• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG ANGKE KAPUK

DWI AGUS SASONGKO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini, saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Dwi Agus Sasongko

(4)

RINGKASAN

DWI AGUS SASONGKO. Strategi Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk. Dibimbing oleh CECEP KUSMANA dan HIKMAT RAMDAN.

Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK), yang merupakan formasi mangrove memiliki fungsi penting dalam memberi daya dukung terhadap lingkungan. Fungsi penting HLAK ditegaskan statusnya sebagai bagian tata ruang DKI Jakarta yang dipertahankan dan wajib dilindungi. Kondisi terkini kawasan yang semakin terancam keberadaannya memerlukan langkah strategis pengelolaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis faktor internal – eksternal HLAK; mengindentifikasi dan menganalisis stakeholder HLAK; dan menyusun strategi pengelolaan HLAK.

Matriks Evaluasi Faktor Internal (EFI) dan Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) digunakan untuk menganalisis faktor internal dan eksternal HLAK. Stakeholder Grid digunakan untuk menganalisis stakeholder HLAK. Adapun strategi pengelolaan HLAK disusun menggunakan Matriks Strength Weakness Opportunity Treath (SWOT) dan diurutkan prioritasnya menggunakan Teknik Quantitive Strategic Planning Matrix (QSPM).

Stakeholder HLAK terbagi dalam empat kategori. Keempat kategori tersebut adalah player, actor, bystander, dan subject. Player terdiri dari Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Entitas PIK, PT Murindra Karya Lestari, PT Kapuk Naga Indah, dan masyarakat. Lembaga Swadaya Masyarakat dikategorikan sebagai actor. Akademisi dikategorikan sebagai subject. Bystander terdiri dari Badan Usaha Milik Negara dan kelompok swasta lain.

Evaluasi Faktor Internal pengelolaan HLAK mempunyai skor 2.15. Skor ini mengindikasikan bahwa HLAK belum mendapatkan manfaat maksimal dari kekuatan yang dimilikinya. Di sisi lain, HLAK masih sangat terpengaruh oleh kelemahan yang dimilikinya. Evaluasi Faktor Eksternal menunjukkan skor 2.20. Hal ini berarti bahwa HLAK belum memperoleh keuntungan maksimal dari peluang yang ada. Kondisi demikian juga berarti HLAK masih lemah dalam menghadapi dinamika lingkungan eksternalnya. Perumusan strategi pengelolaan HLAK menghasilkan delapan alternatif strategi. Rehabilitasi ekosistem mangrove menjadi prioritas utama dari strategi pengelolaan yang diusulkan.

(5)

SUMMARY

DWI AGUS SASONGKO. Management Strategy of Angke Kapuk Protection Forest. Supervised by CECEP KUSMANA and HIKMAT RAMDAN.

Angke Kapuk Protection Forest (AKPF) which is formed by mangroves has many important benefits for environment. AKPF, as implied in Master Plan of Jakarta City (RTRW DKI Jakarta) serve as a guarded and protected area. AKPF condition which is more threatened, needs strategic policy in management. Accordingly, this research was aimed to identify and analyze internal-external factors of AKPF, AKPF stakeholders, and to make arrangement of AKPF management strategies.

Internal Factor Evaluation (IFE) and External Factor Evaluation (EFE) are used for identifying and analyzing AKPF internal-external factors. Stakeholder Grid was applied to identify the stakeholders’ role. Strength Weakness Opportunity Treath (SWOT) Matrix and Quantitive Strategic Planning Matrix (QSPM) are used for arranging management strategies and its priority.

AKPF has four stakeholder categories. They are players, bystanders, actors, and subjects. Players consist of Department of Maritime and Agriculture of Jakarta Capital City, Board of Environmental Management of Jakarta Capital City, Ministry of Forestry, Ministry of Environment, Ministry of Maritime Affairs and Fisheries, Pantai Indah Kapuk entities, PT Murindra karya Lestari, PT Kapuk Naga Indah, and public. Bystanders consist of State Enterprises (BUMN) and other private sectors. Non Government Organizations was categorized as actor. Last, academic community was categorized as subject.

AKPF internal factors are strengths and weaknesses. AKPF external factors are opportunities and threats. Evaluation result shows, that AKPF internal factors have a score of 2.15. AKPF has not fully received the benefits for its strength. On the other hand, AKPF is greatly influenced by its weakness. AKPF external factors have a score of 2.20. According to the score, AKPF has not received benefits from the various opportunities that exist. On the other hand, AKPF is still weak in the face of dynamic external environment. There are eight management strategies for AKPF, in which mangrove rehabilitation is the main priority.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG ANGKE KAPUK

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(8)
(9)

Judul Tesis : Strategi Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk Nama : Dwi Agus Sasongko

NIM : P052100211

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS Ketua

Dr Ir Hikmat Ramdan, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Alhamdulillahi robbil ‘alamin, atas izinNya karya ilmiah berjudul “Strategi Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk” telah berhasil diselesaikan. Terima kasih diucapkan kepada Komisi Pembimbing (Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS dan Dr Ir Hikmat Ramdan, MSi), Penguji Tesis (Dr Ir Nyoto Santoso, MS), serta semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.

Karya ini tidak lepas dari dukungan istri (Into Wahyu Arum), anak-anak tercinta (Faizan Muhammad Rauf dan Daffa Muhammad Aqil), serta kedua pasang orang tua atas segala doa dan jerih payahnya.

Semoga karya yang jauh dari kesempurnaan ini dapat memberikan kebaikan dan manfaat bagi semua.

Bogor, Juli 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ii

DAFTAR GAMBAR ii

DAFTAR LAMPIRAN ii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Kerangka Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Hutan Lindung 3

Pengelolaan Hutan Lindung 4

Analisis Stakeholder 5

Perencanaan Strategis 6

Strength Weakness Opportunity Treath (SWOT) 7

Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) 7

3 METODE 8

Lokasi dan Waktu Penelitian 8

Jenis dan Sumber Data 9

Metode Analisis Data 9

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal Hutan Lindung Angke Kapuk 12 Analisis Stakeholder Hutan Lindung Angke Kapuk 21 Strategi Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk 30

SIMPULAN 50

DAFTAR PUSTAKA 50

LAMPIRAN 54

(12)

DAFTAR TABEL

1 Matriks Evaluasi Faktor Internal 10

2 Matriks Evaluasi Faktor Eksternal 10

3 Interpretasi Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder 10

4 Matriks SWOT 12

5 Quantitative Strategic Planning Matrix 12 6 Status Indeks Pencemar Sungai di DKI Jakarta Tahun 2011 16 7 Evaluasi Faktor Internal (EFI) Hutan Lindung Angke Kapuk 19 8 Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) Hutan Lindung Angke Kapuk 19 9 Identifikasi Stakeholder pada Pengelolaan HLAK 21

10 Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder HLAK 22

11 Kriteria dan Indikator Prasyarat Pengelolaan Hutan Lindung Lestari 30 12 Kriteria dan Indikator Fungsi Ekologis dan Tata Air pada Pengelolaan

Hutan Lindung Lestari 31

13 Kriteria dan Indikator Sosial Ekonomi pada Pengelolaan Hutan

Lindung Lestari 32

14 Strategi Prioritas Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk 34 15 Kondisi DAS di DKI Jakarta yang Berhubungan dengan Kawasan

HLAK 35

16 Pola Reproduksi dan Masa Panen Spesies Mangrove 36 17 Hubungan Antara Salinitas, Kelas Penggenangan, dan Sebaran

Mangrove di Indonesia 37

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran Penelitian 3

2 Lokasi Penelitian di Hutan Lindung Angke Kapuk 8

3 Stakeholder Grid 11

4 Stakeholder Grid Hutan Lindung Angke Kapuk 22 5 Matriks SWOT Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk 33

DAFTAR LAMPIRAN

1 Penilaian Kepentingan Stakeholder HLAK 54

2 Penilaian Pengaruh Stakeholder HLAK 54

3 Rekapitulasi Hasil Quantitive Strategic Planning Matrix Hutan Lindung

(13)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki kawasan hutan seluas 131 279 115.98 hektar. Luas hutan Indonesia semakin terancam oleh kerusakan hutan (deforestasi). Pada periode 2009 – 2010, Indonesia mengalami deforestasi sebesar 832 126.9 hektar per tahun (Kemenhut 2012). Deforestasi yang tidak diimbangi dengan kegiatan rehabilitasi hutan akan menurunkan daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia.

