• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor Penentu Disparitas Prevalensi Stunting Pada Balita Di Berbagai Kabupaten/Kota Di Indonesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-Faktor Penentu Disparitas Prevalensi Stunting Pada Balita Di Berbagai Kabupaten/Kota Di Indonesia."

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR PENENTU DISPARITAS PREVALENSI

STUNTING

PADA BALITA DI BERBAGAI

KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA

INDAH YULIANA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Faktor-Faktor Penentu Disparitas Prevalensi Stunting pada Balita di Berbagai Kabupaten/Kota di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

Indah Yuliana

(4)

INDAH YULIANA. Faktor-Faktor Penentu Disparitas Prevalensi Stunting pada Balita di Berbagai Kabupaten/Kota di Indonesia. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO dan IKEU TANZIHA.

Beberapa penelitian terkait faktor risiko stunting balita telah dilakukan di Indonesia baik dalam skala kecil maupun dalam skala besar. Namun, penelitian-penelitian tersebut belum ada yang mengkaji tentang perbedaan stunting antar wilayah. Prevalensi stunting mengalami peningkatan dari tahun 2007 (36.8%) ke tahun 2013 (37.2%) dan terjadi disparitas antar provinsi di Indonesia. Disparitas ini kemungkinan akan lebih besar apabila dilihat ke dalam level wilayah yang lebih kecil seperti antar kabupaten/kota.Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang menentukan disparitas stunting pada balita di berbagai kabupaten/kota di Indonesia.

Desain penelitian ini adalah studi ekologi dengan unit analisis kabupaten/kota. Penelitian ini menggunakan data Riset Kesehatan Dasar 2007 dan data makro sosial ekonomi data lainnya. Sebanyak 352 kabupaten/kota dari total 438 kabupaten/kota dipilih untuk analisis ini. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah prevalensi stunting, asupan gizi dan ASI eksklusif, derajat kesehatan, karakteristik ibu, akses ekonomi, sosial dan kesehatan masyarakat. Determinan faktor dianalisis menggunakan regresi linier berganda. Disparitas prevalensi stunting adalah selisih prevalensi stunting balita di suatu kabupaten/kota terhadap batas masalah kesehatan masyarakat untuk stunting (20%). Disparitas prevalensi stunting dikatakan tinggi jika >31.4%, sedang jika 15.7-31.4% dan rendah jika <15.7%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 24 kabupaten/kota mempunyai disparitas prevalensi stunting yang tinggi. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan disparitas prevalensi stunting adalah persentase imunisasi tidak lengkap, prevalensi malaria, persentase ibu tunggal, tingkat kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia, dengan R2 model adalah 0.361. Studi ini menunjukkan bahwa upaya penanggulangan stunting akan efektif apabila diintegrasikan dengan upaya-upaya seperti penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

(5)

INDAH YULIANA. Determinant of Disparity in Stunting Prevalence among Underfive Years Old Children in Various Regencies/Cities at Indonesia. Supervised by DRAJAT MARTIANTO and IKEU TANZIHA.

Several studies have associated risk factors stunting among under five years old children in Indonesian has done well on a small scale or a large scale. However, there is no evidence regarding differences in stunting between regions. The stunting prevalence has increased from 2007 (36.8%) to 2013 (37.2%) and there is disparity between provinces in Indonesia. This disparity is likely to be greater when the level seen in smaller areas such as inter regencies/city. This study aims to analyze the determinant of stunting prevalence disparity among various regions in Indonesia. Design of the study was ecological study with unit of analysis was regency/city. The study used data of the Basic Health Researches 2007 of the Health Research and Development Agency of the Ministry of Health and other sosio-economic macro datas. A total of 352 regencies/cities from 438 regencies/cities selected for the analysis. The data used in this study were the prevalence of stunting, nutrition intake and exclusive breastfeeding, health status, maternal characteristics, access to public economic, social and health. Pearson’s correlation were used to test relationship among variables. The determinant factors were analyzed using multiple linier regression.

Stunting prevalence disparity is the difference in stunting prevalence of toddler in a regency/city to cut off public health problem for stunting (20%). Stunting prevalence disparity categorized to be high if >31.4%, moderate if 15.7-31.4% and was lower if <15.7%. The determinant factors was analyzed using multiple linier regression. The result showed that 24 regencies/city were high stunting prevalence disparity. The analysis showed that the factors determined of stunting prevalence disparity are incomplete immunization percentage, malaria prevalence, single mothers percentage, poverty level and Human Development Index ( R2 is 0.361).

This study suggests that reduction of stunting will be effective when integrated with efforts such as poverty alleviation and improvement of people's welfare.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

FAKTOR-FAKTOR PENENTU DISPARITAS PREVALENSI

STUNTING

PADA BALITA DI BERBAGAI

KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA

INDAH YULIANA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

di Berbagai Kabupaten/Kota di Indonesia

Nama : Indah Yuliana

NIM : I151110111

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Drajat Martianto, MSi

Ketua

Dr Ir Ikeu Tanziha, MS

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc. Agr

(10)

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah Status Gizi Masyarakat, dengan judul “Faktor-Faktor Penentu Disparitas Prevalensi

Stunting Balita di Berbagai Kabupaten/Kota di Indonesia”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr.Ir. Drajat Martianto, M.Si dan Dr.Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku komisi pembimbing yang telah memberikan saran, arahan dan dukungannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga dan sahabat, atas segala doa, kasih sayang dan dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat yang nyata dalam perbaikan upaya pencegahan dan penanggulangan masalah stunting di Indonesia.

Bogor, Januari 2015

(11)
(12)

DAFTAR TABEL

(13)
(14)
(15)

Latar Belakang

Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Kualitas SDM suatu bangsa dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Berdasarkan UNDP (2011), IPM Indonesia dikategorikan dalam medium human development dengan menduduki posisi 124 dari 187 negara, masih di bawah negara ASEAN lainnya. Status gizi yang baik merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam pencapaian IPM suatu negara. Gizi yang baik diperlukan terutama untuk anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Apabila tidak ada intervensi gizi yang baik sejak anak-anak, maka dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan baik saat ini maupun yang akan datang seperti rendahnya poduktivitas kerja, kehilangan kesempatan sekolah dan kehilangan sumberdaya karena tingginya biaya perawatan kesehatan (World Bank 2006). Hal ini secara tidak langsung dapat menghambat pembangunan nasional yang ditunjukkan dengan rendahnya IPM suatu negara.

Masalah kurang gizi pada anak-anak merupakan dampak kerawanan pangan yang kompleks. Anak-anak di lingkungan rawan pangan dan berasal dari keluarga miskin mengalami pendek (stunted). Hal ini disebabkan oleh ketidakcukupan pemberian makan dan praktek pengasuhan saat bayi, akses yang rendah terhadap pelayanan kesehatan, atau sanitasi lingkungan yang buruk. Beberapa negara yang mengalami masalah kurang gizi, produksi pangan bukan merupakan faktor penghambatnya, faktor-faktor yang paling penting adalah pertama, rendahnya pengetahuan tentang manfaat praktek pemberian ASI eksklusif dan makanan pendamping serta pentingnya zat-zat gizi mikro. Kedua, kurangnya waktu wanita yang baik untuk praktek pengasuhan bayi yang baik dan perawatannya sendiri selama kehamilan (World Bank 2006).

Kejadian stunting juga banyak dikaitkan dengan karakteristik dari anak itu sendiri maupun karakteristik ibu. Studi di Metro Cebu, Filipina mengungkapkan bahwa faktor-faktor risiko stunting pada bayi usia kurang dari 6 bulan adalah perilaku ibu atau karakteristik biologis anak yang masih dibawah pengawasan ibu seperti pemberian ASI dan berat badan lahir. Setelah usia 6 bulan, karakteristik sosial ekonomi keluarga serta variabel perilaku dan biologis merupakan determinan penting terjadinya masalah gizi, seperti pendidikan ayah dan ada tidaknya televisi atau radio (Ricci & Becker 1996). Penelitian di India dan Guatemala menyebutkan bahwa ibu yang pendek (<150 cm), IMT rendah (<18.5 kg/m2) dan berusia muda (≤ 18 tahun) berisiko meningkatkan kejadian stunting (Martorell & Young 2012).

