material for Primary Timber Industry in East Java. Under direction of KOMARSA GANDASASMITA and OMO RUSDIANA

The shortage of raw materias is a major problem for primary timber industry in Indonesia. In order to fulfill of industrial raw materials and provide both ecological and economic benefits, it is required a comprehensive direction in planning process to develop private forest in East Java. The purpose of this study was to develop a plan for meeting sustainable raw material supply for primary timber industry through the development of private forests. The specific objectives of this research was to make the direction of developing private forest in East Java through: (a) Identify the type of plants that are potentially (b) Identify the potential of appropriatness and availability of land for development of private forest in East Java (c) Identify the pattern of institutional and partnership between the timber industry with the community. According to IPHHK production capacity in 2011, wood industries need 7,412,558 m3 logs, meanwhile forest, both natural and production, can only meet 47% of IPHHK requirements. The potential species to be developed in East Java according to the research of industry needs, preferences and the potential of private forests are Teak, Albizia and Jabon. Based on the suitability of the land available for forest development, the potential land for development is an area of 649 433 hectares of teak and Sengon is an area of 773 892 ha with the largest development area covers Sumenep and Sampang. Jabon potential land development is an area of 412 119 ha in area with the greatest potential is Pacitan and Malang. To support the sustainable development of forests in East Java, it is necessary to build partnerships between IPHHK and farmers. For this partnership requires an institutional bridge the industry and farmers form cooperatives. The role of government is needed not only as facilitators and supervisors but also as policy decision maker to endorse the community in forest management.

(4)

IRENA ALDIANOVERI. Arahan Pengembangan Hutan Rakyat Untuk Pemenuhan Bahan Baku Industri Primer Hasil Hutan Kayu di Provinsi Jawa Timur Dibimbing oleh KOMARSA GANDASASMITA dan OMO RUSDIANA

Penurunan ketersediaan bahan baku kayu sebagai faktor input pada industri perkayuan merupakan permasalahan utama yang dihadapi oleh dunia kehutanan saat ini khususnya bagi Industri Primer Hasil Hutan. Bahan baku kayu yang tersedia tidak lagi mampu mengimbangi permintaan yang ada sehingga terjadi defisit kebutuhan kayu. Pemerintah telah melakukan upaya untuk mengatasi kesenjangan pasokan dan kebutuhan bahan baku tersebut melalui program rehabilitasi hutan dan pembangunan hutan tanaman. Salah satu upaya yang kini sedang dilakukan adalah mendorong partisipasi masyarakat dalam kegiatan penanaman hutan salah satunya adalah dengan pengusahaan hutan rakyat

Berdasarkan permasalahan diatas pada penelitian ini secara garis besar bertujuan untuk menyusun sebuah perencanaan pengembangan hutan rakyat untuk pemenuhan bahan baku industri primer hasil hutan kayu berkelanjutan. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk menyusun arahan pengembangan hutan rakyat di Jawa Timur melalui : (a) Identifikasi jenis tanaman yang berpotensi dalam pengembangan hutan rakyat di Jawa Timur (b) Identifikasi kesesuaian dan ketersediaan lahan yang berpotensi untuk pengembangan hutan rakyat berdasarkan kesesuaian lahan dan (c) Identifikasi pola kemitraan dan kelembagaan antara industri kayu dengan masyarakat.

Bahan baku kayu bulat yang dibutuhkan oleh Industri Primer Hasil Hutan Kayu di Jawa Timur pertahun adalah 7,4 juta meter kubik dan baru dapat terpenuhi sekitar 3,9 juta m3 pertahun yang berasal dari hutan alam, perhutani dan kayu rakyat. Semakin tahun suplai dari hutan alam produksi dan hutan tanaman semakin menurun karena laju deforestasi yang tinggi.

Jenis tanaman hutan rakyat yang berpotensi untuk dikembangkan di Jawa Timur berdasarkan analisis kebutuhan industri, preferensi masyarakat dan potensi hutan rakyat adalah jati, sengon dan jabon. Tinjauan analis finansial yang dilakukan yaitu NPV, BCR dan IRR menunjukkan ketiga jenis tanaman ini layak untuk dikembangkan di Provinsi Jawa Timur.

Pengembangan hutan rakyat selain diprioritaskan pada lahan kritis, juga berpotensi untuk dikembangkan pada areal pertanian lahan kering dengan luas total pengembangan termasuk lahan kosong dan semak adalah 871.500 Ha yang tersebar di 29 Kabupaten dan 1 kota. Dari luasan tersebut diharapkan dapat menambah pasokan bahan baku sekitar 174 juta m3.

Berdasarkan kesesuaian dari lahan tersedia untuk pengembangan hutan rakyat, maka lahan potensial untuk pengembangan jati adalah seluas 649.433 Ha dan Sengon adalah seluas 773.892 Ha dengan wilayah pengembangan terbesar meliputi Kabupaten Sumenep dan Sampang. Lahan potensial pengembangan Jabon adalah seluas 412.119 Ha dengan wilayah yang memiliki potensi terbesar adalah Pacitan dan Malang.

(5)

rakyat dapat memperoleh keuntungan maksimal.

Untuk mendukung pengembangan hutan rakyat yang berkelanjutan di Jawa Timur perlu adanya kemitraan antara IPHHK dengan petani hutan rakyat. Dari hasil AHP yang dilakukan bentuk kemitraan yang menjadi prioritas adalah pola dimana industri memberi bantuan bibit, sarana produksi lain serta memberikan bimbingan dengan perjanjian bahwa petani akan menjual hasil panen kepada industri mitra dengan harga yang telah ditetapkan. Agar kemitraan ini berjalan baik, maka perlu suatu lembaga berazaz koperasi yang menjembatani antara industri dan petani hutan rakyat sehingga kemitraan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

(6)
(7)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

IRENA ALDIANOVERI

TESIS

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar MAGISTER SAINS

pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Nama : Irena Aldianoveri

NRP : A156100334

Program Studi : Ilmu Perencanaan Wilayah

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita. MSc Dr. Ir. Omo Rusdiana. MSc

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

(11)
(12)
(13)

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Arahan Pengembangan Hutan Rakyat Untuk Pemenuhan Bahan Baku Industri Primer Hasil Hutan Kayu di Provinsi Jawa Timurdapat diselesaikan.

Dalam penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, MSc dan Dr. Ir. Omo Rusdiana, MSc selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan, dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hinga penyelesaian tesis ini 2. Dr. Ir. Iin Ichwandi, MSc selaku penguji luar komisi yang telah memberikan

koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini

3.

S

egenap dosen pengajar, asisten dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB

4. Kepala Pusbindiklatren Bappenas beserta jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis

5. Kepala Dinas dan seluruh jajaran staf Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, Bapak Ir. Sindu Pudyatmoko Pimpinan PT. Mustika Buana Sejahtera Lumajang dan Pimpinan PT. Sumber Mas Indah Plywood, Bapak Didit Okta Pribadi, SP, M.Si serta semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian

6. Keluarga besarku papa Irsyad Adbey, mama Asni Syarief, suamiku Ardi Praptono, SP serta Uni Alda dan Uda Donny sekeluarga atas doa dan dukungannya serta adikku tersayang Riri dan Andi sekeluarga yang telah memberikan “rumah dan keluarga” selama ini

7. Rekan-rekan PWL kelas Bappenas maupun Reguler angkatan 2010 atas kebersamaan yang indah. Penghargaan khusus buat rekan Didi Irwandi, semoga tenang disisiNya.

8. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan studi dan tesis yang tidak tersebutkan tapi tetap tertulis dihati.

Terima kasih yang istimewa khusus disampaikan kepada anak-anakku Najla Laikarazki Sasvia dan Mirza Damarazki Varen yang tetap menyayangiku dan tetap tumbuh jadi anak-anak yang hebat walau tanpa mama yang mendampingi setiap saat. Maaf atas semua waktu yang hilang saat kita tidak bersama.

Penulis menyadari adanya keterbatasan ilmu dan kemampuan, sehingga dalam penelitian ini mungkin masih terdapat banyak kekurangan. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terimaksih.

Bogor, Mei 2012

(14)

Penulis dilahirkan di Batusangkar, Sumatera Barat pada tanggal 22 November 1974 dari pasangan orang tua Bapak Irsyad Adbey dan Ibu Asni Syarief, BA. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

Pendidikan dasar hingga menengah penulis tempuh di Sumatera Barat. Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri 8 Padang dan kemudian melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Penulis diterima di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian dan menyelesaikan studi pada jenjang sarjana pada Tahun 1999.