Tekanan lingkungan di wilayah DKI Jakarta sangat besar. Daya dukung lingkungan semakin tidak memadai akibat terus meningkatnya jumlah penduduk (BPLHD DKI 2012). Peningkatan daya dukung lingkungan dapat dilakukan dengan menjaga dan mempertahankan kawasan hutan. DKI Jakarta mempunyai 475.45 hektar kawasan hutan, yang terdiri dari hutan kota, hutan mangrove, dan kawasan hutan lainnya.

Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK) adalah hutan mangrove seluas 44.76 hektar yang dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Pemprov). HLAK dikelola oleh Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta (DKP DKI). Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 (RTRW 2030) menyebutkan bahwa kawasan hutan lindung termasuk salah satu peruntukan ruang untuk fungsi lindung. HLAK berfungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

Hutan mangrove pada HLAK mengalami degradasi akibat tingginya tekanan lingkungan yang disebabkan oleh permasalahan kependudukan, sampah, dan pencemaran (rumah tangga dan industri). Hal tersebut diperparah dengan lemahnya pengelolaan kawasan sebagai akibat dari kurangnya pendanaan, sumberdaya manusia, dan fasilitas pendukung (Santoso 2011). Kondisi yang demikian menunjukkan bahwa pengelolaan HLAK belum optimal sehingga diperlukan perencanaan strategi pengelolaan mangrove yang tepat.

Perumusan Masalah

(14)

2

penurunan fungsi kawasan dapat berupa terjadinya intrusi air laut, abrasi pantai, banjir rob, dan menurunnya tangkapan hasil laut.

Kerusakan HLAK akan menyebabkan menurunnya daya dukung bagi lingkungan di sekitarnya. Berdasarkan hal-hal tersebut maka memunculkan pertanyaan penelitian :

1. Faktor-faktor internal dan eksternal apa yang berpengaruh dalam pengelolaan HLAK?

2. Sejauhmana peranan stakeholder dalam pengelolaan HLAK? 3. Bagaimana strategi pengelolaan HLAK yang dapat diterapkan?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor internal dan eksternal HLAK. 2. Mengidentifikasi dan menganalisis pengaruh dan kepentingan stakeholder

dalam pengelolaan HLAK.

3. Menyusun strategi pengelolaan HLAK.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan dalam perencanaan pengelolaan HLAK agar tetap terjaga keberadaannya sehingga mampu memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi perlindungan lingkungan.

Kerangka Penelitian

Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (Keppres 32/1990) menjelaskan bahwa salah satu kategori kawasan lindung adalah kawasan yang berada di sempadan pantai dan kawasan mangrove. HLAK mempunyai karakteristik tersebut sehingga menjadi kawasan yang wajib dilindungi agar mampu memberikan fungsi sebagaimana mestinya. Keberadaannya di ibukota menjadikan HLAK sebagai kawasan hutan dengan tekanan yang besar. Tekanan tersebut berupa sampah, pencemaran limbah domestik dan industri. Selain permasalahan kependudukan, HLAK menerima imbas dari kerusakan lingkungan dari hulu berupa sedimentasi sebagai hasil dari erosi. Dari arah laut, HLAK menerima akibat dari gempuran ombak yang menyebabkan terjadinya abrasi.

Upaya meminimalkan tekanan dapat dilakukan dengan pengelolaan kawasan hutan secara tepat. Pengelolaan kawasan hutan yang baik berdampak pada pasokan daya dukung lingkungan secara maksimal. Dalam rangka memperoleh strategi pengelolaan HLAK yang tepat diperlukan adanya pemahaman stakeholder terkait. Hal tersebut menjadi salah satu kunci penting untuk menentukan langkah dalam mengelola HLAK. Pemahaman stakeholder

(15)

3 Pemahaman yang baik mengenai peran stakeholder memberi ruang bagi pengelola untuk menangkap peluang dan ancaman di sekeliling HLAK. Hal tersebut kemudian menjadi modal dasar untuk mengenali dan menganalisis lingkungan HLAK baik internal maupun eksternalnya.

Analisis lingkungan internal dan eksternal diperlukan untuk mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang dimiliki HLAK. Analisis tersebut merupakan evaluasi terhadap HLAK dalam memanfaatkan kekuatan dan peluang serta mengatasi kelemahan dan ancaman. Hasil analisis lingkungan yang cermat membawa pada pemahaman mendalam mengenai keberadaan sisi positif (kekuatan dan peluang) dan negatif (kelemahan dan ancaman). Berdasarkan hal itu pula dapat disusun strategi pengelolaan untuk dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang yang dimiliki dan meminimalkan dampak kelemahan dan ancaman yang dihadapi (Gambar 1).

2

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Lindung

Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (UU 41/1999) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Perppu 1/2004), mendefinisikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Oleh karena itu, hutan berdasarkan fungsi pokoknya dapat dibedakan menjadi hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi.

Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,

(16)

4

mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (PP 44/2004), HLAK merupakan kategori hutan lindung yang memenuhi persyaratan sebagai kawasan hutan untuk perlindungan pantai. Kriteria hutan lindung menurut peraturan tersebut yaitu kawasan hutan yang memenuhi salah satu atau lebih kondisi berikut :

1. Kawasan hutan dengan faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan mempunyai jumlah skor ≥ 175

2. Kawasan hutan yang memiliki kelerengan lapangan ≥ 40%

3. Kawasan hutan pada ketinggian ≥ 2000 meter di atas permukaan laut

4. Kawasan hutan dengan tanah sangat peka terhadap erosi dengan lereng lapangan ≥ 15%

5. Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air

6. Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai

Pengelolaan Hutan Lindung

Pengelolaan hutan di Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan. Perubahan kebijakan tidak terlepas dari latar belakang kondisi yang sedang terjadi pada saat kebijakan dibuat. Produk kebijakan yang ada pada tiap periode sangat dipengaruhi oleh paradigma penentu kebijakan terhadap hutan. Sejak merdeka, Indonesia mengalami tiga pergantian periode penting yang secara mendasar turut mempengaruhi sistem hukum dan pranata sosial. Periode yang terjadi hingga saat ini adalah Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi.

Simon (2007) menjelaskan bahwa sebelum masa kemerdekaan, Indonesia memiliki peraturan perundangan berupa Undang-Undang Kehutanan Tahun 1927 yang mengatur pengelolaan hutan di Jawa dan Madura. Pokok pentingnya adalah monopoli pengelolaan hutan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk memperoleh keuntungan finansial yang sebesar-besarnya bagi pemerintah. Pada era kemerdekaan, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan (UUPK) dan UU 41/1999. UUPK dikeluarkan atas dasar r e n d a h n ya p e n d a p a t a n p e r k a p i t a masyarakat dan ketiadaan modal pada saat itu. Di sisi lain, Indonesia memiliki potensi ekonomi tinggi hutan alam tropika basah di luar Jawa yang sangat luas untuk dimanfaatkan. Pelaksanaan UUPK menyisakan banyak permasalahan dalam pengelolaan hutan. Atas dasar itulah, kemudian diterbitkan UU 41/1999. Namun demikian, jiwa dan semangat pengelolaan hutan yang adil dan demokratis ternyata belum tercermin dalam peraturan tersebut.

(17)

5 BSN (2013) memberikan standar pengelolaan hutan lindung yang dituangkan dalam Standar Nasional Indonesia 7896:2013 tentang Pengelolaan Hutan Lindung Lestari (SNI 7896:2013). Pengelolaan hutan lindung lestari harus memiliki prinsip pengelolaan berupa kelestarian fungsi ekologis, tata air, sosial ekonomi, dan memenuhi prasyarat pengelolaan hutan lindung lestari. Kelestarian fungsi ekologis dan tata air meliputi terpeliharanya sumberdaya hutan lindung, fungsi tata air, dan fungsi lingkungan lain. Kelestarian fungsi sosial ekonomi meliputi terpeliharanya akses pengelolaan dan pemanfaatan masyarakat yang adil, terpeliharanya sumber-sumber ekonomi masyarakat, dan terpeliharanya integrasi sosial budaya masyarakat. Prasyarat pengelolaan hutan lindung lestari meliputi penataan organisasi, penyiapan sumberdaya manusia, dan dukungan pendanaan.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.47/Menhut-II/2013 tentang Pedoman, Kriteria, dan Standar Pemanfaatan Hutan di Wilayah Tertentu pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (P 47/2013) menjelaskan lebih lanjut bahwa pemanfaatan hutan di wilayah tertentu haruslah memenuhi kriteria kelayakan untuk diusahakan dan belum ada rencana investasi lain. Penyelenggara pemanfaatan hutan dapat dilakukan oleh masyarakat setempat, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), koperasi, dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

UU 41/1999 menyebutkan bahwa pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pemanfaatan hutan lindung meliputi budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya perlebahan, budidaya penangkaran satwa liar, budidaya ulat sutera, silvopastura, rehabilitasi satwa, atau budidaya hijauan makanan ternak. Pemanfaatan jasa lingkungan meliputi pemanfaatan aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, atau penyerapan dan penyimpanan karbon. Hasil hutan bukan kayu yang boleh dipungut di hutan lindung meliputi rotan, madu, getah, buah, jamur, atau sarang burung walet. Pemanfaatan hutan pada hutan lindung hanya dapat dilakukan pada blok pemanfaatan. Pelaksanaan pemanfaatan kawasan pada hutan lindung tidak boleh menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; tidak boleh membangun sarana dan prasarana permanen; dan/atau tidak boleh mengganggu fungsi kawasan. Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung dapat berupa segala bentuk usaha yang menggunakan kawasan dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan.