Perkembangan terkini masalah stunting mengindikasikan bahwa penyebabnya terkait dengan kondisi yang lebih hulu, yaitu saat anak di dalam kandungan, dan pada usia 2 tahun pertama kehidupan, atau yang lebih dikenal dengan istilah window of opportunity. Victora et al. (2008) menyatakan bahwa

stunting pada dua tahun pertama kehidupan menyebabkan kerusakan yang bersifat

(16)

yang cepat pada masa anak-anak dan remaja berisiko tinggi terkena penyakit kronis terkait gizi saat dewasanya seperti konsentrasi gula darah tinggi, tekanan darah tinggi dan profil lipid yang buruk. Black et al. (2008) memperkirakan bahwa masalah stunting, severe wasting dan intrauterine growth restriction berdampak pada 2.2 juta kematian dan 21% DALYs (disability-adjusted life-years) pada balita. Pentingnya gizi sebagai modal pembangunan bangsa menunjukkan bahwa perlu adanya penanganan yang serius terkait masalah kekurangan gizi di Indonesia. Sampai saat ini, penanganan masalah gizi di Indonesia lebih banyak difokuskan pada anak usia di bawah lima tahun melalui pemantauan berat badan anak setiap bulan dan beberapa kegiatan tambahan lainnya, seperti pemberian makanan tambahan untuk anak gizi buruk, penyuluhan dan imunisasi. Intervensi ini terkesan kurang efektif, karena yang membaik terutama berkurangnya anak balita dengan status gizi kurang (underweight), tidak demikian halnya dengan anak balita stunting

(Irawati et al. 2012). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menginformasikan bahwa prevalensi underweight pada balita sebesar 19.6%, sedangkan prevalensi stunting pada balita sebesar 37.2% (Balitbangkes 2013).

Penurunan prevalensi stunting balita juga sangat sedikit yaitu dari 36.8% tahun 2007 menjadi 35.6% tahun 2010, hanya sebesar 1.2%. Namun kembali mengalami peningkatan sebesar 1.6% pada tahun 2013 (prevalensi stunting 37.2%). Lain halnya di Brazil, hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi stunting

balita menurun tajam lebih dari 30% (37.1% ke 7.1%) selama periode 1974-2006. Penurunan prevalensi yang tajam terutama terjadi pada periode 10 tahun terakhir (1996-2007), ketika gap (kesenjangan) antar keluarga miskin dan kaya dengan anak balita juga diturunkan, seperti daya beli keluarga, akses pendidikan, pelayanan kesehatan, air dan sanitasi, serta indikator kesehatan reproduktif (Monteiro 2010). Upaya global dalam penanganan masalah gizi termasuk stunting telah diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui program Scaling-up Nutrition Movement (SUN Movement) yang berfokus pada 1000 hari pertama kehidupan. Pemerintah Indonesia telah menjadi bagian SUN Movement dengan membuat kebijakan gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) melalui perancangan kegiatan intervensi gizi yang bersifat spesifik dan sensitif (Bappenas 2012).

Meskipun prevalensi stunting balita secara nasional mengalami sedikit penurunan, namun masih terjadi disparitas atau kesenjangan antar wilayah di Indonesia baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota yang perlu mendapat penanganan masalah yang sifatnya spesifik di wilayah yang rawan masalah stunting. Data Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa kesenjangan prevalensi stunting antar provinsi mencapai 20.6%. Kesenjangan ini meningkat pada tahun 2010 dan tahun 2013 hingga mencapai 35.9% dan 25.4%. Kesenjangan ini kemungkinan akan lebih besar apabila dilihat ke dalam level wilayah yang lebih kecil seperti antar kabupaten/kota. Melalui penelitian ini, akan dikaji berbagai faktor yang menentukan terjadinya disparitas stunting pada balita antar wilayah di Indonesia.

Perumusan Masalah

(17)

banyak diteliti baik secara global maupun nasional (di Indonesia). Faktor risiko tingginya prevalensi stunting di Uganda antara lain usia anak, kesehatan yang buruk, lamanya menyusui (dari >18 bulan sampai <24 bulan), status sosial ekonomi keluarga yang rendah, pendidikan ibu dengan bayi <12 bulan yang rendah, kekurangan paraffin sebagai sumber energi, konsumsi makanan dengan densitas energi yang rendah (<350 kkal/100 gram berat kering), adanya patologi mata, dan konsumsi makanan ringan (Kikafunda et al. 1998). Anak-anak dengan wasting

merupakan risiko kegagalan pertumbuhan linier (Richard et al. 2012). Studi yang telah dilakukan oleh Frongillo et al. (1999) menunjukkan bahwa rendahnya prevalensi stunting balita diberbagai negara berkembang berhubungan dengan ketersediaan energi, tingkat melek huruf wanita, anggaran kesehatan, produk nasional bruto yang lebih tinggi.

Beberapa penelitian terkait faktor risiko stunting balita telah dilakukan di Indonesia baik dalam skala kecil maupun dalam skala besar. Sabaruddin (2012) menyatakan bahwa faktor-faktor yang secara signifikan berpengaruh pada status gizi balita menurut TB/U di Kota Bogor antara lain pendidikan ibu, riwayat kesehatan anak dan status pekerjaan ibu, sedangkan riwayat kehamilan dan praktek sanitasi lingkungan menjadi faktor positive deviance dari stunting. Roosita et al.

(2010) menunjukkan bahwa stunting anak-anak usia <6 tahun di Kabupaten Bandung berhubungan dengan asupan protein, kalsium, zat besi dan seng (P<0.01). Hasil penelitian Astari et al. (2006) di Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata (p<0.05) antara konsumsi energi dan zat gizi dari MP-ASI dengan kejadian stunting anak usia 6-12 bulan.

Penelitian terkait stunting dalam skala besar umumnya memanfaatkan data survey nasional Riset Kesehatan Dasar oleh Kementrian Kesehatan RI dan data-data makro lainnya. Penelitian Rosha (2010) di daerah miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur menunjukkan bahwa faktor-faktor determinan stunting adalah wilayah tempat tinggal, pendidikan ibu, usia anak dan jenis kelamin. Ulfani et al. (2011) menyatakan bahwa faktor risiko stunting balita di berbagai kabupaten/kota di Indonesia antara lain produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita, tingkat pendidikan, tingkat kemiskinan, perilaku higiene dan pemanfaatan posyandu. Hasil penelitian Aditianti (2010) menunjukkan bahwa kejadian stunting pada balita di Indonesia dipengaruhi oleh tinggi badan ayah, tinggi badan ibu, umur, tempat tinggal, status sosial ekonomi, pendidikan ibu, penyakit infeksi, personal higiene dan sanitasi lingkungan. Hasil terkini penelitian terkait stunting di Indonesia yang telah dilakukan oleh Hayati (2013) menunjukkan bahwa risiko stunting lebih tinggi dijumpai pada anak 0-23 bulan yang dilahirkan BBLR, underweight, dari ibu yang pendek (145 cm), dalam status ekonomi keluarga rendah, densitas asupan protein kurang dari 20g/1000 kkal.

(18)

risiko stunting anak usia 0-23 bulan di Bali, Jabar dan NTT. Dalam analisisnya, provinsi dijadikan sebagai dummy variabel, hasilnya menunjukkan bahwa provinsi tidak menjadi variabel yang signifikan terhadap kejadian stunting pada anak (p>0.05).

Berdasarkan pertimbangan hasil penelitian-penelitan terdahulu, maka terdapat beberapa permasalahan yang ingin dianalisis dalam penelitian ini. Permasalahan tersebut adalah:

1. Seperti apa keragaan disparitas prevalensi stunting antar kabupaten/kota. 2. Apakah faktor-faktor yang menentukan disparitas prevalensi stunting.

3. Rekomendasi apa yang diperlukan untuk mengatasi masalah disparitas prevalensi stunting

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang menentukan disparitas prevalensi stunting pada balita di berbagai kabupaten/kota di Indonesia. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini antara lain:

1. Mengetahui keragaan disparitas prevalensi stunting antar kabupaten/kota 2. Menganalisis faktor-faktor yang menentukan disparitas prevalensi stunting

3. Merumuskan rekomendasi untuk menurunkan disparitas prevalensi stunting.

Manfaat Penelitian

(19)

Permasalahan Stunting

Stunting atau pendek merupakan indikator kegagalan pertumbuhan pada masa lampau akibat ketidakcukupan asupan pangan dan infeksi dalam waktu yang panjang terutama pada periode pertumbuhan terbesar pada anak-anak, ditandai tinggi badan menurut umur (TB/U) yang rendah, pertumbuhan bayi dan anak-anak yang lambat, gagal mencapai tinggi badan yang diharapkan (normal) seperti halnya anak-anak dengan status gizi baik dan sehat. Stunting mencerminkan masalah gizi kronik. Anak-anak usia dibawah 2 tahun dapat digunakan untuk tujuan evaluasi intervensi karena prevalensi stunting anak-anak pada usia ini lebih responsif terhadap dampak intervensi dibandingkan dengan anak-anak yang lebih tua. Informasi stunting secara klinis berguna untuk menegakkan diagnosis. Stunting

berdasarkan TB/U dapat digunakan untuk tujuan evaluasi tetapi tidak direkomendasikan untuk monitoring pada perubahan dalam jangka pendek misalnya 6-12 bulan (Cogill 2003).

