DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
1.
BAB I PENDAHULUAN
2.
A. Latar Belakang Masalah
2.
B. Identifikasi Masalah
4.
BAB II PEMBAHASAN
5.
A.Asas Legalitas
5.
B.Freies Ermessen
7.
C.Keuntungan dan Kerugian Penggunaan Asas Diskresi dalam Melaksanakan Fungsi
Pemerintahan
12.
BAB III PENUTUP
15.
A. Kesimpulan
.15.
B. Saran
17.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagasan tentang penyelenggaraan kekuasaan yang baik, dari aspek historis
memiliki dua pendekatan; personal dan sistem. Secara personal telah dimulai
pada masa Plato. Menurutnya, penyelenggaraan kekuasaan yang ideal dilakukan
secara paternalistik, yakni para penguasa yang bijaksana haruslah
menempatkan diri selaku ayah yang baik lagi arif yang dalam tindakannya
terhadap anaknya terpadulah kasih dan ketegasan demi kebahagiaan
anak-anak itu sendiri. Pada bagian lain, Plato mengusulkan agar negara menjadi baik,
harus dipimpin oleh seorang filosof, karena filosof adalah manusia yang arif
bijaksana, menghargai kesusilaan, dan berpengetahuan tinggi. Murid Plato,
Aristoteles, berpendapat bahwa pemegang kekuasaan haruslah orang yang
takluk pada hukum, dan harus senantiasa diwarnai oleh penghargaan dan
penghormatan terhadap kebebasan, kedewasaan dan kesamaan derajat. Hanya
saja tidak mudah mencari pemimpin dengan kualitas pribadi yang sempurna.
Oleh karena itu, pendekatan sistem merupakan alternatif yang paling
memungkinkan. Plato sendiri, di usia tuanya terpaksa merubah gagasannya
yang semula mengidealkan pemerintah itu dijalankan oleh raja-filosof menjadi
pemerintahan yang dikendalikan oleh hukum. Penyelenggaraan negara yang
baik, menurut Plato, ialah yang didasarkan pada pengaturan hukum yang baik.
Berdasarkan pendapat Plato ini, maka penyelenggaraan pemerintahan yang
penyelenggaraan negara. HAN dapat dijadikan instrumen untuk
terselenggaranya pemerintahan yang baik. Penyelenggaraan pemerintahan lebih
nyata dalam HAN, karena di sini akan terlihat konkrit hubungan antara
pemerintah dengan masyarakat, kualitas dari hubungan pemerintah dengan
masyarakat inilah setidaknya dapat dijadikan ukuran apakah penyelenggaraan
pemerintahan sudah baik atau belum. Di satu sisi HAN dapat dijadikan instrumen
yuridis oleh pemerintah dalam rangka melakukan pengaturan, pelayanan, dan
perlindungan bagi masyarakat, di sisi lain HAN memuat aturan normatif tentang
bagaimana pemerintahan dijalankan, atau sebagaimana dikatakan Sjachran
Basah, bahwa salah satu inti hakikat HAN adalah untuk memungkinkan
administrasi negara untuk menjalankan fungsinya, dan melindungi administrasi
negara dari melakukan perbuatan yang salah menurut hukum.
Akan tetapi, konsekuensi dari negara Indonesia yang mengadopsi sistem hukum
Eropa Kontinental adalah pengadopsian terhadap asas legalitas yang merupakan
karakteristik dari sistem hukum Eropa Kontinental. Sehingga fungsi HAN yang
pada hakikatnya mengikat hak dan kewajiban dalam persoalan administrasi
negara harus terikat pada asas legalitas yaitu asas yang mengatur bahwa segala
kewenangan perjabat publik harus berdasarkan hukum yang tertulis. Dalam
perjalanannya, asas legalitas kemudian menghadapi beberapa tantangan yaitu
pada saat dimana seorang pejabat publik harus mengeluarkan suatu
kewenangan yang ideal bagi masyarakat dan kewenangan tersebut belum
termuat dalam hukum tertulis. Kewengan ini kita kenal dengan nama freis
Dengan adanya freies ermeson ini akhirnya hukum administrasi negara bersifat
paradoks. Bagaimana bisa membuat kewenangan tanpa adanya aturan yang
tertulis terlebih dahulu dalam undang-undang sedangkan Indonesia menganut
sistem hukum Eropa Kontinental. Permasalahan inipun diatasi dengan
menimbang bahwa freies emerson tidak bisa bertolak belakang dengan sumber
hukum materil Indonesia dan tujuan hukum yang terdiri dari terciptanya
keadilan, kepastian dan kemanfaatan untuk terlaksanakan model
penyelenggaraan yang baik.
