• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Peraturan Bersama Komisi Yudisial 02/PB/P.KY/IX/2012 dan Mahkamah Agung 02/PB/MA/IX/2012 Terhadap Perilaku Hakim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi Peraturan Bersama Komisi Yudisial 02/PB/P.KY/IX/2012 dan Mahkamah Agung 02/PB/MA/IX/2012 Terhadap Perilaku Hakim"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

Ahmad Haidar Muiny

NIM : 1111048000054

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

No.02/PB/P.KY/IX/2012 Terhadap Perilaku Hakim, Strata satu (S1), Konsentrasi

Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 1436 H / 2015 M. ix + 82 halaman.

Skripsi ini membahas tentang permasalahan tentang kode etik dan perilaku hakim

yang ada di Indonesia. yaitu penerapan Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan

Komisi Yudisial terhadap perilaku hakim. Adapun tujuan penelitian ini sebagai

berikut, (1) Untuk mengetahui kode etik dan perilaku hakim yang telah

diputuskan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial melalui

peraturan bersama. (2) Untuk mengetahui bagaimana efektifitas peraturan

bersama Mahkamah Agung dan Komisi yudisial dalam mengawasi kode etik dan

perilaku hakim. (3) Untuk mengetahui penerapan peraturan bersama Mahkamah

Agung dan Komisi Yudisial terhadap hakim yang melanggar.

Metode penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kepustakaan bersifat normatif.

Normatif artinya penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum objektif

(norma hukum), yaitu mengadakan penelitian terhadap masalah hukum dan

perilaku yang ada di masyarakat.

Kesimpulan dari analisis yang dilakukan adalah Kode etik profesi merupakan inti

yang melekat pada suatu profesi, ialah kode perilaku yang memuat nilai etika dan

moral. Hakim dituntut untuk profesional dan menjunjung etika profesi.

Pelanggaran atas suatu kode etik profesi tidaklah terbatas sebagai masalah internal

lembaga peradilan, tetapi juga merupakan masalah masyarakat.

Kata Kunci : Implementasi Peraturan Bersama Terhadap Perilaku Hakim

Pembimbing : H. Syafrudin Makmur, SH., MH.

(6)

v

KATA PENGANTAR

مسب

ميحرلا نمحرلا ها

Segala puji dan syukur ke-Hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan

karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis, Alhamdulillahi Robbil

„alamin terucap dengan ikhlas segala rasa syukur kepada-Nya atas

terselesaikannya skripsi ini oleh penulis. Sholawat serta salam semoga selalu

tercurah limpahkan kepada Nabi besar kita Nabi Muhammad SAW.

Dengan penuh rasa tulus penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat

jauh dari kesempurnaan, akan tetapi skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya

yang maksimal. Tidak sedikit hambatan, ujian dan kesulitan yang penulis temui.

Banyak hal yang tidak dapat dilampirkan didalam skripsi ini karena keterbatasan

pengetahuan dan waktu. Namun patut dan selalu disyukuri atas pengalaman suka

duka yang didapatkan dalam penulisan skripsi ini.

Penulis sangat berterimakasih, tanpa motivasi dari pembimbing dan semua

pihak yang mendukung penelitian ini, penelitian ini tidak dapat terselesaikan.

Pada kesempatan kali ini izinkanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.

2. Bapak Dr. Djawahir Hejjazziey, SH, MA, MH., Ketua Prodi Ilmu Hukum.

(7)

vi

5. Bapak Ahmad Bahtiar, M.Hum., Dosen Pembimbing Akademik penulis

dari semester awal hingga semester akhir perkuliahan.

6. Kedua orang tua penulis bapak H. Fahrul Fuadi, Spd. dan ibu Dra. Hj. Tuti

Ulwiyah, M.H. yang selalu mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis,

memberikan motivasi, doa dan selalu mendukung penulis sehingga penulis

dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi Negeri.

7. Kepada seluruh keluarga besar almarhum Drs. Ahmad Amin dan al

marhum K.H. Irsyad Muiny S.H yang telah memberikan semangat,

motivasi, dan doa kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

8. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Program Studi Ilmu Hukum.

9. Seluruh kawan-kawan Program Studi Ilmu Hukum terutama kawan-kawan

seperjuangan konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara 2011.

10. Semua sahabat penulis dari Program Studi Ilmu Hukum angkatan 2011 B,

teman dari Pusat Studi Hukum Kelembagaan Negara, dan

teman-teman KKN yang tidak bisa penulis sebutkan satu-satu.

Atas semua jasa, dukungan dan bantuan dari semua pihak yang telah

disebutkan diatas penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan

(8)

vii

berlipat ganda atas kebaikan dan ketulusan semua pihak yang turut serta

membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Semoga Allah

SWT selalu memeberikan Rahmat dan Hidayah-Nya serta mencurahkan kasih

sayang-Nya kepada kita semua. Amin Allahuma Amin.

Jakarta, Juni 2015

(9)

vii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah dan Pembatasan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Kerangka Teoritis ... 9

E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ... 13

F. Metode Penelitian... 15

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II LEMBAGA KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Mahkamah Agung (MA) ... 20

B. Mahkamah Konstitusi (MK) ... 22

C. Lembaga Pendukung Kekuasaan Kehakiman ... 32

(10)

viii

B. Tugas dan Wewenang Komisi Yudisial ... 42

C. Korelasi Antara Kewenangan Mahkamah Agung Dengan Komisi Yudisial

Terhadap Kode Etik Perilaku Hakim……….. …………. 48

BAB IV IMPLEMENTASI PERATURAN BERSAMA KOMISI YUDISIAL DAN MAHKAMAH AGUNG

A. Tindakan Mahkamah Agung Dalam Menangani Kode Etik dan Perilaku

Hakim ... 54

B. Tindakan Komisi Yudisial Dalam Menangani Kode Etik dan Perilku

Hakim ... 57

C. Analisis Implementasi Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi

Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Terhadap

Kasus Hakim Agung Achmad Yamanie dan Kasus Hakim Vica

Natalia……….59

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran-Saran ... 79

(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Implementasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

penerapan atau pelaksanaan dalam sebuah pekerjaan.1 Dalam kode etik

hakim, hakim dituntut untuk bersikap adil, jujur, arif dan bijaksana, bersikap

mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga

diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, dan bersikap professional.

Semua hal tersebut demi mewujudkan keadilan sepenuhnya yang ada di

Indonesia. Dalam kaitannya dengan hal ini hakim tidak hanya dituntut untuk

memutuskan sebuah perkara dengan hanya menggunakan undang-undang

saja tapi juga menggunakan yurisprudensi.

Cerminan perilaku hakim yang harus senantiasa berlandasakan pada

prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, adil, bijaksana, berwibawa, berbudi

luhur dan jujur, ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang melandasi

prinsip-prinsip pedoman hakim dalam bertingkah laku sesuai dengan agama

dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan

beradab. Ketaqwaan tersebut akan mendorong hakim untuk berperilaku baik

dan penuh tanggung jawab sesuai tuntunan agama masing-masing.2

1

Hoetomo M.A, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, cet-ke 1, (Mitra Pelajar: Surabaya, 2005), h.196

2

(12)

2

Untuk melaksanakan suatu fungsi, pada semua lini dalam setiap bidang

pada dasarnya terdapat beberapa unsur pokok, yaitu : tugas, yang merupakan

kewajiban dan kewenangan. Aparat, orang yang melaksanakan tugas tersebut.