(15)
(16)

Halaman

DAFTAR TABEL ………. iv

DAFTAR GAMBAR ………...……….. v

DAFTAR LAMPIRAN.………. vii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Kerangka Pemikiran ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Industri Primer Hasil Hutan ... 8

2.2 Bahan Baku Industri Primer Hasil Hutan ... 9

2.3 Hutan Rakyat ... 11

2.4 Pengembangan Hutan Rakyat Pola Kemitraan ... 13

2.5 Penginderaan Jauh dan SIG ... 14

2.6 Analisis Kesesuaian Lahan ... 15

2.7 Komoditas Hutan Rakyat Potensial ... 17

2.8 Analisis Biaya dan Kelayakan Finansial Hutan Rakyat ... 17

2.9 Analisis pasokan (supply) dan kebutuhan bahan baku kayu (BBK).. 18

2.10 Analisa Analitycal Hierarchy Process (AHP) ... 19

2.11 Optimasi Transportasi ... 19

III. METODE PENELITIAN ... 21

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21

3.2 Bahan dan Alat ... 21

3.3 Pengumpulan Data ... 22

3.4 Identifikasi Jenis Tanaman Prioritas ... 23

3.4.1 Kebutuhan Industri ………... 23

3.4.2 Preferensi Masyarakat ………... 24

3.4.3 Produksi Kayu Rakyat …... 24

3.4.4 Tinjauan Analisis Finansial ………...….. 24

(17)

3.7 Analisis Pola Kemitraan Eksisting ……….. ... 29

3.8 Penyusunan Arahan Pengembangan Hutan Rakyat ... 31

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 33

4.1 Letak Geografis dan Administrasi Pemerintahan ... 33

4.2 Iklim ... 34

4.3 Kondisi Topografi ... 35

4.4 Kondisi Sosial Penduduk di Jawa Timur ... 36

4.5 Kondisi Prasarana Wilayah ... 37

4.6 PDRB ... 38

4.7 Penggunaan Lahan ... 39

4.8 Kondisi Hutan Jawa Timur ... 40

4.9 Perkembangan Hutan Rakyat di Jawa Timur ... 43

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

5.1 Industri Hasil Hutan ... 47

5.2 Identifikasi Jenis Tanaman prioritas untuk Pengembangan Hutan Rakyat di Jawa Timur ... 51

5.2.1 Kebutuhan Bahan baku Industri Primer Hasil Hutan ... 51

5.2.2 Potensi hutan rakyat Jawa Timur ... 54

5.2.3 Analisis Kebutuhan dan Suplai Bahan Baku ... 58

5.2.4 Preferensi Masyarakat ... 59

5.2.5 Tinjauan Finansial Pengembangan hutan rakyat ... 60

5.2.6 Penetapan Jenis Tanaman Hutan Rakyat ... 63

5.3 Identifikasi kesesuaian Lahan untuk pengembangan hutan rakyat .. 65

5.3.1 Kesesuaian Lahan Jati ... 66

5.3.2 Kesesuaian Lahan Sengon ... 68

5.3.3 Kesesuaian Lahan Jabon ... 71

5.4 Peta Penutupan/Penggunaan Lahan ... 74

5.5 Analisis Ketersediaan Lahan ... 76

5.6 Kelembagaan Hutan rakyat di Jawa Timur ... 82

5.6.1 Mekanisme Perdagangan Kayu Rakyat ... 82

5.6.2 Pola Kemitraan Eksisting ... 84

(18)

5.9 Arahan Pengembangan Hutan rakyat Berdasarkan jenis ... 91

5.9.1 Sistem Pengusahaan Hutan rakyat ... 91

5.9.2 arahan untukJati ... 93

5.9.3 Arahan untuk Sengon ... 96

5.9.4 Arahan untuk Jabon ... 99

5.10 Arahan Berdasarkan Lokasi ... 101

5.11 Arahan Berdasarkan Kelembagaan ... 105

5.12 Kebijakan Terkait Penatausahaan Hutan Rakyat ... 107

5.13 Kebijakan Pengembangan Hutan Rakyat ... 112

VI. KESIMPULAN ... 117

DAFTAR PUSTAKA ... 118

(19)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Data Deforestasi Di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan Periode

2006-2009 (Ha/Th)……….. 2

2. Prakiraan Kekurangan Bahan Baku Industri Pengolahan Kayu Indone-sia Pada Tahun 2000 - 2018 (Dalam Jutaan m3)………... 4

3. Matriks hubungan Tujuan, Output, Metoda/Analisis Data, Jenis dan Sumber Data……….……… 22

4. Luas dan Jumlah Kecamatan dan Desa di Jawa Timur……… 34

5. Luas Penutupan Lahan dalam Kawasan Hutan dan Luar Kawasan Hutan Berdasarkan Penafsiran Ctra Satelit Landsat 7 ETM+ 2009/2010 oleh Departemen Kehutanan ……… 41

6. Data Luas Kawasan Hutan Provinsi Jawa Timur………... 42

7. Data Luas Lahan Kritis di Provinsi Jawa Timur……….. 45

8. Kebutuhan bahan baku industri primer hasil hutan dan kapasitas produksi di Provinsi Jawa Timur………... 51 9. Kebutuhan Bahan Baku IPHHK perjenis Produksi ……… 52

10. Suplai Bahan Baku di Jawa Timur……… 54

11. Produksi Tahunan Hasil Hutan Rakyat Jawa Timur Berdasarkan Jenis Kayu ……… 55

12. Perkembangan Luas Hutan Rakyat Jawa Timur……… 57

13. Preferensi Masyarakat terhadap Tanaman Kayu di Jawa Timur……… 59

14. Analisa Finansial Tanaman Jati, Sengon dan Jabon per Hektar……… 61

15. Kesesuain Lahan Untuk Tanaman Jati di Jawa Timur……… 66

16. Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Sengon di Jawa Timur……… 70

17. Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Jabon di Jawa Timur………... 73

18. Pengunaan Lahan Eksisting……… 76

19. Pola Kemitraan Yang Dibangun BPDas Brantas……… 85

20. Lokasi hutan rakyat sebagai sumber bahan baku IPHHK……… 101

(20)
(21)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran……….……….……… 7

2. Perkembangan Luas IPHHK Hutan Alam di Indonesia………... 9

3. Wilayah Penelitian Provinsi Jawa Timur……….. 21

4. Skema Alur Penelitian………..… 22

5. Penentuan Jenis Tanaman Prioritas Pengembangan Hutan Rakyat... 23

6. Penentuan Ketersediaan Lahan Pengembangan Hutan Rakyat……... 27

7. Penentuan Kesesuaian Lahan Menurut Jenis Tanaman Terpilih…….. 28

8. Hirarki Bentuk Pola Kemitraan………... 30

9. Peta Administrasi Provinsi Jawa Timur………. 33

10. Curah Hujan Rata-rata Provinsi Jawa Timur……… 35

11. Ketinggian Wilayah diatas Permukaan Laut………. 36

12. Penggunaan Lahan Tahun 2011……… 39

13. Sebaran Kawasan Hutan di Provinsi Jawa Timur……… 40

14. Industri Plywood Berbahan Baku Sengon di Lumajang……….. 48

15. Sebaran IPHHK menurut Kabupaten se Jawa Timur Tahun 2011…… 50

16. Sumber Bahan Baku Bagi Industri Kapasitas > 6.000 M3/Tahun…….. 53

17. Grafik Produksi Hutan Rakyat di Jawa Timur……….. 63

18. Landsystem Jawa Timur……….. 65

19 Peta Kesesuiaan Lahan Jati di Jawa Timur……… 67

20. Peta Kesesuaian Lahan Sengon di Jawa Timur……….…….. 69

21. Peta Kesesuaian Lahan Jabon di Jawa Timur………... 72

22. Citra Landsat Provinsi Jawa Timur Tahun 2011……… 74

23. Peta Penggunaan Lahan Eksisting di Jawa Timur……….. 75

24. Kawasan Hutan Provinsi Jawa Timur……….. 77

(22)

27. Rencana Pola Ruang Provinsi Jawa Timur………. 81

28. Mekanisme Perdagangan Kayu Jati………. 82

29. Mekanisme Perdagangan Kayu Sengon dan Jabon……….. 82

30. Hasil Pembobotan dari Kuisioner………. 87

31. Hutan Rakyat Jati dengan Sistem Monokultur di Mojokerto dan Agroforestry Sengon dengan Padi di Kab. Lumajang……….

92

32. Luas Kesesuain dan Ketersediaan Lahan Jati di Jawa Timur (Ha) 94 33. Peta Kesesuiaan Lahan dari Lahan Tersedia untuk Hutan Rakyat Jati

di Jawa Timur………. 95

34 Peta Kesesuaian Lahan dari Lahan yang Tersedia untuk Pengembangan Hutan Rakyat Sengon di Jawa Timur………

97

35 Ketersediaan dan Kesesuaian Lahan Sengon per Kabupaten di Jawa Timur (Ha)……….

98

36 Peta Kesesuaian Lahan dari Lahan yang Tersedia untuk Pengembangan Hutan Rakyat Jabon di Jawa Timur………

100

37 Ketersediaan dan Kesesuaian Lahan Jabon per Kabupaten

di Jawa Timur……… 101

38 Peta Arahan Lokasi Hutan Rakyat Berdasakan Lokasi dan Kebutuhan Industri………

104

39 Arahan Kelembagaan Hutan Rakyat Pola Kemitraan………. 106

40 Mekanisme Penerbitan SKAU Kayu Rakyat………. 109

(23)
(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Hasil Analisis Model Transport Pemenuhan Bahan Baku IPHHK Jawa

Timur ……….... 122

2. Tinjauan Analisis Finansial …..………... 129

3. Pengelompokan Jenis Kayu Rakyat Berdasarkan Dokumen Angkut

yang Digunakan ………... 134

4. Hasil Analisis AHP Untuk Menentukan Bobot Nilai Setiap Faktor yang

Mempengaruhi Pemilihan Bentuk Kemitraaan ………. 135

(25)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Industri pengolahan kayu merupakan salah satu sektor penunjang perekonomian di Provinsi Jawa Timur. Hal ini terlihat dengan nilai ekspor produk kayu dan barang dari kayu tahun 2010 yaitu sebesar ± US $ 687 juta (BPS Jawa Timur, 2010) atau hampir 60 % dari total ekspor produk kayu nasional sebesar US $ 1.166.706.643. Produk dari kayu dan hasil hutan lainnya menyumbang sekitar 3,6 % terhadap PDRB sektor industri pengolahan di Jawa Timur.

Jumlah Industri pengolahan kayu termasuk industri yang mengolah kayu bulat atau Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHHK) di Jawa Timur setiap tahun cenderung bertambah dan memberikan sumbangan cukup besar terhadap devisa negara dan penyerapan tenaga kerja. Peningkatan jumlah industri pengolahan kayu tidak didukung dengan peningkatan faktor produksi. Meskipun kuantitas industri bertambah namun dari jumlah produksi cenderung menurun. Ini terlihat dari data Statistik Kehutanan Tahun 2011 adanya penurunan produksi plywood,veneer,blockboarddan sebagainya sejak tahun 2003.

