• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Tanah Gambut Topogen Yang Dijadikan Sawah Dan Dialihfungsikan Menjadi Pertanaman Kopi Arabika Dan Hortikultura

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Karakteristik Tanah Gambut Topogen Yang Dijadikan Sawah Dan Dialihfungsikan Menjadi Pertanaman Kopi Arabika Dan Hortikultura"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK TANAH GAMBUT TOPOGEN YANG DIJADIKAN SAWAH DAN DIALIHFUNGSIKAN MENJADI PERTANAMAN

KOPI ARABIKA DAN HORTIKULTURA

SKRIPSI

Oleh:

LINDA WATI SIHITE 080303031/ILMU TANAH

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

KARAKTERISTIK TANAH GAMBUT TOPOGEN YANG DIJADIKAN SAWAH DAN DIALIHFUNGSIKAN MENJADI PERTANAMAN

KOPI ARABIKA DAN HORTIKULTURA

SKRIPSI

Oleh:

LINDA WATI SIHITE 080303031/ILMU TANAH

Usulan Penelitian Sebagai Salah Satu Syarat Agar Dapat Melaksanakan Penelitian di Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara Medan

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul penelitian : Karakteristik Tanah Gambut Topogen yang Dijadikan Sawah dan Dialihfungsikan Menjadi Pertanaman Kopi Arabika dan Hortikultura

Nama : Linda Wati Sihite

NIM : 080303031

Program Studi : Agroekoteknologi

Minat : Ilmu Tanah

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

(Ir. Posma Marbun, MP.) (Ir. Mukhlis, MSi.

Ketua Anggota

)

Diketahui Oleh :

(Ir. T. Sabrina, Magr, Sc. PhD. Ketua Departemen

(4)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan karakteristik tanah gambut topogen yang dijadikan sawah dan dialihfungsikan menjadi pertanaman kopi arabika (Coffea arabica) dan hortikultura. Penelitian ini dilakukan di Desa Hutabagasan, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan dan Analisis Tanah di Laboratorium Kimia Kesuburan Tanah dan Laboratorium Riset dan Teknologi, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Dilakukan pengamatan profil di lapangan pada tiga penggunaan lahan berbeda. Profil pertama pada lahan sawah (P1), profil kedua pada lahan tanaman kopi arabika (P2)

dan profil ketiga pada lahan tanaman hortikultura (P3). Masing-masing profil

diamati sifat morfologi tanah dan karakteristik tanah. Analisa tanah meliputi bulkdensiti, pH H2O, KTK, KB, C-organik, N-total, dan rasio C/N.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan karakteristik yang terjadi pada tanah Gambut Topogen yang dijadikan sawah dan dialihfungsikan menjadi pertanaman kopi arabika dan hortikultura di Desa Hutabagasan Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan adalah pada warna tanah, kandungan C-organik tanah dan ratio C/N tanah.

(5)

ABSTRACT

This research is aimed to know the changes characteristic of topogenous

peat soil that increased into paddy field and be converted into arabica coffee (Coffea arabica) and horticulture farm. This research was conducted in Desa

Hutabagasan, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan and soil analyse properties was held in Chemical and Soil fertility Laboratory and Riset and Technology Laboratory, Agriculture Faculty of North Sumatera University. Observation and description of three profiles of each three difference land uses such as paddy field (P1), arabica coffe farm (P2) and horticulture farm

(P3). Every land use is observed about morphology and soil characteristic. Soil

sample is taken from each layer in soil profile for soil analyse in laboratory. Soil analysis included of bulkdensity, pH H2O, Cation Exchange Capacity (CEC),

based saturation, C-Organic content, N-total and ratio C/N.

From research result indicate that the characteristic changes that occur in the topogenous peat soil that increased into paddy field and be converted into arabica coffee and horticulture farm in Desa Hutabagasan, Kecamatan

Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan is the color of the soil, C-organic content and ratio C/ N of the soil.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Linda Wati Sihite, lahir di Doloksanggul pada tanggal 23 November 1988.

Anak keenam dari enam bersaudara dari pasangan Ayahanda D. Sihite dan Ibunda H. Simanullang.

Selama hidup, penulis menempuh pendidikan formal di : - SD Negeri No. 173395 Doloksanggul lulus pada tahun 2001, - SMP Negeri 1 Doloksanggul lulus pada tahun 2004,

- SMA Swasta Budi Murni 3 Medan lulus pada tahun 2007,

- Tahun 2008 lulus seleksi masuk Universitas Sumatera Utara melalui jalur

UMB di Program Studi Ilmu Tanah, Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti kegiatan sebagai : - Anggota Ikatan Mahasiswa Ilmu Tanah (IMILTA) Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara, Medan.

- Peserta Seminar dan Lokakarya Nasional “Optimalisasi Pengelolaan Lahan dalam Upaya Menekan Pemanasan Global Mendukung Pendidikan Berbasis

Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)” pada 12 Februari 2010 di FP USU Medan.

- Peserta Pengkaderan Nasional II Forum Komunikasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah Indonesia (FOKUSHIMITI) “Mengoptimalkan Kader yang

Mampu Menjadi Barometer Dunia Pertanian di Indonesia” pada 22 – 26 Januari 2011 di FP USU Medan.

(7)
(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian ini dengan baik. Adapun judul penelitian yang dipilih adalah “Karakteristik Tanah Gambut Topogen yang Dijadikan Sawah dan Dialihfungsikan Menjadi Pertanaman Kopi Arabika (Coffea arabica) dan Hortikultura.”

Penulis meyampaikan terima kasih kepada Ir. Posma Marbun, MP sebagai ketua komisi pembimbing dan kepada Ir. Mukhlis, MSi selaku anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan serta memberikan masukan berharga kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian ini dengan baik. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang turut membantu dalam penyusunan usulan penelitian ini.

Penulis menyadari dalam penulisan usulan penelitian ini terdapat banyak kekurangan. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan usulan penelitian ini. Akhir kata, semoga usulan penelitian ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkan.

Medan, Mei 2013

(9)

DAFTAR ISI

Kegunaan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Pembentukan dan Klasifikasi Tanah Gambut (Histosol) ... 4

Sifat-Sifat Fisika Tanah Gambut ... 13

Sifat-Sifat Kimia Tanah Gambut ... 15

Potensi Lahan Gambut Untuk Tanaman Tahunan ... 19

Potensi Lahan Gambut Untuk Tanaman Pangan Semusim... 19

Alih Fungsi Lahan Sawah Asal tanah Gambut ... 21

Pengaruh Drainase Pada Lahan Gambut ... 23

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 25

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 28

Bahan dan Alat ... 29

Metode Penelitian... 29

Pelaksanaan Penelitian ... 29

Pengamatan Morfologi ... 31

Analisa Laboratorium... 31

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 32

Deskripsi Profil Tanah ... 32

Morfologi Tanah ... 36

Karakteristik Fisika Tanah ... 38

Karakteristik Kimia Tanah ... 39

Pembahasan ... 43

Morfologi Tanah ... 43

Karakteristik Fisika Tanah ... 44

Karakteristik Kimia Tanah ... 45

(10)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 51 Saran ... 51 DAFTAR PUSTAKA

(11)

DAFTAR TABEL

1. Kriteria Tingkat Kesuburan Tanah Gambut ... 10

No. Judul Halaman

2. Nilai KTK dan pH dari Beberapa Ordo Tanah ... 17 3. Karakteristik Morfologi Tanah Gambut ... 36 4. Tingkat Kematangan/Dekomposisi Bahan Organik dan Bulk Densiti

Tanah Gambut ... 38 5. pH H2O, Basa-Basa Tukar, Kapasitas Tukar Kation, Kejenuhan Basa,

(12)

DAFTAR GAMBAR

1. Proses Pembentukan Gambut di Indonesia ... 6

No. Judul Halaman 2. Peta Lokasi Penelitian ... 28

3. Peta Lokasi Pengambilan Profil Tanah Pewakil... 30

4. Penampang Profil Tanah Lahan Sawah ... 33

5. Penampang Profil Tanah Lahan Hortikultura ... 34

(13)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan karakteristik tanah gambut topogen yang dijadikan sawah dan dialihfungsikan menjadi pertanaman kopi arabika (Coffea arabica) dan hortikultura. Penelitian ini dilakukan di Desa Hutabagasan, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan dan Analisis Tanah di Laboratorium Kimia Kesuburan Tanah dan Laboratorium Riset dan Teknologi, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Dilakukan pengamatan profil di lapangan pada tiga penggunaan lahan berbeda. Profil pertama pada lahan sawah (P1), profil kedua pada lahan tanaman kopi arabika (P2)

dan profil ketiga pada lahan tanaman hortikultura (P3). Masing-masing profil

diamati sifat morfologi tanah dan karakteristik tanah. Analisa tanah meliputi bulkdensiti, pH H2O, KTK, KB, C-organik, N-total, dan rasio C/N.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan karakteristik yang terjadi pada tanah Gambut Topogen yang dijadikan sawah dan dialihfungsikan menjadi pertanaman kopi arabika dan hortikultura di Desa Hutabagasan Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan adalah pada warna tanah, kandungan C-organik tanah dan ratio C/N tanah.

(14)

ABSTRACT

This research is aimed to know the changes characteristic of topogenous

peat soil that increased into paddy field and be converted into arabica coffee (Coffea arabica) and horticulture farm. This research was conducted in Desa

Hutabagasan, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan and soil analyse properties was held in Chemical and Soil fertility Laboratory and Riset and Technology Laboratory, Agriculture Faculty of North Sumatera University. Observation and description of three profiles of each three difference land uses such as paddy field (P1), arabica coffe farm (P2) and horticulture farm

(P3). Every land use is observed about morphology and soil characteristic. Soil

sample is taken from each layer in soil profile for soil analyse in laboratory. Soil analysis included of bulkdensity, pH H2O, Cation Exchange Capacity (CEC),

based saturation, C-Organic content, N-total and ratio C/N.