Lembaga, yang merupakan tempat atau wadah yang dilengkapi dengan sarana

dan prasarana bagi aparat yang akan melaksanakan tugasnya. Bagi seorang

aparat, mendapatkan tugas merupakan mendapatkan kepercayaan untuk dapat

mengemban tugas dengan baik dan harus dikerjakan dengan sebaiknya.

Untuk mengerjakan tugas tersebut akan terkandung sebuah tanggung jawab

dalam melaksanakan dan mengerjakan tugas tersebut.

Tanggung jawab dapat dibedakan menjadi 3 hal yakni : moral, teknis

profesi dan hukum. Tanggung jawab hukum merupakan tanggung jawab yang

menjadi beban aparat untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan

rambu-rambu hukum yang telah ada, dan wujud dari pertanggung jawaban ini

merupakan sebuah sanksi. Sementara itu tanggung jawab moral merupakan

tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai, norma-norma yang berlaku dalam

lingkungan kehidupan yang bersangkutan (kode etik profesi).

Hal inilah yang menyebabkan terbentuknya sistem peradilan yang

diharapkan dapat membuat keseimbangan sosial dan kedamaian didunia ini.

Namun perlu kita sadari aparat-aparat hukum juga merupakan seorang

manusia yang memiliki kekurangan dan memiliki kesalahan yang tidak dapat

dipungkiri. Beberapa tekanan terkadang dapat membuat seseorang melakukan

hal-hal yang kadang tidak sesuai maka dari itu diperlukannya kode etik dalam

(13)

Mahkamah Agung (MA) adalah lembaga Negara yang menjalankan

kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi. MA

adalah lembaga yang “merdeka”, artinya bebas dari campur tangan kekuasaan

lainnya dalam menyelenggarakan peradilan untuk menegakan hukum dan

keadilan. MA merupakan puncak perjuangan keadilan bagi setiap warga

negara, karena MA sebagai Peradilan Tertinggi Negara dari badan-badan

peradilan yang berada di bawahnya, termasuk peradilan khusus yang banyak

dibentuk sekarang ini.3

Sejarah berdirinya Mahkamah Agung RI tidak dapat dilepaskan dari

masa penjajahan atau sejarah penjajahan di bumi Indonesia ini. Hal mana

terbukti dengan adanya kurun-kurun waktu, dimana bumi Indonesia sebagian

waktunya dijajah oleh Belanda dan sebagian lagi oleh Pemerintah Inggris dan

terakhir oleh Pemerintah Jepang. Oleh karenanya perkembangan peradilan di

Indonesia pun tidak luput dari pengaruh kurun waktu tersebut.

Pada tahun 1807 Mr. Herman Willem Deandels diangkat menjadi

Gubernur Jenderal oleh Lodewijk Napoleon untuk mempertahankan

jajahan-jajahan Belanda di Indonesia terhadap serangan-serangan pihak Inggris.

Deandels banyak sekali mengadakan perubahan-perubahan di lapangan

peradilan terhadap apa yang diciptakan oleh VOC, diantaranya pada tahun

1798 telah mengubah Raad van Justitie menjadi Hooge Raad. Kemudian

tahun 1804 Betaafse Republiek telah menetapkan suatu Piagam atau

3

(14)

4

Regeringsreglement buat daerah-daerah jajahan di Asia. Dalam Pasal 86

Piagam tersebut, yang merupakan perubahan-perubahan nyata dari zaman

pemerintahan Daendels terhadap peradilan di Indonesia, ditentukan sebagai

berikut :

“Susunan pengadilan untuk bangsa Bumiputera akan tetap tinggal menurut hukum serta adat mereka. Pemerintah Hindia Belanda akan menjaga dengan alat-alat yang seharusnya, supaya dalam daerah-daerah yang langsung ada dibawah kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda sedapat-dapatnya dibersihkan segala kecurangan-kecurangan, yang masuk dengan tidak diketahui, yang bertentangan dengan tidak diketahui, yang bertentangan degan hukum serta adat anak negeri, lagi pula supaya diusahakan agar terdapat keadilan dengan jalan yang cepat dan baik, dengan menambah jumlah pengadilan-pengadilan negeri ataupun dengan mangadakan pengadilan-pengadilan pembantu, begitu pula mengadakan pembersihan dan pengenyahan segala pengaruh-pengaruh buruk dari kekuasaan politik apapun juga.”

Piagam tersebut tidak pernah berlaku, oleh karena Betaafse Republiek

segera diganti oleh Pemerintah Kerajaan, akan tetapi ketentuan di dalam

“Piagam” tidak sedikit memengaruhi Deandels di dalam menjalankan

tugasnya.

Komisi Yudisial (KY) merupakan lembaga yang akan berperan dalam

proses seleksi hakim agung dan melakukan pengawasan para hakim. Melalui

Komisi Yudisial, diharapkan proses seleksi hakim agung lebih objektif dan

transparan, dan moralitas serta kejujuran para hakim akan semakin terawasi.

Keberadaan Komisi Yudisial diperlukan sebagai bagian dari perbaikan

peradilan akibat kegagalan sistem yang telah ada untuk menciptakan

(15)

lembaga pengadilan dan kemajuan pelaksanaan peradilan.4 Sejarah

Pembentukan Komisi Yudisial Berawal pada tahun 1968 muncul ide

pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang

berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan

akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan

pengangkatan, promosi, pindahan rumah, pemberhentian dan

tindakan/hukuman jabatan para hakim. Namun ide tersebut tidak berhasil

dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman.

Baru kemudian tahun 1998 muncul kembali dan menjadi wacana yang

semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim,

yang tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri

agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan

profesional dapat tercapai.

Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR

tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan,

penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk

di dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan

hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan

menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

4

Thohari, A Ahsin, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, cet-ke 1, (ELSAM :

(16)

6

Berdasarkan pada amandemen ketiga itulah dibentuk Undang-Undang Nomor

22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada

tanggal 13 Agustus 2004.

Setelah melalui seleksi yang ketat, terpilih 7 (tujuh) orang yang

ditetapkan sebagai anggota Komisi Yudisial periode 2005-2010 melalui

Keputusan Presiden tanggal 2 Juli 2005. Selanjutnya pada tanggal 2 Agustus

2005, ketujuh anggota Komisi Yudisial mengucapkan sumpah dihadapan

Presiden, sebagai awal memulai masa tugasnya.

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh A. Ahsin Thohari, di

bebarapa negara, Komisi Yudisial muncul sebagai akibat dari salah satu atau

lebih dari lima hal sebagai berikut:

1. Lemahnya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja.

2. Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dalam hal ini Departemen Kehakiman– dan kekuasaan kehakiman (judicial power).

3. Kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalanpersoalan teknis non-hukum.

4. Tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan kurang memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus.

5. Pola rekruitmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen.5

Masih menurut A. Ahsin Thohari, tujuan pembentukan Komisi Yudisial

adalah:

1. Melakukan monitoring yang intensif terhadap lembaga peradilan dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang

5

(17)

luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal saja. Monitoring secara internal dikhawatirkan menimbulkan semangat korps (l‟esprit de corps), sehingga objektivitasnya sangat diragukan.

