• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Konektivitas Sistem Sosial-Ekologi Lamun dan Perikanan Skala Kecil (Studi Kasus: Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Konektivitas Sistem Sosial-Ekologi Lamun dan Perikanan Skala Kecil (Studi Kasus: Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau)."

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

(STUDI KASUS: KABUPATEN BINTAN, KEPULAUAN RIAU)

MUHAMMAD NUR ARKHAM

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan Ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Konektivitas Sistem Sosial-Ekologi Lamun dan Perikanan Skala Kecil (Studi Kasus: Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2015

Muhammad Nur Arkham NIM C252130291

*

(3)

Lamun dan Perikanan Skala Kecil (Studi Kasus: Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau). Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO dan YUSLI WARDIATNO.

Ekosistem lamun merupakan salah satu bagian penting sebagai bagian penyusun kesatuan ekosistem pesisir bersama dengan mangrove dan terumbu karang. Jasa ekosistem lamun sangat beragam, diantaranya sebagai jasa penyedia, jasa pendukung, jasa pengaturan, dan jasa budaya. Pemanfaatan dari ekosistem lamun dalam perikanan skala kecil merupakan interaksi antara dua sistem, yaitu sistem sosial dan sistem ekologi atau sering disebut dengan sistem sosial-ekologi (SSE). Pemahaman terhadap perilaku nelayan skala kecil dan pola konektivitas dari ekosistem lamun berupa pemanfaatan secara langsung sebagai jasa penyedia dari sumberdaya perikanan yang banyak berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan nelayan. Oleh karena itu, diperlukan studi tentang konektivitas sistem sosial-ekologi ekosistem lamun dalam perikanan skala kecil untuk pengelolaan ekosistem lamun secara terpadu khususnya di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memetakan konektivitas sistem sosial-ekologi lamun dengan perikanan skala kecil dalam perspektif jaringan di lokasi penelitian, mengidentifikasi konektivitas sistem sosial-ekologi lamun dengan pendekatan ketersediaan sumberdaya perikanan dalam perikanan skala kecil di lokasi penelitian, dan mengestimasi besaran manfaat sumberdaya perikanan kaitannya dengan jasa ekosistem lamun di lokasi penelitian.

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 22 September sampai 22 November 2014 di Desa Malang Rapat dan Desa Berakit, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Responden yang dipilih ditunjuk secara permanen sebanyak 15 responden untuk nelayan dari masing-masing desa. Data yang dibutuhkan adalah data primer dan sekunder. Analisis peta jaringan dan sebaran penangkapan ikan dilakukan dengan program Sistem Informasi Geografi (SIG) dari hasil deliniasi dan wawancara. Data hasil tangkapan dari nelayan didapat dari wawancara dengan instrumen kuisioner, pencatatan hasil tangkapan serta penjualannya di pedagang pengepul kemudian dianalisis komposisi jenis ikan, struktur komunitasnya, dan statistik deskriptif sedangkan untuk memastikan jenis sumberdaya perikanan yang dimanfaatkan dengan menggunakan pendekatan memasang Trammel Net dan Gill Net. Untuk data pendapatan nelayan didapat dari hasil wawancara mendalam dengan instrumen kuisioner dianalisis dengan pendekatan nilai produksi, sedangkan persepsi masyarakat dianalisis dengan distribusi frekuensi. Pengumpulan data sekunder didapat dari studi literatur dan sumber-sumber struktural dari desa, kecamatan, kabupaten, dan institusi yang terkait dengan penelitian.

(4)

dijual kepada pedagang pengepul di desa, kemudian didistribusikan pada pedagang pengepul di kota. Ada beberapa nelayan dari Desa Berakit yang mendistribusikan hasil tangkapannya langsung ke pedagang pengepul di kota. Hasil tangkapan terbesar dari perikanan skala kecil di Desa Malang Rapat dengan alat tangkap jaring yaitu ±16,5 kg/ hari, sedangkan di Desa Beakit yaitu dengan alat tangkap perangkap ikan (kelong karang) sebesar ±23,1 kg/hari. Beberapa famili yang paling mendominasi hasil tangkapan di kedua desa tersebut yaitu Siganidae, Scaridae, Lethrinidae, dan Lutjanidae. Hal ini menunjukkan bahwa ekosistem lamun memiliki fungsi ekonomi yang tinggi karena jenis tersebut termasuk spesies target untuk menunjang mata pencaharian nelayan. Hasil analisis pendapatan perikanan skala kecil di ekosistem lamun pada lokasi penelitian menunjukkan bahwa pendapatan yang didapat oleh para nelayan di Desa Malang Rapat dan Beakit sebesar Rp 202.124,00 /hari dan 193.151,00 /hari. Hasil tersebut dapat menggambarkan bahwa betapa pentingnya keberadaan ekosistem lamun sehingga dapat dijadikan sebagai tempat penangkapan bagi perikanan skala kecil yang bisa berkontribusi dalam ketahanan pangan dan sebagai mata pencaharian nelayan di desa tersebut. Keuntungan dan manfaat yang didapat perikanan skala kecil dari keberadaan ekosistem lamun yaitu kemudahan dari akses nelayan skala kecil karena tidak terlalu memerlukan bahan bakar karena lokasinya yang dekat dengan pantai. Secara umum besaran manfaat dari fungsi ekosistem lamun sebagai jasa penyedia yaitu sebagai tempat mengambil ikan bagi nelayan skala kecil. Dengan adanya keterkaitan secara sosial masyarakat dengan ekosistem menjadi pertimbanagan pengelolaan ekosistem lamun terpadu dengan pendekatan konektivitas sosial-ekologi dapat dilakukan dengan pendekatan terhadap 3 aspek, yaitu: keterpaduan sitem (system integration), keterpaduan dalam kebijakan (policy integration), dan keterpaduan fungsional (functional integration).

(5)

Study on Seagrass and Small-Scale Fisheries (Case Study: Bintan regency, Riau Islands). Guided by LUKY ADRIANTO and YUSLI WARDIATNO.

Seagrass ecosystem is one of important parts as a constituent of the coastal ecosystem along with mangroves and coral reefs. Seagrass ecosystem services are very various, for exampel as provisioning services, supporting services, regulating services, and cultural services. The utilization of the seagrass in small-scale fisheries is the interaction between the two systems, namely social systems and ecological systems, or it is commonly referred to as social-ecological systems (SES). Understanding the behavior of small-scale fishermen and connectivity patterns of seagrass in the form of direct use as provisioning services of many fisheries resources contributes to the comply the needs of fishermen. Therefore, it is necessary to examine the study on social-ecological system connectivities of seagrass in small-scale fisheries for integrated seagrass management particularly in Bintan regency, Riau Islands. The purpose of this research was to map the social-ecological system connectivities seagrass with small-scale fisheries in a networks perspective the study site, identify social-ecological connectivities of seagrass approach avability of fisheries resources on small-scale fisheries un the study site, and estimate the great benefits of fisheries resources relation to seagrass services in the study site.

This study was conducted from 22 September to 22 November 2014 in Malang Rapat and Berakit Villages, Bintan regency, Riau Islands. This research was conducted with qualitative and quantitative approaches. Respondents selected were appointed permanently as much as 15 respondents of fishermen of each village. The data needed were primary and secondary data. The analysis of the network map and distribution of the fishing was done with the program of Geographical Information Systems (GIS) from the results of delineation and interviews. The data of fish caught by fishermen were obtained from the interviews with quisioner instrument and the recorded of catches and sales by the seller, then analyzed fish spesies composition, community structure and descriptive statistics, while ensure type of fisheries resources exploited used the approach of installing Trammel Net and Gill Net. Fishermen income data were obtained from the results of in-depth interviews with questionnaire instrument. The data were then analyzed with an approach of production value, whereas the public perception was analyzed by the frequency distribution. The collection of secondary data was obtained from the study of literature and sources of structural village, district, county, and institutions associated with the research.

(6)

biggest catches of small-scale fisheries in the village of Malang Rapat with net fishing gear were ±16.5 kg / day, while in the Berakit village, the chatches were cuaght by using tidal trap(kelong karang) of ±23.1 kg / day. Some families most

dominating the catches in these two villages were Siganidae, Scaridae,

Lethrinidae, and Lutjanidae. This showed that seagrass had a high economic function as this type included the target species to support the livelihood of fishermen. The results of the analysis of the income of small-scale fisheries in seagrass on the location of the research showed that the revenue generated by the fishermen in the village of Malang Rapat and Berakit was Rp 202.124,00 /dat dan 193.151,00 /day. These results can illustrate how important the presence of seagrass is; therefore, it can be used as a place to catch small-scale fisheries that can contribute to food security and livelihood of fishermen in the village. The advantage and the benefit of small -scale fisheries of the existence of seagrass aere the ease of access to small -scale fishermen because they do need to buy the fuel because of its close location to the beach. In general, the benefit of seagrass ecosystems functioning as a service provider was that this was used as a place to catch of fish for small -scale fishermen. The presence of social community linkages with the ecosystems makes this the consideration of integrated seagrass management with social-ecological connectivities approach can be done with three aspects approaches, that is: system integration, policy integration, functional integration.

Keywords: Seagrass ecosystem, connectivity, network map, small-scale fisheries, social-ecological system (SES)

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)

(STUDI KASUS: KABUPATEN BINTAN, KEPULAUAN RIAU)

MUHAMMAD NUR ARKHAM

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)
(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan karunia-Nya yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Studi Konektivitas Sistem Sosial-Ekologi Lamun dan Perikanan Skala Kecil (Studi Kasus: Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau)”. Penelitian ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan dan penyusunan tesis ini terutama kepada:

1. Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc selaku pembimbing I dan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, MSc selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan arahannya selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan tesis.

2. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, MSc selaku dosen penguji tamu serta Bapak Zulhamsyah Imran, SPi, MSi, PhD selaku Sekretaris Program Studi yang telah banyak memberikan saran dan masukan dalam penyusunan tesisi ini. 3. Kedua orang tua saya Bapak Subandi, SH. dan Ibu Dra. Yulzaeni Andriani

yang selalu memberikan semangat dan do’anya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

4. Kekasih saya tercinta Evi Maya Sari yang selalu memberikan semangat dan do’anya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

5. Ibu Nurul Dhewani dan Bapak Yudi Wahyudin yang telah membantu dan memberikan arahannya selama penelitian berlangsung.

6. Keluarga dari Kepala Desa Malang Rapat yang telah memberikan ijin untuk menginap selama penelitian berlangsung.

7. Pihak institusi dan lembaga-lembaga pemerintah dari Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau yang telah memberikan informasi selama penelitian.

8. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut, Institut Petanian Bogor (PKSPL-IPB) yang telah mendanai dan membantu dalam kelancaran penelitian.

9. Semua teman-teman seperjuangan SPL 2013 yang juga sangat membantu dalam memberikan masukan terhadap penelitian ini.

10.Serta pihak lain yang turut membantu dalam penyususn tesis ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat di dalam penulisan tesis ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan tulisan ini. Semoga tesis ini juga dapat bermanfaat dalam mendukung pengambilan kebijakan, khususnya di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau dan dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat.

Bogor, Juli 2015

(12)

DAFTAR GAMBAR ... ix

Pengumpulan Data Peta Sebaran dan Jaringan SES dalam Perikanan Skala Kecil ... 19

Pengumpulan Data Hasil Tangkapan dan Jenis Ikan ... 20

Pengumpulan Data Pendapatan dan Persepsi Masyarakat... 21

Pengumpulan Data Sekunder ... 21

Analisis Data ... 22

Analisis Peta Sebaran dan Jaringan SES Perikanan Skala Kecil .. 22

Analisis Deskriptif... 23

Administrasi Kabupaten Bintan ... 26

Ekosistem Pesisir di Lokasi Penelitian ... 28

Ekosistem Terumbu Karang ... 28

Ekosistem Lamun ... 28

Ekosistem Mangrove ... 29

(13)

Tingkat Pendidikan ... 30

5 HASIL PENELITIAN ... 32

Peta Sebaran Perikanan Skala Kecil di Ekosistem Lamun ... 32

Peta Jaringan Sistem Sosial-Ekologi Lamun ... 34

Jaringan Sosial-Ekologi Lamun dan Perikanan Skala Kecil ... 38

Hasil Tangkapan Perikanan Skala Kecil ... 40

Komposisi Jenis Ikan di Ekosistem Lamun ... 41

Struktur Komunitas Ikan di Ekosistem Lamun ... 44

Pendapatan Perikanan Skala Kecil di Ekosistem Lamun ... 45

Persepsi Nelayan tentang Manfaat Ekosistem Lamun ... 47

Keterkaitan Sistem Sosial-Ekologi Lamun dan Perikanan Skala Kecil .. 48

6 PEMBAHASAN PENELITIAN ... 50

Sebaran Tangkapan Perikanan Skala Kecil... 50

Konektivitas Sosial-Ekologi Lamun: Pendekatan Peta Jaringan ... 51

Konektivitas Sosial-Ekologi Lamun: Pendekatan Sumberdaya Perikanan ... 53

Besaran Manfaat Ekosistem Lamun... 55

Persepsi Nelayan tentang Manfaat Ekosistem Lamun ... 56

Pendekatan Pengelolaan Pesisir Terpadu dalam Pengelolaan Ekosistem Lamun ... 57

Pengelolaan Berdasarkan Ekosistem ... 57

Pengelolaan Adaptif dengan Pendekatan Sistem Sosial-Ekologi .. 59

Keterpaduan dalam Pengelolaan Ekosistem Lamun di Kabupaten Bintan ... 62

Keterpaduan Sistem ... 62

Keterpaduan dalam Kebijakan ... 62

Keterpaduan Fungsional ... 63

7 KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

Kesimpulan ... 65

Saran ... 65

(14)

DAFTAR TABEL

1. Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Penelitian ... 15

2. Matriks Jenis Data, Sumber Data dan Data Analisis ... 17

3. Jenis Nelayan Berdasarkan Alat Tangkap ... 32

4. Upaya Tangkapan Nelayan di Lokasi Penelitian ... 34

5. Komponen Sosial-Ekologi dalam Jaringan Pemasaran Perikanan Skala Kecil di Desa Malng Rapat dan Berakit... 34

6. Entitas dalam Jaringan Sosial-Ekologi Lamun dan Perikanan Skala Kecil ... 39

7. Komposisi Jenis Sumberdaya Perikanan di Desa Malang Rapat ... 42

8. Komposisi Jenis Sumberdaya Perikanan di Desa Berakit ... 43

9. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominasi Ikan yang Berasosiasi dengan Ekosistem Lamun di Desa Malang Rapat dan Berakit, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau ... 44

10. Kriteria Sistem Sosial-Ekologi Lamun dan Perikanan Skala Kecil di Lokasi Penelitian ... 49

11. Batasan Kegiatan Manusia yang Dapat Merusak Ekosistem Lamun ... 58

(15)

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka Penelitian SES di Ekosistem Lamun ... 6

2. Ekosistem Lamun di Lokasi Penelitian ... 7

3. Model Konseptual Sistem Sosial-Ekologi dalam Kawasan Ekosistem Lamun ... 12

4. Lokasi Penelitian ... 14

5. Tahapan Pengumpulan Data Penelitian ... 16

6. Sampling Frame Sosial (sistem sosial) ... 18

7. Sampling Frame Jenis Ikan (sistem ekologi) ... 19

8. Diagram Alir Pengambilan Data Peta Sebaran Perikanan Skala Kecil... 20

9. Diagram Alir Pengambilan Data Peta Jaringan Dinamika Tangkapan ... 20

10. Diagram Alir Pengambilan Data Peta Jaringan Pemasaran ... 20

11. Diagram Alir Pengumpulan Data Hasil Tangkapan dan Jenis Ikan ... 20

12. Diagram Alir Pemastian Jenis Ikan yang Tertangkap ... 21

13. Diagram Alir Pengumpulan Data Pendapatan dan Persepsi Nelayan ... 21

14. Diagram Analisis Peta Jaringan dan Sebaran Tangkapan Perikanan Skala Kecil ... 22

15. Diagram Alir Analisis Data Pengelompokan Jenis Ikan Lamun ... 24

16. Diagram Analisis Distribusi Frekuensi ... 25

17. Luas Wilayah Desa di Kecamatan Gunung Kijang (Km2)... 27

18. Luas Wilayah Desa di Kecamatan Telok Sebong (Km2) ... 27

19. Jumlah Jenis Kelamin di Desa Penelitian (jiwa) ... 29

20. Presentase Produktivitas Umur Nelayan yang Memanfaatkan Lamun (tahun) ... 30

21. Presentase Tingkat Pendidikan Nelayan di Daerah Penelitian ... 31

22. Peta Sebaran Tangkapan Perikanan Skala Kecil ... 33

23. Interaksi Kinerja Nelayan Desa Malang Rapat dan Berakit ... 35

24. Peta Jaringan Dinamika Tangkapan Perikanan Skala Kecil ... 36

25. Peta Jaringan Pemasaran Perikanan Skala Kecil ... 37

26. Kerangka Sederhana SES dalam Perikanan Skala Kecil pada Ekosistem Lamun di Lokasi Penelitian ... 38

27. Jaringan Sosial-Ekologi Lamun dan Perianan Skala Kecil di Lokasi Penelitian ... 39

28. Hasil Tangkapan Nelayan di Desa Malang Rapat dan Berakit ... 41

29. Hasil dari Pendapatan Nelayan Skala Kecil di Desa Malang Rapat (Rp.hari-1) ... 45

30. Hasil dari Pendapatan Nelayan Skala Kecil di Desa Berakit (Rp.hari-1) 46 31. Persepsi Nelayan Desa Malang Rapat tentang Manfaat Lamun ... 47

32. Persepsi Nelayan Desa Berakit tentang Manfaat Lamun ... 48

33. Konektivitas Sosial-Ekologi Lamun dan Perikanan Skala Kecil di Lokasi Penelitian ... 56

34. Keterpaduan Kebijakan dalam Pengelolaan Ekosistem Lamun di Lokasi Penelitian ... 63

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Jenis Sumberdaya Perikanan Dominan di Lokasi Penelitian ... 72

2. Alat Tangkap yang digunakan Nelayan di Desa Malang Rapat dan Berakit yang Memanfaatkan Ekosistem Lamun ... 73

3. Titik Geografis Lokasi Tangkapan Nelayan Desa Berakit ... 74

4. Titik Geografis Lokasi Tangkapan Nelayan Desa Malang Rapat ... 75

5. Analisis Struktur Komunitas Jenis Ikan di Desa Malang Rapat ... 76

6. Analisis Struktur Komunitas Jenis Ikan di Desa Berakit ... 77

7. Dokumentasi Penelitian ... 78

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehidupan manusia sebagian besar bergantung dengan keadaan alam yang ada di sekitar. Keadaan seperti ini sudah dapat terlihat pada beberapa masyarakat pedesaan yang menggantungkan mata pencahariannya dari sumberdaya alam yang ada. Begitu juga dengan masyarakat di daerah pesisir yang sebagian besar menggantungkan mata pencahariannya pada sumberdaya pesisir dan lautan. Sumberdaya pesisir dan lautan yang menjadi penyeimbang sistem pesisir adalah ekosistem mangrove, lamun, dan terumbu karang. Kebanyakan keberadaan dari ekosistem lamun masih kurang terlalu diperhatikan oleh masyarakat pesisir di bandingkan dengan keberadaan ekosistem terumbu karang dan mangrove. Menurut Torre-Castro and Ronnback (2004) menyebutkan bahwa fokus dari pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem hanya berfokus pada ekosistem terumbu karang dan mangrove. Sedangkan untuk ekosistem lamun masih kurang diperhatikan, hal ini dikarenakan kebanyakan penelitian tentang keanekaragaman spesies tinggi dan tingkat penggunaan hanya fokus pada terumbu karang dan mangrove.