From research result indicate that the characteristic changes that occur in the topogenous peat soil that increased into paddy field and be converted into arabica coffee and horticulture farm in Desa Hutabagasan, Kecamatan

Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan is the color of the soil, C-organic content and ratio C/ N of the soil.

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanah Histosol atau tanah Organosol yang saat ini lebih populer disebut

tanah gambut adalah tanah yang terbentuk dari akumulasi bahan organik seperti

sisa-sisa jaringan tumbuhan yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup

lama. Tanah gambut umumnya selalu jenuh air atau terendam sepanjang tahun

kecuali didrainase. Secara alami, tanah gambut terdapat pada lapisan tanah paling

atas, di bawahnya terdapat lapisan tanah aluvial pada kedalaman yang bervariasi.

Disebut sebagai lahan gambutapabila ketebalan gambut lebih dari 50 cm. Dengan

demikian, lahan gambut adalah lahan rawa dengan ketebalan gambut lebih dari

50 cm (Najiyati, dkk, 2005).

Gambut merupakan salah satu jenis tanah yang marginal untuk dikembangkan di bidang pertanian. Menurut Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian (2008) Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitas 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua yang mana di Sumatera sendiri luasnya mencapai 2.253.733 ha. Seiring dengan semakin pesatnya pertambahan penduduk mengakibatkan lahan-lahan pertanian semakin terdesak untuk penggunaan non pertanian maka lahan-lahan marginal seperti gambut harus dimanfaatkan sebagai areal pertanian.

(16)

pertanian ke lahan gambut tidak dapat dihindari. Dewasa ini lahan gambut digunakan untuk berbagai komoditas pertanian, termasuk kelapa sawit, karet, buah-buahan dan sayur-sayuran. Dengan tingkat pengelolaan dan input yang

tinggi, produktivitas lahan gambut bisa lebih tinggi dari lahan mineral (Balai Penelitian Tanah, 2011).

Humbang Hasundutan merupakan salah satu daerah penyebaran tanah gambut di Sumatera Utara. Menurut BAPPEDA (2009), luas lahan gambut di Humbang Hasundutan diperkirakan sekitar 1.042 Ha yang tersebar di Kecamatan Lintong Nihuta, Kecamatan Pollung dan Kecamatan Doloksanggul. Gambut di daerah ini tergolong unik dan langka karena pada umumnya gambut dijumpai di dataran rendah yang berdekatan dengan pantai, akan tetapi gambut di daerah Humbang Hasundutan ini merupakan gambut dataran tinggi (topogen) yang terhampar pada ketinggian 1000-1450 m dpl.

Tanah Gambut di daerah Humbang Hasundutan ini termasuk gambut fibrik (belum matang) dan berdasarkan kedalamannya masih tergolong gambut dalam. Jenis gambut ini rawan terhadap kebakaran dan belum dapat dijadikan areal pertanian, sehingga kebanyakan masyarakat memanfaatkannya sebagai bahan kayu bakar. Akan tetapi, sebagian kecil gambut di daerah ini ada yang sudah tergolong gambut saprik (sudah matang), karena sudah diolah dan dibuat drainase oleh masyarakat setempat dan dimanfaatkan sebagai areal pertanian seperti di areal penelitian penulis yaitu di Desa Hutabagasan Kecamatan Doloksanggul.

(17)

dan semakin bertambahnya kebutuhan, mereka merasa hasil dari lahan sawah saja tidak cukup lagi memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Sehingga sekarang banyak masyarakat mengalihfungsikan lahan gambut yang awalnya dijadikan lahan sawah menjadi lahan pertanaman kopi dan tanaman hortikultura seperti cabai, tomat, bawang, dan berbagai jenis sayuran dan sudah berlangsung selama lebih kurang sepuluh tahun.

Penggunaan lahan akibat budidaya pertanian akan mempengaruhi masing-masing kondisi tanah. Ini bisa terjadi karena aktifitas budidaya pertanian yang intensif seperti pengolahan tanah yang meliputi penanaman, pemeliharaan dan pemanenan akan merubah tingkat kesuburan tanah yang pada akhirnya akan mempengaruhi sifat tanah Gambut tersebut baik secara morfologi, kimia, maupun fisika. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti perbedaan karakteristik tanah gambut topogen yang dijadikan sawah dan dialihfungsikan menjadi pertanaman kopi arabika (Coffea arabica) dan hortikultura.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan karakteristik tanah gambut topogen yang dijadikan sawah dan dialihfungsikan menjadi pertanaman kopi arabika (Coffea arabica) dan hortikultura.

Kegunaan Penelitian

- Sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar Sarjana di Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara,

Medan.

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Pembentukan dan Klasifikasi Tanah Gambut (Histosol)

Menurut Taksonomi Tanah, disebut tanah gambut (histosol) dengan ketentuan apabila 1) tidak mempunyai sifat-sifat tanah andik pada ≥ 60% ketebalan di antara permukaan tanah dan kedalaman 60 cm, atau diantara permukaan tanah dan kontak densik, litik, atau paralitik, atau duripan, apabila lebih dangkal; dan 2) memiliki bahan tanah organik yang memenuhi satu atau lebih sifat berikut; a) terletak di atas bahan-bahan sinderi, fragmental, atau batu apung dan/atau mengisi celah-celah di antara batu-batuan tersebut, dan langsung di bawah bahan-bahan tersebut terdapat kontak densik, litik, atau paralitik; atau b) apabila ditambahkan dengan bahan-bahan sinderi, fragmental, atau batu apung yang berada di bawahnya, maka total ketebalannya sebesar ≥ 40 cm, di antara permukaan tanah dan kedalaman 50 cm; atau c) menyusun ≥ 2/3 dari ketebalan

total tanah sampai ke kontak densik, litik, atau paralitik dan tidak mempunyai horizon mineral atau memiliki horizon mineral dengan ketebalan total ≤ 10 cm

atau; d) jenuh air selama ≥ 30 hari setiap tahun dalam tahun -tahun normal (atau telah di drainase), mempunyai batas atas di dalam 40 cm dari permukaan

tanah, dan memiliki ketebalan total sebagai berikut: (1) apabila ≥ ¾ bagian

volumenya terdiri dari serat-serat lumut, atau apabila berat jenisnya, lembab, sebesar < 0,1 g/cm3, ≥ 60 cm; atau (2) apabila terdiri dari bahan saprik atau

hemik, atau bahan fibrik yang < ¾ (berdasarkan volume) terdiri dari serat-serat

(19)

Kebanyakan histosol dicirikan dan dikenal melalui epipedon histik yang

tebalnya lebih dari 12 inci, jenuh dengan air sekurang-kurangnya 30 hari

terus-menerus dalam setahun, dan mengandung paling sedikit 20 persen bahan organik.

Histosol ditemukan di seluruh dunia, jumlah luas keseluruhannya kurang dari 1

persen dari permukaan tanah dunia (Foth, 1994).

Tentang pembentukan gambut di Indonesia, pada zaman pleistosen permukaan laut turun kurang lebih 60 meter di bawah permukaan air laut sekarang. Pada waktu itu bagian timur Sumatra, Malaysia, bagian barat dan selatan Kalimantan di hubungkan oleh selat Sunda, sedangkan bagian selatan Irian Jaya menempati sebagian dari selat Sahul. Kemudian selama zaman holosin daerah-daerah ini secara berangsur-angsur digenangi air laut. Naiknya permukaan air laut menyebabkan naik pula permukaan air tanah di daerah pedalaman, maka lokasi dimana air laut tidak dapat lagi ke daratan akan terbentuk rawa. Pada cekungan-cekungan terjadi proses longgokan bahan organik yang berasal dari vegetasi rawa sehingga terbentuklah gambut. Pada cekungan yang dalam secara berangsur-angsur terjadi penimbunan bahan organik sehingga akan terbentuk gambut tebal (Budianta, 2003).

Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya pendangkalan danau yang secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati dan melapuk, secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini dan secara bertahap membentuk

(20)

(Gambar 1a dan 1b). Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut dikenal sebagai gambuttopogen, karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah cekungan. Gambut topogen umumnya relatif subur (eutrofik) karena adanyapengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya jika ada banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut tersebut. Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen. Tanaman yang tumbuh dan mati di atas gambut topogen akanmembentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan membentuk kubah (dome) gambut yang mempunyai permukaan cembung (Gambar 1c). Gambut yang terbentuk di atas gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen, yang proses pembentukannya dipengaruhi oleh air hujan. Gambut ombrogen mempunyai kesuburan yang lebih rendah dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir tidak ada pengkayaan mineral (Noor, 2001).

c. pembentukan kubah gambut

(21)

Luas lahan gambut Indonesia diperkirakan berkisar antara 17 - 21 juta ha. Data yang akurat mengenai luas lahan gambut sulit ditemui karena terbatasnya survei dan pemetaan tanah gambut, terutama di Provinsi Papua dan Papua Barat. Dengan luasan yang cukup besar yaitu berkisar 9-11% dari luas daratan di Indonesia, maka sulit dihindari pengembangan lahan pertanian ke lahan marginal ini, terutama di kabupaten dan provinsi yang luas lahannya didominasi lahan

gambut, seperti Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah (Balai Penelitian Tanah, 2011).

