• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Bidan Terhadap Kebijakan Menyusui Serta Hubungannya Dengan Cakupan Asi Eksklusif Dan Status Kesehatan Bayi Di Kota Bogor.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perilaku Bidan Terhadap Kebijakan Menyusui Serta Hubungannya Dengan Cakupan Asi Eksklusif Dan Status Kesehatan Bayi Di Kota Bogor."

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

PERILAKU BIDAN TERHADAP KEBIJAKAN MENYUSUI

SERTA HUBUNGANNYA DENGAN CAKUPAN ASI

EKSKLUSIF DAN STATUS KESEHATAN BAYI DI BOGOR

NINING TYAS TRIATMAJA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Perilaku Bidan terhadap Kebijakan Menyusui serta Hubungannya dengan Cakupan ASI Eksklusif dan Status Kesehatan Bayi di Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

NINING TYAS TRIATMAJA. Perilaku Bidan terhadap Kebijakan Menyusui serta Hubungannya dengan Cakupan ASI Eksklusif dan Status Kesehatan Bayi di Kota Bogor. Dibimbing oleh M. RIZAL MARTUA DAMANIK dan IKEU EKAYANTI.

Gizi buruk pada balita di Indonesia merupakan masalah gizi yang prevalensinya mengalami peningkatan antara tahun 2010 dan 2013. Gizi buruk pada balita dapat terjadi karena beberapa faktor, salah satunya adalah masih tingginya angka kesakitan atau morbiditas pada bayi maupun balita, terutama akibat infeksi. Infeksi pada bayi berkaitan dengan pemberian ASI secara non-eksklusif. Salah satu penyebab masih dijumpainya pemberian ASI non-eksklusif adalah kurangnya pengetahuan ibu terkait menyusui. Bidan, sebagai tenaga kesehatan yang paling banyak memberikan pelayanan antenatal care (ANC) mempunyai peranan penting dalam mendukung keberhasilan program ASI Eksklusif melalui pemberian edukasi menyusui. Namun, bidan juga dapat berperan sebagai faktor penghambat pemberian ASI Eksklusif jika bidan menawarkan atau memberikan susu formula bayi tanpa ada indikasi medis. Pemberian susu formula oleh bidan atau tenaga kesehatan telah mendapat perhatian pemerintah baik di tingkat global melalui International Code of Marketing of Breastmilk Subtitues 1981 maupun tingkat nasional melalui beberapa kebijakan seperti Peraturan Pemerintah No 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2013 tentang Susu Formula Bayi dan Produk Bayi Lainnya. Walaupun telah dikeluarkan kebijakan baik yang bersifat nasional maupun global, namun masih dijumpai berbagai pelanggaran di kalangan tenaga kesehatan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku bidan terhadap kebijakan menyusui serta hubungannya dengan cakupan ASI Eksklusif dan status kesehatan bayi. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1) Menganalisis karakteristik bidan dan ibu bayi, 2) Menganalisis praktek pemberian ASI eksklusif dan susu formula, 3) Menganalisis faktor-faktor pemberian susu formula pada bayi berusia kurang dari 6 bulan, 4) Menganalisis pengetahuan, sikap, dan tindakan bidan terhadap pesan-pesan dalam kebijakan, 5) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan bidan, 6) Menganalisis hubungan pengetahuan, sikap, dan tindakan bidan terhadap kebijakan dengan cakupan ASI eksklusif, 7) Menganalisis hubungan penggunaan susu formula pada bayi dengan status kesehatan bayi, dan 8) Menganalisis hubungan penggunaan susu formula pada bayi dengan kerugian ekonomi keluarga bayi.

(5)

proses persalinan dibantu oleh bidan yang menjadi contoh dalam penelitian, dan 4) bersedia terlibat dalam penelitian. Kriteria inklusi yang ditetapkan untuk bayi adalah 1) berusia 6-12 bulan, 2) tidak mempunyai penyakit kronis, dan 3) mempunyai kemampuan menyusu yang baik. Data dikumpulkan dengan wawancara menggunakan kuesioner, pengamatan tempat praktek secara langsung, serta penimbangan dan pengukuran terhadap berat dan tinggi badan bayi. Analisis statistic yang digunakan adalah analisis univariat, bivariat menggunakan uji Chi Square dan multivariat menggunakan Regresi Logistik.

Mayoritas bidan mempunyai pengetahuan terhadap pesan-pesan kebijakan dalam kategori rendah sedangkan sikap dan tindakan yang dimiliki dalam kategori baik dan telah sesuai dengan kebijakan. Variabel lama pengalaman praktek, tempat kerja, pengetahuan, dan sikap merupakan variabel yang berhubungan dengan tindakan bidan (p<0.05). Variabel yang paling berhubungan terhadap tindakan bidan adalah lama pengalaman praktek dengan OR= 14.79. Bidan yang telah menjalankan praktek mandiri selama <10 tahun akan mempunyai peluang bertindak tidak baik 14.79 lebih tinggi daripada bidan yang telah menjalankan praktek mandiri selama ≥10 tahun. Cakupan ASI Eksklusif dalam penelitian ini masih rendah, yaitu sebesar 10.5%. Pengetahuan dan sikap bidan tidak berhubungan namun tindakan bidan berhubungan dengan cakupan ASI Eksklusif. Rendahnya cakupan ASI Eksklusif berhubungan dengan pemberian susu formula pada bayi berusia kurang dari 6 bulan. Pemberian susu formula pada bayi berusia kurang dari 6 bulan berhubungan dengan variabel masalah menyusui, saran dari bidan, dan pemberian makanan prelakteal (p<0.05) dengan variabel yang paling berhubungan adalah masalah menyusui (OR=5.82). Pemberian susu formula tidak berhubungan baik dengan status gizi maupun morbiditas bayi (p>0.05) namun berhubungan dengan kerugian ekonomi keluarga (p<0.05).

(6)

SUMMARY

NINING TYAS TRIATMAJA. Midwive’s Behavior towards Breastfeeding Policy and Its Correlation with Prevalence of Exclusive Breastfeeding and Infant Health Status in Bogor. Supervised by M. RIZAL MARTUA DAMANIK and IKEU EKAYANTI.

Malnutrition among children under five in Indonesia was a nutritional problem which prevalence increased between 2010 and 2013. Malnutrition in children may occur due to various factors, e.g. illness or morbidity, mainly caused by infection. Infection in infants is associated with non-exclusive breastfeeding. The lack of mothers’ knowledge on breastfeding is among the factors that leads to non-exclusive breastfeeding Midwives, as the health workers who provide most of antenatal care (ANC), have an important role in supporting the success of exclusive breastfeeding program by giving breastfeeding education. However, midwives can also inhibit the success of exclusive breastfeeding program by offering or giving infant formula without medical indications. Formula feeding by midwives or health workers has received attention both at the global level, shown by The International Code of Marketing of Breastmilk Subtitutes in 1981, and national government level with the enactment of several policies, e.g. Government Regulation (PP) No. 33/2012 on Exclusive Breastfeeding and Regulation of Minister of Health of the Republic of Indonesia (Permenkes) No. 39/2013 on Infant Formula and Other Baby Products. Despite these global and national regulations and policies, violations by health workers are still common.

This study was aimed to determine midwives’ behavior towards breastfeeding policy and its correlation with prevalence of exclusive breastfeeding and infant health status. The specific objectives of this study were: 1) to analyze the characteristics of midwives and mothers of infants, 2) to analyze the pattern of exclusive breastfeeding and formula feeding, 3) to analyze the factors that influence formula feeding in infants under six months, 4) to analyze midwives’ knowledge, attitudes, and practice on the contents of breastfeeding policy, 5) to analyze the factors that influence midwives’ practice, 6) to analyze the correlation between midwives’ knowledge, attitudes, and practice towards policy with the prevalence of exclusive breastfeeding, 7) to analyze the correlation between formula feeding in infants with the infants health status, and 8) to analyze the correlation between formula feeding in infants with the family economic loss.

(7)

weighing and measuring the infants' weight and height. Data was analyzed using univariate analysis, bivariate analysis (Chi Square test) and multivariate analysis (Logistic Regression).