Ekosistem lamun memiliki produktivitas primer dan sekunder dengan dukungan yang besar terhadap kelimpahan dan keragaman ikan. Ekosistem lamun juga merupakan sumberdaya pesisir yang memiliki peran sangat besar dalam penyediaan jasa lingkungan. Peran tersebut dapat dilihat dari sisi ekologi maupun dari sisi sosial yang dapat meningkatkan ketahanan pangan dan mata pencaharian masyarakat pesisir (Gilanders, 2006). Faktanya bahwa keberadaan dari ekosistem lamun memiliki peran dan fungsi yang sama dengan ekosistem terumbu karang dan mangrove (McClanahan, 2002). Sejauh ini keberadaan ekosistem lamun belum diketahui bagaimana manfaatnya dalam perikanan skala kecil. Manfaat ekosistem lamun secara langsung sebagai salah satu mata pencaharian yang sangat penting bagi nelayan skala kecil khususnya.

Konsep dasar mengenai perikanan skala kecil di daerah tropis menjelaskan perlu adanya kontrol sosial yang dapat diterima yaitu berupa pemanfaatan sumberdaya laut untuk pengelolaan perikanan berkelanjutan. Pengelolaan perikanan yang berkelanjutan memerlukan kemitraan antara kelompok, masyarakat, dan pemerintah sehingga pengelolaannya dapat mendukung konservasi serta dapat meningkatan mata pencaharian lokal (Gutierrez et al., 2011). Perikanan skala kecil (small-scale fisheries) sangat penting di negara berkembang. Ketergantungan perikanan skala kecil pada sumberdaya alam sangat tinggi dan dapat memberikan kontribusi terhadap ketahanan pangan dan mata pencaharian. Perhatian terhadap pengelolaan perikanan skala kecil menjadi lebih rendah dibandingkan dengan perhatiannya terhadap industri penangkapan ikan (Mills et al., 2011).

(18)

berpenghuni dan sebagian sisa pulau yang tidak berpenghuni digunakan untuk kegiatan pertanian khususnya perkebunan. Luas ekosistem lamun sendiri di Kabupaten Bintan kurang lebih 2500 hektar, tersebar di perairan sebelah utara yaitu di Desa Pengudang dan Berakit, sampai ke sebelah timur yaitu Desa Malang Rapat, Teluk Bakau, dan Kawal. Jumlah jenis lamun di pesisir Bintan Timur tercatat 10 jenis dari 13 jenis lamun yang ada di Indonesia dengan kondisi yang masih baik. Thalasia hemprici dan Enhalus acroides merupakan jenis yang paling dominan. (Damayanti, 2011).

Ekosistem lamun juga merupakan salah satu bagian penting sebagai bagian penyusun kesatuan ekosistem pesisir bersama dengan mangrove dan terumbu karang (Torre-Castro, 2006). Keberadaan ekosistem lamun itu sendiri memiliki manfaat baik dari segi ekologi maupun sosial. Jasa ekosistem lamun itu sendiri sangat beragam, diantaranya sebagai jasa penyedia (provisioning services), jasa budaya (cultural services), jasa pengaturan (reguating services), dan jasa pendukung (supporting services). Masing-masing dari jasa ekosistem yang diberikan tersebut bermanfaat untuk sistem sosial dan sistem ekologi dengan keberadaan ekosistem tersebut (Crosmann et al., 2013). Pendekatan dari penelitian ini melalui identifikasi akan jasa ekosistem yang diberikan dengan keberadaan dan fungsi dari ekosistem lamun yang ada di Kabupaten Bintan yaitu sebagai jasa penyedia (provisioning services). Keberadaan dari ekosistem lamun yang ada di lokasi penelitian sebagai penyedia sumberdaya perikanan, sebagai bahan makanan, dan sumber obat-obatan yang bermanfaat bagi masyarakat pesisir sehingga dapat menjadi sumber ketahanan pangan dan mata pencaharian yang penting (Cullen-Unsworth et al., 2013).

Pendekatan konsep sistem sosial-ekologi (SES) dengan jasa ekosistem yang diberikan oleh keberadaan ekosistem lamun di Kabupaten Bintan ini berupa jasa penyedia (provisioning services). Jasa penyediaan ini berupa ketersediaan sumberdaya perikanan yang ada di ekosistem lamun dapat dimanfaatkan oleh nelayan skala kecil dalam menunjang matra pencaharian nelayan tersebut. Kondisi tersebut digunakan dalam pendekatan penelitian untuk mengidentifikasi konektivitas antara sistem ekologi lamun dengan sistem sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Bintan. Menurut Parsram (2008) menyatakan bahwa istilah sistem sosial-ekologi (SES) menekankan tentang keterpaduan antara komponen sosial dan komponen ekologi, dimana terdapat sistem yang kompleks didalam sistem sosial-ekologi dan perikanan skala kecil. Sistem yang kompleks tersebut dibuktikan dengan adanya interaksi jaringan antara proses ekologi (sistem ekologi) dengan aktivitas nelayan (sistem sosial).

(19)

hotel, dan rumah makan. Kegiatan ini dapat menyebabkan terjadinya proses sedimentasi dan perairan menjadi keruh, sehingga dapat menyebabkan penurunan kualitas ekosistem lamun (Nelleman et al., 2009). Penelitian Parsram (2008) juga menyebutkan bahwa beberapa faktor yang dapat mengancam keberlanjutan sumberdaya perikanan yaitu karena penangkapan ikan yang berlebih, degradasi habitat, dan tercemarnya perairan tersebut.

Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu juga dapat didasarkan dari adanya konektivitas antara ekosistem (sistem ekologi) dan aktivitas nelayan dari keberadaan ekosistem (sistem sosial) (Moberg and Ronnback, 2003). Ditambahkan oleh Zhao and Wen (2012), definisi dari konektivitas sosial-ekologi merupakan interaksi antara sistem ekologi yang terjadi dari ekosistem yang dapat mempengaruhi kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhannya, sehingga terjadi hubungan ketergantung dan keterkaitan antara sistem ekologi dengan sistem sosial. Kurangnya perhatian pada ekosistem lamun sangat disayangkan, mengingat fakta bahwa ekosistem lamun memiliki fungsi baik disisi ekologi dan sosial (Green and Short, 2003) karena ekosistem lamun menjadi penyedia jasa yang besar. Meskipun dalam hal kepentingannya, perhatian sosial-ekologis dari ekosistem lamun ini hanya dipahami secara lokal dan kurang dipahami oleh beberapa stakeholder (Torre-Castro and Ronnback, 2004), baru-baru ini ekosistem lamun telah diakui sebagai sistem sosial-ekologi (SES) yang penting di dunia. Selain itu, dilihat dari segi ekonominya untuk keberadaan ekosistem lamun jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ekosistem terumbu karang dan mangrove (Torre-Castro et al., 2014).

Penelitian mengenai konekivitas sistem sosial-ekologi ekosistem lamun dan perikanan skala kecil untuk pengelolaan ekosistem lamun terpadu jarang dilakukan jika dibandingkan dengan terumbu karang dan mangrove, tetapi beberapa studi telah menekankan pentingnya ekosistem lamun bagi masyarakat setempat dan perikanan (Torre-Castro and Ronnback, 204; Torre-Castro et al., 2014). Bagaimanapun perikanan skala kecil sering melakukan kegiatan penangkapan di ekosistem lamun karena letaknya dekat pantai, akan tetapi peran dari ekosistem lamun untuk kegiatan produksi sebagai mata pencaharian nelayan skala kecil sering diabaikan. Penelitian ini diharapkan dapat menambahkan upaya yang sistematis dalam melakukan pengelolaan ekosistem lamun secara terpadu dengan pendekatan konektivitas sistem sosial-ekologi antara ekosistem lamun dengan kegiatan perikanan skala kecil khususnya di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.

1.2 Perumusan Masalah

(20)

pencaharaian dan sebagai ketahanan pangan (food savety) untuk masyarakat pesisir masih kurang begitu dipahami. Pemahaman terhadap pola konektivitasnya, khususnya dalam hal pemanfaatan sumberdaya perikanan dari keberadaan ekosistem lamun sebagai jasa penyedia (provisioning services) yang langsung dimanfaatkan dan jenis sumberdaya perikanan yang banyak berkontribusi dalam pemenuhan mata pencaharian nelayan skala kecil belum diperhatikan. Pengetahuan ini sangat penting dalam membuat rencana kebijakan dan pengelolaan yang relevan dalam memajukan sistem pemerintahan yang mempertimbangkan kebutuhan dan hak-hak nelayan terhadap adanya sumberdya alam yang dapat mendukung mata pencaharian mereka (Allison et al., 2011).