Di pulau Sumatera, penyebaran lahan gambut pada umumnya terdapat di dataran rendah sepanjang pantai timur, yaitu dengan urutan dominasi berturut turut terdapat di wilayah propinsi Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Utara dan Lampung. Penyebarannya ke arah pedalaman/hilir sungai mencapai sekitar 50-300 km dari garis pantai. Dalam wilayah yang lebih sempit, lahan gambut juga ditemukan di dataran pantai barat pulau, khususnya di wilayah propinsi Bengkulu, Sumatera Barat dan Aceh. Penyebarannya ke arah hilir sungai umumnya mencapai sekitar 10-50 km dari garis pantai. Tanah gambut dan tanah mineral (non gambut) secara bersama menyusun lahan rawa (Wahyunto, dkk, 2005).

(22)

berubah, bahkan dapat hilang sama sekali bila gambut semakin menipis atau menyusut (Boyman, 2002).

Tanah Gambut (Histosol) sifatnya bermacam-macam tergantung dari jenis vegetasi yang menjadi tanah gambut tersebut. Tanah-tanah Gambut yang terlalu tebal (lebih dari 2 m) umumnya tidak subur karena vegetasi yang membusuk menjadi Tanah Gambut tersebut terdiri dari vegetasi yang miskin unsur hara. Tanah Gambut yang subur umumnya yang tebalnya antara 40-100 cm. Tanah Gambut mempunyai sifat dapat menyusut (subsiden) kalau perbaikan drainase dilakukan sehingga permukaan tanah ini makin lama makin menurun. Tanah Gambut juga tidak boleh terlalu kering karena dapat menjadi kering irreversible (kering tak balik), yaitu sulit menyerap air kembali dan mudah terbakar.

Kekurangan unsur mikro banyak terjadi pada tanah gambut (Hardjowigeno, 2007).

(23)

lebih subur, karena lapisan tanah mineralnya berasal dari lingkungan endapan yang tidak mengandung bahan sulfidik/pirit. Gambut tersebut terdapat di daerah pedalaman yang jauh dari pantai (Balai Penelitian Tanah, 2011).

Pematangan gambut melalui proses pematangan fisik, kimia, dan biologi dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Pematangan fisik terjadi dengan adanya pelepasan air (dehidrasi) karena drainase, evaporasi (penguapan), dan dihisap oleh akar. Proses ini ditandai dengan penurunan dan perubahan warna tanah;

2. Pematangan kimia terjadi melalui peruraian bahan-bahan organik menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Proses pematangan ini akan melepaskan senyawa-senyawa asam-asam organik yang beracun bagi tanaman dan membuat suasana tanah menjadi asam. Gambut yang telah mengalami pematangan kimia secara sempurna akhirnya akan membentuk bahan organik baru yang disebut sebagai humus;

3. Pematangan biologi merupakan proses yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme tanah. Proses ini biasanya akan lebih cepat terjadi setelah

pembuatan drainase karena tersedianya oksigen yang cukup menguntungkan

bagi pertumbuhan mikroorganisme

(Najiyati, dkk, 2005).

(24)

Tabel 1. Kriteria Tingkat Kesuburan Tanah Gambut Tingkat

Kesuburan

Kandungan Hara (% bobot kering)

N K2O P2O5 CaO Abu

Eutrofik 2.50 0.10 0.25 4.00 10.00

Mesotrofik 2.00 0.10 0.20 1.00 5.00

Oligotrofik 0.80 0.03 0.05 0.25 2.00

(Barchia, 2006).

Berdasarkan tingkat kematangan/dekomposisi bahan organik, gambut dibedakan menjadi tiga yakni:

1. Fibrik, yaitu gambut dengan tingkat pelapukan awal (masih muda) dan lebih dari ¾ bagian volumenya berupa serat segar (kasar). Cirinya, bila gambut diperas dengan telapak tangan dalam keadaaan basah, maka kandungan serat yang tertinggal di dalam telapak tangan setelah pemerasan adalah tiga perempat bagian atau lebih (>¾);

2. Hemik, yaitu gambut yang mempunyai tingkat pelapukan sedang (setengah matang), sebagian bahan telah mengalami pelapukan dan sebagian

lagi berupa serat. Bila diperas dengan telapak tangan dalam keadaan basah, gambut agak mudah melewati sela-sela jari-jari dan kandungan serat yang tertinggal di dalam telapak tangan setelah pemerasan adalah antara kurang dari tiga perempat sampai seperempat bagian atau lebih (¼ dan <¾);

3. Saprik, yaitu gambut yang tingkat pelapukannya sudah lanjut (matang). Bila diperas, gambut sangat mudah melewati sela jari-jari dan serat yang tertinggal dalam telapak tangan kurang dari seperempat bagian (<¼)

(25)

Berdasarkan pembentukannya, gambut dibedakan atas :

a) Gambut Ombrogen, yaitu gambut yang pembentukannya dipengaruhi curah hujan. Gambut ini tergolong kurang subur, karena terbentuk dari tanaman pepohonan yang kadar kayunya tinggi. Selain itu karena pengaruh pasang surut air sungai atau laut yang tidak mencapai wilayah ini, maka kondisi lahan miskin hara.

b) Gambut Topogen, yaitu Gambut yang pembentukannya dipengaruhi keadaan topografi dan air tanah. Gambut ini berada dikawasan Tropik dan mempunyai kesuburan lahan relatif lebih baik

(Noor, 2001).

Berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi: - gambut dangkal (50 – 100 cm),

- gambut sedang (100 – 200 cm), - gambut dalam (200 – 300 cm), dan - gambut sangat dalam (> 300 cm) (Agus dan Subiksa, 2008).

Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, gambut dibagi menjadi: - gambut pantai adalah gambut yang terbentuk dekat pantai laut dan mendapat

pengayaan mineral dari air laut

- gambut pedalaman adalah gambut yang terbentuk di daerah yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut air laut tetapi hanya oleh air hujan

- gambut transisi adalah gambut yang terbentuk di antara kedua wilayah tersebut, yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh air pasang laut

(26)

Tanah organik, dibandingkan dengan tanah mineral memperlihatkan tiga ciri yang agak menyimpang. Hal ini perlu dikemukakan. Pertama, tanah organik mempunyai nisbah karbon dengan nitrogen yang tinggi, namun demikian ia menunjang berlangsungnya nitrifikasi yang hebat. Kedua, tanah organik pada umumnya kaya akan kalsium, dan meskipun demikian ia nyata masam dan seringkali sangat masam. Dan ketiga, dalam suasana konsentrasi ion hidrogen tinggi, akumulasi nitrat berlangsung, lebih banyak daripada tanah mineral pada pH yang sama rendahnya. Ciri yang terakhir menunjukkan bahwa pada banyak tanah organik konsentrasi ion hidrogen secara tersendiri tidak mengganggu transformasi biokimia yang sangat penting itu. Ternyata, kadar kalsium yang tinggi dan kadar besi, aluminium dan mangan yang rendah dalam tanah organik merupakan penyebab dari penyimpangan tersebut (Soepardi, 1983).

(27)

Sifat-Sifat Fisika Tanah Gambut Kerapatan Lindak (Bulk Density)

Bulk density atau BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g cm-3 tergantung pada tingkat dekomposisinya. Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah memiliki BD lebih rendah dari 0,1 g/cm3, tapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai bisa memiliki BD > 0,2 g cm-3 karena adanya pengaruh tanah mineral (Agus dan Subiksa, 2008).

Kerapatan lindak tanah organik dibandingkan dengan tanah mineral adalah rendah, 0.2 hingga 0.6 merupakan nilai biasa bagi tanah organik yang telah mengalami dekomposisi lanjut. Suatu tanah mineral yang telah diusahakan, lapisan atasnya biasanya mempunyai nilai kerapatan lindak dari 1.25 hingga 1.45. Lapisan olah tanah organik mempunyai bobot 400000 hingga 500000 kg tanah kering tiap hektar dibandingkan dengan tanah mineral 2 hingga 2.5 juta kg tiap hektar. Bobot untuk organik ternyata sangat ringan (Soepardi, 1983).

Kekeringan Tak Balik (Irreversible drying)

Sifat fisik lain tanah gambut adalah apabila tanah gambut mengalami pengeringan yang berlebihan, menyebabkan koloid gambut menjadi rusak dan terjadi gejala kering tak balik (irreversible drying). Pada kondisi seperti ini gambut berubah seperti arang dan tak mampu lagi untuk menyerap hara dan menahan air, dan kondisi demikian akan merugikan pertumbuhan tanaman dan vegetasi (Wahyunto, dkk, 2005).

Daya Hantar Hidrolik

(28)

ke saluran drainase. Sebaliknya, gambut memiliki daya hidrolik vertical (ke atas) yang sangat lambat. Akibatnya, lapisan atas gambut sering mengalami kekeringan, meskipun lapisan bawahnya basah. Hal ini juga menyulitkan pasokan air ke lapisan perakaran. Daya hidrolik air ke atas hanya sekitar 40 - 50 cm. Untuk mengatasi perilaku ini, perlu dilakukan upaya untuk menjaga ketinggian air tanah pada kedalaman tertentu. Untuk tanaman semusim, kedalaman muka air tanah yang ideal adalah kurang dari 100 cm. Sedangkan untuk tanaman tahunan disarankan untuk mempertahankan muka air tanah pada kedalaman 150 cm. Pemadatan gambut sering pula dilakukan untuk memperkecil porositas tanah (Najiyati, dkk, 2005).

Penurunan Permukaan Tanah (Subsidence)

Perubahan lingkungan yang terjadi saat dilakukan pembukaan hutan rawa gambut untuk usaha pertanian, termasuk usaha perkebunan, adalah menurunnya ketahanan dari bahan organik dalam gambut terhadap proses dekomposisi. Perubahan kondisi dari anaerob menjadi aerob akibat pembuatan saluran drainase mendorong proses perombakan bahan organik berlangsung dengan sangat cepat, yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan permukaan lahan gambut (Bintang, dkk, 2005).

