• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resiliensi Komunitas Petani Padi Sawah dalam Menghadapi Serangan Hama di Dusun Bengle, Kabupaten Karawang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Resiliensi Komunitas Petani Padi Sawah dalam Menghadapi Serangan Hama di Dusun Bengle, Kabupaten Karawang"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

RESILIENSI KOMUNITAS PETANI PADI SAWAH DALAM

MENGHADAPI SERANGAN HAMA DI DUSUN BENGLE,

KABUPATEN KARAWANG

RENITA INTAN CAHYANI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Resiliensi Komunitas Petani Padi Sawah dalam Menghadapi Serangan Hama di Dusun Bengle, Kabupaten Karawang adalah benar karya saya dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

(4)
(5)

ABSTRAK

RENITA INTAN CAHYANI. Resiliensi Komunitas Petani Padi Sawah dalam Menghadapi Serangan Hama di Dusun Bengle, Kabupaten Karawang. Dibimbing oleh NURMALA K. PANDJAITAN.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bentuk adaptasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi komunitas petani padi sawah dalam menghadapi serangan hama di Dusun Bengle. Resiliensi komunitas petani padi sawah dilihat dari bentuk adaptasi yang dilakukan oleh petani padi sawah baik respon jangka pendek maupun respon jangka panjang dan perubahan pada kualitas hidup petani padi sawah sebelum dan sesudah serangan hama. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan kuesioner didukung oleh data kualitatif dari wawancara mendalam dan observasi partisipatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat adaptasi yang dilakukan petani padi sawah dalam mekanisme resiliensi komunitas menghadapi serangan hama berupa respon jangka pendek dan jangka panjang. Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi komunitas terdiri atas kepemimpinan, kohesivitas dan sumberdaya dan keterampilan yang merupakan faktor yang berasal dari dalam diri komunitas. Faktor eksternal berupa bantuan tidak mempengaruhi resiliensi komunitas.

Kata kunci: resiliensi komunitas, adaptasi, komunitas petani padi sawah ABSTRACT

RENITA INTAN CAHYANI. Community resilience of rice farmers community in the face of pests in Dusun Bengle, Karawang. Supervised by NURMALA K. PANDJAITAN.

This research aimed to analyze the form of adaptation and the factors that affect community resilience of rice farmers community to face pests in the village Bengle. Community Resilience of rice farmers community point of view from the adaptations made by rice farmers community both short-term response and long-term responses and changes in quality of life of rice farmers community before and after the attack of pests. This research was conducted using a quantitative approach by questionnaire supported by qualitative data from in-depth interviews and participant observation. The results of this study indicate that there are adaptations made by rice farmers community in community resilience in the face of pests such as short-term response and long term. Factors that influence the resilience of the community consists of leadership, cohesiveness and resources and skills as a factor that comes from within the community. External factors such as support does not affect the community resilience.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

RESILIENSI KOMUNITAS PETANI PADI SAWAH DALAM

MENGHADAPI SERANGAN HAMA DI DUSUN BENGLE,

KABUPATEN KARAWANG

RENITA INTAN CAHYANI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Resiliensi Komunitas Petani Padi Sawah dalam

Menghadapi Serangan Hama di Dusun Bengle, Kabupaten Karawang

Nama : Renita Intan Cahyani NIM : I34110024

Disetujui oleh

Dr Nurmala K. Pandjaitan, MS.DEA Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan anugerah-Nya serta kesempatan sehingga laporan skripsi yang berjudul Resiliensi Komunitas Petani Padi Sawah dalam Menghadapi Serangan Hama di Dusun Bengle dapat terselesaikan dengan baik. Laporan skripsi ini ditujukan untuk mendapat gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa laporan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena bimbingan, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr Nurmala K. Pandjaitan, MS.DEA selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan saran, kritik, dan motivasi selama proses penulisan laporan skripsi ini. Keluarga tercinta, Ibunda Parti Puji Lestari dan Ayahanda Subagiyo yang selalu memberikan semangat, doa, dukungan, dan kasih sayang kepada penulis. Alm Bapak Sipar, yang selalu menjadi inspirasi penulis dalam segala hal. Mas Yunanda Basuki, saudari saya Fitri Arianingsih dan Pupun Lufianti yang selalu mendukung dan memberikan semangat dalam penulisan skripsi ini. Mas Rici Pranata yang sudah membantu dari awal penulisan studi pustaka hingga skripsi ini selesai. Keluarga Pejuang (Kiky, Lilis, Ifah), Kelompok Bermain (Dian Nita dan Nurul), Keluarga Manggolo Putro Ponorogo khususnya angkatan 48, PBM 2012, PBM 2013 dan BEM KM IPB 2014 untuk dukungan dan motivasinya dalam skripsi ini. Keluarga Besar Mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM) angkatan 48, Khususnya teman-teman akselerasi yang berjuang bersama dengan penuh semangat. Semua pihak yang telah memberikan dorongan, doa, semangat, bantuan, dan kerjasamanya selama ini.

Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Januari 2015

(12)
(13)

DAFTAR ISI

Lokasi dan Waktu Penelitian 23

Teknik Pemilihan Responden dan Informan 23

Teknik Pengumpulan Data 24

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 24

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 25

Kondisi Geografis Desa Pancakarya 25

Kondisi Demografi Desa Pancakarya 25

Kondisi Kampung Dusun Bengle 26

Serangan Hama di Lahan Sawah Desa Pancakarya 28

KARAKTERISTIK RESPONDEN 31

Umur Responden 31

Tingkat Pendidikan 31

Pengalaman Menjadi Petani Padi Sawah 32

Status Penguasaan Lahan Tanah 32

Penguasaan Lahan Sawah 33

Jenis Mata Pencaharian Utama 33

ADAPTASI KOMUNITAS PETANI PADI SAWAH 37

Bentuk Adaptasi Komunitas Petani Padi Sawah 37

Respon Jangka Pendek Komunitas Petani Padi Sawah 38 Respon Jangka Pendek Komunitas Petani Padi Sawah 42

Ikhtisar 44

RESILIENSI KOMUNITAS PETANI PADI SAWAH 47

Kondisi Kualitas Hidup Petani Padi Sawah 47

Tingkat Resiliensi Komunitas Petani Padi Sawah 54

Ikhtisar 55

(14)
(15)

Kondisi Bantuan 67 Hubungan antara Faktor-faktor yang Mempengaruhi dengan Resiliensi

Komunitas Petani Padi Sawah

69

Ikhtisar 70

SIMPULAN DAN SARAN 73

Simpulan 73

Saran 73

DAFTAR PUSTAKA 75

(16)
(17)

DAFTAR TABEL

1 Matriks penelitian resiliensi komunitas 10

2 Alokasi penggunaan lahan di Desa Pancakarya 23

3 Jumlah dan persentase rumahtangga dan rumahtangga petani padi sawah di Desa Pancakarya

26 4 Luas lahan gagal panen di Desa Pancakarya tahun 2011 28 5 Jumlah dan Persentase responden berdasarkan umur 31 6 Jumlah dan Persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan 31 7 Jumlah dan Persentase responden berdasarkan pengalaman menjadi

petani padi sawah

32 8 Jumlah dan Persentase responden berdasarkan status penguasaan

lahan sawah

33 9 Jumlah dan Persentase responden berdasarkan penguasaan lahan 33 10 Jumlah responden berdasarkan jenis mata pencaharian utama

rumahtangga

34 11 Jumlah dan Persentase responden berdasarkan Pola nafkah

rumahtangga

34 12 Jumlah dan Persentan responden bentuk adaptasi dalam resiliensi

komunitas petani padi sawah

37 13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan komponen pemenuhan

kebutuhan pangan 7

14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan perubahan ketentraman

dalam komunitas petani padi sawah 0

15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan perubahan optimisme

dalam komunitas 0

16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan perubahan pengetahuan

menghadapi kesulitan 1

17 Jumlah dan persentase responden berdasarkan komponen jaringan

sosial yang dimiliki 2

18 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat resiliensi komunitas dan komponen kualitas hidup komunitas petani padi sawah 5 19 Jumlah dan persentase responden berdasarkan komponen kohesivitas

7 20 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemimpinan

komunitas

61 21 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kondisi bantuan yang

diterima saat serangan hama

67 22 Hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi dengan resiliensi

komunitas

(18)
(19)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran 14

2 Jenis dan persentase responden berdasarkan perubahan praktek pertanian yang dilakukan petani padi sawah dalam menghadapi serangan hama

38

3 Persentase responden berdasarkan perubahan mata pencaharian komunitas petani padi sawah dalam menghadapi serangan hama

41 4 Persentase responden berdasarkan perubahan nilai yang dilakukan

dalam respon jangka panjang

42 5 Pemimpin komunitas petani padi sawah Dusun Bengle 62 6 Persentase responden berdasarkan sumberdaya dan keterampilan

komunitas

65

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta lokasi penelitian (Desa Pancakarya, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang)

81

2 Kerangka sampling 83

3 Hasil Uji Statistik 87

4 Kuesioner 89

5 Panduan pertanyaan 95

(20)
(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu fokus utama pengembangan pertanian pangan di Indonesia adalah padi. Tujuan pengembangan tanaman padi adalah untuk memproduksi beras sebagai bahan pangan pokok warga negara Indonesia. Konsumsi beras masyarakat Indonesia dapat dikatakan tinggi karena setiap orang di Indonesia mengkonsumsi beras setiap tahun sebesar 139,5 kg (Christianto 2013). Ditjen Tanaman Pangan menetapkan target 72.063.735 Ton GKP (Gabah Kering Giling) untuk tahun 2014 pada rencana tahunannya. Menurut hasil ramalan sementara BPS, produksi padi di Indonesia 2014 adalah sebesar 70.866.571 ton sehingga masih belum bisa memenuhi target yang ditetapkan oleh pemerintah. Selama 2010 sampai 2013 produksi padi di Indonesia terus mengalami fluktuasi, yaitu terlihat dari data produksi padi yang publikasikan oleh BPS. Pada tahun 2011, produksi padi Indonesia sebesar 66.469.394 ton kemudian turun 0,01 persen pada 2011 sebesar 712.490 ton menjadi 65.756.905 ton. Pada tahun selanjutnya, Produksi padi Indonesia kembali naik menjadi 69.056.126 ton dan terus mengalami kenaikan hingga 70.866.571 ton (angka sementara). Fluktuasi produksi padi ini disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya adalah serangan hama.

