• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara persepsi dengan interaksi sosial siswa reguler terhadap siswa autis di sekolah iniklusi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara persepsi dengan interaksi sosial siswa reguler terhadap siswa autis di sekolah iniklusi"

Copied!
182
0
0

Teks penuh

(1)

SISWA AUTIS DI SEKOLAH INIKLUSI

(Penelitian pada Siswa-Siswa Reguler kelas IV Sekolah Dasar Negeri Gedong 04 Pagi - Jakarta Timur)

Oleh:

Nama : Qurratul Aini

NIM

: 103070029112

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Fakultas Psikologi

Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta

(2)

Gedong 04 Pagi Jakarta Timur)1

Skripsi ini

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar sarjanai Psikologi

Oleh QURRATUL AINI NIM:

103070029112

Di Bawah Bimbingan:

Pembimbing I

Dra. Agustiyawati M.Phil, Sne NIP:

132 121 898

Pembimbing II

イセOセ@

sセjv@

NIP:

150 293 234

FAKUL TAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

INTERAKSI SOSIAL SISWA REGULER TERHADAP SISWA AUTIS DI SEKOLAH INKLUSI (Penelitian Pada Siswa-lSiswa R1eguler Kelas IV

Sekolah Dasar Negeri Gedong 04 Pagi Jaka11bl Timur) telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 Februari 2008. Skripsi ini telah diterima sebaf1ai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.

Sidang Munaqasyah Ketua Mt1mgkap Anggota

セMセセM

セO@

Ora. Hj. n・セ@ Hartati M.Si NIP:"l50 2151938

Penguji I

セサOM

セセ@

lkhwan Lutfi M.Si NIP:150 3688

Pemlbimbing I

セセ@

Anggota:

Ora. Agustiyawati M.Phil, Sne NIP: 132 121 898

Sekretaris Merangkap Anggota

Ora. Hj. Zahrotun Ni NIP: 150 2318 773

Penguji II

jァvMアセ@

_,,..-Ora. Agustiyawati M.Phil, Sne NIP: 132 121 898

(4)
(5)

-'):')-\::·

anda dapat terusi

",·--/-·i
(6)

(C) Qurratul Aini

(0) Hubungan antara Persepsi dengan lnteraksi Sosial Siswa Reguler Terhadap Siswa Autis Di Sekolah lnklusi (Penelitian Pada Siswa-siswa Reguler kelas IV Sekolah Oasar Negeri Gedong 04 Pagi Jakarta Timur)

(E) 133 hal + Lampiran

(F) Oengan semakin meningkatnya jumlah anak autis., pelayanan terhadap anak autis meningkat pula, salah satu yang sedang dikembangkan adalah penyelenggaraan sekolah regular dengan sistem pendidikan inklusif yang dikenal dengan sekolah inklusi. Wal:aupun begitu sampai saat ini menurut Sri Utami Ayuningsih (2005) ada beberapa

kekurangan khususnya bagi siswa autis daiam sel<olah inklusi yaitu siswa-siswa autis seringkali terabaikan dan bahkan mendapatkan perlakuan yang buruk dari teman-temannya (siswa-siswa reguler) misalnya diganggu, diejek, tidak diajak bermain atau tidak boleh ikut serta dalam kegiatan-kegiatan kelompok bersama teman-temannya atau yang lebih dikenal dengan istilah "bullying" banyak kisah yang dituturkan oleh orang tua yang anaknya mengalami sindrom autisme dalam sebuah milis tentang autis mengenai perilal<u "bullying" yang diterima oleh anak-anak mereka. Adapun salah s.atu faktor yang menyebabkan Perilaku "bullying" dari siswa-siswa reguler terhadap siswa autis adalah persepsi mereka terhadap sisvva autis yang masih bernilai negatif misalnya adalah sebutan sebagai anak gila, anak bodoh bahkan sampai pada label anak l<utukan, karena menurut lrwanto (2002) salah satu faktor terpenting yang rnemiliki hubungan dengan aksi dan reaksi sosial atau yang lebih dikenal dengan istilah interaksi sosial adalah persepsi sosial yaitu persepsi individu terhadap individu lain, karena dengan persepsi tersebut seorang individu akan memberikan pengetahuan dan harapan yang secara langsung mempengaruhi pembentukan sikap dan tingkah lal<unya dalam berinteraksi sosial.

Pada penelitian ini tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara persepsi dengan inlHraksi sosial siswa reguler SON Gedong 04 Pagi Jakarta terhadap siswa autis di

sekolahnya.Penelitian ini dilakukan di SON Gedong 04 Pagi, Jakarta Timur. Adapun pendekatan penelitian yang digunakan adalah

(7)

dijadikan sampel.

Pada analisa akhir dengan menggunakan tehnik korelasional

soearman-rho dengan taraf signifikansi sebesar 5 %, diperoleh nilai r-hitung sebesar (0,358), sementara nilai r-tabel dengan N sebanyak 25 adalah sebesar (0,409). Hal ini menunjukkan bahwa Ho diterima jika r-hitung < r-tabel. Karena nilai r r-hitung yang dihasilkan (0.358) < nilai r label (0.409), maka hipotesis nihil yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan diterima dalam penelitian ini artinya adalah tidak ada hubungan yang signifikan antara persepsi dengan interaksi sosial siswa reguler terhadap siswa autis di sekolah inklusi, maksudnya setiap persepsi siswa reguler baik yang bern!lai positf terhadap siswa autis belum tentu selalu melakukan interaksi sosial dengan pola-pola interaksi yang termasuk dalam proses sosial begitu pula sebaliknya siswa reguler yang memiliki persepsi negatif terhadap siswa autis di kelasnya belum tentu selalu melakukan interaksi sosial dengan pola-pola yang termasuk dalam proses tidak sosial

Dalam penelitian ini juga diperoleh hasil tambahan menggunakan uji T-test yang menyatakan tidak ada perbedaan persepsi dan interaksi sosial siswa reguler terhadap siswa autis jika didasarkan pada jenis kelamin, ada atau tidak adanya saudara kandung subjek penelitian yang terdiagnosa autisme dan berdasarkan lamanya subjek penelitian sekelas dengan objek penelitian.

Penelitian ini memiliki kelebihan karena adanya observasi dan wawancara pendahuluan sehingga penulis mendapatkan gambaran awal kondisi sekolah, subjek penelitian dan objek penelitian. Ditambah lagi dengan penggunaan metode wawancara dan angket sebagi pengumpul data tambahan sehingga dapat menguatkan data-data penelitian

(8)

salam kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabat dan

pengikutnya sampai akhir zaman. Akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul "Hubungan Antara Persepsi dengan lnteraksi Sosial Siswa Reguler Terhadap Siswa Autis di Sekolah lnklusi (Penelitian Pada Siswa-siswa Reguler Kelas IV Sekolah Dasar Negeri Gedong 04 Pagi-Jakarta Timur)". Skripsi ini merupakan salah satu tugas wajib bagi penulis dalam menyelesaikan pendidikan Strata 1 untuk mendapat gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari sepenuhnya, terselesaikannya skripsi ini bukan semata-mata hasil kerja keras penulis sendiri melainkan hasil dari dukungan semua pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis selama proses pembuatan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu: 1) Dekan dan Pudek I Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah, lbu Ora.

