• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimasi sistem traceability dalam industri pengolahan udang breaded black tiger (Penaeus monodon) dengan pendekatan konsep batch dispersion

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Optimasi sistem traceability dalam industri pengolahan udang breaded black tiger (Penaeus monodon) dengan pendekatan konsep batch dispersion"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMASI SISTEM TRACEABILITY DALAM INDUSTRI PENGOLAHAN UDANG BREADED BLACK TIGER (Penaeus monodon)

DENGAN PENDEKATAN KONSEP BATCH DISPERSION

SKRIPSI PENELITIAN

FITRI MEIDIYANTI C34060134

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)

RINGKASAN

FITRI MEIDIYANTI. C34060134. Optimasi Sistem Traceability dalam Industri Pengolahan Udang Breaded Black tiger (Penaeus monodon) dengan Pendekatan

Batch Dispersion. Dibimbing oleh ANNA C ERUNGAN dan BUSTAMI

IBRAHIM

Udang merupakan salah satu komoditas pangan yang sangat dibutuhkan dan menjadi primadona ekspor. Akan tetapi produk yang diekspor dari komoditas udang ini pun sering kali mengalami penolakan. Penolakan ini terjadi karena adanya bahaya pada produk yang dipasarkan, baik itu bahaya fisik, kimia maupun mikrobiologi. Oleh karena itu pemerintah menetapkan peraturan baru untuk melaksanakan traceability pada produk pangan pada semua tingkatan produksi, pengolahan, dan distribusi. Sistem traceability membatasi dampak masalah keamanan pangan yang potensial, sehingga dapat diketahui dengan pasti produk yang terkena dampak dan jaringan pasokan yang terlibat. Dupuy et al. (2005) menggunakan konsep batch dispersion untuk menangani internal traceability, yaitu menelusuri internal batch produk pada satu langkah ke depan maupun ke belakang dalam chain, misalnya pada proses produksi. Tujuan umum penelitian ini adalah mengoptimasikan sistem traceability dengan pendekatan konsep batch dispersion pada proses produksi udang breaded black tiger (Penaeus monodon), sedangkan tujuan khususnya mengurangi

batch dispersion pada proses produksi, sehingga dapat mencegah kontaminasi produk

dan mempermudah proses penelusurannya. Metode yang digunakan adalah pendekatan batch dispersion. Dengan menggunakan konsep batch dispersion, dimana permasalahan yang diangkat adalah mixed batch pada proses produksi. Mixed batch yang tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi mikroba ataupun defect pada hasil akhir produk, dimana akan mempengaruhi mutu dan keamanan pangannya. Batch dispersion membatasi ukuran batch dalam tahap produksi sehingga dapat mengurangi masalah keamanan dan dapat mengoptimasikan traceability.

PT X merupakan salah satu perusahaan yang memanfaatkan udang black tiger

(Penaeus monodon) sebagai bahan baku utama untuk membuat produk udang

breaded. Produk udang tersebut dijual ke beberapa negara seperti Jepang, USA, dan

lain-lain. Penyebaran batch di PT X ini berdasarkan ukuran dan jenis produk akhir yang akan dihasilkan, dimana batch bahan baku berasal dari satu atau beberapa supplier, yang terkadang berbeda setiap harinya tergantung ketersediaan supplier Kemudian dari batch bahan baku ini akan dibagi menjadi batch-batch komponen, yang nantinya akan digabung menjadi batch produk akhir.

(3)
(4)

OPTIMASI SISTEM TRACEABILITY DALAM INDUSTRI PENGOLAHAN UDANG BREADED BLACK TIGER (Penaeus monodon)

DENGAN PENDEKATAN KONSEP BATCH DISPERSION

FITRI MEIDIYANTI C34060134

SKRIPSI PENELITIAN

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(5)

Judul :Optimasi sistem traceability dalam industri pengolahan udang breaded Black tiger (Penaeus monodon) dengan pendekatan konsep batch dispersion

Nama : Fitri Meidiyanti NRP : C34060134

Program Studi : Departemen Teknologi Hasil Perairan

Menyetujui,

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Ir. Anna C Erungan, MS Dr.Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc. NIP : 19620708 198603 2 001 NIP : 19611101 198703 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil NIP. 1958 0511 198503 1 002

(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Optimasi Sistem Traceability dalam Industri Pengolahan Udang Breaded Black Tiger (Penaeus monodon) dengan Pendekatan Batch Dispersion” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebut dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.

Bogor, Februari 2011

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan penelitian ini dengan baik. Laporan penelitian ini merupakan hasil penelitian yang dilaksanakan penulis pada bulan Agustus-September 2010 di PT X.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan laporan penelitian ini, terutama kepada:

1. Ir. Anna C Erungan, MS selaku dosen pembimbing pertama, atas segala bimbingan, pengarahan, dan semangat yang diberikan kepada penulis.

2. Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc selaku dosen pembimbingan kedua, atas segala bimbingan, pengarahan, dan semangat yang diberikan kepada penulis.

3. Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.- Biol. selaku dosen penguji, atas segala bimbingan, arahan dan semangat yang diberikan kepada penulis.

4. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, M.S., M.Phil selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan.

5. Ibu Yenni dan bapak Budi selaku pembimbing lapang yang membimbing dan mengarahkan penulis, baik selama ataupun setelah penelitian berlangsung.

6. Bapak Yohannes selaku Manager PT X beserta Bapak Fuad, Mbak Ruri, Bu Martha, Bu Leli, Pak Suki, Mbak Juju dan karyawan lainnya yang telah bersedia menerima dan membantu penulis selama penelitian di Perusahaan ini.

7. Bapak, Ibu dan adik-adikku tercinta, Rika, Harry, dan Gerri yang memberikan dorongan, semangat dan doanya serta membantu penulis dalam menyelesaikan laporan ini

8. Temen sepenelitianku, Molly Hermasty yang selalu ada di samping penulis di saat senang maupun sedih selama penelitian berlangsung.

(8)

10. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penulisan laporan praktek lapang ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak dalam proses penyempurnaan laporan penelitian ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Bogor, Februari 2011

(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Curup, Propinsi Bengkulu pada tanggal 13 Mei 1988 sebagai anak pertama dari empat bersaudara pasangan Efrizon dan Defita. Memulai jenjang pendidikan formal di SD Negeri 2 Centre Curup-Bengkulu (tahun 1994-2000), selanjutnya penulis melanjutkan pendidikannya di SLTP Negeri 1 Curup-Bengkulu (tahun 2000-2003). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMA Negeri 1 Curup-Bengkulu dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui Jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (BEM TPB) tahun 2006-2007, Badan Eksekutif Mahasiswa FPIK (BEM C) tahun 2007-2008, Himpunan Mahasiswa Hasil Perairan (HIMASILKAN) tahun 2008-2009, dan Ikatan Mahasiswa Bumi Raflesia (IMBR) tahun 2006-sekarang. Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum m.k. Iktiologi tahun ajaran 2007-2008. Selain itu, juga aktif dalam kepanitian berbagai kegiatan mahasiswa di Institut Pertanian Bogor.

Penulis melaksanakan penelitian di PT X, dimana penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan persyaratan seminar dan sidang di Departemen Teknologi Hasil Perairan. Penulis menyelesaikan penelitian ini dengan judul Optimasi Sistem Traceability dalam Industri Pengolahan Udang Breaded black tiger

