• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Isolasi Terbaik dan Kadar Masoilakton Minyak Masoyi (Cryptocarya massoia) dari Berbagai Daerah di Papua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Metode Isolasi Terbaik dan Kadar Masoilakton Minyak Masoyi (Cryptocarya massoia) dari Berbagai Daerah di Papua"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

METODE ISOLASI TERBAIK DAN KADAR MASOILAKTON

MINYAK MASOYI (

Cryptocarya massoia

) DARI BERBAGAI

DAERAH DI PAPUA

AYUSTIYAN FUTU WIJAYA

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Metode Isolasi Terbaik dan Kadar Masoilakton Minyak Masoyi (Cryptocarya massoia) dari Berbagai Daerah di Papua adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(3)

ABSTRAK

AYUSTIYAN FUTU WIJAYA. Metode Isolasi Terbaik dan Kadar Masoilakton Minyak Masoyi (Cryptocarya massoia) dari Berbagai Daerah di Papua. Dibimbing oleh BUDI ARIFIN dan TUN TEDJA IRAWADI.

Kulit masoyi (Cryptocarya massoia) adalah komoditas ekspor hasil hutan bukan kayu Indonesia yang tumbuh endemik di Papua dan Maluku. Minyak atsiri dari kulit masoyi digunakan antara lain sebagai cita rasa es krim dan kosmetik. Belum ada pedoman mutu dalam perdagangan minyak masoyi. Masoilakton C10 (5,6-dihidro-6-pentil-2H-piran-2-on) telah diketahui sebagai komponen kimia utama minyak masoyi. Kadarnya berbeda-beda bergantung pada daerah asalnya maka berpotensi dijadikan penanda kimia mutu minyak masoyi. Penelitian ini menggunakan sampel kulit dan minyak masoyi dari beberapa daerah di Papua dan Papua Niugini. Hasil penelitian menunjukkan penyulingan air sebagai metode isolasi terbaik minyak masoyi, dibandingkan dengan maserasi dan penyulingan uap, berdasarkan kadar masoilakton C10 tertinggi hasil analisis dengan kromatografi gas-spektrometer massa. Mutu terbaik adalah minyak hasil penyulingan air asal Bintuni berdasarkan kadar masoilakton C10 yang tertinggi dan tidak mengandung senyawa benzil salisilat. Bobot jenis dan viskositas minyak masoyi tidak berkorelasi dengan kadar masoilakton C10. Informasi harga diperlukan untuk dapat mengelompokkan mutu minyak masoyi dalam perdagangan berdasarkan kadar masoilakton C10.

Kata kunci: kromatografi gas, maserasi, penyulingan air, penyulingan uap, spektrometer massa

ABSTRACT

AYUSTIYAN FUTU WIJAYA. The Best Isolation Method and Masoilactone Contents of Masoyi (Cryptocarya massoia) Oil from Various Regions in Papua. Supervised by BUDI ARIFIN dan TUN TEDJA IRAWADI.

Masoyi bark (Cryptocarya massoia) is an Indonesia’s non-wood forestry export commodity that grows endemic in Papua and Maluku. Essential oil from masoyi bark is used as flavor for ice cream and cosmetics. C-10 masoilactone (5,6-dihydro-6-pentyl-2H-pyran-2-one) is known as the main chemical component of masoyi oil. Its content varies depending on the region of origin. Therefore, it is potential to be used as a chemical marker of masoyi oil quality. In this study, the masoyi bark and oil samples were collected from several regions in Papua and Papua New Guinea. The results showed that water distillation is the best isolation method for masoyi oil, based on the highest C-10 masoilactone content measured by using gas chromatography-mass spectrometer. The best quality is oil produced by water distillation from Bintuni based on the highest amount of C-10 masoilactone and no benzyl salicylate. Specific gravity and viscosity were not correlated with the C-10 masoilactone content. Pricing information is needed to classify the quality of masoyi oil in trading, based on the C-10 masoilactone content.

(4)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Kimia

METODE ISOLASI TERBAIK DAN KADAR MASOILAKTON

MINYAK MASOYI (

Cryptocarya massoia

) DARI BERBAGAI

DAERAH DI PAPUA

AYUSTIYAN FUTU WIJAYA

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi: Metode Isolasi Terbaik dan Kadar Masoilakton Minyak Masoyi (Cryptocarya massoia) dari Berbagai Daerah di Papua

Nama : Ayustiyan Futu Wijaya NIM : G44100079

Disetujui oleh

Budi Arifin, SSi, MSi Pembimbing I

Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi, MS Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Dra Purwantiningsih Sugita, MS Ketua Departemen

(6)

PRAKATA

Bismillahirrahmaanirrahiim

Segala puji dan rasa syukur ke hadirat Allah SWT penulis ucapkan atas nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyusun dan menyelesaikan karya ilmiah berjudul Metode Isolasi Terbaik dan Kadar Masoilakton Minyak Masoyi (Cryptocarya massoia) dari Berbagai Daerah di Papua yang dilakukan pada bulan Maret hingga Oktober 2014 di Laboratorium Kimia Organik dan Kimia Fisik, Departemen Kimia, FMIPA, IPB, Bogor. Penelitian ini adalah bagian dari kegiatan Hibah Penelitian Strategis Aplikasi “Membangun Standar Nasional Indonesia untuk Komoditas Minyak Atsiri Masoyi dan Asap Cair Kayu” yang didanai oleh BOPTN IPB tahun 2014 dengan ketua peneliti Prof Ir Suminar Setiati Achmadi, PhD.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Budi Arifin dan Ibu Tun Tedja Irawadi selaku pembimbing yang senantiasa memberikan petunjuk dan bimbingan selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Suminar Setiati Achmadi; para laboran (Bapak Sabur, Ibu Yenni, dan Ibu Nia); Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Kementerian Kehutanan; Pak Mulyono (pengusaha minyak atsiri PT Scent Indonesia); Pak Eko (pengusaha minyak atsiri di Cianjur); serta Ibu Endah yang telah membantu penelitian ini.

Karya tulis ini merupakan wujud penghargaan untuk Ibunda (Supriyati), Ayahanda (Suyanto), dan Kakak (Igha Reniftasari) yang senantiasa memberikan semangat dan doa. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Hasna, Lia, Ferra, Sari, Beno, Nanda, Alif, Nur, Dian, Kak Mario, Kak Kurnia, Kak Mella, Kak Anna, teman-teman peneliti di Laboratorium Kimia Organik, serta rekan-rekan Activator Chemists 47 atas masukan, saran, kerja sama, dan kebersamaan dalam menjalankan penelitian.