Penurunan produksi padi tahun 2011 antara lain disebabkan oleh hama tikus, penggerek batang padi, wereng batang coklat, penyakit tungro, dan penyakit blas, hawar daun bakteri dan penyakit kerdil hampa dan kerdil rumput pada akhir 2010 yang mengurangi hasil panen pada awal 2011. Serangan hama mencapai puncaknya pada 2010 menimbulkan ledakan sampai puso. Pada tahun 2010 serangan wereng coklat yang diikuti penyakit virus kerdil hampa dan virus kerdil rumput hingga terjadi penurunan produksi padi sebesar 1,1 persen pada 2011 (65,756 juta ton GKG) dari produksi tahun 2010 (66,469 juta ton GKG) (Baehaki 2012). Luas serangan wereng batang coklat meningkat 5 kali lipat dari 47.473 ha pada tahun 2009 menjadi 218.060 ha tahun 2011. Pengendalian wereng batang coklat tidak dapat diselesaikan hanya dengan teknologi, tetapi perlu peran aktif masyarakat tani sebagai penggerak utama dan pengguna teknologi (Baehaki 2012). Bencana ini telah mempengaruhi fungsi dari komunitas petani padi sawah. Agar dapat bertahan, komunitas petani padi sawah perlu menciptakan mekanisme resiliensi. Meningkatnya produksi padi pada tahun 2012 seperti yang dijelaskan sebelumnya, dapat menjadi indikasi bahwa petani di Indonesia mampu melakukan resiliensi. Resiliensi komunitas menjadi suatu kajian penting untuk menentukan bagaimana strategi suatu komunitas petani padi sawah dalam bertahan dan kembali meningkatkan kualitas kehidupannya.

(22)

2

lahan. Dari berbagai masalah tersebut, permasalahan pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) menjadi salah satu fokus pengembangan pertanian padi sawah di Kabupaten Karawang. Salah satu desa yang mengalami permasalahan pengendalian OPT adalah Desa Pancakarya di Kecamatan Tempuran. Desa Pancakarya merupakan salah satu desa dengan kultur petani tradisional dimana budaya kolektivistik masih dipertahankan. Interaksi dalam komunitas menjadi salah satu perlindungan petani ketika mengalami kesulitan. Komunitas dapat melakukan pemgambilan keputusan dan pemanfaatan sumberdaya yang tidak bisa dilakukan individu maupun rumahtangga. Respon komunitas petani padi sawah dalam menghadapai serangan hama ini penting dikaji untuk mengetahui strategi komunitas petani dalam bertahan dan kembali mendapatkan standar hidup yang memadai sebagai bentuk resiliensi komunitas.

Masalah Penelitian

Resiliensi komunitas merupakan mekanisme bertahan komunitas untuk mencapai standar hidup yang memadai pasca bencana. Komunitas petani padi sawah di Dusun Bengle, Desa Pancakarya, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang merupakan daerah yang mengalami serangan OPT yang parah di Karawang. Menurut data yang diperoleh dari Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani (RDKK) Desa Pancakarya, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang tahun 2011 menunjukan kegagalan panen mencapai 312 Ha yang meliputi seluruh lahan sawah yang ada di desa tersebut dan sebagian besar merupakan lahan sawah komunitas padi sawah Dusun Bengle. Gagal panen padi tersebut disebabkan oleh serangan hama wereng coklat yang diikuti penyakit kerdil hampa dan virus kerdil rumput yang meningkat pada akhir tahun 2010 (Baehaki 2012). Komunitas petani merespon keadaan pasca serangan hama dengan berbagai bentuk adaptasi sebagai pertahanan dalam menghadapi kesulitan. Komunitas petani padi sawah menjalankan fungsi penting dalam merespon keadaan ini. Pengambilan keputusan bersama dan akses sumberdaya yang tidak dimiliki individu menjadikan komunitas menjadi pusat kegiatan untuk mengatasi kesulitan yang mereka hadapi. Komunitas yang berfungsi dengan baik akan mampu membawa warga komunitasnya untuk bertahan dan kembali pada standar hidup yang memadai pasca bencana. Resiliensi komunitas penting untuk dapat mengembangkan pertahanan terhadap bencana. Tulisan ini mengkaji tentang bagaimana bentuk adaptasi komunitas dalam mekanisme resiliensi petani padi sawah yang terhadap serangan hama?

(23)

3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah penelitian yang telah dirumuskan, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Menganalisis bentuk-bentuk adaptasi dalam mekanisme resiliensi komunitas yang dilakukan oleh petani dalam menghadapi serangan hama.

2. Menganalisis sejauhmana faktor-faktor yang terdiri atas kohesivitas, kepemimpinan, sumberdaya dan keterampilan dan bantuan mempengaruhinya tingkat resiliensi komunitas petani padi sawah dalam menghadapi serangan hama.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai resiliensi komunitas petani padi sawah dalam menghadapi serangan hama. Secara khusus, penelitian ini dapat bermanfaat bagi beberapa pihak, yaitu :

1. Bagi pemerintah

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi untuk pemerintah dalam pembuatan kebijakan peningkatan kapasitas petani padi sawah dalam menghadapai serangan hama.

2. Bagi akademisi dan peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pustaka/literatur/sumber informasi dan pengetahuan mengenai resiliensi komunitas yang dilakukan oleh petani padi sawah.

3. Bagi masyarakat

(24)
(25)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Resiliensi

Masyarakat mengalami perubahan setiap waktu. Perubahan dalam masyarakat yang mungkin bersifat besar, incremental atau sedikit serta berlangsung sementara atau bertahan lebih lama (Gaillard 2007). Perubahan itu menyebabkan adanya kerentanan (vulnerability). Kerentanan (vulnerability) didefinisikan sebagai kondisi yang ditentukan oleh fisik, faktor sosial, ekonomi dan lingkungan atau proses yang meningkatkan kerentanan masyarakat terhadap kerugian dari dampak bahaya. Salah satu kerentanan yang terjadi dalam masyarakat adalah kondisi pasca bencana. Bencana menciptakan kerusakan dimensional kehidupan seseorang meliputi fisik, psikis dan lingkungan dan pada aras komunitas muncul masalah sosial, yaitu: meningkatnya angka kemiskinan, terganggunya jalur distribusi dan ekonomi daerah, dan beberapa bencana dapat menimbulkan kerentanan terhadap penyakit dan kesehatan komunitas (Noviyanty 2011). Masyarakat akan menciptakan mekanisme resiliensi untuk bertahan pasca bencana. Konsep resiliensi erat hubungannya dengan konsep kerentanan. Resiliensi didefinisikan sebagai kapasitas sistem, komunitas atau masyarakat yang berpotensi terkena bahaya untuk beradaptasi, dengan menolak atau berubah untuk mencapai dan mempertahankan tingkat yang dapat diterima dari fungsi dan struktur. Pelling (2003) dalam Gaillard (2007) memandang resiliensi sebagai komponen kerentanan atau kemampuan seorang aktor untuk mengatasi atau beradaptasi dengan bahaya. Resiliensi dan kerentanan bisa terjadi dalam suatu situasi maupun berbeda situasi. Buckle (2006) mencontohkan adanya resiliensi dan kerentanan terjadi pada seseorang yang membangun rumah di daerah banjir, di satu sisi dia rentan terhadap banjir namun di sisi lain resilien karena telah mendapatkan asuransi.