Penurunan ketersediaan bahan baku kayu sebagai input pada industri perkayuan merupakan permasalahan utama yang dihadapi oleh dunia kehutanan saat ini khususnya bagi Industri Primer Hasil Hutan. Bahan baku kayu yang tersedia tidak lagi mampu mengimbangi permintaan yang ada sehingga terjadi defisit kebutuhan kayu. Pada awal tahun 2000 Indonesia mengalami kesenjangan yang besar antara kebutuhan kayu bagi industri dengan kemampuan sumberdaya hutan untuk memproduksi kayu secara lestari. Terlebih lagi dengan adanya kebijakan penurunan produksi (soft landing) mulai tahun 2003 telah mengakibatkan produksi kayu makin kecil (Widiarti, 2006)

Kebutuhan kayu nasional pada tahun 2011 sekitar 56 juta m3 hanya mampu dipenuhi oleh hutan alam produksi sebesar 5 juta m3 atau 9 % sedangkan sisanya adalah dari hutan tanaman sebesar 20 juta m3. Dengan kondisi tersebut, terjadi defisit kebutuhan kayu sebesar 31 juta m3 pertahun. Fakta tersebut menunjukkan bahwa hutan alam dan hutan tanaman saja tidak mampu lagi memenuhi semua kebutuhan kayu.

(26)

pembalakan yang berlebihan yang biasanya diikuti perambahan areal hutan tersebut telah menyebabkan laju kerusakan hutan sebesar 1.08 juta Ha pertahun selama periode tahun 2000 dan 2006 serta menciptakan areal lahan kritis lebih dari 30 Ha (Dirjen Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan, 2007)

Tabel 1 Data Deforestasi di dalam dan di luar Kawasan Hutan periode 2006-2009 (Ha/Th)

KSA-KPA HL HPT HP Jumlah

1 Jawa Timur

Hutan Primer 4.4 65.7 0 2.9 73 0 73 64.4 137.4

Hutan Sekunder 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Hutan Lainnya 25 6.2 273.9 305.1 0 305.1 405.8 710.9

Total 29.4 71.9 0 276.8 378.1 0 378.1 470.2 848.3

2 Indonesia

Hutan Primer 17,283.5 44,520.3 82,848.0 98,412.8 243,064.6 21,370.6 264,435.2 136,590.1 401,025.3 Hutan Sekunder 7,325.6 19,656.3 22,790.5 127,079.3 176,851.7 102,990.6 279,842.3 71,693.8 351,536.1 Hutan Lainnya * 727.1 3,152.9 23,869.5 30,952.3 58,701.8 7,396.7 66,098.5 13,467.1 79,565.6 Total 25,336.2 67,329.5 129,508.0 256,444.4 478,618.1 131,757.9 610,376.0 221,751.0 832,127.0

Total No Kelompok Hutan

Kawasan Hutan x 1000 Ha

APL (x 1000 Ha) Hutan Tetap

HPK Jumlah

Sumber : Statitik Kehutanan Indonesia 2010 (Kementrian Kehutanan, Juli 2011)

Data dari Kementerian Kehutanan menunjukkan total deforestasi antara tahun 2006 sampai 2009 secara nasional adalah 832 juta Ha sedangkan untuk Jawa Timur sendiri adalah 848.000,3 Ha atau 0,1 %. Secara nasional, deforestasi terbesar adalah pada kawasan hutan terutama pada hutan produksi yang merupakan sumber bahan baku utama bagi industri pengolahan kayu.

(27)

Hutan Rakyat merupakan alternatif bagi pemenuhan kebutuhan akan pasokan kayu di Pulau Jawa. Hutan Rakyat di Jawa berpotensi memasok bahan baku kayu dengan potensi produksi sampai 16 juta meter kubik per tahun dan potensi pengembangan yang luasnya mencapai 2,7 juta hektar. Sementara di wilayah Jawa Timur sendiri diperkirakan terdapat areal hutan rakyat seluas 641 ribu Ha dan memiliki potensi produksi sekitar 2,4 – 3,2 jt m3/th (BPKH XI Jawa – Madura, 2009) dan masih memiliki potensi untuk dikembangkan.

Peningkatan penggunaan bahan baku dari hutan rakyat terlihat dari data BRIK tahun 2004-2006 dimana persentase ekspor produk kayu olahan yang menggunakan bahan baku dari hutan rakyat berkisar antara 38-40%, berarti hampir separuh dari volume ekspor produk kehutanan telah menggunakan bahan baku dari sumber-sumber alternatif.

Hutan rakyat selain memberikan kontribusi dalam memajukan industri kehutanan juga merupakan salah satu bentuk kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah yang cukup efektif dan efisien dalam meningkatkan produktivitas lahan kritis, memperbaiki tata air dan lingkungan, pemenuhan kebutuhan masyarakat akan kayu bangunan, dan sekaligus sebagai upaya dalam meningkatkan ekonomi masyarakat desa hutan melalui hasil-hasilnya (Winarno, 2007). Untuk itu Kementerian Kehutanan telah menargetkan pengembangan hutan rakyat ini di lahan milik masyarakat, adat, dan lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang terlantar.

Meningkatnya pemintaan kayu yang berasal dari hutan rakyat tidak serta merta diiringi dengan pembangunan hutan rakyat. Lambatnya pembangunan hutan rakyat antara lain karena masih ditemuinya beberapa permasalahan dalam pengembangan hutan rakyat. Menurut Darusman dan Hardjanto (2006) Permasalahan hutan rakyat yang muncul sampai saat ini meliputi empat aspek yaitu: a) produksi, b) pengolahan, c) pemasaran dan d) kelembagaan.

Agar hutan rakyat dalam pemenuhan bahan baku industri dapat memberikan manfaat secara ekonomi, sosial dan ekologi bagi semua pihak terkait, maka diperlukan arahan yang komprehensif untuk merencanakan pengembangan hutan rakyat di Jawa Timur.

1.2 Perumusan Masalah

(28)

menipisnya cadangan sumberdaya kayu, serta ketidakseimbangan antara demand dansupply hasil hutan kayu sebagai akibat dari kebijakan pengelolaan hutan dan pengembangan industri perkayuan yang kurang tepat dimasa-masa lalu (Massijaya, 2000)

Hasil penelitian LP IPB bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan Produksi Departemen Kehutanan dan Perkebunan pada tahun 2000 menunjukkan dengan jelas kesenjangan antara demand dansupply bahan baku kayu untuk industri pengolahan kayu pada berbagai skenario

Tabel 2. Prakiraan kekurangan bahan baku industri pengolahan kayu Indonesia pada tahun 2000 - 2018 (dalam jutaan m3).

No. Tahun Prakiraan Supply Prakiraan Selisih Supply Demand Optimis Moderat Pesimis Demand Optimis Moderat Pesimis

(a) (b) (c) (d) (e) (f) (c-f) (d-f) (e-f)

1 2000 37.9 28.4 20.4 44.3 -6.4 -15.9 -23.9

2 2001 38.0 28.5 20.3 45.8 -7.8 -17.3 -25.5

3 2002 38.1 28.5 20.3 47.4 -9.3 -18.9 -27.1

4 2003 38.4 28.5 20.3 49.2 -10.8 -20.7 -28.9

5 2004 42.3 28.6 21.7 51.0 -8.7 -22.4 -29.3

6 2005 42.7 31.0 21.8 53.0 -10.3 -22.0 -31.2

7 2006 43.1 31.2 21.9 55.1 -12.0 -23.9 -33.2

8 2007 43.3 31.5 21.9 57.4 -14.1 -25.9 -35.5

9 2008 43.4 31.5 24.8 59.9 -16.5 -28.4 -35.1

10 2009 51.3 31.6 24.8 62.6 -11.3 -31.0 -37.8

11 2010 52.0 36.2 25.0 65.6 -13.6 -29.4 -40.6

12 2011 52.6 36.7 25.2 68.8 -16.2 -32.1 -43.6

13 2012 53.2 37.1 25.3 72.3 -19.1 -35.2 -47.0

14 2013 53.5 37.4 25.3 76.1 -22.6 -38.7 -50.8

15 2014 54.2 37.5 25.6 80.2 -26.0 -42.7 -54.6

16 2015 55.7 38.0 26.0 84.7 -29.0 -46.7 -58.7

17 2016 56.7 39.0 26.3 89.5 -32.8 -50.5 -63.2

18 2017 57.6 40.2 26.6 94.7 -37.1 -54.5 -68.1

19 2018 58.0 40.4 26.6 100.2 -42.2 -59.8 -73.6

(29)

Berbagai masalah yang dihadapi dalam pengelolaan hutan rakyat pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam empat sub sistem, yaitu produksi, pengolahan hasil, pemasaran, dan kelembagaan (Widiarti, 2007). Akibat dari permasalahan dalam setiap sub sistem ini adalah peranan hutan rakyat belum optimal meningkatkan perekonomian petani dan posisi petani sebagai produsen lemah karena tidak memilikibargaining position.

Agar terpenuhinya kebutuhan bahan baku secara berkelanjutan pada tahun-tahun mendatang, pemerintah telah meminta kalangan industri pengolahan kayu untuk memperluas dan memperbanyak investasi dengan membagikan bibit serta membina masyarakat dalam kegiatan penanaman dan pemeliharaan tanaman kayu. Diharapkan dengan cara demikian investasi industri pengolahan kayu akan maju, bahan baku lebih lestari, dan masyarakat sejahtera secara berkeadilan. Akan tetapi kemitraan antara industri dan masyarakat khususnya di Provinsi Jawa Timur sampai saat ini belum menunjukan hasil yang signifikan. Beberapa permasalahan pengembangan hutan rakyat pola kemitraan yang masih dihadapi adalah:

1. Belum tersedia data kongkrit yang memberikan informasi jumlah perusahaan mitra yang mau berpartisipasi, dan data potensi kebutuhan bahan baku dan sasaran pengembangan.