2. Menjadi perantara (mediator) antara lembaga peradilan dengan Departemen Kehakiman. Dengan demikian, lembaga peradilan tidak perlu lagi mengurus persoalan-persoalan teknis non-hukum, karena semuanya telah ditangani oleh Komisi Yudisial. Sebelumnya, lembaga peradilan harus melakukan sendiri hubungan tersebut, sehingga hal ini mengakibatkan adanya hubungan pertanggungjawaban dari lembaga

peradilan kepada Departemen Kehakiman. Hubungan

pertanggungjawaban ini menempatkan lembaga peradilan sebagai subordinasi Departemen Kehakiman yang membahayakan independensinya.

3. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam banyak aspek, karena tidak lagi disibukkan dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan aspek hukum seperti rekruitmen dan monitoring hakim serta pengelolaan keuangan lembaga peradilan. Dengan demikian, lembaga peradilan dapat lebih berkonsentrasi untuk meningkatkan kemampuan intelektualitasnya yang diperlukan untuk memutus suatu perkara.

4. Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Di sini diharapkan inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi, karena setiap putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari Komisi Yudisial. Dengan demikian, putusan-putusan yang dianggap kontroversial dan mencederai rasa keadilan masyarakat dapat diminimalisasi kalau bukan dieliminasi.6

Meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap rekruitmen hakim, karena

lembaga yang mengusulkan adalah lembaga hukum yang bersifat mandiri dan

bebas dari pengaruh kekuasaan lain, bukan lembaga politik lagi, sehingga

diidealkan kepentingan-kepentingan politik tidak lagi ikut menentukan

rekrutmen hakim yang ada.

B. Rumusan Masalah dan Batasan Masalah

1. Batasan Masalah

6

(18)

8

Pengawasan kode etik hakim yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sudah terlalu luas, oleh karena itu

pembahasan penulisan ini dibatasi hanya pada implementasi Peraturan

Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial terhadap perilaku

hakim.

2. Rumusan Masalah

a. Bagaimana kewenangan Mahkamah Agung 02/PB/MA/IX/2012 dan

Komisi Yudisial 02/PB/P.KY/IX/2012 dalam peraturan bersama?

b. Apakah Mahkamah Agung 02/PB/MA/IX/2012 dan Komisi

Yudisial 02/PB/P.KY/IX/2012 sudah menerapkan peraturan

bersama terhadap hakim yang melanggar?

C. Tujuan dan Manfaat penulisan

1. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan ini secara umum untuk mengetahui

implementasi atau penerapan peraturan bersama Mahkamah Agung dan

Komisi Yudisial dalam hal menangani perilaku hakim dalam menjalani

tugas yang diembannya. Sedangkan secara khususnya, penilitian ini

bertujuan untuk :

a. Untuk mengetahui kode etik dan perilaku hakim yang telah

diputuskan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial

(19)

b. Untuk mengetahui bagaimana efektifitas peraturan bersama

Mahkamah Agung dan Komisi yudisial dalam mengawasi kode etik

dan perilaku hakim.

c. Untuk mengetahui penerapan peraturan bersama Mahkamah Agung

dan Komisi Yudisial terhadap hakim yang melanggar.

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan ini diharapkan dapat menambah

pengetahuan dan wawasan hakim dibidang kode etik dan perilaku hakim.

D. Kerangka Teoritis

Sesuai dengan prinsip bahwa negara Indonesia menganut sistem

pemisahan kekuasaan (separation of power), dengan sistem pemisahan

kekuasaan ini lembaga negara menjadi kekuasaan yang dinisbatkan

sebagai fungsi lembaga negara yang sederajat dan saling mengendalikan

satu sama lainnya.7 Maka lembaga negara mempunyai kewenangan yang

terpisah dari dengan lembaga negara lainnya. Hal ini dimaksudkan agar

tidak adanya monopoli kekuasaan terhadap kewenangan lembaga negara

lain, sesuai dengan prinsip checks and balances.

Pemerintahan pada awalnya dibentuk untuk menghindari

keadaan dimana sebuah wilayah yang dihuni oleh manusia mengalami

7

(20)

10

serba kekacauan.8 Dalam rangka pelaksanaan pekerjaan dan untuk

mencapai tujuan dari pemerintah yang telah direncanakan maka perlu ada

pengawasan, karena dengan pengawasan tersebut, maka tujuan yang akan

dicapai dapat dilihat dengan berpedoman rencana yang telah ditetapkan

terlebih dahulu oleh pemerintah.

Sebagaimana pendapat Situmorang dan Juhir mengemukakan agar

terciptanya aparat yang bersih dan berwibawa yang didukung oleh suatu

sistem manajemen pemerintah yang berdaya guna dan berhasil guna serta

ditunjang oleh partisipasi masyarakat yang konstruksi dan terkendali

dalam wujud pengawasan masyarakat (control social) yang obyektif,

sehat dan bertanggung jawab.

Dapat diketahui bahwa pada pokoknya tujuan pengawasan adalah

membandingkan antara pelaksanaan dan rencana serta instruksi yang

telah dibuat, untuk mengetahui ada tidaknya kesulitan, kelemahan atau

kegagalan serta efisiensi dan efektivitas kerja dan untuk mencari jalan

keluar apabila ada kesulitan, kelemahan dan kegagalan atau dengan kata

lain disebut tindakan korektif.9 Pendapat ini terbukti jika sebuah lembaga

negara tidak melakukan pengawasan terhadap para pekerjanya maka

akan ada kelemahan dan kegagalan dalam kinerja lembaga tersebut.

Dalam mengelola pemerintahan secara baik dan benar, pemerintah

hendaknya jangan hanya sebagai penjaga malam yang memetingkan

8

Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan : tinjauan dari segi etika dan kepemimpinan, cet-ke 2, (PT. Yarsif Watampone : Jakarta, 1997),h. 1

9

(21)

ketertiban tetapi juga jangan lupa pada ketentraman dan kesejahteraan

jadi jangan hanya mampu berkuasa tetapi juga mampu untuk melayani,

oleh karena itu disebut sebagai pemerintah yang baik dan benar atau

dengan kata lain good governance dan cleant government.

Menurut Sumendar, ilmu pemerintahan sebagai badan yang penting

dalam rangka pemerintahannya, pemerintah musti memperhatikan

ketentraman dan ketertiban umum, tuntutan dan harapan serta pendapat

rakyat, kebutuhan dan kepetingan masyarakat, pengaruh lingkungan,

pengaturan, komunikasi, peran serta seluruh lapisan masyarakat, serta

keberadaan legitimasi. Dan menurut Munasef, ilmu pemerintahan adalah

suatu ilmu yang dapat menguasai dan memeimpin serta menyelidiki

unsur-unsur dinas, berhubungan dengan keserasian ke dalam hubungan

antar dinas-dinas itu dengan masyarakat yang kepentingannya diwakili

dinas tersebut.10

Kepastian hukum adalah apa yang berusaha dipertahankan teori

hukum tradisional, dengan sadar atau pun tidak.11 Kepastian hukum

merupakan suatu hal yang hanya bisa dijawab secara normatif

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bukan

sosiologis, tapi kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu

peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara

jelas dan logis dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan

10

Inu Kencana Syafie, Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia, cet-ke 1, (PT. Refika Aditama : Bandung, 2003), h. 6

11

(22)

12

tafsir) dan logis dalam arti menjadi sistem norma dengan norma yang lain

sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma yang

ditimbulkan dari ketidakpastian.

Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma

adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen,

dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus

dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang

deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat

umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam

bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun

dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi

batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan

terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut

menimbulkan kepastian hukum.12

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian,

yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu

mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan

kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan

pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu

12

(23)

dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh

Negara terhadap individu13.