Konsep kerentanan dalam komunitas digambarkan melalui kerentanan sosial. Kerentanan sosial didefinisikan sebagai kecenderungan masyarakat untuk menderita kerusakan dalam hal terjadinya bahaya tertentu. Kelompok orang-orang yang berpotensi mengalami kerentanan adalah kelompok lanjut usia, anak-anak, disabilitas (mental dan fisik), orang miskin, kelompok minoritas, masyarakat adat, masyarakat yang terisolasi, orang dengan penyakit parah, orang-orang yang bergantung pada teknologi, keluarga dengan ukuran besar, keluarga dengan orang tua tunggal, orang-orang dengan koping strategi rendah, orang-orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya dan orang asing yang belum mengenal daerah sekitar (Buckle 2006). Resiliensi dalam komunitas dibangun untuk beradaptasi terhadap kondisi pasca bencana untuk mencapai dan menjaga fungsi dan struktur yang sesuai (Economic and Social Commision for Asia and Pasific 2008 dalam Noviyanty 2011)

Menurut Buckle (2006), studi tentang resiliensi dan kerentanan terbagi dalam beberapa level :

(26)

6

4. Lokalitas dan lingkungan 5. Komunitas

6. Asosiasi sosial 7. Organisasi

8. Sistem seperti sistem lingkungan dan ekonomi

Buckle (2006) juga menjelaskan tentang perilaku manusia yang tidak hidup sendiri sehingga perlu analisis yang lebih jauh pada level unit sosial. Manusia dijelaskan tidak hidup secara eksklusif, manusia sering menjadi bagian dari kelompok-kelompok sosial. Resiliensi komunitas menjadi penting dianalisis karena komunitas memiliki sumberdaya dan mekanisme pengambilan keputusan yang tidak dimiliki oleh individu untuk bertahan dalam menghadapi bencana (Noviyanty 2011). Resiliensi juga bisa dianalisis dalam level regional maupun nasional untuk menentukan kebijakan dalam membangun resiliensi komunitas maupun sistem lainnya. Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai resiliensi komunitas khususnya pada komunitas petani padi sawah. Resiliensi komunitas ini mencoba menemukan interaksi warga komunitas untuk membangun pertahanan dalam komunitasnya untuk mempertahankan kualitas hidupnya.

Resiliensi Komunitas

VanBreda (2001) mendefinikasi resiliensi komunitas adalah kemampuan masyarakat untuk membangun, mempertahankan, atau mendapatkan kembali tingkat kapasitas komunitas yang diharapkan dalam menghadapi kesulitan dan tantangan positif. Komunitas yang mengalami tekanan yang bersumber dari kemiskinan, kriminalitas, politik yang tidak stabil, diskriminasi dan sumberdaya yang buruk harus mendapat dukungan sosial (social support) untuk meningkatkan resiliensinya. Dukungan sosial terdiri atas dukungan emosi, penghargaan dan jaringan. Ketiga dukungan ini mempunya peran dalam menghadapi tekanan komunitas.

Definisi lain tentang resiliensi komunitas dinyatakan oleh Economic and Social Commision for Asia and Pasific (2008) yang dikutip oleh Noviyanty (2011) mendefinisikan resiliensi komunitas sebagai kapasitas suatu sistem atau komunitas yang mampu beradaptasi terhadap bencana untuk mencapai dan menjaga fungsi dan struktur yang sesuai. Definisi ini mengacu pada kesulitan komunitas yang diakibatkan oleh bencana. Bencana menciptakan kerentanan dalam komunitas sehingga perlu untuk melakukan mekanisme resiliensi. Resiliensi komunitas memanfaatkan sumberdaya sosial komunitas dan dukungan dari luar seperti LSM dan pemerintah. Selanjutnya, Adger (2000) dalam Tompkins dan Adger (2003) menjelaskan tentang resiliensi sosial yaitu kemampuan kelompok atau masyarakat untuk beradaptasi dalam menghadapi pengaruh sosial dari luar, politik atau tekanan lingkungan dan gangguan. Resiliensi sosial menekankan individu melakukan interaksi sosial dengan sesamanya dalam kelompok atau masyarakat untuk bertahan dalam kondisi yang sulit. Kelompok atau komunitas tersebut melakukan adaptasi untuk menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi akibat pengaruh eksternal.

(27)

7 dipertahankan meliputi mengatasi kerentanan ekologi, ekonomi dan sosial. Daerah pedesaan merupakan daerah yang rentan terhadap gangguan. Gangguan tersebut antara lain adalah populasi, struktur, dan perubahan sumberdaya. Gangguan pada satu sistem akan mempengaruhi sistem yang lain. Konsep ketahanan (resiliensi) memungkinkan mereka untuk mengatasi dampak dari gangguan yang mereka alami. Konsep resiliensi pedesaan ini sangat penting mengkaji tentang mekanisme timbal balik atau resiprositas dalam komunitas. Masyarakat pedesaan yang terdiri dari komunitas pertanian, digambarkan oleh Kulig et al. (2008) mempunyai rasa memiliki yang tinggi dan rasa saling tergantung sehingga mekanisme resiliensi berhubungan dengan mekanisme resiprositas yang dilakukan komunitas. Resiprositas itu akan akan mendukung kapasitas masyarakat pedesaan dalam beradaptasi dengan kondisi yang berubah. Resiprositas merupakan hubungan timbal balik pada komunitas yang mempunyai rasa memiliki dan ketergantungan dalam komunitasnya. Resiliensi komunitas menekankan pada ketahanan seluruh warga komunitas dalam satu kesatuan, yang berarti bahwa kumpulan individu yang tangguh dalam komunitas tidak menjamin suatu komunitas itu resilien (Norris et al. 2008).

Resiliensi komunitas ditentukan oleh ketahanan seluruh warga komunitas sebagai satu kesatuan. Mekanisme resiliensi tersebut melibatkan resiprositas yaitu hubungan timbal balik dalam komunitas dimana warga komunitas saling membantu dalam kesulitan. Resiliensi komunitas memungkinkan komunitas melakukan penyesuaian atau adaptasi terhadap gangguan ekternal yang mengancam kualitas hidupnya. Komunitas berusaha bertahan dalam kesulitan untk menjada kualitas hidupnya tetap memadai.

Bentuk Resiliensi Komunitas

(28)

8

keterampilan lokal, (4) mekanisme berbagi dan jaringan sosial untuk memberikan dukungan bersama dan meminimalkan risiko, dan (5) perdagangan antar komunitas.

Kesulitan yang diakibatkan oleh guncangan berupa bencana atau krisis membuat komunitas belajar untuk menghadapinya dan menyelesaikan masalah tersebut hingga bisa mencapai standar hidup yang lebih baik. Masyarakat tersebut selain memberikan pengetahuannya kepada generasi selanjutnya juga mengembangkan mekanisme saling berbagi informasi antar komunitas seperti yang dilakukan oleh komunitas petani di Indonesia dan Meksiko (Borron 2006). Pada Komunitas Petani "Pusspaindo" di Indonesia, petani dilembagakan penyuluh di setiap desa. Para penyuluh bertanggung jawab untuk mempertahankan audit sumberdaya alam di setiap desa dan jaringan dengan penyuluh lainnya dan petani tentang masalah pertanian lokal mereka. Para penyuluh petani ini bertanggung jawab dalam penyebaran informasi kepada petani dan berbagi dengan sesamanya. Berbeda dengan komunitas petani dataran tinggi tengah Meksiko yang menghadapi erosi parah. Petani kemudian membentuk kelompok non-profit, Vicente Guerrero Group (VGG) yang untuk merevitalisasi praktek pertanian berkelanjutan dalam meningkatkan kualitas tanah mereka. VGG melatih para petani untuk mengajarkan petani lainnya bahwa petani memiliki kewajiban untuk berbagi pengetahuan mereka satu sama lain. Penyebaran informasi ini sangat penting bagi suatu komunitas untuk mengembangkan sistem ketahanannya.

Proses penyesuaian dalam resiliensi komunitas melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti masyarakat, kelembagaan, pemerintah dan sektor swasta (Tompkins dan Adger 2003, Lebel et al. 2006, Schouten et al. 2009, Noviyanti 2011). Setiap pemangku kepentingan memerankan perannya sendiri-sendiri dalam meningkatkan resiliensi komunitas. Para pemangku menciptakan jaringan sosial, modal sosial, kohesi sosial dan tindakan kolektif dalam mendukung ketahanan dalam suatu komunitas. Modal sosial menjadi faktor penting yang berperan dalam proses adaptasi dalam resiliensi komunitas, untuk itu peran pemimpin menjadi penting dalam membangun ketahanan suatu komunitas. Budaya dan nilai-nilai dalam komunitas yang dilengkapi dengan ilmu pengetahuan menjadikan masyarakat semakin resilien terhadap guncangan yang menimpa mereka. Penelitian Tousignan dan Sioui (2009) di Kanada mengungkapkan krisis yang terjadi di Kanada akibat penjajahan dan degradasi budaya penyesuaian dilakukan dengan jalan penyembuhan trauma yang dialami oleh masyarakat. Resiliensi yang dibangun untuk penyembuhan trauma adalah dengan melakukan rehabilitasi untuk para pelaku dan korban trauma. Proses penyembuhan trauma sangat bergantung pada spiritualitas, tradisionalisme dan pengawasan fasilitator yang berpengalaman. Modal sosial berupa ikatan sosial dan peran kepemimpinan menentukan keberhasilan proses penyembuhan trauma ini. Para pemimpin dan masyarakat terus berjuang untuk mempertahankan budaya dan nilai-nilai dalam komunitasnya untuk mendukung resiliensinya.