2. Peran BUMN/BUMS belum optimal sebagai mitra kelompok tani hutan rakyat. 3. Fasilitasi Pemerintah belum intensif/optimal, dan belum didapat pola

pengelolaan yang tepat yang menjembatani usaha kemitraan.

4. Model pengembangan sedang berjalan, dan belum memberikan informasi pola pengelolaan yang tepat guna.

5. Peraturan perundangan yang ada belum banyak mendukung dalam pengembangan hutan rakyat.

Dengan mempertimbangkan hal diatas, maka pokok permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana mengembangkan hutan rakyat untuk memenuhi kebutuhan bahan baku Industri Primer Hasil Hutan di Jawa Timur.

1.3 Tujuan Penelitian

(30)

berkelanjutan. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk menyusun arahan pengembangan hutan rakyat di Provinsi Jawa Timur melalui :

a. Identifikasi jenis tanaman yang berpotensi dalam pengembangan hutan rakyat di Jawa Timur

b. Identifikasi kesesuaian dan ketersediaan lahan yang berpotensi untuk pengembangan hutan rakyat berdasarkan kesesuaian lahan.

c. Identifikasi pola kemitraan dan kelembagaan antara industri kayu dengan masyarakat.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk menetapkan kebijakan dan arahan pengembangan hutan rakyat sehingga diharapkan dapat meningkatkan kelestarian produksi, kelestarian lingkungan dan sekaligus akan memberikan kontribusi terhadap kelestarian sosial (kesejahteraan masyarakat).

1.5 Kerangka Pemikiran

Laju deforestasi hutan Indonesia yang relatif tinggi yaitu 1 juta hektar atau sekitar 670 ribu hektar untuk kawasan hutan pertahun menyebabkan pasokan bahan baku dari hutan produksi alam semakin berkurang sementara permintaan terhadap bahan baku kayu bulat semakin meningkat (FAO, 2010). Deforestasi tidak hanya terjadi di hutan alam produksi namun juga terjadi di hutan tanaman sehingga Kementerian Kehutanan mengeluarkan kebijakan “soft landing” sejak tahun 2003 yang pokok isinya adalah mengurangi peran hutan alam sebagai pemasok kayu untuk industri kayu dengan mengurangi jatah produksi tebang secara bertahap setiap tahun.

Penurunan jatah produksi tebang selain pada hutan alam produksi juga diberlakukan terhadap produksi kayu yang berada pada kawasan hutan produksi khususnya hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani. Dengan berkurangnya pasokan kayu dari hutan alam produksi dan hutan tanaman akan menjadi peluang bagi kayu yang berasal dari hutan rakyat menjadi sumber pasokan utama bahan baku industri primer hasil hutan.

(31)

kompetitif, perawatan yang relatif mudah serta pola tanam wanatani dengan tumpangsari merupakan peluang bagi petani untuk meningkatkan kesejahteraannya. Akan tetapi yang menjadi kendala bagi masyarakat adalah tidak tersedianya modal dan pengetahuan silvikultur yang baik agar usaha ini dapat memberikan nilai ekonomi yang tinggi

Sehubungan dengan hal tersebut dan agar pengembangan hutan rakyat dapat memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat dan industri kayu, maka perlu dilakukan perencanaan yang baik dalam pengembangan hutan rakyat. Dengan demikian diperlukan identifikasi lahan yang berpotensi untuk pengembangan hutan rakyat, analisis kesesuaian jenis untuk komoditas unggulan agar menghasilkan produksi yang menguntungkan serta analisis pola kemitraan dan kelembagaan pengembangan hutan rakyat agar arahan pengembangan hutan rakyat dapat mencapai hasil yang optimal

[image:31.595.104.512.252.754.2]

Adapun tahapan alur kerangka berfikir dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka Pemikiran TERBATAS HUTAN ALAM HUTAN TANAMAN HUTAN RAKYAT INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU (IPHHK) JENIS TANAMAN LOKASI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN JAMINAN PASOKAN KAYU EKONOMI Peningkatan pendapatan petani EKOLOGI Perbaikan kualitas lingk, penurunan luas lahan kritis SOSIAL Peningkatan taraf hidup petani MANFAAT Solusi Pengembangan HR

(32)
(33)
(34)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Industri Primer Hasil Hutan

Industri kayu dibedakan berdasarkan hasil produksinya, yaitu industri primer dan industri sekunder (lanjutan). Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.35/Menhut-II/2008 yang dimaksud dengan Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHHK) adalah pengolahan kayu bulat dan/atau kayu bulat kecil menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. IPHHK itu sendiri terdiri dari: (a). Industri Penggergajian Kayu; (b) Industri Serpih Kayu ( wood chip); (c). Industri Vinir ( veneer ); (d). Industri Kayu Lapis ( Plywood ); dan/ atau (e). Laminated Veneer Lumber. Sedangkan industri sekunder (lanjutan) adalah industri yang mengolah lebih lanjut produk dari industri primer (pengerjaan kayu/wood working).

Berdasarkan jenis Industri Primer Hasil Hutan Kayu berdasarkan atas kapasitas produksi dikelompokkan menjadi :

1). Skala kecil dengan kapasitas produksi sampai dengan 2.000 m3per tahun; 2). Skala menengah dengan kapasitas produksi lebih besar dari 2.000 m3

sampai dengan 6.000 m3per tahun;

(35)

2.2 Bahan Baku Industri Primer Hasil Hutan

Sumber bahan baku industri kehutanan umumnya berasal dari hutan alam dan hutan tanaman. Sumber bahan baku yang berasal dari hutan tanaman terdiri dari Hutan Tanaman, Hutan Rakyat dan Kebun. Sedangkan untuk pemanfaatan hutan alam harus memiliki Ijin Usaha Industri Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam (IUIPHHK-HA) atau izin lain yang sah.

Pemanfaatan hasil hutan kayu adalah segala bentuk usaha yang memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokok hutan. Kegiatan ini hanya dapat dilaksanakan pada areal hutan yang memiliki potensi untuk dilakukan kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu dan dapat dilaksanakan setelah diperoleh izin usaha, IUIPHHK pada hutan alam adalah izin untuk memanfaatkan hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari pemanenan atau penebangan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu.

Sumber : Statistik Kehutanan, 2011

Gambar 2. Perkembangan Luas IPHHK Hutan Alam di Indonesia

Pada gambar 2 terlihat sebelum tahun 2000, IPHHK berkembang dengan pasokan bahan baku terbesar berasal dari hutan alam. Akan tetapi laju deforestasi yang tinggi menyebabkan semakin berkurangnya jumlah dan luasan IUPHHK-HA. Berdasarkan data sampai dengan akhir Desember 2010, jumlah IUPHHK hutan alam diseluruh indonesia adalah 304 perusahaan dengan total areal seluas 24,69 juta Ha. Areal pengusahaan hutan terbesar di Pulau

(36)

Kalimantan yaitu sejumlah 155 unit dengan luas areal 11,69 juta Ha. Dengan luasan terbesar adalah di Provinsi Kalimantan Timur 4,5 juta Ha dan kalimantan Tengah 3,7 juta Ha (Kemenhut, 2011)

Untuk mengatur mengenai bahan baku Menteri Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia (Permenhut) Nomor : P. 43/Menhut-II/2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2007 Tentang Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) Primer Hasil Hutan Kayu. RPBBI adalah rencana yang memuat kebutuhan bahan baku dan pasokan bahan baku yang berasal dari sumber yang sah sesuai kapasitas izin industri primer hasil hutan dan ketersediaan jaminan pasokan bahan baku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun yang merupakan sistem pengendalian pasokan bahan baku.

Pertimbangan diterbitkannya Permenhut tersebut adalah bahwa sumber daya alam hutan sebagai penghasil kayu bulat untuk pemenuhan bahan baku IPHHK perlu dikelola secara lestari, dan pemenuhan bahan baku IPHHK perlu disesuaikan dengan daya dukung sumber daya alam hutan untuk menjamin kelestarian sumber daya alam hutan tersebut. Permenhut tersebut mengatur bahwa pemegang IPHHK diwajibkan menyusun RPBBI setiap tahunnya, yang didasarkan pada kapasitas izin industri yang dimiliki dan bahan baku dari hasil penebangan yang sah. Pemegang izin IPHHK juga diwajibkan membuat laporan realisasi pemenuhan bahan baku secara berkala setiap bulannya.

Kewajiban penyusunan RPBBI serta laporan realisasinya tersebut idealnya dapat memberikan perbandingan antara kebutuhan bahan baku industri tersebut dan kemampuan IPHHK memenuhinya secara aktual. Kapasitas produksi masing-masing industri seharusnya hanya diberikan berdasarkan kemampuan pemenuhan bahan baku oleh pengusaha industri tersebut dengan memperhatikan aspek pengelolaan hutan dan kemampuan daya dukung hutan secara lestari (Greenomics, 2004)

(37)

Untuk mengatasi permasalahan bahan baku industri dan penanganan degradasi hutan alam produksi, pemerintah telah menetapkan berbagai program antara lain program Hutan Tanaman Industri (1990), akan tetapi program ini hanya bisa memenuhi 20% dari kebutuhan bahan baku industri sedangkan keterlibatan peran masyarakat dalam program ini sangat rendah (Siregar et al. 2006). Program lain adalah dengan memanfaatkan lahan-lahan yang kurang produktif di luar kawasan hutan melalui kegiatan pembangunan hutan rakyat (Dewi et al. 2004) melalui penanaman komoditas kehutanan pada lahan–lahan rakyat/ lahan milik sebagai alternatif pemenuhan bahan baku industri yang sekaligus juga dapat memberikan penghasilan kepada masyarakat.