Analisis Stakeholder

(18)

6

kepentingan antar kelompok stakeholder dan kemampuannya dalam mempengaruhi hasil akhir kegiatan.

Golder et al. (2005) menerangkan bahwa stakeholder adalah gambaran kepentingan individu, kelompok, dan institusi terhadap sumberdaya alam. Selain itu, stakeholder juga dapat diartikan sebagai penerima dampak positif atau negatif dari suatu kegiatan. Menurut Crosby (1992), stakeholder dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu :

1. Stakeholder utama, yaitu pihak yang berkepentingan langsung dalam kegiatan.

Stakeholder ini merupakan penentu dalam kegiatan.

2. Stakeholder kunci, yaitu stakeholder yang penting terkait dengan masalah kegiatan. Stakeholder kunci memiliki kewenangan legal dalam hal pengambilan keputusan, misalnya eksekutif dan legislatif.

3. Stakeholder pendukung, yaitu kelompok stakeholder yang menjadi perantara dalam membantu proses penyampaian kegiatan. Stakeholder pendukung merupakan stakeholder sekunder, yaitu stakeholder yang tidak berkaitan langsung dalam kegiatan namun masih memiliki pengaruh terhadap sikap masyarakat dan pemerintah.

Race dan Millar (2006) menjelaskan bahwa dalam analisis stakeholder

akan dilakukan identifikasi stakeholder beserta perannya dalam suatu kegiatan. Analisis tersebut berguna untuk mengetahui kategori stakeholder. Kategori tersebut dikelompokkan menurut kepentingan dan pengaruh tiap stakeholder dalam suatu kegiatan. Selanjutnya, analisis stakeholder dapat digunakan untuk mendefinisikan hubungan antar stakeholder dalam proses kegiatan.

Perencanaan Strategis

Manajemen strategis adalah cara yang digunakan dalam organisasi untuk menyusun strategi, pelaksanaan, dan penilaian atas tujuan yang telah ditetapkan. Dalam perencanaan strategis, pencapaian tujuan organisasi menjadi yang terpenting (Umar 2008). Sementara itu, Rangkuti (1997) menyebutkan bahwa perencanaan strategis (formulasi strategis) adalah proses analitis. Hal tersebut mengindikasikan bahwa analisis lingkungan organisasi sangat dibutuhkan. Formulasi strategis bertujuan untuk menyusun strategi sesuai dengan kebijakan organisasi. Formulasi strategi harus dilakukan agar mampu menyelesaikan masalah baik saat ini maupun yang diprediksi akan terjadi di masa datang.

(19)

7 Rangkuti (1997) menekankan pentingnya analisis lingkungan eksternal berupa peluang dan ancaman sebelum strategi diterapkan. Masalah strategis yang akan dimonitor harus ditentukan karena mungkin dapat mempengaruhi organisasi di masa datang. Penggunaan metode-metode kuantitatif sangat dianjurkan untuk membuat peramalan dan asumsi. Metode tersebut misalnya ekstrapolasi, brainstorming, model statistik, riset, dan operasi. Faktor internal juga perlu dianalisis agar diketahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri. Manajemen puncak perlu menganalisis hubungan antara fungsi manajemen organisasi dengan mempelajari struktur, budaya, dan sumberdaya yang dimiliki sebuah organisasi.

Strength Weakness Opportunity Treath (SWOT)

SWOT merupakan instrumen sederhana dalam menentukan strategi untuk mencapai tujuan. SWOT membantu memberikan arah tujuan secara realistis dan fokus pada bagian tertentu. Analisis SWOT dimulai dengan memperhitungkan setiap aspek yang dimiliki objek penelitian. Aspek tersebut berupa kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. SWOT seringkali digunakan untuk melengkapi analisis stakeholder (Start dan Hovland 2004). Fungsi analisis SWOT adalah mendapatkan informasi yang bersumber dari analisis situasi. Berdasarkan analisis tersebut kemudian dipisahkan ke dalam faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) terpenting dalam organisasi (Ferrel dan Hartline 2005).

Rangkuti (1997) menjelaskan bahwa analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal dan faktor internal. Analisis ini berdasarkan logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Matrik SWOT dapat menggambarkan secara jelas peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi sehingga dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matriks ini dapat menghasilkan empat kemungkinan alternatif strategi, yaitu Strategi Strength-Opportunities (Strategi SO), Strategi Strength-Treaths (Strategi ST), Strategi

Weakness-Opportunities (Strategi WO), dan Strategi Weakness-Treaths (Strategi

WT).

Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM)

QSPM merupakan teknik penentuan prioritas alternatif strategi berdasarkan kemenarikan relatifnya (attractiveness score) terhadap faktor internal dan eksternal yang dipunyai (Sarkis 2003). QSPM merupakan tahap akhir dalam analisis formulasi strategi (Purwanto 2008). Konsep QSPM adalah menentukan daya tarik strategi yang dibangun terhadap faktor internal dan eksternal. Daya tarik relatif tiap strategi dihitung dengan menentukan dampak kumulatif dari setiap faktor keberhasilan penting internal dan eksternal (Kurniawati dan Sari 2009).

(20)

8

faktor kunci internal atau eksternal dari obyek yang diteliti. Keterbatasan QSPM

terletak pada ketepatan informasi awal sebagai landasan dalam melakukan penilaian. Keterbatasan selanjutnya adalah dibutuhkannya penilaian yang tepat terhadap penentuan attractiveness score. Selain itu, kadang terjadi perbedaan skor total yang sangat tipis sehingga keputusan akhir tidak jelas. Hal yang harus dipahami adalah bahwa QSPM hanyalah instrumen untuk memberi masukan dalam perencanaan, sehingga bukan sebagai keputusan mutlak yang harus dilaksanakan.

3

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian berada pada kawasan HLAK di Kecamatan Penjaringan, Kota Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta (Gambar 2). Penelitian dilakukan pada bulan Agustus – September 2013. Secara geografis, HLAK terletak antara 6005’ – 6010’LS dan 106043’ – 106048’ BT. HLAK terbentang sekitar 5 kilometer dari barat ke timur di antara Kali Kamal dan Kali Angke, dengan lebar sekitar 100 meter. HLAK berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara. Di sebelah selatan berbatasan dengan Pantai Indah Kapuk (PIK), Taman Wisata Alam Angke Kapuk (TWA), dan Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA).

HLAK merupakan bagian dari kawasan Hutan Angke Kapuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 667/Kpts-II/1995 tentang Penetapan Kawasan Hutan Angke Kapuk (SK Menhut 667/1995). Kawasan Hutan Angke Kapuk seluas 327.7 hektar terdiri dari :

1. Hutan lindung (HLAK) seluas 44.76 hektar

(21)

9 2. Cagar Alam Muara Angke (sekarang bernama SMMA) seluas 25.02 hektar 3. Hutan Wisata (sekarang bernama TWA) seluas 99.82 hektar

4. Hutan Dengan Tujuan Istimewa seluas 158.01 hektar, yang terbagi menjadi Kebun Pembibitan (sekarang bernama arboretum) seluas 10.51 hektar, Transmisi PLN seluas 23.07 hektar, Cengkareng Drain seluas 28.93 hektar, Jalan Tol dan Jalur Hijau/ Ekowisata Mangrove seluas 95.50 hektar

Kawasan HLAK menerima aliran air tawar dari beberapa sungai. Aliran tersebut berasal dari Kali Kamal, Kali Angke, Kali Pesanggrahan, dan Saluran Mookervart. Cengkareng Drain yang membelah kawasan HLAK merupakan saluran air yang memotong dan mengalirkan kembali Kali Angke, Kali Pesanggarahan, dan Kali Mookervart ke Laut Jawa. Cengkareng Drain

merupakan salah satu jaringan pengendali banjir yang ada di Jakarta. Saluran Mookervart adalah saluran air pengendali banjir yang dibuat pada masa Kolonial Belanda (1678-1689). Saluran tersebut dibuat dengan menghubungkan Kali Angke dengan Sungai Cisadane. Selain itu, masih terdapat saluran lain berupa Banjir Kanal Barat (BKB). BKB merupakan tampungan aliran Kali Ciliwung, Kali Cideng, dan Kali Krukut yang bertemu di Kali Angke

Jenis dan Sumber Data

Sumber data penelitian berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan informan. Pemilihan informan dilakukan secara purposive yang disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Data sekunder diperoleh dari pengelola HLAK, perpustakaan, dan dan lain-lain.