Hj. Netty Hartati, M.Si dan Ora. Hj. Zahrotun Nihayah M.Si. Serta Dosen Pembimbing Akademik Bpk Prof. Dr. Rifat Syauqi Nawawi. M.A dan Bpk Sofyandi Zakaria.

2) Pembimbing I dan Pemimbing II penulis yaitu lbu Agustiyawati selaku pembimbing 1, terima kasih telah membimbing penulis hingga

terselesaikannya skripsi ini dan alas rekomendasi serta pinjaman buku-bukunya "terima kasih ya bu bimbingan melalui telephonenya" dan kepada lbu Solicha selaku pembimbing II yang tak pernah bosan-bosan meluangkan waktunya disela-sela jadwal deadlinenya1 untuk memeriksa dan mengarahkan penulis dalam menyusun skripsi ini. "Terima kasih alas kesabaran serta masukan-masukannya bu".

3) Bapak Suwardi S.Pd selaku Kepala Sekolah SON Geclong 04 Pagi Jakarta Timur yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian, dan staf pengajar SON Gedong 04 Pagi, lbu Kris, Bpk Marja dan Bpk. Pur yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4) Untuk kedua orang tua Bayu, Bpk Noveat Daniel dan lbu Sulis

Prihatiningsih yang telah meluangkan waktunya untuk mengisi angket penulis serta kerjasamanya selama ini.

(9)

penulis selama menuntut ilmu di Program Strata 1 Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah.

7) Papa (Alm) penulis yang berada pada dimensi yang berbeda, "semoga papa disana tenang dan maafkan ananda yang belurn dapat menjadi pribadi yang sesuai dengan nama yang diberikan papa. Untuk Mama terima kasih alas dukungan, cinta, kasih sayang serta kesabarannya dalam membentuk penulis dan alas 3 Magic World yang bisa jadi motivasi tapi kadang-kadang bisa jadi penghancur motivasi "kapan selesainya?, Skripsinya dah Selesai belum? nanti wisuda mau pakai apa?" . "Maaf ya .... Ma agak terlambat. "

8) Kakak serta adik penulis, terima kasih atas motivasi-rnotivasinya, cerita-cerita lucunya, ide-ide jail yang sempet bikin penulis tergiur "thanks

bro .... we are the best and creative brother in my life" rnaaf ya selama buat skripsi, aay sering "ngambek" dan marah-marah nggak jelas, "thanks juga atas pinjaman Flashdisknya·

9) Semua teman-teman penulis Shinta "Thanks ya bu at supportnya waktu PKL dan Skripsi", Tiwi dan Fadina "pada pulang khan selesai wisuda?", serta teman-teman kampus penulis angkatan 2003/2004 kelas A,B,C dan D, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih telah mengisi hari-hari penulis dan memberikan bantuan hi11gga

terselesaikannya skripsi ini. Especially untuk Maya, Vl/iwi, Nisa "Thanks ya atas pengertiannya sorry sering lupa kalau bikin janji"

10) Bua! keluarga besarku nenek, kakek, oom dan tante-tanteku serta uni dan sepupuku, yang sudah menjadi "rumah" kedua, ketiga dan

seterusnya"Thanks ya pinjaman bukunya, informasi LOKERnya, curhatan-curhatannya, masukan-masukannya, printer dan komputernya".

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa daiam pembuatan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan banyak terdapat kekurangan, untuk itu penulis menerima dengan hati terbuka segala kritik dan saran. Pada akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca terutama rekan-rekan mahasiswa demi menambah wawasan dalarn ilmu psikologi.

Jakarta, 25 Desember 2007

(10)

HAL.AMAN PERSETUJUAN HAL.AMAN PENGESAHAN MOTTO

DEDIKASI ABSTRAK

KATA PENGANTAR. ... i

DAFT AR 181. ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR/BAGAN ... vii

DAFTAR L.AMPIRAN ... ix

BAB 1 : PENDAHULUAN ... 1-15 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 . ldentifikasi Masalah ... 1 O 1.3. Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 11

1.3.1. Perumusan masalah ... 11

1.3.2. Pembatasan masalah ... 11

1.4 .Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 13-14 1.4.1. Tujuan penelitian ... 13

1.4.2. Manfaat penelitian ... 14

1.5. Sistematika Penulisan ... 14-15 BAB 2: TINJAUAN PUSTAKA ... 16-65 2.1. Persepsi. ... 17-23 2.1.1. Pengertian persepsi. ... 17

2.1.2. Proses terjadinya persepsi. ... 21

2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi ... 22

(11)

2.31. Pengertian pendidikan inklusi ... 33

2.3.2. Komponen keberhasilan pendidikan inklusi. ... 36

2.3.3. Tujuan pendidikan inklusi ... 42

2.3.4. Manfaat pendidikan inklusi ... .42

2.4. Autisme ... .44-61 2.4.1. Pengertian autisme ... 44

2.4.2. Etiologi autisme ... 50

2.4.3. Pravalensi autisme ... 54

2.4.4. lnteraksi sosial anak autis ... 55

2.5. Kerangka Berfikir ... 61

2.6. Hipotesa ... 65

BAB 3: METODOLOGI PENELITIAN ... 66-86 3.1. Jenis Penelitian ... : ... 66-67 3.1.1. Pendekatan penelitian ... 66

3.1.2. Metode penelitian ... 67

3.2. Definisi Kontekstual dan Operasional Variabd ... 68-72 3.2.1. Variabel bebas ... 68

3.2.1. Variabel terikat. ... 69

3.3. Subjek Penelitian ... 72-73 3.3.1. Populasi dan sampel.. ... 72

3.3.2. Tehnik pengambilan sampel.. ... 73

3.4. Pengumpulan Data ... 73-84 3.4. i. Metode dan instrument pengumpulan data ... 73-80 3.4.1.1. Metode pengumpulan data ... 73

3.4.1.2. Instrument pengumpulan data ... 74-78 A Angket dan angket.. ... 76

B. Angket dan skala ... 76

C. Wawancara dan pedoman wawancara .... 79

3.4.2. Tehnik uji instrumen penelitian ... 80

3.4.3. Hasil uji instrumen penelitian ... 81-84 3.4.3.1. Uji validitas ... 81

3.4.3.2. Uji reliabilitas ... 83

3.5. Analisa data ... 84

3.6. Prosedur Penelitian ... 84 BAB 4: ANALISA DAN INTERPRETASI DATA ... 87-123

(12)

4.2.1 Uji persyaratan ... 102-106

4.2.1.1. Uji normalitas ... 103

4.2.1.2. Uji homogenitas ... 105

4.2.2. Deskripsi hasil penelitian ... 106-11 O 4.2.2.1. Gambaran umum persepsi siswa reguler terhadap siswa autis ... 106

4.2.2.2. Gambaran umum interaksi sosial siswa reguler terhadap siswa autis ... 108

4.3. Pengujian hipotesis ... 11

o

4.4. Hasil tambahan ... 111-123 4.4.1. Berdasarkan jenis kelamin ... 111

4.4.2. Berdasarkan ada atau tidak adanya saudara kandung subjek penelitian yang terdiagnosa autisme ... 114

4.4.3. Berdasarkan lamanya subjek penelitian sekelas dengan objek penelitian ... 118

BAB 5 : KESIMPULAN,DISKUSI dan SARAN ... 124-133 5.1. Kesimpulan ... 124

5.2. Diskusi. ... 127

5.3. Saran ... 130

(13)