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

BAHAN DAN METODE 2

Alat dan Bahan 2

Lingkup Kerja 2

Preparasi Sampel Kulit Kayu Masoyi 3

Ekstraksi 3

Penyulingan 3

Pengukuran Viskositas 4

Penentuan Bobot Jenis 4

Identifikasi dan Kuantifikasi Komposisi Senyawa 4

Rancangan Percobaan 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Ekstrak Kasar Masoyi 5

Hasil Penyulingan Minyak Masoyi 7

Identifikasi Senyawa Berdasarkan GCMS 10

Sifat Fisis Minyak Masoyi 12

SIMPULAN DAN SARAN 13

Simpulan 13

Saran 13

DAFTAR PUSTAKA 13

(8)

DAFTAR GAMBAR

1 Ekstrak etanol, aseton, dan etil asetat kulit masoyi asal Jayapura dan

Nabire 5

2 Rendemen ekstrak aseton, etanol, dan etil asetat kulit masoyi asal

Jayapura dan Nabire 6

3 Struktur kimia masoilakton C10, C12, dan C14, serta analog jenuhnya

(δ-dekalakton dan δ-dodekalakton) 6

4 Kadar masoilakton C10 dalam ekstrak aseton, etanol, dan etil asetat

kulit masoyi asal Jayapura dan Nabire 7

5 Minyak masoyi hasil penyulingan air dan penyulingan uap kulit masoyi

asal Pegunungan Bintang dan Bintuni 8

6 Kadar minyak hasil penyulingan air dan penyulingan uap kulit masoyi

asal Pegunungan Bintang dan Bintuni 8

7 Kadar masoilakton C10 hasil penyulingan air, penyulingan uap, dan maserasi (ekstrak etil asetat) kulit masoyi asal Pegunungan Bintang dan

Bintuni 9

8 Minyak masoyi daerah Bade, Fakfak, Jayapura, Merauke, masoyi 50%, masoyi 70%, Papua Niugini, serta sampel lakton 95% 10 9 Kadar masoilakton C10 dalam minyak masoyi dari berbagai daerah 11

10 Struktur kimia benzil salisilat 11

11 Kadar benzil salisilat dalam minyak masoyi dari berbagai daerah 11 12 Nilai bobot jenis dan viskositas minyak masoyi dari berbagai daerah 12

DAFTAR LAMPIRAN

1 Persyaratan khusus kulit masoyi (SNI 7941:2013) 15

2 Diagram alir penelitian 16

3 Rendemen ekstrak kasar kulit masoyi 17

4 Sidik ragam untuk uji faktor wilayah dan pelarut terhadap rendemen

ekstrak kasar kulit masoyi 18

5 Komponen ekstrak kulit masoyi yang terdeteksi dengan GC-MS 19

6 Rendemen ekstrak etil asetat kulit masoyi 20

7 Komposisi ekstrak etil asetat kulit masoyi yang terdeteksi dengan

GC-MS 20

8 Rendemen minyak masoyi hasil dari berbagai metode penyulingan 21 9 Sidik ragam untuk uji faktor wilayah dan metode penyulingan terhadap

kadar minyak kulit masoyi 22

10 Komposisi minyak masoyi hasil penyulingan air dan uap yang

terdeteksi dengan GC-MS 23

11 Kromatogram GC-MS minyak masoyi hasil penyulingan air asal

Bintuni 24

(9)

PENDAHULUAN

Hutan di Indonesia kaya akan berbagai jenis tumbuhan yang mempunyai prospek sangat baik sebagai komoditas ekspor hasil hutan bukan kayu (HHBK). Masoyi (Cryptocarya massoia) merupakan salah satu komoditas HHBK yang berasal dari wilayah timur Indonesia. Masoyi termasuk famili Lauraceae dan merupakan spesies endemik di Papua dan Maluku. Bagian yang umumnya dimanfaatkan adalah kulit kayu masoyi yang diekstraksi untuk menghasilkan minyak (Triantoro dan Susanti 2007). Kulit masoyi dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan makanan dan jamu (Iskandar dan Ismanto 1999), cita rasa es krim (Mulyono 6 Agustus 2014, komunikasi pribadi), obat cacing dan kejang perut, serta telah dikembangkan untuk industri perisa (flavor) makanan, kosmetik, dan sebagai obat penenang (Rali et al. 2007).

Dalam perdagangan HHBK, harga lebih banyak ditentukan oleh importir. Pihak pengumpul dan eksportir tidak memiliki daya tawar sebab belum ada standar mutu yang jelas. Penyusunan standar mutu kulit dan minyak masoyi sudah disarankan sejak tahun 1999 (Moestafa et al. 1999). Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah membuat Standar Nasional Indonesia (SNI) 7941:2013 sebagai pedoman mutu kulit masoyi dalam perdagangan (Lampiran 1). Parameter khusus ini berguna untuk mencegah penipuan dan perbedaan persepsi mutu dalam jual-beli kulit masoyi. Namun, standar tersebut sebagian besar masih didasarkan pada sifat fisis kulit masoyi. Belum ada parameter penciri mutu yang bersifat kuantitatif berupa kadar senyawa penanda kimia (chemical marker).

Moestafa et al. (1999), Rali et al. (2007), dan Triantoro dan Susanti (2007) telah melaporkan senyawa golongan lakton yang disebut masoilakton sebagai komponen kimia utama dalam kulit masoyi. Kandungan masoilakton ini berbeda-beda menurut sumber kulit masoyi. Rali et al. (2007) melaporkan komposisi senyawa masoilakton dalam kulit masoyi dari daerah Epa, Papua Niugini, yaitu masoilakton C10 (5,6-dihidro-6-pentil-2H-piran-2-on) mencapai 65% dan C12 (5,6-dihidro-6-heptil-2H-piran-2-on) sebanyak 17%, terdeteksi dengan kromatografi gas-spektrometer massa (GC-MS). Pada kayu teras terdeteksi pula 1.4% senyawa masoilakton C14 (5,6-dihidro-6-nonil-2H-piran-2-on) dan 2.5% turunan C10 (-dekalakton).