The majority of the midwives had low knowledge and good attitude and practice in accordance with the policy contents. Duration of work experience, workplace, knowledge, and attitude were associated with the practice of midwives (p <0.05). The most influential variable on midwives’ practice was the duration of work experience (OR = 14.79). Midwives who had <10 years experience had the probability of bad practice 14.79 times higher than those who had ≥10 years experience. Prevalence of exclusive breastfeeding in this study was low (10.5%). Knowledge and attitudes were not correlated with the prevalence of exclusive breastfeeding, while practice was. The low prevalence of exclusive breastfeeding was also correlated with formula feeding in infants under 6 months of age. Formula feeding in infants aged under 6 months was found to correlate with breastfeeding problems, the midwives’ advice to give infant formula, and prelacteal feeding (p<0.05), where the most influential variable was breastfeeding problems (OR = 5.82). Formula feeding was not correlated with infant nutritional status and morbidity (p> 0.05), though was correlated with family economic loss (p<0.05). The study implied the importance of regular monitoring of the implementation of the policy.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

PERILAKU BIDAN TERHADAP KEBIJAKAN MENYUSUI

SERTA HUBUNGANNYA DENGAN CAKUPAN ASI

EKSKLUSIF DAN STATUS KESEHATAN BAYI DI BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)

ii

(11)

iii Judul Tesis : Perilaku Bidan terhadap Kebijakan Menyusui serta Hubungannya dengan Cakupan ASI Eksklusif dan Status Kesehatan Bayi di Bogor

Nama : Nining Tyas Triatmaja

NIM : I151130191

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof drh M Rizal Martua Damanik, MRepSc, PhD Ketua

Dr Ir Ikeu Ekayanti, MKes Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Gizi Masyarakat

Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

iv

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Berkenaan dengan tersusunnya tesis ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof drh M Rizal Martua Damanik MRepSC PhD selaku ketua komisi pembimbing.

2. Dr Ir Ikeu Ekayanti MKes selaku anggota komisi pembimbing. 3. Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku dosen penguji

4. Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Gizi Masyarakat

5. Dinas Kesehatan Kota Bogor dan Pengurus Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Cabang Kota Bogor yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian di Kota Bogor dan mengambil sebagian bidan untuk dijadikan contoh dalam penelitian.

6. Kedua orang tua, Kamari (Ayah) dan Binti Asiyah (Ibu) serta Kakak (mas Awang, mas Brian, mbak Yus, dan Mbak Dewi) yang telah memberikan doa dan dukungan baik moral maupun material.

7. Teman-teman Pascasarjana Gizi Masyarakat IPB angkatan 2013 atas doa, dukungan, semangatnya.

8. Teman-teman Wisma Bintang yang telah memberikan keceriaan dan semangat dalam penyusunan tesis ini

9. Teman-teman yang telah membantu dalam pengambilan data

10.Pihak-pihak lain yang telah banyak memberi dorongan dan masukan dalam penulisan tesis ini.

Diharapkan tesis ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang berkepentingan khususnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

.

(13)

v

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 4

2 KERANGKA PEMIKIRAN 13

3 TINJAUAN PUSTAKA 4

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Bidan 4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberian Susu Formula 7

Cakupan ASI Eksklusif 10

Hubungan ASI Eksklusif dengan Status Kesehatan Bayi 11

Kerugian Ekonomi 12

Kebijakan Menyusui 12

4 METODE 16

Desain, Tempat, dan Waktu 16

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh 16

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 18

Pengolahan dan Analisis Data 21

Definisi Operasional 24

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 25

Karakteristik Bidan 25

Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Bidan terhadap Kebijakan

Menyusui 25

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tindakan Bidan terkait

Pemberian Susu Formula dan Isi Kebijakan Lainnya 31

Karakteristik Ibu Bayi 33

Praktek Pemberian ASI 38

Praktek Pemberian Susu Formula 41

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian Susu Formula

pada Bayi Usia Kurang dari 6 Bulan 43

Status Kesehatan Bayi 49

Kerugian Ekonomi Keluarga 53

Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Bidan terhadap

Pesan-Pesan dalam Kebijakan dengan Cakupan ASI Eksklusif 54

6 SIMPULAN DAN SARAN 55

Simpulan 55

Saran 56

DAFTAR PUSTAKA 56

LAMPIRAN 65

(14)

vi

DAFTAR TABEL

1 Prevalensi ASI Eksklusif di beberapa negara 10

2 Variabel, alat, dan cara pengumpulan serta skala pengukuran yang

digunakan 19

3 Hasil uji validitas dan reliabilitas item pertanyaaan pengetahuan dan

pernyataan sikap 20

4 Kategori status gizi 23

5 Karakteristik bidan 25

6 Persentase bidan yang menjawab benar pertanyaan pengetahuan

kebijakan 26

7 Persentase bidan yang menjawab setuju terhadap pernyataan sikap

kebijakan 27

8 Tindakan bidan terkait pemberian susu formula dan isi kebijakan lainnya 28 9 Tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan bidan terhadap kebijakan 30 10 Hubungan beberapa variabel dengan tindakan bidan terkait pemberian

susu formula dan isi kebijakan lainnya 31

11 Analisis multivariat variabel yang berhubungan dengan tindakan bidan

terkait pemberian susu formula dan isi kebijakan lainnya 33 12 Persentase ibu bayi yang menjawab benar pertanyaan pengetahuan

menyusui 36

13 Karakteristik ibu bayi 37

14 Persentase penerapan IMD oleh ibu bayi 38

15 Persentase pemberian makanan prelakteal pada bayi 39

16 Praktek pemberian susu formula oleh ibu bayi 42

17 Hubungan antar variabel terhadap tindakan pemberian susu formula

pada bayi berusia kurang dari 6 bulan 43

18 Hubungan tiap aspek tindakan bidan dengan pemberian susu formula

untuk bayi berusia kurang dari 6 bulan 48

19 Analisis multivariat variabel yang berhubungan pemberian susu formula

untuk bayi berusia kurang dari 6 bulan 48

20 Hubungan antar variabel dengan tingkat morbiditas pada bayi 50

21 Status gizi bayi berdasarkan 4 indikator 52

22 Rata-rata kerugian ekonomi keluarga bayi yang menggunakan dan tidak

(15)

vii

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran 15

2 Tahapan penelitian 17

3 Persentase lama pemberian ASI saja menurut umur bayi 40

LAMPIRAN

1. Ethical clearence 65

2. Prosedur pengukuran berat dan tinggi badan bayi 66 3. Hasil uji regresi logistik beberapa variabel independen dengan tindakan

bidan terkait pemberian susu formula dan isi kebijakan lainnya 67 4. Hasil uji regresi logistik beberapa variabel independen dengan

pemberian susu formula untuk bayi berusia kurang dari 6 bulan 67

5. Nilai Z-score contoh bayi 68

(16)
(17)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gizi buruk pada balita merupakan masalah gizi yang masih dialami oleh negara berkembang, seperti halnya Indonesia. Prevalensi gizi buruk berdasarkan indeks berat badan menurut umur (BB/U) pada balita di Indonesia mengalami peningkatan antara tahun 2010 (4.9%) dan 2013 (5.3%) (Kemenkes 2013a). Gizi buruk pada balita merupakan manifestasi jangka panjang yang dialami sejak bayi. Gizi buruk pada balita dapat terjadi karena beberapa faktor, salah satunya adalah masih tingginya angka kesakitan atau morbiditas, terutama akibat infeksi. Penyakit infeksi, seperti diare (31.4%) dan pneunomonia (23.8%), merupakan penyebab angka kematian bayi terbanyak di Indonesia (Kemenkes 2007).

Infeksi pada bayi berkaitan dengan pemberian ASI secara non-eksklusif. Pemberian ASI non eksklusif erat kaitannya dengan pemberian susu formula bayi. Pemberian susu formula pada bayi walaupun terkesan praktis, namun dapat membawa dampak buruk bagi kesehatan bayi, seperti infeksi pernapasan (Lamberti et al. 2013), diare (Lamberti et al. 2011) serta masalah pencernaan lainnya (Klement et al. 2004). Beberapa penyakit infeksi yang dialami oleh bayi akibat penggunaan susu formula dapat memberikan dampak pada kerugian ekonomi keluarga. Ibu yang memberikan susu formula kepada anak seringkali tidak menyadari bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan anak akibat penggunaan susu formula lebih besar daripada biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli susu formula. Bartick dan Reinhold (2010) menyatakan bahwa pemberian ASI non eksklusif di Amerika Serikat dapat menyebabkan kerugian ekonomi sekitar 13 milyar per tahunnya.

Pemerintah telah mewajibkan pemberian ASI secara eksklusif bagi bayi sejak lahir sampai dengan berumur 6 bulan dan dianjurkan dilanjutkan sampai anak berusia 2 tahun dengan pemberian makanan tambahan yang sesuai melalui International Code of Marketing of Breastmilk Subtitues 1981 dan Peraturan Pemerintah No 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif. Walaupun telah dikeluarkan kewajiban tentang menyusui secara eksklusif, namun masih dijumpai adanya pemberian makanan atau minuman selain ASI pada bayi berusia kurang dari 6 bulan. Persentase pemberian makanan atau minuman selain ASI pada bayi berusia kurang dari 6 bulan di Indonesia cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka pemberian makanan prelakteal pada bayi yaitu sekitar 44.7%, dengan jenis makanan yang paling banyak diberikan adalah susu formula (71.3%), madu (19.8%), dan air putih (14.6%) (Kemenkes 2010a).

(18)

2

bahwa ibu yang menerima konseling ASI mempunyai peluang memberikan ASI eksklusif 5.2 kali lebih besar daripada ibu yang tidak mendapatkan konseling.