B. Identifikasi Masalah
1. Apa yang disebut dengan asas legalitas?
2. Bagaimana kedudukan freies ermessen dalam Indonesia yang menganut
sistem Eropa Kontinental yang berkarakter asas legalitas?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asas Legalitas
Hukum administrasi negara dalam arti hukum yang mengatur hubungan
antara penguasa dan masyarakat berarti pula mengatur bagaimana penguasa
bertindak terhadap masyarakat. Dengan adanya asas legalitas sebagai unsur
yang utama dalam suatu negara hukum, maka hal itu berarti setiap tindakan
administrasi negara atau penguasa harus berdasarkan hukum yang berlaku.
Bila seorang penguasa bertindak atas nama pemerintah untuk mengatur
masyarakat, tentunya harus mempunyai dasar hukum agar tindakannya tidak
sewenamg-wenang. Selain itu, agar wewenangnya juga dibatasi sesuai dengan
fungsi dan tugasnya. Itulah yang dimaksud dengan asas legalitas yang
merupakan unsur yang utama dalam suatu negara hukum dan yang merupakan
pula suatu ciri bagi hukum administrasi negara yang mulai berkembang ketika
negara mulai menata masyarakatnya.
Bagi hukum administrasi negara, penerapan asasa legalitas itu berarti
setiap tindakan atau perbuatan penguasa haruslah berdasarkan hukum yang
berlaku1. Ketika aliran legisme berkuasa, dimana hukum diartikan hanya sebagai
UU atau peraturan tertulis, maka penguasa atau administrasi negara hanya
dapat bertindak mengatur masyarakat bila ada dasar hukumnya yang tertulis.
Berarti bila sudah adad UU yang mengatur masalah tersebut yang dapat
dipergunakan oleh penguasa sebagai dasar hukum bagi tindakannya. Hal ini sah
saja selama administrasi negara tugasnya tidak banyak sesuai dengan tujuan
negara, hanya untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Namun seiring dengan perubahan tujuan negara yang disebut Lemaire
sebagai bestuurszorg atau menyelenggarakan kesejahteraan umum bagi
masyarakat menyebabkan administrasi negara atau penguasa tidak dapat lagi
diikat hanya dengan UU atau peraturan tertulis.
Dalam meyelenggarakan kesejahteraan rakyat sesuai pergeseran liberal
rechstaat menjadi siciale rechstaat2menyebabkan pemerintah atau penguasa
harus proaktif mencampuri bidang kehidupan rakyatnya. Dengan timbulnya
perubahan pola kehidupan masyarakat dari masyarakat agraris menjadi
masyarakat industrialis, banyak timbul masalah yang tidak mungkin
ditanggulangi oleh masyarakat sendiri. Masalah-masalah kehidupan yang
berkaitan dengan memperoleh nafkah yang layak menimbulakan
masalah-masalah di bidang ketenagakerjaan, pendidikan, keselamatan kerja, kesehatan,
lingkungan, dan seterusnya berakibat campur tangan pemerintah di bidang
kependudukan, pengelolaan kesejahteraan. Semuanya menyebabkan
pemerintah harus proaktif mengatur dari perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan serta penerapan policy-policy pemerintah demi kesejahteraan
rakyat umumnya.
Semua hal itu menyebabkan semakin banyaknya hukum yang mengatur
hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang dapat dipergunakan sebagai
dasar hukum bagi tindakan penguasa.
Namun demikian, tidak semua masalah yang ada dalam masyarakat
sudah terakomodir dakam bentuk hukum tertulsi atau UU sebab peraturan
tertulis bersifat kaku atau rigid serta ciri khas realitas sosial yang senantiasa
bersifat aktif dan dinamis mengikuti perubahan zaman. Bila administrasi negara
atau penguasa harus terikat pada hukum tertulis saja, akan sangat sulit bagi
penguasa untuk dapat segera menanggulangi masalah yang timbul sesuai
dengan sifat UU yang tidak dapat dibuat terlalu rinci. Untuk itu, administrasi
negara atau penguasa harus diberi kebebasan bertindak di luar hukum tertulis.
Namun yang perlu diperhatikan sebagai suatu negara hukum, administrasi
negara atau penguasa tetap harus tunduk pada asas legalitas.