Keberadaan ekosistem lamun di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau sudah diperhatikan, akan tetapi perhatiannya masih dalam konteks menunjang keberadaan ekosistem lamun. Perhatian terhadap jasa ekosistem lamun sebagai jasa penyedia (provisioning services) bagi nelayan skala kecil untuk pengelolaan ekosistem terpadu dan perikanan skala kecil sebagai pelaku usahanya kurang dipahami, sehingga harus diketahui pola konektivitas dari perikanan skala kecil di lokasi penelitian dalam memanfaatkan keberdaan ekosistem lamun. Berdasakan uraian diatas maka perlu pengkajian mengenai konektivitas sistem sosial-ekologi ekosistem lamun dengan perikanan skala kecil (small-scale fisheries) di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Sehingga muncul 3 (tiga) perumusan masalah yang harus diketahui dalam penelitian ini, antara lain:

1. Belum teridentifikasinya konektivitas antara komponen sosial-ekologi lamun dalam perspektif jaringan dengan perikanan skala kecil di lokasi penelitian. 2. Kurang perhatiannya masyarakat dan stakeholder akan jasa penyedia oleh

ekosistem lamun diduga dapat mempengaruhi konektivitas sosial-ekologi lamun terhadap sumberdaya perikanan dalam perikanan skala kecil di lokasi penelitian.

3. Ketergantungan terhadap keberadaan ekosistem lamun diperkirakan akan mempengaruhi mata pencaharian perikanan skala kecil di lokasi penelitian.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Memetakan konektivitas sistem sosial-ekologi lamun dengan perikanan skala kecil dalam perspektif jaringan di lokasi penelitian;

2. Mengidentifikasi konektivitas sistem sosial-ekologi lamun terhadap sumberdaya perikanan dalam perikanan skala kecil di lokasi penelitian; dan 3. Mengestimasi besaran manfaat sumberdaya perikanan kaitannya dengan jasa

ekosistem lamun di lokasi penelitian.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :

(21)

2. Memberikan informasi pada nelayan setempat tentang pentingnya ekosistem lamun sebagai habitat untuk sumberdaya perikanan ekonomis penting dalam menopang mata pencaharian mereka; dan

3. Bagi peneliti dan pembaca dapat memberikan wawasan dan pengembangan pengetahuan akan pentingnya jasa ekosistem lamun khususnya sebagai jasa penyedia dalam perikanan skala kecil untuk pengelolaan perikanan berkelanjutan dengan pendekatan sistem sosial-ekologis (SES).

1.5 Kerangka Penelitian

Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem yang berada di kawasan pesisir yang menjadi penunjang kehidupan pesisir bersama bersama dengan ekosistem terumbu karang dan mangrove. Keberadaan dari ekosistem lamun masih diabaikan meskipun juga memiliki fungsi yang penting diantaranya sebagai penyedia oksigen, sumberdaya perikanan, produsen dalam jejaring makanan, maupun tempat berlindung berbagai organisme laut. Keadaan saling bergantung antara sistem sosial dan sistem ekologi menjadi semakin kompleks, sehingga diperlukan studi tentang konektivitas dari sistem sosial dan ekologi untuk pengelolaan keberlanjutan sumberdaya pesisir. Pendekatan jasa ekosistem lamun di Kabupaten Bintan ini lebih kepada provisioning services (jasa penyediaan) sumberdaya perikanan yang dimanfaatkan oleh nelayan skala kecil di lokasi penelitian. Pendekatan penelitian dengan mengkaji spasial dinamika dari nelayan skala kecil pada daerah tangkapan (fishing ground) dan pola distribusi hasil tangkapan ikan yang telah terjual. Selain itu identifikasi dari konektivitas dari produksi jenis tangkapan dan pemanfaatan dari jasa ekosistem lamun (ecosystem services) pada tingkat umum (pengumpulan data pendaratan ikan) untuk nelayan.

Besaran manfaat dari nilai ekonomi yang dihasilkan dengan adanya ekosistem lamun juga dianalisis. Kontribusi ekonomi dari perhitungan ekosistem lamun menunjukkan adanya konektivitas antara sistem ekologi lamun dengan sistem sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Bintan. Manfaat lain bagi nelayan pesisir dalam pemanfaatan jasa ekosistem seperti akses dalam penangkapan dapat menghemat bahan bakar (karena letak daerah tangkapan nelayan dekat pantai dan masih berada di dalam tubir). Untuk tambahan pengetahuan perbandingan sistematis tentang pentingnya ekosistem lamun dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan belum dilakukan sampai saat ini. Dengan uraian diatas maka diperlukan studi kajian tentang konektivitas sistem sosial-ekologi ekosistem lamun dalam perikanan skala kecil untuk keberlanjutan pemanfaatan jasa ekosistem lamun dengan ketersediaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan.

(22)

///

Gambar 1 . Kerangka Penelitian SES di Ekosistem Lamun.

6

Sust

ainabl

e Fisheries

Re

sourche

s

Sistem Sosial - Ekologi (SES) Lamun Bio-geokimia

Jasa ekosistem

Sumberdaya perikanan

Pemanfaatan oleh Nelayan dalam Perikanan Skala

Kecil

Jenis Sumberdaya Perikanan Peta Jaringan

SES-SSF

Besaran Manfaat

Mata Pencaharian

Pengelolaan Ekosistem Lamun Secara Terpadu Sistem Ekologi

Sistem Sosial

Proses ekologi Predator

Regulating services Supporting

services

Cultural services

(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Lamun

Ekosistem lamun merupakan ekosistem dari kelompok tumbuhan berbunga yang dapat beradaptasi dengan lingkungan laut. Ekosistem lamun hidup di perairan laut yang dangkal, mempunyai tunas berdaun tegak, berbunga, berbuah dan menghasilkan biji. Komunitas lamun berada diantara batas terendah daerah pasang surut sampai kedalaman tertentu dimana cahaya matahari masih dapat mencapai dasar laut. Ekosistem lamun termasuk dalam subkelas Monocotyledoneae dalam kelompok tumbuhan yang berbunga (Angiospermeae) (Phillips and Menez, 1988; Bjork et al., 2008).

Gambar 2. Ekosistem Lamun di Lokasi Penelitian. (Dokumentasi Pribadi, 2014)

Ekosistem lamun di perairan Indonesia umumnya termasuk padang vegetasi campuran. Ekosistem lamun di Indonesia sering dijumpai di daerah pasang surut bawah (inner intertidal) dan subtidal atas (upper subtidal). Dilihat dari pola zonasi ekosistem lamun secara horizontal, ekosistem lamun terletak diantara dua ekosistem penting yaitu mangrove dan ekosistem terumbu karang. Ekosistem lamun sangat berhubungan erat dan berinteraksi serta sebagai mata rantai (link) dan sebagai penyangga (buffer) dengan mangrove di pantai dan terumbu karang ke arah laut (Azkab, 1999).

(24)

Zosteraceae dan Ruppiaceae yang tersebar di daerah tropis, sub tropis hingga daerah lintang tinggi seperti Alaska (Bjork et al., 2008). Ekosistem lamun di peraiaran Indonesia sendiri ditemukan tujuh genus dari 12 genus lamun yang ada di dunia yaitu Cymodocea, Enhalus, Halodule, Halophila, Syringodium, Thalassia dan Thalassodendron. Ekosistem lamun memiliki peranan penting sebagai jasa ekosistem (ecosystem services) untuk keseimbangan ekosistem serta pemenuhan kebutuhan manusia berupa habitat ikan dan invertebrata, tempat pemijahan biota, pelindung pantai, stabilitas sedimen, dan lain-lain (Bjork et al., 2008; Christianen, 2013; Cullen-Unsworth et al., 2013; Torre-Castro, 2006).

Menurut Azkab (1999) menyatakan bahwa ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang paling produktif. Selain itu ekosistem lamun juga mempunyai peranan penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan jasad hidup renik di laut dangkal, menurut hasil penelitian diketahui bahwa peranan lamun di lingkungan perairan laut dangkal sebagai berikut: 1) Sebagai Produsen Primer; 2) Sebagai Habitat Biota; 3) Sebagai Peredam Arus dan Penangkap Sedimen; dan 4) Sebagai Pendaur Zat Hara.

2.2 Potensi Sumberdaya Perikanan di Ekosistem Lamun

Ekosistem lamun merupakan habitat (tempat hidup) berbagai biota bernilai ekonomi tinggi seperti ikan, teripang, kima, siput, bulu babi, dan lain sebagainya. Ekosistem lamun juga merupakan daerah pemijahan, pengasuhan, tempat mencari makan, dan pembesaran bagi berbagai biota. Potensi yang dimiliki ekosistem lamun ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Nilai ekonomi dari ekosistem lamun dihitung berdasarkan pada daya dukungnya terhadap sumberdaya perikanan (Kordi, 2011). Ditambahkan oleh Campbell et al. (2011) yang menyatakan bahwa ekosistem lamun juga memberikan perlindungan bagi spesies ikan yang berasosiasi dari pemangsa. Penelitian dari perairan Virgin Islands dan pulau-pulau di West-Indies, didapatkan lamun Thalasia dan Cymodocea banyak dimakan oleh ikan-ikan parrot (Scarus dan Saprisoma) dan ikan surgeon (Acantharus). Beberapa spesies biota seperti duyung (dugong) dan penyu yang merupakan hewan langka merupakan salah satu jenis biota yang memakan lamun. Sehingga lamun sangat penting untuk menopang kehidupan biota di pesisir.