Bidan sebagai petugas kesehatan yang paling banyak melakukan pelayanan antenatal care (ANC) mempunyai peranan penting dalam mendukung kesuksesan program ASI eksklusif, dengan cara pemberian konseling menyusui. Namun, berdasarkan hasil penelitian Aguayo et al. (2003) bahwa sebanyak 63% ibu di Togo dan Burkina Faso tidak pernah menerima konseling menyusui dari petugas kesehatan seperti bidan. Selain sebagai faktor pendukung, bidan juga dapat berperan sebagai faktor penghambat pemberian ASI eksklusif, yaitu dengan cara memberikan saran atau sampel susu formula gratis kepada ibu-ibu menyusui. Hasil studi yang dilakukan oleh Maharaj dan Bandyopadhyay (2013) di Melbourne, Australia menunjukkan bahwa salah satu penyebab ibu tidak memberikan ASI eksklusif adalah adanya dorongan dari bidan untuk memberikan susu formula. Olang et al. (2012) menyatakan bahwa alasan utama ibu di Iran tidak melanjutkan menyusui untuk bayinya yang berusia kurang dari enam bulan adalah karena saran petugas kesehatan.

Pemberian susu formula oleh bidan atau tenaga kesehatan lainnya telah mendapat perhatian pemerintah baik di tingkat nasional maupun tingkat global. Badan Kesehatan Dunia (WHO) melarang petugas kesehatan menerima insentif atau hadiah dalam bentuk apapun dari produsen susu formula melalui International Code of Marketing of Breastmilk Subtitues 1981. Beberapa negara telah mengadopsi kode tersebut dan diterjemahkan sebagai kebijakan nasional. Berdasarkan Country Implementation of the International Code of Marketing of Breast Milk Institutes 2011, terdapat 105 negara yang telah menerjemahkan Kode Etik WHO ke dalam kebijakan nasional dan salah satunya adalah Indonesia (WHO 2013a). Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa aturan yang merupakan terjemahan dari Kode Etik WHO terkait pemberian susu formula, yaitu Peraturan Pemerintah No 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2013 tentang Susu Formula Bayi dan Produk Bayi Lainnya. Salah satu isi dari aturan tersebut adalah larangan untuk bidan atau tenaga kesehatan yang memberikan susu formula tanpa adanya indikasi medis serta sanksi bagi tenaga kesehatan yang melakukan pelanggaran.

(19)

3 Pemberian susu formula pada bayi berusia kurang dari 6 bulan sangat diperhatikan oleh pemerintah karena dampak yang ditimbulkannya begitu besar. Selain berdampak pada status kesehatan bayi dan kerugian ekonomi keluarga, pemberian susu formula erat kaitannya dengan capaian cakupan ASI eksklusif. Walaupun prevalensi pemberian ASI eksklusif di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yaitu dari 15.3% (tahun 2010) menjadi 38% (tahun 2013) (Kemenkes 2013a), namun, data tersebut belum memenuhi target pemberian ASI eksklusif, yaitu sebesar ≥50%. Secara nasional, hanya terdapat 73 (14.7%) kabupaten atau kota dari 497 kabupaten atau kota di Indonesia yang telah mencapai target pemberian ASI ekslusif (Kemenkes 2012). Cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia masih tergolong rendah. Indonesia menempati urutan ke 49 dari 51 negara dengan cakupan ASI eksklusif terendah (WBTI 2012). Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya peningkatan cakupan ASI eksklusif di Indonesia.

Salah satu wilayah yang memerlukan upaya strategis dalam peningkatan cakupan ASI eksklusif adalah Kota Bogor. Kota Bogor merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Barat dengan cakupan ASI eksklusif yang mengalami penurunan setelah dikeluarkannya kebijakan baru terkait menyusui dan pelarangan susu formula. Cakupan ASI eksklusif di Kota Bogor pada tahun 2012 adalah 66.5% dan mengalami penurunan pada tahun 2013 menjadi 38.6%, dan mengalami penurunan kembali pada tahun 2014, yaitu 17.17% (Dinkes Jabar 2015). Penurunan cakupan ASI eksklusif di Kota Bogor dapat disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah diduga masih terdapat bidan yang memberikan saran atau sampel gratis susu formula walaupun telah diterapkan kebijakan. Tindakan bidan dalam mempromosikan susu formula setelah ditetapkannya kebijakan baru diduga disebabkan oleh rendahnya pemahaman bidan terhadap sebuah kebijakan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pemahaman atau pengetahuan, sikap, dan tindakan bidan di Kota Bogor terkait pemberian susu formula.

Perumusan Masalah

1. Apakah terdapat hubungan antara pengetahuan, sikap, dan tindakan bidan terhadap kebijakan menyusui dengan cakupan ASI eksklusif di Kota Bogor? 2. Apakah terdapat hubungan antara penggunaan susu formula terhadap status

kesehatan bayi dan kerugian ekonomi keluarga bayi di Kota Bogor?

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

(20)

4

Tujuan Khusus

1. Menganalisis karakteristik contoh, yaitu bidan dan ibu bayi 2. Menganalisis praktek pemberian ASI dan susu formula

3. Menganalisis faktor-faktor pemberian susu formula pada bayi berusia kurang dari 6 bulan

4. Menganalisis pengetahuan, sikap, dan tindakan bidan terhadap pesan-pesan dalam kebijakan

5. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan bidan terhadap pesan-pesan dalam kebijakan

6. Menganalisis hubungan pengetahuan, sikap, dan tindakan bidan terhadap kebijakan dengan cakupan ASI eksklusif

7. Menganalisis hubungan penggunaan susu formula dengan status kesehatan bayi

8. Menganalisis hubungan penggunaan susu formula dengan kerugian ekonomi keluarga bayi

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untul Dinas Kesehatan Kota Bogor sebagai dasar untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap implementasi kebijakan. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan sosialisasi kebijakan kepada bidan dan sebagai dasar dalam peningkatan cakupan ASI Eksklusif. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi masyarakat sebagai bahan pertimbangan bagi ibu bayi yang akan memberikan susu formula.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Bidan

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 1464/MENKES/PER/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktek Bidan, bidan merupakan seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang telah teregistrasi sesuai ketentuan peraturan perundangan-udangan. Bidan yang menjalankan praktik mandiri harus berpendidikan minimal Diploma III Kebidanan. Bidan dalam menjalankan praktek berwenang untuk memberikan pelayanan yang meliputi pelayanan kesehatan ibu, pelayanan kesehatan anak, dan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana. Pelayanan kesehatan ibu meliputi pelayanan konseling pada masa pra hamil, pelayanan antenatal pada kehamilan normal, pelayanan persalinan normal, pelayanan ibu nifas normal, pelayanan ibu menyusui, dan pelayanan konseling pada masa antara dua kehamilan (Kemenkes 2010b).

(21)

5 pelayanan terkait ibu menyusui, seperti pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini (IMD), edukasi menyusui, dan program ASI eksklusif. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kinerja bidan berkaitan dengan kesehatan dan gizi ibu dan anak. Swisari (2009) telah melakukan penelitian terhadap kinerja bidan dalam pelayanan kesehatan ibu dan neonatal di Kota Serang. Hasil penelitian tersebut menyatakan kinerja bidan dalam pelayanan kesehatan ibu dan neonatal dipengaruhi oleh lama bekerja dan status kepegawaian. Setiarini (2012) juga telah melakukan penelitian terhadap kinerja bidan dalam pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan menyatakan bahwa sebagian besar bidan mendukung pelaksanaan IMD. Faktor yang mempengaruhi kinerja bidan dalam pelaksanaan (IMD) adalah lama kerja, pendidikan, dan pengetahuan. Perilaku bidan terkait pemberian dukungan menyusui dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

Usia

Usia dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa usia berhubungan signifikan dengan perilaku atau kinerja seseorang. Setiarini (2012) dalam penelitiannya terhadap kinerja bidan terkait pelaksanaan IMD menyatakan bahwa bidan yang berumur lebih dari 35 tahun mempunyai peluang 21 kali untuk kinerja baik dibanding bidan yang berumur kurang dari 35 tahun. Swisari (2010) juga menyatakan bahwa bidan yang mempunyai usia lebih tua mempunyai kinerja lebih baik daripada bidan yang lebih muda. Hal ini terkait dengan pengalaman yang diperoleh seiring dengan meningkatnya usia. Semakin tinggi usia seseorang maka akan semakin banyak pengalaman yang diperoleh. Pengalaman tersebut akan mempengaruhi perilaku.

Namun pernyataan tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian Kasminah (2008) yang menyatakan bahwa usia bidan berhubungan tidak signifikan dengan perilaku bidan dalam memberikan susu formula. Penelitian terkait pelaksanaan manajemen laktasi oleh perawat yang dilakukan oleh Khayati (2012) juga menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia perawat dengan pelaksanaan manajemen laktasi. Usia tidak berhubungan dengan kinerja seseorang karena ada faktor lain yang mempengaruhi seperti pengetahuan dan keterampilan (Khayati 2012).