3.3. Jumlah siswa kelas IV B pada SDN Gedong 04 Pagi. ... 72

3.4. Blue print dalam try out skala persepsi. ... 77

3.5. Skor untuk Pernyataan item favorable dan item unfavorable ... 77

3.6. Blue print dalam try out skala interaksi sosial. ... 78

3.7. Skor untuk pernyataan untuk item proses sosial dan item proses tidak sosial ... 79

3.8. Klasifikasi koefisien reliabilitas ... 81

3.9 Hasil uji validitas pada skala persepsi ... 82

4.0. Hasil uji validitas pada skala interaksi sosial ... 83

4.1. Hasil uji reliabilitas pada skala persepsi dan interaksi sosial ... 84

4.2. Klasifikasi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin ... 99

4.3. Nilai klasifikasi berdasarkan jenis kelamin ... 100

4.4. Klasifikasi subjek penelitian berdasarkan ada atau tidaknya saudara kandung subjek penelitian yang terdiagnosa autisme ... 100

4.5. Nilai klasifikasi berdasarkan ada atau tidaknya saudara kandung subjek penelitian yang terdiagnosa autisme ... 101

4.6. Klasifikasi subjek penelitian berdasarkan lamanya subjek penelitian sekelas dengan objek penelitian ... 101

4.7. Nilai klasifikasi berdasarkan lamanya subjek penelitian sekelas dengan objek penelitian ... 102

4.8. Uji normalitas variabel persepsi dan variabel interaksi sosial. ... 104

4.9. Uji homogenitas variabel persepsi dan variabel interaksi sosial. ... 106

5.0. Nilai mean, median dan standart deviasi untuk skala persepsi ... 107

5.1. Kategorisasi hasil pada skala persepsi. ... 108

5.2. Nilai mean, median dan standart deviasi untuk skala interaksi sosial.. ... 109

5. 3. Kategorisasi hasil pada skala inte;aksi sosial.. ... 11 O 5.4. Hasil perhitungan uji hipotesis ... 11 O 5.5. Klasifikasi kategorisasi hasil pada skala persepsi berdasarkan jenis kelamin ... 111

5.6. Hasil perhitungan uji T-test pada variabel persepsi berdasarkan jenis kelamin ... 112

5.7. Klasifikasi kategorisasi hasil pada skala interaksi セ^ッウゥ。ャ@ berdasarkan jenis kelamin ... 113

(14)

atau tidak adanya saudara kandung subjek penelitian yang

terdiagnosa autisme ... 116 6.1. Klasifikasi kategorisasi hasil pada skala interaksi sosial berdasarkan

ada atau tidak adanya saudara kandung subjek penelitian yang

terdiagnosa autisme ... 117 6.2. Hasil perhitungan uji T-test pada variabel interaksi sosial berdasarkan

ada atau tidak adanya saudara kandung subjek penelitian yang

terdiagnosa autisme ... 118 6.3. Klasifikasi kategorisasi hasil pada skala persepsi berdasarkan lamanya

subjek penelitian sekelas dengan objek penelitian ... 119 6.4. Hasil perhitungan uji T-test pada variabel persepsi berdasarkan

lamanya subjek penelitian sekelas dengan objek penelitian ... 120 6.5. Klasifikasi kategorisasi hasil pada skala interaksi sosial berdasarkan

lamanya subjek penelitien sekelas dengan objek penelitian ... 121 6.6. Hasil uji !-test pada variabel interaksi sosial berdasarkan lamanya

subjek penelitien sekelas dengan objek penelitian ... 122 6.7. Nilai t-hitung pada variabel persepsi dan interaksi sosial dan nilai

(15)
(16)

Lampiran 2 Lampiran 3

Lampiran 3 (1)

Lampiran 3 (2)

Lampiran 4 Lampiran 4 (1)

Lampiran 4 (2) Lampiran 4 (3) Lampiran 5

Lampiran 5 (1) Lampiran 5 (2) Lampiran 5 (3) Lampiran 5 (4) Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8

Lampiran 8 (1)

Lampiran 8 (2)

Lampiran 9

Lampiran 9 ( 1) Lampiran 9 (2) Lampiran 9 (3)

Surat Keterangan Penelitian Pedoman Wawancara

Pedoman Wawancara bagi pihak sekolah Pedoman Wawancara bagi Shadow Teacher

objek.

Angket Objek

Angket ldentitas Objek

Angket Riwayat Kelahiran Objek Angket Riwayat Perkembangan Objek

Hasil perhitungan uji validitas dan uji reliabilitas pada skala persepsi dan ゥョAヲセイ。ォウゥ@ sosial

Hasil uji validitas pada skala persepsi Hasil uji reliabilitas pada skala persepsi Hasil uji validitas pada skala interaksi sosial Hasil uji reliabilitas pada skala interaksi sosial Angket penelitian

: Lembar jawaban penelitian

Data mentah penelitian pada skala persepsi dan lnteraksi sosial

Data mentah penelitian pada skala persepsi Data mentah penelitian padi;1 skala interaksi sosial

Dokumentasi

Penyelenggaraan komponen pendidikan inklusi oleh SON Gedong 04 Pagi- Jakarta Timur Perilaku autistik objek penelitian

(17)

Pada bab 1 ini akan dibahas mengenai pendahuluan dari sebuah penelitian yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian se1ia sistematika

penulisan. Untuk menguraikannya maka penulis akan menuangkannya ke dalam sub-sub bab di bawah ini.

1.1.Latar Belakang Masalah

(18)

Menurut Cook (2001:146) secara umum anak berkebutuhan khusus dapat digolongkan menjadi dua (2) yaitu: obvious disability dan hidden disability. Obvious disability adalah anak kebutuhan khusus yang tanda-tanda kelainan fisik dan perilakunya terlihat jelas, sedangkan hidden disability adalah anak kebutuhan khusus yang tanda-tanda kelainan fisik dan perilakunya tidak terlihat jelas atau tersembunyi. Sal ah satu anak kebutuhan khusus yang termasuk dalam jenis obvious disability adalah anak dengan sindrom autisme yaitu gangguan perkembangan fungsi otak yang terlihat sebelum usia 3 tahun dan mencakup bidang sosial, komunikasi (bahasa}, imajinasi, fleksibilitas, minat, kognisi dan atensi (dalam Lumbantobing, 1997).

Data menunjukkan bahwa anak autis, semakin hari semakin meningkat, menurut harian kompas (2000) disebutkan bahwa sebelum tahun 1990 tercatat pada 10.000 kelahiran ada empat (4) s/d lima (5) kelahiran yang teridentifikasi autisme, kemudian pada tahun 1990-an awal meningkat lagi dari 10.000 kelahiran terdapat 15 s/d 20 kelahiran yang teridentifikasi autisme dan pada tahun 2000 dari 10.000 kelahiran terdapat 60 f<elahiran yang

teridentifikasi autisme. (www.kompas.com}

Dengan semakin meningkatnya jumlah anak autis, maka kebutuhan

(19)

kesehatan hingga pelayanan pendidikan. Dalam hal pendidikan misalnya, saat ini sedang dikembangkan program-program yang bersandar pada hak-hak penyandang autis yang sama seperti anak normal lainnya, salah satu program tersebut adalah penyelenggaraan sekolah reguler dengan sistem inklusif yang biasa disebut sebagai sekolah inklusi. Hal ini tercantum dalam UU No.20 Tahun 2003 pasal 15 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan

pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah di sekolah reguler.