Dengan demikian, dalam konsep negara hukum modern semua tindakan
administrasi negara atau penguasa harus berdasarkan hukum tertulis dan hukum
tidak tertulis (living law). Maksudnya sejauh ada hukum tertulis yang
mengaturnya, administrasi negara atau penguasa harus tunduk pada hukum
tertulis. Namun, bila hukum tertulis tidak ditemukan, maka administrasi negara
atau penguasa harus mencari hukum tidak tertulis yang dapat dipakai sebagai
pedoman bagi tindakannya.
Menurut S.F. Marbun, Freies Ermessen atau diskresi adalah kebebasan atau
keleluasan bertindak atas inisiatip sendiri (kebijaksanaan) yang dimungkinkan
oleh hukum untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang mendesak
yang muncul secara tiba-tiba, yang engaturannya belum ada atau
kewenangannya tidak jelas atau samar-samar, yang harus
dipertanggungjawabkan baik secara hukum maupun moral.
Menurut Prof. Prayudi Atmosudirdjo, Freies Ermesson atau diskresi adalah
pejabat penguasa tidak boleh mengambil atau menolak keputusan dengan
alasan tidak ada pengaturannya. Istilah “freies ermesson” menurut beliau
disebut “diskresi”.
Dengan dua pandangan tersebut dapat diartikan bahwa freies ermessen
adalah kebebasan untuk bertindak dalam persoalan-persoalan penting ketika
tidak ada aturan tertulis yang mengatur demikian. Sehingga dapat ditarik
kesimpulan bahwa diskresi adalah pelengkap dari asas legalitas, sebab tidak bisa
dipungkiri bahwa asas legalitas yang bersifat kaku tidak bisa mengakomodasi
kepentingan masyarakat umum. Contoh yang khas adalah wewenang subsidi,
yang nyatanya ada meskipun tidak ada peraturan subsidi.
Menurut Syahran Basach, untuk menjalankan tugas-tugas servis publik,
maka bagi administrasi negara timbul konsekuensi khusus yang diperlukan Freies
Ermessen yang dimungkinkan oleh hukum agar bertindak atas inisiatip sendiri
terutama dalam penyelesaian persoalan-persoalan yang penting yang timbul
cepat membuat penyelesaiuan, namun keputusan yang diambil untuk
menyelesaikan masalah itu harus dapat dipertanggungjawabkan.
Sebagaimana yang dikemukakan di dalam alinea ke-4 UUD 1945, bahwa
Negara berkewajiban memajukan kesejahteraan umumm dan mencerdaskan
kehidupan bangsa, dengan demikian tugas pemerintah atau administrasi negara
sebagai organ eksekutif sangat luas sebab eksekutif diikut sertakan secara aktif
dalam menyelenggarakan kesejahteraan dan kepentingan umum.
Sebagai konsekuensi untuk melaksanakan kesejahteraan umum tersebut
maka administrasi negara diberikan kebebasan bertinda atas inisiatif sendiri,
untuk membuat peraturan-peraturan yang dianggap perlu terutama bdalam
hal-hal yang sangat mendesak, yang membutuhkan penyelesaian secara cepat dan
segera.
Menurut Bachsan Mustafa di dalam bukunya “Pokok-Pokok Hukum
Administrasi Negara” mengemukakan fungsi Freies Ermessen yaitu mengisi
kekosongan dalam undang-undang, mencegah kemacetan di dalam bidang
pemerintahan dan administrasi negara dapat mencari kaedah-kaedah baru
dalam lingkungan undang-undang atau sesuai dengan undang-undang.
Di lihat dari beberapa pengertian dan latar belakang pemberian
wewenangfreies Ermessen di atas, dapat disimpulkan secara khusus,
bahwa freies Ermessen atau diskresi (discretion), adalah suatu wewenang untuk
menjalankan kewajiban hukum. Oleh karena tindakan yang dilakukan atas dasar
penilaian dan pertimbangannya sendiri, maka tepat dan tidaknya penilaian
sangat dipengaruhi oleh moralitas pengambil tindakan.
Philipus M. Hadjon, lebih lanjut menyimpulkan, bahwa kekuasaan bebas
atau kekuasaan diskresi meliputi dua kewenangan, yakni :
a. Kewenangan untuk memutuskan secara mandiri
b. Kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (vage
norm)3
Secara praktis, kewenangan freies Ermessen pemerintahan yang
kemudian melahirkan bentuk-bentuk kebijaksanaan memiliki dua aspek penting
dan sebagai aspek pokok, yakni :
a. Kebebasan untuk menafsirkan yang berkaitan dengan ruang lingkup
dan batas-batas wewenang yang dirumuskan dalam peraturan dasar
pemberian wewenang, dimana kebebasan tersebut disebut dengan
kebebasan untuk menilai berdasarkan sifat yang obyektif, jujur, benar
dan adil
b. Kebebasan untuk menentukan sikap tindak, artinya bertindak atau
tidak berdasarkan penilaian sendiri dengan cara bagaimana dan kapan
wewenang yang dimiliki tersebut dilaksanakan, penilaian ini memiliki
sifat subyektif, yakni berdasarkan nuraninya sendiri dalam mengambil
keputusan.