Pendidikan

Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor predisposisi yang mempengaruhi perilaku seseorang. Hasil pendidikan orang dewasa adalah perubahan kemampuan dan perilakunya. Selanjutnya perubahan perilaku didasari adanya perubahan atau penambahan pengetahuan, sikap, atau keterampilan. Perubahan perilaku di dalam proses pendidikan orang dewasa pada umumnya lebih sulit daripada perubahan perilaku di dalam pendidikan anak. Hal tersebut karena orang dewasa sudah mempunyai pengetahuan, sikap, dan keterampilan tertentu yang mungkin sudah dimiliki bertahun-tahun sehingga pengetahuan, sikap, dan tindakan yang belum diyakini tersebut menjadi sulit diterima.

(22)

6

praktek mandiri harus berpendidikan minimal DIII Kebidanan (Kemenkes 2010b). Pendidikan dapat mempengaruhi perilaku bidan atau tenaga kesehatan. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian Gizaw et al. (2015). Individu dengan pendidikan yang tinggi mempunyai kemampuan memperoleh, memproses, dan menginterpretasi informasi lebih baik (Contento 2011). Kemampuan tersebut akan menghasilkan perubahan pengetahuan dan sikap yang kemudian akan menghasilkan perubahan perilaku. Namun, beberapa penelitian menyatakan bahwa pendidikan dan tindakan seseorang tidak berhubungan secara signifikan (Kasminah 2008; Khayati 2012). Pendidikan bagi orang dewasa tidak akan berarti dalam proses belajar apabila kebutuhan fisik untuk mempertahankan hidupnya belum terpenuhi (Notoatmodjo 2007).

Lama praktek mandiri

Lama kerja berhubungan dengan tindakan bidan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Salasibew et al. (2008) dan Setiarini (2012). Bidan yang bekerja diatas 10 tahun memiliki peluang 36 kali untuk memiliki kinerja baik dibandingkan bidan yang bekerja kurang dari 10 tahun. Lama praktek berkaitan dengan pengalaman seseorang dan pengalaman akan mempengaruhi perilaku (Kassa et al. 2014). Tenaga kesehatan yang mempunyai pengalaman kerja selama 6 tahun mempunyai pengetahuan kesehatan lebih baik daripada tenaga kesehatan yang baru bekerja selama 3 tahun (Gizaw et al. 2015). Namun pendapat tersebut tidak sesuai dengan penelitian Kasminah (2008) dan Pound et al. (2014).

Pengetahuan dan sikap bidan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan perilaku. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan dan kesadaran akan lebih langgeng (long lasting) daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan dan kesadaran. Seseorang harus mengetahui terlebih dahulu arti dan manfaat perilaku sebelum seseorang mengadopsi perilaku tersebut. Pengetahuan yang baik akan mendasari perilaku yang baik pula karena pengetahuan merupakan dominan yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo 2007). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan berhubungan dengan tindakan seseorang (Gizaw et al. 2015; Setiarini 2012; dan Kasminah 2008). Setiarini (2012) menyatakan bahwa bidan yang berpengetahuan baik mempunyai peluang 22 kali untuk kinerja baik dibandingkan dengan bidan yang berpengetahuan cukup.

(23)

7

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberian Susu Formula

Usia ibu

Usia merupakan salah satu faktor internal ibu yang mempengaruhi aktivitas menyusui. Pemberian ASI eksklusif di kalangan ibu remaja lebih rendah daripada di kalangan ibu yang sudah dewasa. Beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya pemberian ASI eksklusif di kalangan ibu remaja, antara lain pada umumnya ibu remaja mempunyai tingkat pendidikan yang rendah dan harus kembali ke sekolah setelah melahirkan. Ibu remaja juga merasa malu jika harus menyusui di kawasan umum dan merasa tidak nyaman dalam menyusui akibat kurangnya dukungan dalam menghadapi hambatan menyusui (Jones et al. 2011; Tucker et al. 2011).

Beberapa penelitian menyatakan bahwa usia ibu berhubungan secara signifikan terhadap keberhasilan ASI eksklusif (Alade et al. 2013; Al Juaid et al. 2014). Semakin tinggi usia ibu maka kemungkinan memberikan ASI eksklusif juga semakin tinggi. Peningkatan usia ibu di Uni Emirat Arab meningkatkan lama ibu menyusui. Peningkatan tersebut dapat terlihat dari ibu yang berusia kurang dari 25 tahun menyusui selama 7.2±5.1 bulan dan ibu yang berusia lebih dari 35 tahun menyusui selama 10.0±6.3 bulan (Radwan 2013). Hal yang sama juga terjadi di India yaitu usia ibu berpengaruh secara signifikan terhadap pemberian ASI secara eksklusif (Bhattacharjya et al. 2013). Namun, berbeda dengan penelitian sebelumnya, usia ibu di Iran tidak berhubungan secara signifikan terhadap keberlanjutan menyusui (Olang et al. 2012).

Pendidikan ibu

Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor determinan praktek menyusui. Tingkat pendidikan ibu berpengaruh positif terhadap lamanya menyusui (Al Sahab et al. 2010; Alade et al. 2013; Al Juaid et al. 2014). Pendidikan berhubungan secara signifikan terhadap skor pengetahuan menyusui. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan ibu mempunyai dampak yang signifikan terhadap pengetahuan menyusui. Ibu dengan pendidikan yang lebih tinggi umumnya mempunyai pengetahuan menyusui yang tinggi pula. Ibu yang berpendidikan maka akan berusaha mewujudkan hidupnya menjadi lebih baik serta mempunyai pola asuh makan yang lebih baik (Afrose et al. 2012).

(24)

8

Status ekonomi keluarga

Status ekonomi keluarga berhubungan secara signifikan terhadap praktek pemberian ASI, baik secara negatif maupun positif. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa status ekonomi keluarga berhubungan negatif terhadap praktek pemberian ASI eksklusif. Status ekonomi yang tinggi dapat menurunkan praktek pemberian ASI eksklusif. Penggunaan susu formula dapat menggambarkan kondisi ekonomi keluarga (Onah et al. 2014). Tingkat sosial ekonomi yang tinggi memungkinkan ibu membeli susu formula atau makanan pengganti ASI dengan mudah (Mazumder&Hossain 2012).

Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa status ekonomi keluarga berhubungan positif terhadap praktek pemberian ASI eksklusif. Artinya, semakin tinggi status ekonomi keluarga maka akan semakin baik praktek pemberian ASI eksklusifnya. Hasil penelitian di Nigeria menunjukkan bahwa ibu dengan tingkat pendapatan keluarga tinggi mempunyai kemungkinan memberikan ASI Eksklusif 1.2 kali lebih tinggi daripada ibu dengan tingkat pendapatan keluarga rendah (Agho et al. 2011). Ibu dengan status ekonomi keluarga yang tinggi kemungkinan mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi, akses media dan pelayanan kesehatan yang mudah yang dapat meningkatkan kesadaran ibu terhadap menyusui (Joshi et al. 2014).

Pengetahuan menyusui ibu

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu tahu, paham, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi (Notoatmodjo 2007). Seseorang akan mengadopsi suatu perilaku apabila telah mengetahui manfaat perilaku tersebut baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Hal tersebut juga terjadi apabila seorang ibu mengetahui manfaat menyusui. Ibu akan mengadopsi perilaku menyusui apabila ibu telah mengetahui manfaat menyusui baik bagi anaknya maupun dirinya sendiri.

Beberapa penelitian telah membuktikan keterkaitan antara pengetahuan menyusui dengan keberlangsungan menyusui (Haider et al. 2010; Jessri et al. 2013). Praktek pemberian ASI secara non eksklusif di Ethiopia bagian timur berhubungan dengan pengetahuan pola asuh makan yang rendah. Ibu yang mempunyai pengetahuan pola asuh makan yang rendah terutama menyusui mempunyai kemungkinan untuk berhenti menyusi 3.4 kali lebih besar daripada ibu yang mempunyai pengetahuan yang baik (Egata et al. 2013).

Pekerjaan ibu

(25)

9 eksklusif dua kali lebih tinggi daripada ibu yang bekerja (Radwan 2013). Ibu yang tidak bekerja di Ethiopia mempunyai kemungkinan memberikan ASI eksklusif lima kali lebih tinggi daripada ibu yang bekerja (OR:5.3;95% CI:1.3,21.8) (Setegn et al. 2012). Ibu rumah tangga mempunyai kemungkinan memberikan ASI eksklusif 2.2 kali lebih besar daripada ibu yang mempunyai pekerjaan lain (AOR=2.16, 95% CI=1.49-3.16) (Seid et al. 2013). Ibu rumah tangga mempunyai waktu yang lama bersama bayinya sehingga ibu tersebut akan menyusui anaknya.