Peran dari ekosistem lamun sebagai tempat ikan mencari makan di lingkungan pesisir dikaitkan dengan pertumbuhan dan perkembangan plankton, suplai makanan, dan zat hara ke ekosistem yang berdekatan (mangrove dan terumbu karang), serta pembentukan sedimen. Faktor-faktor tersebut mendukung terjadinya aosisasi berbagai flora dan fauna dan mengatur pertukaran air. Kerapatan dari ekosistem lamun juga mempengaruhi keanekaragaman berbagai jenis ikan dan biota (Erftemeijer and Lewis, 2006). Pada prinsipnya ikan-ikan yang hidup di habitat padang lamun dapat dikategorikan menjadi 4 kelompok, yaitu: (1) tinggal sepanjang waktu untuk berpijah dan kegiatan lainnya; (2) tinggal sejak juvenil hingga stadia dewasa, tetapi berpijah di tempat lain; (3) tinggal selama stadia juvenile; dan (4) tinggal hanya sesaat (Kordi, 2011).

(25)

ikan dan keragaman ikan juga (Gilanders, 2006). Beberapa spesies ikan yang berasosiasi dengan ekosistem lamun menururt Baker et al. (2015), meliputi Siganidae, Scaridae, Lethrinidae, Lutjanidae, Serranidae dan Mullidae yang merupakan jenis ikan yang menggantungkan diri dengan ekosistem lamun. Ditambahkan oleh Admir (2006), beberapa familia ikan yang umum dijumpai di ekosistem lamun seperti Apogonidae, Belonidae, Geriidae, Gobiidae, Hemiramphidae, Labridae, Lethrinidae, Monacanthidae, Syngnathoidea, Siganidea, dan Scaridae. Sedangkan familia, seperti Mullidae dan Pomacentridae merupakan kelompok ikan yang diketahui juga berasosiasi dengan ekosistem lamun, namun jenis tersebut lebih terbatas berasosiasi dengan karang. Dominasi spesies yang terkait dengan lamun ditemukan juga di Indonesia (Kordi, 2011), di Tanzania (Torre-Castro et al., 2014), Mozambik (Gell dan Whittington, 2002) dan Madagaskar (Davies et al., 2009). Jenis-jenis ikan tersebut merupakan jenis ikan yang berasosiasi dengan ekosistem lamun berdasarkan kurun waktu dan area tertentu, meskipun sering juga disebut sebagai jenis-jenis ikan terumbu karang (Unsworth dan Cullen, 2014).

2.3 Jasa Ekosistem

Manusia mendapat manfaat dari berbagai sumberdaya dan proses yang disediakan oleh ekosistem alam. Secara menyeluruh, manfaat ini dikenal dengan istilah jasa ekosistem dan meliputi produk seperti air minum dan proses seperti pemecahan (dekomposisi) sampah. Jasa ekosistem adalah barang atau jasa yang disediakan oleh ekosistem untuk manusia dan menjadi dasar untuk penilaian (valuation) suatu ekosistem (Hein et al., 2006). Ketersediaan jasa ekosistem sering bervariasi dengan berjalannya waktu dan ketersediaannya secara aktual dan potensial di masa depan harus menjadi bagian dari penilaian.

Pengertian dari jasa ekosistem adalah manfaat yang didapatkan oleh sesseorang dan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung dari keberadaan suatu ekosistem. Pengelolaan lahan, air, keanekaragaman jenis, dan sumberdaya hayati secara terpadu yang mendorong konservasi dan pemanfaatan yang berkelanjutan menjadi dasar untuk menjaga jasa ekosistem, termasuk dari jasa-jasa yang berperan dalam pengurangan risiko bencana (Millennium Ecosystem Assessment, 2013). MEA menggolongkan jasa ekosistem dalam empat kelompok yaitu jasa produksi, jasa pengaturan, jasa budaya dan jasa pendukung. Menurut Wunder (2005) menyatakan bahwa ekosistem menyediakan jasa lingkungan yang terdiri dari;

1. Jasa penyediaan (provisioning services) yaitu jasa lingkungan dalam menyediakan seperti sumber bahan makanan dan obat obatan alamiah. 2. Jasa pengaturan (regulating services) yaitu jasa lingkungan dalam

mengatur dan menjaga seperti kualitas udara,pengaturan iklim,pengaturan air dan kontrol erosi.

3. Jasa kultural (cultural services) yaitu jasa lingkungan yang terkait dengan identitas dan keragaman budaya, nilai-nilai religius dan spiritual, pengetahuan (tradisional dan formal), inspirasi dan nilai estetika, hubungan sosial, nilai peninggalan pustaka, rekreasi, dan lain sebagainya. 4. Jasa Pendukung (supporting services) yaitu jasa lingkungan dalam

(26)

2.4 Sistem Sosial-Ekologi

Sistem sosial-ekologi mencerminkan adanya keterpaduan yang sangat erat antara manusia (sistem sosial) dengan alam (sistem ekologi) (Cumming, 2011). Kunci dari sistem sosial-ekologi adalah aspek kooperatif, dimana individu yang memiliki beberapa sumberdaya yang diinvestasikan di beberapa jenis infrastruktur fisik atau kelembagaan. Sistem sosial-ekologi menurut Carpenter dan Folke (2006) dalam Adrianto (2009) mendefinisikan sistem sosial ekologi sebagai integrated system of nature and society with reciprocal feedbacks. Sedangkan menurut Anderies et al. (2004) menyebutkan bahwa sistem sosial-ekologi adalah sistem ekologi yang berhubungan erat dan terpengaruh oleh satu atau lebih sistem sosial. Sistem sosial dan ekologi mengandung unit yang saling bergantung dan berinteraksi antara satu sama lain yang melibatkan berbagai subsistem.

Konsep sistem sosial-ekologi menunjukkan adanya pemanfaatan yang dilakukan oleh sistem sosial terhadap sistem ekologi. Ketika ada pemanfaatan akan suatu sumberdaya alam maka mutlak diperlukan pengelolaan terkait pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya. Hal ini bertujuan untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya alam serta pemanfaatannya oleh sistem sosial. Pengelolaan ini bertujuan mencegah hilangnya sumberdaya alam (sistem ekologi) yang kemungkinan besar dapat menjadi penyebab runtuhnya sistem sosial terkait. Kompleksitas yang dimiliki oleh sistem sosial-ekologi memerlukan strategi pengelolaan yang siap menjawab teka-teki sistem tersebut, yaitu pengelolaan yang adaptif (Parsram, 2008).

Ekosistem Lamun sebagai wujud dari salah satu sistem ekologi sering kali menjadi hal yang terlupakan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Keberadaannya yang dulu dianggap sebelah mata kini telah mulai diperhatikan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, antara lain konsep yang tidak menganggap setiap sumberdaya sebagai individu tunggal namun sebagai sebuah penyusun pesisir. Ekosistem lamun juga memiliki peranan penting dalam menyediakan sumber protein yang baik bagi masyarakat. Daerah Zanzibar, Tanzania masyarakat pesisir mengumpulkan hewan invertebrata dari hamparan lamun di zona pasang surut untuk memenuhi kebutuhan harian. Gambaran secara penuh mengenai sistem ini perlu diketahui, maka harus melihat ekosistem lamun sebagai bagian dari sebuah sistem sosial-ekologi. Bisa dipahami bahwa elemen manusia dan elemen lamun akan berubah bersama sesuai dengan kaidah berpasangan dalam framework sosial-ekologi (coupled socio-ecological framework) (Nadiarti et al., 2011, Cullen-Unsworth et al., 2013).

(27)

2.5 Konektivitas Sosial-Ekologi

Komponen sistem-ekologi dan interaksi keduanya dalam perikanan merupakan salah satu sistem yang komplek. Menurut Parsram (2008) menyatakan di Granada dan St Lucia dalam sistem yang komplek menjelaskan bahwa terdapat konektivitas antara sistem sosial dan sistem ekologi. Terdapat kegiatan penangkapan, pendaratan ikan dan pemasaran hasil tangkapan dari pemanfaatan terhadap keberadaan sumberdaya perikanan untuk pelagis besar dan ikan karang dangkal dalam perikanan skala kecil. Dalam tata kelola keberlanjutan perikanan skala kecil oleh stakeholder harus diperhatikan bagaimana sistem sosial-ekologi sebagai salah satu sistem yang kompleks terkait dengan konektivitas antara komponen keduanya. Damayanti (2011) juga menjelaskan bahwa konektivitas sistem sosial-ekologi sangat penting diketahui dalam pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Hal ini dijelaskan karena pemanfaatan dengan adanya sistem ekologi apabila tidak diimbangi dengan pelestariaan sumberdaya (konservasi) akan menyebabkan kerusakan dari ekosistem pesisir tersebut. Perubahan dari sistem ekologi akan mempengaruhi sistem sosial, begitu juga sebaliknya.