Moestafa et al. (1999) melaporkan kadar masoilakton C10 sebesar 76% dan C12 sebesar 12.5% pada kulit masoyi dari daerah Serui, Papua. Triantoro dan Susanti (2007) mendapatkan masoilakton sebanyak 79% pada kayu teras bagian pangkal dan ujung dari daerah Wasior, Papua Barat, tetapi tidak dijelaskan komposisinya. Sementara Rachmatiah et al. [tahun terbit tidak diketahui] mendapatkan kadar masoilakton C10 (36.76%) dan C12 (29.49%) pada kulit masoyi dari daerah Bogor, Jawa Barat. Oleh karena itu, kadar masoilakton berpotensi untuk dijadikan sebagai penciri kimia mutu minyak masoyi.

(10)

2

(Wahyudi 2013, Rachmatiah et al. [tahun terbit tidak diketahui]) telah digunakan untuk meningkatkan rendemen isolat minyak atsiri.

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dengan GC-MS komposisi masoilakton pada minyak masoyi dari berbagai daerah di Papua, yang dikenal dalam perdagangan. Selain itu, penelitian ini membandingkan efektivitas metode maserasi dalam beberapa pelarut berbeda, penyulingan air, dan penyulingan uap untuk menghasilkan minyak dari kulit masoyi. Efektivitas dibandingkan berdasarkan parameter rendemen serta komposisi senyawa yang dihasilkan dengan menggunakan GC-MS. Parameter bobot jenis dan viskositas minyak masoyi juga dianalisis dan dikorelasikan dengan kadar masoilakton C10 untuk mengkaji kemungkinan penggunaannya sebagai parameter mutu.

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah radas penyulingan air dan uap, viskometer TV-10 Toki Songyo, piknometer 5 mL, dan GC-MS Shimadzu, GC-17A ditandem dengan MS QP 5050A. Analisis GC-MS menggunakan kolom kapiler DB-5 ms (J&W) (silika 30 m × 250 μm × 0.25 μm) dengan suhu awal kolom 50 °C dan dinaikkan hingga 290 °C dengan laju 15 °C/menit, gas pembawa helium pada tekanan tetap 7.6411 psi, serta pangkalan data Wiley 9N. Analisis GC-MS dilakukan di Laboratorium Forensik, Mabes Polri, Jakarta.

Bahan yang digunakan adalah kulit masoyi dari 4 daerah di Papua (Jayapura, Nabire, Pegunungan Bintang, dan Bintuni), minyak masoyi dari 6 daerah di Papua (Bade, Fakfak, Jayapura, Merauke, 2 sampel masoyi 50 dan 70%) dan dari Papua Niugini, serta sampel lakton 95%. Sampel diperoleh dari koleksi Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Kementerian Kehutanan; Bapak Mulyono (pengusaha minyak atsiri PT Scent Indonesia); Bapak Eko (pengusaha minyak atsiri di Cianjur); serta dari pedagang besar di Jayapura. Hasil sulingan masyarakat lokal umumnya masih bermutu rendah, maka Bapak Eko menyuling ulang minyak tersebut kemudian difraksionasi, hingga didapatkan lakton 95%. Informasi tentang mutu dan harga juga dikumpulkan dari pedagang.

Lingkup Kerja

(11)

3 dibandingkan dengan minyak masoyi yang didapat dari praktik penyulingan air yang lazim dilakukan oleh masyarakat lokal, serta penyulingan uap.

Pada tahap ketiga, 8 sampel minyak masoyi yang diperoleh dari lokasi berbeda di Papua dan Papua Niugini ditentukan bobot jenis dan viskositasnya, serta diidentifikasi komposisi senyawanya menggunakan GC-MS. Sampel dari lokasi berbeda memiliki harga yang berbeda dalam perdagangan, dan harga diasumsikan berkorelasi dengan mutu sampel. Korelasi komposisi senyawa, khususnya kandungan masoilakton, dengan harga diharapkan kelak dapat dikembangkan sebagai penciri mutu yang lebih sahih untuk minyak dan juga kulit masoyi.

Preparasi Sampel Kulit Kayu Masoyi

Kulit kayu masoyi dipotong kecil-kecil agar mudah digiling menjadi serbuk. Serpih masoyi digiling menggunakan Willey mill hingga diperoleh serbuk berukuran 40 60 mesh yang siap untuk diekstraksi atau disuling minyaknya.

Ekstraksi

Serbuk kulit masoyi asal Jayapura dan Nabire dimaserasi menggunakan etanol, aseton, dan etil asetat. Ekstraksi dilakukan sebanyak 3 kali dengan nisbah bobot serbuk dan pelarut sebesar 1:4, masing-masing selama 48 jam. Proses ekstraksi dapat dihentikan apabila ekstrak sudah tidak berwarna. Ekstrak kemudian dipekatkan, ditimbang bobotnya, dan dihitung rendemennya sebagai berikut:

Penyulingan

Penyulingan Air

Sebanyak 50 g serbuk kulit masoyi dimasukkan ke dalam labu didih 2 L, kemudian ditambahkan 300 mL akuades. Labu dirangkai dengan kondensor, lalu dipasang di atas pemanas listrik. Penyulingan dilakukan 3 kali ulangan. Kadar minyak atsiri yang diperoleh dihitung dengan persamaan

Penyulingan Uap

(12)

4

pengekstrak. Penyulingan dilakukan 3 kali ulangan. Kadar minyak atsiri yang tersuling dihitung dengan persamaan

Pengukuran Viskositas

Viskositas minyak masoyi diukur menggunakan viskometer digital pada suhu ruang. Minyak dimasukkan ke dalam tabung viskometer. Spindel ukuran 22 dipasang pada viskometer, lalu viskometer diturunkan sehingga spindel masuk ke dalam tabung yang berisi minyak. Kecepatan viskometer diatur 100 rpm. Viskositas diukur sebanyak 3 kali ulangan dalam satuan sentipoise (cP).