(29)

9 pengelolaan sumberdaya lokal dan melakukan perubahan pada sistem pertanian konvensional mereka menjadi pertanian organik untuk meningkatkan resiliensinya.

Penelitian ini akan membahas bentuk adaptasi dalam resiliensi komunitas yang diungkapkan oleh Berkes dan Jolly (2001). Adaptasi tersebut berbentuk repon jangka pendek dan jangka pendek yang dilakukan dalam mekanisme resiliensi komunitas. Respon jangka pendek berhubungan dengan perubahan praktek pertanian dan perubahan mata pencaharian. sedangkan respon jangka panjang membahas mengenai perubahan nilai dalam komunitas.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Resiliensi Komunitas

Pada level komunitas, resiliensi di analisis dalam dimensi ikatan sosial dan kelembagaan. Komunitas memiliki modal sosial yang menunjukkan interaksi yang terjalin antar anggotanya. Modal sosial terdiri dari jaringan, norma-norma dan kepercayaan yang ada dalam komunitas (Tousignant dan Sioui 2009). Modal sosial akan membentuk hubungan kohesivitas di antara anggota komunitas. Kohesivitas komunitas membuat anggota tidak bersifat individualis dalam menciptakan aksi-aksi kolektif dari komunitas untuk mengatasi guncangan atau bencana. Proses ini sangat melibatkan peran pemimpin (Tousignant dan Sioui 2009). Kepemimpinan seorang pemimpin akan menentukan perjuangan anggota dalam menjaga komunitasnya. Selain aksi-aksi kolektif dan kepemimpinan, kekokohan kelembagaan juga menjadi salah satu faktor dalam resiliensi komunitas (Tompkins dan Adger 2003). Kekokohan kelembagaan berperan dalam pengelolaan sumberdaya dalam komunitas. selain menganalisis interaksi antar anggota, komunitas juga memiliki berbagai pemangku kepentingan yang melakukan peranannya sendiri dalam membentuk resiliensi dalam komunitas (Schouten 2009). Kerja sama antar pemangku kepentingan juga menjadi salah satu faktor yang akan mendukung resiliensi dalam komunitas. Aksi-aksi kolektif membutuhkan kerja sama antar pemangku kepentingan dan kekokohan kelembagaan diperlukan dalam pengaturan komunitas. Faktor intrinsik komunitas yang terdiri dari kepemimpinan, aksi kolektif dan kekokohan kelembagaan serta kerja sama dengan pemangku kepentingan akan berpengaruh dalam pembentukan resiliensi komunitas namun harus di dukung juga oleh kebijakan yang dapat melindungi komunitas. Kebijakan di keluarkan oleh pemerintah untuk peningkatan kapasitas komunitas (Schouten et al. 2001, Lebel et al. 2006). Kebijakan ini terkait kebijakan ekonomi, sosial dan politik yang meningkatkan kapasitas komunitas untuk bertahan dalam menghadapi guncangan.

Resiliensi komunitas juga dipengaruhi oleh pengalaman komunitas dalam menghadapi bencana kemudian diakumulasikan menjadi pengetahuan lokal (Berkes dan Jolly 2001, Borron 2006, Gailard 2007, Schwaz et al. 2011). Lebih jauh, Gailard menyatakan ada empat faktor yang mempengaruhi tingkat ketahanan masyarakat yaitu : (1) sifat intrinsik bencana meliputi besar, jarak dan dampak terhadap komunitas, (2) kondisi sosial dan kultural masyarakat, (3) pengaturan geografi dan (4) kebijakan rehabilitasi pasca bencana.

(30)

10

Dengan adanya keenam faktor ini komunitas akan memiliki kapasitas dan sumberdaya yang cukup untuk menghadapi kesulitan.

Dalam penelitian ini akan dibahas beberapa faktor yang mempengaruhi resiliensi komunitas meliputi kohesivitas (Tousignant dan Sioui 2009), Kepemimpinan (Tousignant dan Sioui 2009), sumberdaya dan keterampilan (Buckle 2006) dan dukungan stakeholder dalam bentuk bantuan (Schouten et al. 2009). Keempat faktor ini akan dianalisis pengaruhnya terhadap resiliensi komunitas petani padi sawah.

Pengukuran Resiliensi Komunitas

Penelitian tentang resiliensi terus mengalami perkembangan. Berbagai metode pengukuran dikembangkan oleh peneliti untuk menemukan fenomena resiliensi dalam komunitas. Beberapa penelitian dan pengukurannya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Matriks penelitian resiliensi komunitas Penelitian Daerah

(31)

11 memiliki kelebihan dalam menjelaskan resiliensi masyarakat pada basis ekonomi yang berbeda namun mengalami kesulitan dalam menginterpretasi hasil wawancara karena jawaban yang bervariasi dari informan. Metode kedua, survai rumahtangga menggunakan kuesioner menggambarkan hubungan status kesehatan dan resiliensi namun peneliti tidak bisa melakukan diskusi mendalam dengan responden. Metode ketiga, Analisis data sekunder yaitu analisis data kesehatan provinsi tidak bisa menjelaskan hubungan tren kesehatan dengan resiliensi, selain itu metode ini juga mahal, sulit dalam perizinan dan indikatornya tidak jelas. Meskipun setiap metode memiliki kekurangan namun ketiganya dapat saling melengkapi untuk meningkatkan pemahaman tentang kondisi masyarakat dan ketahanannya dalam menghadapi kesulitan. Selanjutnya, Schwaz et al. (2011) menggunakan peta penilaian terpadu menggunakan kuesioner yang diberikan kepada responden. Metode ini digunakan untuk mencari informasi tentang dimensi kerentanan dan kekuatan masyarakat dalam menghadapi guncangan (resiliensi). Terakhir, penelitian dalam negeri oleh Noviyanty (2011) menggunakan metode survai. Metode ini berhasil menjawab tujuan penelitian yaitu mengetahui hubungan antara penyesuaian dusun jangka panjang dengan resiliensi komunitas. Penelitian ini menggunakan dua variabel penelitian yaitu penyesuaian dusun jangka panjang dan resiliensi komunitas. Penyesuaian dusun jangka panjang diukur dari penilaian individu terhadap situasi kehidupan di dusunnya pada saat gempa dan pasca gempa. Aspek dalam penyesuaian dusun jangka panjang, yaitu: kedamaian dan kerukunan dusun, optimisme masa depan dusun juga dukungan partisipasi sosial masyarakat dusun. Resiliensi komunitas diukur dari penilaian individu terhadap keterlibatan dirinya di dalam komunitas dan penilaian individu terhadap peran warga, tokoh-tokoh masyarakat, pemerintah, dan lembaga sosial lainnya dalam dinamika dan kegiatan sosial di dusun. Peneliti menemukan masalah ketika pengaplikasian kuesioner di lapangan karena beberapa responden tidak bisa berbahasa Indonesia dan tidak bisa baca tulis.

Schouten et al. memberikan dua pendekatan untuk menilai resiliensi yang disampaikan pada Seminar European Association of Agricultural Economists ke-113 di Serbia pada 2009. Kedua pendekatan tersebut adalah pengembangan indeks ketahanan dan studi kasus. Kedua pendekatan tersebut digunakan tergantung pada wilayah kajian, pengembangan indeks ketahanan untuk analisis tingkat makro, antar negara atau wilayah sedangkan studi kasus digunakan untuk daerah tertentu dengan karakteristik yang khas. Sayangnya, dalam penelitian ini tidak dijelaskan lebih lanjut tentang indeks ketahanan yang dikembangkan. Buckle (2006) menyatakan bahwa pengukuran resiliensi bersamaan dengan kerentanan. Hal ini dikarenakan dua hal tersebut berkaitan satu sama lain. Buckle menyarankan pendekatan fungsional diambil dimana kerentanan dan ketahanan yang dinilai pada kemampuan dasar seseorang, kelompok atau masyarakat untuk bekerja mencapai tujuan dasar tertentu, seperti kapasitas untuk mengelola urusan mereka sendiri, untuk memiliki akses ke tingkat yang tepat dari sumberdaya, termasuk makanan, air, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan dan kegiatan budaya, standar sosial dan informasi serta akses ke layanan lain yang diperlukan dan diinginkan.

(32)

12

Komunitas Petani

Daerah pedesaan merupakan sistem sosial-ekologi yang dinamis terdiri dari komponen ekologi, ekonomi dan sosial yang berinteraksi bersama (Schouten et al. 2009). Komponen-komponen ini saling terkait dan menciptakan karakteristik khas daerah pedesaan. Daerah pedesaan merupakan daerah yang rentan terhadap gangguan. Gangguan tersebut antara lain adalah populasi, struktur, dan perubahan sumberdaya. Modal sosial, kohesi sosial dan pengetahuan lokal menjadi alat masyarakat pedesaan menciptakan ketahanannya dalam kondisi yang rentan terhadap gangguan.

