2.3 Mutu dan Keamanan Pangan
2.3.2 Keamanan pangan
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang tak terelakkan karena berpengaruh terhadap eksistensi dan ketahanan hidupnya. Memperoleh pangan dalam jumlah cukup, bermutu, bergizi, dan aman untuk dikonsumsi adalah hak setiap orang. Karena itu, pangan yang tersedia baik pangan segar maupun pangan olahan, harus selalu terjamin keamanannya agar masyarakat terhindar dari bahaya kesehatan karena pangan yang tidak aman dikonsumsi. Pangan yang aman juga akan meningkatkan perdagangan yang adil dan jujur. Menghasilkan pangan yang aman dan bermutu
tinggi akan terus meningkatkan citra Indonesia di lingkungan global (Erungan et al. 2008).
Diberlakukannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan merupakan sebuah langkah maju yang telah dicapai pemerintah Indonesia untuk memberi perlindungan kepada konsumen dan produsen akan pangan yang sehat, aman, dan halal. Pasal 1 ayat 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan menjelaskan bahwa keamanan pangan adalah kondisi daya upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat menggangu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.
Keamanan pangan merupakan kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang
dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Peraturan Pemerintah RI No 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan). Keamanan pangan (food safety) sendiri akhir-akhir ini telah menjadi isu nasional dan internasional. Semakin tinggi pengetahuan dan kemampuan ekonomi masyarakat, semakin tinggi pula kecendrungan menuntut pangan yang lebih aman untuk dimakan. Kemungkinan-kemungkinan bahaya bagi produk-produk pangan dapat terjadi karena beberapa sebab antra lain (Muhandri dan Kadarisman 2008).:
a. Adanya residu bahan kimia yang terbawa pada bahan pangan akibat teknologi pertanian misalnya insektisida, pestisida, fungisida, antibiotik dan hormon. b. Adanya kesalahan dalam penggunaan bahan kimia tambahan baik jenis
maupun dosisnya. Kasus biskuit beracun beberapa waktu yang lalu di Indonesia merupakan suatu contoh yang ekstrim. Demikian pula penggunaan pewarna tekstil untuk makanan jajanan (street food).
c. Penyerapan logam berbahaya oleh tanaman dan hewan akibat pencemaran lingkungan oleh industri.
d. Terjadinya kontaminasi mikroba dan bahan kimia terhadap bahan pangan dan produk pangan sejak dari pertama sampai pada tingkat pengelolahan akibat kurang sanitasi.
e. Kurang cukupnya kondisi proses pengolahan menyebabkan mikroba aktif kembali pada saat penyimpanan dan pemasaran.
f. Ekses dari penggunaan teknologi yang belum tuntas penelitiannya misalnya senyawa-senyawa baru, teknik radiasi, dan sebagainya.
g. Adanya komponen kimia tertentu pada bahan pangan dan produk pangan yang dapat mendorong timbulnya penyakit-penyakit tertentu jika dikonsumsi berlebihan (misalnya kolestrol, lemak, dan sebagainya).
Karakteristik keamanan pangan ini dirasakan telah banyak menghambat ekspor produk pangan ke negara maju misalnya Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang karena persyaratan yang cukup berat yang diberlakukan secara ketat. Apabila ingin bersaing mendapatkan pasar di negara-negara tersebut, karakteristik ini harus ditangani dengan secara intensif (Muhandri dan Kadarisman 2008).
Uni Eropa telah banyak mengeluarkan peraturan pangan yang ditujukan untuk menjamin mutu dan keamanan pangan konsumen. Secara umum peraturan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu horizontal dan vertikal. Horizontal berarti peraturan dapat diterapkan pada semua bidang pangan, misalnya peraturan bahan tambahan pangan, pelabelan, sanitasi, dan higiene. Sedangkan vertikal berarti peraturan dapat diterapkan hanya pada pangan yang spesifik, misalnya peraturan pangan dari perikanan dan peternakan (Derrick and Dillon 2004).
Ketentuan umum dari Peraturan Pangan UE adalah pangan tidak dapat dipasarkan bila dalam keadaan tidak aman. Pangan dikategorikan dalam keadaan tidak aman bila membahayakan kesehatan manusia dan tidak layak untuk konsumsi manusia. Bila satu bagian batch dinyatakan tidak aman, maka keseluruhan batch tersebut juga akan dinyatakan tidak aman. Dokumen kunci pada Peraturan Pangan UE yaitu (Erungan et al. 2008) :
a. Peraturan 178/2002-aturan umum dan ketentuan peraturan pangan tentang keamanan pangan.
b. Peraturan 882/2004-sistem pengendalian mutu. c. Peraturan 852/2004-kebersihan pangan.
d. Peraturan 853/2004-aturan kebersihan yang spesifik untuk produk pangan manusia yang berasal dari produk hewani.
e. Peraturan 854/2004-aturan khusus untuk lembaga pengendalian mutu.