Balita merupakan salah satu kelompok umur yang rentan terhadap masalah gizi dan kesehatan. Ada tidaknya masalah stunting pada balita dapat diketahui melalui pengukuran status gizinya. Status gizi balita dinilai berdasarkan parameter antropometri yang terdiri dari berat badan dan panjang/tinggi badan. Penilaian status gizi balita merujuk pada standar antropometri yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2005 atau disebut Standar WHO 2005. Klasifikasi status gizi balita berdasarkan 3 indikator BB/U (berat badan menurut umur), TB/U (tinggi badan menurut umur), dan BB/TB (berat badan menurut tinggi badan) dapat dilihat pada Tabel 1. Seorang balita dikatakan stunting apabila hasil pengukuran nilai Z-score

kurang dari -2.0 SD (standar deviasi).

Tabel 1 Klasifikasi status gizi balita berdasarkan nilai Z-score

Indikator Nilai Z-score Kategori BB/U Z-score < -3.0 Gizi buruk

(20)

yang mengalami gizi pendek stunting terhadap jumlah seluruh balita di suatu wilayah pada tahun tertentu. WHO telah menyusun klasifikasi rentang prevalensi masalah gizi (underweight, stunting dan wasting) untuk tujuan monitoring global seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 Ambang batas masalah kesehatan masyarakat berdasarkan prevalensi

underweight, stunting, dan wasting

Kategori Prevalensi (%)

Underweight (BB/U) Stunting (TB/U) Wasting (BB/TB) Rendah < 10 < 20 < 5

Sedang 10-19 20-29 5-9

Tinggi 20-29 30-39 10-14

Sangat Tinggi ≥ 30 ≥ 40 ≥ 15

Sumber: WHO (1995)

Prevalensi stunting merupakan indikator yang berguna untuk perbandingan di dalam atau antar negara dan kelompok sosial ekonomi. UNICEF-WHO-World Bank Joint Global Nutrition Database telah mengestimasi rata-rata prevalensi

stunting (moderate dan severe) setiap regional dari tahun 2008-2012. Rata-rata prevalensi stunting tertinggi berada di Sub-Saharan Africa mencapai 38%, sama halnya dengan regional Asia Selatan. Selanjutnya diikuti dengan negara-negara kurang berkembang sebesar 37%. Sementara itu, Asia Timur dan Pasifik memiliki rata-rata prevalensi stunting sebesar 12%. Rata-rata prevalensi stunting terendah berada di Amerika Latin dan Karibia sebesar 11%, begitu juga dengan negara-negara CEE/CIS (Central, Eastern Europe and the Commonwealth of Independent States). Secara umum, rata-rata prevalensi stunting di dunia tahun 2008-2011 adalah 25% (UNICEF 2014).

Beberapa hasil kajian menunjukkan bahwa stunting pada balita di Indonesia tidak menunjukkan perubahan yang drastis dari tahun 1990-2001 (Tabel 3). Prevalensi stunting berkisar diatas 40% sejak tahun 1990. Kejadian stunting lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dan meningkat prevalensinya di daerah pedesaan.

Tabel 3 Tren prevalensi stunting balita tahun 1990-2001

IBT (1990) Suvita (1992) SKIA (1995) NSS (2001)

IBT = Survei Indonesia Bagian Timur;

Suvita = Survei Nasional Vitamin A;

SKIA = Survei Kesehatan Ibu dan Anak;

NSS = Nutrition and Health Survey (HKI), rural area

Sumber: Atmarita (2005)

(21)

perkotaan. Prevalensi stunting di daerah pedesaan terus mengalami peningkatan dari tahun 2007 (38%), tahun 2010 (40%) sampai tahun 2013 (42.1%).

Secara nasional, prevalensi stunting (moderate dan severe) meningkat sebesar 0.4% dari tahun 2007 ke tahun 2013, namun masih terjadi disparitas baik antar wilayah maupun antar waktu di Indonesia (Tabel 4). Penurunan prevalensi terbesar terjadi di Provinsi Sumatera Selatan sebesar 8.0% (tahun 2007-2013). Berbeda halnya dengan Provinsi Sulawesi Selatan yang justru meningkat sebesar 11.8%. Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi stunting sebesar 30– 39% dan serius bila prevalensi stunting ≥40% (WHO 1995). Pada tahun 2013, sebanyak 14 provinsi termasuk kategori berat dan sebanyak 15 provinsi termasuk kategori serius.

Tabel 4 Perubahan prevalensi balita stunting menurut provinsi tahun 2007-2013 (Riskesdas 2013 diolah)

No Provinsi Prevalensi stunting Perubahan

(2007-2013)*

(22)

Dampak Kesehatan dan Sosial Ekonomi Stunting

Dampak utama masalah kurang gizi timbul selama masa kehamilan dan dua tahun pertama kehidupan, lebih dikenal dengan window of opportunity yang bersifat tidak dapat dipulihkan. Hal ini menunjukkan pentingnya intervensi gizi mulai dari konsepsi sampai anak usia 24 bulan, karena investasi gizi pada periode lain sangat kecil untuk meningkatkan gizi manusia (World Bank 2006). Pernyataan ini diperkuat oleh studi kohort prospektif yang dilakukan oleh McDonald (2013) bahwa kelahiran <37 minggu (preterm birth), anak dengan infeksi HIV, stunting

dan wasting berhubungan dengan perkembangan psikomotor dan mental yang rendah. Stunting merupakan sebuah proses dengan dampak yang dapat meluas tidak hanya pada kehidupan selanjutnya tetapi juga ke generasi selanjutnya. Kurang gizi sering dimulai dalam rahim dan terutama pada anak-anak dan wanita, mungkin di seluruh kehidupannya (Gambar 1). Seorang anak yang stunting akan menjadi seorang remaja yang stunting dan selanjutnya menjadi seorang wanita yang

stunting. Selain mengancam kesehatan dan produktivitasnya sendiri, gizi yang buruk meningkatkan peluang anak-anak wanita tersebut akan terlahir dengan gizi buruk. Siklus tersebut akan terus berulang.

Sumber: UN ACC/SCN & IFPRI (2000)

Gambar 1 Dampak masalah gizi dalam siklus kehidupan

Beberapa peneliti menjelaskan tentang pengaruh gizi kurang pada saat janin dan bayi terhadap kemampuan kognitif, pencapaian pendidikan, dan pendapatan hidup, serta pengaruh status gizi dewasa terhadap produktivitas kerja mereka. Data

Ketidakcukupan

rendah saat hamil Remaja Stunted Anak Stunted

(23)

penelitian tahun 1990-an di beberapa negara berkembang Asia menunjukkan bahwa kehilangan GDP (Gross Domestic Product) dari berbagai macam gizi buruk dapat mencapai 3% dari pendapatan nasional (Gambar 2).

Gambar 2 Persentase kehilangan GDP dari penurunan produktivitas pada saat dewasa akibat beberapa bentuk gizi kurang (Horton 1999)

Pada dasarnya, balita yang menderita gizi buruk masih mempunyai peluang untuk dapat pulih sehingga masih produktif dengan produktivitas kurang dari 100%. Menurut Ross dan Horton (1998) dalam Horton (1999), kehilangan produktivitas berkaitan dengan kurang energi protein (KEP) dapat dilihat pada Tabel 5. Remaja yang menderita KEP dalam bentuk moderate stunting pada masa balita akan kehilangan 2-6 % produktivitasnya, sedangkan remaja yang menderita KEP dalam bentuk severe stunting akan kehilangan 2-9 % produktivitasnya. Tabel 5 Hubungan antara kehilangan produktivitas dengan masalah gizi (%)

Bentuk masalah gizi Kehilangan produktivitas (tenaga kerja) (%)

Defisiensi zat besi 17 (heavy manual) 5 (blue collar)

4

Defisiensi yodium n/a 10

Defisiensi vitamin A n/a n/a

Sumber: Horton (1999)

Penelitian baru-baru ini termasuk tindak lanjut dari sebuah percobaan intervensi di Guatemala membuktikan bahwa stunting dapat berdampak jangka panjang pada perkembangan kognitif, kemampuan belajar, produktivitas ekonomi pada masa dewasa dan outcome reproduksi ibu. Kejadian ini menunjukkan bahwa pemecahan stunting pada masa anak-anak merupakan prioritas utama untuk menurunkan beban penyakit global dan untuk meningkatkan perkembangan ekonomi. Penelitian lebih lanjut juga diperlukan untuk memahami jalur pencegahan

stunting yang berdampak jangka panjang, mengidentifikasi jalur dimana transmisi non-genetik dari pengaruh gizi berhubungan dengan generasi selanjutnya, dan menentukan dampak intervensi yang berfokus pada pertumbuhan linier di awal kehidupan terhadap risiko penyakit kronis pada masa dewasa (Dewey & Begum 2011).