(Penaeus monodon) dengan Pendekatan Konsep batch dispersion di bawah

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………... ix

DAFTAR GAMBAR ………. x

DAFTAR LAMPIRAN ………. xii

1 PENDAHULUAN .………... 1

1.1 Latar Belakang .………... 1

1.2 Tujuan .………... 3

2 TINJAUAN PUSTAKA .……… 4

2.1 Udang .………...…… 4

2.1.1 Klasifikasi dan deskripsi udang black tiger (Penaeus monodon) .………. 4

2.1.2 Komposisi udang dan persyaratan mutu udang .…………... . 5

2.1.3 Proses kemunduran mutu udang ..….………... 9

2.2 Breaded Produk ...………...………... 10

2.3 Mutu dan Keamanan Pangan ...……….. 13

2.3.1 Mutu ....………..……… 14

2.3.2 Keamanan pangan ....………. 15

2.4 Traceability ..……….. 18

2.5 Batch Dispersion ...………...…... 19

3 METODE PENELITIAN ...…………..…..………... 21

3.1 Waktu dan Tempat ….………...….………. 21

3.2 Kerangka Pemikiran .………...……..….……… 21

3.3 Jenis dan Sumber Data ...………...………….………... 25

3.4 Tahapan Penelitian ...……….……… 26

3.5 Metode Pengambilan Data ...………. 27

3.5.1 Pengumpulan data primer ...…....……….. 27

3.5.2 Pengumpulan data sekunder ...……….. . 27

3.6 Metode Analisis Data ……….... 27

3.6.1 Analisis deskriptif …………...……….. . 27

3.6.2 Analisis batch dispertion ………...……….... 28

3.6.2.1 Model penelitian ...……… 28

(11)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ……....…..………. .. 32

4.1 Keadaan Umum PT X ..…………..………...….………. 32

4.1.1 Lokasi perusahaan ..……………...……….... 32

4.1.2 Fasilitas bangunan ..……………...………...………….... 33

4.1.3 Fasilitas produksi ..……………...……….... 36

4.1.4 Fasilitas penunjang .……………...……….. 39

4.2 Proses Produksi ………...……..….……… 40

4.3 Optimasi Sistem Traceability ..……….………….………... 56

4.3.1 Pembagian batch ..……....………...……….………... 56

4.3.2 Analisis Batch dispersion ..……….………...…………. 57

4.3.2.1 Batch 12 AI …….……… 59

4.3.2.2 Batch 14 AI …….……… 61

4.3.2.3 Batch 14 BU ……… 62

4.3.2.4 Batch 16 BU …….……… 64

4.3.3 Perbandingan antar batch …...…...…... 65

4.3.4 Penelusuran produk………...………... 67

5 KESIMPULAN DAN SARAN ...…………..……….... 72

5.1 Kesimpulan ………... 72

5.2 Saran ………. 72

DAFTAR PUSTAKA ……… 73

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Udang black tiger (Penaeus monodon) ...………….……….... 5

2. Pemahaman mengenai mutu ……….. 14

3. Kerangka pemasalahan dan solusi ………...……….. 22

4. Proses produksi udang secara umum ………. 23

5. Gambaran secara umum traceability pada tahapan proses produksi dan cara penelusurannya ……….……… 25

6. Diagram tahapan metode penelitian.……….. 26

7. Diagram alir proses produksi udang breaded black tiger PT X ……….. 42

8. Kode pada tahap penerimaan bahan baku udang black tiger head on ………... 43

9. Kode udang black tiger headless ………..…. 44

10. Kode pada proses sortasi …..…...………...……….. 45

11. Kode udang kualitas aval ... 47

12. Kode pada proses penggoresan perut ....………...……….. 49

13. Kode pada proses predusting ...………...……….. 51

14. Kode pada proses checking filth ..………...……….. 53

15. Kode pada pengemasan polibag ...………...……….. 54

16. Kode pada pengemasan master carton ...………...……….. 55

17. Pembagian batch 12 AI ...………...……….. 60

18. Pembagian batch 14 AI ...………...……….. 62

19. Pembagian batch 14 BU ...………...……….. 63

20. Pembagian batch 16 BU ...………...……….. 64

21. Grafik perbandingan jumlah batch dispersion awal dengan jumlah minimum batch dispersion ………...…….. 66 22. Penelusuran proses produk breaded black tiger berdasarkan

(14)
(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil perhitungan batch 12 AI ..………..….. 77

2. Hasil perhitungan batch 14 AI ..………..….. 86

3. Hasil perhitungan batch 14 BU ..………..….. 98

(16)

1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Komoditas pangan merupakan komoditas yang sangat dibutuhkan. Bahkan kebutuhan terhadap komoditas ini tidak dapat ditunda dan harus tersedia setiap saat, baik itu dari komoditas hasil pertanian, perternakan, maupun perikanan. Tetapi saat ini isu keamanan pangan telah menjadi perhatian dunia. Konsumen pangan semakin kritis seiring meningkatnya kesadaran terhadap masalah kesehatan. Pola pemilihan pangan oleh konsumen mengubah standar dan kriteria dalam menentukan mutu pangan. Kriteria-kriteria yang bukan lagi hanya ditekankan pada faktor nutrisi atau pun penampilan saja, tetapi sudah lebih mempertimbangkan faktor keamanan pangan. Artinya, konsumen mempertimbangkan risiko yang membahayakan kesehatan dalam mengkonsumsi pangan.

Faktor keamanan pangan dapat dinilai dari sumber risiko dan dampaknya terhadap kesehatan manusia, diantaranya mikroba patogen (pembawa dan penyebab penyakit), residu pestisida, bahan tambahan pangan dan residu obat-obatan dan hormon pada peternakan dan perikanan, bahan beracun alami maupun toksin yang bersumber dari lingkungan misalnya logam-logam berat, agen pembawa yang tidak biasa misal BSE (Bovine spongiform encephalopathy) atau penyakit sapi gila, yang ditularkan lewat pangan hasil ternak sapi, penyakit yang bisa ditransmisikan dari manusia kepada manusia lewat makanan misalnya tuberkulosis, dan juga proses pengawetan dan pengolahan yang hasilnya memungkinkan membawa resiko (Pardede 2009). Hal ini bersumber pada potensi sumberdaya yang ada, misalnya saja sumberdaya perikanan.

(17)

mencapai 50.581 ton, 61.235 ton, 35.232 ton, tahun 2007 mencapai 40.334 ton, 60.399 ton, 28.845 ton, tahun 2008 mencapai 39.582 ton, 80.479 ton, 26.825 ton. Potensi lahan laut di Indonesia pun masih banyak tersisa yaitu sebanyak tersisa 8.276.036 ha (KKP 2009). Sehingga Kementerian Kelautan dan Perikanan pun menargetkan produksi udang nasional sebesar 699.000 ton pada tahun 2014 atau meningkat sebesar 74,75 % selama periode 2010-2014. Salah satu komoditas dari kelas crustacea yang ditargetkan adalah udang black tiger (Penaeus monodon) yang merupakan organisme akuatik asli pantai pasifik Meksiko, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Udang black tiger biasanya juga dikenal orang dengan nama udang windu, dan nama umum lainnya yaitu tiger shrimp atau tiger prawn (Suyanto dan Mujiman 1994).

Produk yang diekspor dari komoditas udang ini pun sering kali mengalami penolakan. Penolakan ini terjadi karena adanya bahaya pada produk yang dipasarkan, baik itu bahaya fisik, kimia, maupun mikrobiologi. Oleh karena itu pemerintah menetapkan peraturan baru untuk melaksanakan traceability pada produk pangan pada semua tingkatan produksi, pengolahan, dan distribusi. Sistem traceability membatasi dampak masalah keamanan pangan yang potensial, sehingga dapat diketahui dengan pasti produk yang terkena dampak dan jaringan pasokan yang terlibat. Hal ini merupakan kontrol tindakan sehingga dapat dengan mudah diikuti. Namun, traceability sendiri tidak mengubah keselamatan dan kualitas produk. Untuk mengefisienkan maka penerapan sistem traceability harus dilengkapi dengan pendekatan produksi yang cocok dan distribusi perencanaan (Grunow et al. 2008). Dupuy et al. (2005) menggunakan konsep batch dispersion untuk menangani internal traceability, yaitu menelusuri internal batch produk pada satu langkah dalam chain, misalnya pada proses produksi.

(18)

akhir, karena dapat memungkinkan terjadinya kontaminasi pada produk, lamanya waktu kerja, dan bertambahnya biaya produksi. Batch dispersion membatasi ukuran

batch dalam tahap produksi sehingga dapat mengurangi masalah keamanan dan dapat

mengoptimasikan traceability. Ukuran batch dapat mempengaruhi degradasi kualitas produk, khususnya produk yang bersifat perishable misalnya udang, baik itu udang beku maupun udang breaded dimana memiliki kualitas udang yang berbeda.