Apabila pembangunan kehutanan berbasis masyarakat ini terus berkembang, maka tekanan terhadap hutan alam produksi dalam bentuk eksploitasi untuk pemenuhan industri baik yang legal maupun illegal akan dapat dikurangi, dan sekaligus memberikan peran yang signifikan kepada masyarakat untuk turut serta memberikan jaminan terhadap kelangsungan industri kehutanan nasional (Dir BIK dan PHH, 2006).

2.3 Hutan Rakyat

Hutan rakyat adalah hutan-hutan yang dibangun dan dikelola oleh rakyat, kebanyakan berada di atas tanah milik atau tanah adat; meskipun ada pula yang berada di atas tanah negara atau kawasan hutan negara (BPKH Jogjakarta) . Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-V/2004 Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 Ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50%.

Ada beberapa macam hutan rakyat menurut status tanahnya diantaranya: - Hutan milik, yakni hutan rakyat yang dibangun di atas tanah-tanah milik. Ini adalah model hutan rakyat yang paling umum, terutama di Pulau Jawa. Luasnya bervariasi, mulai dari seperempat hektare atau kurang, sampai sedemikian luas sehingga bisa menutupi seluruh desa dan bahkan melebihinya.

(38)

- Hutan kemasyarakatan (HKm), adalah hutan rakyat yang dibangun di atas lahan-lahan milik negara, khususnya di atas kawasan hutan negara. Dalam hal ini, hak pengelolaan atas bidang kawasan hutan itu diberikan kepada sekelompok warga masyarakat; biasanya berbentuk kelompok tani hutan atau koperasi. Model HKm jarang disebut sebagai hutan rakyat, dan umumnya dianggap terpisah.

Namun ada pula bentuk-bentuk peralihan atau gabungan yaitu model-model pengelolaan hutan secara bermitra, misalnya antara perusahaan-perusahaan kehutanan (Perhutani, HPH,HPHTI) dengan warga masyarakat sekitar; atau juga antara pengusaha-pengusaha perkebunan dengan petani di sekitarnya. Model semacam ini, contohnya PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), biasanya juga tidak digolongkan sebagai hutan rakyat; terutama karena dominasi kepentingan pengusaha (Dir BIK dan PHH, 2006).

Menurut jenis tanamannya Ditjen RRL (1995) membagi tipologi hutan rakyat menjadi tiga macam yaitu:

(1) Hutan rakyat murni (monoculture), yaitu hutan rakyat yang hanya terdiri dari satu jenis tanaman pokok berkayu yang ditanam secara homogen atau monokultur.

(2) Hutan rakyat campuran (polyculture), yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanam secara campuran.

(3) Hutan rakyat wana tani (agroforestry), yaitu yang mempunyai bentuk usaha kombinasi antara kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya seperti tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan lain-lain yang dikembangkan secara terpadu.

(39)

2.4 Pengembangan Hutan Rakyat Pola Kemitraan

Salah satu kendala yang dihadapi oleh petani dalam pengembangan dan pembangunan hutan rakyat adalah faktor modal. Pola kemitraan diyakini sebagai suatu cara untuk mengatasi permasalahan ini dengan mengembangkan kemitraan baik dengan pemerintah, swasta maupun dengan Perhutani (Fauziyah, E dan D. Diniyati, 2003).

Pola kemitraan bertujuan agar terciptanya unit-unit usaha perhutanan rakyat pada daerah sentra industri pengolahan kayu serta terbinanya partisipasi masyarakat dalam pelestarian sumberdaya. Menurut Donie,et. al(2001), dengan adanya pola kemitraan paling tidak ada tiga hal yang akan dicapai yaitu kualitas dan kuantitas tegakan yang lebih baik, pasar yang telah terjamin dan minat serta kemampuan petani semakin meningkat.

Secara resmi definisi kemitraan telah diatur dalam Undang-Undang Usaha Kecil (UUUK) no 9 tahun 1995 yaitu kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Dalam pembangunan hutan rakyat yang lestari, untuk menunjang keberhasilannya ditawarkan berbagai alternatif model, diantaranya adalah pembangunan hutan rakyat dengan pola kemitraan, yaitu dengan cara membentuk kemitraan antara petani pemilik lahan dan pihak swasta sebagai perusahaan mitra. Tujuannya antara lain adalah memberdayakan masyarakat sekitar hutan sebagai kekuatan ekonomi, meningkatkan kemampuan perekonomian masyarakat melalui kemandirian dalam mengelola usaha serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.

(40)

2.5 Penginderaan Jauh dan SIG

Evaluasi pemanfaatan ruang aktual (eksisting) yang meliputi penggunaan/penutupan lahan (land use/land cover), diperlukan untuk menggambarkan kondisi fisik wilayah secara aktual. Informasi pemanfaatan ruang aktual akan sangat membantu dalam analisis potensi fisik secara utuh. Pada wilayah perencanaan yang luas, aktivitas evaluasi ini memerlukan alat bantu yang mampu memberikan gambaran tutupan (coverage) wilayah secara luas, cepat, konsisten dan terkini. Sumber informasi yang memiliki kemampuan tersebut adalah citra satelit, oleh karena itu evaluasi pemanfaatan ruang aktual (existing land use and land cover) biasanya dilakukan dengan bantuan analisis citra satelit dan Sistem Informasi Geografis (Rustiadiet al, 2009).

Sistem informasi geografis (SIG) merupakan suatu cara baru yang berkembang saat ini dalam menyajikan dan melakukan analisis data spasial dengan komputer. Selain mempercepat proses analisis, SIG juga bisa membuat model yang dengan manual sulit dilakukan (Barus & Wiradisastra 2000).

Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dapat membantu dan mempercepat kegiatan inventarisasi sumber daya alam, sedangkan Sistem Informasi Geografi (SIG) digunakan untuk analisis. Melalui pemanfaatan citra satelit, dapat dilakukan analisis untuk memperoleh data penutupan lahan. Perekaman data permukaan bumi (penutup lahan) pada selang waktu yang berbeda dapat memberikan data perubahan penutupan lahan, sehingga kondisi lahan (hutan) yang sebenarnya pada periode tertentu dapat diketahui secara pasti.

Menurut Lilesand dan Keifer (1994) data satelit penginderaan jauh di daerah beriklim tropis dan subtropis umumnya berhasil menyediakan informasi yang baik tentang kondisi dan perkembangan vegetasi. Kondisi dan perkembangan vegetasi dapat dideteksi dari citra satelit Landsat Thematic Mapper(TM) dengan memperhatikan respon spektral. Fluktuasi respon spektral dipengaruhi oleh jenis vegetasi, fase pertumbuhan vegetasi, kondisi perkembangan vegetasi dan keadaan lingkungannya.

(41)

dapat mengatasi masalah ini, karena data ini dapat secara cepat dan akurat memberikan informasi terhadap keadaan penutup lahan (land cover) melalui teknologi penginderaan jauh (Ritung dan Hidayat, 2006).

Peta merupakan alat yang paling baik untuk membantu perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, peta dapat diperoleh dengan cara pengukuran langsung di lapangan atau dengan menggunakan interprestasi foto udara maupun citra Landsat, dengan peta akan didapatkan informasi penyebaran obyek dan keterkaitan secara spesial (keruangan) dengan penumpang–tindihan (tumpang susun) dari beberapa peta dengan skenario tertentu dan diperoleh informasi yang bermanfaat (Dimiyati dan Dimyati, 1998 dalam Situmeang et al, 2005)

2.6 Analisis Kesesuaian Lahan

Semakin berkurangnya lahan yang subur dan potensial untuk pertanian dan adanya persaingan penggunaan lahan antara sektor pertanian dan non pertanian memerlukan teknologi tepat guna untuk mengoptimalkan penggunaan lahan secara berkelanjutan. Untuk dapat memanfaatkan sumberdaya lahan secara terarah dan efisien diperlukan tersedianya data dan informasi yang lengkap mengenai keadaan iklim, tanah dan sifat lingkungan fisik lainnya, serta persyaratan tumbuh tanaman yang diusahakan terutama tanaman yang mempunyai peluang pasar dan manfaat ekonomi yang cukup baik (Djaenudin et al, 2003).

Data iklim, tanah, dan sifat fisik lingkungan lainnya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman serta terhadap aspek manajemennya perlu diidentifikasi melalui kegiatan survei dan pemetaan sumberdaya lahan. Hasil survei ini merupakan dasar bagi evaluasi lahan. Evaluasi lahan merupakan suatu pendekatan atau cara untuk menilai potensi sumber daya lahan. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan/atau arahan penggunaan lahan yang diperlukan, dan akhirnya nilai harapan produksi yang kemungkinan akan diperoleh. Inti evaluasi kesesuaian lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001).

(42)

tertentu. Persyaratan tersebut terutama terdiri dari energi radiasi, temperatur, kelembaban, oksigen, hara, drainase, tekstur, struktur dan konsistensi tanah serta kedalaman efektif. Persyaratan tumbuh atau persyaratan penggunaan lahan yang diperlukan oleh masing-masing komoditas mempunyai batas kisaran minimum, optimum dan maksimum untuk masing-masing komoditas pertanian (Djaenudinet al, 2003).

Persyaratan tumbuh merupakan salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan dalam menetapkan jenis yang sesuai untuk di kembangkan di suatu wilayah. Persyaratan tumbuh berisi informasi tentang faktor tumbuh dan syarat-syarat yang diperlukan oleh tanaman untuk dapat tumbuh dengan baik. Persyaratan tumbuh ini meliputi antara lain sifat-sifat karakteristik tanah dan iklim yang diperlukan dalam menunjang pertumbuhan tanaman, sementara kesesuaian lahan adalah produk matching antara persyaratan tumbuh dan kualitas lahan yang tersedia (Rachmad E, et al. 2008)

Klasifikasi kesesuaian lahan adalah pengelompokan lahan berdasarkan kesesuaiannya untuk tujuan tertentu. Dalam Sistem FAO (1976) klasifikasi kesesuaian lahan dibagi menjadi 4 (empat) kategori, yaitu :

a. Ordo, menunjukan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu.

b. Kelas, Menunjukan tingkat kesesuaian suatu lahan.

c. Sub-Kelas, menunjukan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan dalam masing-masing kelas.

d. Unit, menunjukan perbedaan-perbedaan besarnya faktor penghambat yang berpengaruh dalam pengelolaan suatu sub-kelas.