Kegagalan pertumbuhan merupakan sebuah ciri-ciri dari sekumpulan sindrom yang meliputi gagalnya perkembangan, terhambatnya fungsi kekebalan,

(24)

menurunnya fungsi kognitif dan gangguan metabolik yang selanjutnya meningkatkan risiko prospektif obesitas dan hipertensi (Branca & Ferrari 2002). Studi prospektif di Cebu, Filipina menunjukkan bahwa keparahan dan periode

stunting pada dua tahun pertama kehidupan berdampak pada rendahnya skor tes kemampuan kognitif pada anak usia 8 dan 11 tahun (Mendez & Adair 1999). Hasil penelitian Walker et al. (2007) menyatakan remaja yang stunted pada masa dua tahun pertamanya signifikan mengalami kecemasan, gejala-gejala depresi, dan kurang percaya diri. Penelitian di 5 daerah Arab (Djibouti, Libyan Arab Jamahiriya, Morocco, Syrian Arab Republic and Yemen) menyatakan bahwa risiko obesitas 0.76-7.15 kali lipat lebih besar pada anak-anak stunted (Taguri et al. 2009).

Upaya Penanggulangan Stunting

World Bank (2006) mengungkapkan tiga alasan yang mendasari perlunya intervensi untuk mengurangi masalah gizi terutama stunting. Pertama, intervensi dapat memberikan keuntungan ekonomi (economics return) yang tinggi (mendorong pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan). Kedua, intervensi gizi dilakukan karena bentuk dan jumlah masalah gizi yang mengkhawatirkan. Ketiga, intervensi gizi dilakukan karena daya beli masyarakat yang kurang baik. Jadi, pemerintah sebaiknya turun tangan karena perbaikan gizi merupakan kepentingan umum, menguntungkan semua orang, sebagai contoh gizi yang lebih baik dapat menurunkan penyakit menular dan meningkatkan produktivitas ekonomi nasional. Konsensus Kopenhagen mencatat bahwa intervensi gizi menghasilkan keuntungan tertinggi diantara 17 investasi pembangunan yang potensial. Investasi pada penyediaan mikronutrien dinilai lebih baik dibandingkan investasi pada perdagangan bebas, pengendalian malaria dan sanitasi air. Program-program berbasis masyarakat yang ditargetkan untuk anak-anak usia di bawah dua tahun juga dapat menghemat biaya dalam mencegah kurang gizi.

Upaya penanggulangan kelaparan dan kurang gizi di negara-negara berkembang telah banyak dilakukan. Salah satu fokusnya adalah pada bidang ekonomi untuk investasi dalam kegiatan mengurangi kelaparan dan kurang gizi. Behrman, Alderman, and Hoddinott (2004) menyusun 4 alternatif (opportunities) untuk upaya mengurangi kelaparan dan kurang gizi yaitu penurunan prevalensi BBLR, peningkatan gizi bayi dan anak, penurunan defisiensi gizi mikro dan investasi teknologi pertanian. Secara keseluruhan, analisis rasio manfaat biaya (benefit-cost ratio) untuk intervensi gizi pada masing-masing alternatif tersebut berkisar antara 4-200. Intervensi yang memberikan manfaat terbesar adalah fortifikasi besi (Tabel 6).

Berbagai penelitian intervensi untuk pencegahan dan penanggulangan

stunting sudah banyak dilakukan. Intervensi melalui pendekatan multisektor (pertanian dan bisnis, kesehatan, pendidikan masyarakat dan infrastruktur) telah dilakukan oleh Remans et al. (2011) yang meliputi ketahanan pangan rumahtangga, praktek pengasuhan anak dan kontrol penyakit infeksi di 9 negara sub-Saharan Africa dengan prevalensi stunting anak usia kurang dari 2 tahun (baduta) awal >20%. Hasil program setelah 3 tahun berjalan menunjukkan bahwa prevalensi

(25)

prevalensi stunting (Angeles et al. 1993). Namun, berbeda dengan efficacy trial yang dilakukan oleh Krebs et al. (2012) di 4 negara (Republik Demokrat Kongo, Zambia, Guatemala, dan Pakistan) dengan membandingkan dampak pemberian daging dan sereal yang difortifikasi multi zat gizi mikro pada bayi usia 3-4 bulan selama 6-18 bulan intervensi. Hasilnya menunjukkan bahwa laju stunting (z-skor PB/U<-2.0) meningkat dari sekitar 33% sampai mendekati 50%. Tingginya laju

stunting dan kurangnya dampak kedua intervensi memperkuat untuk intervensi yang dimulai pada periode prenatal dan awal postnatal.

Tabel 6 Rasio manfaat biaya (benefit-cost ratio) pada setiap alternatif intervensi

No. Program-program intervensi Rasio 1 Penurunan BBLR pada kehamilan dengan peluang BBLR tinggi

a.Pengobatan pada wanita dengan infeksi bakteri asimtomatik 0.58-4.93 b.Pengobatan pada wanita dengan dugaan STD 1.26-10.71 c.Pengobatan pada wanita hamil dengan riwayat obstetri yang

buruk 4.14-35.20

2 Peningkatan gizi bayi dan anak pada wilayah dengan tinggi prevalensi kurang gizi

a.Promosi pemberian ASI di rumah sakit 4.80-7.35 b.Program perawatan anak terpadu 9.4-16.2 c.Program pra-sekolah intensif dengan gizi yang cukup bagi

keluarga miskin 1.4-2.9

3 Penurunan defisiensi gizi mikro

a.Suplementasi yodium (per wanita usia subur) 15-520 b.Suplementasi vitamin A (anak usia <6 tahun) 4.3-43 c.Fortifikasi besi (per kapita) 176-200 d.Suplementasi besi (wanita hamil) 6.1-14 4 Investasi teknologi pada pertanian

a.Diseminasi kultivar baru dengan potensi hasil yang lebih

tinggi 8.8-14.7

b.Diseminasi varietas gandum dan beras fortifikasi besi dan seng 11.6-19 c.Diseminasi beras fortifikasi vitamin A “Golden Rice” 8.5-14

Sumber : Behrman, Alderman, and Hoddinott (2004)

Pencegahan stunting dapat dilakukan dengan melakukan intervensi pada semua tahapan siklus kehidupan, dan terutama promosi ASI-eksklusif sampai usia 6 bulan dan perbekalan makanan pendamping dan makanan keluarga dengan densitas zat gizi mikro yang cukup. Penanganan dapat dilakukan setidaknya sampai usia 5 tahun. Selain itu, perlu penelitian lebih lanjut untuk mengklarifikasi bahwa laju pertumbuhan yang pesat mungkin juga menunjukkan sebuah peningkatan risiko sindrom metabolik (Branca & Ferrari 2002). Studi longitudinal di Swedia menunjukkan bahwa panjang badan saat usia 6 bulan, usia saat fase pertumbuhan cepat pada anak-anak dan usia saat puncak kecepatan pertambahan tinggi badan selama pubertas secara signifikan berpengaruh pada tinggi badan akhir (p<0.05, total R2 0.33). Studi tersebut menyimpulkan bahwa stunting pada awal kehidupan tidak hanya masalah di negara-negara berkembang. Pentingnya pencapaian tinggi badan final juga terlihat jelas bahkan setelah pengawasan pada masa pubertas (Liu

(26)

Penyebab Stunting

Kerangka konseptual tentang penyebab kekurangan gizi telah dikembangkan oleh UNICEF pada tahun 1990 (Gambar 3). Kerangka tersebut menunjukkan penyebab kekurangan gizi bersifat multisektoral mencakup pangan, kesehatan dan praktek perawatan. Kerangka tersebut diklasifikasikan menjadi penyebab langsung (tingkat individu), penyebab tidak langsung (tingkat rumah tangga atau keluarga) dan pokok masalah (tingkat masyarakat), dimana faktor-faktor pada satu tingkat mempengaruhi tingkat lainnya. Kerangka tersebut dapat digunakan pada tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota untuk membantu perencanaan tindakan yang efektif dalam peningkatan gizi. Kerangka tersebut berfungsi sebagai panduan dalam menilai dan menganalisa penyebab masalah gizi dan membantu dalam mengidentifikasi tindakan gabungan yang paling tepat.

Interaksi antara dua penyebab langsung kurang gizi yaitu ketidakcukupan asupan makanan dan infeksi penyakit cenderung menciptakan “lingkaran setan”. Hal ini menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi terutama di negara-negara berkembang. Ketika anak tidak cukup makan, pertahanan sistem kekebalan tubuhnya akan menurun, sehingga mengakibatkan kejadian, tingkat keparahan dan lamanya infeksi penyakit lebih besar. Infeksi penyakit akan mempercepat hilangnya zat-zat gizi dan menurunkan selera makan sehingga anak-anak yang sakit cenderung tidak makan dengan baik, dan siklus ini akan terus berlanjut.