Schouten et al. (2009) menyatakan pertanian dan kehutanan memainkan peran penting dalam pengelolaan sumberdaya di pedesaan. Masyarakat pedesaan mengidentifikasikan diri dalam berbagai komunitas. Norris et al. (2008) mendefinisikan komunitas adalah sebuah entitas yang memiliki batas-batas geografis dan nasib yang sama. Komunitas dibangun dari lingkungan alam, sosial dan ekonomi yang mempengaruhi satu sama lain dalam cara yang kompleks. Norris et al. (2008) juga menjelaskan bahwa dalam menganalisis resiliensi komunitas, masyarakat bukan hanya jumlah total (atau rata-rata) dari anggotanya, tapi resiliensi juga adalah ketahanan yang dibangun oleh seluruh bagian komunitas atau dengan kata lain, individu-individu yang tangguh dalam komunitas tidak menjamin komunitas tersebut resilien. Salah satu komunitas yang ada di pedesaan adalah komunitas pertanian yang terdiri dari para petani.Menurut Kulig et al. (2008), komunitas petani memiliki karakteristik tertentu yang berbeda dari komunitas lainnya, yaitu: memiliki latar belakang yang sama dengan tingkat pendidikan yang setara, afiliasi keagamaan dan etnik, juga rentang waktu masyarakat berada dalam komunitas tersebut. Penelitian Kulig et al. (2008) terhadap tiga komunitas yang berbeda latar belakang menunjukkan bahwa komunitas petani memiliki karakteristik rasa memiliki yang lebih tinggi ditunjukkan dengan filosofi dan komitmen mereka untuk tinggal di pedesaan daripada pada dua kelompok lain dengan latar belakang komunitas daerah pertambangan dan komunitas perkotaan. Komunitas pertanian digambarkan memiliki inisiatif untuk mengatasi masalah mereka, saling membantu dengan penanaman dan panen dan berinteraksi sebagai unit kolektif. Karakter itu memberikan gambaran tentang bagaimana interaksi dalam komunitas berhubungan dengan rasa memiliki dan selanjutnya berpengaruh pada ketahanan komunitas.

Praktek pertanian tradisional masyarakat pedesaan membuktikan mereka punya mekanisme resiliensi yang memanfaatkan pengetahuan lokal untuk pengelolaan sumberdaya. Pertanian tradisional mencoba untuk menghindari resiko dan memaksimalkan sumberdaya lokal (Borron 2006). Boron (2006) melakukan penelitian di dua lokasi yaitu komunitas Vicente Guerrero Group (VGG) Meksiko

(33)

13

Kerangka Pemikiran

(34)

14

Keterangan :

Mempengaruhi Berhubungan

Gambar 1 Kerangka pemikiran

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dapat disimpulkan hipotesis penelitiannya adalah sebagai berikut:

1. Diduga terdapat respon jangka pendek dan respon jangka panjang pada komunitas petani padi sawah dalam menghadapi serangan hama sebagai bentuk adaptasi dalam mekanisme resiliensi komunitas.

2. Diduga faktor-faktor yang terdiri atas: kohesivitas komunitas, kepemimpinan, sumberdaya dan keterampilan dan bantuan mempengaruhi tingkat resiliensi komunitas petani padi sawah.

Definisi Operasional

Penelitian ini terdiri atas beberapa variabel yang terbagi menjadi beberapa indikator. Masing-masing variabel dan indikator diberi batasan terlebih dahulu sehingga dapat ditemukan skala pengukurannya. Definisi operasional untuk masing-masing variabel adalah sebagai berikut.

(35)

15 a. Umur adalah selisih antara tahun responden dilahirkan sampai tahun pada saat dilaksanakan penelitian. Umur responden dikategorikan menjadi :

1. Umur 25-40 tahun 2. Umur 41-55 tahun 3. Umur lebih dari 56 tahun

b. Tingkat pendidikan adalah jenis pendidikan/sekolah tertinggi yang pernah diikuti oleh responden. Tingkat pendidikan dikategorikan menjadi :

1. Responden tidak sekolah, tidak tamat dan tamat SD/sederajat

2. Responden tamat SMP/sederajat 3. Responden tamat SMA/sederajat

c. Pengalaman menjadi petani adalah lama responden bekerja pada bidang pertanian padi sawah yang dihitung dalam satuan waktu (tahun) sejak pertama kali bekerja hingga penelitian dilaksanakan. Pengalaman menjadi petani dikategorikan menjadi

1. Pengalaman kurang dari 10 tahun 2. Pengalaman selama 11-20 tahun

3. Pengalaman selama lebih dari 21 tahun)

d. Status penguasaan lahan sawah adalah status responden dalam hubungannya dengan penguasaan lahan pertanian sawah. Status penguasaan lahan dikategorikan menjadi :

1. Buruh Tani yaitu responden yang tidak memiliki lahan sawah dan bekerja dengan menjual tenaganya untuk bekerja di pertanian padi sawah

2. Penggarap adalah responden yang mengelola lahan sawah milik orang lain dengan sistem maro atau bagi hasil yang disepakati dengan pemilik lahan sawah

3. Pemilik-penggarap adalah responden yang menguasai lahan sawah baik milik sendiri, menyewa atau mengontrak dan hasil gadai dan mengelola sendiri lahan sawah tersebut

e. Penguasaan lahan sawah adalah luas areal lahan sawah yang dikuasai oleh responden. Penguasaan lahan sawah dikategorikan berdasarkan ukuran lokal, yaitu : dilakukan oleh responden sebagai hasil pendapatan utama. Jenis pekerjaan dikelompokkan berdasarkan data lapang yang diperoleh.

(36)

16

a. Rasa memiliki adalah rasa ikut memiliki dalam komunitas yang akan membuat individu mempunyai sikap untuk menjaga dan rasa tanggung jawab terhadap komunitas sehingga menimbulkan semangat untuk berpartisipasi dalam komunitas untuk mencapai tujuan bersama. Rasa memiliki terdiri atas empat pertanyaan dengan jawaban ya/tidak.

1. Rendah jika skor 4

2. Sedang jika total skor antara 5-6 3. Tinggi jika total skor antara 7-8

b. Inisiatif mengatasi masalah adalah karakter proaktif yang cepat bereaksi untuk mencari solusi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi. Inisatif mengatasi masalah terdiri atas tiga pertanyaan.

1. Rendah jika total skor antara 4-5 2. Sedang jika total skor antara 6-7 3. Tinggi jika total skor antara 8-10

c. Saling tergantung adalah perasaan saling membutuhkan antar sesama warga komunitas. Saling tergantung terdiri atas tiga pertanyaan.

1. Rendah jika total skor antara 3-5 2. Sedang jika total skor antara 6-7 3. Tinggi jika total skor antara 8-9

d. Interaksi dalam unit kolektif adalah partisipasi individu dalam komunitas dimana individu saling mengenal dan saling membantu bila ada kesulitan. Interaksi dalam unit kolektif terdiri atas tiga pertanyaan.

1. Rendah jika total skor antara 3-5 2. Sedang jika total skor antara 6-7 3. Tinggi jika total skor antara 8-9

Kohesivitas komunitas dikategorikan sebagai berikut :

1. Kohesivitas komunitas tinggi bila lebih dari 60 persen responden berada pada kategori tinggi pada minimum tiga komponen.

2. Kohesivitas komunitas sedang bila lebih dari 60 persen responden berada pada kategori sedang atau tinggi pada minimum dua komponen.

3. Kohesivitas komunitas rendah bila lebih dari 60 persen responden berada pada kategori rendah pada minimum satu komponen.

3. Kepemimpinan adalah peran pemimpin komunitas dalam resiliensi komunitas yang membawa komunitas bertahan dan mencapai standar hidup yang memadai. Kepemimpinan terdiri atas :

a. Keberadaan pemimpin di komunitas dalam menghadapi serangan hama. Keberadaan pemimpin terdiri atas satu pertanyaan.

(37)

17 b. Peran pemimpin dalam komunitas adalah keterlibatan pemimpin komunitas dalam menghadapi serangan hama. Peran pemimpin terdiri atas satu pertanyaan.

1. Rendah jika skor 1

2. Sedang jika total skor antara 2-3 3. Tinggi jika total skor antara 4-5

c. Kemampuan pemimpin memecahkan masalah adalah keberhasilan seorang pemimpin dalam menyelesaikan masalah. Kemampuan pemimpin dalam memecahkan masalah terdiri atas satu pertanyaan.

1. Rendah jika skor 1 2. Tinggi jika skor 2

Kepemimpinan dalam komunitas dikategorikan dalam :

1. Kepemimpinan dalam komunitas tinggi bila lebih dari 60 persen responden berada pada kategori tinggi pada minimum dua komponen.

2. Kepemimpinan dalam komunitas rendah bila lebih dari 60 persen responden berada pada kategori rendah pada minimum satu komponen.

4. Sumberdaya dan keterampilan adalah kepemilikan sumberdaya untuk bertahan dan kapasitas individu untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki. Sumberdaya dan keterampilan terdiri atas :

a. Pengetahuan tentang pengendalian hama terdiri atas satu pertanyaan.

1. Rendah jika skor 1 2. Tinggi jika skor 2

b. Kepemilikan alat pengendalian hama terdiri atas satu pertanyaan. 1. Rendah jika skor 1

2. Tinggi jika skor 2

c. Kemampuan menggunakan alat-alat pengendalian hama terdiri atas satu pertanyaan.