E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis akan

menyertakan beberapa hasil penilitian terdahulu sebagai perbandingan

tinjauan kajian materi yang akan dibahas, sebagai berikut:

Sumber pembahasan ini diambil dari buku Kode Etik Hakim, penulis

Wildan Suyuthi Mustofa, dari penerbit Kencana yang membahas tentang

kode etik dan perilaku hakim.

Adapun skripsi yang pernah membahas seputar kode etik dan perilaku

hakim diantaranya adalah:

No. Aspek Perbandingan Studi Terdahulu

1. a. Judul Skripsi

b. Fokus

Pengawasan Perilaku Hakim Oleh Majelis

Kehormatan Hakim Dalam Sistem

Ketatanegaraan Republik Indonesia.

Bagaimana aturan-aturan mengenai perilaku

dan kode etik hakim dalam rangka

menegakkan kehormatan dan keluhuran

13

(24)

14

c. Waktu/Tempat

martabat hakim, serta bagaimana cara

pengawasan majelis kehormatan hakim

terhadap perilaku hakim dalam sistem

ketatanegaraan Republik Indonesia.

Universitas Andalas, Padang 2011

2. a. Judul Skripsi

b. Fokus

c. Waktu/Tempat

Komisi Yudisial Dalam Mengawasi Hakim

Persepektif Peradilan Islam.

Komisi yudisial dalam pengawasan putusan,

administrasi, dank ode etik hakim harus

sesuai dengan peradilan islam yang selama ini

telah dijalankan dari mulai Rasul dan para

sahabatnya, yaitu menjunjung tinggi keadilan

bagi masyarakat luas.

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,

Yogyakarta 2013

Sebagai pertimbangan sekaligus pembeda, penulisan yang akan

diangkat oleh penulis adalah cakupan pembahasan skripsi yang lebih fokus

mengenai penerapan peraturan bersama Mahkamah Agung No.

02/PB/MA/IX/2012 dan Komisi Yudisial No. 02/PB/P.KY/IX/2012 terhadap

(25)

F. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu cara yang digunakan untuk

memecahkan permasalahan dan sebagai pedoman untuk memperoleh hasil

penelitian yang mencapai tingkat kecermatan dan ketelitian yang dapat

dipertanggungjawabkan.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode penelitian merupakan metode ilmiah untuk mendapatkan tujuan

dan kegunaan tertentu. Indikasi hendaknya sebuah penelitian dapat diukur

dari sisi : rasionalitas, empris, dan sistematis, rasionalitas artinya penelitian

dilakukan dengan cara yang masuk akal sehingga terjangkau oleh penalaran

manusia, sementara empiris metode yang digunakan dengan cara indra

manusia, dan sitematis artinya proses penelitian tersebut menggunakan

langkah-langkah yang bersifat logis. menurut Peter Mahmud Marzuki,

penelitian hukum merupakan suatu kegiatan know-how dalam ilmu hukum

yang bersifat perspektif, bukan sekedar know-about. Sebagai kegiatan

know-how penilitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang

dihadapi. Di sinilah dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah

hukum, melakukan penalaran hukum, menganalisis masalah yang dihadapi

dan kemudian memberikan pemecehan atas masalah tersebut.14

2. Pendekatan Yang Dipakai

14

(26)

16

Atas dasar itu pembahasan pokok dalam penulisan ini menggunakan

sebuah metode kajian buku atau normatif maka penulis menggunakan

pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konsep

(conceptual approach), dan pendekatan historis (historical approach).

Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan

yang berkaitan dengan kode etik atau perilaku hakim. Pendekatan konsep

digunakan untuk memahami konsep aturan perundang-undangan tentang

kode etik dan perilaku hakim. Pendekatan historis dilakukan untuk

mengetahui sejarah tentang undang-undang yang mengatur tentang

permasalahan kode etik dan perilaku hakim yang ada di Indonesia.

3. Bahan dan Sumber Penelitian

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif

artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi

perundangan-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam

pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim.15 Dalam

penelitian ini yang termasuk dalam bahan hukum primer adalah UUD

1945, Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, Undang- Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang amandemen

Undang-Undang Mahkamah Agung, Peraturan Bersama Mahkamah

Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia

No. 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/IX/2012 Tentang Panduan

Penegakan Kode Etik Hakim Dan Pedoman Perilaku Hakim.

15

(27)

b. Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum

meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan

komentar-komentar atas putusan pengadilan.

c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder yang dipandang perlu.16

4. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan metode pengumpulan data

melalui studi dokumen/ kepustakaan (library research) yaitu dengan

melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku

yang berkaitan dengan kode etik dan perilaku hakim, peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan kode etik dan perilaku hakim. pendapat

sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga berita yang penulis peroleh dari

internet.

5. Metode Pengolahan dan Analisa Data

Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan analisis secara deskriptif

kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisa data yang

mengelompakan dan menyeleksi data yang diperoleh dari berbagai sumber

kepustakaan dan peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian, kemudian

dianalisa secara interpretative menggunakan teori maupun hukum positif

yang telah dituangkan, kemudian secara induktif ditarik kesimpulan untuk

menjawab permasalahan yang ada.

16

(28)

18

6. Pedoman Penulisan Skripsi

Penulisan dan penyusunan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet. 1. 2012.”

G. Sistematika Penulisan

Adapun dalam penulisan proposal skripsi ini, Penulis membaginya ke

dalam lima bab sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam Bab I ini terdiri dari uraian mengenai latar belakang

permasalahan, pokok permasalahan, maksud dan tujuan

penulisan, manfaat penulisan, kerangka teori dan kerangka

konseptual, metodologi penulisan dan sistematika penulisan

skripsi.

BAB II : LANDASAN TEORI

Dalam Bab II ini terdiri dari uraian yang menjelaskan kajian

konsepsi yang merupakan dasar dari etika profesi hukum

atau kode etik profesi.

BAB III : KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG DAN KOMISI YUDISIAL

Dalam Bab III ini terdiri dari uraian mengenai persamaan

dan perbedaan kewenangan Mahkamah Agung dan Komisi

(29)

BAB IV : IMPLEMENTASI PERATURAN BERSAMA KOMISI YUDISIAL DAN MAHKAMAH AGUNG

Dalam Bab IV ini terdiri dari uraian hasil analisis yang

dikembangkan serta berkaitan dengan teori pada Bab II dan

Bab III. Kemudian analisis atas Peraturan Bersama Komisi

Yudisial 02/PB/P.KY/IX/2012 dan Mahkamah Agung

02/PB/MA/IX/2012 dikaitkan dengan penerapan Peraturan

Bersama terhadap perilaku hakim.