Tiga faktor yang mendasari penyebab asupan makanan yang tidak cukup dan infeksi penyakit adalah kurangnya akses terhadap pangan dalam rumah tangga; pelayanan kesehatan yang tidak memadai dan lingkungan tidak sehat; dan perawatan anak yang tidak memadai. Ketahanan pangan rumah tangga tergantung pada akses terhadap makanan (meliputi keuangan, fisik dan sosial) yang berbeda dari ketersediaannya. Misalnya, mungkin terdapat makanan yang berlimpah di pasar, tetapi keluarga miskin yang tidak mampu membelinya menjadi tidak tahan pangan. Dalam hal kesehatan lingkungan, kurangnya akses terhadap pasokan air bersih dan sanitasi yang layak serta penanganan dan kondisi makanan yang tidak higienis di dalam dan sekitar rumah berdampak pada penyebaran infeksi penyakit. Kenyataan di lapangan juga menunjukkan bahwa banyak orang yang tidak memiliki akses terhadap perawatan kesehatan dan juga terhambat dalam pencarian perawatan kesehatan yang tepat waktu dan adanya retribusi untuk pelayanan kesehatan. Beberapa perilaku perawatan yang mempengaruhi gizi dan kesehatan anak antara lain praktek pemberian makan, praktek perlindungan kesehatan anak, dukungan dan stimulasi kognitif untuk anak-anak.

(27)

Gambar 3 Penyebab kurang gizi (UNICEF 1998, Black et al. 2008)

Kerangka konseptual UNICEF menjelaskan akar dan pokok masalah kurang gizi meliputi keadaan ekonomi dan sosiopolitik. Faktor-faktor politik, hukum dan budaya di tingkat nasional maupun daerah dapat menghambat upaya terbaik rumahtangga mencapai gizi yang baik untuk semua anggotanya. Hal ini termasuk sejauh mana hak-hak wanita dan remaja putri dilindungi oleh hukum dan adat; sistem politik dan ekonomi yang menentukan bagaimana pendapatan dan aset didistribusikan; dan ideologi dan kebijakan yang mengatur sektor sosial.

Harapan untuk memerangi masalah gizi masih rendah. World Bank dan UNICEF (2003) mengungkapkan bahwa masalah gizi mengalami perbaikan yang lambat di beberapa daerah, bahkan cenderung stagnasi di daerah lainnya. Beberapa

Kurangnya sumberdaya: keuangan, manusia, fisik, sosial, dan hayati

Keadaan sosial, ekonomi dan politik Kemiskinan pendapatan, kurangnya pemberdayaan wanita dan keluarga,

kurangnya pengetahuan dan sikap diskriminatif yang membatasi akses rumah tangga terhadap sumber daya

Lingkungan rumah tangga tidak sehat dan kurangnya

pelayanan kesehatan Kurangnya akses pangan

dalam rumah tangga

Praktek perawatan anak tidak memadai KURANG GIZI

Ketidakcukupan

asupan makanan Penyakit infeksi

Dampak jangka pendek: Kematian, kesakitan,

kecacatan

Dampak jangka panjang: Ukuran tubuh dewasa, kemampuan intelektual, produktivitas ekonomi, kemampuan reproduksi, penyakit

(28)

hal yang menyebabkan hal tersebut terjadi adalah pertama, masalah gizi masih dikesampingkan dalam agenda pemberantasan kemiskinan meskipun berpotensi untuk meningkatkan kesehatan, perkembangan mental dan produktivitas. Kedua, para ahli gizi menyetujui bahwa intervensi merupakan kunci dan faktor keberhasilan untuk implementasinya, tetapi hal ini tidak dicerminkan dalam tindakannya. Ketiga, beberapa program berskala besar kurang dimonitor dan dievaluasi dengan baik. Keempat adalah ketidakcukupan kapasitas untuk mengatasi masalah gizi merupakan faktor utama yang menghambat kemajuan penurunan kemiskinan. Terakhir, anggaran per kapita untuk program gizi umumnya rendah dan targetnya tidak tepat. Inilah yang mengakibatkan Millenium Developmnet Goals (MDGs) tidak dapat dicapai tanpa kemajuan yang signifikan dalam menurunkan angka penderita masalah gizi.

Asupan Gizi dan ASI Eksklusif

Kikafunda et al. (1998) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kejadian stunting anak <30 bulan di Uganda adalah lamanya menyusui (18-24 bulan). Usia penyapihan atau durasi menyusui sangat berpengaruh terhadap stunting (P<0.0001), anak-anak yang disusui selama periode 18-24 bulan mengalami kejadian stunting lebih besar baik di pedesaan (P=0.045) maupun di perkotaan (P=0.003). Risiko stunting lebih rendah pada anak-anak yang disusui sampai 18 bulan dibandingkan anak-anak yang disusui hanya pada awal masa bayi. Kelanjutan menyusui dari 18 bulan sampai 24 bulan meningkatkan risiko stunting

sampai 7 kali. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena ketidakcukupan ASI dan kurangnya pemberian makan kepada anak-anak. Kelanjutan menyusui sampai lebih dari 24 bulan menurunkan risiko stunting, hal ini kemungkinan dikarenakan usia anak sudah cukup besar untuk mengkonsumsi makanan keluarga secara normal. Selain itu, faktor yang berpengaruh terhadap kejadian stunting adalah konsumsi pangan dengan densitas energi yang rendah (<350 kcal/100 gram berat kering). Anak-anak yang mengkonsumsi makanan dengan densitas energi yang rendah lebih banyak (P=0.031) mengalami kejadian stunting.

Penelitian yang dilakukan oleh Theron et al. (2007) di Afrika Selatan terhadap anak-anak usia 12-24 bulan menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata asupan energi kelompok anak stunting dan tidak stunting baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan (P > 0.05), begitupula dengan rata-rata asupan proteinnya (P > 0.05). Anak-anak stunting di daerah perkotaan memiliki cukup rata-rata asupan energi dari makanan pendamping, sedikit lebih tinggi dari RDA (Recommended Dietary Allowance) (5460 kJ/hari). Anak-anak stunting di pedesaan dan anak-anak tidak stunting di perkotaan dan pedesaan memiliki rata-rata asupan energi lebih rendah daripada RDA. Adanya penambahan ASI menjadikan rata-rata asupan energi semua kelompok meningkat melebihi RDA. Asupan protein total, protein nabati dan protein hewani pada anak-anak stunting dan tidak stunting di perkotaan dan pedesaan sudah cukup, bahkan melebihi RDA (16 gram/hari).

(29)

diberikan ASI eksklusif selama 6 bulan penuh memiliki risiko lebih kecil terkena penyakit pneumonia dibandingkan bayi yang diberi ASI kurang dari 6 bulan (Chantry et al. 2006). Prevalensi ISPA pada anak usia 6-23 bulan 1.84 kali lebih banyak pada anak dengan riwayat pemberian ASI tidak eksklusif daripada anak yang diberi ASI eksklusif (Utomo 2009).

Praktek pemberian ASI eksklusif juga sudah diatur dalam Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 128, yaitu setiap anak berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 bulan. Praktek pemberian prelactal feeding merupakan faktor yang berhubungan dengan gangguan pertumbuhan (Berek et al. 2007). Di Guatemala, bayi yang diberi infus herbal sederhana, bubur encer atau minuman manis (lebih dikenal aguitas) terbukti 1.8 kali berisiko stunted dan 2 kali berisiko diare (Doak et al. 2013). Penelitian di Ethopia menyebutkan bahwa konsentrasi seng dan kalsium dalam ASI serta kualitas dan kuantitas pemberian MP-ASI merupakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian stunting pada anak usia 6-11 bulan (Umeta et al. 2003). Sedgh et al. (2000) menyatakan bahwa konsumsi zat gizi, jenis kelamin, status gizi, status pemberian ASI, status sosial ekonomi berkorelasi positif dengan kejadian stunting pada anak usia 6-72 bulan.

Derajat Kesehatan Balita

Persentase BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)

Berat bayi lahir merupakan prediktor kuat pertumbuhan bayi dan siklus hidup selanjutnya. Berat bayi normal ketika dilahirkan adalah ≥ 2500 kg. Apabila berat bayi yang dilahirkan tidak mencapai 2500 kg, maka dikategorikan sebagai berat badan lahir rendah (BBLR) atau low birthweight. Bayi BBLR memiliki 20 kali kemungkinan untuk meninggal dunia daripada bayi normal. BBLR merupakan hasil dari preterm birth (<37 minggu usia kehamilan) dan akibat hambatan pertumbuhan janin (WHO dan UNICEF 2003). Penelitian yang dilakukan Aisyah et al. (2010) melaporkan bahwa faktor-faktor ibu yang menjadi penyebab BBLR adalah anemia saat hamil, terpapar asap rokok saat hamil, faktor umur ibu, kurang gizi saat hamil, penyakit yang diderita ibu saat hamil, jarak kelahiran yang terlalu dekat dan paritas tinggi. Yongky et al. (2009) menemukan bahwa faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap BBLR adalah usia kehamilan ibu dan pertambahan berat badan kehamilan.