Penentuan Bobot Jenis

Piknometer 5 mL ditimbang bobot kosongnya (m1), lalu diisi penuh dengan akuades dan ditimbang kembali bobotnya (m2). Suhu air diukur, dan bobot jenis air pada suhu tersebut (da) dicari di dalam handbook. Kemudian piknometer diisi

penuh dengan minyak masoyi dan bobotnya dicatat (m3). Bobot jenis sampel dihitung menggunakan persamaan berikut:

Keterangan:

d : bobot jenis minyak (g/mL) m1 : bobot piknometer kosong (g) m2 : bobot piknometer kosong + air (g) m3 : bobot piknometer kosong + minyak (g) da : bobot jenis air saat suhu tertentu (g/mL)

Identifikasi dan Kuantifikasi Komposisi Senyawa

(13)

5

Rancangan Percobaan

Percobaan maserasi dan penyulingan disusun berdasarkan rancangan acak kelompok. Percobaan maserasi disusun dari 2 faktorial (wilayah dan pelarut), 3 perlakuan (digunakan pelarut etanol, aseton, dan etil asetat) dengan 3 ulangan, sehingga terdapat 18 satuan percobaan. Sementara percobaan penyulingan disusun dari 2 faktorial (wilayah dan metode penyulingan), 2 perlakuan (metode penyulingan air dan penyulingan uap) dengan 3 ulangan, sehingga terdapat 12 satuan percobaan. Rendemen ekstrak kasar hasil maserasi serta kadar minyak masoyi hasil penyulingan direratakan untuk setiap perlakuan, lalu dianalisis dengan uji F. Jika perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata pada hasil pengamatan, maka dilakukan analisis uji lanjut Duncan multi range test (DMRT) pada taraf nyata 5% menggunakan program SPSS.

Hasil analisis ekstrak kasar hasil maserasi digunakan untuk mengetahui apakah ada beda nyata di antara wilayah dan pelarut, antarwilayah, dan antarpelarut. Sementara hasil analisis minyak masoyi hasil penyulingan bertujuan mengetahui apakah ada beda nyata di antara wilayah dan metode penyulingan, antarwilayah, dan antarmetode penyulinganyang digunakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekstrak Kasar Masoyi

Ekstrak kasar masoyi diperoleh dari proses maserasi dengan pelarut etanol, aseton, dan etil asetat (Gambar 1a c). Pelarut etanol dipilih berdasarkan hasil penelitian Triantoro dan Susanti (2007). Etanol bersifat polar, sehingga dapat mengekstraksi senyawa polar dalam contoh. Sementara pelarut aseton dan etil asetat dipilih berdasarkan sifatnya yang semipolar, sehingga mampu mengekstraksi senyawa semipolar. Hal ini mengikuti kaidah like dissolves like, yaitu zat terlarut polar akan terekstraksi pada pelarut polar, demikian pula sebaliknya.

(a) (b) (c)

Gambar 1 Ekstrak etanol (a), aseton (b), dan etil asetat (c) kulit masoyi asal Jayapura (kiri) dan Nabire (kanan)

(14)

6

dengan itu, hasil uji lanjut DMRT pada taraf 5% (Lampiran 4) menunjukkan pengaruh yang lebih besar dari pelarut etanol pada rendemen ekstraksi, sedangkan etil asetat dan etanol sama pengaruhnya. Secara keseluruhan, faktor antarpelarut berpengaruh pada rendemen ekstrak kasar kulit masoyi, sedangkan interaksi wilayah dengan pelarut dan faktor antarwilayah tidak berpengaruh (Lampiran 4).

Gambar 2 Rendemen ekstrak aseton , etanol , dan etil asetat kulit masoyi asal Jayapura dan Nabire

Moestafa et al. (1999), Rali et al. (2007), dan Triantoro dan Susanti (2007) melaporkan senyawa golongan lakton sebagai komponen utama dalam kulit masoyi. Lima struktur senyawa lakton yang pernah dilaporkan adalah masoilakton C10 (5,6-dihidro-6-pentil-2H-piran-2-on), C12 (5,6-dihidro-6-heptil-2H-piran-2-on), dan C14 (5,6-dihidro-6-nonil-2H-piran-2-(5,6-dihidro-6-heptil-2H-piran-2-on), serta -dekalakton dan  -dodekalakton (Rali et al. 2007) (Gambar 3). Kadar lakton dalam minyak masoyi, khususnya masoilakton C10 merupakan komponen penting bagi importir, tetapi informasi ini umumnya belum dimiliki oleh pihak eksportir Indonesia, sebab belum ada standar mutu untuk hal tersebut. Tiga macam standar mutu masoyi lazim dikenal dalam perdagangan, yaitu dengan kandungan masoilakton C10 sebanyak 45 52%, 60 65%, dan 70 75%. Semakin baik mutu kulit masoyi, kadar masoilakton C10 dalam minyak masoyi akan semakin tinggi dan harganya pun semakin mahal (Mulyono 6 Agustus 2014, komunikasi pribadi).

O

O n O O n

(a) (b)

Gambar 3 Struktur kimia masoilakton (a): C10 (n = 3), C12 (n = 5), C14 (n = 7), serta analog jenuhnya (b): δ-dekalakton (n = 3), dan δ-dodekalakton (n = 5) (Rali et al. 2007)

(15)

7 sebelumnya, Triantoro dan Susanti (2007) mendapatkan kadar masoilakton dari daerah Wasior, Papua Barat jauh lebih tinggi, yaitu berkisar 79% pada kayu teras bagian pangkal dan ujung.

Gambar 4 Kadar masoilakton C10 dalam ekstrak aseton , etanol , dan etil asetat kulit masoyi asal Jayapura dan Nabire

Kandungan masoilakton C10 tertinggi diperoleh pada ekstrak etil asetat untuk kulit masoyi asal Jayapura dan pada ekstrak aseton untuk kulit masoyi asal Nabire (Gambar 4). Perbedaan hasil maserasi ini menyebabkan pelarut terbaik untuk maserasi kulit masoyi ditentukan berdasarkan rendemen. Pelarut etil asetat secara konsisten memberikan rendemen yang lebih tinggi daripada pelarut aseton. Oleh karena itu, pelarut etil asetat digunakan untuk maserasi 2 sampel kulit kayu masoyi lainnya asal Pegunungan Bintang dan Bintuni. Selain masoilakton C10, terdapat 2 senyawa yang selalu terdeteksi pada ketiga ekstrak, yaitu benzil alkohol dan benzil benzoat (Lampiran 5).