Salah satu contoh dalam konteks pengelolaan ekosistem lamun, konektivitas dari sosial-ekologi sistem sangat penting mengingat karakteristik dan dinamika ekosistem lamun merupakan dinamika saling terkait antara sistem alam dan sistem manusia sehingga kedua sistem utama penyusun kawasan lamun ini bergerak dinamis dalam sebuah kesamaan besaran (magnitude). Pandangannya bahwa kedua sistem bersifat saling terkait secara tidak terpisahkan dan dinamik sehingga diperlukan integrasi pengetahuan dalam implementasi pengelolaan ekosistem lamun secara terpadu (Cumming et al., 2011). Konsep dari konektivitas SES menurut Davidson-Hunt dan Barker (2003) menjelaskan bahwa hubungan yang baik dari sifat sistem sosial, sistem ekologi, atau dari campuran keduanya dapat memberikan suatu keterkaitan dan ketergantungan baik dari komponen ekologi ataupun dari komponen sosial. Aktivitas dari manusia dapat membuat terjadinya konektivitas dengan sistem ekologi, sehingga dapat terjadi suatu sistem jaringan sosial-ekologi yang saling mempengaruhi. Sistem sosial dapat terjadi konektivitas dengan sistem ekologi di wilayah pesisir khususnya melalui kegiatan nelayan skala kecil yang memanfaatkan sumberdaya perikanan pelagis besar dan ikan-ikan karang dangkal di Timur Karibia dan hasil penelitian Torre-Castro et al. (2014) tentang pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berasosiasi dengan ekosistem lamun oleh perikanan skala kecil seperti yang ada di Tanzania.

(28)

modal buatan manusia berupa modal fisik dan sosial. Secara diagramatik, hubungan antar 4 komponen tersebut disajikan pada Gambar 3 berikut ini.

Gambar 3. Model Konseptual Sistem Sosial-Ekologi dalam Kawasan Ekosistem Lamun (Modifikasi dari Anderies et al., 2004).

Aktivitas dari manusia dapat menciptakan jaringan sosial-ekologi dengan menghubungkan proses ekologi sehingga sistem ekologi yang bebas menjadi terhubung oleh aktivitas manusia. Salah satu contohnya yaitu dimana ada nelayan yang memancing pada danau yang berbeda akan mentransfer spesies invasive melalui perahu yang diangkut dari satu danau ke danau lain, tentu saja danau tersebut menjadi terhubungkan secara ekologi. Pada sisi yang lainnya hubungan antara sosial dapat diciptakan melalui hubungan ekologi, seperti sungai yang menghubungkan orang dari hulu ke hilir (Damayanti, 2011).

2.6 Karakteristik Perikanan Skala Kecil

(29)

cukup luas. Pengelompokannya bisa didasarkan atas ukuran kapal atau besarnya tenaga, tipe alat tangkap, dan jarak daerah penangkapan dari pantai (Smith, 1983).

Menurut Charles (2001) menyatakan bahwa skala usaha perikanan dapat dilihat dari berbagai aspek, diantaranya berdasarkan ukuran kapal yang dioperasikan, berdasarkan daerah penangkapan, yaitu jarak dari pantai ke lokasi penangkapan dan berdasarkan tujuan produksinya. Pengelompokan tersebut dilakukan melalui perbandingan perikanan skala kecil (small-scale fisheries) dengan perikanan skala besar (large-scale fisheries), walaupun diakuinya belum begitu jelas sehingga masih perlu dilihat dari berbagai aspek yang lebih spesifik. Lebih spesifik lagi karakteristik perikanan skala kecil diungkapkan oleh Smith (1983) menyatakan bahwa skala usaha perikanan dapat dilihat dengan cara membandingkan perikanan berdasarkan situasi technico-socio-economic nelayan dan membaginya ke dalam dua golongan besar yaitu nelayan industri dan tradisional.

Perikanan skala kecil di Indonesia merupakan kontributor terbesar terhadap produksi perikanan. Bahkan bisa mencapai 85% tenaga yang bergerak di sektor penangkapan ikan masih merupakan nelayan tradisional dan sangat jauh tertinggal dari nelayan negara lain (Charles, 2001). Lebih lanjut dikatakan bahwa salah satu titik strategis dari penyebab utama kemiskinan dan ketidakberdayaan nelayan adalah lemahnya kemampuan manajemen usaha. Hal ini juga terjadi karena rendahnya pendidikan dan penguasaan ketrampilan bidang perikanan. Oleh karena itu pemberdayaan sumberdaya perikanan laut sudah semestinya dilakukan melalui pendekatan dengan nelayan, antara lain dengan melakukan pemberdayaan kepada kelompok nelayan kecil agar mereka dapat mengorganisasikan kegiatan usahanya. Perikanan tradisional menurut Baerkes et al. (2001) adalah diantaranya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Kegiatan dilakukan dengan unit penangkapan skala kecil, kadang – kadang menggunakan perahu bermesin atau tidak sama sekali.

2) Aktivitas penangkapan merupakan paruh waktu, dan pendapatan keluarga adakalanya ditambah dari pendapatan lain dari kegiatan di luar penangkapan. 3) Kapal dan alat tangkap biasanya dioperasikan sendiri.

4) Alat tangkap dibuat sendiri dan dioperasikan tanpa bantuan mesin.

5) Investasi rendah dengan modal pinjaman dan penampungan hasil tangkapan. 6) Hasil tangkapan per unit usaha dan produktivitas pada level sedang sampai

sangat rendah.

7) Hasil tangkapan tidak dijual kepada pasar besar yang terorganisasi dengan baiuk tapi diedarkan di tempat – tempat pendaratan atau dijual di laut dan biasanya dikonsumsi sendiri dengan keluarganya.

8) Komunitas nelayan tradisional sringkali terisolasi baik secara geografis maupun sosial dengan standar hidup keluarga nelayan yang rendah sampai batas minimal.

(30)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian tentang studi konektivitas sistem sosial-ekologi lamun dan perikanan skala kecil ini dilakukan di Daerah Perlindungan Padang Lamun Desa Malang Rapat dan Desa Berakit, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau (Gambar 4). Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu dari tanggal 22 September sampai dengan 22 November 2014. Unit analysis dalam penelitian ini yaitu nelayan skala kecil di Desa Berakit dan Desa Malat Rapat. Pengamatan untuk sistem sosial dilakukan di kedua desa tepatnya di tempat pendaratan hasil tangkapan dan tempat penjualan hasil tangkapan para nelayan yaitu di pedagang pengepul. Sedangkan untuk lokasi pengamatan sistem ekologi yaitu dilakukan di tempat penangkapan ikan (fishing ground) dan sampling jenis ikan diperiaran ekosistem lamun pada kedua desa penelitian. Kedua desa tersebut merupakan bagian dari pesisir timur Kabupaten Bintan yang merupakan salah satu bentuk percontohan pengelolaan lamun berbasis masyarkat sejak tahun 2008 yang dibentuk oleh LIPI.

Gambar 4. Lokasi Penelitian. (BAPPEDA, Kabupaten Bintan, 2013) Sampling Ekologi

(31)

3.2 Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer untuk sistem ekologi dilakukan dengan metode observasi melalui pengamatan dan pengukuran langsung (in-situ). Pengambilan data primer untuk sistem sosial dilakukan dengan metode wawancara dengan daftar pertanyaan terstruktur (kuisionner). Pengumpulan data sekunder didapat dari sumber-sumber atau pustaka yang relevan dengan penelitian ini. Sumber-sumber data sekunder dipilih secara struktural dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten (kota), provinsi hingga pusat dengan beragam institusi yang terkait dengan tujuan penelitian seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan, BAPPEDA, selain itu dengan studi literatur pada penelitian yang terkait. Responden yang dipilih dalam pengambilan data primer ditunjuk secara permanen (permanent respondents). Matriks dari jenis data, sumber data dan analisis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

3.3 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi alat dan bahan yang dibutuhkan untuk mengukur data ekologi dan data sosial tersaji dalam Tabel 1.

Tabel 1. Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Penelitian

No. Alat dan Bahan Kegunaan

Buku Identifikasi Gerry Allen, 1997

3.4 Tahapan Penelitian dan Penentuan Unit Responden

(32)

Gambar 5. Dalam pemastian jenis sumberdaya perikanan yang dimanfaatkan nelayan di ekosistem lamun dengan menggunakan metode memasang Trammel Net dan Gill Net (Unsworth et al., 2007).

Sampling Ekologi

Sampling Sosial

Gambar 5. Tahapan Pengumpulan Data Penelitian. Keterangan:

NBj = Nelayan Berakit Jermal NMRja= Nelayan Malang Rapat Jaring NBja = Nelayan Berakit Jaring NMRp = Nelayan Malang Rapat Pancing NBp = Nelayan Berakit Pancing NMRb = Nelayan Malang Rapat Bubu NBb = Nelayan Berakit Bubu

(33)

Tabel 2. Matriks Jenis Data, Sumber Data dan Data Analisis

Sumber: Modifikasi Torre-Castro et al. (2014);

*) Analisis data dijelaskan pada sub-bab analisis data (halaman 25)

(34)

3.5 Metode Pengumpulan Data Primer

Metode dalam pengumpulan data ini dibagi menjadi dua yaitu data untuk sistem sosial dan sistem ekologi. Metode pengumpulan data sosial dilakukan dengan wawancara dengan instrumen kuisioner dengan daftar pertanyaan terstruktur, sedangkan untuk pengumpulan data ekologi dilakukan dengan sampling lapangan observasi langsung di lokasi penelitian. Sampling frame sosial dan ekologi dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Dimana sampling frame sosial (Gambar 6) ini menggambarkan penentuan responden yaitu tipe nelayan berdasarkan alat tangkap yang digunakan, sedangkan untuk sampling frame ekologi (Gambar 7) menggambarkan lokasi pemasangan Trammel Net dan Gill Net untuk memastikan jenis ikan yang ditangkap oleh nelayan di lokasi penelitian.