Metode Analisis Data

Identifikasi dan analisis faktor internal dan eksternal

Analisis lingkungan merupakan pemahaman mendalam terhadap faktor internal dan eksternal HLAK. Analisis tersebut mencakup segala hal mengenai data-data internal dan kondisi lingkungan eksternal yang terjadi di sekitarnya. Faktor internal dan eksternal adalah faktor-faktor yang diperkirakan berhubungan atau berpengaruh terhadap pengelolaan HLAK. Identifikasi seluruh faktor tersebut kemudian dianalisis sehingga diketahui kondisi terkini kawasan HLAK dalam memanfaatkan sisi positif dan negatif yang dimilikinya.

(22)

10

Skala variabel kelemahan dan ancaman bersifat negatif sehingga diberikan nilai sebaliknya. Hasil identifikasi ditampilkan seperti pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Analisis stakeholder

Analisis stakeholder merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui posisi masing-masing stakeholder dalam pengelolaan HLAK. Posisi stakeholder dapat diidentifikasi berdasarkan pengaruh dan kepentingannya terhadap HLAK. Interpretasi skor kepentingan dan pengaruh stakeholder dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Interpretasi Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder (Abbas 2005)

Kriteria Skor

Kepentingan Stakeholder

Ketergantungan sangat tinggi pada sumberdaya 5 Ketergantungan tinggi terhadap sumberdaya 4

Cukup bergantung pada sumberdaya 3

Ketergantungan kecil terhadap sumberdaya 2

Tidak tergantung pada sumberdaya 1

Pengaruh Stakeholder

Respon sangat berpengaruh terhadap stakeholder lain 5 Respon berpengaruh terhadap stakeholder lain 4 Respon cukup berpengaruh terhadap stakeholder lain 3 Respon kurang berpengaruh terhadap stakeholder lain 2 Respon tidak berpengaruh terhadap stakeholder lain 1 Tabel 2 Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (Rangkuti 1997)

Faktor Eksternal Bobot Skor Bobot x Skor Peluang

1 2 Ancaman

1 2

Total 1,00

Tabel 1 Matriks Evaluasi Faktor Internal (Rangkuti 1997)

Faktor Internal Bobot Skor Bobot x Skor Kekuatan

1 2

Kelemahan 1

2

(23)

11 Pengaruh adalah kemampuan dalam mempengaruhi kegiatan pengelolaan HLAK atau mempengaruhi stakeholder lain. Kepentingan adalah kepentingan

stakeholder pada sumberdaya HLAK atau untuk terlibat dalam pengelolaan HLAK. Besaran skor kepentingan dan pengaruh stakeholder yang diperoleh kemudian dipetakan ke dalam Stakeholder Grid (Gambar 3). Skor pengaruh ditempatkan pada sumbu X. Skor kepentingan ditempatkan pada sumbu Y.

Strategi Pengelolaan

Formulasi strategi merupakan langkah untuk menentukan alternatif strategi pengelolaan HLAK. Tahap ini menggunakan Matrik SWOT (Tabel 4). Matrik

SWOT adalah pencocokan kondisi internal dan eksternal HLAK. Berdasarkan Matrik SWOT dapat diperoleh empat strategi pengelolaan, diantaranya Strategi SO, Strategi ST, Strategi WO, dan Strategi WT.

Langkah terakhir dalam penelitian ini adalah dengan penggunaan teknik

QSPM (Nurhayati 2008). Penyusunan QSPM dimulai dengan menyusun daftar faktor internal pada Tabel 1 dan faktor eksternal pada Tabel 2. Alternatif strategi pada Tabel 4 dimasukkan ke dalam kolom strategi. Langkah selanjutnya adalah memberi nilai Attractiveness Score (AS) masing-masing strategi terhadap faktor internal dan eksternal yang ada. Nilai 1 berarti tidak menarik, nilai 2 berarti agak menarik, nilai 3 berarti secara logis menarik, serta nilai 4 berarti sangat menarik.

Total Attractiveness Score (TAS) diperoleh dari perkalian bobot dengan AS. TAS

menunjukkan kemenarikan relatif dari masing-masing alternatif strategi. Nilai Tabel 4 Matriks SWOT (Rangkuti 1997)

Opportunity Treath

Strength Strategi SO Strategi ST

Weakness Strategi WO Strategi WT

(24)

12

TAS terbesar adalah prioritas utama dan nilai terkecil adalah prioritas terakhir pilihan strategi. Penggunaan teknik QSPM ditampilkan dalam Tabel 5.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal Hutan Lindung Angke Kapuk

Analisis lingkungan

HLAK merupakan kawasan yang penting bagi lingkungan pesisir Angke Kapuk. HLAK sangat rentan terhadap gangguan akibat dari aktivitas manusia yang berlebihan. Pantai merupakan tempat strategis bagi kehidupan. Pantai menjadi akses utama aktivitas perdagangan antar pulau, negara, dan benua. Kawasan pesisir mempunyai daya tarik kuat bagi setiap orang untuk memanfaatkannya. Pertumbuhan kawasan ini berkembang dari pusat perdagangan dan permukiman sampai menjadi pusat pemerintahan, rekreasi, pendidikan, dan lain-lain. Pada akhirnya, kondisi tersebut menyebabkan terjadinya konsentrasi penduduk. Kepadatan penduduk yang berlebihan berpotensi memunculkan berbagai tekanan lingkungan di wilayah ini.

Mangrove adalah formasi hutan yang berada di pantai, namun tidak semua pantai dapat ditumbuhi mangrove. Mangrove memerlukan persyaratan khusus untuk dapat berkembang. Kusmana (2007) menjelaskan bahwa mangrove berada pada daerah peralihan antara ekosistem daratan dan lautan. Kondisi tersebut menyebabkan mangrove sangat dipengaruhi oleh perubahan pada ekosistem daratan dan lautan. Mangrove dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Lebih lanjut dijelaskan bahwa mangrove mempunyai berbagai fungsi penting. Mangrove berguna untuk melindungi pantai dari bahaya abrasi. Tanpa keberadaan vegetasi mangrove, gempuran ombak air laut dapat dengan bebas menggerus pantai. Abrasi dapat berkurang karena vegetasi mangrove mampu mengurangi

Tabel 5 Quantitative Strategic Planning Matrix (Nurhayati 2008)

Faktor Kunci Bobot Strategi 1 Strategi 2 Strategi 3

AS TAS AS TAS AS TAS

Kekuatan 1 2

Kelemahan 1

2 Peluang

1 2 Ancaman

(25)

13 kecepatan dan tinggi gelombang. Mangrove juga berfungsi untuk mencegah tercemarnya air tawar oleh air laut (intrusi air laut). Pantai yang mempunyai mangrove akan terlindungi oleh pengaruh tiupan angin kencang dari arah laut. Selain itu, mangrove juga berfungsi sebagai pembersih polutan di perairan dan sebagai tempat untuk berwisata.

Otonomi daerah memberi dampak pada pengalihan sebagian wewenang pemerintah kepada pemda. Pengelolaan hutan lindung adalah salah satu kewenangan yang dilimpahkan ke daerah. Kewenangan pengelolaan hutan lindung di DKI Jakarta diserahkan kepada Pemprov. Pemprov mengatur kejelasan status HLAK sebagai salah satu bagian dari tata ruang yang dipertahankan dalam RTRW 2030. DKP DKI ditunjuk sebagai pengelola HLAK. DKP DKI merupakan unsur pelaksana otonomi daerah di bidang kelautan, pertanian, kehutanan, dan ketahanan pangan. Secara khusus, pelimpahan tugas pengelolaan hutan didelegasikan kepada Bidang Kehutanan DKP DKI. Tugas pokok dan fungsi (tupoksi) bidang kehutanan diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 10 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Perda 10/2008. Tupoksi tersebut diantaranya adalah menyusun bahan kebijakan teknis bidang kehutanan dan pembinaan kawasan hutan, hutan kota, dan kawasan hijau lainnya.