BAB V : PENUTUP

Dalam Bab V ini penulis akan menyimpulkan materi karya

ilmiah dari pokok permasalahan dan memberikan

saran-saran yang berguna bagi negara Indonesia, lembaga atau

(30)

20

BAB II

LEMBAGA KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

A. Mahkamah Agung (MA)

Mahkamah Agung (MA) adalah lembaga Negara yang

menjalankan kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah

Konstitusi. MA adalah lembaga yang “merdeka”, artinya bebas dari

campur tangan kekuasaan lainnya dalam menyelenggarakan peradilan

untuk menegakan hukum dan keadilan. MA merupakan puncak

perjuangan keadilan bagi setiap warga negara, karena MA sebagai

Peradilan Tertinggi Negara dari badan-badan peradilan yang berada di

bawahnya, termasuk peradilan khusus yang banyak dibentuk sekarang

ini.17

Mahkamah Agung menurut Ketentuan umum Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu Mahkamah

Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Beberapa

kewenangan Mahkamah Agung dirumuskan dalam Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :

Mahkamah Agung adalah pemegang Kekuasaan Peradilan

bersama Mahkamah Konstitusi dengan tugas dan kewenangan

masing-masing yang berbeda. tentang Kekuasaan Kehakiman.“Kekuasaan

17

Philipus M Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, cet-ke 10,

(31)

Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan

Peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum,

Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan

Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.18 Mahkamah Agung adalah pemegang Kekuasaan Peradilan

bersama Mahkamah Konstitusi dengan tugas masing-masing yang

berbeda. Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung

meliputi Badan Peradilan dalam Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan

Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.19 Pasal

tersebut menjelaskan bahwa Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

melaksanakan Kekuasaan Kehakiman. Mahkamah Agung membawahi

badan Peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama,

Peradilan Militer, Dan Peradilan Tata Usaha Negara.Mahkamah Agung

membawahi suatu Pengadilan Khusus.

Pengadilan Khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu

lingkungan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.20 yang dimaksud dengan

“Pengadilan Khusus” antara lain adalah Pengadilan Anak, Pengadilan

Niaga, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi, Pengadilan Hubungan Industrial Dan Pengadilan Perikanan yang

18

Pasal 18 Undang-Undang No 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

19

Pasal 25 ayat 1 Undang-Undang No 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

20

(32)

22

berada di ingkungan Peradilan Umum, serta Pengadilan Pajak yang

berada di lingkungan peradilan tata usaha negara.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman Mahkamah Agung berwenang:

a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan

pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan

peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali

undang-undang menentukan lain.

b. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang

terhadap undang-undang.

c. Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang. Mahkamah

Agung dapat dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat

masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan

dan tempat pengajuan peninjauan kembali (PK) 21.

B. Mahkamah Konstitusi (MK)

Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali

dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam

amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan

Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam

ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang

Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember

21

(33)

2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan

pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.

Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam

rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah

Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana

diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan

Keempat.

DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan

Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan

mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13

Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran

Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).

Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden

melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim

konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan

sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal

16 Agustus 2003.Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah

pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003

yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu

cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.22

22http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=1

(34)

24

Ada empat kewenangan dan satu kewajiban Mahkamah Konstitusi

yang telah ditentukan dalam UUD 1945 perubahan ketiga Pasal 24C

ayat (1) yaitu:23

1. Menguji (judicial review) undang-undang terhadap UUD.

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang

kewenangannya diberikan oleh UUD.

3. Memutuskan pembubaran partai politik.

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

5. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewajiban

memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan

pelanggaran hukum oleh presiden dan wakil presiden

menurut UUD.

Dengan demikian ada empat kewenangan dan satu kewajiban

konstitusional bagi Mahkamah Konstitusi. Pengadilan yang dilakukan

oleh Mahkamah Konstitusi merupakan pengadilan tinggal pertama

dan terakhir yang putusannya bersifat final. Artinya, tidak ada upaya

hukum lain atas putusan Mahkamah Konstitusi, seperti yang terjadi

pada pengadilan lain. Kasus-kasus yang menjadi kewenangan

Mahkamah Konstitusi antara lain yaitu:

1. Perselihan Hasil Pemilihan Umum.

23

(35)

Pemilihan umum bertujuan untuk memilih presiden dan wakil

presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, Preisden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah. Peserta Pemilihan Umum itu ada tiga, yaitu pertama,

pasangan calon presiden/wakil presiden, kedua, partai politik peserta

pemilihan umum anggota DPR dan DPRD, dan ketiga, (perorangan

calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Sedangkan penyelenggara pemilihan umum adalah Komisi

Pemilihan Umum yang diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan

Umum (PANWASLU). Apabila timbul perselisihan pendapat antara

peserta pemilihan umum dengan penyelenggara pemilihan umum, dan

perselisihan itu tidak dapat diselesaikan sendiri oleh para pihak, maka

hal itu dapat diselesaikan melalui proses peradilan di Mahkamah

Konstitusi.24

Yang menjadi persoalan yang diselesaikan di Mahkamah

Konstitusi adalah soal perselisihan perhitungan perolehan suara

pemilihan umum yang telah dtetapkan dan diumumkan secara

nasional oleh Komisi Pemilihan Umum, dan selisih perolehan suara

dimaksud berpengaruh terhadap kursi yang diperebutkan. Jika terbukti

bahwa selisih peroleh suara tersebut tidak berpengaruh terhadap

peroleh kursi yang diperebutkan, maka perkara yang dimohonkan

akan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

24

(36)

26

Jika selisih yang dimaksud memang berpengaruh, dan bukti-bukti

yang diajukan kuat dan beralasan, maka permohonan dikabulkan dan

perolehan suara yang benar ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi

sehingga perolehan kursi yang diperebutkan akan jatuh ke tangan

pemohon yang permohonannya dikabulkan. Sebaliknya, jika

permohonan tidak beralasan atau dalil-dalil yang diajukan tidak

terbukti, maka permohonan pemohon akan ditolak.

Ketentuan-ketentuan ini berlaku baik untuk pemilihan anggota DPR, DPD,

DPRD, maupun untuk pasangan capres/cawapres.

2. Pembubaran Partai Politik

Kebebasan Partai politik dan berpartai adalah cermin

kebebasan berserikat yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar

1945. Oleh karena itu, setiap orang, sesuai ketentuan Undang-Undang

bebas mendirikan dan ikut serta dalam kegiatan partai politik. Karena

itu, pembubaran partai politik bukan oleh anggota partai politik yang

bersangkutan merupakan tindakan yang bertentangan dengan

konstitusi atau inkonstitusional.

Untuk menjamin perlindungan terhadap prinsip kebebasan

berserikat itulah maka disediakan mekanisme bahwa pembubaran

suatu partai politik haruslah ditempuh melalui prosedur peradilan

konstitusi. Yang diberi hak “standing” untuk menjadi pemohon dalam

perkara pembubaran partai politik adalah Pemerintah, bukan orang per

(37)

tidaknya dalil-dalil yang dijadikan alasan tuntutan pembubaran partai

politik itu adalah Mahkamah Konstitusi.25

Dengan demikian, prinsip kemerdekaan berserikat yang

dijamin dalam UUD tidak dilanggar oleh para penguasa politik yang

pada pokoknya juga adalah orang-orang partai politik lain yang

kebetulan memenangkan pemilihan umum. Dengan mekanisme ini,

dapat pula dihindarkan timbulnya gejala dimana penguasa politik

yang memenangkan pemilihan umum memberangus partai politik

yang kalah pemilihan umum dalam rangka persaingan yang tidak

sehat menjelang pemilihan umum tahap berikutnya.