(30)

Persentase imunisasi tidak lengkap

Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit yang sedang mewabah atau berbahaya bagi seseorang. Tujuan dari diberikannya imunisasi adalah untuk mengurangi angka penderita suatu penyakit yang sangat membahayakan kesehatan bahkan bisa menyebabkan kematian pada penderitanya. Beberapa penyakit yang dapat dihindari dengan imunisasi yaitu seperti hepatitis B, campak, polio, difteri, tetanus, batuk rejan, gondongan, cacar air, tbc, dan lain sebagainya (CPDD 2008). Imunisasi dasar yang wajib diberikan kepada anak-anak adalah BCG, DPT, Polio, Campak, Hepatitis B. Imunisasi dasar tersebut diberikan untuk mencegah penyakit TBC, difteria, tetanus, batuk rejan (pertusis), polio, campak (measles, morbili) dan hepatitis B (Suhandayani 2007). Waktu pemberiannya pun sudah ditetapkan, secara bertahap. Misalnya, BCG diberikan pada anak usia 2 bulan, DPT Polio, usia 2, 3, 4 bulan dan sebagainya. Hayati (2013) menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara stunting (anak 0-23 bulan) dengan status imunisasi Hepatitis B-0 (biasanya diberikan sesaat setelah bayi

lahir atau kurang dari 7 hari setelah bayi lahir yang disuntikkan di paha bayi).

Terdapat perbaikan cakupan imunisasi lengkap pada tahun 2013 sebesar 59.2% dari 41.6% (2007) di Indonesia. Akan tetapi masih ada 32.1% anak yang diimunisasi tapi tidak lengkap dan 8.7% yang tidak pernah diimunisasi. Alasannya antara lain takut panas, sering sakit, keluarga tidak mengizinkan, tempat imunisasi jauh, tidak mengetahui tempat imunisasi dan alasan kesibukan (Balitbangkes 2013). Prevalensi penyakit infeksi

Masalah gizi pada anak balita disebabkan oleh dua faktor utama yaitu asupan gizi yang rendah dan penyakit infeksi. Penyakit yang sering terjadi antara lain diare, kecacingan, dan infeksi saluran pernapasan. Apabila anak menderita infeksi saluran pencernaan, penyerapan zat-zat gizi akan terganggu dan mengakibatkan terjadinya kurang gizi. Hal ini menyebabkan nafsu makan menurun yang pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan berat badan pada anak. Apabila terjadi dalam kurun waktu yang lama dapat menyebabkan kekurangan gizi pada anak yang berakibat pada gangguan pertumbuhan dan perkembangan karena mudah terkena penyakit (Supariasa 2002).

Masalah gizi dapat menyebabkan anak-anak rawan terkena diare bahkan kejadian diare yang berulang (Gambar 4). Gizi kurang dan diare sering dihubungkan satu sama lain, walaupun diakui bahwa sulit menentukan kelainan yang mana terjadi lebih dulu, gizi kurang, diare atau sebaliknya.

(31)

Gambar 4 Hubungan timbal balik antara gizi kurang dan diare

Infeksi TB Paru jauh lebih berat pada anak-anak yang menderita kekurangan gizi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa insiden komplikasi TB Paru yang berat dan progresif ternyata menurun dengan adanya perbaikan gizi anak. Apabila penderita gizi buruk tidak menunjukkan perbaikan setelah diberi diet yang cukup biasanya ditemukan infeksi TB Paru dan sesudah diadakan terapi maka gizi anak langsung membaik. Apabila balita mengalami infeksi, maka akan terjadi suatu keadaan undernutrisi selama 2–3 minggu berikutnya. Dengan demikian keadaan gizi yang buruk akan mempermudah penyebaran basil TBC dalam tubuh sehingga terjadi TBC miliaris.

Karakteristik Ibu

Tinggi badan ibu

Tinggi badan orang tua merupakan salah satu faktor dalam melihat tinggi badan anak. Penelitian longitudinal tentang pengaruh genetik terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak laki-laki dan anak perempuan yang hidup dalam lingkungan keluarga dengan status sosial ekonomi menengah dan latar belakang kultur Ethiopian menunjukkan hasil adanya variasi pertumbuhan yang diwarisi dari orang tuanya dalam pola pertumbuhan seorang anak. Variasi tersebut mengindikasikan suatu major genetic component dalam penentuan ukuran dan kecepatan pertumbuhan seseorang (Bock 1986 diacu dalam Bogin 1999). Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Krebs et al. (2012) bahwa tinggi badan ibu dan lamanya pendidikan ibu berhubungan positif dengan laju pertumbuhan linier (P= 0.003 dan 0.0006).

(32)

13.6%. Prevalensi anemia pada ibu hamil dan kelompok WUS lainnya masih cukup dominan pada saat ini. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004 prevalensi anemia pada ibu hamil adalah sebesar 50.5%; sedangkan pada ibu nifas sebesar 45.1%, pada usia dewasa (19-45 tahun) sebesar 39.5% dan pada remaja putri 10-18 tahun sebesar 57.1% (Atmarita 2005).

Ibu tunggal

Data sensus di Amerika serikat tahun 2007 menunjukkan bahwa dalam semua kelompok ras/etnik, anak-anak dalam keluarga orangtua tunggal lebih miskin dibandingkan dengan anak-anak yang tinggal dalam rumahtangga orangtua yang menikah (Moore et al. 2009). Penelitian di Kanada tahun 2003 melaporkan bahwa ibu tunggal yang berpenghasilan rendah akan membahayakan asupan gizi mereka sendiri untuk menjaga kecukupan diet anak-anak mereka. Asupan makanan dan kecukupan gizi ibu lebih rendah dibandingkan dengan asupan anak-anaknya secara keseluruhan selama satu bulan (Mclntyre et al. 2003).

Perempuan memiliki peran khusus untuk bermain dalam menjaga ketahanan pangan rumah tangga. Di sebagian besar masyarakat, mereka bertanggung jawab untuk menyiapkan, memasak, melestarikan dan menyimpan makanan keluarga - dan di banyak masyarakat mereka memiliki tanggung jawab utama memproduksi dan membelinya. Untuk keamanan pangan rumah tangga untuk menerjemahkan ke dalam gizi yang baik, ini beban yang begitu besar dari pekerjaan harus didistribusikan atau dikurangi sehingga kebutuhan lain dari anak-anak, juga terkait dengan gizi, dapat dipenuhi (UNICEF 1998)

Akses Ekonomi Masyarakat

Tingkat kemiskinan

Kemiskinan merupakan masalah mendasar yang menjadi perhatian semua negara. Pada kerangka UNICEF (1990), kemiskinan dianggap sebagai akar penyebab terjadinya masalah gizi buruk. Hal ini menunjukkan bahwa apabila jumlah penduduk miskin dalam suatu wilayah meningkat maka peluang terjadinya kasus gizi buruk akan semakin tinggi. Untuk itu, kemiskinan merupakan sebuah indikator untuk kemajuan suatu bangsa. Masalah gizi berkaitan dengan masalah kemiskinan merupakan ”lingkaran setan” yang menjadi faktor penghambat bagi pembangunan negara. Situasinya dapat digambarkan seperti berikut. Kemiskinan menyebabkan makanan tidak seimbang sehingga menjadi kurang gizi yang pada akhirnya akan sakit. Keadaan tersebut menyebabkan pertumbuhan badan terhambat dan proses belajar menjadi lambat yang mengakibatkan individu dewasa menjadi kecil dan produktivitas kerjanya rendah. Rendahnya produktivitas berdampak pada kemampuan bekerja yang rendah sehingga akan menimbulkan pengangguran. Pada akhirnya kondisi tersebut akan menyebabkan kemiskinan kembali, dan akan seperti itu seterusnya (Suhardjo 1989).

(33)

sekunder (Soetjiningsih 1995). Besar pendapatan keluarga dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan suatu keluarga.

PDRB per kapita

Selain tingkat kemiskinan, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan indikator kemajuan ekonomi suatu wilayah yang berpengaruh terhadap kejadian gizi buruk di wilayah tersebut. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah, atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah. PDRB per kapita diperoleh jika PDRB dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun yang tinggal di wilayah tertentu. PDRB yang telah dijelaskan tersebut dapat disajikan dalam dua bentuk, yaitu atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan pada suatu tahun dasar. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada setiap tahun, sedang PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun tertentu sebagai dasar, dimana dalam penghitungan ini digunakan tahun 2000 (anonim 2006).

Menurut BPS RI (2004) dalam Wulansari (2006), PDRB atas dasar harga berlaku (nominal) menunjukkan kemampuan sumberdaya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Nilai PDRB yang besar menunjukkan kemampuan sumberdaya ekonomi yang besar begitu pun sebaliknya. PDRB harga konstan (riil) dapat digunakan untuk menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan atau setiap sektor dari tahun ke tahun. PDRB atas dasar harga berlaku digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedang harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Jadi, PDRB merupakan indikator untuk mengatur tingkat keberhasilan pemerintah dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada. Selain itu, PDRB juga dapat digunakan sebagai perencanaan dan pengambilan keputusan.