Pengalaman menyusui

Ibu yang pernah melahirkan sebelumnya dan menyusui anaknya berhubungan secara positif terhadap praktek pemberian ASI ekslusif (Al Sahab et al. 2010). Ibu yang pernah melahirkan sebelumnya mempunyai kemungkinan menyusui secara eksklusif 1.8 lebih tinggi daripada ibu yang belum pernah melahirkan sebelumnya (OR=1.83;95% CI 1.24-2.71) (Radwan 2013). Hasil penelitian serupa di Kanada menunjukkan bahwa ibu yang mempunyai anak sebelumnya mempunyai kemungkinan memberikan ASI eksklusif 2.2 kali lebih besar daripada ibu yang belum mempunyai anak sebelumnya (Jessri et al. 2013).

Saran tenaga kesehatan (bidan)

Tenaga kesehatan mempunyai kewajiban dalam memberikan edukasi atau sosialisasi ASI Eksklusif kepada ibu menyusui. Kewajiban tersebut tertuang dalam PP RI No.33 Tahun 2012 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif. Informasi dan edukasi yang perlu disampaikan minimal mengenai keuntungan dan keunggulan pemberian ASI; gizi ibu, persiapan dan mempertahankan menyusui; akibat negatif dari pemberian makanan botol secara parsial; kesulitan untuk mengubah keputusan untuk tidak memberikan ASI. Edukasi atau saran dari tenaga kesehatan berhubungan dengan praktek pemberian ASI eksklusif (Mgongo et al. 2013). Edukasi terkait menyusui yang diberikan oleh tenaga kesehatan dapat meningkatkan kesadaran menyusui namun tidak menjamin dapat meningkatkan kemampuan menyusui secara benar (Dhandapany et al. 2008). Hal tersebut karena informasi yang diberikan oleh tenaga kesehatan tidak lengkap, tidak konsisten dan berlawanan dengan yang seharusnya (Abba et al. 2010).

(26)

10

Masalah menyusui

Permasalahan menyusui merupakan salah satu alasan ibu berhenti menyusui. Alasan terbanyak ibu berhenti menyusui adalah ketidakcukupan ASI (Radwan 2013; Olang 2012). Ketidakcukupan ASI pada umumnya lebih mengarah kepada persepsi ibu yang salah dan kurangnya pengetahuan tentang kebiasaan bayi normal. Ibu seringkali merasa bahwa ASInya tidak cukup karena bayi masih menangis setelah disusui. Bayi yang menangis setelah disusui merupakan salah satu tanda ASI tidak cukup, namun tanda tersebut tidak menjadi patokan utama dan perlu dilihat tanda-tanda lain seperti frekuensi buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) bayi. Apabila frekuensi BAK kurang dari 6-8 kali per hari dan BAB dengan feses yang sedikit, kering dan keras, maka tanda-tanda tersebut menunjukkan kurangnya asupan ASI pada bayi (Giugliani 2004).

Proses pelekatan yang kurang sesuai merupakan penyebab utama rendahnya produksi ASI. Pelekatan yang kurang sesuai menyebabkan tidak efisiennya pengosongan payudara sehingga sintesis ASI berkurang. Faktor lain yang menyebabkan pengosongan payudara tidak efisien, antara lain jarang menyusui, tidak menyusui di malam hari, penggunaan makanan pendamping ASI, penggunaan pacifier serta puting buatan, ibu mengalami kelelahan dan gangguan emosional. Beberapa hal yang dapat dilakukan apabila produksi ASI tidak cukup, antara lain memperbaiki proses pelekatan, meningkatkan frekuensi menyusui, menggunakan kedua payudara saat menyusui, membiarkan bayi mengosongkan payudara, tidak menggunakan botol susu atau empeng., dan mencukupkan istirahat bagi ibu (Giugliani 2004).

Cakupan ASI Eksklusif

Prevalensi pemberian ASI eksklusif di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yaitu dari 15.3% (tahun 2010) menjadi 38% (tahun 2013) (Kemenkes 2013a), namun, data tersebut belum memenuhi target pemberian ASI eksklusif, yaitu sebesar ≥50%. Secara nasional, hanya terdapat 73 (14.7%) kabupaten atau kota dari 497 kabupaten atau kota di Indonesia yang telah mencapai target pemberian ASI ekslusif (Kemenkes 2012). Cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia masih tergolong rendah. Indonesia menempati urutan ke 49 dari 51 negara dengan cakupan ASI eksklusif terendah, yaitu 27.5% (WBTI 2012). Beberapa penelitian telah dilakukan baik di Indonesia maupun negara lain untuk mengetahui prevalensi ASI eksklusif di wilayah tersebut. Prevalensi ASI eksklusif di beberapa wilayah dirangkum dalam Tabel 1.

Tabel 1 Prevalensi ASI eksklusif di beberapa negara

Wilayah Prevalensi (%) Studi

Kanada 13.8 Al-Sahab et al.( 2010)

Nigeria 10.2 Alade et al. (2013)

Amerika Serikat 16.2 Jones et al. (2011)

Bangladesh 35.0 Joshi et al. (2014)

Timor Leste 24.9 Khanal et al. (2014)

(27)

11

Hubungan ASI Eksklusif dengan Status Kesehatan Bayi

Air Susu Ibu Eksklusif (ASI Eksklusif) menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif merupakan air susu ibu yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama enam bulan tanpa menambahkan dan atau mengganti dengan makanan atau minuman lain. Pemberian ASI eksklusif bermanfaat baik bagi kesehatan bayi maupun ibu. ASI bermanfaat untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi karena ASI mengandung zat gizi yang lengkap bagi bayi berusia kurang dari enam bulan (Brown 2011). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa ASI bermanfaat untuk melindungi bayi dari infeksi serta bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi. Giri et al. (2013) menyatakan bahwa ibu yang memberikan ASI eksklusif cenderung memiliki balita dengan status gizi lebih baik daripada ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif. Namun, pendapat tersebut berbeda dengan hasil penelitian Rachmadewi (2009) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan praktek ASI eksklusif dengan status gizi bayi. Hal tersebut diduga karena adanya pemberian MP-ASI yang kurang tepat.

Selain itu, ASI juga bermanfaat untuk melindungi bayi dari infeksi karena ASI mengandung komponen yang bermanfaat terhadap imunitas, seperti limfosit T, limfosit B, secretory immunoglobins (sIgA, sIgG, sIgM, sIgE, sIgD), produk sel T, protein carriers (lactoferrin, transferrin, vitamin B12 binding protein), dan beberapa enzim (Brown 2011). Praktek pemberian ASI non eksklusif berkaitan dengan praktek pemberian susu formula. Praktek pemberian susu formula mempunyai dampak negatif baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dampak jangka pendek dari pemberian ASI secara non eksklusif berkaitan dengan beberapa penyakit infeksi, seperti diare dan ISPA (WHO 2013b).

(28)

12

berpengaruh terhadap infeksi pernapasan, yaitu berat lahir rendah, praktek ASI non eksklusif, rumah yang padat penghuni, paparan polusi udara, imunisasi yang tidak lengkap, undernutrition, dan infeksi HIV (Jackson et al. 2013). Sebuah studi analisis yang mempelajari keterkaitan praktek ASI non eksklusif dan infeksi pernapasan menyatakan bahwa bayi yang tidak diberi ASI Eksklusif mempunyai kemungkinan mengalami kematian akibat pneumonia 14.97 kali lebih besar daripada bayi yang diberi ASI eksklusif (Lamberti et al. 2013). Mekanisme yang dapat menjelaskan keterkaitan menyusui dengan infeksi pernapasan adalah ASI mengandung komponen antimikroba dan imunologi serta kandungan gizi yang dapat memperbaiki status gizi bayi (WHO 2013b).

Kerugian Ekonomi

Kerugian ekonomi akibat tidak menyusui secara eksklusif dapat dinilai dari beberapa aspek, antara lain biaya pembelian makanan tambahan bayi beserta peralatannya seperti botol susu, dot, putting buatan, dan sebagainya; biaya suplemen ibu yang menyusui (Bhatnagar et al. 1996); dan biaya yang berkaitan dengan kesakitan bayi seperti biaya dokter, obat, atau perawatan rumah sakit (Bhatnagar et al. 1996; Gupta&Kanna 1999). Beberapa studi telah menunjukkan bahwa menyusui secara eksklusif merupakan kegiatan yang bersifat ekonomis dan mempunyai kerugian ekonomi lebih kecil daripada pemberian ASI secara non eksklusif (Bhatnagar et al. 1996; Gupta&Kanna 1999).