Mangrove HLAK merupakan salah satu kawasan hutan yang menjadi sasaran program prioritas/ unggulan bidang kehutanan. HLAK belum dikelola sebagai unit pengelolaan tersendiri. Selama ini, HLAK dikelola bersama kawasan mangrove lain (TWA, SMMA, Ekowisata Mangrove Tol Sedyatmo, dan Arboretum Mangrove) dibawah satu penanggungjawab yang berkantor di Kawasan Ekowisata Mangrove Tol Sedyatmo (Mangrove Education Centre). Dijadikannya mangrove HLAK sebagai program unggulan dapat memberikan sisi positif. Salah satu sisi positif yang dapat dimanfaatkan adalah dengan tumbuhnya kesadaran lingkungan global. Kecenderungan masyarakat global dalam perbaikan kualitas lingkungan ditunjukkan dengan berkembangnya skema Corporate Sosial Responsibility (CSR). Beberapa BUMN turut serta dalam kegiatan rehabilitasi mangrove, diantaranya adalah Pertamina, PT Antam, dan Bank Mandiri.

HLAK termasuk salah satu bentuk ruang terbuka hijau (RTH) yang ada di DKI Jakarta. Hutan lindung dikategorikan sebagai bagian dari kawasan hijau lindung. HLAK mempunyai luas 44.76 hektar atau 6.99% dari total 640.04 hektar RTH dan 10.4% dari total 430.45 hektar hutan daratan di DKI Jakarta (DKP DKI, 2011). HLAK merupakan bagian dari kawasan lindung. Menurut Keppres 32/1990 dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU 26/2007), kawasan lindung adalah adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Posisi HLAK dan hutan mangrove lain terletak melingkar dan mengapit kawasan budidaya (pemukiman).

(26)

14

yang berminat untuk berpartisipasi dalam rehabilitasi mangrove. DKP DKI (2011) mencatat realisasi rehabilitasi mangrove di kawasan restorasi HLAK tahun 2010 mencapai 12 525 pohon.

HLAK belum dikelola berdasarkan zonasi pengelolaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan (PP 34/2002). Peraturan tersebut menyatakan bahwa kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan dilakukan pada semua kawasan hutan, termasuk hutan lindung. Pengelolaan HLAK berdasarkan bloknya memberi arahan yang jelas pada setiap unit pengelolaan. Dengan demikian pada tiap unit kelola akan mendapat perlakuan dan prioritas yang berbeda sesuai dengan karakteristiknya.

Secara garis besar, HLAK terpisah (fragmentasi) menjadi dua bagian. Fragmentasi kawasan disebabkan oleh adanya oleh Cengkareng Drain.

Cengkareng Drain merupakan saluran yang memotong dan mengalirkan kembali aliran Kali Pesanggrahan, Kali Angke dan Kali Mookervart ke Laut Jawa. Sejarah panjang Cengkareng Drain dimulai tahun 1973. Pada tahun tersebut disusun

Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta. Rencana tersebut merancang sistem pengendalian dengan membuat kanal yang memotong aliran sungai atau saluran di wilayah Jakarta Barat. Rencana tersebut sempat tertunda karena sebagian besar alur kanal ini melintasi daerah permukiman padat. Banjir di wilayah Jakarta Barat pada Januari 1979 memunculkan rencana pembuatan jaringan pengendali banjir lainnya, yakni jaringan kanal dan drainase yang dinamakan Sistem Drainase Cengkareng (Cengkareng Drain) pada tahun 1983. Sejak saat itu, HLAK terfragmentasi menjadi dua bagian. Kawasan hutan sebaiknya berupa area yang utuh dalam satu hamparan (kompak). Areal hutan yang demikian akan menghasilkan ekosistem utuh dan tidak terpisah-pisah. Sedangkan areal hutan terfragmentasi cenderung berpotensi mengalami gangguan lebih besar bila dibandingkan dengan areal yang kompak.

Abrasi adalah terkikisnya pantai oleh gempuran ombak. HLAK yang merupakan hutan mangrove sangat rawan terkena dampak ini. Abrasi mengakibatkan terkikisnya daratan pantai sehingga membahayakan bagi kelangsungan mangrove. Beberapa bagian HLAK mengalami abrasi. Dalam upaya mempertahankan keberadaan hutan lindung, di beberapa bagian pantai di lakukan penanaman vegetasi mangrove. Keberhasilan tumbuh vegetasi tersebut mengalami hambatan oleh gelombang laut yang cukup besar (BPLHD DKI, 2012).

Santoso (2011) menyebutkan bahwa pada kawasan mangrove Muara Angke terjadi abrasi seluas 59.09 hektar antara tahun 1984 sampai 2010. Sebagian besar abrasi terjadi di sebelah barat muara Kali Angke dan Cengkareng Drain, dan yang paling parah berada disekitar Kamal Muara. Di sisi lain, di wilayah tersebut juga terjadi akresi (sedimentasi) sehingga menambah lahan daratan seluas 42.85 hektar. Secara keseluruhan, abrasi dan akresi menyebabkan terjadinya pengurangan lahan pantai seluas 16.14 hektar.

(27)

15 dengan baik, sehingga pendirian bangunan di atasnya dapat menyebabkan penurunan tanah apabila tidak memperhitungkan daya dukung tanah tersebut (Astuti et al. 2010). Pendapat tersebut dikuatkan oleh Kemen ESDM (2013) yang menyatakan bahwa penurunan tanah Jakarta rata-rata sekitar 5 cm dengan kecenderungan semakin kecil ke arah selatan dan semakin besar ke arah utara. Hal tersebut dapat dipahami karena di bagian utara terdiri tanah-tanah lunak yang cukup luas dan ditunjang oleh pengambilan air tanah sehingga menyebabkan terjadinya pemadatan tanah (natural consolidation).

Abidin et al. (2008) menjelaskan penurunan tanah di Jakarta merupakan peristiwa yang kemungkinan disebabkan oleh pengambilan air tanah secara berlebihan, beban bangunan (settlement), konsolidasi alamiah dari lapisan-lapisan tanah, dan gaya-gaya tektonik. Sejalan dengan hal tersebut, Kompas (2010) menjelaskan bahwa eksploitasi air tanah di Jakarta secara berlebihan menyebabkan turunnya permukaan tanah dan intrusi air laut. Tingginya salinitas menyebabkan air laut bersifat korosif. Kadar salinitas air laut yang tinggi mampu mempengaruhi pelapukan tanah dan batuan. Intrusi air laut terjadi karena penyedotan air tanah secara berlebihan dan tak terkendali dalam jangka waktu lama. Rongga-rongga tanah yang kosong akibat penyedotan air mengalami pemadatan sehingga menyebabkan terjadinya penurunan permukaan tanah. Di daerah pesisir, rongga tanah diisi oleh air laut yang bersifat korosif. Air laut akan semakin banyak mengisi rongga yang kosong seiring dengan makin maraknya penyedotan air tanah.

Pelapukan tanah dan batuan akibat korosi oleh air laut menjadi salah satu faktor yang mempercepat terjadinya penurunan tanah. Pada wilayah pantai, penurunan tanah semakin memperparah ancaman rob. Pantai Utara Jakarta memiliki peluang tinggi mengalami rob. Rob merupakan fenomena global yang terjadi akibat berbagai hal. Rob salah satunya ditambah oleh adanya pemanasan global di seluruh dunia. Pemanasan global sebagai akibat kerusakan ozon menyebabkan mencairnya sebagian es di kutub. Mencairnya es di kutub bumi menyebabkan kenaikan muka air laut terhadap daratan. Fenomena tersebut kemudian menyebabkan terjadinya rob di kawasan pantai.

Nelwan (2014) mengatakan bahwa selain giant sea wall, sabuk pantai menjadi salah satu cara untuk menanggulangi rob. Sabuk pantai merupakan bentangan penahan ombak yang terbuat dari vegetasi. Jenis vegetasi yang dapat dijadikan sabuk pantai adalah mangrove dan cemara udang. Hal ini didasarkan pada studi kasus di Teluk Semarang. Kejadian rob tidak dialami ketika vegetasi mangrove masih baik. Rob baru dialami ketika kondisi mangrove telah rusak. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa mangrove dapat berperan dalam mengatasi atau mengurangi rob. Namun demikian, sabuk pantai hanyalah salah satu dari beberapa solusi holistik untuk mencegah banjir dan rob.