Timbulnya penilaian yang diyakini untuk bertindak bagi setiap
pejabat pemerintahan sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang konkrit
yang mengharuskan untuk bertindak. Namun demikian penilaian yang diyakini
setiap individu sangatlah berbeda-beda tergantung dari pengalaman,
pengetahuan, kecerdasan dan moralitas masing-masing. Berkait dengan hal
tersebut setiap pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenang freies
Ermessen tidak boleh digunakan secara sembarangan tanpa alasan yang
rasional dan logis, akan tetapi selektif dan proporsional dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum.
Tolak ukur dari Freies Ermessen itu sendiri adalah keputusan yang
dikeluarkan harus dipertanggungjawabkan baik secara moral kepada Tuhan Yang
Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai
kebenaran dan keadilan, mengutamakan ersatuan dan kesatuan demi
kepentingan bersama.
Dalam kaitannya dengan teori trias politica milik Montesqieau4, dengan
adanya diskresi ini, berarti sebagian kekuasaan yang dipegang oleh badan
legislatif dipindahkan ke tangan badan eksekutif karena administrasi negara
melakukan penyelesaian tanpa menunggu perubahan UU dari bidang legislatif.
Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa administrasi negara dapat
begitu saja melanggar UU. Kemerdekaan administrasi negara berarti bahwa
administrasi negara dapat mencari kaidah-kaidah baru dalam lingkungan UU
atau sesuai dengan jiwa UU.
Apakah hal itu bertentangan dengan asas legalitas dari suatu negara
hukum? Untuk negara RI, kekuasaan membuat peraturan atas inisiatif sendiri
oleh administrasi negara didasarkan pada pasal 22 ayat 1 UUD 1945. Dan
inisiatif administrasi negara ini tidak keluar dari pengawasan bidang legislatif5.
Peraturan yang dibuat atas inisiatif sendiri itu disebut peraturan
pemerintah penganti Undang-Undang / Perpu yang didasarkan pada pasal 22
ayat 1 UUD 1945. Agar tidak keluar dari pengawasan bidang legislatif, maka
pada sidang DPR berikutnya dibicarakan apakah tindakan administrasi negara itu
diterima atau ditolak oleh DPR Bila diterima, maka perpu itu dapat dijadikan UU,
sedangkan bila ditolak, maka perpu haris dicabut6.
C. Keuntungan Dan Kerugian Penggunaan Asas Diskresi Dalam Pelaksanaan Fungsi Pemerintahan
Kewenangan freies Ermessen sebagai penyelenggara pemerintahan
bukanlah sebagai kekuasaan tidak terbatas, akan tetapi tetap tunduk pada
peraturan perundang-undangan, hukum tertulis berupa asas-asas umum
5 Lihat pasal 22 ayat 2 dan 3 UUD 1945
pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur). Oleh
karena itu penggunaan wewenang tindakan bebas dilakukan dengan syarat7:
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan
tersebut dilakukan
c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkup jabatannya
d. Pertimbangan yang layak berdasar keadaan yang memaksa, dan
e. Menghormati hak asasi manusia.
Ada beberapa manfaat atau aspek kelebihan dalam penggunaan
prinsipFreies Ermessen atau kebebasan bertindak oleh pejabat pemerintah yaitu
diantaranya;
a. kebijakan pemerintah yang bersifat emergency terkait hajat hidup
orang banyak dapat segera diputuskan atau diberlakukan oleh pemerintah
meskipun masih debatable secara yuridis atau bahkan terjadi kekosongan
hukum sama sekali;
b. badan atau pejabat pemerintah tidak terjebak pada formalisme
hukum dengan asumsi bahwa tidak ada kekosongan hukum bagi setiap
kebijakan publik (policy) sepanjang berkaitan dengan kepentingan umum
atau masyarakat luas;
c. sifat dan roda pemerintahan menjadi makin fleksibel, sehingga
sektor pelayanan publik makin hidup dan pembangunan bagi peningkatan
kesejahtraan rakyat menjadi tidak statis alias tetap dinamais seiring
dengan dinamika masyarakat dan perkembangan zaman.