Studi yang dilakukan oleh Chua et al. (1998) di Singapura menyatakan bahwa sekitar 21% pendapatan rumah tangga dapat disimpan apabila ibu menyusui. Komponen yang dapat menyebabkan pengeluaran rumah tangga ibu yang tidak menyusui lebih besar daripada ibu menyusui adalah biaya pembelian makanan selain ASI serta rentang waktu penggunaan makanan tersebut yang lebih lama daripada rentang waktu yang dibutuhkan ibu dalam menyusui. Ball dan Wright (1999) mengkaji biaya perawatan kesehatan yang dikeluarkan selama tahun pertama kehidupan pada bayi yang mendapat susu formula. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1000 bayi yang tidak pernah mendapat ASI, mengalami 60 kali lebih sering sakit saluran napas bawah, 580 kali lebih sering otitis media, dan 1053 kali lebih sering sakit saluran pencernaan. Total biaya langsung yang dibutuhkan oleh bayi yang tidak pernah mendapat ASI selama 12 bulan pertama kehidupannya akibat sakit saluran pernapasan bawah, otitis media, dan sakit saluran pencernaan adalah antara USD 331 hingga USD 475 per orang. Weimer (2001) juga menyatakan bahwa sebanyak 3.6 milyar dollar Amerika dapat disimpan apabila prevalensi menyusui secara eksklusif dapat ditingkatkan dari 29 persen menjadi 50 persen.

Kebijakan Menyusui

(29)

13 No. 450/Menkes/SK/IV/2004 tentang Pemberian ASI secara Eksklusif pada Bayi di Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.33 Tahun 2012 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif, dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 39 Tahun 2013 Tentang Susu Formula Bayi dan Produk Bayi Lainnya.

PP RI No.33 Tahun 2012 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif dan Permenkes RI No. 39 Tahun 2013 Tentang Susu Formula Bayi dan Produk Bayi Lainnya menyebutkan bahwa setiap ibu yang melahirkan harus memberikan ASI Eksklusif kepada bayi yang dilahirkannya, kecuali dalam keadaan adanya indikasi medis, ibu tidak ada, dan ibu terpisah dari bayi. Bayi diperbolehkan diberi susu formula atau makanan selain ASI hanya jika ditemui indikasi medis baik pada bayi maupun pada ibu. Kondisi medis pada bayi yang diperbolehkan diberi susu formula dijelaskan pada Pasal 8 dan Pasal 9 sedangkan kondisi medis pada ibu dijelaskan pada pasal 10, 11, dan 12 Permenkes RI No. 39 Tahun 2013 (Kemenkes 2013b).

PP RI No.33 Tahun 2012 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif menyebutkan beberapa kewajiban tenaga kesehatan terkait menyusui, antara lain melakukan inisiasi menyusu dini (IMD), menempatkan ibu dan bayi dalam satu ruangan rawat gabung, memberikan informasi dan edukasi ASI eksklusif. Kebijakan tersebut juga mengatur larangan kepada setiap tenaga kesehatan menerima hadiah dan/atau bantuan dari produsen dan/atau distributor susu formula bayi serta mempromosikan susu formula bayi yang dapat menghambat program pemberian ASI eksklusif. Kegiatan mempromosikan susu formula bayi yang dilarang, meliputi memajang dan memberikan potongan harga; memberikan sampel susu formula bayi; memberikan hadiah; memberikan informasi melalui saluran telepon, media cetak dan elektronik; memasang logo atau nama perusahaan pada perlengkapan persalinan dan perawatan bayi; membuat dan menyebarkan brosur, leaflet, poster, atau yang sejenis lainnya.

3

KERANGKA PEMIKIRAN

(30)

14

tinggi pengetahuan terhadap kebijakan yang berlaku maka diharapkan semakin tinggi pula ketaatan terhadap kebijakan tersebut. Faktor pendukung (enabling factors) yang menentukan perilaku bidan terhadap kebijakan menyusui antara lain adanya fasilitas dari perusahaan susu formula serta adanya pelatihan atau sosialisasi sedangkan faktor pendorongnya (reinforcing factors) adalah adanya kebijakan tentang menyusui.

Perilaku bidan terhadap kebijakan menyusui dan promosi susu formula menentukan tindakan ibu terkait pola asuh makan anak. Dukungan menyusui yang diberikan oleh bidan atau tenaga kesehatan lainnya merupakan faktor pendorong (reinforcing factors) yang menentukan tindakan ibu dalam menyusui atau memberikan susu formula. Selain faktor pendorong (reinforcing factors), tindakan ibu juga ditentukan oleh dua faktor utama lainnya, yaitu faktor predisposisi dan faktor pendukung (enabling factors). Faktor predisposisi yang menentukan ibu dalam memberikan susu formula adalah faktor internal ibu sedangkan faktor pendukungnya adalah sarana prasarana ibu dalam memberikan susu formula, seperti iklan atau promosi susu formula.

Faktor internal ibu yang dapat mempengaruhi pemberian susu formula, antara lain pendidikan, usia, pekerjaan, status ekonomi, pengetahuan, masalah, dan pengalaman menyusui. Pendidikan ibu yang tinggi merupakan faktor protektif dalam praktek pemberian susu formula pada bayi di Uganda (Engebretsen et al. 2007). Pengalaman ibu dalam menyusui juga berperan dalam pengambilan keputusan pemberian susu formula pada bayi. Studi yang dilakukan oleh Radwan (2013) menyatakan bahwa sebanyak 83.5% bayi di Uni Emirat Arab telah menerima susu formula sebelum usia 6 bulan dan alasan utama dari pemberian tersebut adalah ibu belum mempunyai pengalaman menyusui sebelumnya (32.5%). Ibu-ibu yang memberikan susu formula di Nepal pada umumnya merupakan ibu-ibu yang tidak berpendidikan, tidak bekerja, mempunyai kesejahteraan ekonomi rendah, tidak melakukan perawatan antenatal, dan belum mempunyai pengalaman menyusui sebelumnya (Khanal et al. 2013).

(31)

15

Keterangan:

: variabel yang diteliti : hubungan yang diteliti : variabel yang tidak diteliti : hubungan yang tidak diteliti

Gambar 1 Kerangka pemikiran Pengetahuan dan

sikap terhadap kebijakan Karakteristik bidan

 Usia

 Pendidikan

 Lama bekerja

 Tempat kerja

Media

Tindakan Bidan

Dukungan menyusui

Motivasi bidan

Pemberian ASI dan susu formula oleh

ibu

Status gizi bayi

Faktor internal Ibu

 Pendidikan

 Usia

 Pekerjaan

 Status ekonomi

 Pengetahuan, pengalaman,dan masalah menyusui

Kerugian ekonomi keluarga Sosialisasi

menyusui

Morbiditas bayi Konsumsi

pangan

Hygiene dan sanitasi

(32)

16

4

METODE

Desain, Tempat, dan Waktu

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat analitik kuantitatif. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2014-April 2015 di Kota Bogor. Alasan pemilihan Kota Bogor sebagai tempat penelitian karena Kota Bogor merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Barat yang cakupan ASI eksklusifnya mengalami penurunan setelah kebijakan ditetapkan. Cakupan ASI eksklusif pada tahun 2012 adalah 66.5% dan mengalami penurunan pada tahun 2013 (38.6%) dan tahun 2014 (17.17%) (Dinkes Jabar 2015). Penelitian ini telah mendapatkan Persetujuan Etik dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia No: 86/UN2.F1/ETIK/2015.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

Populasi dalam penelitian ini adalah bidan, ibu bayi, dan bayi berusia 6-12 bulan di Kota Bogor. Contoh yang diambil dalam penelitian ini adalah contoh yang telah memenuhi kriteria inklusi. Kriteria inklusi yang ditetapkan untuk bidan adalah 1) bersedia terlibat dalam penelitian, dan 2) mempunyai tempat praktek sendiri. Kriteria inklusi yang ditetapkan untuk ibu bayi adalah 1) mempunyai bayi berusia 6-12 bulan, 2) melahirkan di sekitar lokasi penelitian, 3) proses persalinan dibantu oleh bidan yang menjadi contoh dalam penelitian, dan 4) bersedia terlibat dalam penelitian. Kriteria inklusi yang ditetapkan untuk bayi adalah 1) berusia 6-12 bulan, 2) tidak mempunyai penyakit kronis, dan 3) mempunyai kemampuan menyusu dengan baik.