Rendemen ekstrak etil asetat kulit masoyi asal Pegunungan Bintang (4.13%) lebih tinggi dibandingkan dengan Bintuni (3.99%), Nabire (3.88%), dan Jayapura (3.83%) (Lampiran 6). Hal ini menunjukkan lebih tingginya kandungan senyawa semipolar dalam kulit masoyi asal Pegunungan Bintang. Akan tetapi, kadar senyawa masoilakton C10 dalam ekstrak etil asetat Pegunungan Bintang dan Bintuni berturut-turut hanya 42.08 dan 13.88%, lebih rendah dibandingkan dengan Jayapura (46.02%) dan Nabire (59.90%). Selain itu, terdeteksi pula δ -dekalakton berturut-turut 1.11 dan 0.89%, sementara turunan C12 (δ -dodekalakton) terdeteksi hanya pada Pegunungan Bintang (0.61%) (Lampiran 7).

Hasil Penyulingan Minyak Masoyi

Moestafa et al. (1999), Rali et al. (2007), dan SNI 7941:2013 menggunakan metode penyulingan air untuk menghasilkan minyak masoyi. Cara ini pula yang digunakan oleh masyarakat Papua (Moestafa et al. 1999). Sebelum disuling, sampel dipotong-potong kecil agar minyak lebih mudah menguap. Sampel kemudian dikeringkan agar ketika disuling, minyak tidak tertahan oleh air yang terkandung dalam bahan. Bahan yang telah dikeringkan harus disimpan dalam ruangan yang terjaga suhu dan kelembapannya (Handa et al. 2008).

Minyak hasil penyulingan-air kulit masoyi asal Pegunungan Bintang dan Bintuni berwarna kuning (Gambar 5a) dengan rendemen berturut-turut 0.56 dan

(16)

8

0.36%. Hasil ini masuk dalam kisaran hasil yang dilaporkan oleh Moestafa et al. (1999) dan Rali et al. (2007), yaitu berturut-turut 0.7 dan 0.35%. Minyak masoyi hasil penyulingan uap (Gambar 5b) juga berwarna kuning dengan kadar minyak 0.79% (Pegunungan Bintang) dan 0.13% (Bintuni). Hasil ini lebih rendah daripada yang dilaporkan oleh Rachmatiah et al. [tahun terbit tidak diketahui], yaitu 1.6%. Rendemen minyak masoyi yang dihasilkan dalam penelitian ini juga masih di bawah ketentuan SNI 7941:2013, yaitu minimum 1.6% (Lampiran 1). Pada metode penyulingan uap, serbuk kulit masoyi tidak kontak langsung dengan air. Uap air yang terbentuk mula-mula akan mengembun dan membasahi serbuk. Pembasahan ini terus berlangsung hingga seluruh serbuk menjadi sama suhunya dengan titik didih air, dan uap mulai menyuling minyak dari serbuk kulit masoyi.

(a) (b)

Gambar 5 Minyak masoyi hasil penyulingan air (a) dan penyulingan uap (b) kulit masoyi asal Pegunungan Bintang dan Bintuni

Berdasarkan hasil penyulingan uap, kadar minyak masoyi asal Pegunungan Bintang lebih tinggi (0.79%), sedangkan Bintuni lebih rendah (0.13%) dibandingkan dengan hasil penyulingan air (Gambar 6 dan Lampiran 8). Menurut Wahyudi (2013), metode penyulingan uap menghasilkan kadar minyak lebih tinggi dibandingkan dengan penyulingan air. Dalam penelitian ini, lama penyulingan uap dan penyulingan air adalah 3 jam. Suhu dan waktu penyulingan sangat berpengaruh terhadap rendemen dan mutu minyak atsiri (Wahyudi 2013). Oleh karena itu, waktu, suhu, dan tekanan perlu dioptimasi untuk menghasilkan kadar minyak yang lebih tinggi. Hasil sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan bahwa interaksi wilayah dengan metode penyulingan, serta faktor antarwilayah berpengaruh pada kadar minyak kulit masoyi, sedangkan faktor antarmetode penyulingan tidak berpengaruh.

Gambar 6 Kadar minyak hasil penyulingan air dan penyulingan uap kulit masoyi asal Pegunungan Bintang dan Bintuni

Kadar masoilakton C10 dalam minyak masoyi hasil penyulingan-air asal Pegunungan Bintang dan Bintuni berturut-turut adalah 56.87 dan 60.10%, lebih

(17)

9 tinggi daripada hasil penyulingan uap, yaitu 44.30 dan 53.17% (Tabel). Minyak masoyi hasil penyulingan air dan penyulingan uap asal Bintuni, serta hasil panyulingan uap asal Pegunungan Bintang juga mengandung δ-dekalakton masing-masing sebanyak 0.67%, 0.56%, dan 0.63% (Lampiran 10). δ -Dodekalakton juga terdeteksi pada hasil penyulingan air dan penyulingan uap minyak masoyi asal Bintuni, berturut-turut 0.15 dan 0.25%, serta sebanyak 0.4% pada hasil penyulingan air asal Pegunungan Bintang.

Tabel Kadar masoilakton dalam minyak masoyi hasil penyulingan

Senyawa

Penyulingan air Penyulingan uap

PB B [1] [2] PB B [3]

Keterangan: PB: Pegunungan Bintang, B: Bintuni

[1]: Serui, Papua (Moestafa et al. 1999), [2]: Epa, Papua Niugini (Rali et al. 2007), [3]: Bogor, Jawa Barat (Rachmatiah et al. [tahun terbit tidak diketahui])

Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Moestafa et al. (1999) dan Rali et al. (2007), kadar masoilakton hasil penyulingan air dalam penelitian ini lebih rendah (Tabel). Akan tetapi, kadar masoilakton hasil penyulingan uap masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan Rachmatiah et al. [tahun terbit tidak diketahui] (Tabel). Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa metode penyulingan air lebih efektif untuk mendapatkan minyak masoyi dibandingkan dengan metode maserasi dan penyulingan uap (Gambar 7), karena menghasilkan kadar masoilakton C10 yang lebih tinggi. Oleh karena itu, metode penyulingan air disimpulkan sebagai metode isolasi terbaik minyak atsiri dari kulit masoyi.