1.2Tujuan a. Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengoptimasikan sistem traceability dengan pendekatan konsep batch dispersion pada proses produksi udang breaded black tiger (Penaeus monodon).

b. Khusus

(19)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Udang

2.1.1 Klasifikasi dan deskripsi udang black tiger (Penaeus monodon)

Secara lengkap klasifikasi udang black tiger (Fast and Lester 1992) yaitu: Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda Class : Melacostraca Ordo : Decapoda Family : Penaeidae Genus : Penaeus

Species : Penaeus monodon

Gambar 1 Udang black tiger (Penaeus monodon)

Sumber : Foodallergens(2006)

(20)

Organ internal pada sistem reproduksi udang jantan terdiri dari sepasang testes, vas deferens, dan terminal ampoules untuk penyimpanan spermatopore. Sedangkan pada udang betina terdiri dari sepasang ovari yang panjang dari pertengahan thorax hingga bagian posterior pada abdomen (Fast and Lester 1992). 2.1.2 Komposisi udang dan persyaratan mutu udang

(21)

24-Udang sebagai salah satu produk perikanan memilliki sifat mudah busuk (highly perishable), maka penanganan dan proses produksi yang baik mutlak diperlukan agar mutu dan keamanan udang tetap segar pada saat dikonsumsi. Mutu udang terutama ditentukan oleh keadaan fisik, organoleptik (rupa, warna, bau, rasa dan tekstur), ukuran dan keseragaman udang. Oleh karena itu, tidak boleh ada cacat, rusak atau defect yang akan mengurangi nilai dari mutu udang. Standar syarat mutu dan keamanan pangan udang beku yang harus diperhatikan adalah penilaian organoleptiknya, cemaran mikroba, cemaran kimia, fisika, dan filth (Tabel 2).

Tabel 2 Standar syarat mutu dan keamanan pangan udang beku

Jenis Uji Satuan Persyaratan

a. Organoleptik angka (1-9) minimal 7

b. Cemaran mikroba:

1) ALT koloni/g maksimal 5,0 x 105

2) Escherichia coli APM/g maksimal < 2

3) Salmonella APM/25g Negative

4) Vibrio cholera APM/25g Negative

5) Vibrio

parahaemolyticus (kanagawa positif)*

APM/g maksimal < 3

c. Cemaran kimia*:

1) Kloramfenikol Ppb maksimal 0

2) Nitrofuran Ppb maksimal 0

3) Tetrasiklin Ppb maksimal 100

d. Fisika:

Suhu pusat, maks. °C maksimal -18

e. Filth Jenis/jumlah maksimal 0

*: Bila diperlukan

Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2007)

(22)

Berdasarkan kesegarannya, udang dapat dibedakan menjadi empat kelas mutu yaitu (Hadiwiyoto 1993):

a. Udang yang mempunyai mutu prima (prime) atau baik sekali, yaitu udang-udang yang benar-benar masih segar, belum ada perubahan warna, transparan dan tidak ada kotoran atau noda-nodanya.

b. Udang yang mempunyai mutu baik (fancy). Udang ini mutunya dibawah prima, ditandai dengan adanya kulit udang yang sudah tampak pecah-pecah atau retak-retak, tubuh udang lunak tetapi warnanya masih baik dan tidak terdapat kotoran atau noda-nodanya.

c. Udang bermutu sedang (medium, black dan spot). Pecah-pecah pada kulit udang lebih banyak daripada udang yang bermutu baik. Udang sudah tidak utuh lagi, kakinya patah, ekornya hilang atau sebagian tubuhnya putus. Daging udang sudah tidak lentur lagi, pada permukaan tubuhnya sudah tampak banyak noda berwarna hitam atau merah gelap.

d. Udang yang bermutu rendah (jelek dan rusak). Kulit udang banyak yang pecah atau mengelupas, ruas-ruas tubuh sudah banyak yang putus dan udang sudah tidak utuh lagi.

Bentuk-bentuk olahan udang yang dibekukan tergantung dari jenis udang, mutu bahan baku dan pesanan dari pihak konsumen. Adapun bentuk olahan dari udang beku adalah sebagai berikut (Purwaningsih 1994):

a. Head On (HO)

Produk head on adalah produk udang beku yang utuh lengkap dengan kepala, badan, kulit dan ekor. Produk head on ini harus dibuat dari udang yang mempunyai tingkat kesegaran yang tinggi. Biasanya udang yang diolah head on adalah udang yang berukuran besar.

b. Headless (HL)

(23)

c. Peeled

Produk peeled adalah produk udang beku tanpa kepala atau dengan ekor . bentuk pengolahahn secara peeled ada 5 jenis. Berikut ini kelima produk olahan tersebut:

1) Peeled Tail On (PTO)

Peeled tail on adalah produk udang beku tanpa kepala dan kulit dikupas mulai dari ruas pertama sampai dengan ruas kelima, sedangkan ruas terakhir dan ekor disisakan.

2) Peeled Devined Tail On (PDTO)

Produk peeled devined tail on adalah produk udang kupas (hampir sama dengan PTO), tetapi pada bagian punggung udang diambil kotoran perut (vein). Kotoran perut tersebut diambil dengan cara membelah bagian punggung mulai dari ruas pertama atau kedua hingga ruas kelima. Cara lainnya yaitu menarik keluar kotoran perut dari punggung udang dengan menggunakan tusukan dari bambu (bamboo stick).

3) Peeled and Devined (PD)

Produk peeled and devined ini adalah produk udang beku yang dikupas seluruh kulit dan ekornya dan bagian punggungnya dibelah untuk mengambil kotoran ekor.

4) Peeled and Undevined (PUD)

Produk peeled and undevined adalah prouk udang beku yang dikupas seluruh kulit dan ekornya seperti pada produk PD, tetapi tanpa pengambilan kotoran ekor.

5) Butterfly

Produk butterfly adalah produk udang beku hampir sama dengan produk PDTO dimana kulit udang dikupas mulai dari ruas pertama sampai dengan ruas kelima, sedangkan ruas terakhir dan ekor disisakan. Kemudian bagian punggung dibelah sampai pada bagian perut bawahnya, tetapi tidak sampai putus dan kotoran perutnya dibuang.

(24)

2.1.3 Proses kemunduran mutu udang

Kemunduran mutu udang segar sangat berhubungan dengan komposisi kimia dan susunan tubuhnya. Sebagai produk biologis, udang termasuk bahan makanan yang mudah busuk bila dibandingkan dengan ikan. Oleh karena itu, penanganan udang segar memerlukan perhatian dan perlakuan cermat (Purwaningsih 1994).

Susunan tubuh udang mempunyai hubungan erat dengan masa simpannya. Bagian kepala merupakan bagian yang sangat berpengaruh terhadap daya simpan karena bagian ini mengandung enzim pencernaan dan bakteri pembusuk (Purwaningsih 1994).

Proses penurunan mutu udang disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari badan udang itu sendiri dan faktor lingkungan. Penurunan mutu ini terjadi secara autolisis, bakteriologis, dan oksidasi (Purwaningsih 1994).

a. Penurunan mutu secara autolisis

Penurunan secara autolisis adalah suatu proses penurunan mutu yang terjadi karena kegiatan enzim dalam tubuh udang yang tidak terkendali sehingga senyawa kimia pada jaringan tubuh yang telah mati terurai secara kimia. Penurunan mutu ditandai dengan rasa, warna, tekstur, dan rupa yang berubah (Purwaningsih 1994). Proses enzimatik yang terjadi juga sangat mempengaruhi rupa udang yaitu pembentukan bercak hitam (melanosis) dengan gejala terjadinya penghitaman pada kepala, ruas-ruas dan ekor. Proses melanosis ini segera dan cepat dipengaruhi oleh keadaan kering, adanya oksigen, suhu tinggi dan faktor waktu (Ilyas 1993).

b. Penurunan mutu secara bakteriologis

(25)

c. Penurunan mutu secara oksidasi

Penurunan mutu secara oksidasi biasanya terjadi pada udang yang kandungan lemaknya tinggi. Lemak udang akan dioksidasi oleh oksigen yang berada di udara sehingga menimbulkan bau dan rasa tengik (Purwaningsih 1994).