Jumlah minimal bidan yang menjadi contoh diambil dengan menggunakan rumus Lameshow (1997). Penarikan jumlah contoh ditentukan dengan presisi (d) sebesar 10%. Cakupan ASI eksklusif (p) di Kota Bogor sebesar 17.17% (Dinkes Jabar 2015). Jumlah bidan praktek swasta yang berada di Kota Bogor (N) adalah sebanyak 138 orang (IBI 2014) sehingga jumlah minimal bidan yang dapat dijadikan contoh adalah sebanyak 39 orang dengan perhitungan sebagai berikut:

n ≥ Z2α p (1-p)N d2(N-1) + Z2α p (1-p)

n ≥ (1,96)2 x 0.1717 (1-0.1717) 138 (0,1)2 (138-1) + (1.96)2 0.1717 (1-0.1717) n ≥ 39 orang

(33)

17 melakukan persalinan di tempat praktek bidan yang menjadi contoh. Jumlah ibu bayi yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 76 orang. Jumlah bayi yang digunakan dalam penelitian ini sama dengan jumlah ibu bayi, yaitu 76 bayi. Jumlah tersebut telah memenuhi jumlah minimal ibu bayi yang ditentukan dengan presisi 10% dan menggunakan rumus sebagai berikut

n ≥ Z2α

p (1-p) d2

n ≥ (1,96)2 x 0.1717 x (1-0.1717) (0,1)2

n ≥ 51 orang

Penarikan contoh dalam penelitian ini dilakukan sebanyak 2 tahap. Tahap pertama adalah penarikan contoh bidan. Bidan yang memenuhi kriteria inklusi dan bersedia memberikan data pasien diambil sampai memenuhi jumlah yang ditentukan kemudian dilakukan wawancara. Data ibu bayi dan bayi diperoleh dari bidan dan disesuaikan dengan kriteria inklusi. Ibu bayi dan bayi yang sesuai dengan kriteria inklusi dijadikan contoh dalam penelitian ini. Tahapan penelitian secara lengkap ditampilkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Tahapan penelitian

Populasi bidan swasta di Kota Bogor N =138 orang

Bidan yang bersedia mengikuti penelitian

n = 41 orang

Tidak bersedia memberikan data

pasien n = 3 orang

Contoh bidan n = 39 orang Berkunjung ke tempat

praktek bidan dan menjelaskan tujuan

penelitian

Wawancara+observasi

91 pasien ibu bayi&bayinya Kriteria inklusi

76 pasien ibu bayi & bayinya

Wawancara dan pengukuran Data pasien ibu

(34)

18

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer meliputi variabel-variabel yang diteliti, yaitu:

1 Karakteristik contoh, yaitu karakteristik bidan (usia, pendidikan, tempat bekerja dan lama pengalaman praktek) dan karakteristik ibu bayi (pendidikan, usia, pekerjaan, status ekonomi, pengetahuan, masalah dan pengalaman menyusui). Data variabel ini dikumpulkan dengan wawancara menggunakan kuesioner.

2 Pemberian makan bayi, meliputi praktek pemberian ASI dan susu formula. Data variabel ini dikumpulkan dengan wawancara kepada ibu bayi. Data ASI eksklusif diperoleh dengan metode recall sejak lahir, artinya ibu ditanya makanan atau minuman apa yang telah diberikan kepada bayi sejak lahir dan kapan makanan atau minuman tersebut pertama kali diberikan. Selain itu, ibu juga ditanya terkait pelaksanaan IMD dan pemberian makanan prelakteal. 3 Perilaku kebijakan, meliputi pengetahuan, sikap, dan tindakan terhadap isi

kebijakan. Data variabel ini dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitas. Hasil uji validitas dan reliabilitas dapat dilihat pada Tabel 3.

4 Status kesehatan bayi (status gizi, jenis penyakit yang pernah diderita, frekuensi, dan lama sakit). Data variabel status gizi, yaitu panjang badan dan berat badan diperoleh dengan pengukuran secara langsung. Pengukuran berat badan dilakukan menggunakan timbangan sedangkan pengukuran panjang badan dilakukan menggunakan pita ukur. Prosedur pengukuran berat badan dan tinggi badan bayi ditampilkan dalam Lampiran 2. Data variabel morbiditas diperoleh dengan menanyakan ibu apakah bayi pernah didiagnosis diare dan penyakit saluran pernafasan seperti batuk dan pilek oleh tenaga kesehatan selama 1 bulan terakhir. Jika pernah, berapa lama bayi sakit dan berapa kali bayi mengalami sakit selama sebulan terakhir (Kemenkes 2007). 5 Analisis biaya kerugian ekonomi keluarga (biaya pembelian susu formula dan

biaya pengobatan). Data biaya pembelian susu formula diperoleh dengan menanyakan kepada ibu terkait jumlah kardus atau kemasan susu formula yang biasa dibeli ibu setiap bulannya serta harga tiap kardus atau kemasan. Data biaya pengobatan diperoleh dengan menanyakan terlebih dahulu apakah bayi pernah sakit diare atau penyakit saluran pernafasan serta lama dan frekuensi sakit selama satu bulan terakhir. Jika pernah, ibu ditanya kembali terkait jenis pengobatan yang digunakan dan biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan tersebut.

(35)

19 Tabel 2 Variabel, alat, dan cara pengumpulan serta skala pengukuran yang

digunakan

No Variabel Indikator Alat dan cara

pengumpulan Skala data

 Lama pengalaman praktek mandiri

3 Pola menyusui  Penerapan Inisiasi Menyusu Dini (IMD)

(36)

20

tinggi jika nilai alpha Cronbach 0.600-0.799 (Priatna 2008). Hasil uji validitas dan reliabilitas item pertanyaaan pengetahuan dan pernyataan sikap disajikan dalam Tabel 3.

2 Kewajiban tenaga kesehatan terkait menyusui 0.479

3 Materi edukasi menyusui minimal yang harus diberikan oleh tenaga kesehatan

0.658

4 Sanksi yang diberikan bagi tenaga kesehatan bila memberikan susu formula bayi yang dapat menghambat program pemberian ASI Eksklusif

0.001

5 Kondisi ibu yang tidak dibenarkan menghentikan menyusui sementara waktu

0.004

6 Bayi yang membutuhkan makanan selain ASI dalam jangka waktu terbatas diperbolehkan diberi susu formula jika dalam kondisi

0.000

7 Sanksi administratif bagi tenaga kesehatan bila memberikan susu formula bayi tanpa adanya indikasi medis

0.000

Sikap terhadap isi kebijakan

1 Inisiasi menyusui dini (IMD) wajib dilakukan terhadap bayi yang baru lahir minimal selama 1 jam

0.000 0.050 0.616

2 Ibu dan bayi wajib ditempatkan dalam 1 ruangan atau rawat gabung

0.000

3 Ibu wajib diberikan informasi dan edukasi ASI Eksklusif sejak pemeriksaan kehamilan sampai dengan periode pemberian ASI Eksklusif

0.000

4 Tenaga kesehatan yang tidak melakukan IMD, rawat gabung, dan konseling ASI akan diberikan sanksi administratif seperti teguran lisan atau tertulis

0.000

5 Bayi (0-12 bulan) dengan indikasi medis tertentu boleh diberi susu dengan formula khusus

0.038

6 Tenaga kesehatan atau fasilitas pelayanan kesehatan boleh melakukan promosi susu formula bayi

0.128

7 Tenaga kesehatan boleh menerima hadiah atau bantuan dari produsen susu formula berupa dana penelitian atau pelatihan

0.000

8 Susu formula bayi boleh diberikan kepada bayi (0-6 bulan) yang tidak mau menyusu

2 Lama waktu pemberian ASI Eksklusif 0.000

3 Makanan yang sesuai untuk bayi berusia 4 bulan adalah 0.000

4 Pernyataan yang sesuai terkait kolostrum 0.000

5 Cara menyusui bayi yang benar 0.000

6 Jika sesudah melahirkan ASI tidak keluar, yang sebaiknya ibu lakukan yaitu

0.413

7 Pengaruh memberikan ASI pada bayi sampai berusia 2 tahun 0.000

(37)

21

Pengolahan dan Analisis Data

Data primer yang telah diperoleh diolah dengan tahapan-tahapan, meliputi editing, coding, entri, cleaning untuk dianalisis selanjutnya. Data kuisioner yang telah diperoleh dilakukan editing untuk mengecek konsistensi informasi. Kemudian dilakukan coding sesuai dengan variabel sebagai panduan entri dan dilakukan entri data sesuai dengan kode yang telah dibuat. Cleaning dilakukan apabila data terlalu berlebihan dengan cara menghapus data tersebut. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel 2010 dan dianalisis dengan menggunakan program SPSS version 16.0 for Windows.

Karakteristik contoh, yaitu bidan (usia, pendidikan, lama pengalaman praktek mandiri, dan tempat bekerja) dan ibu bayi (usia, pendidikan, pekerjaan, status ekonomi keluarga, pengetahuan, pengalaman, dan masalah menyusui) diolah dengan memberikan kategori atau pengelompokan pada masing-masing variabel. Usia bidan dikategorikan menjadi dua berdasarkan rata-rata usia bidan, yaitu <45 tahun dan ≥45 tahun. Pendidikan bidan menurut Permenkes No 1464/Menkes/Per/X/210 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan dikategorikan menjadi D3 Kebidanan dan Lebih dari D3 Kebidanan. Lama pengalaman praktek mandiri dikategorikan menjadi dua, yaitu <10 tahun dan ≥10 tahun (Salasibew et al. 2008). Tempat kerja bidan dikelompokkan menjadi dua, yaitu hanya praktek mandiri dan lebih dari satu tempat kerja.