Menurut Staub dan Peck dalam buku mengenal pendidikan inklusi yang dikeluarkan oleh Direktorat Pendidikan Luar Biasa (PLB) (2005:9)

dikemukakan bahwa sekolah inklusi adalah penempatan Anak Luar Biasa (ALB) dalam tingkat ringan, sedang, dan berat di kelas biasa secara penuh. Lebih lanjut Stainback dan Stainback dalam Direktorat PLB (2005:8)

(20)

guru digunakan agar siswa-siswa berhasil, baik dalam perkembangan akademik rnaupun perkernbangan sosial.

Perkernbangan sosial seseorang dapat dilihat rnelalui ォ・セァゥ。エ。ョ@ berkornunikasi dan kegiatan berinteraksi sosial. Menurut Gillin dan Gillin dalarn Soerjono Soekanto (1990:61) interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinarnis yang rnenyangkut hubungan antara orang-perorangan, antara kelornpok-kelornpok rnanusia rnaupun antara orang perorangan dengan kelornpok rnanusia. Secara garis besar kegiatan berinteraksi sosial dirnulai ketika anak rnulai rnernasuki usia sekolah baik itu TK (Tarnan Kanak-kanak) ataupun SD (Sekolah Dasar) dan akan selalu terus rnenerus berkernbang. Kegiatan berinteraksi sosial ini secara urnurn dibagi rnenjadi 2 yaitu

menggunakan pola-pola perilaku sosial dan menggunakan pola-pola perilaku tidak sosial. Pola-pola perilaku sosial rnisalnya adalah ーHセイゥャ。ォオ@ empati,

perilaku bekerjasama, perilaku ramah serta perilaku bersaing, sedangkan pola-pola perilaku tidak sosial misalnya adalah perilaku agresif dan perilaku negatif (Hurlock, 1991)

(21)

secara langsung mempengaruhi pembentukan sikap dan tingkah lakunya dalam berinteraksi sosial terhadap orang tersebut. Hal ini didukung oleh pendapat lrwanto (2002) yang menyebutkan bahwa salah satu faktor yang sangat mempengaruhi interaksi sosial adalah persepsi sosial, yaitu penilaian seorang individu terhadap keadaan fisik dan ciri-ciri perilaku orang tersebut.

Untuk saat ini pada umumnya persepsi masyarakat mengenai anak autis masih bernilai negatif, misalnya adalah sebutan sebagai anal< cacat mental, anak bodoh, anak nakal bahkan sampai pada label "anak kutukan" dan "anak gila". "Anak kutukan" yaitu anal< yang mendapatkan kutukan dari yang Maha Kuasa akibat kesalahan masa lalu yang pernah dilakukan oleh orang tua individu tersebut, sedangkan sebutan "anal< gila" lebih disebabkan karena ciri-ciri perilaku anak autis yang tidak wajar dan biasanya hanya dilakukan oleh orang-orang yang "tidak waras" misalnya tertawa sendiri, berbicara sendiri, teriak-teriak tanpa sebab yang jelas, memakan benda-benda yang tidak seharusnya dimakan (contohnya: sabun, shampo dan sebagainya) serta senang menyakiti diri sendiri. Oleh sebab itu agar tidak tertular mereka patut untuk dijauhi bahkan diperlakukan kasar atau biasa disebut sebagai perilaku

"Bullying".

(22)

berada di TK B Umum, yang suka bikin saya sedih banget kalau pulang sekolah saya dapat cerita perlakuan teman-temannya ォHセ@ Ivan. Bayangkan suatu saat ada temannya yang ulang tahun di sekolah, Ivan kasih kado kepada orang tersebut dan ternyata kado itu diambil, dibanting dan diinjak-injak sama temannya,lvannya bengong aja, belum lagi kalo ada yang tiba-tiba cubit Ivan, langsung ngomelin lvan,tanpa Ivan tahu masalahnya apa. Saya pengin deh ngajarin Ivan berantem atau sekedar mempertahankan diri kalau dipukul balas gitu tapi Ivan selalu diam kalo dinakalin sama temannya. Suatu saat saya ajak Ivan ke salah satu sekolah reguler yang menyediakan satu (1)

kelas khusus tapi disana Ivan lebih cerewet dan malah banyak tanya ke gurunya ini dan itu jadi gurunya lebih menyarankan agar Ivan, untuk perkembangannya lebih baik dibawa ke sekolah reguler dengan sistem

inklusi agar Ivan lebih terpacu. tapi saya nggak tahan melihat dan mendengar Ivan diperlakukan seperti itu oleh teman-temannya".

Atau kisah Oscar Dompar seorang autis yang selalu mendapatkan perilaku

"bullying" ketika berada di sekolah (diadaptasi dalam Kartini,2008)." Aku sering menjadi "bulan-bulanan" anak-anak lain !<arena kondisiku yar.g

berbeda,misalnya ketika aku kelas lima (5) SD, aku pernah dibohongi teman-temanku, itu terjadi karena kekagumanku terhadap tokoi'1 kartun Bart

(23)

ulangan tetapi jika tidak mereka akan memanggilku Lisa dan aku mau saja menurutinya sehingga nilaiku nol (O) walaupun sebenarnya aku bisa

mengerjakannya. Kejadian seperti ini tidak berhenti hingga di SD ketika aku duduk di Sekolah Menengah Umum (SMU), aku masih saja sering diganggu oleh anak-anak lain, dan tak jarang aku menangis secara diam-diam ketika pulang sekolah, puncaknya adalah aku tidak naik kelas, tetapi karena tidak ingin putus sekolah orang tuaku menyekolahkanku di Australia, disini keadaannyapun tak jauh berbeda, aku masih sering diganggu oleh teman-teman, misalnya: pada saat itu aku meminta temanku untuk menemani ke

A TM mengambil uang yang ditransfer mama untuk biay:a sekolah semester ini, disini "ia" melihat jumlah tabunganku yang lumayan banyak hingga akhirnya ia menyusun siasat untuk menipuku, "la" berdalih ingin meminjam uangku untuk berbisnis dan menjanjikan uang itu akan kembali dua kali lipat, tetapi setelah beberapa minggu kemudian uangku tetap tidak kembali bahkan "ia" ,memaksa diriku untuk terus menerus meminjamkan dirinya uang".

(24)

teman-ternannya yang lain rnisalnya rnengejek, rnenjauhi bahkan tidak pernah rnengajak siswa autis untuk berrnain dan belajar bersarna rnereka.

Berdasarkan paparan di atas dapat diketahui bahwa persepsi seseorang rnengenai individu lain rnerniliki hubungan dengan sikap dan tingkah laku yang dikeluarkan oleh individu tersebut ketika berinteraksi. Dengan persepsi yang positif, interaksi yang terjadi di antara keduanya berjalan positif hal ini dapat dilihat rnelalui pola-pola perilaku sosial, rnisalnya perilaku kerjasarna, perilaku ernpati, sikap rarnah, serta perilaku bersaing tapi sebaliknya jika persepsi siswa reguler bernilai negatif, interaksi yang terjadi di antara keduanya negatif hal ini dapat dilihat rnelalui pola-pola perilaku tidak sosial, rnisalnya perilaku negatif serta perilaku agresif.