(28)

16

mangrove memiliki akar nafas sebagai bentuk adaptasi lingkungan. Akar nafas berfungsi menghirup oksigen di udara. Apabila sampah, terutama plastik atau jenis sampah lain yang sulit terdegradasi secara alami menutupi akar mangrove dalam jangka waktu lama maka dapat dipastikan akan mengganggu bahkan menyebabkan kematian vegatasi mangrove. Penumpukan sampah di sepanjang pantai, lantai hutan dan pinggir sungai dapat menghambat terjadinya regenerasi komunitas mangrove

Tingginya tingkat pencemaran air laut di Teluk Jakarta menjadi permasalahan yang dapat mengganggu kelangsungan HLAK. Lestari (2004) menyebutkan bahwa kadar logam berat di Muara Angke cenderung meningkat. Logam berat seperti merkuri (Hg), Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) mencemari perairan dan biota laut. Terganggunya biota laut pada akhirnya dapat mempengaruhi keseimbangan ekosistem mangrove, sehingga apabila terjadi dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan pergeseran keseimbangan ekosistem.

BPLHD DKI (2011) menyatakan bahwa perairan Teluk Jakarta mendapatkan dampak dari kegiatan dari beberapa sektor, diantaranya industri, perdagangan, perhubungan, pertambangan, pertanian, dan pariwisata. Teluk Jakarta merupakan muara dari beberapa sungai yang membawa limbah berupa sampah industri dan rumah tangga. Kondisi semacam ini menyebabkan perairan Teluk Jakarta menerima beban pencemaran yang berat. Kualitas perairannya tergolong buruk. Parameter kimia berupa BOD, fenol, amonia, detergen, fosfat berada dalam kondisi konsentrasi tinggi dan telah melebihi baku mutu. Hal tersebut disebabkan oleh adanya pengaruh dari pencemaran pada sungai-sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Pada periode pengamatan tahun 2011, indeks pencemar air sungai di DKI Jakarta lebih dari 83% dari 47 titik pantau berstatus cemar berat (Tabel 6). Selain itu, kualitas biologi perairan berupa zooplankton, phytoplankton, dan makrozoobentos berada pada kisaran tercemar ringan sampai berat.

Partisipasi masyarakat adalah salah satu faktor kunci kesuksesan pengelolaan HLAK. Masyarakat adalah penerima langsung dari semua dampak yang terjadi akibat dari pengelolaan HLAK. Dengan demikian, partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam mendukung setiap langkah dalam pengelolaan kawasan. Menurut Santoso (2011), partisipasi pengelolaan masyarakat terhadap mangrove masih rendah karena dukungan serta kesadaran Tabel 6 Status Indeks Pencemar Sungai di DKI Jakarta Tahun 2011 (BPLHD

DKI 2012) Periode

Pengamatan

Status Mutu (%)

Baik Cemar Ringan Cemar Sedang Cemar Berat

Maret 2 2 13 83

Mei 0 0 6 94

Agustus 0 0 11 89

Oktober 2 0 9 89

(29)

17 masyarakat meningkatkan pengelolaan kawasan mangrove masih kurang. Pada umumnya, imbalan uang menjadi motivasi masyarakat dalam berpartisipasi pada kegiatan rehabilitasi mangrove.

Jakarta sebagai ibukota Negara menjadi wilayah yang paling diminati oleh para pendatang dari seluruh pelosok nusantara. Pola pembangunan masa lalu menyebabkan terpusatnya segala potensi di Jakarta. Hal ini menjadi daya tarik hampir bagi semua orang di seluruh wilayah Indonesia. Urbanisasi yang selalu bertambah dari tahun ke tahun menyebabkan konsentrasi penduduk di Jakarta sangatlah besar. BPLHD DKI (2012) mencatat bahwa DKI Jakarta memiliki luas wilayah 662.33 km2. Jumlah penduduknya mencapai 9 761 992 jiwa, sehingga kepadatan penduduk dapat dihitung sebesar 14 738.864 jiwa/km2.

Kepadatan penduduk di Jakarta memunculkan berbagai masalah, salah satunya adalah tingginya permintaan (kebutuhan) lahan sementara di sisi lain suplai (ketersediaan) lahan tidak bertambah. Kondisi tersebut kemudian berimbas pada mahalnya harga lahan di Jakarta. HLAK berada pada wilayah yang sangat strategis sehingga nilai lahan di lokasi sangat tinggi. BI (2013) merilis data survei harga tanah di Jakarta Utara untuk kelas menengah berada pada kisaran Rp 5 juta sampai dengan Rp 16 juta per meter persegi. Tingginya harga tanah yang tidak diimbangi dengan daya beli masyarakat berdampak pada munculnya potensi penyerobotan lahan, termasuk di dalam kawasan HLAK.

Perkembangan pasar properti semakin bergerak ke arah pantai utara dan barat Jakarta. Alexander (2013) menyebutkan bahwa kondisi tersebut dapat terjadi akibat keunggulan komparatif yang dimiliki. Wilayah Kapuk, termasuk juga kawasan HLAK berada pada lokasi yang dekat dengan Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Dengan demikian, aksesibilitas memadai yang ditunjang kelengkapan infrastruktur (tol, kelengkapan fasilitas publik, dan kondisi lingkungan yang relatif tertata dengan baik) menjadi daya tarik khusus. Keunggulan tersebut memicu minat pasar. Para investor berlomba membelanjakan uangnya di sini. Peningkatan permintaan tersebut secara otomatis mendongkrak harga jual lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan lainnya.

Aspek lain yang dimungkinkan dapat mempengaruhi minat pasar faktor kepercayaan terhadap mitos. Bagi sebagian orang, mitos mendapat tempat utama dalam menentukan pilihan, termasuk properti. Salah satu mitos yang berkembang di pasar properti adalah mitos kepala naga. Mitos tersebut tergambar dari banyaknya mata air yang sambung-menyambung membentuk kepala naga. Hal tersebut diyakini membawa keberuntungan. Daerah di Jakarta Utara yang tergolong kepala naga terdiri dari Kelapa Gading, Ancol, Pluit, Sunter, serta kawasan Pantai Indah Kapuk (Budiarto 2013). Berdasarkan gambaran tersebut, HLAK yang berada di wilayah sekitar PIK memiliki kerawanan tinggi terhadap potensi perubahan alih fungsi lahan.

(30)

18

Jakarta Nomor 8 tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantai Utara Jakarta (Perda 8/1995).

Reklamasi menjadi hal penting berkaitan dengan keberadaan mangrove di HLAK. Reklamasi berpotensi memberikan dampak negatif bagi ekosistem mangrove. Adanya pulau hasil reklamasi berpotensi mengubah pola pasang surut air laut. Perubahan pola pasang surut tersebut berpotensi mematikan mangrove karena rendaman air laut dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, dampak reklamasi juga berpotensi dirasakan pada skala yang lebih luas. Hal tersebut selaras dengan hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) mengenai reklamasi pantai. Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999 tentang AMDAL (PP 27/1999) mengkategorikan reklamasi pantai sebagai kegiatan berdampak besar dan penting, sehingga memerlukan penilaian AMDAL. Komisi Penilai AMDAL Pusat pada saat itu memberikan pertimbangan sebagai berikut : 1. Reklamasi berpotensi meningkatkan potensi dan intensitas banjir di Jakarta. 2. Reklamasi membutuhkan bahan urugan sebanyak 330 juta meter kubik.

Pengambilan bahan urugan sebanyak itu dikhawatirkan akan memberi dampak lingkungan yang serius, baik material urugan dari daratan maupun dari laut. 3. Tersingkirnya masyarakat berpendapatan rendah dari kawasan utara Jakarta

khususnya para nelayan yang harus hidup relatif lebih jauh dari sumber mata pencahariannya.

4. Dampak-dampak lainnya adalah menurunnya kemampuan pembangkit listrik di Jakarta, ketersediaan air bersih dan lain-lain.

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta (SK Menlh 14/2003). Surat Keputusan tersebut memunculkan keberatan dari beberapa pihak. Pihak-pihak yang berkeberatan merasa dirugikan atas dibatalkannya proyek reklamasi. Setelah beberapa kali masuk ke pengadilan, akhir dari kasus tersebut berujung pada ditetapkannya Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/TUN/2011 tanggal 24 Maret 2011 yang menyatakan bahwa reklamasi pantai utara Jakarta sah secara hukum.

Semakin menurunnya kawasan mangrove Jakarta termasuk di HLAK harus dicermati sebagai langkah awal untuk menyelamatkan dan melestarikan kawasan mangrove atas dasar pulih kembalinya ekosistem semirip mungkin dengan kondisi sebelum mengalami kerusakan. Hal ini diharapkan dapat berfungsi sebagai pengendalian terhadap ancaman degradasi kawasan mangrove sebagai jalur penyangga wilayah pantai guna meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitarnya (BPLHD DKI 2012).