Akses Sosial Masyarakat

Indeks Pembangunan Manusia

UNDP (United Nation Development Programme) mendefenisikan pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk. Dalam konsep tersebut penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhir (the ultimated end) sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana (principal means) untuk mencapai tujuan itu. Penilaian keberhasilan pembangunan manusia dapat dilihat dari indeks pembangunan manusia (IPM) yang dicerminkan melalui tiga indikator utama yaitu umur panjang, pengetahuan dan daya beli. Umur panjang yang dikuantifikasikan dalam umur harapan hidup saat lahir atau sering disebut Angka Harapan Hidup/AHH (eo). Pengetahuan dikuantifikasikan dalam kemampuan baca tulis/ angka melek huruf dan rata-rata lama bersekolah. Daya beli dikuantifikasikan terhadap kemampuan mengakses sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup yang layak.

(34)

Semakin dekat nilai IPM suatu wilayah terhadap angka 100, semakin dekat jalan yang harus ditempuh untuk mencapai sasaran itu.

Indeks Pembangunan Gender

Istilah Gender digunakan untuk menjelaskan perbedaan peran perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan. Gender adalah pembedaan peran, kedudukan, tanggung jawab, dan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas menurut norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat. Terwujudnya Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dalam memperoleh akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.

United Nations Development Programs (UNDP) melalui Laporan Pembangunan Manusia Tahun 1995 memperkenalkan ukuran pembangunan manusia yang bersifat gabungan (komposit) dari empat indikator, yang menyoroti tentang status perempuan khususnya mengukur prestasi dalam kemampuan dasar. Ukuran komposit yang dimaksud adalah Indeks Pembangunan Gender (IPG). IPG mengukur hal yang sama seperti IPM hanya komponen yang digunakan dibedakan menurut jenis kelamin. Melalui IPG perbedaan pencapaian yang menggambarkan kesenjangan pencapaian antara laki-laki dan perempuan dapat terjelaskan (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak & Badan Pusat Statistik 2012)

Akses Kesehatan Masyarakat

Rasio jumlah puskesmas terhadap jumlah penduduk

Pelayanan kesehatan adalah keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek bidan, dokter dan rumah sakit. Kendala keluarga dan masyarakat dalam memanfaatkan secara langsung pelayanan kesehatan yang tersedia adalah jarak pelayanan kesehata jauh, tidak mampu membayar, kurang pendidikan dan pengetahuan. Hal ini berdampak terhadap status gizi anak (Sunarya 2005)

Menurut Arimond dan Ruel (2004), keluarga dengan pendapatan yang memadai dapat memenuhi kebutuhan asupan makanannya, juga mempunyai akses yang baik terhadap pelayanan kesehatan serta memiliki lingkungan yang sehat dan dapat terhindar dari gizi kurang. Andersen (2005) melaporkan bahwa kondisi sanitasi lingkungan di negara-negara berkembang berada pada kategori buruk. Kondisi sanitasi yang buruk mempertinggi kejadian penyakit infeksi. Keadaan ini menyebabkan tingginya prevalensi gizi kurang. Perilaku hidup yang tidak sehat memicu terjadinya sanitasi lingkungan yang buruk dan memudahkan anak mengalami penyakit infeksi.

Rasio jumlah perawat, bidan dan tenaga gizi terhadap jumlah penduduk

(35)

partisipasi masyarakat terhadap pentingnya memelihara kesehatan terutama kesehatan keluarga (Notoatmodjo 1997). Pelayanan kesehatan dapat dikembangkan melalui peran serta masyarakat sebagai kader kesehatan masyarakat. Kader yang berperan untuk konseling dalam masyarakat dengan memberikan informasi berkaitan dengan masalah status gizi anak balita yang tinggal di wilayah perkotaan dan pedesaaan. Pelatihan kader untuk pelayanan kesehatan sebagai upaya pemerintah meningkatkan partisipasi dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan status gizi masyarakat itu sendiri terutama anak-anak.

Tingkat pemanfaatan posyandu

Pos pelayanan terpadu atau yang lebih dikenal dengan sebutan posyandu, yaitu merupakan wahana kegiatan keterpaduan KB-kesehatan di tingkat kelurahan atau desa. Posyandu merupakan jenis upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat yang paling memasyarakat. Kodyat (1998) menjelaskan bahwa pelayanan gizi di posyandu diupayakan dan dikelola oleh lembaga swadaya masyarakat setempat dan berakar pada masyarakat pedesaan terutama oleh organisasi wanita termasuk PKK. Dengan semakin meluasnya Posyandu di hampir semua desa, maka pelayanan gizi di pedesaan makin dekat dan makin terjangkau oleh keluarga. Keterpaduan pelayanan kesehatan dasar khususnya untuk ibu dan anak, dapat menjadikan posyandu sebagai ujung tombak dalam penanggulangan masalah kurang gizi

Posyandu melaksanakan lima program kesehatan dasar yakni, keluarga berencana, kesehatan ibu dan anak, perbaikan gizi, imunisasi, dan penanggulangan diare untuk para ibu di tingkat masyarakat. Tujuan posyandu yang menjadi pedoman sampai saat ini adalah: 1) mempercepat penurunan angka kematian bayi dan balita; 2) mempercepat penerimaan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera; 3) masyarakat dapat mengembangkan kegiatan kesehatan dan kegiatan lain yang menunjang, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, sedangkan sasaran dari posyandu adalah bayi, anak balita, ibu hamil, ibu menyusui dan pasangan usia subur (Depkes 2008). Penyelenggaraan dilakukan dengan “pola lima meja” antara lain: meja 1 (pendaftaran), meja 2 (penimbangan bayi dan anak balita), meja 3 (pengisian KMS), meja 4 (peyuluhan perorangan), meja 5 (pelayanan tenaga profesional) meliputi pelayanan KIA, KB, imunisasi, dan pengobatan, serta pelayanan disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Salah satu ukuran keberhasilan kinerja suatu posyandu adalah tingkat partisipasi masyarakat (kehadiran ibu dan anaknya) yang >50% dan kasus kurang gizi yang semakin berkurang.

(36)

Akses air bersih

Air bersih dan sehat adalah air yang tidak mengandung kotoran dan kuman, sehingga aman untuk digunakan dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan. Air bersih dan sehat adalah air yang memenuhi syarat-syarat kesehatan. Menurut perhitungan badan kesehatan dunia (WHO), setiap orang membutuhkan air bersih sekitar 60-120 liter per hari untuk berbagai keperluan. Air yang digunakan harus memenuhi syarat kesehatan seperti syarat fisik, syarat kimia, dan syarat bakteriologis (Latifah et al. 2002).

Cakupan pelayanan kesehatan

Pelayanan kesehatan dasar (Primary Health Care/PHC) dicetuskan pada Konferensi Alma Ata (WHO 1978) yang menyatakan bahwa: “PHC adalah upaya kesehatan esensial yang secara universal mudah dijangkau oleh perorangan dan keluarga dalam masyarakat, dengan cara yang dapat diterima oleh mereka, dengan peran serta penuh dan dengan biaya yang dapat ditanggung oleh masyarakat dan negara yang bersangkutan. Upaya kesehatan esensial tersebut sekurang-kurangnya mencakup upaya perbaikan gizi, penyediaan air bersih, dan sanitasi dasar, kesehatan ibu dan anak termasuk keluarga berencana, imunisasi terhadap penyakit infeksi utama, pencegahan dan pengendalian penyakit endemik setempat, pendidikan tentang masalah kesehatan dan cara-cara mencegah atau mengatasinya, dan pengobatan yang tepat terhadap penyakit umum serta cedera”. Pelayanan Kesehatan Dasar atau Primary Health Care di Indonesia dilakukan melalui Puskesmas, Posyandu, Poskesdes dan bidan desa yang kesemuanya mengkomunikasikan gagasan, nilai, dan perilaku yang menguntungkan kesehatan selain memberikan perawatan kuratif kepada penduduk yang umumnya lapisan bawah, maupun penduduk mayoritas pedesaan.

(37)

Gizi yang baik sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak-anak. Periode lima tahun pertama kehidupan atau masa balita merupakan masa yang rentan terhadap berbagai masalah gizi dan kesehatan sehingga diperlukan perhatian yang lebih baik dari keluarga, masyarakat maupun pemerintah. Kekurangan gizi pada masa balita akan berpengaruh pada masa berikutnya, yang selanjutnya berdampak pada produktivitas kerja yang buruk pada masa dewasa. Lebih jauh lagi, kurang gizi dapat menyebabkan penurunan kualitas sumber daya manusia. Rendahnya kualitas sumber daya manusia mengakibatkan terhambatnya pembangunan nasional terutama di bidang gizi yang ditandai dengan tidak tercapainya Millenium Developments Goals.