(29)

kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase. Adanya subsiden bias dilihat dari akar tanaman yang menggantung (Agus dan Subiksa, 2008).

Pada tingkat kematangan yang lebih tinggi maka BD akan lebih besar dan

total ruang pori berbanding negatif dengan “bulk density”. Total Ruang Pori rendah (kematangan saprik), total ruang pori terbesar ditunjukkan oleh kerapatan lindak yang rendah (kematangan fibrik). Proses subsidensi adalah proses konsolidasi dengan pengisian material ke ruang pori yang ada. Semakin tersedia ruang pori yang banyak maka peluang untuk melajunya subsidensinya lebih besar. Jadi karakter fisik kerapatan lindak dan total ruang pori berhubungan erat dengan subsidensi (Bintang, dkk, 2005).

Warna

Mekipun bahan asal gambut berwarna kelabu, coklat atau kemerahan tetapi setelah dekomposisi muncul senyawa-senyawa yang berwarna gelap sehingga gambut umumnya berwarna coklat sampai kehitaman. Warna gambut menjadi salah satu indikator kematangan gambut. Semakin matang, gambut semakin berwarna gelap. Fibrik berwarna coklat, hemik berwarna coklat tua, dan saprik berwarna hitam. Dalam keadaan basah, warna gambut biasanya semakin gelap (Najiyati, dkk, 2005).

Sifat-Sifat Kimia Tanah Gambut pH

(30)

Tapak pertukaran tanah gambut yang didominasi ion hidrogen menyebabkan pH tanah rendah. Tanah gambut sebagian besar bereaksi masam sampai sangat masam dengan pH < 4 (Barchia, 2006).

KTK yang tinggi dan KB yang rendah menyebabkan pH rendah dan sejumlah pupuk yang diberikan ke dalam tanah relatif sulit diambil oleh tanaman. Pada umumnya lahan gambut tropis memiliki pH antara 3 - 4,5. Gambut dangkal mempunyai pH lebih tinggi (pH 4,0 - 5,1) dari pada gambut dalam (pH 3,1 - 3,9). Kandungan Al pada tanah gambut umumnya rendah sampai sedang, berkurang dengan menurunnya pH tanah. Kandungan N total termasuk tinggi, namun umumnya tidak tersedia bagi tanaman, oleh karena rasio C/N yang tinggi (Najiyati, dkk, 2005).

Kejenuhan Basa

Kandungan basa - berupa unsur Ca, Mg, K dan Na - dan kejenuhan basa

rendah. Kandungan Al umumnya rendah sampai sedang dan semakin berkurang

dengan menurunnya pH tanah. Kandungan unsur mikro khususnya Cu, Bo, dan

Zn sangat rendah, sebaliknya kandungan Fe cukup tinggi. Kandungan N total

termasuk tinggi, tetapi sebagian besar dalam bentuk tidak tersedia bagi tanaman

karena rasio C/N yang tinggi (Wahyunto, dkk, 2005).

Terdapat kolerasi positif antara % kejenuhan basa dan pH tanah.

(31)

sebagai petunjuk tingkat kesuburan tanah. Kemudahan pelepasan kation terjerap untuk tanaman tergantung pada tingkat kejenuhan basa (Tan, 1995).

Kapasitas Tukar Kation (KTK)

Muatan negatif (yang menentukan KTK) pada tanah gambut seluruhnya adalah muatan tergantung pH (pH dependent charge), dimana KTK akan naik bila pH gambut ditingkatkan. Muatan negatif yang terbentuk adalah hasil dissosiasi hidroksil pada gugus karboksilat atau fenol. Oleh karenanya penetapan KTK menggunakan pengekstrak amonium acetat pH 7 akan menghasilkan nilai KTK yang tinggi, sedangkan penetapan KTK dengan pengekstrak amonium klorida (pada pH aktual) akan menghasilkan nilai yang lebih rendah. KTK tinggi menunjukkan kapasitas jerapan (sorption capacity) gambut tinggi, namun kekuatan jerapan (sorption power) lemah, sehingga kation-kation K, Ca, Mg dan

Na yang tidak membentuk ikatan koordinasi akan mudah tercuci (Agus dan Subiksa, 2008).

Bahan organik merupakan humus yang berperan sebagai koloid tanah, maka semakin banyak bahan organik akan semakin besar nilai KTK tanah. Nilai KTK dan pH dari beberapa ordo tanah dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Nilai KTK dan pH dari beberapa Ordo Tanah

(32)

Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah gambut umumnya tinggi dan

semakin meningkat sesuai dengan meingkatnya kandungan bahan organik. Di

beberapa tempat adanya intrusi garam dapat meningkatkan nilai KTK, kenaikan

ini kemungkinan disebabkan karena adanya kenaikan pH

(Wahyunto, dkk, 2005). Nilai KTK juga mengalami kenaikan setelah dilakukan

reklamasi.

Ratio C/N

Untuk unsur C dan N di dalam tanah gambut adalah tinggi. Tetapi dua hal yang kait-mengkait sehubungan dengan kedua unsur penyusun tersebut yang perlu diperhatikan, bahwa tanah gambut mempunyai nisbah (ratio) C dan N yang tinggi, minimum 20 : 1. Di samping itu, tanah gambut memperlihatkan nitrifikasi yang giat meskipun C/N rasio tinggi. Demikian juga akumulasi nitrat lebih besar. Hal ini didasarkan atas banyaknya N dalam gambut, CaO yang cukup dan ketidakaktifan sebagian dari karbon. Dengan demikian perbanyakan organisme nitrifikasi memperoleh kesempatan lebih banyak mengoksidasikan ammonium (Kim, 1991).

(33)

N-organik dan pada tingkatan C/N rasio yang lebih tinggi tersebut, terjadi proses immobilisasi N oleh mikrobiologi tanah (Barchia, 2006).

Potensi Lahan Gambut Untuk Tanaman Tahunan

Lahan gambut dengan ketebalan antara 1,4-2 m tergolong sesuai marjinal (kelas kesesuaian S3) untuk beberapa tanaman tahunan seperti karet dan kelapa sawit, sedangkan gambut yang tipis termasuk agak sesuai (kelas kesesuaian S2). Gambut dengan ketebalan 2-3 m tidak sesuai untuk tanaman tahunan kecuali jika

ada sisipan/pengkayaan lapisan tanah atau lumpur mineral (Djainudin, dkk, 2003). Gambut dengan ketebalan >3m diperuntukkan sebagai

kawasan konservasi sesuai dengan Keputusan Presiden No. 32/1990. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan lahan gambut dalam yang rapuh (fragile) apabila dikonversi menjadi lahan pertanian.

Tanaman tahunan banyak diusahakan oleh rakyat. Tanaman tahunan yang banyak diusahakan di lahan gambut diantaranya adalah kelapa sawit, kopi, karet, dan kelapa. Hal yang perlu diperhatikan dalam penanaman tanaman tersebut di lahan gambut adalah kemungkinan tanaman mudah tumbang setelah mencapai ketinggian tertentu, terutama pada lahan gambut tebal. Hal ini terjadi karena daya dukung lahan yang rendah dan penurunan permukaan gambut (subsidence) sesudah direklamasi (Najiyati, dkk, 2005).

Potensi Lahan Gambut Untuk Tanaman Pangan Semusim

(34)

lebih rendah dibandingkan gambut dalam. Lahan gambut dengan kedalaman 1,4 - 2 m tergolong sesuai marjinal (kelas kesesuaian S3) untuk berbagai jenis tanaman pangan. Faktor pembatas utama adalah kondisi media perakaran dan unsur hara yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Tanaman pangan yang mampu beradaptasi antara lain padi, jagung, kedelai, ubikayu, kacang panjang dan berbagai jenis sayuran lainnya.

Tanaman hortikultura merupakan tanaman sayur-sayuran dan buah-buahan umumnya sesuai dengan gambut pada berbagai tingkat ketebalan tanah, bahkan petani lebih menyukai gambut dalam (> 3 m) karena pada musim kemarau petani masih dapat menyirami sayuran mereka karena air gambut masih tersedia untuk penyiraman tanaman. Pada gambut dangkal atau sedang penyiraman tanaman di musim kemarau sulit dilakukan, karena air gambut mengering dan sumber air jauh dari kebun (Sagiman, 2007).

Tanaman hortikultura lain seperti pepaya, semangka, jagung manis dan sayur-sayuran dataran rendah memberikan penghasilan yang cukup baik bagi petani gambut. Tanaman tersebut memerlukan masukan yang cukup tinggi berupa abubakar, limbah ikan, pukan ayam dan pupuk kimia. Untuk tanaman sayur-sayuran masukan yang sedang – tinggi pada tanah gambut dapat dilakukan karena harga jual yang masih memadai. Selain itu waktu tanam sampai panen tanaman sayur umumnya sangat singkat antara 4 - 6 minggu pada bayam cabut, kangkung, sawi, kailan, seledri, sampai 10-12 minggu pada kacangkacangan dan jagung manis. Namun pengembangan sayuran sampai areal yang luas perlu

(35)

Alih Fungsi Lahan Sawah Asal Tanah Gambut

Tanah sawah mempunyai beberapa istilah dalam bahasa Inggris yaitu rice soil, paddy soil, lowland paddy soil, artificial hydromorphic soils, great-group anthraquic, sub-group anthropic, aquarizem, sub-group hydraquic. Dalam Klasifikasi Tanah FAO (Worl Reference Base for Ssoil Resources), tanah sawah termasuk Anthrosols. Sifat tanah sawah dapat sangat berubah dari sifat asalnya (misalnya lahan kering yang disawahkan) atau tidak banyak berubah dari sifat tanah asalnya (misalnya tanah sawah berasal dari daerah rawa-rawa yang sejak semula berupa lahan basah) (FAO, 1998).