3. Penuntutan Pertanggungjawaban Presiden/Wakil Presiden

Perkara penuntutan pertanggungjawaban presiden atau wakil

presiden dalam istilah resmi UUD 1945 dinyatakan sebagai kewajiban

Mahkamah Konstitusi untuk memutus pendapat DPR bahwa Presiden

dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa

pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana

berat lainnya. Atau perbuatan tercela atau pendapat DPR bahwa

Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai

Presiden dan Wakil Pesiden. 26

Dalam hal ini, harus diingat bahwa Mahkamah Konstitusi

bukanlah lembaga yang memberhentikan Presiden atau Wakil

Presiden. Yang memberhentikan dan kemudian memilih penggantinya

25

Pasal 28 jo Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945

26

(38)

28

adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Mahkamah Konstitusi hanya

memutuskan apakah pendapat DPR yang berisi tuduhan (a) bahwa

Presiden atau Wakil Presiden telah melanggar hukum, (b) bahwa

Presiden atau Wakil Presiden telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai

Presiden atau Wakil Presiden, terbukti benar secara konstitusional

atau tidak. Jika terbukti, Mahkamah Konstitusi akan menyatakan

bahwa pendapat DPR tersebut adalah benar dan terbukti, sehingga

atas dasar itu, DPR dapat melanjutkan langkahnya untuk mengajukan

usul pemberhentian atas Presiden atau Wakil Presiden tersebut kepada

Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Sejauh menyangkut pembuktian hukum atas unsur kesalahan

karena melakukan pelanggaran hukum atau kenyataan bahwa Presiden

dan/atau Wakil Presiden telah tidak lagi memenuhi syarat

sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, maka putusan Mahkamah

Konstitusi itu bersifat final dan mengikat. DPR dan MPR tidak

berwenang mengubah putusan final MK dan terikat pula untuk

menghormati dan mengakui keabsahan putusan MK tersebut. Namun,

kewenangan untuk meneruskan tuntutan pemberhentian ke MPR tetap

ada di tangan DPR, dan kewenangan untuk memberhentikan Presiden

dan/atau Wakil Presiden yang bersangkutan tetap berada di tangan

MPR.

Inilah yang banyak dipersoalkan orang karena ada saja

(39)

pemberhentian itu sebagaimana mestinya, mengingat baik DPR

maupun MPR merupakan forum politik yang dapat bersifat dinamis.

Akan tetapi, sejauh menyangkut putusan MK, kedudukannya sangat

jelas bahwa putusan MK itu secara hukum bersifat final dan mengikat

dalam konteks kewenangan MK itu sendiri, yaitu memutus pendapat

DPR sebagai pendapat yang mempunyai dasar konstitusional atau

tidak, dan berkenaan dengan pembuktian kesalahan Presiden/Wakil

Presiden sebagai pihak termohon, yaitu benar-tidaknya yang

bersangkutan terbukti bersalah dan bertanggungjawab.

4. Pengujian Undang-Undang dan Pemisahan MK dan MA

Kewenangan terakhir dan yang justru yang paling penting dari

keempat kewenangan ditambah satu kewajiban (atau dapat pula

disebut kelima kewenangan) yang dimiliki oleh Mahkamah

Konstitusi menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

adalah kewenangan menguji konstitusionalitas undang-undang.

Tanpa harus mengecilkan arti pentingnya kewenangan lain dan

apalagi tidak cukup ruang untuk membahasnya dalam makalah

singkat ini, maka dari kelima kewenangan tersebut, yang dapat

dikatakan paling banyak mendapat sorotan di dunia ilmu

pengetahuan adalah pengujian atas konstitusionalitas UU.

Pengujian atas Undang-Undang dilakukan dengan tolok ukur

Undang-Undang Dasar. Pengujian dapat dilakukan secara materiel

(40)

30

UU, sehingga yang dipersoalkan harus jelas bagian mana dari UU

yang bersangkutan bertentangan dengan ketentuan mana dari UUD.

Yang diuji dapat terdiri hanya 1 bab, 1 pasal, 1 kaimat ataupun 1

kata dalam UU yang bersangkutan. Sedangkan pengujian formil

adalah pengujian mengenai proses pembentukan UU tersebut

menjadi UU apakah telah mengikuti prosedur yang berlaku atau

tidak. Sejarah pengujian (judicial review) dapat dikatakan dimulai

sejak kasus Marbury versus Madison ketika Mahkamah Agung

Amerika Serikat dipimpin oleh John Marshall pada tahun 1803.

Sejak itu, ide pengujian UU menjadi populer dan secara

luas didiskusikan dimana-mana. Ide ini juga mempengaruhi

sehingga „the fouding fathers‟ Indonesia dalam Sidang BPUPKI

tanggal 15 Juli 1945 mendikusikannya secara mendalam. Adalah

Muhammad Yamin yang pertama sekali mengusulkan agar MA

diberi kewenangan untuk membanding undang-undang.27 Akan

tetapi, ide ini ditolak oleh Soepomo karena dinilai tidak sesuai

dengan paradigma yang telah disepekati dalam rangka penyusunan

UUD 1945, yaitu bahwa UUD Indonesia itu menganut sistem

supremasi MPR dan tidak menganut ajaran „trias politica‟

27

Republik Indonesia, Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 26 Mei 1945 – 22

(41)

Montesquieu, sehingga tidak memungkinkan ide pengujian UU

dapat diadopsikan ke dalam UUD 1945.28

Namun, sekarang, setelah UUD 1945 mengalami perubahan 4

kali, paradigma pemikiran yang terkandung di dalamnya jelas sudah

berubah secara mendasar. Sekarang, UUD 1945 tidak lagi mengenal

prinsip supremasi parlemen seperti sebelumnya. Jika sebelumnya

MPR dianggap sebagai pelaku kedaulatan rakyat sepenuhnya dan

sebagai penjelmaan seluruh rakyat yang mempunyai kedudukan

tertinggi dan dengan kekuasaan yang tidak terbatas, maka sekarang

setelah Perubahan Keempat UUD 1945 MPR itu bukan lagi

lembaga satu-satunya sebagai pelaku kedaulatan rakyat.29

Karena Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung

oleh rakyat, maka di samping MPR, DPR dan DPD sebagai pelaku

kedaulatan rakyat di bidang legislatif, kita harus pula memahami

kedudukan Presiden dan Wakil Presiden juga sebagai pelaku

kedaulatan rakyat di bidang eksekutif dengan mendapatkan mandat

langsung dari rakyat melalui pemilihan umum.

Di samping itu, karena sejak Perubahan Pertama sampai

Keempat, telah terjadi proses pergeseran kekuasaan legislatif dari

tangan Presiden ke tangan DPR,30 maka mau tidak mau kita harus

28

Republik Indonesia, Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 26 Mei 1945 – 22

Agustus 1945, Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1995, hal 303-306.

29

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945

30

(42)

32

memahami bahwa UUD 1945 sekarang menganut prinsip pemisahan

kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif,

eksekutif, dan judiktif dengan mengandaikan adanya hubungan

„checks and balances‟ antara satu sama lain. Oleh karena itu, semua

argumen yang dipakai oleh Soepomo untuk menolak ide pengujian

undang-undang seperti tergambar di atas, dewasa ini, telah

mengalami perubahan, sehingga fungsi pengujian undang-undang

itu tidak dapat lagi dihindari dari penerapannya dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD 1945.

C. Lembaga Pendukung Kekuasaan Kehakiman

Lembaga pendukung kekuasaan kehakiman yang ada di

Indonesia yaitu Komisi Yudisial (KY), Komisi Yudisial adalah

Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh konstitusi

(constitutionally based power). Artinya, sebagai lembaga negara yang

bersifat mandiri dalam tugasnya Komisi Yudisial sebagaimana telah

ditentukan dalam UUD, kewenanganya Komisi Yudisial juga

diberikan dan diatur dalam UUD.