2.2 Breaded Produk

Menurut Badan Standarisasi Nasional tahun 2009, SNI 6163.2:2009 yang menjelaskan tentang udang berlapis tepung (breaded) beku-bagian 2: persyaratan bahan baku, adalah sebagai berikut:

1. Ruang lingkup

Standar ini menetapkan bahan baku udang berlapis tepung (breaded) beku. 2. Acuan normatif

SNI 01-2705.1-2006, udang beku-bagian 2: persyaratan bahan baku. SNI 01-2728.1-2006, udang beku segar-bagian 2: persyaratan bahan baku. 3. Istilah dan definisi

3.1 Bahan baku udang berlapis tepung beku

Udang segar atau beku yang belum mengalami pengolahan. 4. Jenis

Jenis bahan baku yang digunakan adalah semua jenis udang. 5. Bentuk

Bentuk bahan baku berupa udang utuh segar. 6. Asal

Bahan baku berasal dari perairan yang tidak tercemar. 7. Mutu

Sesuai dengan SNI 01-2705.1-2006 dan SNI 01-2728.1-2006. 8. Penyimpanan

(26)

Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan (Peraturan Pemerintah RI No 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan). Bahan tambahan pada suatu produk makanan merupakan nilai tambah bagi produk makanan tersebut (ASEAN-Canada Fisheries 1994). Breaded produk merupakan pangan olahan daging ataupun “minced” yang dilapisi (coating) oleh tepung. Coating merupakan cara yang paling umum untuk meningkatkan nilai dari suatu produk dan sudah diterima secara universal karena konsumen dapat memperoleh penampakan, aroma, dan flavor yang sesuai dengan selera. Perkembangan jenis convenience produk ini sangat cepat. Adapun keuntungan coating (Venugopal 2006) antara lain :

a. Memberikan tekstur renyah, aroma dan warna menarik. b. Meningkatkan kualitas gizi melalui penggabungan nutrisi.

c. Bertindak sebagai penghalang kelembaban sehingga meminimalkan kerugian selama penyimpanan beku.

d. Bertindak sebagai pelapis makanan sehingga dapat mencegah cairan alami mengalir keluar.

e. Menyediakan struktural penguatan pada substrat.

f. Meningkatkan sebagian besar substrat sehingga mengurangi biaya produk jadi.

Jenis-jenis coating antara lain binders, batter, dan breadcrumbs (ASEAN-Canada Fisheries 1994):

a. Binders

Binder (Predust) merupakan campuran dari tepung, pati dan komponen fungsional lainnya misalnya protein, vegetable gum, bumbu atau penambah cita rasa/flavor. Fungsi predust adalah (ASEAN-Canada Fisheries 1994):

1) Adhesi, untuk meningkatkan daya ikat substrat dengan lapisan coating. 2) Tekstur, melindungi produk dari kehilangan air.

(27)

Menurut Badan Standar Nasional tahun 2009, SNI 6163.3:2009 predust yang harus digunakan pada udang berlapis tepung adalah predust berbentuk tepung halus, bersih, bau tepung segar, tidak berjamur serta tidak mengandung filth.

b. Batter mix

Pada umumnya terdapat dua tipe batter yang biasa digunakan, yaitu normal batter (tanpa tepung) dan batter yang menggunakan tepung tempura. Sederhananya, kedua jenis ini dapat dibuat dari tepung gandum, tepung air, dan air, dengan tambahan baking powder untuk tempura batter. Pencampuran kira-kira 1/3 tepung gandum dan 2/3 air, dapat dibuat sebagai normal batter yang sederhana. Sedangkan pencampuran kira-kira 50% tepung gandum dan 1% baking powder dalam air, dapat dibuat sebagai tempura batter yang sederhana. Penggunaan tepung gandum dan air saja dapat memberikan sedikit kesan renyah (crisp) pada batter (ASEAN-Canada Fisheries 1994).

Batter mix yang berkualitas, menggunakan beberapa bahan. Standar batter mix, menggunakan tepung jagung, corn starch, tepung gandum, garam, dextrose, dan guar gum. Dalam penggunaanya, campurkan 25 kg batter mix dengan 50 kg air. Tempura batter mix, menggunakan modified starch, tepung gandum, tepung jagung, garam, hydrogenated vegetable oil, baking powder, tepung soya, susu padat, telur putih, dan guar gum. Dalam penggunaanya, campurkan 1 bagian batter dengan 1.3 sampai 5 bagian air. Batter mixes yang berkualitas sangat direkomendasikan (ASEAN-Canada Fisheries 1994).

Pada umumnya, peran utama batter adalah sebagai coating pada suatu produk. Adapun fungsi batter adalah (ASEAN-Canada Fisheries 1994):

1) Adhesi.

2) Memberikan tekstur dan struktur yang baik pada produk. 3) Peningkatan produk, meningkatkan berat produk.

4) Penampakan, dengan di-breaded pengurangan penampakan akan sangat kecil.

(28)

Menurut Badan Standar Nasional tahun 2009, SNI 6163.3:2009 tepung batter mix yang harus digunakan pada udang berlapis tepung adalah tepung berbentuk halus, bersih, bau khas batter mix, tidak berjamur, dan tidak mengandung filth.

c. Breadings

Breadings merupakan campuran dari serpihan tepung dari komponen

lainnya dan biasanya digunakan untuk melapisi produk-produk siap untuk dipanggang. Breading yang tersedia memiliki jenis yang berbeda-beda, mulai dari bread crums normal, cereal flakes, cracker, potato flakes, dan vegetable flakes. Flour merupakan bahan dasar pada bread crumb. Adapun fungsi breadings adalah memberikan penampakan dan tekstur pada produk akhir (ASEAN-Canada Fisheries 1994).

. Menurut Badan Standar Nasional tahun 2009, SNI 6163.3:2009 tepung roti (breadings) yang harus digunakan pada udang berlapis tepung adalah tepung roti yang dikeringkan dan dihaluskan sehingga berbentuk serpihan. Selain itu, tepung roti berbau khas roti, tidak berbau tengik atau asam, tidak berjamur, dan tidak mengandung filth.

2.3 Mutu dan Keamanan Pangan

(29)

Isu keamanan pangan saat ini diangkat dalam perdagangan dengan dua pendekatan, tergantung pada sudut pandang masing-masing Negara. Beberapa Negara menjadikan masalah keamanan pangan sebagai isu yang perlu diatur secara wajib (mandatory), tetapi beberapa negara lain tetap menggunakan mekanisme pasar yang mengaturnya secara sukarela (voluntary). Di Indonesia, Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (DKP-RI) melihat masalah keamanan pangan ikan dan produk ikan sebagai suatu isu yang diatur secara wajib (mandatory), sehingga perlu diatur dalam suatu sistem yang harus ditaati oleh pelaku bisnis sektor perikanan (Thaheer 2005).

2.3.1 Mutu

Mutu merupakan sesuatu yang diputuskan oleh pelanggan, bukan oleh insiyur, bukan pula oleh pemasaran atau manajemen umum. Mutu didasarkan pada pengalaman actual pelanggan terhadap produk atau jasa, diukur berdasarkan persyaratan pelanggan tersebut, dinyatakan atau tidak dinyatakan, disadari atau hanya dirasakan, dikerjakan secara teknis atau bersifat subjektif dan selalu mewakili sasaran yang bergerak dalam pasar yang penuh persaingan (Feigenbaum 1992). Pemahaman mengenai mutu secara umum disajikan pada Gambar 2 di bawah ini:

Gambar 2 Pemahaman mengenai mutu

Mutu juga merupakan kesesuaian serangkaian karakteristik produk atau jasa dengan standar yang ditetapkan perusahaan berdasarkan syarat, kebutuhan dan keinginan konsumen (Muhandri dan Kadarisman 2008). Secara tidak langsung mutu

Perusahaan Produk/Jasa Konsumen

Karakteristik

Standard

-Syarat -Kebutuhan -Keinginan Menetapkan

Membuat

Sesuai

(30)

harus berorientasi kepada kepuasan pelanggan. Hal ini membawa dampak pada persaingan yang semakin ketat antar industri.

Pasal 1 ayat 13 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan menjelaskan bahwa mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan dan minuman. Selain itu, Pasal 24-29 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 juga mengatur mengenai mutu dan gizi pangan. Dijelaskan bahwa setiap orang dilarang memperdagangkan pangan tertentu, apabila tidak memenuhi standar mutu yang ditetapkan sesuai dengan peruntukannya; pangan yang mutu berbeda atau tidak sama dengan mutu pangan yang dijanjikan; pangan yang tidak memenuhi persyaratan sertifikasi mutu pangan.

2.3.2 Keamanan pangan

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang tak terelakkan karena berpengaruh terhadap eksistensi dan ketahanan hidupnya. Memperoleh pangan dalam jumlah cukup, bermutu, bergizi, dan aman untuk dikonsumsi adalah hak setiap orang. Karena itu, pangan yang tersedia baik pangan segar maupun pangan olahan, harus selalu terjamin keamanannya agar masyarakat terhindar dari bahaya kesehatan karena pangan yang tidak aman dikonsumsi. Pangan yang aman juga akan meningkatkan perdagangan yang adil dan jujur. Menghasilkan pangan yang aman dan bermutu

tinggi akan terus meningkatkan citra Indonesia di lingkungan global (Erungan et al. 2008).

Diberlakukannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan merupakan sebuah langkah maju yang telah dicapai pemerintah Indonesia untuk memberi perlindungan kepada konsumen dan produsen akan pangan yang sehat, aman, dan halal. Pasal 1 ayat 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan menjelaskan bahwa keamanan pangan adalah kondisi daya upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat menggangu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.

(31)

dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Peraturan Pemerintah RI No 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan). Keamanan pangan (food safety) sendiri akhir-akhir ini telah menjadi isu nasional dan internasional. Semakin tinggi pengetahuan dan kemampuan ekonomi masyarakat, semakin tinggi pula kecendrungan menuntut pangan yang lebih aman untuk dimakan. Kemungkinan-kemungkinan bahaya bagi produk-produk pangan dapat terjadi karena beberapa sebab antra lain (Muhandri dan Kadarisman 2008).:

a. Adanya residu bahan kimia yang terbawa pada bahan pangan akibat teknologi pertanian misalnya insektisida, pestisida, fungisida, antibiotik dan hormon. b. Adanya kesalahan dalam penggunaan bahan kimia tambahan baik jenis

maupun dosisnya. Kasus biskuit beracun beberapa waktu yang lalu di Indonesia merupakan suatu contoh yang ekstrim. Demikian pula penggunaan pewarna tekstil untuk makanan jajanan (street food).

c. Penyerapan logam berbahaya oleh tanaman dan hewan akibat pencemaran lingkungan oleh industri.

d. Terjadinya kontaminasi mikroba dan bahan kimia terhadap bahan pangan dan produk pangan sejak dari pertama sampai pada tingkat pengelolahan akibat kurang sanitasi.

e. Kurang cukupnya kondisi proses pengolahan menyebabkan mikroba aktif kembali pada saat penyimpanan dan pemasaran.

f. Ekses dari penggunaan teknologi yang belum tuntas penelitiannya misalnya senyawa-senyawa baru, teknik radiasi, dan sebagainya.

g. Adanya komponen kimia tertentu pada bahan pangan dan produk pangan yang dapat mendorong timbulnya penyakit-penyakit tertentu jika dikonsumsi berlebihan (misalnya kolestrol, lemak, dan sebagainya).

(32)

Uni Eropa telah banyak mengeluarkan peraturan pangan yang ditujukan untuk menjamin mutu dan keamanan pangan konsumen. Secara umum peraturan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu horizontal dan vertikal. Horizontal berarti peraturan dapat diterapkan pada semua bidang pangan, misalnya peraturan bahan tambahan pangan, pelabelan, sanitasi, dan higiene. Sedangkan vertikal berarti peraturan dapat diterapkan hanya pada pangan yang spesifik, misalnya peraturan pangan dari perikanan dan peternakan (Derrick and Dillon 2004).

Ketentuan umum dari Peraturan Pangan UE adalah pangan tidak dapat dipasarkan bila dalam keadaan tidak aman. Pangan dikategorikan dalam keadaan tidak aman bila membahayakan kesehatan manusia dan tidak layak untuk konsumsi manusia. Bila satu bagian batch dinyatakan tidak aman, maka keseluruhan batch tersebut juga akan dinyatakan tidak aman. Dokumen kunci pada Peraturan Pangan UE yaitu (Erungan et al. 2008) :

a. Peraturan 178/2002-aturan umum dan ketentuan peraturan pangan tentang keamanan pangan.

b. Peraturan 882/2004-sistem pengendalian mutu. c. Peraturan 852/2004-kebersihan pangan.

d. Peraturan 853/2004-aturan kebersihan yang spesifik untuk produk pangan manusia yang berasal dari produk hewani.

e. Peraturan 854/2004-aturan khusus untuk lembaga pengendalian mutu.

(33)

penyakit yang bisa membahayakan manusia atau hewan dari produk ekspor yang masuk Amerika Serikat (Erungan et al. 2008).

2.4 Traceability

Traceability memiliki beberapa variasi definisi. Menurut ISO 22005:2007,

traceability merupakan kemampuan untuk menelusuri pergerakan pakan atau

makanan pada tahap produksi, proses, dan distribusi. Sedangkan Smith and Furness (2006) menjelaskan bahwa traceability lebih menekankan pada penelusuran, menarik perhatian terhadap pentingnya mencatat informasi yang penting untuk memuaskan kebutuhan yang ditelusuri.

Traceability adalah kemampuan untuk menelusuri sejarah, aplikasi atau pun lokasi dalam pertimbangan tertentu. Bila yang menjadi pertimbangan adalah produk, maka traceability dilakukan pada bahan baku dan bagian-bagiannya, sejarah proses, dan distribusi serta lokasi produk setelah terkirim (Food Standards Agency 2002).

Menurut peraturan undang-undang makanan umum Uni Eropa (EU),

traceability merupakan kemampuan untuk menelusuri dan mengikuti makanan,

pakan, produksi makanan hewan atau zat melalui semua tahapan produksi dan distribusi (Smith and Furness 2006). Peraturan Uni Eropa (European Regulation-EC) No. 178/2002 pada tanggal 28 Januari 2002, merupakan peraturan dasar yang menjelaskan tentang prinsip-prinsip umum dan persyaratan traceability dan keamanan pangan.

Sistem traceability membatasi pengaruh masalah petensial keamanan pangan, dengan bantuan traceability dapat diketahui dengan tepat produk yang mana yang tidak baik, dan jaringan supply mana yang rumit. Akan tetapi traceability sendiri tidak merubah keamanan dan mutu dari produk. (Grunow et al. 2008).

(34)

and tracing, QTT), akan menambah manfaat untuk memperoleh data parameter yang relevan dengan mutu produk misalnya suhu atau kelembaban relatif, yang dapat digunakan untuk mengontrol aliran produk pada rantai makanan. Terdapat 5 elemen dalam sistem QTT yaitu 1) sasaran dan manfaat, 2) manajemen rantai permintaan-penyedian, 3) kualitas-informasi tracking dan tracing, 4) kualitas-teknologi tracking dan tracing, dan 5) produk dan proses.

Ada 2 macam klasifikasi traceability, yaitu internal traceablity dan chain traceability. Menurut Moe (1998) Internal traceability merupakan penelusuran dengan melacak internal batch produk pada satu langkah dalam rantainya, misalnya pada proses produksi. Penelusuran ini pun memiliki batas-batas tertentu (Food Standards Agency 2002). Sedangkan menurut Moe (1998), chain traceability merupakan penelusuran dengan melacak produk melalui rantai produksi mulai dari panen sampai transport, penyimpanan, proses, distribusi, dan sales. Penelusuran ini lebih memfokuskan pada informasi yang diawali dari suatu produk yang berasal dari suatu link pada suatu rantai, yang selanjutnya akan ditelusuri setiap tahapnya, baik pada produk, proses, dan distribusinya (Food Standards Agency 2002).

2.5 Batch Dispersion

Sistem traceability dikembangkan untuk menelusuri (track) produk di seluruh

supply chain dan memberi kemungkinan untuk menelusuri balik (track back) produk

(35)

produk dari satu atau beberapa kriteria yang ada (Dupuy et al. 2002). Batch dispesion sama dengan jumlah downward dispersion pada batch bahan baku dan upward dispersion pada batch produk akhir. Menurut Dupuy et al (2005), konsep batch

dispersion digunakan untuk melaksanakan internal traceability pada tahapan

produksi.

Produksi batch adalah umum dalam industri pangan. Batch merupakan suatu jumlah makanan yang diproduksi dan dikelola dibawah kondisi seragam. Terkadang jumlah ini berdasarkan kapasitas peralatan prosesing tapi dapat juga berdasarkan pada efisiensi kebutuhan. Dalam sistem produksi makanan jumlah produk minimum yang sesuai dengan kebutuhan yang diproses, dan secara umum ukuran batch yang besar bertujuan untuk peningkatan pemanfaatan kapasitas dan kompetitif. Peluang

batch untuk perusahaan makanan yang spesifik tergantung pada posisi dari

(36)

3 METODE PENELITIAN

3.1Waktu dan Tempat

Penelitian optimasi sistem traceability dalam industri pengolahan udang breaded black tiger (Penaeus monodon) dengan pendekatan konsep batch dispertion, dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan September 2010. Penelitian bertempat di PT X, Cirebon, Jawa Barat.