Sebelum tanah sawah digunakan sebagai tanah sawah, secara alamiah tanah telah mengalami proses pembentukan tanah sesuai dengan faktor-faktor pembentuk tanahnya, sehingga terbentuklah jenis-jenis tanah tertentu yang masing-masing mempunyai sifat morfologi tersendiri. Pada waktu tanah mulai disawahkan dengan cara penggenangan air, baik waktu pengolahan tanah maupun selama pertumbuhan padi, melalui perataan, pembuatan teras, pembuatan pematang, pelumpuran, dan lain-lain, maka proses pembentukan tanah alami yang sedang berjalan tersebut terhenti. Semenjak itu, terjadilah proses pembentukan tanah baru, dimana air genangan di permukaan tanah dan metode pengelolaan tanah yang diterapkan, memegang peranan penting. Karena itu tanah sawah sering dikatakan sebagai tanah buatan manusia (man-made soil, anthropogenic soil) (Hardjowigeno dan Rayes, 2005).

(36)

berlereng, maka lebih dulu harus dibuat teras bangku. Sawah yang airnya berasal dari air irigasi disebut sawah irigasi, sedang yang menerima langsung dari air hujan disebut sawah tadah hujan. Berkaitan dengan proses pembuatan lahan sawah, sifat tanah asal (virgin soil ) dimungkinkan dapat berubah. Pada lahan rawa/ pasang surut terjadi proses pengeringan tanah, mulai dari lapisan atas ke lapisan bawah. Sebaliknya pada tanah kering yang disawahkan, akan terjadi proses pembasahan dari lapisan atas ke bawah (Wahyunto, 2009).

Rendahnya hasil padi pada gambut tebal dapat diatasi jika tanaman padi diberi hara lengkap. Pada gambut yang tipis 0-10 cm tanah relatip padat tidak gembur dan pembentukan perakaran padi dapat terganggu, kandungan hara tanah juga rendah dan tidak cukup memberikan hasil yang tinggi. Peningkatan ketebalan gambut sampai 60 cm, menyebabkan kesuburan gambut meningkat dan tanah gembur sehingga baik bagi pertumbuhan akar tanaman. Gambut tebal (>1m ) belum berhasil dimanfaatkan untuk penanaman padi sawah, karena sejumlah kendala yang belum dapat diatasi. Keberhasilan budidaya padi sawah tergantung kesuksesan dalam mengatasi beberapa kendala seperti keberhasilan dalam : pengelolaan dan pengendalian air, penanganan sejumlah kendala fisik yang menjadi faktor pembatas, pengendalian sifat toksik dan kekurangan hara makro maupun mikro (Sagiman, 2007).

(37)

berproduktif optimal. Salah satu lahan yang belum optimal dalam pemanfaatannya adalah lahan gambut (Utama dan Haryoko 2009).

Pemanfaatan lahan tersebut, masih sangat terbatas akibat keterbatasan teknologi dan varietas toleran. Untuk memanfaatkan lahan tersebut, diperlukan teknologi yang dapat menghadapi permasalahan serius akibat cekaman lingkungan. Masalah serius tersebut akibat oleh pH yang rendah, ketersedian hara

terbatas dan defisit air yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman (Utama dan Haryoko 2009 ).

Pengembangan gambut di Sumatera Barat yang semula diperuntukan untuk perluasan lahan usahatani padi akhir-akhir ini secara perlahan beralih inenjadi lahan perkebunan terutama perkebunan sawit. Pengalihan ini terjadi akibat produksi padi sawah gambut rendah. Khusus di kabupaten Pasaman Barat walaupun belum ada data resmi tentang luas pengalihan sawah gambut menjadi perkebunan sawit, tetapi secara jelas luas sawah gambut semakin sempit dan penyempitan luas lahan ini juga diikuti dengan semakin langkahnya varietas padi lokal yang semula banyak dibudidayakan (Haryoko, dkk, 2010).

Pengaruh Drainase Pada Lahan Gambut

(38)

Apabila terjadi konversi hutan gambut yang biasanya diikuti dengan pembuatan drainase, maka akan berdampak terhadap unit-unit hidrologi dari hutan rawa gambut tersebut. Sebagai contoh, terjadinya penurunan kadar air gambut dibawah batas kritis, menyebabkan tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak dapat lagi menyerap air. Pada saat tanah gambut yang didominasi oleh sisa tanaman (daun, dahan, ranting, batang) mengalami kondisi aerob menyebabkan aktivitas bakteri pembusuk akan meningkat. Setelah bakteri pembusuk mulai mendekomposisi gambut yang terdiri dari dahan, ranting dan pohon, maka karbon yang tersimpan di dalam bagian bahan tersebut akan teremisi ke udara dalam bentuk CO2 dan memenuhi lapisan ozon sehingga akan menciptakan efek rumah kaca (green house effect) hal ini dapat memacu terjadinya pemanasan global yang

berdampak terhadap naiknya suhu bumi dan berubahnya iklim global (Maswar 2011).

Setelah direklamasi, tanah gambut cenderung terdekomposisi lebih cepat

daripada akumulasinya. Bahan organik akan selalu menurun kadarnya bila

diusahakan (Juste, 1997). Gambut yang telah mengalami reklamasi akan

mengalami pemadatan, sehingga BD nya akan naik yaitu antara 0,1–0,4 gr/cm3.

Adanya gejala pengeringan tak balik dan penyusutan telah diamati di beberapa

lokasi di Kalimantan Tengah di Sakalagun pada tahun 1991, pada lahan yang

ditanami padi gogo dan palawija.. Biasanya gambut yang kering ini terdapat

hanya di permukaan. Namun karena pengolahan tanah yang berulang-ulang maka

gambut yang kering ini telah juga berada pada kedalaman 10-15 cm. Apabila

bahan mineral yang ada dibawah gambut adalah bahan liat, usaha pertanaman

(39)

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

Desa Hutabagasan berjarak ± 1 Km dari ibukota Humbang Hasundutan, Doloksanggul yang berbatasan dengan:

Sebelah Timur : Kecamatan Sijamapolang Sebelah Barat : Desa Matiti

Sebelah Utara : Desa Sihite II Sebelah Selatan : Desa Janji

Desa Hutabagasan terbagi atas 3 dusun dengan jumlah kepala keluarga 437 KK dengan jumlah penduduk keseluruhan sebanyak 2300 orang. Rata-rata penduduk Desa Hutabagasan memiliki mata pencaharian sebagai petani, disesuaikan dengan jenis tanaman yang cocok dengan jenis tanah yang ada di desa Hutabagasan. Jenis tanaman yang paling banyak ditanami penduduk adalah kopi, padi, cabai, tomat, bawang, dan berbagai jenis sayuran.

Luas wilayah Desa Hutabagasan adalah 800 Ha yang terbagi menjadi beberapa areal seperti berikut:

- Areal pemukiman penduduk : 45 Ha

- Perladangan : 50 Ha

- Persawahan : 250 Ha

- Kebun : 170 Ha

- Pendidikan : 2 Ha

- Lahan tidur : 283 Ha

(40)

penggunaan lahan yang berbeda dalam satu areal. Ketiga penggunaan lahan yang dimaksud antara lain, lahan sawah, lahan tanaman tahunan (kopi), dan lahan tanaman semusim (hortikultura) seperti tanaman tomat, cabai, bawang, dan berbagai jenis sayuran. Terletak pada ketinggian 1411 meter diatas permukaan

laut. Secara geografis kawasan ini berada pada 02º15.552’ LU dan 098º43.366’ BT.

Tanah Gambut Topogen di wilayah ini berasal dari bahan induk woody material (gambut dari kayu). Menurut Munir (1996), gambut dari bahan kayu-kayuan, terbentuk dari sisa pohon-pohonan, juga dari semak-semak (scrubs) dan tumbuhan lain dari rawa (swap forest). Bahan organik yang diakumulasi agak homogen kecuali bila mengandung bahan berserat. Gambut berkayu berwarna coklat atau hitam dan warna itu tergantung dari tingkat dekomposisinya, bersifat lepas dan terbuka bila kering dan tidak berserat.

Data rata-rata curah hujan tahunan di wilayah ini terdapat 10 bulan basah, 1 bulan lembab dan 1 bulan kering. Penggolongan iklim ini berdasarkan Schmidt dan Ferguson, yaitu bulan basah jika curah hujan > 100 mm, bulan lembab jika curah hujan 60-100 dan bulan kering jika curah hujan < 100 mm. Penentuan temperatur tanah diperoleh dari pendekatan rata rata temperatur udara tahunan + 1°C, sehingga rata rata suhu tanah yang diperoleh adalah 18,7°C (Kartasapoetra, 1993).

(41)

penanaman dan selanjutnya dilakukan pemupukan bergantian dua kali dalam setahun untuk pupuk kandang, urea dan pupuk NPK dengan aplikasi di bedengan. Pada tanaman hortikultura, pemupukan tanaman dilakukan setiap masa tanam bahkan terkadang 3-4 kali selama musim tanam tergantung jenis tanaman hortikultura yang sedang diusahakan. Jenis pupuk dan aplikasi yang dilakukan sama seperti pada tanaman kopi arabika. Untuk dosis yang diberikan, para petani di wilayah ini tidak pernah menghitung besar pupuk yang diberikan, baik untuk lahan sawah, tanaman kopi arabika maupun tanaman semusim.

(42)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Huta Bagasan, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan (2º15,5’52’’ LU dan 98º43’36’’ BT) dengan ketinggian tempat 1411 m dpl. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Kimia/Kesuburan Tanah dan Laboratorium Riset & Teknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan, yang dilaksanakan pada bulan September 2012 sampai dengan selesai.