(18)

10

Identifikasi Senyawa Berdasarkan GC-MS

Selain 4 sampel kulit masoyi, sebanyak 7 sampel minyak masoyi (6 asal Papua dan 1 dari Papua Niugini), serta sampel lakton 95% (Gambar 8a h) juga diidentifikasi komposisi senyawanya menggunakan GC-MS. Minyak masoyi hasil penyulingan air asal Bintuni paling tinggi kadar masoilakton C10-nya (60.10%) (Gambar 9 dan Lampiran 11). Sebaliknya, kadar masoilakton C10 terendah terkandung dalam minyak masoyi hasil penyulingan uap asal Pegunungan Bintang, yaitu 44.30%. Istilah masoyi 50 dan 70% merujuk kadar masoilakton sebanyak 50 dan 70% (Hastuti D 19 Desember 2014, komunikasi pribadi), tetapi tidak dijelaskan komposisinya. Hasil yang diperoleh menunjukkan kadar masoilakton C10 yang lebih rendah, khususnya untuk masoyi 70%, yang didapati hanya mengandung 58.45% masoilakton C10.

Kadar masoilakton C10 dalam sampel lakton 95% jauh melebihi sampel lainnya. Sampel ini merupakan hasil redistilasi dan fraksionasi minyak masoyi oleh salah seorang pedagang di Cianjur. Warna minyaknya kuning jernih (8h) dan istilah lakton 95% merujuk kadar masoilakton yang mencapai 95%. Kadar masoilakton C10 yang diperoleh pada lakton 95% mendekati nilai tersebut, yaitu 91.65% (Gambar 9). Nilai jual lakton 95% juga lebih tinggi, yaitu mencapai US$ 700 (Wibowo E 2 Juli 2014, komunikasi pribadi). Hasil ini menunjukkan perlunya dilakukan redistilasi dan fraksionasi pada minyak masoyi yang masih bermutu rendah untuk meningkatkan nilai jualnya dalam perdagangan.

(a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h)

Gambar 8 Minyak masoyi daerah Bade (a), Fakfak (b), Jayapura (c), Merauke (d), masoyi 50% (e), masoyi 70% (f), Papua Niugini (g), serta sampel lakton 95% (h)

(19)

11

Gambar 9 Kadar masoilakton C10 dalam minyak masoyi dari berbagai daerah

OH

O O

Gambar 10 Struktur kimia benzil salisilat

Gambar 11 Kadar benzil salisilat dalam minyak masoyi dari berbagai daerah

(20)

12

Sifat Fisis Minyak Masoyi

Tujuh sampel minyak masoyi (6 asal Papua dan 1 asal Papua Niugini), serta sampel lakton 95% dianalisis lebih lanjut sifat fisisnya, meliputi bobot jenis dan viskositas. Keterbatasan jumlah sampel menyebabkan sampel masoyi 50 dan 70% tidak dapat diukur bobot jenisnya. Sampel minyak masoyi hasil penyulingan juga terlalu sedikit untuk dapat dianalisis sifat fisisnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa bobot jenis minyak asal Fakfak (0.9885 g/mL) lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya (Gambar 12 dan Lampiran 13). Kisaran nilai bobot jenis yang diperoleh adalah 0.9620 0.9885 g/mL (Lampiran 13). Menurut Ketaren (1997), bobot jenis minyak atsiri yang berasal dari famili Lauraceae umumnya berkisar 0.6960 1.0888 g/mL. Nilai bobot jenis yang didapat berada dalam kisaran tersebut, sesuai dengan masoyi yang termasuk dalam famili Lauraceae dan genus Cryptocarya (DiGeorgio 1999).

Gambar 12 Nilai bobot jenis dan viskositas minyak masoyi dari berbagai daerah

Hasil bobot jenis tidak berkorelasi dengan nilai viskositas. Minyak masoyi asal Jayapura memiliki nilai viskositas 0.97 cP, paling tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya (Gambar 12 dan Lampiran 14). Besarnya bobot jenis dan viskositas minyak lazim dipengaruhi oleh jenis dan jumlah komponen kimia dalam minyak. Semakin banyak komponen kimia dalam minyak dan semakin besar bobot molekulnya, akan semakin tinggi pula bobot jenis dan viskositas minyak tersebut (Wiyono et al. 2000).

Akan tetapi, nilai bobot jenis dan viskositas hasil penelitian ini tidak berkorelasi dengan kadar masoilakton C10 (Gambar 9 dan 12). Bobot jenis atau viskositas yang tinggi tidak berkorelasi dengan tingginya kadar masoilakton, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, kedua sifat fisis tersebut tidak dapat dijadikan penanda mutu minyak masoyi.

(21)

13

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Minyak masoyi dari berbagai daerah di Papua dan Papua Niugini yang digunakan dalam penelitian memiliki kadar masoilakton C10 berbeda-beda berdasarkan hasil analisis dengan GC-MS. Mutu terbaik adalah minyak masoyi hasil penyulingan-air asal Bintuni berdasarkan kadar masoilakton C10 yang tertinggi (60.10%) dan tidak mengandung senyawa benzil salisilat. Berdasarkan kadar masoilakton C10 dan rendemen, etil asetat adalah pelarut terbaik untuk maserasi kulit masoyi. Dibandingkan dengan penyulingan uap dan maserasi, penyulingan air merupakan metode isolasi terbaik minyak masoyi berdasarkan kadar masoilakton C10, tetapi masih diperlukan optimasi untuk meningkatkan rendemen.

Kadar masoilakton C10 sampel lakton 95% hasil redistilasi dan fraksionasi minyak masoyi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sampel lainnya, sehingga berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut. Sifat fisis minyak masoyi (bobot jenis dan viskositas) tidak dapat menjadi penanda mutu karena tidak menunjukkan korelasi dengan kadar masoilakton C10.

Saran

Informasi lebih lanjut mengenai harga diperlukan untuk dapat mengelompokkan mutu kulit dan minyak masoyi dalam perdagangan berdasarkan kadar masoilakton C10. Redistilasi dan fraksionasi minyak masoyi perlu diteliti lebih lanjut untuk meningkatkan nilai jual dalam perdagangan. Optimasi waktu, suhu, dan tekanan dalam proses penyulingan air dan uap juga diperlukan untuk menghasilkan kadar minyak atsiri yang lebih tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2013. Kulit masoyi. SNI 7941:2013. Jakarta (ID): BSN.

DiGeorgio S. 1999. Bioactive components in kombucha tea, Cryptocarya massoy (Oken) Kosterm, and Rollinia emarginata Schlecht [disertasi]. Lafayette (US): Purdue University.