3.2Kerangka Pemikiran

Isu keamanan pangan sampai saat ini telah dianggap menjadi masalah perdagangan nasional dan internasional. Hal ini menunjukkan semakin berkembangnya zaman, maka semakin berkembang pula pola pikir manusia akan pentingnya mengkonsumsi makanan yang aman. Oleh karena itu, negara Uni Eropa, Jepang, dan Amerika selalu memberikan pengawasan ketat terhadap masalah keamanan pangan dan memberikan lampu merah bagi produk yang tidak aman sesuai dengan peraturan ketiga negara tersebut.

Udang merupakan salah satu primadona komoditas ekspor. Selain memiliki rasa yang khas dan enak di lidah, udang juga memiliki nilai gizi yang tinggi terutama asam amino esensial dan non esensial. Tetapi saat ini isu udang sedang marak-maraknya dibicarakan. Kandungan residu berlebihan dari udang pada proses produksi membuat para konsumen was-was terhadap primadona perikanan ini. Selain itu, banyaknya tahapan pada proses produksi udang terutama pada produk udang

breaded, menyebabkan rawannya keamanan pangan dan mutu produk, karena secara

tidak langsung batchnya pun akan lebih banyak. Produk udang breaded merupakan udang yang diolah lebih lanjut, dimana terdapat pemberian coating pada produk

minced maupun udang headless ataupun, PTO, dll. Biasanya udang yang digunakan

merupakan udang first quality, second quality, below, tergantung jenis produk

breaded apa yang ingin diproduksi. Secara tidak langsung, hal ini dapat

(37)

Permasalahan yang diamati pada penelitian ini adalah pada bagian proses produksi udang breaded. Secara umum, proses produksi udang dapat dibagi menjadi tiga level dispersi yaitu bahan baku, komponen, dan produk akhir (Gambar 3). Tiga level dispersi ini merupakan mixed batch. Permasalahan pada mixed batch ini merupakan permasalahan internal traceability, dimana jika tidak dikontrol dengan baik dapat mempengaruhi mutu dan keamanan pangan produk akhir karena terjadinya kontaminasi silang.

Industri perikanan mencoba mencari solusi atas permasalah perdagangan dan proses produksi ini. Traceability merupakan sistem yang membatasi pengaruh masalah potensial keamanan pangan. Dengan membatasi mixed batch pada proses produksi dengan pendekatan batch dispertion maka akan dapat mengoptimalkan traceability.

Gambar 3 Kerangka permasalahan dan solusi Produk udang breaded

Proses produksi

Mixed batch

Bahan baku Komponen Produk akhir

Kontaminasi silang

Batch dispersion

Optimasi sistem traceability

M A S A L A H

(38)

Pada proses produksi udang breaded suatu perusahaan, biasanya bahan baku berasal dari satu atau pun beberapa supplier dan setiap harinya jumlahnya pun berbeda-beda. Banyaknya jumlah supplier ini merupakan banyaknya batch bahan baku, dimana nantinya batch bahan baku akan dibagi-bagi menjadi beberapa batch komponen. Pembagian ini tergantung keputusan perusahaan, biasanya pembagiannya berdasarkan size dan jenis produk akhir yang akan dihasilkan. Beberapa batch komponen ini biasanya akan digabungkan dan akan menghasilkan batch produk akhir. Gambar 4 di bawah ini menjelaskan proses produksi udang secara umum. Pada suatu perusahaan, proses produksinya dapat berbeda-beda.

Gambar 4 Proses produksi udang secara umum Keterangan : 1. Batch bahan baku

2. Batch komponen 3. Batch produk akhir

Pada proses produksi untuk mengevaluasi akurasi dari traceability diperkenalkan cara pengukuran yang downward dispersion dan upward dispersion. Gambar 5 akan menjelasakan gambaran secara umum traceability pada tahapan proses produksi dan cara penelusurannya. Pada gambar tersebut, cara penelusuran traceability adalah downward dispersion dan upward dispersion. Menurut Dupuy et

Udang Black tiger

1 Supplier 4 Supplier 3

Supplier 2 Supplier 1

2 Peeled

Broken Aval

(39)

al. 2002, downward traceability atau biasa disebut tracing, merupakan kapasitas, dimana pada supply chain, untuk menemukan asal usul dan karakteristik dari suatu produk dari satu atau beberapa kriteria yang ada. Sedangkan upward traceability atau biasa disebut tracking, merupakan kapasitas, dimana pada supply chain, untuk menemukan lokasi dari suatu produk dari satu atau beberapa kriteria yang ada. Tracing dan tracking akan membantu untuk melakukan recall produk.

(40)

Berbagai macam bahan baku akan memberikan berbagai macam komponen yang digunakan sehingga produk akhir pun akan beragam. Ini akan menjadi masalah

Berbagai macam bahan baku akan memberikan berbagai macam komponen yang digunakan sehingga produk akhir pun akan beragam. Ini akan menjadi masalah yang akan diamati. Jika permasalahan keamanan pangan berasal dari bahan baku, maka perusahaan harus melakukan downward dispersion dan recall semua produk yang menggunakan bahan baku. Jika permasalahan berhubungan dengan produk akhir, maka perusahaan harus melakukan upward dispersion pada bahan baku dan recall semua produk akhir. Sehingga untuk meminimalkan pengeluaran biaya pada permasalahan keamanan pangan, perusahaan harus meminimalkan recall produk.

3.3Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan pada penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan antara lain data pada proses produksi, antara lain jumlah batch bahan baku, batch komponen, dan batch produk jadi, serta banyaknya batch-batch tersebut dalam satuan kg. Sedangkan data sekunder yang

(41)

digunakan antara lain data tentang keadaan umum perusahaan dan hal-hal yang berkaitan dengan perusahaan. Data sekunder ini diperoleh dari PT X.

3.4Tahapan Penelitian

Langkah awal penelitian ini adalah diamatinya proses produksi.

Gambar 6 Diagram tahapan metode penelitian

Proses produksi yang diamati menyangkut pada bagian bahan baku, komponen, dan produk akhir. Kemudian diidentifikasi mixed batch lalu dikumpulkan data yang dibutuhkan. Setelah data yang dibutuhkan terkumpul dan telah lengkap, maka dilakukan analisis data. Alur tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.

Pengidentifikasian mixed batch

Analisis deskriptif proses produksi produk udang breaded

Analisis batch dispertion

Finish Pengamatan proses produksi

Data lengkap Pengumpulan Data

Tidak

(42)

3.5Metode Pengambilan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengumpulan data primer dan data sekunder.

3.5.1Pengumpulan data primer

Kegiatan penelitian ini meliputi pengumpulan data primer, yakni :

a. Observasi, yaitu pengamatan secara langsung proses produksi udang black tiger (Penaeus monodon).

b. Pengambilan data, yaitu pengambilan data dari tiga level dispersi (bahan baku, komponen, dan produk jadi).

c. Wawancara, yaitu melakukan tanya jawab dengan pihak-pihak yang berhubungan secara langsung dengan kegiatan proses produksi udang breaded black tiger (Penaeus monodon) serta pimpinan perusahaan dan karyawan PT X.

d. Partisipasi langsung, yaitu mengikuti secara aktif kegiatan dan pelaksanaan proses produksi udang breaded black tiger (Penaeus monodon) di PT X. 3.5.2Pengumpulan data sekunder

Kegiatan penelitian ini meliputi pengumpulan data sekunder, yakni :

a. Mengumpulkan data dan informasi dari perusahaan, lembaga dan instansi terkait dalam kegiatan penelitian ini.

b. Studi pustaka dari berbagai literatur tentang proses produksi udang breaded black tiger (Penaeus monodon) sebagai pelengkap dan pembanding dalam penulisan laporan.

3.6Metode Analisis Data

Metode analisis data pada penelitian ini meliputi analisis deskriptif dan analisis batch dispersion.

3.6.1Analisis deskriptif

(43)

3.6.2 Analisis batch dispersion

Analisis batch dispersion dilakukan dengan menggunakan model MILP (Mix Integer Linear Programming). Model ini merupakan suatu masalah optimasi yang memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut (Winston 1995) :

a. Tujuan masalah tersebut adalah memaksimumkan atau meminimalkan suatu fungsi linear dari sejumlah variable keputusan. Fungsi yang akan dimaksimumkan atau diminimumkan ini disebut fungsi objektif.

b. Nilai variabel-variabel keputusannya harus memenuhi himpunan kendala.