(25)

memiliki peraturan-peraturan yang jelas dan mengikat yang jika tidak dipatuhi akan mendapatkan sanksi sehingga mereka mempunyai suatu alasan yang kuat untuk mengesampingkan ego nya masing-masing.

Dalam studi pendahuluan yang penulis lakukan di sekolah inklusi SON Gedong 04 Pagi Jakarta Timur, didapati bahwa dalam beberapa kegiatan sekolah siswa-siswa autis sering diabaikan bahl<an 'dijal1ili'oleh teman-temannya, misalnya pada saat pelajaran olah raga siswa autis sering tidak diharapkan oleh teman-temannya (siswa reguler) untuk berada dalam l<elompoknya atau pada saat jam istirahat masih terlihat beberapa siswa reguler yang men'jahili' siswa autis misalnya dengan berterial<-teriak disamping siswa autis yang dapat menyebabkan mereka tempertantrum

tetapi dalam beberapa kegiatan siswa reguler turut serta membantu siswa autis misalnya ketika siswa autis melakukan perilaku stereotipik banyak siswa reguler yang mengingatl<an bahwa perilaku tersebut tidak baik atau ketika siswa autis tidak dapat bermain sepeda siswa-siswa reguler membantu mengajarkannya.

(26)

mengetahui hubungan antara persepsi dengan interaksi sosial siswa reguler terhadap siswa autis di sekolah inklusi Sekolah Oasar Negeri (SON) Gedong 04 Pagi Jakarta Timur. Akhirnya penulis memberikan judul pada skripsi ini yaitu: "HUBUNGAN ANT ARA PERSEPSI OEN GAN INTERAKSI SOSIAL SISWA REGULER TERHADAP SISWA AUTIS DI SEKOLAH INKLUSI (Penelitian pada Siswa-siswa Reguler Kelas IV Sekolah Oasar Negeri Gedong 04 Pagi Jakarta Timur)".

1.2 ldentifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan, yatu:

1. Bagaimana persepsi siswa reguler terhadap siswa autis di Sekolah Oasar Negeri (SON) Gedong 04 Pagi?

2. Bagaimana interaksi sosial siswa reguler terhadap siswa autis di SON Gedong 04 Pagi?

3. Bagaimana interaksi sosial siswa autis terhadap siswa reguler di SON Gedong 04 Pagi?

(27)

1.3. Perumusan dan Pembatasan Masalah

1.3.1. Perumusan masalah

Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu hubungan antara persepsi dengan interaksi sosial siswa reguler terhadap siswa autis di sekolah inklusi, dapat dirumuskan pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah: "Adakah hubungan antara persepsi dengan interaksi sosial siswa reguler terhadap siswa autis di SON Gedong 04 Pagi?"

1.3.2. Pembatasan masalah

Berdasarkan identifikasi masalah diatas batasan-batasan yang penulis gunakan terdiri dari:

(28)

pemebelajaran di kelas dan komitmen sekolah terhadap siswa autis. Pada penelitian ini yang digunakan adalah kelas IV B.

2. Objek penelitian yang digunakan adalah siswa autis yaitu siswa yang mengalami gangguan pada interaksi sosial, komunikasi, respon terhadap sensori, ketidakstabilan mood dan afek serta gejala perilaku lain yang mencakup tempertantrum, hiperaktiv/hiperkinesis dan perilaku menyakiti diri sendiri. Dalam penelitian siswa autis yang digunakan adalah siswa autis yang berada satu kelas dengan subjek penelitia1n.

3. Subjek penelitian adalah siswa regular yang di kelasnya terdapat siswa autis. Siswa reguler merupakan siswa-siswa yang tidak mengalami kebutuhan khusus (anak normal).

4. persepsi yang digunakan mengacu pada pendapat lrwanto yang

menjelaskan bahwa persepsi seseorang terhadap individu lain dinamakan persepsi sosial yaitu penilaian fisik dan ciri-ciri perilaku orang lain. Karena pada siswa autis ciri-ciri perilakunya sangat jelas terlihat berbeda dari anak-anak normal, maka dalam penelitian ini dibatasi hanya persepsi siswa reguler mengenai ciri-ciri perilaku siswa autis di keiasnya.

(29)

siswa autis yang terdapat dalam satu kelas. lnteraksi sosial yang

digunakan disesuaikan dengan tugas perkembangan sosial untuk masa kanak-kanak dan menurut Hurlock dibagi menjadi dua (2) yaitu proses sosial dan proses tidak sosial.

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1. Tujuan penelitian

Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu hubungan antara persepsi dengan interaksi sosial siswa reguler terhadap siswa autis di sekolah inklusi penelitian ini bertujuan antara lain adalah:

1. Mengetahui gambaran um um persepsi siswa reguler terhadap siswa autis di sekolah inklusi SON Gedong 04 Pagi

2. Mengetahui gambaran umum interaksi sosial siswa reguler terhadap siswa autis di sekolah inklusi SON Gedong 04 Pagi

(30)

1.4.2. Manfaat penelitian

Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, antara lain:

1. Bagi para guru di sekolah inklusi dapat mengetahui セQ。ュ「。イ。ョ@ umum persepsi dan interaksi sosial siswa-siswa regulernya mengenai siswa autis di sekolahnya serta mengetahui apakah ada hubungan antara persepsi dengan interaksi sosial. Hal tersebut dapat dijadikan acuan dalam membentuk persepsi yang baik kepada siswa regular terhadap lingkungan belajar dalam hal ini siswa autis agar mengarah pada proses sosial yang positif.

2. Bagi para mahasiswa khususnya Fakultas Psikologi, dapat dijadikan wacana mengenai hubungan antara persepsi dengan interaksi sosial. serta menjadi bahan dalam mengenal sekolah inklusi, autisme, persepsi dan interaksi sosial.

1.5. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB ·1: PENDAHULUAN

(31)

BAB 2: TINJAUAN PUSTAKA

Terdiri dari: kajian teori mengenai persepsi, interaksi sosial, pendidikan inklusi serta kajian teori mengenai autisme. Kemudian kerangka berfikir yang penulis gunakan dalam penelitian ini serta pengajuan hipotesis.

BAB 3: METODOLOGI PENELITIAN

Terdiri dari: jenis penelitian yang mencakup pendekatan dan metode penelitian, definisi variabel dan definisi operasional dari variabel bebas dan variabel terikat, subjek penelitian yang mencakup populasi dan sampel serta tehnik pengambilan sampel, pengumpulan data terdiri atas metode dan instrumen pengumpulan data, tehnik uji instrumen, hasil uji instrumen yang meliputi uji validitas dan uji reliabilitas, analisa data dan prosedur penelitian. BAB 4: ANALISIS dan INTERPRETASI DATA

Terdiri dari: gambaran umum penelitian yang didalamny;a terdapat latar belakang tempat penelitian, latar belakang objek penelitian serta latar belakang subjek penelitian, kemudian presentasi data mencakup uji

persyaratan yang meliputi uji normalitas dan uji homoge11itas dan deskripsi hasil penelitian meliputi gambaran umum variabel bebas dan gambaran umum variabel terikat, pengujian hipotesis pemaparan hasil tambahan. BAB 5: KESIMPULAN, DISKUSI dan SARAN

(32)

Pada bab 2 ini akan dibahas mengenai beberapa teori yang berkaitan dengan penelitian. Adapun teori-teori yang berhubungan dengan penelitian ini adalah teori mengenai persepsi, interaksi sosial, pendidikan inklusi, serta autisme. Teori yang pertama adalah teori persepsi meliputi pengertian persepsi, proses terjadinya persepsi serta faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi, dilanjutkan dengan teori interaksi sosial yang meliputi ーAセョァ・イエゥ。ョ@ interaksi sosial, faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sosial, ciri-ciri interaksi sosial, serta bentuk-bentuk interaksi sosial, kemudian dibahas pula mengenai teori pendidikan inklusi yang meliputi pengertian pendidikan inklusi,

komponen keberhasilan pendidikan inklusi, serta tujuan dan manfaat pendidikan inklusi dan yang terakhir adalah pembahasan mengenai teori autisme dengan sub-sub babnya yaitu pengertian autisme, etiologi autisme, pravalensi autisme dan interaksi sosial anal< autis.