Handa SS, Khanuja SPS, Longo G, Rakesh DD. 2008. Extraction Technologies for Medicinal and Aromatic Plants. Trieste (IT): ICS-UNIDO.

Iskandar MI, Ismanto A. 1999. Tinjauan beberapa sifat dan manfaat tumbuhan masoyi (Massoia aromaticum Becc.). Warta Tumbuhan Obat Indones. 5(2):7-8.

(22)

14

Moestafa A, Hutajulu TF, Chairul. 1999. Teknologi penyulingan minyak masoyi (Cryptocarya masoia). Warta Tumbuhan Obat Indones. 5(2):4-6.

Rali T, Wossa SW, Leach DN. 2007. Comparative chemical analysis of the essential oil constituents in the bark, heartwood and fruits of Cryptocarya massoy (Oken) Kosterm (Lauraceae) from Papua New Guinea. Molecules. 12:149-154.

Rachmatiah T, Murningsih T, Sari DK. Tahun terbit tidak diketahui. Uji potensi penangkap radikal bebas dan analisis kandungan kimia minyak atsiri kulit batang Cryptocarya massoy (Oken) Kosterm dari daerah Bogor Jawa Barat. Triantoro RGN, Susanti CME. 2007. Kandungan bahan aktif kayu kulilawang (Cinnamomum culilawane Bl.) dan masoyi (Cryptocaria massoia).J Ilmu & Teknol Kayu Trop. 5(2):85-92.

Wahyudi. 2013. Buku Pegangan Hasil Hutan Bukan Kayu. Syafii W, editor. Yogyakarta (ID): Pohon Cahaya.

(23)

15 Lampiran 1 Persyaratan khusus kulit masoyi (SNI 7941:2013)

Parameter uji Satuan Penggunaan Jamu Minyak atsiri

Panjang cm 15 5

Lingkar luar gulungan kulit cm 3 3

Lebar kulit masoyi cm 5 0.5

Komposisi serbuk dan serpih % 1 -

Kandungan serbuk % 1 1

Tebal kulit mm 4 -

(24)

16

16

Lampiran 2 Diagram alir penelitian

Masoyi

1. Korelasi wilayah dengan pelarut

2. Faktor wilayah, pelarut, dan ulangan Kromatogram

Identifikasi dan kuantifikasi dengan GC-MS

Maserasi tahap I

(etanol, aseton, dan etil asetat)

2 sampeld

1. Korelasi wilayah dengan metode penyulingan 2. Faktor wilayah, metode penyulingan, dan ulangan

Keterangan: (a)

Daerah Bade, Fakfak, Jayapura, Merauke, masoyi 50 dan 70%, Papua Niugini, dan lakton 95% (b)

Daerah Bade, Fakfak, Jayapura, Merauke, Papua Niugini, dan lakton 95% (c)

Daerah Jayapura dan Nabire (d)

Daerah Pegunungan Bintang dan Bintuni (e)

(25)

17 Lampiran 3 Rendemen ekstrak kasar kulit masoyi

Daerah Pelarut Ulangan

Bobot

(26)

18

Lampiran 4 Sidik ragam untuk uji faktor wilayah dan pelarut terhadap rendemen ekstrak kasar kulit masoyi

Source Type III Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Intercept 246.346 1 246.346 8.786 103 0.000

F1*F2 0.253 2 0.126 0.790 0.480tn

Kelompok 0.056 2 0.028 0.175 0.842tn

F1 0.005 1 0.005 0.033 0.859tn

F2 2.275 2 1.138 7.113 0.012*

Keterangan: F1= Wilayah, F2= Pelarut

tn= tidak berpengaruh nyata, *= berpengaruh nyata pada taraf 5%

Hasil uji Duncan faktor pelarut pada ekstrak kasar kulit kayu masoyi

F2 N Subset

1 2

Aseton 6 3.2083*

Etil asetat 6 3.8517**

Etanol 6 4.0383**

Sig. 1.000 0.438

(27)

19 Lampiran 5 Komponen ekstrak kulit masoyi yang terdeteksi dengan GC-MS

No Nama senyawa

Jayapura Nabire

Aseton Etanol Etil asetat Aseton Etanol Etil asetat

Rt % area Rt % area Rt % area Rt % area Rt % area Rt % area

1 Benzil alkohol 7.23 0.83 7.23 0.85 7.23 0.49 7.38 0.52 7.23 0.88 7.23 0.72

2 Asam asetat - - 8.47 1.68 - - - 8.47 1.42

3 Masoilakton C10 11.58 45.02 11.57 41.88 11.56 46.02 17.43 67.54 11.64 56.29 11.59 59.90

4 -Dekalakton - - 11.65 0.87 - - 17.69 1.59 - - - -

5 Benzil benzoat 13.78 1.11 13.78 1.13 13.78 1.00 23.82 4.59 13.79 4.55 13.78 4.58

6 Benzil salisilat - - - 26.03 3.56 14.56 3.58 14.54 3.19

7 Asam palmitat 14.82 0.50 14.82 0.70 14.81 0.60 - - 14.84 0.98 14.82 0.59

8 1-Oktadekena 15.68 0.21 - - 15.67 0.16 - - 15.68 0.14 - -

9 Asam linoleat - - 16.25 0.25 - - - - 16.25 0.40 - -

Keterangan: (-) tidak terdeteksi

(28)

20

Lampiran 6 Rendemen ekstrak etil asetat kulit masoyi Daerah Ulangan

Contoh perhitungan rendemen ekstrak etil asetat asal Pegunungan Bintang (ulangan 1):

No Nama senyawa Pegunungan Bintang Bintuni

(29)

21

Lampiran 8 Rendemen minyak masoyi hasil dari berbagai metode penyulingan

Contoh perhitungan rendemen minyak masoyi asal Pegunungan Bintang hasil penyulingan air (ulangan 1):

Penyulingan Daerah Ulangan

(30)

22

Lampiran 9 Sidik ragam untuk uji faktor wilayah dan metode penyulingan terhadap kadar minyak kulit masoyi

Source Type III Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Intercept 2.539 1 2.539 1.047 103 0.001

F1*F2 0.163 1 0.163 10.328 0.018*

Kelompok 0.005 2 0.002 0.153 0.861tn

F1 0.563 1 0.563 35.623 0.001*

F2 0.000 1 0.000 0.000 1.000tn

Keterangan: F1= Wilayah, F2= Metode Penyulingan

(31)