Usia ibu bayi dikelompokkan menjadi dua berdasarkan rata-rata, yaitu <28 tahun dan ≥28 tahun. Pendidikan ibu dikelompokkan menjadi dua berdasarkan ijazah terakhir, yaitu rendah, jika ijazah terakhir hanya sampai SD dan tinggi jka ijazah terakhir minimal SMP atau lebih dari SMP. Status ekonomi keluarga dikelompokkan menjadi dua, yaitu miskin dan tidak miskin berdasarkan garis kemiskinan Kota Bogor. Status ekonomi keluarga dikatakan miskin apabila mempunyai pendapatan per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan, yaitu Rp 294 700/kap/bulan, dan sebaliknya (BPS 2014). Pengalaman menyusui dikategorikan menjadi dua, yaitu pernah dan tidak pernah menyusui (Jessri et al. 2013). Pengetahuan menyusui ibu diukur dengan memberikan skor terhadap jawaban pertanyaan tentang menyusui. Skor jawaban benar adalah 1 dan skor jawaban salah adalah 0. Kemudian skor jawaban yang benar dijumlahkan dan dibandingkan dengan total skor keseluruhan. Tingkat pengetahuan menyusui dikelompokkan menjadi dua berdasarkan rata-rata skor pengetahuan, yaitu 1) rendah, jika persentase total skor pengetahuan menyusui kurang dari persentase skor rata-rata, dan 2) tinggi, jika persentase skor total pengetahuan menyusui lebih dari atau sama dengan persentase skor rata-rata (Thaha 1990). Masalah menyusui dikategorikan menjadi dua, yaitu ada dan tidak ada.

(38)

22

Data pemberian susu formula terdiri atas awal pemberian, asal informasi susu formula pertama kali, status penggunaan susu formula saat ini, dan alasan pemberian susu formula. Data awal pemberian susu formula dibedakan menjadi dua, yaitu <6 bulan dan ≥6 bulan. Data asal informasi susu formula dikelompokkan menjadi 1) bidan dan tenaga kesehatan lainnya, 2) iklan, 3) keluarga, dan 4) tetangga. Status penggunaan susu formula saat ini dibedakan menjadi dua, yaitu masih menggunakan dan tidak menggunakan. Alasan pemberian susu formula dikelompokkan menjadi 1) susu formula sama dengan ASI, 2) saran dari bidan atau tenaga kesehatan, 3) saran keluarga, 4) ASI tidak keluar , dan 5) alasan lainnya. Pengelompokkan alasan pemberian susu formula berdasarkan studi yang dilakukan oleh Bonia et al. (2013) dengan disertai modifikasi.

Perilaku bidan terhadap pesan-pesan dalam kebijakan dinilai berdasarkan pengetahuan, sikap, dan tindakan bidan yang disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah No 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2013 tentang Susu Formula Bayi dan Produk Bayi Lainnya. Pengetahuan bidan terkait isi kebijakan terdiri atas 1) pengetahuan keberadaan kebijakan dan 2) pengetahuan pesan-pesan yang terkandung dalam kebijakan. Pengetahuan pesan-pesan yang terkandung dalam kebijakan dinilai dengan memberikan skor terhadap jawaban yang diberikan. Skor jawaban benar adalah 1 dan skor jawaban salah adalah 0. Tingkat pengetahuan pesan-pesan kebijakan dikategorikan menjadi dua, yaitu 1) kurang, apabila persentase skor total pengetahuan kurang dari persentase skor rata-rata, dan 2) baik, apabila persentase skor total pengetahuan lebih dari atau sama dengan persentase skor rata-rata (Thaha 1990).

Sikap bidan terhadap pesan-pesan dalam kebijakan diukur dengan menggunakan Likert’s Summated Rating (LSR). Pernyataan sikap terdiri atas sikap positif dan negatif. Indikator sikap positif merupakan sikap yang sesuai dengan kebijakan. Bidan diberi pilihan respon terhadap pernyataan sikap tersebut. Respon bidan dikelompokkan menjadi dua, yaitu setuju dan tidak setuju. Skor sikap yang sesuai dengan kebijakan diberi nilai 1 sedangkan skor sikap yang tidak sesuai dengan kebijakan diberi nilai 0. Skor yang diberikan untuk setiap pernyataan sikap kemudian dijumlahkan. Interpretasi jumlah skor tersebut adalah 1) Baik, apabila persentase skor total sikap lebih dari atau sama dengan persentase skor rata-rata dan 2) Tidak baik, apabila persentase skor total sikap kurang dari persentase skor rata-rata (Thaha 1990).

Tindakan bidan terhadap kebijakan juga diukur dengan menggunakan Likert’s Summated Rating (LSR). Skor tindakan yang sesuai dengan kebijakan diberi nilai 1 sedangkan skor tindakan yang tidak sesuai dengan kebijakan diberi nilai 0. Skor yang diberikan untuk setiap pernyataan tindakan kemudian dijumlahkan. Interpretasi jumlah skor tersebut adalah 1) Baik, apabila persentase skor total tindakan lebih dari atau sama dengan persentase skor rata-rata, dan 2) Tidak baik, apabila persentase skor total tindakan kurang dari persentase skor rata-rata (Thaha 1990).

(39)

23 (BB/PB), dan indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U). Kategori status gizi berdasarkan empat indeks tersebut disajikan dalam Tabel 4.

Morbiditas bayi digambarkan oleh jenis, frekuensi, dan lama sakit yang dialami oleh bayi. Jenis, frekuensi, dan lama sakit yang dialami oleh bayi disajikan secara deskriptif. Data jenis, frekuensi, dan lama sakit diperoleh dengan menanyakan jenis, frekuensi, dan lama sakit yang dialami oleh bayi selama 1 bulan terakhir saat penelitian ini dilakukan. Frekuensi dan lama sakit digunakan untuk menentukan tingkat morbiditas bayi. Tingkat morbiditas bayi ditentukan dengan skor morbiditas bayi. Skor morbiditas bayi dihitung dengan cara mengalikan lama sakit dan frekuensi sakit. Tingkat morbiditas pada bayi berdasarkan skor morbiditas dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu morbiditas rendah dan morbiditas tinggi. Rendah jika skor morbiditas bayi kurang dari median dan tinggi jika skor morbiditas bayi lebih dari atau sama dengan median (Erliyani 2012).

Tabel 4 Kategori status gizi

Indeks Kategori status gizi Ambang batas (Z-score)

BB/U Gizi buruk < -3 SD

Gizi kurang -3 SD sampai dengan < -2 SD

Gizi baik -2 SD sampai dengan 2 SD

Gizi lebih > 2 SD

PB/U Sangat Pendek < -3 SD

Pendek -3 SD sampai dengan < -2 SD

Normal -2 SD sampai dengan 2 SD

Tinggi > 2 SD

BB/PB Sangat kurus < -3 SD

Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD

Normal -2 SD sampai dengan 2 SD

Gemuk > 2 SD

IMT/U Sangat kurus < -3 SD

Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD

Normal -2 SD sampai dengan 2 SD

Gemuk > 2 SD

Sumber: Kemenkes (2010c)

Biaya kesehatan akibat penggunaan susu formula merupakan biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan penyakit yang diduga berhubungan erat dengan penggunaan susu formula, yaitu infeksi pernapasan/ISPA (Lamberti et al. 2013), dan diare (Lamberti et al. 2011). Kerugian ekonomi yang harus ditanggung oleh keluarga merupakan penjumlahan antara biaya pembelian susu formula dan biaya kesehatan yang dikeluarkan akibat penggunaan susu formula per bulan.

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran
Gambar 2  Tahapan penelitian
Tabel 2  Variabel, alat, dan cara pengumpulan serta skala pengukuran yang
Tabel 3. Tabel 3  Hasil uji validitas dan reliabilitas item pertanyaaan pengetahuan dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan, kesimpulan dari karya ilmiah ini adalah semua pasien (Ny.R, Nn.Sa, Ny.Su) mengalami peningkatan terhadap kemampuan klien dalam mengontrol halusinasi. Saran, saran

Dalam sebuah iklan yang sering dijumpai terkadang keberadaan model perempuan tidak ada keterkaitan antara produk yang diiklankan dengan kepentingan untuk memenuhi

Sebagai balasan terhadap premium tambahan yang Anda telah bayar kepada Kami bagi endorsmen ini, Kami bersetuju bahawa insurans yang diberikan di bawah Seksyen A

Pertentangan ini dapat terjadi karena unsur air yang terdapat pada bentuk wajah Mao tidak begitu banyak karena telah didominasi oleh unsur tanah yang kuat. Hal ini menyebabkan

Agar semua manusia dari berbagai elemen sebagai mad’u dapat meneirma agama rahmatan lil alamin (Islam) dengan keyakinan dan keimanan dan agar tidak membua agama mulia ini

Master Wan Tzu Kuang, Pimpinan Institute Missionaris Buddha Maitreya - Taiwan menjelaskan bahwa agama janganlah menjadi penghalang bagi umat manusia untuk hidup

Penelitian tentang tinjauan kriminologis terhadap tindak pidana narkotika di Kabupaten Demak adalah Yuridis Empiris yaitu penelitian berdasarkan fakta – fakta yang ada di

Pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Nganjuk Nomor 23/Pid.Sus/2017/PN.Gsk Tentang Pencabulan dengan kekerasan dan tipu muslihat ini telah diputus oleh