Pada tingkat ordo ditunjukan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk suatu jenis penggunaan tertentu. Dikenal 2 (dua) ordo, yaitu :

a. Ordo S (sesuai) : lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang dapat digunakan dalam jangka waktu yang tidak terbatas untuk suatu tujuan yang telah dipertimbangkan. Keuntungan dari hasil pengelolaan lahan ini akan memuaskan setelah dihitung dengan masukan yang diberikan.

(43)

sangat curam, berbatu-batu, dan sebagainya) atau secara ekonomi (keuntungan yang didapat lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan).

Memprediksi kesesuaian lahan untuk suatu tujuan tertentu dapat dilakukan dengan memanfaatkan Sistem Informasi Geografis (SIG). Kemampuan SIG dalam memprediksi ketersedian lahan tidak lepas dari nilai lebih SIG dalam menjalankan fungsi-fungsi analisis spasial. Nilai lebih SIG dalam analisis spasial dapat dilihat dari lima fungsi utamanya, yaitu fungsi pengukuran dan klasifikasi, fungsi overlay, fungsi neighbourhood, fungsi network, dan fungsi tiga dimensi (Aronoff, 1993)

2.7 Komoditas Hutan Rakyat Potensial

Komoditas potensial untuk pengembangan hutan rakyat di Jawa Timur didasarkan atas kesesuaian lahan serta agroklimatnya untuk budidaya tanaman tahunan kesiapan kelembagaan sosial penunjang , kesediaan masyarakat dan tersedianya tenaga kerja serta sumberdaya lain yang membentuk keunggulan komparatif wilayah untuk hutan rakyat.

Dalam memilih jenis untuk hutan rakyat harus dipenuhi beberapa hal agar jenis yang diusahakan dan dikembangkan dapat dapat menghasilkan secara optimal, yaitu :

1. Aspek lingkungan, yaitu jenis yang dipilih harus sesuai dengan iklim, jenis tanah dan kesuburan serta keadaan fisik wilayah

2. Aspek sosial, yaitu jenis yang dipilih harus jenis yang cepat menghasilkan setiap saat, dikenal dan disukai masyarakat serta mudah dibudidayakan. 3. Aspek ekonomi, yaitu dapat memberikan penghasilan dan mudah

dipasarkan serta memenuhi standar bahan baku industri

Berdasarkan hasil penelitian Sukadarwati (2006), potensi hutan rakyat yang terdiri dari populasi 7 (tujuh) jenis tanaman yang dikembangkan di hutan rakyat dan tersebar di pulau Jawa dan di luar pulau adalah Jati, Sengon, Mahoni, Bambu, Akasia, Pinus dan Sonokeling dan akhir-akhir ini jabon juga mulai diminati untuk dibudidayakan karena tingginya permintaan industri plywood.

2.8 Analisis Biaya dan Kelayakan Finansial Hutan Rakyat

(44)

rata-rata panen persatuan luas dikalikan harga yang berlaku saat itu. Hadisapoetro (1978) dalam Dirgantara (2008) menyatakan bahwa pendapatan petani merupakan besarnya keuntungan yang diperoleh petani dengan cara mengurangi jumlah penerimaan dengan total biaya yang di keluarkan. Penerimaan adalah nilai seluruh produksi baik yang dijual maupun di konsumsi oleh petani dan keluarganya atau yang diberikan pada orang lain, sedangkan pengeluaran adalah sejumlah pengorbanan berupa uang yang di keluarkan petani untuk membiayai usahatani.

Suatu usahatani dapat dikatakan layak apabila secara finansial usahatani tersebut menguntungkan dan memiliki ketahanan dan keberlanjutan usaha yang tinggi, dimana hal tersebut dapat dinilai menggunakan analisis finansial. Analisis finansial adalah analisis dimana suatu proyek dilihat dari sudut pandang lembaga atau individu-individu yang menanamkan modalnya atau berkepentingan langsung dalam proyek. Cara menilai suatu proyek yang paling banyak diterima untuk penilaian proyek jangka panjang adalah dengan menggunakan Discounted Cash Flow Analysis (DCF) atau analisis aliran kas yang terdiskonto. Gittinger (1986) dalam Herawati T (2001) menyatakan bahwa teknik diskonto merupakan teknik untuk menurunkan manfaat dan arus biaya yang diperoleh pada masa yang akan datang menjadi nilai biaya pada masa sekarang. Benefit Cost Ratio (BCR), Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR) merupakan tiga kriteria umum yang biasa digunakan untuk menilai suatu proyek menggunakan teknik diskonto.

Kebijakan harga kayu sangat besar pengaruhnya terhadap tingkat kelayakan hutan rakyat karena tingkat kelayakan hutan rakyat sensitif terhadap perubahan harga. Implikasinya, kebijakan harga dapat berperan untuk mengembangkan hutan rakyat. Temuan Jariyahet al(2003) menunjukkan bahwa semakin luas lahan dan semakin dominan tanaman kayu-kayuan, maka tingkat kelayakannya semakin sensitif terhadap perubahan harga kayu yang terjadi.

(45)

kebutuhan bahan baku kayu, jumlah unit dan kapasitas industri kayu Jawa Timur. Analisis pasokan dan kebutuhan dilakukan dengan membandingkan besaran pasokan kayu dan kebutuhan oleh industri pengolahannya di Jawa Timur. Dari hasil analisis pasokan dan kebutuhan BBK, maka dapat diketahui neraca bahan baku kayu Jawa Timur yaitu volume dan sumber kayu yang diproduksi dari Jawa Timur serta kayu dari luar Jawa sehingga diketahui kebutuhan suplai kayu dari hutan rakyat.

2.10 Analisa Analitycal Hierarchy Process (AHP)

Di dalam pengambilan suatu keputusan, banyak sekali kriteria yang harus diperhitungkan baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Banyak diantara kriteria-kriteria tersebut dapat bersifat conflicting (saling bertentangan) pada suatu

alternatif sehingga dalam pengambilan keputusan dengan melibatkan kriteria ganda (multi-criteria decision making) yang dihasilkan adalah solusi kompromi (compromised solution) terhadap semua kriteria yang diperhitungkan (Sari, 2008).

Salah satu teknik analisis kriteria ganda adalah AHP (Analytical Hierarchy Process) yang dikembangkan oleh Thomas L.Saaty. AHP merupakan suatu model pendukung keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Model pendukung keputusan ini akan menguraikan masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki, menurut Saaty (1993), hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur dan sistematis.

2.11 Optimasi Transportasi

(46)

diperlukan upaya transportasi untuk membawa barang dan jasa dari pusat-pusat suplai ke pusat demand (Pribadiet al, 2010).

Setiap wilayah memiliki kapasitas supply dan demand yang levelnya berbeda, sehingga akan terbentuk hierarki ruang sebagai dasar untuk membangun struktur ruang. Munculnya lokasi-lokasi pusat suplai dan pusat demand bisa terjadi karena keunggulan sumberdaya yang dimiliki oleh suatu wilayah atau karena proses historis yang melibatkan interaksi antara manusia dengan ruangnya.

(47)

Contents

(48)

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Provinsi Jawa Timur yang terletak pada 111˚0’ hingga 114˚4’ Bujur Timur, dan 7˚12’ hingga 8˚48’ Lintang Selatan sebagaimana Gambar 3.

Gambar 3 : Wilayah Penelitian Provinsi Jawa Timur

Pada Gambar 3 terlihat unit penelitian mencakup 29 kabupaten dan 9 kota di Provinsi Jawa Timur dengan waktu pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan Agustus 2011 sampai dengan bulan Januari 2012.

3.2 Bahan dan Alat

(49)

3.3 Pengumpulan Data

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini baik data primer maupun data sekunder didapatkan melalui metoda pengumpulan data yang berbeda. Data sekunder didapatkan dengan menginventarisasi dan penelusuran data baik pada buku, peta, internet,perundang-undangan, penelitian terdahulu maupun dari instansi terkait baik pemerintah maupun swasta. Data primer diperoleh dari hasil survey/cek lapangan dan wawancara.

[image:49.595.69.482.146.771.2]

Jenis, sumber data, ringkasan tujuan, cara analisis, jenis variabel dan output yang ingin dicapai disajikan pada tabel 3 dibawah ini:

Tabel 3 Matriks hubungan Tujuan, Output, Metoda/Analisis Data, Jenis dan Sumber Data

Tujuan Output Metoda/

Analisis Data

Jenis data Sumber data

Identifikasi Jenis Tanaman Prioritas - Supply Demand bahan baku kayu di Jawa Timur - Jenis Tanaman Prioritas - Analisis data tabular - AHP - Kebutuhan Industri Supply :

- Data Kayu Masuk Prov. Jatim - Produksi Hutan

Rakyat

- Produksi Kayu Perhutani

Demand: - Kapasitas

Produksi IPHHK - Data Kebutuhan

Bahan Baku

IPHHK

- Preferensi Masyarakat - Produksi Hutan

Rakyat - Kuisioner

- Dishut Prov. Jatim - BPS - Perhutani - Wawancara Identifikasi ketersediaan lahan untuk pengembang an Hutan Rakyat Peta Ketersediaan Lahan untuk Pengemba-ngan Hutan Rakyat - Interpretasi Citra Visual -Overlay Peta

- Citra Landsat - Peta RTRW - Peta Kawasan

Hutan

- Peta Administrasi

- Bapedaprov Jatim - Dishutprov Jawa Timur Identifikasi kesesuaian lahan untuk jenis tanaman Peta Kesesuaian Lahan -Overlay - Analisis data tabular

- Data Biofisik (iklim, jenis tanah, kelerengan) - Data kebutuhan

bahan baku kayu perjenis

(50)

Tujuan Output Metoda/ Analisis Data

Jenis data Sumber data

Identifikasi kesesuaian dari lahan tersedia Peta Kesesuaian dari lahan tersedia untuk pengembang an hutan rakyat Overlay Peta Ketersedia an lahan dan kesesuaian lahan

- Peta ketersediaan lahan

- Peta kesesuaian lahan -Menyusun Arahan pengembang an HR Arahan Jenis Tanaman, Arahan Lokasi Arahan Pola Kelembagaan. Identifikasi lokasi industri Analisis model transport Hasil analisis supply-demand, Peta Kesesuaian dan Ketersediaan lahan, Kelayakan Usaha dan Pola Kemitraan serta Kelembagaan.