Evaluasi Lingkungan Internal dan Eksternal

(31)

19 pembobotan, penentuan rating, dan penentuan skor akhir penilaian terhadap masing-masing faktor internal dan eksternal HLAK. Tabel 7 menunjukkan hasil evaluasi faktor internal dalam pengelolaan HLAK.

Sementara itu, hasil evaluasi terhadap faktor eksternal dalam pengelolaan HLAK ditunjukkan pada Tabel 8.

EFI menunjukkan nilai 2.15. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengelolaan HLAK sampai saat ini belum optimal atas berbagai kekuatan yang dimilikinya. Sebaliknya, HLAK masih dalam kondisi yang sangat dipengaruhi oleh berbagai kelemahan yang dipunyainya. Kelemahan-kelemahan HLAK masih dominan dalam menentukan kondisi terkini kawasan. Kelemahan sisi manajerial (blok pengelolaan dan implementasi komitmen), fragmentasi kawasan, dan kerusakan habitat masih sangat berpengaruh terhadap kondisi kawasan yang cenderung tidak terurus.

Tabel 8 Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) Hutan Lindung Angke Kapuk

Faktor eksternal Bobot Rating Skor

(Bobot x Rating) Peluang

Minat tinggi stakeholder terhadap

HLAK 0.15 4 0.60

Komitmen tinggi Pemprov DKI 0.20 4 0.80

Ancaman

Abrasi, akresi, penurunan tanah,

dan rob 0.10 1 0.10

Sampah 0.10 1 0.10

Pencemaran 0.075 1 0.075

Tingginya nilai lahan di lokasi 0.15 2 0.30

Reklamasi pantai 0.075 1 0.075

Rendahnya kesadaran masyarakat 0.15 1 0.15

Total 1.00 2.20

Tabel 7 Evaluasi Faktor Internal (EFI) Hutan Lindung Angke Kapuk

Faktor internal Bobot Rating Skor

(Bobot x Rating) Kekuatan

Kejelasan status 0.20 4 0.80

Kejelasan pengelola 0.15 4 0.60

Aksesibilitas tinggi 0.05 3 0.15

Kelemahan

Tidak ada blok pengelolaan 0.10 1 0.10

Fragmentasi kawasan 0.15 1 0.15

Kerusakan habitat 0.20 1 0.20

Implementasi pengelola belum

maksimal 0.15 1 0.15

(32)

20

Kejelasan status dan pengelola seharusnya dapat bermanfaat bagi HLAK. Status yang jelas memungkinkan HLAK untuk terjamin kelangsungannya. Kejelasan status memberikan dampak pada hak HLAK untuk dikelola sesuai dengan fungsinya. Kejelasan pengelola memberikan kepastian adanya penanggung jawab kawasan. Secara tegas dapat dikatakan bahwa, HLAK dan pengelolanya mempunyai misi mengemban amanat penting sesuai peraturan perundangan. RTRW 2030 menyatakan bahwa HLAK menjadi salah satu ruang yang dipertahankan. HLAK termasuk salah satu peruntukan ruang fungsi lindung sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

Analisis lingkungan eksternal mengindentifikasi peluang dan ancaman HLAK. EFE menunjukkan nilai 2.20. Berdasarkan nilai tersebut dapat dikatakan bahwa HLAK belum memperoleh manfaat optimal dari peluang dan sangat rentan terhadap ancaman yang dihadapinya. Kondisi ini berarti bahwa HLAK masih lemah dalam menghadapi dinamika lingkungan eksternal. Dampak abrasi, akresi, penurunan tanah, rob, sampah, dan pencemaran sangat berpengaruh pada kondisi terkini kawasan. Selain itu, dinamika lingkungan eksternal berupa tingginya nilai lahan, rendahnya kesadaran masyarakat, dan rencana reklamasi pantai akan semakin berpotensi melemahkan pengaruh peluang untuk dapat dikembangkan dalam pengelolaan kawasan.

Penelitian menunjukkan bahwa peluang belum dapat dimanfaatkan dengan baik. Para stakeholder terkait menunjukkan minat terhadap HLAK. Keseriusan tersebut dapat dilihat dengan partisipasi beberapa pihak dalam kegiatan rehabilitasi mangrove di HLAK. Menurut DKP DKI (2011), sejumlah LSM, organisasi masyakat, BUMN, dan swasta terlibat dalam penanaman mangrove di kawasan restorasi. Selain itu, HLAK juga berpotensi besar menarik minat para peneliti, baik dari akademisi maupun lembaga-lembaga lain. Potensi peluang yang dapat dengan segera digarap serius adalah keterlibatan stakeholder dalam skema

CSR. Skema CSR memungkinkan stakeholder terlibat dalam pendanaan pengelolaan HLAK. CSR dapat menjadi alternatif solusi kurangnya pendanaan bagi pengelolaan HLAK.

Peluang lain yang dapat dimanfaatkan adalah tingginya komitmen Pemprov dalam masalah lingkungan. Sesuai dengan RTRW 2030, HLAK menjadi salah satu areal dengan peruntukan fungsi lindung (melindungi sistem penyangga kehidupan). Hal tersebut dapat dimanfaatkan dengan cara peningkatan porsi penganggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hal lain yang dapat dijadikan acuan adalah posisi HLAK yang berada tepat pada peralihan ekosistem daratan dan lautan sehingga kawasan ini bernilai lebih dibandingkan dengan kawasan lain.

(33)

21 Analisis Stakeholder Hutan Lindung Angke Kapuk

Hasil identifikasi menunjukkan bahwa stakeholder HLAK terdiri dari unsur pemerintah, pemprov, swasta, akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat (Tabel 9).

Keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan HLAK didasarkan atas pengaruh dan kepentingan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut berhubungan dengan kapasitas, kewenangan, dan minat. Adanya perbedaan pengaruh dan kepentingan berdampak pada perbedaan peran masing-masing stakeholder dalam kegiatan pengelolaan HLAK. Pengaruh merupakan kemampuan stakeholder untuk mempengaruhi proses pengelolaan HLAK dan kemampuannya mempengaruhi

Tabel 9 Identifikasi Stakeholder pada Pengelolaan HLAK

Stakeholder Peran dalam pengelolaan HLAK Kepentingan terhadap HLAK Pemerintah

Pengelola kawasan HLAK Mempertahankan dan memperbaiki kawasan agar

Entitas PIK Pengembang dan pengelola PIK Bisnis properti

PT Kapuk Naga

Pengelola TWA Bisnis wisata alam

Swasta lain Pemberi CSR Citra positif perusahaan

LSM Mediator dan katalisator Citra positif organisasi

Masyarakat Penerima dampak HLAK Berdekatan dengan HLAK

Memperoleh daya dukung lingkungan

Sumber mata pencaharian

BUMN Pemberi CSR Citra positif perusahaan

(34)

22

stakeholder lain. Kepentingan dapat diartikan sebagai ketergantungan stakeholder

terhadap sumberdaya atau ketertarikan untuk terlibat dalam pengelolaan HLAK. Tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder HLAK ditunjukkan dalam skor (Tabel 10).

Besaran skor pengaruh dan kepentingan stakeholder kemudian dipetakan ke dalam Stakeholder Grid (Gambar 4).

Gambar 4 Stakeholder Grid Hutan Lindung Angke Kapuk

Tabel 10 Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder HLAK

Stakeholder Skor

Pengaruh

Skor Kepentingan

Masyarakat sekitar HLAK 3 5

Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta 5 5 Badan Pengelola Lingkungan Hidup

Daerah DKI Jakarta

4 4

Kementerian Kehutanan 4 4

Kementerian Lingkungan Hidup 4 3

Kementerian Kelautan dan Perikanan 4 4

Lembaga Swadaya Masyarakat 4 2

Akademisi 2 3

Badan Usaha Milik Negara 2 2

Entitas PIK 4 5

PT Murindra Karya Lestari 4 5

PT Kapuk Naga Indah 4 5

(35)

23 Player

Player adalah kelompok stakeholder yang merupakan motor penggerak dan pelopor dalam suatu kegiatan. Player dapat diartikan sebagai pemeran utama atau pelaku dalam suatu kegiatan. Tanpa kelompok ini, kegiatan tidak bisa berjalan. HLAK memiliki player yang terdiri dari instansi pemerintah, swasta, dan masyarakat. Instansi pusat yang terlibat sebagai pemeran utama dalam pengelolaan HLAK adalah Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Ketiga instansi ini menjadi penting karena peran dan fungsinya.