(43)

Bahan dan Alat

Adapun bahan yang digunakan adalah profil pewakil, formulir isian profil, sampel tanah dari 3 profil yang diambil tiap lapisan, Key to Soil Taxonomy 2010, serta bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis di laboratorium.

Adapun alat yang digunakan adalah GPS (Global Positioning System), pisau pandu, bor tanah, Munsell Soil Colour Chart, meteran, ring sampel, kantongan plastik, label, spidol permanen, kamera, shaker serta alat-alat yang digunakan untuk analisis di laboratorium.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survey terhadap karakteristik tanah

gambut topogen yang dijadikan sawah dan dialihfungsikan menjadi pertanaman kopi arabika (Coffea arabica) dan hortikultura.

Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini diawali dengan kegiatan prasurvey, berupa pengumpulan data-data sekunder daerah penelitian dan kunjungan lapangan untuk menentukan lokasi pembuatan tiga profil pewakil berdasarkan tipe penggunaan lahan yang berbeda, yaitu :

P1 = Penggunaan Lahan Sawah

P2 = Penggunaan Lahan Sawah yang Dialihfungsikan menjadi Pertanaman

Tanaman Semusim/Hortikultura (Tomat).

P3 = Penggunaan Lahan Sawah yang Dialihfungsikan menjadi Pertanaman Kopi

(44)

Gambar 3. Peta Lokasi Pengambilan Profil Tanah Pewakil

Keterangan:

Av.3.2 (Tanah Gambut)

(45)

Pengamatan Morfologi

Dilakukan pengamatan morfologi pada ketiga profil pada tipe penggunaan lahan yang berbeda, yang meliputi:

- Ketebalan Gambut - Kematangan Gambut - Warna tanah

- Drainase

- Pengamatan bentang alam

- Topografi serta lingkungan disekitarnya Analisa Laboratorium

Setiap lapisan dari masing-masing profil dilakukan analisis sebagai berikut:

- Analisa Bulkdensity (BD) dengan ring sampel - Analisa pH H2O metode elektrometri (1:2,5)

- Analisa Kapasitas Tukar Kation (KTK) Tanah, dengan ekstraksi NH4OAc pH 7

- Analisa Na-tukar dengan ekstraksi NH4OAc pH 7

- Analisa Mg-tukar dengan ekstraksi NH4OAc pH 7

- Analisa Ca-tukar dengan ekstraksi NH4OAc pH 7

- Analisa K-tukar dengan ekstraksi NH4OAc pH 7

- Analisa Kejenuhan Basa (KB)

- Analisa C-Organik, dengan metode Walkley & Black - Analisa N-Total dengan metode Kjeldhal

(46)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Deskripsi Profil Tanah

Profil tanah yang pertama adalah profil Lahan Sawah (P1). Pada umumnya

pertanaman padi sawah di daerah ini hanya sekali musim tanam dalam setahun dan waktu yang diperlukan selama penanaman sampai panen ± 6 bulan. Pengolahan lahan sawah di daerah ini masih menggunakan cara yang tradisional dan dilakukan pemupukan sebanyak 2 kali selama musim tanam dengan cara ditebar.

Profil tanah yang kedua yaitu profil lahan hortikultura (P2). Awalnya

lahan horti ini berasal dari lahan sawah. Alih fungsi lahan ini sudah berlangsung kurang lebih selama 9 tahun. Jenis tanaman horti yang umumnya diusahakan di daerah ini yaitu tomat, cabai, bawang daun, dan berbagai jenis sayuran. Sistem pengolahan lahan horti juga masih menggunakan cara yang tradisional dan untuk pemupukan di lahan horti dilakukan setiap musim tanam dan disesuaikan dengan jenis tanaman yang sedang diusahakan.

Profil tanah yang ketiga adalah profil lahan kopi arabika (P3). Lahan

(47)

Deskripsi ketiga profil pada daerah penelitian adalah sebagai berikut :

Profil Tanah Lahan Sawah (P1)

Lokasi : Desa Hutabagasan, Kec. Doloksanggul, Kab. Humbang Hasundutan, Prov. Sumatera Utara

Kode : Profil 1

Koordinat : N 2º15,5’52’’ E 98º43’36’’ Klasifikasi Soil Taxonomy : Typic Haplosaprist

Fisiografi : Rawa Gambut

Karakteristik lereng : 0-3% (Datar-Agak datar)

Elevasi : 1411 m dpl. lekat, batas lurus baur

(48)

Gambar 4. Penampang Profil Tanah Lahan Sawah

Profil Tanah Lahan Tanaman Hortikultura (P2)

Lokasi : Desa Hutabagasan, Kec. Doloksanggul, Kab. Humbang Hasundutan, Prov. Sumatera Utara

Kode : Profil 2

Koordinat : N 2º15,5’52’’ E 98º43’36’’ Klasifikasi Soil Taxonomy : Typic Haplosaprist

Fisiografi : Rawa Gambut

Karakteristik lereng : 0-3% (Datar-Agak datar)

Elevasi : 1411 m dpl.

Ketebalan Gambut : >3 m

(49)

Oa3 90 – 130 cm Hitam kecokelat-cokelatan

Gambar 5. Penampang Profil Tanah Lahan Tanaman Hortikultura (Tomat)

Profil Tanah Lahan Tanaman Kopi Arabika (P3)

Lokasi : Desa Hutabagasan, Kec. Doloksanggul, Kab. Humbang Hasundutan, Prov. Sumatera Utara

Kode : Profil 3

Koordinat : N 2º15,5’52’’ E 98º43’36’’ Klasifikasi Soil Taxonomy : Typic Haplosaprist

Fisiografi : Rawa Gambut

Karakteristik lereng : 0-3% (Datar-Agak datar)

Elevasi : 1411 m dpl.

Ketebalan Gambut : >3 m

(50)

Oa2 30 – 90 cm Hitam (10 YR 2/1),

Gambar 6. Penampang Profil Tanah Lahan Tanaman Tahunan (Kopi Arabika) Morfologi Tanah

Pengamatan sifat morfologi tanah meliputi horizon tanah, kedalaman horizon, warna tanah, konsistensi, batas topografi dan batas horizon. Ketiga profil tanah yang diamati memperlihatkan sifat morfologi yang tidak berbeda jauh. Morfologi ketiga profil tersebut disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik Morfologi Tanah Gambut

Horizon Kedalaman Warna Konsistensi Batas

Topografi

Agak lekat Lurus/rata Baur Oa2 30 – 90 Hitam kecokelat-cokelatan

(5 YR 2/1)

Agak lekat Lurus/rata Baur

Oa3 90 – 130 Hitam

(5 YR 1,7/1)

Agak lekat Lurus/rata Baur

Profil Tanah Lahan Tanaman Hortikultura Oa1 0 – 30 Hitam kecokelat-cokelatan

(10 YR 2/2)

Agak lekat Lurus/rata Baur

Oa2 30 – 90 Hitam

(10 YR 1,7/1)

(51)

(10 YR 2/2)

Profil Tanah Lahan Tanaman Kopi Arabika Oa1 0 – 30 Hitam kecokelat-cokelatan

(10 YR 2/2)

Agak lekat Lurus/rata Baur

Oa2 30 – 90 Hitam

(10 YR 2/1)

Agak lekat Lurus/rata Baur

Oa3 90 – 130 Hitam

(10 YR 2/1)

Agak lekat Lurus/rata Baur

Penggunaan lahan yang berbeda pada tanah gambut topogen di wilayah ini tidak terlalu menunjukkan perbedaan secara morfologi pada ketiga profil tanah. Menurut Soil Survey Staff (2010) untuk tujuan praktis, berdasarkan pertimbangan objektif suatu penampang kontrol telah ditetapkan untuk klasifikasi Histosol. Tergantung dari jenis bahan tanah di dalam lapisan permukaan, penampang kontrol mempunyai ketebalan 130 cm atau 160 cm dari permukaan tanah, apabila tidak terdapat kontak densik, litik atau paralitik, lapisan air yang tebal, atau permafrost di dalam masing-masing batas tersebut. Penampang kontrol yang lebih tebal (160 cm) digunakan, apabila lapisan permukaan sampai sedalam 60 cm, memenuhi salah satu berikut: tiga perempat bagian atau lebih dari volume serat-seratnya berasal dari sphagnum, hypnum, atau lumut-lumut yang lain, atau mempunyai berat vulume kurang dari 0.1 g/cm3.

Karena tanah gambut di lokasi penelitian tersebut tidak memenuhi syarat

di atas yaitu tidak berasal lumut melainkan berasal dari kayuan (woody material) dan berat volumenya lebih besar dari 0.1 g/cm3 yaitu antara

0.3-0.5 g/cm3 maka ketebalan penampang kontrol yang dipergunakan adalah 130 cm. Dimana penampang kontrol dibagi ke dalam tiga tier yaitu:

(52)

- Bottom Tier (Tier Dasar) pada kedalaman 90-130 cm

Untuk warna tanah pada ketiga profil tanah sedikit menunjukkan perbedaan warna tetapi lebih didominasi warna hitam kecokelat-cokelatan sampai hitam. Sifat morfologi tanah yang lain seperti konsistensi, batas topografi dan batas horizon tidak mengalami perubahan akibat adanya pengaruh penggunaan lahan yang berbeda-beda di ketiga profil tanah.