Namun begitu, disisi lain kebebasan bertindak okleh apatur pemerintahan
yang berwenang sudah tentu juga menimbulkan kompleksitas masalah karena
sifatnya yang menyimpangi asas legalitas dalam arti yuridis (unsur exception).
Memang harus diakui apabila tidak digunakan secara cermat dan hati-hati maka
penerapa asas freies Ermessen ini rawan menjadi konflik struktural yang
berkepanjangan antara penguasa versus masayarakat.
Ada beberapa kerugian yang bisa saja terjadi jika tidak diantisipasi secara
baik yakni diantaranya;
a. aparatur atau pejabat pemerintah bertindak sewenang-wenang
karena terjadi ambivalensi kebijakan yang tidak dapat
dipertanggujawabkan kepada masyarakat;
b. sektor pelayanan publik menjadi terganggu atau malah makin buruk
akibat kebijakan yang tidak popoluer dan non-responsif diambil oleh
pejabat atau aparatur pemerintah yang berwenang;
c. sektor pembangunan justru menjadi terhambat akibat sejumlah
kebijakan (policy) pejabat atau aparatur pemerintah yang kontraproduktif
dengan keinginan rakyat atau para pelaku pembangunan lainnya.
d. aktifitas perekonomian masyarakat justru menjadi pasif dan tidak
berkembang akibat sejumlah kebijakan (policy) yang tidak pro-masyarakat
dan menurunya wibawa pemernitah dimata masyarakat sebagai akibat
kebijakan-kebijakannya yang dinilai tidak simpatik dan merugikan
masyarakat8.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kebebasan bertindak atau freies Ermessen boleh dilakukan oleh aparat
pemerintah atau administrasi Negara dalam hal-hal, sebagai berikut :
a. apabila terjadi kekosongan hukum
b. apabila ada kebebasan penafsiran
c. apabila ada delegasi wewenang dari perundang-undangan
d. tindakan dilakukan dalam hal-hal tertentu yang mengharuskan
untuk bertindak
2. Penggunaan asas diskresi dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan
mempunyai keuntungan dan kerugian. Adapun keuntungan dalam penggunaan
asas diskresi dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan adalah sebagai berikut :
a. kebijakan pemerintah yang bersifat emergency terkait hajat hidup
orang banyak dapat segera diputuskan atau diberlakukan oleh
pemerintah meskipun masih debatable secara yuridis atau bahkan terjadi
kekosongan hukum sama sekali;
b. badan atau pejabat pemerintah tidak terjebak pada formalisme
hukum dengan asumsi bahwa tidak ada kekosongan hukum bagi setiap
kebijakan publik (policy) sepanjang berkaitan dengan kepentingan umum
c. sifat dan roda pemerintahan menjadi makin fleksibel, sehingga
sektor pelayanan publik makin hidup dan pembangunan bagi
peningkatan kesejahtraan rakyat menjadi tidak statis alias tetap
dinamais seiring dengan dinamika masyarakat dan perkembangan
zaman.
Sedangkan kerugian dalam penggunaan asas diskresi dalam pelaksanaan fungsi
pemerintahan adalah :
a. aparatur atau pejabat pemerintah bertindak sewenang-wenang
karena terjadi ambivalensi kebijakan yang tidak dapat
dipertanggujawabkan kepada masyarakat;
b. sektor pelayanan publik menjadi terganggu atau malah makin
buruk akibat kebijakan yang tidak popoluer dan non-responsif diambil
oleh pejabat atau aparatur pemerintah yang berwenang;
c. sektor pembangunan justru menjadi terhambat akibat sejumlah
kebijakan (policy) pejabat atau aparatur pemerintah yang kontraproduktif
dengan keinginan rakyat atau para pelaku pembangunan lainnya.
d. aktifitas perekonomian masyarakat justru menjadi pasif dan tidak
berkembang akibat sejumlah kebijakan (policy) yang tidak
pro-masyarakat dan terakhir adalah terjadi krisis kepecayaan publik terhadap
penguasa dan menurunya wibawa pemernitah dimata masyarakat
sebagai akibat kebijakan-kebijakannya yang dinilai tidak simpatik dan
B. Saran
1. Diskresi yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah dalam rangka
pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan berpotensi menimbulkan permasalahan
hukum dan administratif, sehingga perlu diawasi oleh masyarakat beserta
organisasi-organisasi yang concern terhadap good governance agar tidak terjadi
perbuatan pemerintahan yang sewenang-wenang
2. Penggunaan asas diskresi dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan,
hendaknya digunakan secara proporsional oleh aparat pemerintahan dan tidak