Kewenangannya yang mengekslusifkan dan membedakan

Komisi Yudisial dari lembaga-lembaga lain. Dengan konstruksi

demikian, Komisi Yudisial memiliki legitimasi yuridis amat kuat

(43)

Pada hakekatnya, tugas utama Komisi Yudisial adalah

mewujudkan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka melalui

pencalonan Hakim Agung serta pengawasan terhadap Hakim yang

trasparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan

keluhuran martabat, serta menjaga perilaku Hakim. dengan tugas dan

wewenang tersebut, keberadaan Komisi Yudisial memiliki arti penting

dan peranan strategis dalam perkembangan ketatanegaraan dewasa ini

karena segala ketentuan dan kebijakan yang dibuat penyelenggara

Negara dapat diukur dalam kehormatan dan keluhuran martabat, serta

perilaku hakim.

Wewenang konstitusional Komisi Yudisial tersebut secara

khusus diatur dalam pasal 24B ayat 1 UUD 1945 pasca amandemen.

Pasal 24B ayat 1 perubahan UUD 1945 tersebut merangkum

sekaligus, fungsi, tugas dan wewenang Komisi Yudisial dalam wujud

rumusan umum.

Berdasarkan pokok pengaturan tersebut, UU No.22 tahun 2004

menjabarkan tugas strategis Komisi Yudisial melalui pasal 13 yang

menyatakan bahwa, Komisi Yudisial mempunyai wewenang

mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR dan

menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat erta menjaga

perilaku hakim.31

31

(44)

34

BAB III

KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG DAN KOMISI YUDISIAL

A. Tugas dan Wewenang Mahkamah Agung

Menurut Pasal 22 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman adalah:

a. Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan

nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga

pemerintahan.

b. Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan

peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal

atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.32 Dalam

Pasal tersebut Mahkamah Agung dapat memberi keterangan,

pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada Lembaga Negara

dan Lembaga Pemerintahan dan terhadap putusan Pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang

bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada

Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang

ditentukan dalam undang-undang.

Peran Mahkamah Agung dalam pengajuan Hakim Konstitusi diatur

Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,

32

(45)

Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah

Agung, 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 (tiga) orang

oleh Presiden.33 dalam hal ini Mahkamah Agung berhak untuk

mengajukan 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi.

1. Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung

a. Pengangkatan Hakim Agung

Terdapat beberapa perbedaan antara pengangkatan Hakim Agung

sebelum reformasi, dan setelah reformasi, dengan amandemen UUD

1945.Pada masa Orde Lama proses pengangkatan (rekrutmen) Hakim

Agung melibatkan ketiga lembaga tinggi negara yaitu eksekutif

(Presiden) dan Menteri Kehakiman, Yudikatif (MA) dan Legislatif

(DPR). Aturan ini khusus ditetapkan bagi pemilihan Hakim Agung,

sedangkan dalam pemilihan hakim biasa hanya melibatkan pihak

yudikatif dan eksekutif.

Dalam Pasal 4-11 Ayat (2) Konstitusi Republik Indonesia

Serikat (KRIS) ditetapkan bahwa Ketua, Wakil Ketua dan hakim

Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden atas anjuran DPR dari

sekurang-kurangnya 2 (dua) calon bagi tiap-tiap pengangkatan.

Pengangkatan (pemilihan) Hakim Agung pada masa orde lama meski

melibatkan lembaga negara lainnya yakni DPR, namun keputusan akhir

tetaplah berada di tangan eksekutif (Presiden).

33

(46)

36

Setelah tahun 1998, terjadi reformasi, kata “reformasi” tiba-tiba

menjadi hangat dibicarakan. “Reformasi ekonomi”, “reformasi

struktural”, dan “reformasi politik” menjadi bahan diskusi berbagai

kalangan, baik kalangan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat

(LSM), kampus, hingga rakyat jelata. Pada intinya, semua pihak

mendambakan reformasi yang segera agar dapat keluar dari himpitan

krisis ekonomi pada saat itu34 dan diantaranya reformasi dalam bidang

hukum. Menurut Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia,

bentuk-bentuk reformasi hukum dikelompokkan menjadi 7 (tujuh), yaitu35

1. Kajian Dan Forum Ilmiah;

2. Perancangan Peraturan;

3. Implementasi Peraturan;

4. Pelatihan Hukum;

5. Advokasi Dan Kesadaran Masyarakat;

6. Lembaga Hukum; dan

7. Penyusunan Rencana.

Reformasi hukum tersebut salah satunya dituangkan dalam bentuk

amandemen UUD Republik Indonesia 1945. Setelah Amandemen,

34

Satya Arinanto, Reformasi Hukum, Demokrasi, dan Hak-hak Asasi Manusia, Hukum dan Pembangunan,nomor 1-3, Tahun XXVIII, Januari-Juni 1998, h. 124-125.

35

Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Peta Reformasi Hukum di Indonesia

1999-2001: Transisi di Bawah Bayang-bayang Negara, (Komisi Hukum Nasional Republik

(47)

mekanisme rekruitmen Hakim Agung berbeda dari hakim biasa. Calon

Hakim Agung diseleksi oleh Komisi Yudisial dan diajukan untuk

mendapatkan persetujuan DPR sebagaimana mestinya. Menurut ketentuan

Pasal 24A ayat (3) UUD 1945,yang berbunyi :

“Calon Hakim Agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya

ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden”

Definisi profesi secara singkat adalah sebuah sebutan untuk jabatan

pekerjaan, di mana orang yang menyandangnya dianggap mempunyai

keahlian khusus yang diperoleh melalui training dan pengalaman kerja.36

Terminologi profesi paralel dengan profesionalitas yang dicirikan dengan

tiga karakter penting. Pertama, keterkaitan profesi tersebut dengan disiplin

ilmu yang dipelajarinya dan karenanya bersifat khusus. Kedua,

mempunyai kemampuan merealisasikan teori-teori ilmunya dalam ranah

praktis dengan baik. Ketiga, mempunyai banyak pengalaman kerja.37

Adanya keterlibatan DPR dalam proses pengangkatan Hakim Agung

tersebut juga berkaitan dengan kepentingan untuk menjamin adanya

akuntabilitas (public accountability) dalam pengangkatan, dan juga dalam

pemberhentian Hakim Agung. bagaimanapun juga, pengakuan akan

penting dan sentralnya prinsip independensi peradilan (the independence

of judiciary) sebagai Negara Hukum modern haruslah diimbangi dengan

36

E. Soemaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-norma bagi Penegak Hukum,cet-ke 1, (Penerbit Kanisius : Yogyakarta, 1995), h. 32.

37

(48)

38

penerapan prinsip akuntabilitas publik. karena itu, fungsi partisipasi publik

dipandang penting, dan hal itu terkait dengan fungsi di DPR, bukan di KY

sebagai lembaga teknis yang bersifat administratif.

Cara perekrutan hakim, Mahkamah Agung dapat disebut

multi-voters model karena melibatkan banyak pihak. UUD 1945 menegaskan

peran Komisi Yudisial sebagai panitia tetap seleksi MA yang hasil

akhirnya ditentukan oleh pilihan Komisi III DPR. Presiden hanya

menerbitkan keputusan pengangkatan Hakim Agung. KY mengimbangi

Presiden dan DPR meski anggota KY diangkat oleh presiden dengan

persetujuan DPR.

b. Pemberhentian Hakim Agung

Hakim Agung juga dapat diberhentikan di tengah jabatannya. Komisi

Yudisial berwenang untuk mengevaluasi dan menilai setiap hakim agung.