(33)

persepsi dan interaksi sosial. Sedangkan hipotesa penelitian digunakan sebagai dugaan awal sebuah penelitian yang menyangkut ada atau tidak adanya hubungan antar variabel. Untuk menguraikannya maka penulis akan menuangkannya ke dalam sub-sub bab di bawah ini.

2.1. Persepsi

2.1.1. Pengertian persepsi

Menurut Bimo Walgito (dalam Abdurrahman Saleh, 2004:88) persepsi adalah proses yang menggabungkan dan mengorganisasikan data-data indera untuk dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat menyadari keadaan di

sekelilingnya, lebih lanjut Abdurrahman Saleh mengungkapkan bahwa persepsi juga dapat diartikan sebagai kemampuan membeda-bedakan, mengelompokkan, memfokuskan perhatian terhadap satu objek rangsang.

(34)

Pengertian persepsi yang lebih detail diungkapkan oleh Chaplin (2005:358) yang menjelaskan bahwa persepsi adalah proses mengEitahui atau

mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indera yang merupakan kesadaran dari proses-proses organis dimana satu kelompok penginderaan dengan penambahan arti-arti yang berasal dari pengalaman dimasa lalu, adapun variabel yang menghalangi atau ikut campur tangan biasanya berasal dari kemampuan organisme untuk melakukan perbedaan di antara perangsang-perangsang. Kesadaran intuitif mengenai kebenaran langsung atau keyakinan yang serta merta mengenai sesuatu.

Menurut Zanden (1984:33) persepsi merupakan proses mengumpulkan data dan menginterpretasikan informasi, persepsi juga merupakan penghubung antara manusia dan lingkungannya. Persepsi membuat rnanusia dapat

merasakan dunia sekitarnya karena tanpa persepsi maniusia akan hampa dari berbagai macam pengalaman. Persepsi membuat rnanusia dapat merasakan dunia sekitarnya dan rnemberikan arti pada input senson. Manusia tidak secara langsung memberikan respon kepada dunia luar, kejadian objek, atau orang lain, melainkan mengubah stimulus luar tersebut menjadi sistem dalam diri yang akan diberi arti.

(35)

kemudian diinterpretasikan dan didasarkan alas pengalaman yang telah dimiliki individu tersebut, sehingga memiliki makna atau arti bagi individu itu sendiri.

Dalam Anida (2005) Heider menjelaskan bahwa persepsi dapat diberikan oleh individu pada suatu benda, kejadian ataupun pada individu lain, yang secara garis besar digolongkan menjadi persepsi sosial dan persepsi bukan sosial (non-social) . Jika yang dilibatkan adalah suatu kEijadian atau sebuah benda maka persepsinya disebut sebagai persepsi bukan sosial (non-social)

tetapi jika yang dilibatkan adalah manusia atau individu lain maka

persepsinya disebut sebagai persepsi sosial. Sedikit berbeda Jalaluddin Rakhmat,(2005) menyebutkan bahwa persepsi yang objeknya benda atau peristiwa lain disebut sebagai persepsi objek sedangkan persepsi yang objeknya melibatkan manusia disebut sebagai persepsi interpersonal.

Menurut Tagiuri (dalam Anida ,2005) terdapat beberapa istilah yang digunakan dalam menjelaskan persepsi sosial, antara lain adalah social perception, person perception, person cognition, dan int€trpersonal

perception.

(36)

sehingga dapat menyadari keadaan di sekeliling kita, se1dangkan sosial adalah hubungan manusia dengan manusia yang lain. Jadi persepsi sosial adalah suatu proses seseorang untuk mengetahui, menginterpretasikan dan mengevaluasi orang lain yang dipersepsikan, baik mengenai sifat-sifat, kualitas dan keadaan yang lain yang ada dalam diri orang yang dipersepsi sehingga terbentuk gambaran mengenai orang yang dipersepsi. Hal senada juga diungkapkan oleh lrwanto (2002:258) yang menyatakan bahwa persepsi sosial merupakan kesadaran individu akan adanya orang lain atau perilaku orang lain yang terjadi di sekitarnya, sehingga persepsi sosial dapat diartikan sebagai penilaian fisik dan ciri-ciri perilaku orang lain

Menurut Robert A Baron (2004:38) persepsi sosial adalah proses yang kita gunakan untuk mencoba mengetahui dan memahami orang lain. Sementara Chaplin dalam Kamus Lengkap Psikologi ( 1981:472) memberikan definisi yang sedikit berbeda mengenai persepsi sosial, yaitu kesadaran akan objek sosial atau peristiwa sosial.

Berdasarkan dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi sosial, adalah proses yang dilakukan seseorang dalam memberi penilaian fisik dan ciri-ciri perilaku orang lain sehingga ia dapat memahami karakteris!ik,

(37)

Dalam penelitian ini, yang menjadi objek persepsi adalal1 manusia, sehingga persepsi yang dimaksud adalah persepsi sosial, yaitu pe1nilaian terhadap penampilan fisik dan ciri-ciri perilaku manusia, dan dikategorikan menjadi 2 klasifikasi yaitu: positif dan negatif. Persepsi tersebut dikatakan positif jika siswa-siswa reguler dapat memahami dan memaklumi perilaku siswa autis yang terlihat berbeda dengan dirinya, kemudian dikatakan negatif jika siswa-siswa reguler tidak memahami dan memaklumi perilaku siswa-siswa autis yang terlihat berbeda dengan dirinya.

Persepsi sosial yang digunakan adalah persepsi sosial s;iswa reguler di sekolah inklusi mengenai siswa autis di sekolahnya. Karena pada siswa autis ciri-ciri perilakunya sangat jelas terlihat berbeda dari anak-anak normai maka dalam penelitian ini dibatasi hanya persepsi sosial siswa reguler di sekolah inklusi mengenai ciri-ciri perilaku siswa autis.

2.1.2. Proses terjadinya persepsi

Seseorang dalam mempersepsikan sesuatu tidak terjadi begitu saja, tetapi ada unsur yang menyebabkan terjadinya suatu proses persepsi. Secara alur dapat dikemukakan bahwa proses persepsi munurut Bimo Walgito (1989:39)

berlangsung sebagaimana berikut:

(38)

2. Proses fisiologis, disini stimulus mulai dilangsungkan ke otak oleh syaraf sensorik

3. Proses psikologik, yaitu proses yang terjadi di otak sebagai pusat susunan urat syaraf yang menyebabkan individu dapat menginterpretasikan apa yang di persepsikannya.