Kurang gizi, khususnya stunting merupakan hasil akhir proses kekurangan gizi yang kronis dan atau berulang sehingga diperlukan pemahaman yang komprehensif dalam melihat faktor-faktor penyebab masalah gizi tersebut. UNICEF (1990) telah mengkaji faktor-faktor penyebab masalah gizi secara umum. Penyebab timbulnya masalah gizi terdiri dari beberapa tahapan dimulai dari penyebab langsung, peyebab tidak langsung, akar masalah dan pokok masalah. Secara langsung, kurang gizi disebabkan oleh kuantitas dan kualitas konsumsi pangan dan infeksi penyakit seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), diare, tuberculosis (TB) dan malaria. Penyakit infeksi pada anak-anak yang tinggal di wilayah miskin di negara-negara berkembang berdampak pada terhambatnya pertumbuhan linier dengan mempengaruhi status gizi anak. Penyakit infeksi dapat menurunkan asupan makanan, menghambat penyerapan zat gizi, dan kemungkinan menghambat transportasi zat gizi ke jaringan yang dituju (Stephensen 1999).

Pemantauan pertumbuhan balita dapat dilakukan di posyandu sebagai salah satu sarana kesehatan untuk masyarakat. Adanya kejadian berat badan lahir rendah (BBLR) dan banyaknya balita yang tidak mendapat imunisasi lengkap merupakan salah satu indikator rendahnya kelengkapan dan prasarana posyandu sehingga mengakibatkan buruknya kinerja posyandu. Pertumbuhan fisik balita dipengaruhi oleh pola pengasuhan oleh ibu yang dicerminkan dalam perilaku sanitasi (akses air bersih). Status gizi anak tidak lepas dari pengaruh orang tua secara biologis. Tinggi badan dan status gizi ibu sebelum kehamilan merupakan dua faktor yang berperan dalam pertumbuhan janin. Dua faktor tersebut ditambah dengan pertambahan berat badan ibu saat kehamilan berkontribusi sekitar 40% terhadap keterlambatan pertumbuhan janin (Irawati et al. 2012).

UNICEF (2011) menyatakan bahwa gender sangat berpengaruh pada daya tahan, kesehatan dan gizi anak. Bargaining position wanita dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, wanita dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dalam rumah tangga, yang secara tidak langsung dapat berpengaruh juga pada input sumber daya yang ditujukan untuk kebutuhan gizi dan kesehatan anak seperti pemberian makanan, perawatan prenatal dan kelahiran, perawatan kesehatan anak dan imunisasi). Kedua, kemampuan wanita untuk mengakses dan mengawasi penggunaan sumberdaya untuk kesehatannya sendiri, yang akan berdampak signifikan terhadap gizi dan kesehatan anak.

(38)

pendapatan daerah. Status pendidikan keluarga berpengaruh terhadap pemenuhan gizi yang menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak. Semakin tinggi pendidikan maka pengetahuan mengenai sikap dan praktek gizi dan kesehatan anak akan semakin baik. Kemiskinan merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi yang diakibatkan oleh kemunduran ekonomi negara. Data dari Indonesia dan di negara lain menunjukkan bahwa adanya hubungan antara kurang gizi dengan kemiskinan. Proporsi anak yang gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi persentase anak yang kekurangan gizi; makin tinggi pendapatan, makin kecil persentasenya (Soekirman 2005). Selain tingkat kemiskinan, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita merupakan indikator kemajuan ekonomi suatu wilayah yang berpengaruh terhadap kejadian kurang gizi di wilayah tersebut. Struktur kerangka pemikiran diatas dapat dilihat pada Gambar 5.

Keterangan:

= hubungan yang diteliti = hubungan yang tidak diteliti = variabel yang diteliti

= variabel yang tidak diteliti

Gambar 5 Kerangka pemikiran penelitian Asupan gizi dan ASI eksklusif

Disparitas Prevalensi

Stunting Akses sosial

masyarakat Akses ekonomi

masyarakat

Anggaran program gizi

& kesehatan

Karakteristik ibu

Akses kesehatan

(39)

Desain, Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan desain penelitian

ecological study dengan menganalisis determinan masalah gizi stunting. Penelitian ini dilakukan dengan mengolah data sekunder dari berbagai instansi terkait. Pengolahan, analisis dan interpretasi data dilakukan pada bulan Juli 2013-April 2014 di Kampus IPB Darmaga Bogor, Jawa Barat.

Jumlah dan Cara Pengumpulan Contoh

Unit analisis data dalam penelitian ini adalah seluruh kabupaten/kota di Indonesia yang digunakan dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Data makro sosial ekonomi lainnya akan mengikuti banyaknya sampel yang digunakan dalam Riskesdas 2007 dengan tahun yang sama. Adapun jenis dan sumber data tahun 2007 yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Jenis data yang digunakan dan sumbernya

No. Jenis Data Variabel Sumber

1 Prevalensi stunting 1. Disparitas/selisih prevalensi

stunting balita di suatu kabupaten/kota terhadap batas

non public health problem

untuk stunting (<20%)

Balitbangkes

2. Asupan gizi dan ASI eksklusif

1.Persentase penduduk dengan asupan energi per kapita di bawah rataan nasional

2.Persentase penduduk dengan asupan protein per kapita di bawah rataan nasional

3.Persentase bayi tidak ASI eksklusif

Balitbangkes

3. Derajat kesehatan 1. Persentase bayi BBLR

2. Persentase imunisasi tidak lengkap

4. Karakteristik ibu 1. Persentase ibu dengan tinggi badan (TB) <150cm

(40)

No. Jenis Data Variabel Sumber 7. Akses kesehatan

masyarakat

1. Rasio jumlah puskesmas terhadap jumlah penduduk 2. Rasio jumlah perawat, tenaga

bidan dan tenaga gizi terhadap jumlah penduduk

3. Tingkat pemanfaatan posyandu 4. Persentase rumah tangga

dengan akses air bersih

5. Cakupan pelayanan kesehatan gratis

Balitbangkes, BPS.

Sampel Riskesdas 2007 di tingkat kabupaten/kota berasal dari 440 kabupaten/kota (dari jumlah keseluruhan sebanyak 456 kabupaten/kota yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia). Setelah proses cleaning data diperoleh 352 kabupaten/kota dari total 438 kabupaten/kota dalam Riskesdas 2007 yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini. Sisanya tidak disertakan sebagai sampel penelitian karena terdapat data dari kabupaten/kota tersebut yang tidak mendukung untuk proses analisis dalam penelitian ini antara lain data rasio jumlah puskesmas terhadap jumlah penduduk dan data rasio perawat, bidan, dan tenaga gizi terhadap jumlah penduduk (Gambar 6).

Gambar 6 Cara penarikan sampel

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dan terkumpul akan dianalisa secara deskriptif dan inferensia dengan menggunakan Microsoft excel 2007 for windows dan SPSS versi 16.0. Tahap pengolahan data terdiri atas pemilihan variabel untuk dianalisis,

cleaning data, dan pengklasifikasian variabel berdasarkan interval kelas. Prevalensi stunting balita di suatu wilayah dikatakan suatu masalah kesehatan masyarakat yang

serius jika nilainya lebih dari 20% (WHO 1995). Disparitas prevalensi stunting adalah

selisih prevalensi stunting balita di suatu kabupaten/kota terhadap batas masalah

456 kab/kota

(jumlah keseluruhan kabupaten/kota di Indonesia tahun 2007)

440 kab/kota (Sampel Riskesdas 2007)

438 kab/kota

(2 kabupaten yang menjadi sampel Riskesdas tetapi tidak termasuk ke dalam sampel Susenas 2007 yaitu kabupaten Puncak Jaya dan Pegunungan Bintang)

352 kab/kota

Gambar

Tabel 4 Perubahan prevalensi balita stunting menurut provinsi tahun 2007-2013
Gambar 1 Dampak masalah gizi dalam siklus kehidupan
Tabel 5 Hubungan antara kehilangan produktivitas dengan masalah gizi (%)
Tabel 6 Rasio manfaat biaya (benefit-cost ratio) pada setiap alternatif intervensi
+7

Referensi

Dokumen terkait

FAKTOR PENENTU AUDIT TIME ATAS LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH.. (Studi pada Pemerintah Kabupaten/Kota

Di tingkat rumah tangga, keadaan gizi anak balita dipengaruhi oleh kemampuan rumah tangga dalam menyediakan pangan di dalam jumlah dan jenis yang cukup serta pola asuh

Penyebab dari stunting adalah berat bayi lahir rendah, ASI yang tidak memadai, makanan tambahan yang tidak sesuai, diare berulang, dan..

Faktor penentu stunting pada zona eko- sistem dataran rendah adalah asupan energi; di zona dataran sedang adalah praktik kasih sayang dan sanitasi lingkungan; dan di zona eksosistem

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat konsumsi jagung (sebagai makanan pokok maupun snack ) dan non jagung pada masyarakat berbasis pola pangan jagung di

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko kejadian stunting pada balita 1-5 tahun di puskesmas Bangsri I kabupaten Jepara yang meliputi Usia ibu, Kadar Hb

Model terbaik yang didapatkan untuk memodelkan ketahanan pangan pada kota di Indonesia ialah model regresi probit ordinal dengan lima variabel prediktor yang berpengaruh