Hasil analisis yang telah dilakukan

3.4 Identifikasi Jenis Tanaman Prioritas

[image:50.595.106.511.84.688.2]

Untuk mengetahui jenis tanaman prioritas yang akan dikembangkan, adalah dengan melihat data kebutuhan industri, preferensi masyarakat dan produksi hutan rakyat sebagaimana pada gambar 5.

Gambar 5 Penentuan Jenis Tanaman Prioritas Pengembangan Hutan Rakyat

3.4.1 Kebutuhan Industri

Data kebutuhan industri merupakan jumlah bahan baku kayu bulat yang dibutuhkan oleh IPHHK setiap tahunnya. Data ini diperoleh dari laporan Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) yang merupakan kewajiban IPHHK untuk membuat setiap tahunnya. Data kapasitas produksi kayu yang diperoleh dari RPBBI adalah kebutuhan kayu berdasarkan kapasitas produksi

(51)

dari mesin terpasang setiap tahunnya. Untuk kebutuhan bahan baku sendiri digunakan asumsi bahwa rendemen kayu adalah 50% sehingga kebutuhan bahan baku adalah 2 (dua) kali lipat dari jumlah kapasitas produksi.

Selain kebutuhan bahan baku kayu bulat pertahun juga dianalisis kebutuhan bahan baku IPHHK perjenis produksi. Ini untuk melihat jenis kayu apa yang dibutuhkan oleh IPHHK di Provinsi Jawa Timur

3.4.2 Preferensi Masyarakat

Data preferensi masyarakat diperoleh dari data sekunder yang telah ada di Dinas Kehutanan Provinsi. Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur telah mengumpulkan data mengenai jenis tanaman apa yang lebih disukai oleh masyarakat per kabupaten di Jawa Timur untuk ditanam diwilayah masing-masing.

Data tersebut diolah lebih lanjut dengan memberikan skor terhadap berbagai jenis tanaman kehutanan yang banyak diminati. Skor 1 adalah untuk tanaman yang disukai sedangkan skor 0 adalah untuk yang tidak disukai. Total skor tertinggi menentukan jenis tanaman kehutanan yang paling disukai untuk dikembangkan diseluruh wilayah Jawa Timur

3.4.3 Produksi Kayu Rakyat

Data produksi kayu rakyat eksisting diperoleh dari SKAU dan SKSKB-KR yang diterbitkan oleh masing-masing Kabupaten. Dari data surat angkutan yang dikeluarkan diketahui volume terbesar dari kayu rakyat yang tumbuh di Jawa Timur selama 3 tahun terakhir yaitu tahun 2009 sampai 2011. Produksi kayu rakyat secara tidak langsung menunjukkan trend permintaan dari industri terhadap jenis kayu rakyat.

3.4.4. Tinjauan Analisis Finansial

Tinjauan analisis finansial digunakan untuk mengetahui kelayakan proyek (dalam hal ini pengusahaan hutan rakyat terhadap jenis tanaman prioritas yang terpilih menggunakan metode Net Present Value(NPV), Internal Rate of Return (IRR) danBenefit Cost Ratio(BCR).

(52)

Biaya-biaya yang dimasukkan pada analisa ini pengadaan alat, bibit, pupuk, insektisida dan biaya tenaga kerja. Sedangkan biaya pemanenan tidak dihitung, karena biaya pemanenan berupa biaya tebang, pengangkutan dan perijinan umumnya ditanggung oleh pembeli. Data yang dipergunakan adalah data sekunder baik yang berasal dari wawancara di lapangan dengan petani, pedagang perantara, IPHHK maupun pemerintah daerah, juga menggunakan data yang berasal dari literatur terdahulu.

Untuk menilai kelayakan dari jenis tanaman prioritas yang telah dipilih berdasarkan analisis terdahulu maka hal-hal yang perlu dinilai dalam analisis finansial adalah :

Analisis NPV (Net Present Value)

NPV atau nilai bersih sekarang adalah alat yang digunakan untuk menghitung nilai sekarang dari laba suatu investasi apakah investasi tersebut memberi keuntungan atau bahkan sebaliknya. NPV dihitung dengan cara menghitung nilai sekarang laba (nilai sekarang pendapatan dikurangi nilai sekarang investasi / biaya operasional) tahun pertama hingga tahun terakhir umur proyek investasi. Kemudian nilai sekarang laba tahun pertama hingga tahun terakhir dijumlahkan. Proyek investasi ini baru layak dijalankan jika total nilai sekarang lebih besar dari 0 (nol). Persamaan Net Present Value (NPV) adalah sebagai berikut :

Bt = Pendapatan dari hutan rakyat pada tahun ke - t Ct = Biaya pengusahaan hutan rakyat pada tahun ke - t i = Tingkat suku bunga yang berlaku

t = Jangka waktu daur ( i = 1, 2, ..,n)

AnalisisBenefit Cost Ratio(Rasio B/C)

(53)

Bt = Pendapatan dari hutan rakyat pada tahun ke - t Ct = Biaya pengusahaan hutan rakyat pada tahun ke - t i = Tingkat suku bunga yang berlaku

t = Jangka waktu daur ( i = 1, 2, ..,n)

Internal Rate Return (IRR)

Internal Rate Returnmenghitung tingkat bunga pada saat arus kas sama dengan 0 (nol) atau pada saat laba (pendapatan dikurangi laba) yang telah didiscount factor sama dengan 0 (nol). IRR ini berguna untuk mengetahui pada tingkat bunga berapa proyek investasi tetap memberikan keuntungan. Jika bunga sekarang kurang dari IRR maka proyek dapat diteruskan sedangkan jika bunga lebih dari IRR maka proyek investasi lebih baik dihentikan. Persamaan Internal Rate of Return(IRR) adalah sebagai berikut :

Dimana :

i' = Tingkat discount rate yang menghasilkan NPV' i'' = Tingkat discount rate yang menghasilkan NPV'' NPV' = NPV pada tingkat bunga i'

NPV'' = NPV pada tingkat bunga i''

(54)

Kriteria tersebut kemudian diterjemahkan kedalam peta menjadi sebagai berikut : (1) merupakan kawasan budidaya pertanian lahan kering (lahan non sawah); (2) bukan merupakan kawasan hutan (Hutan konservasi, Hutan Lindung dan Hutan Konservasi); (3) bukan merupakan kawasan perkebunan (negara); (4) bukan permukiman; (5) bukan kawasan dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang ditetapkan sebagai zone khusus seperti zone industri misalnya.

LL

Gambar 6 Penentuan Ketersediaan Lahan Pengembangan Hutan Rakyat

Pada gambar 6 terlihat analisis ketersediaan lahan hutan rakyat dilakukan dengan metode tumpang tindih (overlay) dengan menggunakan Software GIS. Tahapan adalah sebagai berikut :

1. Interpretasi citra Jawa Timur terbaru untuk mendapatkan peta penggunaan lahan eksisting yang selanjutnya ditumpangtindihkan dengan Peta RTRW Jawa Timur, Peta Kawasan Hutan dan Peta Administrasi sehingga didapat peta ketersediaan hutan rakyat potensial.

2. Menganalisa kebutuhan jenis kayu dari IPHHK sehingga diketahui jenis tanaman apa yang potensial untuk dikembangkan.

3. Selanjutnya dengan memperhatikan pertimbangan faktor-faktor kesesuaian lahan, maka diperoleh peta kesesuian dari lahan yang tersedia untuk pengembangan hutan rakyat.

LANDSAT TM7

PETA LANDUSE EKSISTING

- Lahan Kososng - Semak/belukar - Areal Pertanian Semusim

PETA RTRW

- Non Pemukiman - Non Industri

PETA KAWASAN HUTAN

- Areal Penggunaan Lain

PETA KETERSEDIAAN

(55)

3.6 Identifikasi Kesesuaian Lahan Berdasarkan Lahan yang Tersedia

Analisis kesesuaian lahan terhadap ketiga jenis tanaman kayu potensial pada penelitian ini menggunakan peta kesesuaian lahan yang merupakan hasil proyek Regional Physical Planning Program for Transmigration (RePPProT). Proyek ini merupakan kerjasama antara Departemen Transmigrasi dengan UK Overseas Development Administration. Karena penelitian ini meliputi skala provinsi dengan lahannya yang relatif luas, maka evaluasi lahan yang digunakan adalah tingkat tinjau.

Klasifikasi kesesuaian lahan yang digunakan pada analisis ini adalah menurut kerangka evaluasi lahan FAO. Data-data karakteristik fisik dan kimia tanah tidak diamati secara langsung, tetapi menggunakan data dan peta landsystem Jawa Timur. Peta ini merupakan skala tinjau 1:250.000. Karena peta yang digunakan adalah berskala kecil, maka kesesuaian lahan yang digunakan adalah sampai tingkat Ordo. Ordo menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

Ordo ini dibedakan menjadi dua yaitu Ordo S (sesuai) dan Ordo N (tidak sesuai). Lahan yang termasuk dalam Ordo sesuai merupakan lahan yang dapat digunakan dalam jangka waktu yang tidak terbatas untuk suatu tujuan yang telah dipertimbangkan sedangkan ordo tidak sesuai adalah lahan yang mempunyai kesulitan sedemikian rupa, sehingga mencegah penggunanya untuk tujuan yang telah direncanakan.