Ada pun jalannya persepsi, dalam Abdurrahman Saleh (2004: 119) adalah pertama-tama seorang individu menginderakan objek di lingkungannya, kemudian hasil penginderaan tersebut diproses sehingga timbullah makna tentang objek tersebut. Hal ini akan digunakan oleh individu yang

bersangkutan untuk menentukan reaksi apa yang sesuai yang akan diambil oleh dirinya.

2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi

Robbins (2001 :89) mengemukakan ada 3 faktor yang mempengaruhi pembentukan ataupun perusakan persepsi seorang individu, yang

berdampak pada terjadinya perbedaan persepsi diantara individu yang satu dengan yang lainnya terhadap hal yang sama. Faktor-faktor tersebut adalah: 1. Pelaku persepsi, merupakan tokoh sentral yang mempengaruhi

(39)

2. Target atau objek yang dipersepsikan, karakteristik-karakteristik dari objek yang diamati dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan oleh pelaku persepsi.

3. Situasi saat persepsi terjadi, unsur-unsur yang ada dalam lingkungan seperti waktu, keadaan sosial dan keadaan saat suatu kejadian terjadi, dapat mempengaruhi konteks dari suatu objek yang diamati oleh pelaku persepsi.

2.2. lnteraksi sosial

2.2.1. Pengertian interaksi sosial

Sebagai mahkluk sosial individu dituntut untuk mampu rnelakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya, lnteraksi sosial merupakan hubungan timbal balik antara individu dengan individu lain, antara individu dengan kelompok serta antara kelompok dengan kelompok. Menurut HurbHrt Bonner (dalam Abu Ahmadi, 1991:54) interaksi sosial merupakan suatu hubungan antara dua individu atau lebih, dimana tingkah laku individu yan9 satu

(40)

kelompok-kelompok manusia maupun antara orang pere>rangan dengan kelompok manusia.

Menurut Astrid S Susanto dalam Janu Murdiyatmoko (2004:53) interaksi sosial adalah hubungan antar manusia yang menghasilkan suatu proses pengaruh mempengaruhi dan menghasilkan hubungan tetap yang pada akhirnya memungkinkan pembentukan struktur sosial.

Jadi clapat disimpulkan, bahwa interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang bersifat dinamis antara orang perorangan, antara orang dengan kelompok, dan antara kelompok dengan kelompok yang saling

mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki tingkah laku individu yang lain secara timbal balik dan memungkinkan terjadinya pembentukan struktur sosial.

Brofenbrenner dalam Dalton (2001: 136) berpandangan bahwa perilaku seseorang tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan dampak dari

interaksinya dengan lingkungan di luarnya. Secara garis besar lingkungan luar seorang individu dibagi dalam beberapa lingkaran yang berlapis-lapis yaitu:

(41)

sekolah, guru, tempat penitipan anak, teman bermain, tetangga dan orang lain yang sehari-hari dekat dan berhubungan erat dengan individu

2. Sistem meso, yaitu interaksi antara faktor di dalam sistem mikro, misalnya hubungan ayah-ibu, hubungan orang tua-guru dan ーゥセイァ。オャ。ョ@ antar teman. 3. Sistem ekso, yaitu sistem yang lebih luar, tidak langsung menyangkut diri

individu namun masih besar pengaruhnya misalnya keluarga besar, polisi, dokter, koran.

4. Sistem makro, yaitu sistem yang paling luar dan berpengaruh langsung atau tidak langsung pada individu misalnya pemerintah, agama, tradisi, hukum, undang-undang politik.

(42)

Sistem makro

Sistem ekso

Sistem mesa Sistem mikro

[image:42.595.46.484.97.483.2]

lndividu

Gambar 2.1.

Metaphor For Ecological Levels

Sumber: Dalton, James H, Elias, Maurice J dan Abraham Wandersman dalam Community Psychology: Linking individuals and Communities.

(43)

2.2.2.

Faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sosial

Kelangsungan interaksi sosial, sekalipun dalam bentuknya yang sederhana merupakan proses yang kompleks, Menurut Soerjono Soekanto (1990:63) ada 4 faktor yang mempengaruhi interaksi sosial yaitu:

1. lmitasi, merupakan suatu tindakan meniru orang lain baik dalam hal sikap maupun tingkah laku. Dalam proses imitasi terdapat kelebihan dan

kekurangan. Sisi positif dari lmitasi adalah dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah serta nilai-nilai yang berlaku sedangkan sisi negatifnya adalah dapat mematikan pengembangan daya kreasi seseorang.

2. Sugesti, merupakan pendapat, pandangan dan sikap yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain, diterima oleh pihak lain dan merupakan pengaruh psikis baik yang datang dari dirinya sendiri maupun dari orang lain yang umumnya diterima tanpa adanya daya kritik. Adapun faktor-faktor yang mempermudah terjadinya sugesti antara lain adalah: a. Sugesti karena hambatan berfikir.

b. Sugesti karena keadaan fikiran terpecah belah. c. Sugesti karena mayoritas.

d. Sugesti karena minoritas. e. Sugesti karena will

to

believe.
(44)

Proses identifikasi mula-mula berlangsung secara tidak sadar (dengan sendirinya) kemudian berkembang menjadi proses irasional yaitu berdasarkan perasaan-perasaan atau kecenderungan-kecenderungan dirinya yang tidak diperhitungkan secara rasional.

4. Simpati, merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik pada pihak lain, dan biasanya timbul atas dasar yang irasional yaitu

berdasarkan penilaian perasaan-perasaan

2.2.3. Ciri-ciri interaksi sosial

Menurut Charles P Loomis, dalam Soerjono Soekanto ( 1990:65) ada 4 ciri-ciri interaksi sosial, antara lain adalah:

1. Jumlah pelakunya lebih dari 1 orang

2. Adanya komunikasi antar pelaku dengan menggunakan simbol-simbol atau lambang-lambang baik verbal maupun non-verbal

3. Adanya suatu dimensi waktu yang meliputi masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang yang akan menentukan sifat dari aksi yang sedang berlangsung

4. Adanya tujuan yang hendak dicapai sebagai hasil dari interaksi tersebut

2.2.4. Bentuk-bentuk interaksi sosial

(45)

1. Kerjasama, merupakan suatu proses sosial yang assosiatif. Yaitu

bergabungnya individu-individu atau sekolompok individu untuk mencapai tujuan bersama

2. Akomodasi, merupakan suatu proses sosial yang assosiatif. Yaitu usaha manusia untuk meredakan ketegangan akibat konflik atau pertikaian dalam rangka mencapai kestabilan

3. Persaingan, merupakan suatu proses sosial yang dissosiatif, dimana individu atau kelompok manusia saling bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi perhatian umum (baik perorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa menggunakan ancaman atau kekerasan

4. Konflik, merupakan suatu proses sosial yang dissosiatif, dimana individu atau kelompok manusia saling menyadari adanya perbedaan-perbedaan, misalnya dalam ciri-ciri badaniah, emosi, unsur-unsur kebudayaan, pola-pola perilaku tertentu. Ciri-ciri tersebut dapat mempertajam perbedaan yang ada hingga menjadi suatu pertentangan