Jepang menggunakan tiga macam peraturan yang berkaitan dengan impor pangan mereka, yaitu (1) Food Safety Law, yang khusus mengatur maksimum penggunaan bahan kimia misalnya zat aditif/pemanis, maksimum pestisida, dan sebagainya; (2) Plant Protection Law, yang dititik beratkan pada bangunan dan peralatan pengolahan pangan; dan (3) Food Control Law, yang khusus mengatur pelabelan dalam hal nilai gizi, alamat produsen dan importer lokal. Uni Eropa memiliki Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF), yakni salah satu control sistem terhadap produk makanan dan perikanan yang masuk dan beredar di Uni Eropa. Sedangkan Amerika Serikat mengeluarkan Interim Alert Final Rule (IFR) Bioterrorism Act, pada tahun 2003 untuk mencegah teror melalui kuman-kuman
penyakit yang bisa membahayakan manusia atau hewan dari produk ekspor yang masuk Amerika Serikat (Erungan et al. 2008).
2.4 Traceability
Traceability memiliki beberapa variasi definisi. Menurut ISO 22005:2007,
traceability merupakan kemampuan untuk menelusuri pergerakan pakan atau
makanan pada tahap produksi, proses, dan distribusi. Sedangkan Smith and Furness (2006) menjelaskan bahwa traceability lebih menekankan pada penelusuran, menarik perhatian terhadap pentingnya mencatat informasi yang penting untuk memuaskan kebutuhan yang ditelusuri.
Traceability adalah kemampuan untuk menelusuri sejarah, aplikasi atau pun lokasi dalam pertimbangan tertentu. Bila yang menjadi pertimbangan adalah produk, maka traceability dilakukan pada bahan baku dan bagian-bagiannya, sejarah proses, dan distribusi serta lokasi produk setelah terkirim (Food Standards Agency 2002).
Menurut peraturan undang-undang makanan umum Uni Eropa (EU),
traceability merupakan kemampuan untuk menelusuri dan mengikuti makanan,
pakan, produksi makanan hewan atau zat melalui semua tahapan produksi dan distribusi (Smith and Furness 2006). Peraturan Uni Eropa (European Regulation-EC) No. 178/2002 pada tanggal 28 Januari 2002, merupakan peraturan dasar yang menjelaskan tentang prinsip-prinsip umum dan persyaratan traceability dan keamanan pangan.
Sistem traceability membatasi pengaruh masalah petensial keamanan pangan, dengan bantuan traceability dapat diketahui dengan tepat produk yang mana yang tidak baik, dan jaringan supply mana yang rumit. Akan tetapi traceability sendiri tidak merubah keamanan dan mutu dari produk. (Grunow et al. 2008).
Sistem traceability merupakan suatu konsep, tools, prosedur kerja dan peralatan untuk tracking dan/atau tracing (T&T) dalam lingkungan produksi dan distribusi (Verdenius dalam Smith and Furness 2006). Sistem konvensional T&T akan menghasilkan data lokasi dan identifikasi produk yang digunakan untuk manajemen recall. Sistem T&T yang berorientasi mutu (quality-oriented tracking
and tracing, QTT), akan menambah manfaat untuk memperoleh data parameter yang relevan dengan mutu produk misalnya suhu atau kelembaban relatif, yang dapat digunakan untuk mengontrol aliran produk pada rantai makanan. Terdapat 5 elemen dalam sistem QTT yaitu 1) sasaran dan manfaat, 2) manajemen rantai permintaan-penyedian, 3) kualitas-informasi tracking dan tracing, 4) kualitas-teknologi tracking dan tracing, dan 5) produk dan proses.
Ada 2 macam klasifikasi traceability, yaitu internal traceablity dan chain traceability. Menurut Moe (1998) Internal traceability merupakan penelusuran dengan melacak internal batch produk pada satu langkah dalam rantainya, misalnya pada proses produksi. Penelusuran ini pun memiliki batas-batas tertentu (Food Standards Agency 2002). Sedangkan menurut Moe (1998), chain traceability merupakan penelusuran dengan melacak produk melalui rantai produksi mulai dari panen sampai transport, penyimpanan, proses, distribusi, dan sales. Penelusuran ini lebih memfokuskan pada informasi yang diawali dari suatu produk yang berasal dari suatu link pada suatu rantai, yang selanjutnya akan ditelusuri setiap tahapnya, baik pada produk, proses, dan distribusinya (Food Standards Agency 2002).