Penelitian yang dilakukan meliputi dari sistem ekologi dan sistem sosial. Berikut adalah gambar dan beberapa metode dalam pengumpulan data, baik untuk data sosial ataupun data ekologi yang dilakukan dalam penelitian Studi Konektivitas Sistem Sosial-Ekologi Lamun dan Perikanan Skala Kecil di lokasi penelitian meliputi: Wawancara, Pengumpulan Data Peta Sebaran dan Jaringan SES dalam Perikanan Skala Kecil, Pengumpulan Data Hasil Tangkapan dan Jenis Ikan, Pendapatan Nelayan dan Persepsi Nelayan.

(35)

Gambar 7. Sampling Frame Jenis Ikan (sistem ekologi).

Wawancara

Metode wawancara dilakukan dengan bantuan daftar pertanyaan terstruktur atau kuisioner (Lampiran 8). Wawancara dibagi menjadi dua, yaitu wawancara terhadap nelayan dan pedagang pengepul (tauke) di Desa Malang Rapat dan Desa Berakit, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau.

Pengumpulan Data Peta Sebaran dan Jaringan SES Perikanan Skala Kecil

Pengumpulan data peta jaringan pemasaran dan dinamika pemanfaatan sumberdaya perikanan ekosistem lamun oleh nelayan diperoleh melalui observasi secara langsung dengan nelayan di lokasi penelitian yang dipilih yaitu Desa Berakit dan Malang Rapat. Untuk pengambilan data peta sebaran daerah tangkapan (fishing ground) perikanan skala kecil dengan pendekatan deliniasi untuk mengeksplorasi sebaran tangkapan dari perikanan skala kecil kaitannya dengan pemanfaatan jasa ekosistem lamun dengan teknik observasi langsung di lapangan dan ada beberapa hasil wawancara (participatory fishing ground mapping) dalam melakukan pemetaan sistem sosial-ekologi (Modifikasi metode Torre-Castro et al., 2014; Parsram, 2008).

(36)

titik yang ditentukan posisinya bisa diam (statis) atau bergerak (kinematik); dan (2) ketelitian posisi berkisar antara 5 sampai 10 meter. Berikut adalah diagram alir pengambilan data peta sebaran dan jaringan SES dapat dilihat pada Gambar dibawah ini.

+

Gambar 8. Diagram Alir Pengambilan Data Peta Sebaran Perikanan Skala Kecil.

Gambar 9. Diagram Alir Pengambilan Data Peta Jaringan Dinamika Tangkapan.

Gambar 10. Diagram Alir Pengambilan Data Peta Jaringan Pemasaran.

Pengumpulan Data Hasil Tangkapan dan Jenis Ikan

Pengumpulan data ikan yang berasosiasi dengan ekosistem lamun yaitu dengan melihat hasil tangkapan yang didaratkan oleh nelayan yang menangkap ikan di sekitar ekosistem lamun. Untuk pencatatan hasil tangkapan yang didaratkan oleh nelayan dilakukan di tempat ikan dijual kepada pedagang pengepul ikan/tauke. Semua data hasil tangkapan nelayan di Desa Berakit dan Malang Rapat dicatat dari penjualannya kepada pedagang pengepul (tauke) secara berkala dan difoto untuk informasi yang di back-up (Torre-Castro et al., 2014). Untuk pemastian jenis sumberdaya perikanan dari hasil tangkapan nelayan di daerah ekosistem lamun yaitu dengan metode memasang Trammel Net dan Gill Net (Unsworth et al., 2007), kemudian biota dan beberapa jenis ikan yang tertangkap difoto dan diidentifikasi untuk pemastian hasil tangkapan nelayan di ekosistem lamun. Identifikasi dilakukan berdasarkan buku panduan identifikasi biota dan jenis ikan Gerry Allen (1997). Berikut ini dapat dilihat gambar diagramalir pengambilan data produksi jenis ikan.

(37)

Gambar 12. Diagram Alir Pemastian Jenis Ikan yang Tertangkap.

Pengumpulan Data Pendapatan dan Persepsi Masyarakat

Pengumpulan data primer untuk pendapatan dari nelayan dan persepsi masyarakat yaitu dengan cara melakukan wawancara dengan menggunakan bantuan daftar pertanyaan terstruktur (kuisioner), selain itu untuk mendapatkan data pendapatan nelayan dilakukan pencatatan hasil penjualan tangkapan mereka kepada pedagang pengepul (tauke) secara berkala dan hasilnya kemudian dirata-rata. Pengambilan data dilaukan dengan menunjuk sebanyak 15 responden dari informasi tipe nelayan dan pedagang pengepul yang ditunjuk secara permanen (permanent respondents) untuk pengambilan data presepsi masyarakat di setiap desa (Torre-Castro et al., 2014). Dalam hal ini yang menjadi pertimbangan adalah responden nelayan yang memanfaatkan ekosistem lamun dalam melakukan penangkapan hasil perikanan. Informasi yang dikumpulkan yaitu mengenai pemahaman atau persepsi nelayan tentang manfaat dari keberadaannya ekosistem lamun. Berikut ini adalah diagram alir dari pengumpulan data pendapatn dan persepsi nelayan dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Diagram Alir Pengumpulan Data Pendapatan dan Persepsi Nelayan.

3.6 Pengumpulan Data Sekunder

(38)

3.7 Analisis Data

Analisis Peta Sebaran dan Jaringan SES Perikanan Skala Kecil

Analisis peta sebaran dan jaringan SES dalam perikanan skala kecil dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak sistem informasi geografis (SIG) dengan softwere ArcGIS. Tujuan dari analisis ini yaitu dapat memetakan konektivitas sosial-ekologi sistem yang terjadi dalam perspektif jaringan SES antara sistem ekologi lamun dengan aktivitas nelayan (sistem sosial). SIG digunakan untuk merubah data peta dan memasukkan titik koordinat dari tangkapan nelayan menjadi data polygon, line, dan point (data raster ke vektor).

Hasil analisis spasial akan didapatkan titik-titik penangkapan dari nelayan lokal dalam memanfaatkan ekosistem lamun dari data titik koordinat yang didapat dari GPS. Setelah didapatkan hasil overlay ditarik garis dari setiap titik yang didapat pada peta untuk hasil sebaran hasil tangkapan. Kemudian peta jaringan pemasaran dan dinamika perikanan skala kecil dijelaskan secara deskriptif dari hasil peta lokasi penangkapan digunakan untuk menggambarkan spasial dinamika dan pemasaran hasil tangkapan nelayan lokal dengan jaringan garis (line) yang menghubungkan keterkaitan antara satu dengan yang lain (Torre-Castro et al., 2014; Parsram, 2008). Selain itu ada beberapa pemetaan dengan menggunakan participatory fishing ground mapping dengan nelayan. Berikut ini diagram analisis spasial perikanan skala kecil dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Diagram Analisis Peta Jaringan dan Sebaran Tangkapan Perikanan Skala Kecil.

Pengumpulan Data

1. Data Dasar 2. Data Tematik Data SHP file Ekosistem lamun Kabupaten Bintan Titik tangkapan

(Titik Koordinat dari GPS)

Overlay dari program ArcGIS

Peta Sebaran Tangkapan dan Peta Jaringan SES-SSF

(39)

Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif dalam penelitian ini sama dengan yang analisis data yang digunakan oleh Damayanti (2011), yang menyebutkan bahwa analisis deskriptif ini digunakan untuk memberikan deskripsi suatu hasil pengamatan atau penelitian. Tujuan dari analisis ini yaitu dapat digunakan untuk mendeskriptifkan bagaimana pola konektivitas sosial-ekologi yang terjadi di lokasi penelitian. Data yang dianalisis dari penelitian ini berupa data kuantitatif. Sedangkan untuk penyajian data penelitian berupa gambar, grafik histogram dan penjelasan secara kualitatif dari gambar peta yang telah diolah sebelumnya. Bentuk dari analisis deskripsi ini dipilih sesuai dengan keperluan analisis agar tujuan dari penelitian ini dapat tercapai dan tersampaikan.