Analisis ini kemudian dilanjutkan dengan analisis model metode branch and

bound dengan menggunakan software LINGO 8.0.

3.6.2.1 Model penelitian

Model matematika pada penelitian ini berasal dari Dupuy et al.(2005). Tabel 3 Notasi data-data pada model matematika

Data Keterangan

TRM(i) Tipe dari batch bahan baku i TFP(k) Tipe dari batch produk akhir k QRM(i) Banyaknya batch bahan baku i (kg) QFPk) Banyaknya batch produk akhir k (kg)

TCOMP(j) Tipe dari batch komponen j

M Jumlah batch bahan baku N Jumlah batch komponen P Jumlah batch produk akhir

Q Jumlah batch komponen yang dibeli

S Jumlah batch komponen dari tipe yang berbeda Vhv Nilai tertinggi

(44)

Tabel 4 Notasi variabel-variabel pada model matematika Variabel Keterangan

Y(i,k) Persamaan variabel, bernilai 1 jika batch bahan baku i digunakan pada batch produk akhir k dan bernilai 0 jika batch bahan baku i tidak digunakan pada batch produk akhir k

xBF(l,k) Persamaan variabel biner, bernilai 1 jika batch komponen yang dibeli l digunakan pada batch produk akhir k dan bernilai 0 jika batch komponen yang dibeli l tidak digunakan pada batch produk akhir k

xRC(i,j) Persamaan variabel biner, bernilai 1 jika batch bahan baku i digunakan pada batch komponen j dan bernilai 0 jika batch bahan baku i tidak digunakan pada batch komponen j

xCF(j,k) Persamaan variabel biner, bernilai 1 jika batch komponen j digunakan pada batch produk akhir k dan bernilai 0 jika batch komponen j tidak digunakan pada batch produk akhir k

QRC(i,j) Variabel yang menunjukkan banyaknya batch bahan baku i yang digunakan pada batch komponen j (kg)

QBF(l,k) Variabel yang menunjukkan banyaknya batch membeli komponen l yang digunakan pada batch produk akhir k (kg) QCF(j,k) Varibel yang menunjukkan banyaknya batch komponen j yang

digunakan pada batch produk akhir k (kg)

QCOMP(j) Variabel yang menunjukkan banyaknya batch komponen j (kg)

Model matematika pada penelitian ini terdiri dari beberapa persamaan. Fungsi objektif (1) digunakan untuk menghitung batch dispertion minimum. Ini merupakan jumlah antara bahan baku dan produk akhir (Y(i,k)) dan dispersi yang bertujuan untuk membeli komponen xBF(l,k).

Minimize Z = ( , ) + ( , ) ( 1)

Dalam suatu proses industri, jumlah hendaknya dapat dihemat. Kendala yang ditunjukkan pada persamaan (5) mengungkapkan bahwa banyaknya batasan total dari

batch bahan baku yang digunakan pada batch komponen. Ketika kendala banyaknya

batch komponen hanya berasal dari batch bahan baku, hal ini ditunjukkan pada persamaan (2).

(45)

komponen dan/atau batch komponen yang dibeli, hal ini ditunjukkan pada persamaan (3).

( ) = ( , ) ∀ = 1, …, ( 2) ( ) = ( , ) + ( , ) ∀ = 1, …, ( 3) ( , ) = ( ) ∀ = 1, …, ( 4) ( , ) = ( ) ∀ = 1, …, ( 5) Persamaan (6) sampai (8) menunjukkan bahwa variabel biner xRC, xCF, dan xBF merupakan persamaan yang bernilai 1 jika masing-masing QRC, QCF, dan QBF memiliki nilai.

∀ = 1, …, , ∀ = 1, …,

( , ) ( , ) ( , ) ( , )

( 6)

∀ = 1, …, , ∀ = 1, …,

( , ) ( , ) ( , ) ( , )

( 7)

∀ = 1, …, , ∀ = 1, …,

( , ) ( , ) ( , ) ( , )

( 8)

Persamaan (9) digunakan untuk menentukkan Y(i,k) dimana persamaan akan bernilai 1, jika batch bahan baku i digunakan pada batch produk akhir k. Y(i,k) tidak didefinisikan sebagai persamaan biner karena merupakan fungsi objektif yang bertujuan untuk meminimumkan, sehingga secara otomatis nilainya 1 atau 0. Jika xRC danxCF persamaannya bernilai 1, hal ini yang memungkinkan nilai Y(i,k) adalah 1. Jika tidak, maka nilai Y(i,k) akan menjadi 0 pada fungsi objektifnya.

( , ) + ( , ) ≤ ( , ) + 1 ∀ = 1, …, ,

(46)

permasalahan pada produk akhir. Downward dispertion pada bahan baku ini ditunjukkan pada persamaan (10) dan upward dispertion pada produk akhir ditunjukkan pada persamaan (11).

D_DISP( ) = ( , ) ( 10)

U_DISP( ) = ( , ) + ( , ) ( 11)

3.6.2.2 Pengolahan data

Optimasi traceability dalam industri pengolahan udang breaded black tiger

(Penaeus monidon) dengan pendekatan konsep batch dispertion, menggunakan

(47)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum PT X

Perusahaan ini didirikan pada tanggal 4 Maret 1998 dan mulai beroperasi pada tanggal 26 Juli 1999 dengan memproses udang beku, seperti udang mentah beku (Frozen Shrimp), udang masak beku (Frozen Cooked Shrimp) dan udang breaded beku (Frozen Breaded Shrimp) serta sejak saat itu pula perusahaan sudah memiliki peralatan produksi sendiri. Akan tetapi sejak tahun 2007 kegiatan ekspor udang mentah beku dihentikan dan dialihkan dalam bentuk produk olahan udang masak beku dan breaded seperti katei, tsummame, ebi katsu, dan ebi furai. Hal ini disebabkan karena berkurangnya permintaan dari konsumen di negara-negara pengekspor.

Perusahaan dipimpin oleh seorang plant manager yang membawahi berbagai kepala bagian, seperti asisten plant manager, kepala bagian keuangan, kepala bagian personalia, kepala bagian produksi, kepala bagian pembalian, kepala bagian mekanik, dan kepala bagian quality control. Masing-masing kepala bagian mempunyai bawahan yang menjalankan tugas-tugasnya sampai kepada tingkat operasional. Sedangkan karyawan yang dimiliki oleh PT X saat ini sebanyak 299 orang, yang terdiri dari karyawan tetap sebanyak 138 orang (54 orang laki-laki dan 84 orang perempuan) dan karyawan tidak tetap sebanyak 161 orang (13 orang laki-laki dan 148 orang perempuan). Berdasarkan sistem penggajian, karyawan PT X dibagi menjadi 4 golongan, yaitu karyawan harian, karyawan bulanan tetap, karyawan bulanan honorer dan karyawan borongan.

4.1.1 Lokasi perusahaan

(48)

adalah pembuangan limbah cair perusahaan yang tidak melalui proses penyaringan dapat menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan sekitar perusahaan. Dampak negatif ini telah diatasi dengan memperbaiki sistem pembuangan limbah cair melalui beberapa kali proses penyaringan.

4.1.2 Fasilitas bangunan

Fasilitas bangunan PT X terdiri dari bangunan utama pabrik, gudang produksi, tempat penampungan limbah, bengkel, dan mess karyawan. Bangunan utama pabrik terbagi menjadi beberapa bagian, antara lain:

1. Ruang rapat (meeting)

Ruang rapat (meeting) merupakan ruangan yang digunakan oleh para staf ketika rapat (meeting). Ruangan ini juga merupakan tempat penyimpanan rekaman-rekaman (record keeping) yang berkaitan dengan proses produksi dan HACCP-plan. 2. Ruang kantor

Ruang kantor merupakan ruangan tempat direktur dan stafnya bekerja. Ruangan ini memiliki sekat kaca yang mengarah langsung ke ruang produksi sehingga memudahkan dalam proses pengawasan terhadap karyawan yang bekerja di ruang produksi.

3. Ruang penerimaan bahan baku (raw material receiving area)

Ruangan ini merupakan tempat penerimaan udang yang didatangkan dari tambak yang berasal dari berbagai macam daerah yang diangkut dengan menggunakan box fiberglass oleh truk atau mobil bak terbuka berinsulasi. Ruangan ini juga merupakan tempat pencucian awal udang untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada tubuh udang sebelum ditimbang dan diproses di ruang produksi.