Karakteristik Fisika Tanah

Karakteristik fisika tanah dari profil tanah lahan sawah, lahan tanaman hortikultura dan lahan tanaman kopi arabika disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Tingkat Kematangan/Dekomposisi Bahan Organik dan Bulkdensiti Tanah Gambut

Horizon Kedalaman Tingkat

Kematangan/Dekomposisi

Profil Lahan Tanaman Kopi Arabika

Oa1 0 – 30 Saprik 0.41

Oa2 30 – 90 Saprik 0.36

(53)

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan ditemukan kenyataan bahwa tingkat kematangan ataupun dekomposisi bahan organik untuk setiap horizon pada ketiga profil menunjukkan tingkat kematangan pelapukan yang sudah lanjut (matang). Selanjutnya berdasarkan analisa hasil untuk nilai bulkdensiti dari masing-masing profil tanah menunjukkan bulkdensiti berkisar antara 0.3 g/cm3 – 0.5 g/cm3 yang juga mendukung hasil pengamatan tingkat kematangan ataupun dekomposisi yang sudah lanjut.

Karakteristik Kimia Tanah

Sifat kimia tanah yang dianalisis di laboratorium adalah pH H2O, KTK,

basa-basa tukar, Kejenuhan Basa (KB), kandungan C-Organik dan N-Total tanah yang dapat dilihat pada tabel 5.

Berdasarkan hasil dari tabel 5 diketahui bahwa pada profil tanah lahan sawah, pH tanah tertinggi pada horizon Oa3 (90 - 130 cm) yaitu 4.95 dan terendah pada horizon Oa1 (0 - 30 cm) yaitu 4.68. Pada profil tanah lahan tanaman hortikultura, pH tanah tertinggi pada horizon Oa1 (0 - 30 cm) yaitu 5.14 dan terendah pada horizon Oa3 (90 - 130 cm) yaitu 4.94. Sedangkan Pada profil tanah lahan tanaman kopi arabika, pH tanah tertinggi pada horizon Oa3 (90 - 130 cm) yaitu 5.11 dan terendah pada horizon Oa2 (30 - 90 cm) yaitu 4.70. Nilai pH tanah tersebut dikriteriakan dalam kriteria masam menurut Staf Pusat Penelitian Tanah (1983) dan BPPM (1982) yaitu 4.5 – 5.5.

(54)

BPPM (1982) tergolong sangat rendah (<0.10 me/100 g), rendah (0.10 – 0.20 me/100 g) dan sedang (0.30 – 0.50 me/100 g). Nilai Ca-tukar tanah

(55)

Tabel 5. pH H2O, Basa-Basa Tukar, Kapasitas Tukar Kation (KTK), Kejenuhan Basa, C-Organik, N-Total, dan C/N

Horizon Kedalaman pH H2O

Basa-Basa Tukar

KTK KB C-Organik N-Total C/N

K Ca Mg Na

---- cm --- --- me/100 g--- --- % --- Profil Tanah Lahan Sawah

Oa1 0 – 30 4.68 0.06 0.17 0.40 0.08 30.40 2.33 10.37 0.53 19.57

Oa2 30 – 90 4.75 0.03 0.34 0.41 0.03 29.20 2.77 9.14 0.52 17.58

Oa3 90 – 130 4.95 0.08 0.33 0.54 0.05 29.20 3.42 9.63 0.49 19.65

Profil Tanah Lahan Tanaman Hortikultura

Oa1 0 – 30 5.14 0.34 0.39 0.35 0.31 32.80 4.23 10.12 0.63 16.06

Oa2 30 – 90 4.96 0.10 0.27 0.40 0.15 25.70 3.58 5.93 0.39 15.20

Oa3 90 – 130 4.94 0.06 0.20 0.41 0.09 23.80 3.19 6.92 0.46 15.04

Profil Tanah Lahan Tanaman Kopi Arabika

Oa1 0 – 30 5.02 0.14 0.32 0.25 0.32 28.60 3.60 9.40 0.67 14.03

Oa2 30 – 90 4.70 0.12 0.36 0.40 0.25 31.80 3.55 8.66 0.46 18.83

(56)

Profil tanah lahan sawah memiliki nilai KTK tanah tertinggi pada horizon

Oa1 yaitu 30.40 me/100 g dan terendah pada horizon Oa2 dan Oa3 yaitu 29.20 me/100 g. Sementara pada profil tanah lahan tanaman hortikultura nilai

KTK tanah tertingi pada horizon Oa1 yaitu 32.80 me/100 g dan terendah pada horizon Oa3 yaitu 23.80 me/100 g. Sedangkan pada profil lahan tanaman kopi arabika nilai KTK tanah tertinggi pada horizon Oa2 yaitu 31.80 me/100 g dan terendah pada horizon Oa1 yaitu 28.60 me/100 g. Nilai KTK tanah tersebut dikategorikan dalam nilai KTK yang sedang sampai tinggi menurut Staf Pusat Penelitian Tanah (1983) dan BPPM (1982) yaitu 17 - 24 me/100 gr tanah dan 25 - 40 me/100 gr tanah.

Profil tanah lahan sawah memiliki nilai KB tertinggi pada horizon Oa3 yaitu 3.42 % dan terendah pada horizon Oa1 yaitu 2.33 %. Profil tanah lahan tanaman hortikultura, nilai KB tertinggi pada horizon Oa1 yaitu 4.23 % dan terendah pada horizon Oa3 yaitu 3.19 %. Sedangkan profil tanah lahan tanaman kopi arabika memiliki nilai KB tertinggi pada horizon Oa3 yaitu 3.77 % dan terendah pada horizon Oa2 yaitu 3.55 %. Nilai KB tersebut tergolong sangat rendah (< 20 %) menurut Staf Pusat Penelitian Tanah (1983) dan BPPM (1982).

(57)

C-organik tanah tersebut tergolong sangat tinggi (> 5 %) menurut Staf Pusat Penelitian Tanah (1983) dan BPPM (1982).

Kadar N-total tanah pada profil tanah lahan sawah tertinggi pada horizon Oa1 yaitu 0.53 % dan terendah pada horizon Oa3 yaitu 0.49 %. Pada pada profil tanah lahan tanaman hortikultura, kadar N-total tanah tertinggi pada horizon Oa1 yaitu 0.63 % dan terendah pada horizon Oa2 yaitu 0.39 %. Sedangkan profil tanah lahan tanaman kopi arabika kadar N-total tanah tertingi pada horizon Oa1 yaitu 0.67 % dan terendah pada horizon Oa2 yaitu 0.46 %. Menurut Staf Pusat Penelitian Tanah (1983) dan BPPM (1982), nilai N-total tanah tersebut tergolong sedang sampai tinggi (0.21 – 0.50 % dan 0.51 – 0.75 %).

Rasio C/N tanah pada profil tanah lahan sawah tertinggi pada horizon Oa3 yaitu 19.65 dan terendah pada horizon Oa2 yaitu 17.58. Pada pada profil tanah lahan tanaman hortikultura, rasio C/N tertinggi pada horizon Oa1 yaitu 16.06 dan terendah pada horizon Oa3 yaitu 15.04. Sedangkan profil tanah lahan tanaman kopi arabika rasio C/N tertingi pada horizon Oa2 yaitu 18.83 dan terendah pada

(58)

Pembahasan Morfologi Tanah

Untuk warna tanah pada ketiga profil tanah sedikit menunjukkan perbedaan warna tetapi lebih didominasi warna hitam kecokelat-cokelatan sampai hitam. Tetapi jika kita perhatikan lebih teliti lagi pada horizon Oa1 profil lahan sawah warna tanahnya adalah hitam (10 YR 1,7/1) sedangkan horizon Oa1 pada lahan tanaman hortikultura dan lahan tanaman kopi arabika adalah warna hitam kecokelat-cokelatan (10 YR 2/2). Dari hasil tersebut kita dapat melihat bahwa pada variabel value terdapat perbedaan nilai yaitu 1.7 dan 2. Dari perbedaan value ini kita dapat menyimpulkan bahwa nilai 2 menunjukkan warna lebih terang dari 1.7. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hardjowigeno (2007) yang menyatakan bahwa makin tinggi value menunjukkan warna makin terang (makin banyak sinar yang dipantulkan). Perbedaan warna tersebut dipengaruhi oleh proses pengolahan lahan dan pengeringan/drainase. Pada lahan tanaman hortikultura dan kopi arabika pengeringan dan pengolahan lebih intensif sehingga proses dekomposisi lebih cepat terjadi dibandingkan di lahan sawah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hanafiah, dkk (2009) yang menyatakan bahwa sistem pertanian yang intensif mempercepat terjadinya pelapukan bahan organik.

(59)

pada profil lahan sawah adalah 5 YR sedangkan pada profil lahan hortikultura dan kopi arabika yaitu 10 YR. Nilai 5 YR menjelaskan warna tanah lebih muda dibandingkan 10 YR yang menandakan warna tanah lebih gelap. Ditinjau lagi dari nilai value, angka 2 menunjukkan warna lebih cerah/terang dari value 1.7. Sehingga dapat disimpulkan warna tanah dari yang lebih gelap sampai kepada yang lebih muda pada horizon Oa2 adalah dari profil lahan kopi arabika, kemudian profil tanah lahan hortikultura dan selanjutnya profil lahan sawah. Alasan yang sama seperti yang terjadi pada horizon Oa1 juga terjadi pada horizon Oa2 ini, hal ini terjadi karena dipengaruhi oleh pengolahan lahan juga. Pada lapisan Oa2 pengolahan lahan lebih intensif di lahan sawah. Karena pada umumnya lapisan olah pada lahan sawah di daerah tersebut lebih dalam dibandingkan lapisan olah lahan sawah pada umumnya. Sehingga sesuai dengan pernyataan Hanafiah, dkk (2009) juga bahwa sistem pertanian yang intensif mempercepat terjadinya pelapukan bahan organik.

Sifat morfologi tanah yang lain seperti konsistensi, batas topografi dan batas horizon tidak mengalami perubahan akibat adanya pengaruh penggunaan lahan yang berbeda-beda di ketiga profil tanah tersebut.