1. Rendah jika skor 1 2. Tinggi jika skor 2

d. Kepemilikan keterampilan lain selain bidang pertanian terdiri atas satu pertanyaan.

1. Rendah jika skor 1 2. Tinggi jika skor 2

Sumberdaya dan keterampilan dikategorikan dalam :

1. Sumberdaya dan keterampilan warga komunitas tinggi bila lebih dari 60 persen responden berada pada kategori tinggi pada minimum tiga komponen.

(38)

18

3. Sumberdaya dan keterampilan warga komunitas rendah bila lebih dari 60 persen responden berada pada kategori rendah pada minimum satu komponen.

5. Bantuan adalah peranan yang dilakukan oleh stakeholder terkait yang mendukung strategi resiliensi komunitas seperti pemerintah, swasta dan LSM. Bantuan terdiri atas :

a. keberadaan bantuan untuk komunitas dalam menghadapi serangan hama. Ada tidaknya bantuan terdiri atas satu pertanyaan.

1. Rendah jika skor 1 2. Tinggi jika skor 2

b. Sumber bantuan adalah asal bantuan untuk komunitas dalam menghadapi serangan hama. Sumber bantuan terdiri atas satu pertanyaan.

1. Rendah jika skor 1

2. Sedang jika total skor antara 2-3 3. Tinggi jika total skor antara 4

c. Bentuk bantuan adalah bentuk bantuan yang diberikan oleh stakeholder kepada komunitas dalam menghadapi serangan hama baik berupa materi maupun non materi. Bentuk bantuan terdiri atas satu pertanyaan.

1. Rendah jika total skor antara 1-2 2. Sedang jika total skor antara 3-5 3. Tinggi jika total skor antara 6-7

d. Jangka waktu pemberian bantuan adalah lama pemberian bantuan untuk komunitas dalam menghadapi serangan hama. Jangka waktu pemberian bantuan terdiri atas satu pertanyaan.

1. Rendah jika skor 1

2. Sedang jika total skor antara 2-3 3. Tinggi jika total skor antara 4-5

e. Dampak bantuan adalah keberhasilan bantuan untuk komunitas dalam mengendalikan serangan hama. Dampak bantuan terdiri atas satu pertanyaan.

persen responden berada pada kategori tinggi pada minimum empat komponen.

2. Kondisi bantuan dalam komunitas sedang bila lebih dari 60 persen responden berada pada kategori sedang pada minimum tiga komponen.

(39)

19

6. Adaptasi komunitas adalah bentuk adaptasi dalam mekanisme resiliensi komunitas dalam mempertahankan fungsinya dan mencapai standar hidup yang memadai pasca bencana. Adaptasi komunitas diukur melalui respon jangka pendek dan respon jangka panjang

a. Respon jangka pendek adalah strategi koping yang berhubungan dengan perubahan praktek pertanian dan perubahan mata pencaharian komunitas. Respon jangka pendek terdiri atas :

1. Perubahan praktek pertanian adalah perubahan cara bertani dan sarana yang digunakan. Perubahan praktek pertanian terdiri atas tiga pertanyaan.

1. Rendah jika skor 3

2. Sedang jika total skor antara 4 3. Tinggi jika total skor antara 5-6

2. Perubahan mata pencaharian adalah perubahan pekerjaan dalam komunitas baik di dalam komunitas maupun di luar komunitas. Perubahan praktek mata pencaharian terdiri atas satu pertanyaan.

1. Rendah jika skor 1 2. Tinggi jika skor 2

Respon jangka pendek dalam komunitas dikategorikan dalam :

1. Respon jangka pendek komunitas tinggi bila lebih dari 60 persen responden berada pada kategori tinggi pada minimum satu komponen.

2. Respon jangka pendek komunitas sedang bila lebih dari 60 persen responden berada pada kategori sedang pada minimum satu komponen.

3. Respon jangka pendek komunitas rendah bila lebih dari 60 persen responden berada pada kategori rendah pada dua komponen.

b. Respon jangka panjang adalah strategi adaptif yang berhubungan dengan perubahan nilai-nilai budaya. Respon jangka panjang terdiri atas :

1. Perubahan tingkat kerjasama adalah perubahan frekuensi kerjasama petani padi sawah dalam komunitas. Perubahan tingkat kerjasama terdiri atas satu pertanyaan.

1. Rendah jika skor 1 2. Tinggi jika skor 2

2. Perubahan tingkat komunikasi adalah perubahan frekuensi komunikasi yang dilakukan petani padi sawah dalam komunitas. Perubahan tingkat komunikasi terdiri atas satu pertanyaan.

(40)

20

3. Perubahan tingkat kepedulian adalah perubahan rasa empati terhadap sesama warga komunitas. Perubahan tingkat kepedulian terdiri atas satu pertanyaan.

1. Rendah jika skor 1 2. Tinggi jika skor 2

Respon jangka panjang dalam komunitas dikategorikan dalam :

1. Respon jangka panjang komunitas tinggi bila lebih dari 60 persen responden berada pada kategori tinggi pada minimum dua komponen.

2. Respon jangka panjang komunitas rendah bila lebih dari 60 persen responden berada pada kategori rendah pada minimum dua komponen.

Adaptasi komunitas dikategorikan dalam :

3. Adaptasi komunitas tinggi bila lebih dari 60 persen responden berada pada kategori tinggi pada minimum satu komponen. 4. Adaptasi komunitas rendah bila lebih dari 60 persen

responden berada pada kategori rendah pada dua komponen. 7. Tingkat resiliensi komunitas adalah kondisi yang ditunjukan oleh

komunitas pasca bencana. Tingkat resiliensi ditunjukan oleh kecenderungan perubahan kualitas hidup sebelum dan sesudah serangan hama terjadi. Kualitas hidup petani meliputi pemenuhan kebutuhan rumahtangga petani dan kepemilikan sumberdaya dalam komunitas untuk menghadapi kesulitan. Kualitas hidup terdiri atas 8 pertanyaan.

a. Pemenuhan kebutuhan pangan, sandang dan pemeliharaan rumah. Pemenuhan kebutuhan terdiri atas tiga pertanyaan.

1. Menurun jika skor 3-4 2. Tetap jika skor 5-6 3. Meningkat jika skor 7-9

b. Ketentraman dalam komunitas adalah perasaan nyaman yang dirasakan warga komunitas. Ketentraman dalam komunitas terdiri atas satu pertanyaan.

1. Menurun jika skor 1 2. Tetap jika skor 2 3. Meningkat jika skor 3

c. Optimisme masa depan adalah harapan positif yang dimiliki oleh warga komunitas terhadap kesejahteraan komunitas. Optimism masa depan terdiri atas satu pertanyaan.

1. Menurun jika skor 1 2. Tetap jika skor 2 3. Meningkat jika skor 3

d. Pengetahuan dalam menghadapi kesulitan adalah pengetahuan tentang cara-cara pengendalian hama. Pengetahuan dalam menghadapi kesulitan terdiri atas satu pertanyaan.

(41)

21 3. Meningkat jika skor 3

e. Jaringan sosial yang dimiliki dalam menyelesaikan masalah saat kondisi sulit adalah adanya jaringan informasi dan pihak-pihak yang bisa dihubungi saat keadaan sulit. Jaringan sosial yang dimiliki terdiri atas dua pertanyaan.

1. Meningkat jika skor 2

2. Tetap jika total skor antara 3-4 3. Meningkat jika total skor antara 5-6 Tingkat resiliensi komunitas dikategorikan dalam :

1. Tingkat resiliensi komunitas tinggi bila lebih dari 60 persen responden berada pada kategori tinggi pada minimum empat komponen.

2. Tingkat resiliensi komunitas sedang bila lebih dari 60 persen responden berada pada kategori sedang pada minimum tiga komponen.

(42)
(43)

PENDEKATAN LAPANGAN

Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dan kualitatif untuk mendukung analisis kuantitatif. Metode kuantitatif yang digunakan adalah penelitian survai menggunakan kuesioner kepada responden. Kuesioner penelitian disusun sesuai dengan kerangka pemikiran yang telah dibuat sebelumnya untuk mengetahui bentuk-bentuk adaptasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi komunitas petani padi sawah dalam menghadapi serangan hama. Sedangkan metode penelitian kualitatif digunakan untuk mencari informasi pendukung tentang resiliensi komunitas yang dilakukan oleh komunitas petani padi sawah dalam menghadapais serangan hama. Kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif bertujuan untuk lebih memahami fenomena sosial yang diteliti.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Dusun Bengle, Desa Pancakarya, Kecamatan Tempuran, Karawang. Penentuan lokasi ini berdasarkan karakteristik daerah yang sesuai untuk pelaksanaan penelitian, meliputi :

1. Lokasi merupakan salah satu daerah pertanian di lumbung padi Karawang yang mayoritas penduduknya adalah petani padi sawah

2. Data yang diperoleh dari Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani (RDKK) Desa Pancakarya, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang tahun 2011 menunjukan kegagalan panen mencapai 312 Ha yag meliputi seluruh lahan sawah yang ada di Desa tersebut. Gagal panen padi tersebut disebabkan oleh serangan hama wereng coklat yang diikuti penyakit kerdil hampa dan virus kerdil rumput yang meningkat pada akhir tahun 2010 (Baehaki 2012).

Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni 2014 hingga Desember 2014. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, perbaikan proposal skripsi, pengambilan data lapang, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, uji petik, sidang skripsi, dan perbaikan laporan skripsi. Selama penelitian berlangsung, pengumpulan data dan informasi dilakukan oleh peneliti melalui interaksi langsung dengan warga komunitas petani padi sawah sebagai responden dan berberapa pihak yang menjadi informan.

Teknik Pemilihan Responden dan Informan

(44)

24

pengambil keputusan dalam rumahtangga tersebut. Penentuan jumlah sampel penelitian menggunakan teknik acak sederhana (simple random sampling) sebanyak 69 responden. Teknik acak sederhana dipilih karena warga komunitas memiliki karakteristik yang sama yaitu jenis pekerjaan.

Informan dalam penelitian ini meliputi pihak yang mengetahui mekanisme resiliensi komunitas padi sawah dalam menghadapi serangan hama. meliputi Kepala Dusun, Ketua RT, Ketua Gapoktan, Kelompok Tani, petani kaya dan pemilik Kios Sarana Produksi Pertanian (Saprotan). Teknik purposive atau pemilihan secara sengaja digunakan dalam menentukan informan. Pemilihan secara sengaja (purposive) dilakukan untuk mendapatkam informasi yang lebih banyak dan akurat.

Teknik Pengumpulan data

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari pengambilan data langsung di lapangan melalui kuesioner yang diberikan kepada responden, hasil wawancara mendalam menggunakan pedoman pertanyaan, dan hasil observasi kegiatan masyarakat. Sedangkan data sekunder diperoleh dari data yang telah dikumpukan dan diolah oleh pihak lain. Data sekunder meliputi Profil Desa dan data-data pendukung lainnya untuk penulisan hasil penelitian ini.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

(45)
(46)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Geografi Desa Pancakarya

Desa Pancakarya terletak di Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Desa Pancakarya merupakan daerah dataran yang menjadi salah satu daerah pertanian padi sawah di Kabupaten karawang. Jarak antara Pemerintahan Desa ke Ibu Kota Kabupaten Karawang adalah 32 Km. Batas wilayah Desa Pancakarya meliputi :

1. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Tanjungjaya 2. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Pagadungan

3. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Lemahduhur dan Desa Lemahsubur

4. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Tanjungjaya

Desa Pancakarya mempunyai wilayah kerja administratif yang memiliki luas areal kurang lebih 422 hektar. Alokasi penggunaan lahan di Desa Pancakarya dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 2 Alokasi penggunaan lahan di Desa Pancakarya

Penggunaan Lahan Luas (Ha)

Sawah 274

Pemukiman 69

Empang 14

Gedung fasilitas public 2

Lain-lain 63

Jumlah 422

Alokasi penggunaan lahan paling besar adalah untuk lahan padi sawah yaitu sebesar 65 persen dari luas Desa Pancakarya. Hal ini disebabkan oleh komoditas utama yang diusahakan oleh sebagian besar masyarakat Karawang adalah padi termasuk di Desa Pancakarya. Selain padi, petani juga mengusahakan tanaman palawija, seperti terong, paria, kacang panjang dan bunga kol. Masyarakat juga menggunakan lahan sebagai empang atau kolam untuk memelihara ikan. Ikan yang dipelihara dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan tambahan penghasilan rumahtangga.

Kondisi Demografi Desa Pancakarya

(47)

27 Tabel 3 Jumlah dan persentase rumahtangga dan rumahtangga petani padi sawah

di Desa Pancakarya Pancakarya terbesar adalah di komunitas petani padi sawah Dusun Bengle yaitu sebanyak 60 persen dari seluruh jumlah petani di Desa tersebut. Hal ini disebabkan oleh lokasi Dusun Bengle yang paling dekat dengan areal peratanian padi sawah yang membentang di daerah Layapan yang meliputi desa-desa dari Kecamatan Telagasari hingga Kecamatan Tempuran. Selain itu, lokasi ini juga dilewati jalur irigasi dari Waduk Jati Luhur, Kabupaten Purwakarta sehingga menjamin ketersediaan air usaha tani sepanjang musim.

Kondisi Kampung Dusun Bengle

Norris et al. (2008) mendefinisikan komunitas sebagai sebuah entitas yang memiliki batas-batas geografis dan nasib yang sama serta dibangun dari lingkungan alam, sosial dan ekonomi yang mempengaruhi satu sama lain dalam cara yang kompleks. Di Desa Pancakarya, definisi komunitas tersebut mengarah kepada komunitas padi sawah yang berada di Dusun Bengle. Lokasi yang berjauhan antar dusun menjadikan antar dusun tidak ada hubungan dan cenderung memiliki karakterisitik berbeda. Lokasi Dusun Bengle yang dekat dengan lokasi persawahan menjadikan sebagian besar masyarakatnya, yaitu 53 persen berprofesi sebagai petani baik sebagai buruh, petani penggarap maupun petani pemilik. Kondisi ini membuat masyarakat merasa senasib dan memiliki kehidupan sosial yang tidak jauh dari pertanian padi sawah.

(48)

28

sejumlah uang kepada pemilik untuk jangka waktu tertentu dan tanah akan kembali kapada pemilik setelah jangka waktu tersebut habis. Sistem penguasaan lahan seperti ini menjadikan petani lebih mandiri dan dapat mengambil keputusan dibanding hanya menjadi buruh tani.

Petani di Dusun Bengle hidup berdampingan dalam sistem relasi yang kompleks. Hubungan komplek tersebut meliputi hubungan sosial sebagai warga komunitas dan hubungan sosial dalam menjalankan usaha tani berbentu hubungan patron klien dalam pertanian. Hubungan patron klien adalah merupakan ikatan

diadik (dua orang) yang bersifat dikotomis dan hierarkis, antara “yang lebih tinggi”

(patron) dan “yang lebih rendah” (klien) (Scott 1993 dalam Kausar dan Zaman 2011). Scott menjelaskan interaksi patron klien melibatkan seorang individu dengan status sosial-ekonomi yang lebih tinggi (patron) yang menggunakan pengaruh dan sumberdayanya untuk menyediakan perlindungan dan/atau keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status lebih rendah (klien). Di komunitas padi sawah Dusun Bengle, ada tiga kelompok orang yang menjadi patron, yaitu: petani kaya, pemilik pabrik penggilingan padi dan pemilik kios sarana produksi pertanian (saprotan). Para patron ini memainkan perannya masing-masing dalam memberikan perlindungan bagi para klien atau buruhnya.

Hubungan patron klien petani kaya dengan buruhnya adalah petani kaya menyerahkan pekerjaan di sawah kepada buruh. Buruh-buruh ini umumnya adalah buruh kepercayaan dan sebagian kecil merupakan buruh serabutan. Buruh serabutan terdiri atas buruh tani yang baru saja memulai kerja pada bidang pertanian padi sawah sehingga belum memiliki majikan tetap. Pada saat buruh mengalami kesulitan, petani kaya akan memberikan pinjaman untuk melindungi kehidupan ekonomi kelurga buruh yang umumnya memiliki tingkat kesejahteraan rendah. Buruh tani bekerja pada petani kaya untuk membayar hutangnya kembali. Umumnya petani kaya rela memberikan pinjaman untuk menjaga buruh tidak lari ke petani kaya yang lain sehingga selalu ada tenaga kerja yang bisa dikerjakan bila sewaktu-waktu membutuhkan. Petani kaya akan memiliki banyak anak buah yang siap dipekerjakan dalam usaha tani mulai dari penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pengendalian hama hingga panen. Upah harian yang diberikan kepada para buruh tani ini berkisar antara Rp.30.000,- hingga Rp.60.000,- perharinya tergantung jenis pekerjaan dan waktu pengerjaannya

Hubungan patron klien antara pemilik penggilingan padi dengan petani sebagai kulinya hampir sama dengan petani kaya dan buruh taninya. Pemilik penggilingan berperan sebagai dianggap menjadi pelindung bagi buruh karena menyediakan lapangan pekerjaan dan pinjaman saat kesusahan. Pabrik dengan skala produksi 1 ton/hari ini membutuhkan sekitar 16 pekerja untuk dapat berproduksi. Spesialisasi pekerjaan dalam pabrik penggilingan padi adalah pedagang pengumpul yang bertugas membali hasil panen langsung ke lokasi panen padi, supir pengangkut, buruh jemur padi dan petugas penggiling. Upah yang di penggilingan padi ini relatif lebih besar dibanding bekerja di sawah yaitu sekitar Rp.80.000,- hingga Rp.120.000,- perhari tergantung produktivitas pekerja. Biasanya pekerjaan di pabrik penggilingan padi menjadi alternatif para butuh tani yang sedang tidak ada permintaan untuk bekerja di sawah.

(49)

29 saat panen tiba. Pemilik kios Saprotan yang masih berada dalam satu komunitas dengan para petani menjadi tumpuan satu-satunya yang bisa dipercaya untuk berhutang. Petani berhutang dengan perjanjian akan dibayar ketika musim panen.