Kemenhut meliputi pula Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Konservasi Sumber Daya Alam DKI Jakarta (BKSDA DKI) sebagai pengelola SMMA dan TWA. Kemenhut adalah instansi tertinggi yang bertanggung jawab dan berwenang dalam kegiatan pengelolaan hutan di seluruh wilayah Indonesia. Kemenhut sebagai perpanjangan tangan pemerintah memiliki kewenangan dalam mengeluarkan standar kebijakan mengenai pengelolaan hutan termasuk hutan lindung. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah (UU 32/2004), pengelolaan hutan lindung dilimpahkan ke pemerintah daerah (Pemda).

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P. 40/Menhut-II/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan (P 40/2010) menyebutkan bahwa Kemenhut mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang kehutanan. Fungsi Kemenhut terkait dengan pengelolaan HLAK adalah perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kehutanan serta pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kemenhut di daerah.

KLH adalah kementerian yang membidangi urusan lingkungan hidup. Tugas pokoknya membantu presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan. KLH menyelenggarakan fungsi penting sehubungan dengan pengelolaan HLAK. Fungsi tersebut adalah merumuskan dan mengkoordinasi pelaksanaan kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan.

Peran dan fungsi KLH menjadi simpul bagi instansi pemerintah yang berkaitan dengan masalah lingkungan, termasuk kawasan HLAK. KLH berperan sebagai penghubung dan koordinator terhadap semua permasalahan yang berhubungan dengan lingkungan hidup. Dengan demikian, permasalahan lingkungan di kawasan hutan juga menjadi urusan KLH. Kebijakan dan respon KLH terhadap permasalahan HLAK akan memberi pengaruh besar terhadap kawasan dan stakeholder lain yang terlibat.

(36)

24

sebagai kawasan yang menjadi urusan KKP. Melihat peran penting tersebut, maka pengelola HLAK harus selalu berkoordinasi dengan KKP agar tidak terjadi tumpang-tindih kewenangan pengelolaan.

Stakeholder lain yang termasuk dalam kuadran player adalah Badan Pengelola Lingkungan Hidup DKI Jakarta (BPLHD DKI) dan DKP DKI. Keduanya merupakan instansi Pemprov. DKP DKI memiliki peran vital dalam pengelolaan HLAK. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang wewenang pengelolaannya diserahkan ke Pemda. Perda 10/2008 mengamanatkan DKP DKI untuk mengelola HLAK dan seluruh kawasan hutan yang berada di bawah kewenangan Pemprov. DKP DKI mempunyai kewenangan penuh dalam menyusun rencana pengelolaan HLAK.

BPLHD DKI adalah instansi Pemprov yang bertanggungjawab dalam pembinaan lingkungan hidup. Instansi tersebut mempunyai peran strategis dalam pengelolaan lingkungan di wilayah DKI Jakarta. Tugas pokoknya menyelenggarakan pengelolaan lingkungan hidup. Sedangkan fungsi yang berkaitan dengan HLAK yaitu perumusan kebijakan bidang lingkungan hidup; pelaksanaan kebijakan pelestarian dan penataan lingkungan; pelaksanaan kebijakan pengendalian pencemaran dan sanitasi lingkungan; dan pelaksanaan kebijakan penegakan hukum lingkungan

Berdasarkan tupoksinya, maka BPLHD DKI mempunyai wewenang untuk mengakses permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan lingkungan. Kasus pencemaran dan kerusakan habitat yang terjadi di HLAK dan sekitarnya masih menjadi wilayah tanggungjawab dan wewenang BPLHD DKI. DKP DKI dan BPLHD DKI dapat berkolaborasi dalam rangka kerjasama penyelesaian masalah pencemaran dan kerusakan habitat di HLAK.

Masyarakat sekitar kawasan HLAK masuk dalam kategori player.

Masyarakat adalah masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan (termasuk warga PIK), nelayan, dan petani. Keragaman profesi masyarakat diantaranya sebagai nelayan, tani, buruh, karyawan, PNS, TNI, dan swasta. Nelayan atau tani sangat bergantung terhadap sumberdaya mangrove di kawasan HLAK. Mangrove digunakan sebagai sarana mata pencahariannya. Nelayan memanfaatkan mangrove sebagai tempat untuk mencari ikan dan hasil laut lainnya dengan cara memancing atau menjala. Selain itu, mereka juga dapat menggunakan vegetasi mangrove sebagai tempat berjangkar perahu-perahu yang sedang tidak digunakan. Petani memanfaatkan mangrove sebagai penghasil bibit tanaman untuk dijual. Pencarian benih mangrove dilakukan dengan cara mengumpulkan buah yang sudah masak panen baik dengan cara memetik atau dengan cara memungut buah yang sudah jatuh.

(37)

25 Ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya mangrove HLAK juga dirasakan dalam bentuk pasokan daya dukung lingkungan. Mangrove memiliki perakaran kuat dan kompak satu sama lain sehingga menghasilkan kombinasi yang sempurna untuk mengatasi abrasi. Abrasi adalah terkikisnya daratan akibat terjangan gelombang air laut. Keberadaan mangrove mampu memberi fungsi mencegah dan mengurangi abrasi. Kerusakan habitat mangrove di Muara Angke termasuk di kawasan HLAK membawa dampak pada terjadinya abrasi pantai.

Manfaat lain yang dapat dirasakan masyarakat adalah kemampuan mangrove untuk menahan intrusi air laut ke daratan. Intrusi air laut menyebabkan tercampurnya air tawar dengan air laut sebagai akibat terjadinya perembesan. Rembesnya air laut terjadi karena tidak adanya penahan berupa komunitas mangrove. Fenomena intrusi air laut dirasakan oleh masyarakat di sekitar HLAK. Berdasarkan penelitian Santoso (2011), masyarakat di Kelurahan Penjaringan dan Kelurahan Kamal Muara merasakan intrusi.

Masyarakat di sekitar HLAK adalah kelompok masyarakat sebagaimana umumnya. Mereka tidak memiliki akses dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan pengelolaan kawasan. Respon dan tindakan masyarakat tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan pengelolaan HLAK. Perilaku masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungan memberi dampak negatif bagi kawasan. Tindakan tersebut dapat berupa membuang sampah di sungai dan badan air lain sehingga berpotensi mengganggu ekosistem mangrove HLAK. Penyelesaian permasalahan sampah membutuhkan waktu yang tidak singkat karena melibatkan masyarakat dari hulu sampai hilir.

Entitas PIK adalah kelompok swasta yang termasuk kategori player.

Entitas PIK merupakan badan usaha pengembang dan atau pengelola kawasan PIK. Swasta yang termasuk sebagai entitas PIK di antaranya adalah Agung Sedayu Group (pengembang Bukit Golf Mediterania, Golf Island, Crown Island), Agung Podomoro Group (pengembang PIK City), PT Mandara Permai (pengelola PIK dan pengembang Camar, Walet, Katamaran, dan Manyar), PT Wira Sakti Surya Persada (pengembang The Plaza, The Gallery, dan Centro Metro Broadway), dan PT Wahana Agung Indonesia (pengembang Elang Laut Residence dan Centre Bisnis Elang Laut).

Gambar

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 2 Lokasi Penelitian di Hutan Lindung Angke Kapuk
Tabel 3 Interpretasi Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder (Abbas 2005)
Gambar 3 Stakeholder Grid (Rohdewohld dan Poppe 2005)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Modal intelektual yang dimiliki perusahaan mempengaruhi upaya perusahaan dalam menciptakan nilai yang lebih baik bagi investor, investor akan lebih tertarik untuk membeli saham

PKR Anggota tim Administrasi, Hasil dan Evaluasi Lomba/pertandinean. I

Proses mental seseorang saat memproduksi suatu ujaran khususnya pada fenomena selip lidah dalam Debat Capres dan Cawapres Republik Indonesia Tahun 2014 memiliki

Salah satu cara untuk membungkus hadiah yang telah disiapkan tentu saja, membuat sendiri GiftBox dengan ukuran yang diinginkan, dan tentu saja yang dengan bungkus yang bisa

Karakteristik dari kalor laten dan rapat jenis yang tinggi dari sebuah material Phase Change Material (PCM) akan membuatnya lebih disukai sebagai medium penyimpan

• Gambar Ilustrasi realis atau Naturalis, yaitu gambar ilustrasi yang memiliki bentuk dan warna sama dengan kenyataan yang ada di dalam tanpa ada pengurangan atau penambahan.. •

Ekstrak daun jambu biji diharapkan dapat efektif sebagai inhibitor pada sampel logam besi, tembaga, dan alumunium dalam medium larutan garam karena mengandung senyawa yang

Studi aliran beban adalah penentuan atau perhitungan tegangan, arus, daya aktif, faktor daya dan daya reaktif yang terdapat pada berbagai titik dalam suatu