Analisis Komposisi Jenis Ikan

Hasil sampling jenis dari tangkapan baik dari perangkap Trammel Net dan Gill Net maupun dari hasil tangkapan nelayan dari Desa Berakit dan Malang Rapat kemudian dianalisis untuk mengetahui jenis sumberdaya perikanan dan hasil tangkapan nelayan. Analisis ini dapat mengetahui bagaimana komposisi jenis ikan yang berasosiasi dengan ekosistem lamun (sistem ekologi) dengan keterkaitan hasil tangkapan nelayan yang dapat menunjang mata pencaharian nelayan di lokasi penelitian. Komposisi jenis ini dapat diperoleh dari data berat tangkapan dan jumlah spesies yang diperoleh dari stasiun pengamatan. Sedangkan untuk perhitungan komposisi jenis dari ikan yang tertangkap dan dimanfaatkan oleh nelayan dilakukan perhitungan prosentase jumlahnya. Persamaan yang digunakan adalah formulasi metode Torre-Castro et al. (2014):

x100%

N ni

Ks

Dimana :

Ks = Komposisi Jenis (Spesies) ni = Jumlah dari individu spesies ke-i

N = Jumlah total individu semua spesies yang tertangkap

Analisis Struktur Komunitas Jenis Ikan

Analisis struktur komunitas jenis ikan karang dibagi menjadi indeks

keanekaragamaan (H’), indeks keseragaman (E), dan indeks dominasi (C). Tujuan dilakukan analisis ini yaitu dapat berfungsi sebagai pengetahuan tentang peran ekologi dari keberadaan ekosistem lamun bagi sumberdaya perikanan yang berasosiasi dengan ekosistem lamun. Hal tersebut terkait juga dalam menunjang mata pencaharian nelayan skala kecil dan upaya pengelolaan terhadap ekosistem lamun secara berkelanjutan. Perhitungan keanekaragaman ikan lamun dilakukan dengan menggunakan indeks Shannon- Wiener (H’) dengan rumus sebagai berikut (Krebs 1972 dalam Latuconsina et al., 2012):

(40)

Dimana, H’ adalah indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, pi adalah perbandingan jumlah ikan lamun spesies ke-i (ni) terhadap jumlah total (N) = ni/ N. Perhitungan indeks keseragaman ikan lamun dilakukan dengan rumus :

max

Dimana, E adalah indeks keseragaman, Hadalah keseimbangan spesies, Hmax adalah indeks keanekaragaman maksimum yaitu = ln S, dan S adalah jumlah total spesies. Perhitungan indeks dominasi diperlukan untuk mengetahui tingkat dominasi suatu spesies ikan di perairan. Indeks dominasi Simpson (C) diperoleh analisis data untuk jenis ikan dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Diagram Alir Analisis Data Pengelompokan Jenis Ikan Lamun.

Analisis Distribusi Frekuensi

Hasil dari tangkapan nelayan dari Desa Berakit dan Malang Rapat kemudian dianalisis sesuai dengan metode Damayanti (2011) untuk mengetahui hasil tangkapan berdasarkan jenis alat tangkap dan persepsi tentang nelayan terhadap manfaat dari keberadaan ekosistem lamun sebagai jasa ekosistem (ecosystem services) yang didapat dari nelayan lokal. Tujuan dari analisis ini yaitu dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana pandangan dari para nelayan yang telah memanfatkan keberadaan ekosistem lamun dalam menunjang mata pencaharian mereka, sehingga dengan demikian dapat tergambar secara baik manfaat lamun dalam pengelolaan ekosistem lamun yang berkelanjutan.

(41)

Gambar 16. Diagram Analisis Distribusi Frekuensi.

Analisis Data Pendapatan

Data yang terkumpul diolah dengan menggunakan softwere MS Excel, selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan gambaran pendapatan usaha perikanan tangkap yang dijalankan oleh nelayan di lokasi penelitian. Analisis pendapatan dari penangkapan dilakukan untuk mengetahui keuntungan per hari yang diperoleh nelayan berdasarkan jenis alat tangkap. Keuntungan ini didapat berdasarkan nilai penjualan nelayan ke pengepul dari suatu jumlah hasil produksi. Dengan demikian secara umum akan dapat tergambar besaran manfaat yang dapat diterima dengan keberadaan ekosistem lamun dalam menunjang mata pencaharian nelayan skala kecil di lokasi penelitian. Perkiraan keuntungan secara ekonomi diperkirakan melalui perhitungan pendapatan NFR (Net Fishing Revenue), dengan persamaan yang diformulasi dari pendapat Torre-Castro et al., (2014) berikut:

NFRij = Bij − Cij Dimana :

B = Benefit (keuntungan yang diterima dari hasil penjualan nelayan kepada pedagang pengepul sekali melaut)

C = Cost (Biaya yang dikeluarkan nelayan pada saat sekali melaut) NFR = Net Fishing Revenue (Pendapatan bersih dari hasil tangkapan ikan) i = Responden (i= 1, ..., n)

j = Desa (j= 1, 2)

Analisis Data Sekunder

Data sekunder yang didapat dari sumber-sumber yang relevan kemudian dianalisis dengan menggunakan anaisis deskriptif. Analisis ini digunakan untuk menggambarkan kondisi dan karakteristik lokasi penelitian. Beberapa data yang dianalisis berupa data kependudukan, umur, pendidikan, dan keadaan umum ekosistem pesisir lokasi penelitian. Penyajian hasil analisis data sekunder pada penelitian ini dijelaskan dalam bentuk diagram, pie chart, dan secara kualitatif.

Pengumpulan

data lapangan Pengelompokan data persepsi Analisis data

Penyajian data (Grafik)

(42)

IV. SISTEM SOSIAL-EKOLOGI LOKASI PENELITIAN

4.1. Administrasi Kabupaten Bintan

Kabupaten Bintan merupakan salah satu gugus Kepulauan Riau dan ibukota Provinsi Kepulauan Riau dalam hal ini terletak di pulau yang luasnya mencapai 13.903,75 km2 atau sekitar 11,4% dari total luas seluruh wilayah daratan di Provinsi Kepulauan Riau ini. Gugus Kabupaten Bintan, secara administratif dibagi menjadi dua wilayah, yaitu Kabupaten Bintan dan Kota Tanjung Pinang (Damayanti, 2011). Secara geografis gugus Kabupaten Bintan terletak pada

104º00’BT-104º53’BT dan 04º0’LU-11º5’LU, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

- Sebelah Utara : Selat Malaka - Sebelah Selatan : Provinsi Jambi

- Sebelah Timur : Selat Karimata dan Laut Cina Selatan - Sebelah Barat : Provinsi Riau

Secara administratif, Kabupaten Bintan terbagi menjadi 10 kecamatan (Damayanti, 2011), yaitu:

Kabupaten Bintan merupakan wilayah kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau yang wilayahnya memiiki potensi pesisir dan pulau-pulau kecil yang cukup besar. Wilayah Kabupaten Bintan tercatat seluas 87.777,84 km2, yang mana luas daratannya ±1.319,51 km2 atau sekitar 1,49% dari total seluruh luas Kabupaten Bintan dan luas lautannya ± 86.458,33 km2 atau 98,51% dari total seluruh luas Kabupaten Bintan (Damayanti, 2011). Daratan Kabupaten Bintan terdiri dari 240 buah pulau yang menyebar di perairan laut Natuna (Laut Cina Selatan) dengan pulau berpenghuni sebanyak 49 pulau, pulau kosong 191 pulau, pulau bernama 190 pulau dan yang belum diberi nama sebanyak 50 pulau (Damayanti, 2011).

(43)

Gambar 17. Luas Wilayah Desa di Kecamatan Gunung Kijang (Km2) (Sumber: Damayanti, 2011)

Sedangkan kecamatan Teluk Sebong merupakan pemekaran dari wilayah Kecamatan Bintan Utara. Daerah Kecamatan Teluk Sebong merupakan daerah yang berbukit-bukit dan ada wilayah yang terletak di pinggir pantai atau pesisir. Teluk Sebong letaknya diapit oleh 4 (empat) kecamatan dan satu wilayah perairan Internasional, sebelah utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan, Kabupaten Natuna, dan Selat Malaka; Selatan: Kecamatan Teluk Bintan; Barat: Kecamatan Bintan Utara; Timur: Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan Topaya. Kecamatan Teluk Sebong terdiri dari beberapa pulau yaitu Pulau Bintan, Pulau Sumpat dan Pulau Angka. Luas wilayah Kecamatan Teluk Sebong mencapai 337,65 Km2. Desa Berakit merupakan desa terjauh dari ibu kota kecamatan. Kecamatan Teluk Sebong secara administratif terdiri atas 7 (tujuh) kelurahan (desa), nama-nama kelurahan (desa) dan luasannya selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 18 (BPS Seri Kuala Lobam Dalam Angka, 2013).

Gambar

Gambar 4. Lokasi Penelitian.
Gambar 5. Tahapan Pengumpulan Data Penelitian.
Tabel 2. Matriks Jenis Data, Sumber Data dan Data Analisis
Gambar 6. Sampling Frame Sosial.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam tahap pengumpulan data peneliti melakukan beberapa kegiatan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian.. Ada tiga

Problem-problem yang muncul dalam proses penyesuaian sosial pada mahasiswa pendatang yang melanjutkan studi di Yogyakarta……….. Alat pengumpulan data dan

Pada tahap ini ada beberapa hal penting yang perlu dilakukan dalam pembuatan sistem inventory ini yaitu pengumpulan data untuk menggali informasi yang dibutuhkan

Pengumpulan data dilakukan dengan data observasi, wawancara kepada sejumlah informan, dokumentasi.Teknis analisis data dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu reduksi

Responden diambil berdasarkan hasil studi pendahu- luan untuk mengetahui terdapat siswa yang memiliki keterbatasan dalam mendengar (tu- narungu). Pengumpulan data dilakukan

Dengan metode ini penulis berharap bisa mendapatkan informasi data dan hasil analisis yang mendalam tentang “Peran Modal Sosial Dalam Kearifan Lokal Sasi” (Studi

7 Jenis Data Primer dalam penelitian ini adalah pengalaman dari subyek penelitian yaitu informan dari pihak Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Kediri dan beberapa pihak

III.2 Diagram Alir Penelitian Adapun diagram alir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Studi Literatur Pengumpulan Data Citra Landsat 8 Tahun 2013, 2017 dan 2020