Karakteristik Fisika Tanah

(60)

gambut yang tingkat pelapukannya sudah lanjut (matang). Bila diperas, gambut sangat mudah melewati sela jari-jari dan serat yang tertinggal dalam telapak tangan kurang dari seperempat bagian (<¼).

Bulk density (BD) atau kerapatan lindak merupakan karakteristik fisika yang penting untuk tanah gambut. Dari hasil perhitungan di laboratorium Bulk density (BD) dari tiap horizon pada ketiga profil tanah gambut tersebut adalah 0.3-0.5 g/cm3. Menurut Soepardi (1983), kerapatan lindak atau BD pada tanah organik dibandingkan pada tanah mineral adalah lebih rendah yaitu 0.2-0.6 g/cm3 merupakan nilai biasa bagi tanah organik yang sudah mengalami dekomposisi lanjut.

Karakteristik Kimia Tanah

Penggunaan lahan yang berbeda tidak merubah karakteristik kimia tanah Gambut seperti yang terjadi pada pH tanah. Dari hasil analisis di laboratorium, hasil pH tanah Gambut di lokasi penelitian tergolong masam menurut Staf Pusat Penelitian Tanah (1983) dan BPPM (1982) yaitu 4.5 - 5.5. Tetapi Penggunaan lahan yang berbeda menyebabkan pH tanah lahan tanaman hortikultura lebih tinggi daripada pH tanah lahan sawah dan lahan tanaman kopi arabika. Lahan tanaman hortikultura memiliki pH tanah yang lebih tinggi disebabkan oleh proses pengeringan/drainase dan penggunaan lahan yang lebih intensif. Ditambah dengan penambahan pupuk kandang yang kerap diberikan petani pada musim tanam, menyebabkan pH tanah menjadi lebih tinggi.

(61)

dengan peningkatan pH. Hal ini sesuai dengan pernyataan Agus dan Subiksa (2008) yang menyatakan bahwa muatan negatif

(yang menentukan KTK) pada tanah gambut seluruhnya adalah muatan tergantung pH (pH dependent charge), dimana KTK akan naik bila pH gambut ditingkatkan. Muatan negatif yang terbentuk adalah hasil dissosiasi hidroksil pada gugus karboksilat atau fenol. KTK tinggi menunjukkan kapasitas jerapan (sorption capacity) gambut tinggi, namun kekuatan jerapan (sorption power) lemah, sehingga kation-kation K, Ca, Mg dan Na yang tidak membentuk ikatan koordinasi akan mudah tercuci.

Diantara ketiga profil tanah, KB tertinggi terdapat pada penggunaan lahan hortikultura. Hal ini juga berkaitan dengan nilai pH tanah tersebut. KB tinggi jika pH tanah tinggi. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Tan (1995) yang

menyatakan bahwa terdapat kolerasi positif antara % kejenuhan basa dan pH

tanah. Umumnya terlihat bahwa kejenuhan basa tinggi jika pH tanah tinggi. Oleh karena itu, tanah-tanah daerah iklim kering (arid) biasanya mempunyai kejenuhan basa yang lebih tinggi daripada tanah-tanah di daerah iklim basah. Kejenuhan basa yang rendah berarti terdapat banyak ion H+.

(62)

dan parit drainase pada lahan kopi arabika pun lebih tinggi jika dibandingkan dengan lahan hortikultura. Sehingga menyebabkan proses dekomposisi di lahan kopi arabika berlangsung lebih cepat dibandingkan yang lain Dengan adanya proses pengeringan/drainase dan pengolahan lahan yang kerap dilakukan petani menyebabkan kadar C-organik tanah semakin menurun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Juste (1997) dalam Wahyunto, dkk (2005) yang menyatakan bahwa bahan organik akan selalu menurun kadarnya bila diusahakan.

Rasio C/N tanah berhubungan dengan proses dekomposisi yang terjadi dalam tanah. Rasio C/N terendah sampai tertinggi terdapat pada profil tanah lahan kopi arabika, kemudian lahan hortikultura dan yang tertinggi pada lahan sawah. Hal ini juga dipengaruhi oleh proses pengeringan/drainase yang lebih lama terjadi di lahan kopi arabika jika dibandingkan dengan pengeringan di lahan hortikultura dan sawah sehingga menyebabkan proses dekomposisi di lahan kopi arabika berlangsung lebih cepat dibandingkan yang lain. Secara umum, makin rendah nisbah antara kadar C dan N di dalam bahan organik, akan semakin mudah dan cepat mengalami dekomposisi dan biasanya nilainya < 20.

(63)

kesetimbangan antara mineralisasi dan immobilisasi. Bahan organik yang memiliki nisbah C dan N rendah, lebih cepat menyediakan hara bagi tanaman, sedangkan bila bahan organik memiliki nisbah C dan N yang tinggi akan mengimmobilisasi hara. Oleh karena itu, untuk mempercepat dekomposisi bahan organik yang memiliki nisbah C dan N tinggi sering ditambahkan pupuk nitrogen dan kapur untuk memperbaiki perbandingan kedua hara tersebut serta menciptakan kondisi lingkungan yang lebih baik bagi dekomposer.

Klasifikasi Tanah

Pada tanah di ketiga penggunaan lahan tersebut dilakukan klasifikasi menurut Soil Taksonomi dengan acuan berdasarkan Soil Taksonomi Tanah (2010).

Ordo

(64)

Sub Ordo

Pada bahan tanah organik bagian tier bawah di ketiga penggunaan lahan tidak terdapat lapisan mineral yang kontinyu setebal 40 cm atau lebih yang batas atasnya didalam tier bawah. Diperkuat lagi dengam pembuktian di lapangan dengan memeras bahan tanah organik tersebut. Bila diperas, sangat mudah melewati sela jari-jari dan serat yang tertinggal dalam telapak tangan kurang dari seperempat bagian (<¼). Hal tersebut membuktikan bahwa tingkat pelapukan yang terjadi di ketiga tanah pada penggunaan lahan yang berbeda tersebut sudah mengalami tingkat pelapukan lanjut.

Dari hasil analisa di laboratorium juga semakin memperjelas bahwa tanah pada di ketiga penggunaan lahan tersebut memiliki nilai bulk density (BD) antara 0.3-0.5 g/cm3, yang menunjukkan bahwa tingkat pelapukan yang terjadi pada ketiga penggunaan lahan tersebut sudah lanjut. Oleh karena itu, maka tanah pada ketiga penggunaan lahan tersebut diklasifikasikan sebagai sub ordo Saprists. Great Group

Tanah di ketiga penggunaan lahan tersebut tidak mempunyai horison sulfurik yang batas atasnya di dalam 50 cm dari permukaan tanah, sehingga tidak termasuk ke dalam great group sulfosaprists. Tanah di ketiga penggunaan lahan tersebut juga tidak mempunyai bahan sulfidik di dalam 100 cm dari permukaan tanah, sehingga tidak termasuk ke dalam great group sulfisaprists.

(65)

berada dalam rejim suhu tahunan rata-rata lebih rendah dari 8ºC, tetapi tidak mempunyai permafrost. Sehingga berdasarkan kriteria Soil Taksonomi, tanah di ketiga penggunaan lahan tersebut diklasifikasikan ke dalam great group Haplosaprist.

Sub Group

Dalam Soil Taxonomi, ternyata tanah dari kategori great group Haplosaprist ini tidak memenuhi kategori sub group yang lain. Sehingga tanah diklasifikasikan menjadi Typic Haplosaprists.

Klasifikasi Tanah

Berdasarkan Soil Taksonomi Tanah 2010, bahwa ketiga penggunaan lahan di Desa Hutabagasan, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan memiliki klasifikasi tanah sebagai berikut :

Ordo : Histosol Sub Ordo : Saprists Great Group : Haplosaprist Sub Group : Typic Haplosaprist

(66)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Perubahan karakteristik yang terjadi pada tanah Gambut Topogen yang dijadikan sawah dan dialihfungsikan menjadi pertanaman kopi arabika dan hortikultura di Desa Hutabagasan Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan adalah pada warna tanah, kandungan C-organik tanah dan ratio C/N tanah.

Saran

Diharapkan adanya analisa lain seperti penurunan permukaan tanah (subsidence), P2O5 dan pengambilan titik profil pewakil yang berbeda agar dapat

Gambar

Gambar 1. Proses pembentukan gambut di Indonesia (Noor, 2001)
Tabel 1. Kriteria Tingkat Kesuburan Tanah Gambut
Tabel 2. Nilai KTK dan pH dari beberapa Ordo Tanah
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tetapi dalam hal – hal yang lain dapat timbul kewajiban pada pihak lain, misalnya Perjanjian memberi kuasa ( latsgeving ) tanpa upah.. Perjanjian cuma – cuma adalah

Lalu, dari analisis skema aktansial terlihat fungsi setiap tokoh dalam keseluruhan narasi dongeng ini. Analisis ini mengungkapkan tujuan setiap tokoh dalam melakukan kamuflase

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) instrumen tes diagnostik model testlet yang dikembangkan dinyatakan valid dari aspek materi, aspek konstruksi, dan aspek bahasa,

Berdasarkan analisis yang dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa penerapan model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM ) dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV

Dari 287 isolat Actinomycetes yang diisolasi dari 79 sampel tanah yang diambil dari 5 tempat yang berbeda, diketahui bahwa sebanyak 166 isolat mampu menghambat pertumbuhan

ini karena pasien kooperatif dan dapat menerima bahwa pencabutan gigi anteriornya tersebut adalah dikarenakan sudah tidak dapat dipertahankan akibat penyakit periodontitis

[r]

Hasil yang diperoleh adalah radiasi gamma dari IRKA kategori IV mengubah sifat kimia HDPE dalam hal persentase crosslinking dan jumlah radikal, serta sifat mekanik HDPE dalam