Hubungan keakraban yang terjalin antara patron dan klien dalam komunitas menyebabkan mereka mereka memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi. Tingkat kepercayaan tersebut terbentuk dari kedekatan yang terjalin karena tinggal dalam komunitas yang sama. Kepercayaan ini menyebabkan klien tidak khawatir terjadi konflik dengan patronnya ketika tidak mampu membayar hutang-hutangnya.

Hubungan yang kompleks antar petani baik buruh, penggarap maupun pemilik membuat mereka merasa terikat dan membutuhkan satu sama lain. Perasaan senasib dalam lingkungan yang sama yaitu daerah pertanian padi sawah membuat petani merasa bertanggung jawab atas kelangsungan komunitasnya. Dalam menghadapi kesulitan, warga komunitas bersama-sama untuk mencari solusi dengan sumberdaya yang dimiliki oleh komunitas dan pengambilan keputusan bersama. Salah satu kegiatan yang mencerminkan kebersamaan warga komunitas petani padi sawah Dusun Bengle adalah kegiatan “Ngala Tikus” yang dilakukan warga setiap awal musim panen untuk mengendalikan hama tikus yang menyerang pertanian padi sawah mereka. Warga bekerja sama dalam kegiatan tersebut dengan tujuan hasil panen padi sebagai penopang kesejahteraan rumahtangga petani menghasilkan produktivitas yang tinggi.

Serangan hama di Lahan Sawah Desa Pancakarya

Serangan hama merupakan salah satu permasalahan yang cukup besar untuk pertanian padi sawah. Serangan hama dengan intensitas tinggi akan menimbulkan kehilangan panen yang besar. Serangan hama sudah berlangsung terus menerus selama beberapa tahun hingga mencapai puncaknya pada tahun 2010. Pada tahun 2010 serangan wereng coklat yang diikuti penyakit virus kerdil hampa dan virus kerdil rumput hingga terjadi penurunan produksi padi sebesar 1,1 persen pada 2011 (65,756 juta ton GKG) dari produksi tahun 2010 (66,469 juta ton GKG) (Baehaki 2012). Baehaki juga menyebutkan luas serangan wereng batang coklat meningkat 5 kali lipat dari 47.473 hektar pada tahun 2009 menjadi 218.060 hektar tahun 2011. Serangan hama yang mencapai puncaknya pada 2010 menimbulkan ledakan sampai puso atau gagal panen.

Serangan hama ini juga menyerang areal pertanian padi sawah di Kabupaten Karawang, salah satunya adalah lahan sawah Desa Pancakarya. Dampak dari serangan hama pada tahun 2010 membuat para petani mengalami gagal panen di seluruh lahan sawah yang berada di Desa Pancakarya pada musim panen 2011. Lahan sawah di Desa Pancakarya tidak hanya dimiliki oleh warga komunitas di Desa tersebut khususnya petani Dusun Bengle, melainkan juga dimiliki oleh petani luar komunitas baik dari desa sekitar maupun daerah lain. Tabel 4 menunjukkan luas lahan sawah yang gagal panen pada musim tanam 2010/2011 di Desa Pancakarya.

Tabel 4 Luas lahan gagal panen di Desa Pancakarya tahun 2011

No Nama Kelompok Tani Jumlah Petani Luas Lahan (Ha)

1 Sri Makmur 31 32.80

(50)

30

3 Layapan 1 34 40.15

4 Layapan 2 26 34.15

5 Wening Galih 35 47.15

6 Tumaritis 20 27.15

7 Sri Jaya 40 35.50

8 Sampurna 41 44.40

Jumlah 264 312.00

Sumber : RDKK Gagal Penen Desa Pancakarya tahun 2011

Menurut penuturan dari Petugas Penyuluh Lapang (PPL), kegagalan panen yang besar di Desa Pancakarya disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

1. Lokasi desa berada pada daerah pesisir sehingga air irigasi merupakan air hasil sisa irigasi sawah di darat

2. Distribusi air irigasi di Desa Pancakarya berada pada masa tanam terakhir daerah Karawang sehingga banyak hama yang berpindah ke areal tersebut

3. Intensitas penyemprotan pestisida yang melebihi dosis oleh warga sehingga terjadi resistensi hama yang menyebabkan hama kebal terhadap pestisida yang sering digunakan oleh petani. Selain itu, terjadi ledakan hama dan adanya hama baru.

(51)
(52)

KARAKTERISTIK RESPONDEN

Umur Responden

Umur responden berada pada rentang 27 tahun hingga 79 tahun dengan rata-rata umur responden sebesar 48 tahun. Meskipun ada beberapa responden yang berada pada rentang umur yang sudah tidak produktif yaitu lebih dari 64 tahun namun mereka masih aktif bekerja pada pertanian padi sawah. Jumlah dan persentase responden berdasarkan umur disajikan dalam tabel 5.

Tabel 5 Jumlah dan persentase responden berdasarkan umur

Umur (tahun) Responden

Tabel 5 menunjukkan bahwa responden paling banyak adalah umur 41-55 tahun yaitu 42 persen responden. Pada umur ini petani telah memiliki pengalaman yang cukup dan menjadikan petani sebagai pekerjaan untuk tumpuan hidup rumahtangganya. Umumnya kehidupan petani pada umur ini telah mapan. Responden yang kurang dari 41 tahun sebanyak 35 persen. Responden dengan umur muda umumnya adalah mereka yang baru menikah dan memulai bekerja pada sektor pertanian baik sebagai buruh tani maupun mendapatkan warisan untuk dikelola. Pada umur muda masih jarang ditemukan petani penggarap karena umumnya mereka belum memiliki modal untuk menyewa lahan. Responden umur tua yaitu lebih dari 55 tahun jumlahnya sedikit yaitu 23 persen. Hal ini dikarenakan banyak dari mereka telah digantikan oleh anak-anaknya namun ada sebagian responden yang tetap mengelola usaha taninya sendiri hingga umur lanjut. Keadaan ini terjadi karena tuntutan ekonomi dan kurangnya kepercayaan kepada anak.

Tingkat Pendidikan

(53)

33 kesejahteraan rendah. Selain itu, kesadaran akan pentingnya pendidikan masih sangat rendah. Masyarakat berpikir bahwa ketika seorang anak telah lulus SD atau SMP bisa langsung turun menjadi tenaga kerja di sawah untuk membantu ekonomi keluarga. Diungkapkan salah satu responden yang merupakan petani kaya bahwa pendidikan bukan hal yang penting untuk mereka. Ketika seorang anak dianggap cukup umur maka sudah saatnya turun mengelola pertanian padi sawah.

Tabel 6 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan

Tingkat Pendidikan Responden

n %

Tidak sekolah, tidak tamat dan SD/Sederajat) 62 90

SMP 5 7

SMA/Sederajat 2 3

Jumlah 69 100

Pengalaman Menjadi Petani Padi Sawah

Pengalaman menjadi petani adalah lama responden bekerja pada bidang pertanian padi sawah yang dihitung dalam satuan waktu (tahun) sejak pertama kali bekerja hingga penelitian ini dilaksanakan. Sebanyak 74 persen responden memiliki pengalaman bertani lebih dari 20 tahun. Hal itu dikarenakan warga komunitas telah bekerja pada pertanian padi sawah sejak remaja untuk membantu keluarganya. Kondisi masyarakat yang tidak mementingkan pendidikan membuat anak petani harus siap terjun mengurus sawah sejak lulus SD atau SMP. Tabel 7 berikut ini menunjukkan jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalaman menjadi petani.

Tabel 7 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalaman menjadi petani Pengalaman menjadi Petani (Tahun) Responden

n %

Gambar

Tabel 1 Matriks penelitian resiliensi komunitas
Gambar 1 Kerangka pemikiran
Tabel 11 Jumlah dan Persentase responden berdasarkan Pola nafkah rumahtangga
Tabel 12 Jumlah dan persentase responden berdasarkan bentuk adaptasi dalam
+3

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tentang kondisi sosial ekonomi keluarga petani padi sawah di Desa Kotagajah Kecamatan Kotagajah Kabupaten Lampung Tengah dengan titik

Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang bertujuan untuk mengkaji pengambilan keputusan petani dalam penerapan pertanian padi organik., faktor- faktor yang

Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Pembahasan Analisis Faktor Produksi Cobb Douglas , Rajawali Pres, Jakarta.. Statistik Terapan dalam Penelitian Ilmu-ilmu Sosial dan Pendidikan,

Penelitian bertujuan untuk mengetahui populasi dan serangan Cnaphalocrocis medinalis pada padi sawah fase vegetatif di tiga desa di Kecamatan Dumoga Timur

rumahtangga petani padi sawah di Kecamatan Sungai Mandau Kabupaten Siak.Secara khusus tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi

Tujuan dari penelitian yaitu: (1) menganalisis secara deskriptif tingkat partisipasi petani padi sawah dalam pengendalian hama penyakit secara ramah lingkungan; (2)

Berdasarkan hasil penelitian di atas maka disarankan kepada petani diharapkan selalu menjaga dan meningkatkan partisipasinya dalam kegiatan pengelolaan irigasi

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan faktor-faktor alih fungsi lahan sawah sangat berhubungan dengan perbedaan tingkat penerimaan usahatani dikedua desa