23 Lampiran 10 Komposisi minyak masoyi hasil penyulingan air dan uap yang terdeteksi dengan GC-MS

Keterangan: (-) tidak terdeteksi No Nama senyawa

Penyulingan air Penyulingan uap

Pegunungan Bintang Bintuni Pegunungan Bintang Bintuni

Rt % area Rt % area Rt % area Rt % area

1 Benzil alkohol - - 7.55 0.06 - - 7.55 0.04

2

(3E,5Z)-1,3,5-Undekatriena 10.27 0.08 - - 10.27 0.10 - -

3 Masoilakton C10 17.96 56.87 18.10 60.10 17.92 44.30 18.03 53.17

4 δ-Dekalakton - - 18.20 0.67 18.06 0.63 18.15 0.56

5 δ-Dodekalakton 22.85 0.40 22.84 0.15 - - 22.86 0.25

6 Benzil benzoat - - - - 24.09 0.04 24.19 7.78

7 Benzil salisilat - - 26.33 2.16 - - 26.33 2.80

(32)

24

24

Lampiran 11 Kromatogram GC-MS minyak masoyi hasil penyulingan air asal Bintuni

(33)

25 Lampiran 12 Komposisi minyak masoyi yang terdeteksi dengan GC-MS

Keterangan: (-) tidak terdeteksi

No Senyawa Bade Fakfak Jayapura Merauke Masoyi 50% Masoyi 70% Papua Niugini Lakton 95% Rt % area Rt % area Rt % area Rt % area Rt % area Rt % area Rt % area Rt % area

1 (3E,5Z

)-1,3,5-Undekatriena 10.53 0.26 - - 10.52 0.30 10.52 0.29 - - - - 10.52 0.49 - - 2 Masoilakton C10 15.02 44.39 15.05 55.33 15.02 44.53 15.12 45.11 15.04 48.21 15.08 58.45 15.02 44.34 15.20 91.65

3 δ-Dekalakton 15.08 0.52 - - 15.08 1.59 - - 15.11 1.18 15.14 1.62 15.09 1.90 - -

4 Benzil benzoat 18.20 0.65 18.19 2.94 18.23 8.90 18.27 6.41 18.20 2.99 18.21 6.71 18.21 6.08 18.17 0.77 5 δ-Dodekalakton - - - - 17.53 0.45 - - 17.56 0.62 17.50 0.31 17.53 0.46 - -

6 Ilagen - - 13.43 0.14 13.43 0.17 13.42 0.09 - - - - 13.43 0.15 - - 7 γ-Kadinena - - 15.31 0.67 15.30 0.17 15.31 0.09 - - - - 15.31 0.09 - -

8 δ-Kadinena - - - - 15.35 0.21 15.36 0.06 - - 15.36 0.13 15.35 0.16 - - 9 Kadalin - - 17.23 0.76 17.22 0.45 - - - 17.22 0.27 - -

10 Benzil salisilat - - 19.31 0.70 - - 19.32 0.69 19.31 0.63 19.33 3.21 19.31 0.47 - -

11 Linalool - - - - 9.32 0.29 9.32 0.19 - - - - 9.32 0.21 - - 12 α-Kopaena - - - - 13.49 0.45 13.48 0.06 13.48 0.09 13.49 0.23 13.49 0.17 - -

13 (E

)-15-Heptadekenal 21.03 0.29 - - 21.03 0.24 21.03 0.30 - - - -

(34)

26

Lampiran 13 Bobot jenis minyak masoyi dari berbagai daerah Daerah Ulangan Bobot piknometer (g) da

(g/mL) d (g/mL)

Contoh perhitungan pada daerah Papua Niugini (ulangan 1):

(35)

27

 Penentuan bobot jenis minyak

3

2 ×

Lampiran 14 Viskositas minyak masoyi dari berbagai daerah

Daerah Viskositas (cP) Rerata (cP)

1 2 3

Bade 0.69 0.70 0.69 0.69

Fakfak 0.91 0.91 0.91 0.91

Jayapura 0.97 0.97 0.97 0.97

Merauke 0.66 0.66 0.66 0.66

Masoyi 50% 0.86 0.86 0.86 0.86

Masoyi 70% 0.83 0.83 0.84 0.83

Papua Niugini 0.72 0.72 0.72 0.72

(36)

28

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada 24 September 1992 dari ayah Suyanto dan Ibu Supriyati. Penulis merupakan anak ke-2 dari 2 bersaudara. Penulis lulus dari SMA Sejahtera 1 Depok pada tahun 2010 dan pada tahun yang sama diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur masuk Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan. Penulis menjadi pengurus himpunan profesi Ikatan Mahasiswa Kimia (Imasika) IPB Departemen Eksternal tahun 2011/2012 dan 2012/2013, pengurus Ikatan Himpunan Mahasiswa Kimia Indonesia (Ikahimki) BPP Departemen Biokimia tahun 2012/2014, dan pengurus Paguyuban Karya Salemba Empat IPB Departemen Eksternal tahun 2013/2014. Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan di Imasika tahun 2011 2014 dan Ikahimki Wilayah 2 tahun 2013 2014.

Gambar

Tabel  Kadar masoilakton dalam minyak masoyi hasil penyulingan
Gambar 10  Struktur kimia benzil salisilat

Referensi

Dokumen terkait

Tingkat kesukaan konsumen diukur berdasarkan kesukaan konsumen terhadap aroma dan cita rasa kecap manis tanpa fermentasi moromi dan membandingkannya dengan kecap

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor : 1 Tahun 2012 tentang organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, maka Direktorat Jendral Pendidikan Non

Hasil analisis yang ditampilkan dari software ini sangat sesuai dengan kebutuhan guru karena dapat dimanfaatkan untuk melakukan evaluasi terhadap instrumen dan soal

Lingkup wilayah pelaksanaan kajian G – PEMP kelautan dan perIkanan Sumatera Barat adalah meliputi 7 (tujuh) kabupaten/kota pesisir, yaitu Kabupaten Pasaman Barat, Agam,

Istilah komunikasi (dari Bahasa Inggris “communication”), secara epistemologis atau menurut asal katanya adalah dari bahasa latin yaitu communis, dan perkataan ini

Guru belum sepenuhnya melaksanakan pembelajaran secara aktif dan kreatif serta belum menggunakan berbagai pendekatan pembelajaran dan metode pembelajaran