Gambar 7 Penentuan Kesesuaian Lahan Menurut Jenis Tanaman Terpilih

RePPProt (Peta Landsystem)

KESESUAIAN JENIS TANAMAN PRIORITAS

- Peta Lereng - Peta Curah Hujan - Jenis tanah - Elevasi

(56)

-Pada gambar 7 menunjukkan setelah diperoleh kesesuaian lahan berdasarkan data Reppprot selanjutnya data tersebut dioverlay dengan peta lereng, curah hujan, jenis tanah dan elevasi Jawa Timur untuk mengupdatedata pada peta landsystem Jawa Timur. Langkah ini adalah untuk menentukan kesesuaian lahan berdasarkan syarat tumbuh bagi tanaman prioritas terpilih di seluruh wilayah Jawa Timur.

Klasifikasi kesesuaian lahan adalah pengelompokan lahan berdasarkan kesesuaiannya untuk tujuan tertentu. Pada penelitian ini digunakan kesesuaian lahan pada tingkat ordo yang menunjukan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk suatu jenis penggunaan tertentu. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan atas Ordo S (sesuai) dimana lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang dapat digunakan dalam jangka waktu yang tidak terbatas untuk suatu tujuan yang telah dipertimbangkan. Keuntungan dari hasil pengelolaan lahan ini akan memuaskan setelah dihitung dengan masukan yang diberikan dan Ordo N (tidak sesuai) dimana lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang mempunyai kesulitan sedemikian rupa, sehingga mencegah penggunaannya untuk suatu tujuan tertentu. Lahan tidak sesuai karena adanya berbagai penghambat, baik secara fisik (lereng sangat curam, berbatu-batu, dan sebagainya) atau secara ekonomi yaitu keuntungan yang didapat lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

3.7 Analisis Pola Kemitraan Eksisting

Untuk menentukan pola kemitraan yang disukai masyarakat berdasarkan pola kemitraan yang telah ada di Jawa Timur adalah dengan metode AHP. Metode Analytical Hierarchy Procees (AHP) merupakan metode untuk pengambilan keputusan dengan banyak kriteria yang digunakan dalam menentukan pola kemitraan mana yang menjadi prioritas yang disukai responden untuk dikembangkan di Provinsi Jawa Timur.

(57)

Gambar 8 Hirarki Bentuk Pola Kemitraan

Alat yang digunakan untuk pengumpulan data berupa kuisioner pada stakeholders yang terlibat dalam kegiatan hutan rakyat. Responden adalah Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, Direktur IPHHK di Gresik, Jombang, Lumajang dan Ketua Kelompok Tani Hutan Rakyat di Bangkalan, Mojokerto, Lumajang dan Tuban.

Aspek-aspek dalam penetapan prioritas pola kemitraan adalah modal usaha, pemasaran dan bimbingan teknis yang merupakan pertimbangan utama dalam suatu pola kemitraan. Modal usaha meliputi semua pengeluaran untuk produksi termasuk bibit, pupuk, obat-obatan dan biaya tenaga kerja, pemasaran merupakan kemudahan petani untuk menjual hasil produksi dengan adanya kepastian pasar dan bimbingan teknis meliputi adanya bimbingan dan penyuluhan terhadap petani dalam budidaya tanaman hutan rakyat.

Pola kemitraan yang sering dipergunakan dalam hutan rakyat adalah : 1. Pola A merupakan pola kemitraan dimana IPHHK memberikan bantuan bibit

tanpa ada perjanjian bagi petani untuk menjual hasil panen kayu ke IPHHK yang bersangkutan

2. Pola B merupakan kemitraan dimana IPHHK memberikan bantuan bibit, saprodi dan bimbingan teknis dengan perjanjian seluruh hasil panen dijual ke IPHHK yang bersangkutan

3. Pola C merupakan kemitraan dimana IPHHK memberikan kredit lunak kepada petani yang pengembalian setelah panen dengan bunga yang telah disepakati.

4. Pola D merupakan kemitraan dengan sistem inti plasma. Dimana IPHHK merupakan inti dan petani adalah plasma. Inti memberikan modal, sarana

Bentuk Pola Kemitaan Antara Industri dan Masyarakat

MODAL USAHA PEMASARAN BIMBINGAN TEKNIS

(58)

produksi dsb dengan perjanjian penjualan hasil panen ke inti dengan memotong biaya produksi yang telah dikeluarkan

3.8 Penyusunan Arahan Pengembangan Hutan Rakyat

Dalam penyusunan arahan digunakan metode deskriptif berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya sebagaimana pada gambar 4. Arahan pengembangan dibagi menjadi arahan berdasarkan jenis yaitu dengan menggunakan data-data yang diperoleh untuk penentuan jenis tanaman prioritas yang akan dikembangkan. Arahan berdasarkan lokasi merupakan arahan pengembangan hutan rakyat berdasarkan ketersediaan lahan dan kesesuaian jenis tanaman. Arahan kemitraan merupakan arahan bagaimana bentuk pola kemitraan yang akan dikembangkan di Provinsi Jawa Timur untuk IPHHK yang akan bermitra dengan petani hutan rakyat.

Analisis optimasi transportasi digunakan untuk menentukan arahan pengembangan berdasarkan lokasi. Analisis transportasi yaitu melihat minimum biaya yang harus dikeluarkan untuk pemenuhan suplai bahan baku industri oleh hutan rakyat

Fungsi Tujuan : Minimisasi ܼ=෍ ∑௝ୀଵCij. . Xij ଵୀଵ

Dengan kendala

ଵୀଵXij ൑Oij untuk i=1,2,..,m (kendala produksi)

 ∑ଵୀଵXij ൒Dij untuk i=1,2,..,m (kendalademand)

 Xij ≥ 0 (kendala non negativitas, karena jumlah barang dan jasa yang dikirim tidak mungkin negatif)

Dimana :

i = wilayah hutan rakyat

j = wilayah IPHHK

xij = jumlah kayu yang ditransportasikan dari wilayah i ke wilayah j

cij = ongkos transpor yang harus dibayar untuk setiap unit xij yang ditransport dari wilayah I ke wilayah j

Oi = kapasitas produksi total di wilayah i Dj = permintaan total (total demand) wilayah j

(59)
(60)
[image:60.842.94.692.85.421.2]

Gambar 4. Skema Alur Penelitian

OPTIMASI KEMITRAAN IPHK DENGAN PETANI KELEMBAGAAN

EKSISTING

PREFERENSI POLA KEMITRAAN

POLA KEMITRAAN POTENSIAL

PETA KETERSEDIAAN DAN KESESUAIAN LAHAN

LANDSAT TM7

PETA LANDUSE EKSISTING

PETA RTRW PETA KAWASAN HUTAN

PETA KETERSEDIAAN LAHAN KEBUTUHAN

INDUSTRI

PREFERENSI

MASYARAKAT PRODUKSIHUTAN

RAKYAT

JENIS TANAMAN PRIORITAS

overlay

overlay

AHP

AHP

ARAHAN PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT

ARAHAN JENIS TANAMAN ARAHAN LOKASI PENGEMBANGAN

ARAHAN KELEMBAGAAN

KESESUAIAN LAHAN

(61)

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1 Letak Geografis dan Administrasi Pemerintahan

Provinsi Jawa Timur terletak pada 111˚0’ hingga 114˚4’ Bujur Timur, dan 7˚12’ hingga 8˚48’ Lintang Selatan. Disebelah utara Provinsi Jawa Timur berbatasan dengan Pulau Kalimantan, sebelah timur berbatasan dengan Pulau Bali, selatan dengan Samudera Indonesia. Sedangkan disebelah barat berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah.

Secara umum, wilayah Provinsi Jawa Timur terbagi dalam dua bagian besar, yaitu Jawa Timur daratan dan Pulau Madura. Dimana luas wilayah Jawa Timur daratan hampir mencakup 90 persen dari seluruh luas wilayah Provinsi Jawa Timur. Luas wilayah Provinsi Jawa Timur sendiri mencapai 47.156 km², terbagi ke dalam 29 kabupaten, 9 kota, dan 657 kecamatan dengan 8.497 desa/kelurahan (785 kelurahan dan 8.484 desa).

Gambar

Gambar 1.TERBATAS
Tabel 3 Matriks hubungan Tujuan, Output, Metoda/Analisis Data, Jenis dan
Gambar 5 Penentuan Jenis Tanaman Prioritas Pengembangan Hutan Rakyat
Gambar 4. Skema Alur Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini berisi tentang persepsi penumpang pada kualitas pelayanan jasa pada perusahaan perusahaan transportasi (studi perbandingan pada 3 perusahaan otobus atau PO.),

penjelasan & praktikum langkah-langkah pembuatan preparat mikroskopis/ histology hewan (otot, kulit, saraf, ginjal, paru-paru, trache & esofagus, lidah,

1) Sikap permulaan yaitu: berdiri di daerah servis menghadap ke lapangan, bagi yang tidak kidal kaki kiri di depan dan bagi yang kidal sebaliknya. Bola dipegang pada tangan

[r]

Sanggahan sudah diterima selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kalender setelah pengumuman ini dengan tembusan kepada Pejabat Pembuat Komitmen Program Pembangunan Infrastruktur

[r]

Berdasarkan hasil penelitian, saran yang diajukan kepada perusahaan adalah melakukan pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja tentang Defensive Driving & Riding

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektifitas metode pembelajaran psikomotor di laboratorium dengan supervisi dari pembimbing dan mandiri terhadap kemampuan mahasiswa