4. Ruang produksi (processing area)

Ruang produksi (processing area) merupakan tempat pengolahan udang menjadi berbagai macam produk sesuai dengan permintaan konsumen. Ruangan ini terbagi menjadi beberapa area, diantaranya yaitu:

(49)

b. Area sizing, yaitu tempat pengelompokan ukuran (size) udang agar homogen dan dapat memenuhi kebutuhan pembeli yang dilakukan secara manual oleh para karyawan. Area ini terdiri dari area manual sizing dan conveyor sizing. c. Area pengupasan, yaitu tempat udang dikupas cangkangnya. Pengupasan ini

hanya dilakukan untuk produk udang sesuai permintaan konsumen.

d. Area penimbangan, yaitu tempat penimbangan udang agar diperoleh berat bersih udang yang sesuai dengan kebutuhan pembeli.

Ruang produksi juga dilengkapi dengan beberapa ruangan lain, antara lain: a. Ruang es keping (flake ice), yaitu ruangan tempat pembuatan dan

penyimpanan es keping yang akan digunakan dalam proses produksi.

b. Ruang PTO (Peeled Tail On), yaitu ruangan tempat udang dibelah dan digencet dengan menggunakan alat yang digunakan secara manual, yang kemudian akan dilanjutkan ke proses pemaniran (breaded).

c. Ruang batter mix, yaitu ruangan tempat pecampuran tepung dan bumbu-bumbu lain yang kemudian digunakan sebagai batter dalam pembuatan ebi panko, katei, summit, shin kaisen, d speck.

d. Ruang breaded, yaitu ruangan tempat pembuatan produk-produk breaded (berpanir tepung roti).

e. Ruang pembekuan (freezer), yaitu ruangan tempat produk-produk dibekukan sehingga diperoleh suhu pusat produk ≤-18oC. Ruang pembekuan yang dimiliki PT X ada 2 jenis, yaitu contact plate freezer dan air blast freezer. f. Ruang pendinginan (cold storage), yaitu ruangan tempat menyimpan udang

yang belum diolah atau produk yang sudah jadi namun belum dilakukan pengemasan. Ruangan ini dapat mempertahankan suhu udang atau produk tetap ≤-18oC. Alat pemantau suhu terdapat di bagian luar ruang penyimpanan beku (cold storage).

g. Ruang pendeteksian logam, yaitu ruangan tempat produk-produk yang telah jadi dideteksi dengan alat pendeteksi logam (metal detector) untuk memastikan bahwa produk tidak mengandung bahan asing dan metal.

(50)

i. Ruang pemuatan (stuffing area), yaitu ruangan tempat pemuatan produk yang telah melalui tahap pengepakan dan disimpan di dalam cold storage untuk selanjutnya diangkut ke dalam container untuk diekspor atau dijual di dalam negeri.

j. Ruang mesin (machine room), yaitu ruangan tempat operasi mesin yang letaknya berdekatan dengan coldstorage agar operasi mesin-mesin yang terdapat di ruang produksi dapat terkontrol dengan baik.

5. Laboratorium uji

Laboratorium uji merupakan laboratorium yang digunakan untuk memeriksa sampel bahan baku, produk yang telah jadi, air dan es serta peralatan-peralatan yang digunakan bebas dari kontaminasi bakteri dan residu antibiotik. Uji yang dilakukan di dalam laboratorium ini adalah uji Total Plate Count (TPC), uji Escherichia coli, uji

Coliform, uji Staphylococcus aureus, uji Vibrio cholerae, uji Vibrio

parahaemolyticus, dan uji Salmonella. Laboratorium ini letaknya berdekatan dengan ruang produksi dan ruang kantor.

6. Fasilitas bangunan lainnya

Perusahaan ini juga dilengkapi oleh gudang produksi yang bangunannya terpisah dari bangunan utama pabrik. Gudang produksi ini terdiri atas 2 ruangan, yaitu ruangan bahan-bahan kering (warehouse) dan ruangan bahan kimia (chemical warehouse) atau dry storage. Ruangan bahan-bahan kering (warehouse) berfungsi untuk menyimpan alat-alat produksi dan pengepakan, seperti timbangan, kertas label, plastik polybag, inner carton, dan master carton. Ruangan ini juga digunakan untuk menyimpan obat-obatan untuk pertolongan pertama bagi karyawan yang mengalami kecelakaan kerja. Sedangkan ruangan bahan kimia (chemical warehouse) atau dry

storage berfungsi untuk menyimpan bahan kimia yang digunakan untuk proses

produksi.

(51)

merupakan mess yang disediakan bagi staf yang berasal dari luar daerah yang memiliki rumah yang letaknya berjauhan dengan perusahaan.

4.1.3 Fasilitas produksi

Perusahaan menyediakan fasilitas produksi baik bahan maupun peralatan untuk memperlancar jalannya proses produksi. Peralatan produksi yang digunakan oleh PT X, antara lain:

1. Meja kerja

Meja kerja merupakan meja yang digunakan untuk melakukan proses produksi udang. Meja kerja di ruang produksi berbeda-beda baik jenis maupun ukurannya. Hal ini disesuaikan menurut fungsi atau kegunaannya dalam proses produksi. Meja kerja terbuat dari bahan plastik, stainless steel dan fiber glass yang tahan karat dan mudah dibersihkan. PT X memiliki 5 macam meja kerja, antara lain:

a. Meja dengan ukuran (236 x 170 x 82) cm3, terbuat dari fiber, digunakan untuk tempat pemotongan kepala.

b. Meja dengan ukuran (210 x 138 x 100) cm3, terbuat dari stainless steel, digunakan untuk tempat melakukan sortasi yang meliputi ukuran, mutu dan warna.

c. Meja dengan ukuran (210 x 138 x 100) cm3, terbuat dari fiber, digunakan untuk tempat melakukan sortasi final yang meliputi ukuran, mutu dan warna. d. Meja dengan ukuran (106 x 62 x 76) cm3, terbuat dari stainless steel,

digunakan untuk meja pengemasan. 2. Bak penampungan

Bak ini digunakan untuk menampung udang, es dan tutup long pan. PT X memiliki 4 macam bak penampungan, antara lain:

a. Bak plastik ukuran (90 x 35 x 42) cm3, digunakan untuk menyimpan tutup long.

b. Pan.

(52)

d. Bak fiber dan stainless steel ukuran (90 x 50 x 70) cm3, digunakan untuk menampung es.

e. Bak fiber ukuran (360 x 60 x 75) cm3, digunakan untuk mencuci udang setelah dilakukan pemotongan kepala.

3. Pan pembeku

Pan pembeku merupakan wadah yang terbuat dari stainless steel dan digunakan sebagai wadah produk selama proses pembekuan. PT X memiliki 2 macam pan pembeku, antara lain:

a. Pan pembeku berukuran (28 x 16 x 6) cm3, digunakan untuk membekukan udang.

b. Pan pembeku dilengkapi dengan penutup yang berukuran (28 x 18 x 9) cm3. 4. Keranjang plastik

Keranjang ini digunakan untuk menampung udang ketika proses produksi. Selain tidak berkarat, keranjang ini juga ringan dan mudah untuk dibersihkan. PT X memiliki beberapa macam keranjangplastik, antara lain:

a. Keranjang ukuran (68 x 50 x 38) cm3, digunakan untuk mengangkut udang dari ruang penerimaan ke ruang pemotongan kepala.

b. Keranjang ukuran (32 x 34 x 10) cm3, digunakan pada tahapan sortasi.

c. Keranjang ukuran (38 x 30 x 14) cm3, digunakan untuk menampung kepala hasil pemotongan.

5. Timbangan

Timbangan digunakan untuk mengetahui berat udang awal, berat udang setelah diproses, serta berat udang pada saat proses pengepakan. Timbangan yang digunakan dalam proses produksi adalah timbangan digital. Timbangan ini dikalibrasi setiap tahunnya. PT X memiliki 4 macam timbangan, antara lain:

a. Timbangan besar berkapasitas 150 kg, digunakan untuk menimbang udang yang diterima dan setelah selesai pemotongan kepala.

Gambar

Gambar 1 Udang black tiger (Penaeus monodon)
Tabel 1. Komposisi asam amino pada udang
Tabel 2 Standar syarat mutu dan keamanan pangan udang beku
Gambar 2 Pemahaman mengenai mutu
+7

Referensi

Dokumen terkait