Dalam hal terjadi pelanggaran kode etika, maka terhadap hakim agung

yang bersangkutan dikenakan sanksi etika sebagaimana mestinya. Dalam

hal hakim agung melakukan pelanggaran yang berat, baik pelanggaran

etika maupun pelanggaran hukum, yang menyebabkannya terancam sanksi

pemberhentian, maka usul pemberhentian itu diajukan oleh Komisi

Yudisial untuk mendapatkann persetujuan atau penolakan dari DPR

sebagaimana mestinya.

Apabila DPR menyetujui usul pemberhentian itu barulah usul itu

diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(49)

sanksi pemberhentian yang diusulkan oleh Komisi Yudisial tidak dapat

dilaksanakan, dan Komisi Yudisial wajib mengadakan penyesuaian

terhadap keputusannya menyangkut Hakim Agung yang bersangkutan

dengan sebaik-baiknya.

Maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan

kehakiman di Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur

resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan,

penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semua ini

dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan serta keluhuran

martabat dan perilaku hakim.38 Jika usul pemberhentian Hakim Agung itu

mendapat persetujuan DPR, maka Komisi Yudisial segera mengajukan

usul itu kepada Presiden untuk ditetapkan secara administratif dengan

Keputusan Presiden.

Untuk mengsi kekosongan itu, Komisi Yudisial segera mengajukan

usul calon pengganti kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan

sebelum diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai Hakim Agung

sebagaimana mestinya. Untuk menghadapi kemungkinan kekosongan

jabatan semacam ini, sebaiknya, Komisi Yudisial telah memiliki daftar

bakal calon Hakim Agung yang dicadangkan dari proses seleksi yang

sudah dilakukan sebelumnya. Dengan demikian, kekosongan dalam

jabatan Hakim Agung dapat dicegah dengan sebaik-baiknya di masa

mendatang.

38

(50)

40

Hakim dilarang untuk merangkap jabatan. Yang dimaksud dengan

“merangkap jabatan” antara lain:

a. Wali, Pengampu, Dan Pejabat Yang Berkaitan Dengan Suatu

Perkara Yang Diperiksa Olehnya,

b. Pengusaha, dan

c. Advokat.

Dalam hal Hakim yang merangkap sebagai pengusaha antara lain

Hakim yang merangkap sebagai direktur perusahaan, menjadi pemegang

saham perseroan atau mengadakan usaha perdagangan lain.39 Di dalam

Komisi Yudisial ditegaskan mengenai usul penjatuhan sanksi yang dapat

diberikan Komisi Yudisial kepada hakim sesuai dengan tingkat

pelanggarannya, yaitu:

a. Teguran tertulis;

b. Pemberhentian sementara; atau

c. Pemberhentian.40

Manakala Hakim akan diperiksa Komisi Yudisial, maka menegaskan:

“Badan peradilan dan hakim wajib memberikan keterangan atau data yang

diminta Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan terhadap perilaku

hakim dalam jangka waktu paling lambat 14 hari terhitung sejak tanggal

permintaan Komisi Yudisial diterima.41

39

Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

40

pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial

41

(51)

Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban

tersebut, Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan

penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk

memberikan keterangan atau data yang diminta42.

Apabila badan peradilan atau hakim telah diberikan peringatan atau

paksaan tetapi tetap tidak melaksanakan kewajibannya, maka pimpinan

badan peradilan atau hakim yang bersangkutan dikenakan sanksi sesuai

dengan peraturan perundangundangan dibidang kepegawaian.43 Semua

keterangan dan data ini bersifat rahasia.44 Sedangkan mengenai ketentuan

tata cara pelaksanaan tugas sebagai mana dimaksud pada pasal 22 ayat (1)

di atur oleh Komisi Yudisial.

Secara universal, kewenangan pengawasan Komisi Yudisial tidak

menjangkau Hakim Agung pada Mahkamah Agung, karena Komisi

Yudisial adalah merupakan mitra dari Mahkamah Agung dalam

melakukan pengawasan terhadap para hakim pada badan peradilan di

semua lingkungan peradilan yang ada dibawah Mahkamah Agung; Pasal

32 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang

berbunyi sebagai berikut :

1. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap

penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam

menjalankan kekuasaan kehakiman.

42

pasal 22 ayat 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial

43

pasal 22 ayat 6 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial

44

(52)

42

2. Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan pada Hakim

di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya.

Mahkamah Agung juga diharapkan meningkatkan pengawasan

terutama dengan cara lebih membuka diri dalam merespons kritik,

harapan, dan saran dari berbagai pihak. Prinsip kebebasan hakim oleh

hakim sendiri harus dimaknai sebagai adanya kewajiban untuk

mewujudkan peradilan yang bebas (fair trial) yang merupakan

prasyarat bagi tegaknya rule of law.

Oleh karena itu, dalam prinsip kebebasan hakim tersebut

terkandung kewajiban bagi hakim untuk membebaskan dirinya dari

bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau rasa takut akan adanya

tindakan balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari

pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau

golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa

keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya, serta

tidak menyalah gunakan prinsip kebebasan hakim sebagai perisai

untuk berlindung dari pengawasan

B. Tugas dan Wewenang Komisi Yudisial

Komisi Yudisial merupakan organ yang pengaturannya ditempatkan

dalam kekuasaan kehakiman, dengan sebagaimana terlihat bahwa

Mahkamah Agung diatur dalam pasal 24A, Komisi Yudisial diatur dalam

pasal 24A ayat 3 dan pasal 24B. menurut Undang-Undang Dasar 1945

(53)

meskipun bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Pengaturan yang demikian

menunjukkan keberadaan Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan

adalah terkait dengan Mahkamah Agung. Akan tetapi, pasal 24 ayat 2

Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan, bahwa Komisi Yudisal

bukan merupakan pelaksan

Referensi

Dokumen terkait

Hasan, M.H, menambahkan bahwa usulan sanksi yang direkomendasikan Komisi Yudisial ke Mahkamah Agung bervariasi, ada yang tidak dikabulkan bahkan ada yang

Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) merupakan lembaga yang dapat menjaga wibawa pengadilan serta mengontrol dan mengawasi perilaku hakim. KY adalah sebuah lembaga negara

Pada umumnya metode numerik tidak mengutamakan diperolehnya jawab yang eksak (tepat), tetapi mengusahakan perumusan metode yang menghasilkan jawab pendekatan yang

Data raster dapat pula digunakan sebagai atribut dari suatu obyek, baik dalam foto digital, dokumen hasil scan atau gambar hasil scan yang mempunyai hubungan dengan obyek

81 Berdasarkan hasil -- analisis data penelitian, secara simultan melalui uji f diketahui nilai signifikansi o yang ditunjukkan o sebesar 0,000 atau lebih rendah

pembunuhan sangat nampak dalam alat bukti petunjuk, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah

Bahagian pertama kajian berkenaan pengujian aktiviti antikulat ekstrak etanol sirih menggunakan kaedah resapan cakera pada empat kepekatan yang berbeza (5, 25, 50, 100

Berdasarkan hasil analisis uji bivariat dengan menggunakan uji Chi-square diketahui bahwa variabel bebas motivasi, supervisi pimpinan dan sistem penghargaan memiliki