(46)

1. Pola perilaku sosial, terdiri dari:

a. Kerjasama, pada umur 4 tahun anak-anak sudah dapat bermain dan bekerja secara bersama dengan anak lain. Semakin banyak

kesempatan yang mereka miliki untuk melakukan sesuatu secara bersama semakin cepat mereka belajar untuk bek.erja sama.

b. Persaingan, persaingan dikatakan positif jika persaingan merupakan dorongan bagi seorang anak untuk berusaha sebaik-baiknya.

c. Kemurahan hati, dengan kemurahan hati akan terjadi penerimaan sosial, dan setelah itu anak mempelajari bahwa kHmurahan hati menghasilkan penerimaan sosial maka sikap mementingkan dirinya sendiri semakin berkurang.

d. Hasrat akan penerimaan sosial, jika hasrat akan penerimaan sosial seorang anak sangat kuat, maka dorongan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial juga kuat.

e. Simpati,merupakan kemampuan seorang anak untuk memahami kedaan di sekitarnya, kemampuan ini didapat jika anak telah

mengalami kehilangan.

f. Empati, merupakan kemampuan meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan menghayati pengalaman orang tersebut.

(47)

h. Sikap ramah, seorang anak memperlihatl<an sil<ap ramah, melalui kesedian melakukan sesuatu untuk orang lain dan kasih sayang yang diberikan oleh mereka.

i. Sikap tidak mementingkan diri sendiri, anak yang mempunyai kesempatan dan mendapat dorongan untuk membagi apa yang mereka miliki akan memiliki sikap tidak ュ・ュ・ョエゥョAセォ。ョ@ diri sendiri.

J.

Meniru, dengan meniru seorang anak dapat ュ・ョセQ・エ。ィオゥ@ perilaku apa saja yang dapat diterima oleh kelompok sosialnya.

k. Prilaku kelekatan, perilaku kelekatan dikembangkan oleh seorang anak berdasarkan pengalaman pada fase bayi, dan pada fase kanak-kanak perilaku kelekatan tersebut dialihkan kepacla orang lain

(temannya) untuk membina persahabatan dengan mereka. 2. Pola perilaku yang tidak sosial, terdiri dari:

a. Negativisme, merupal<an perlawanan terhadap tel<anan da.ri pihak lain untuk berperilaku tertentu, dan dapat dilakukan baik secara lisan maupun non-lisan.

b. Agresi, merupakan tindakan permusuhan yang nyata atau ancaman permusuhan.

(48)

d. Mengejek dan menggertak, merupakan serangan. Dikatakan mengejek jika serangan dilakukan secara lisan sedangkan rnenggertak jika

serangan dilakukan secara fisik.

e. Perilaku yang sok kuasa, merupakan kecendrungan untuk mendominasi orang lain.

f. Egosentrisme, merupakan sifat untuk bertindak mEmurut kehendak mereka.

g. Prasangka, merupakan pandangan terhadap ー・イ「ゥセ、。。ョMー・イ「・、。。ョ@

yang terdapat pada individu lain. Pada umumnya dilihat melalui penampilan dan ciri-ciri fisik individu tersebut.

h. Antagonisme jenis kelamin, pada masa kanak-kanak akhir

antagonisms jenis kelamin terlihat sangat jelas, hal ini di tunjukkan dengan menghindari bermain dengan lawan jenisnya atau menghindari aktivitas yang sering dilakukan oleh lawan jenis.

(49)

sesuai dengan harapan kelompok sosial, dan akan terus mempengaruhi perkembangan pada masa-masa selanjutnya.

Pada penelitian ini, perkembangan sosial yang digunakan adalah pola-pola proses sosial pada masa usia sekolah dasar (kanak-kanak akhir) yang dilakukan oleh siswa reguler terhadap siswa autis dan digolongkan menjadi proses sosial dan proses tidak sosial yang diklasifikan menjadi 2 kategori yaitu positif dan negatif. Dikatakan positif apabila siswa-siswa reguler

tersebut melakukan berbagai kegiatan interaksi sosial beirsama dengan siswa autis menggunakan pola-pola perilaku sosial misalnya ーeセイゥャ。ォオ@ simpati,

ramah, bekerjasama kepada siswa autis dan dikatakan negatif jika siswa-siswa reguler tersebut melakukan berbagai kegiatan interaksi sosial bersama dengan siswa autis menggunakan pola-pola perilaku tidak sosial misalnya . berperilaku agresif atau negatif kepada siswa autis.

2.3. Pendidikan lnklusi

2.3.1. Pengertian pendidikan inklusi

lstilah inklusi semakin popular dalam dunia pendidikan di Indonesia,

(50)

Menurut Sue Stuubs (2005:76) istilah pendidikan inklusi dan sekolah inklusi untuk negara-negara yang sedang berkembang sering disamakan, ini disebabkan karena pada negara-negara berkembang termasuk indonesia sekolah merupakan tempat untuk menerima pendidikan itersebut dan sebagian besar waktu mereka telah tersita di sekolah. Pendidikan inklusi memiliki pengertian yang beragam,antara lain:

Menurut Subagyo Brotosedjati (2003: 56) pendidikan inklusi ialah model penyelenggaraan program pendidikan bagi anak cacat (berkebutuhan khusus) yang diselenggarakan bersama dengan anak normal di lembaga pendidikan umum dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga yang bersangkutan.

Menurut Stainback dan Stainback (1990) dalam buku mengenal pendidikan inklusi yang dikeluarkan oleh Direktorat Pendidikan Luar Biasa (PLB)

(51)

membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.

Menurut Staub dan Peck dalam Direktorat PLB (2005:9) mengatakan bahwa sekolah inklusi adalah penempatan Anak Luar Biasa (ALB) dalam tingkat ringan, sedang dan berat, di kelas biasa secara penuh. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang イ・ャ・セカ。ョ@ bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya.

Menurut Hidayat (2003:45) pendidikan inklusi adalah pendidikan yang menyertakan setiap anggota masyarakat, termasuk mereka yang

berkebutuhan khusus, yaitu mereka yang mempunyai kebutuhan permanen atau sementara untuk memperoleh pelayanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan khususnya.

(52)

dukungan dari semua pihak, baik para siswa, guru, orangtua serta masyakat sekitarnya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah dimana siswa-siswa berkebutuhan khusus apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya ditempatkan satu kelas dengan siswa-siswa tidak berkebutuhan khusus, program yang diberikan haruslah sesuai dengan kebutuhan dan tingkat kemampuan individu yang bersangkutan dan bantuan yang dapat diberikan oleh para guru adalah agar semua siswa-siswanya dapat berhasil. Sehingga rasa memiliki dan menjadi bagian dari kelas tersebut sangatlah diperlukan, agar dapat mengoptimalkan potensi yang dimiliki setiap siswanya dan memenuhi semua kebutuhan siswanya.

2.3.2.

Komponen keberhasilan pendidikan inklusi

Menurut Sri Utami Ayuningsih (2005) yang merangkum komponen keberhasilan suatu pendidikan inklusi berdasarkan komponen dalam karakteristik, pengkajian pada pendidikan inklusi serta teori-teori yang berkaitan,maka didapatlah kompenen tersebut antara lain adalah: 1. Persiapan sebelum menerima anak autis, mencakup pelatihan guru,

(53)

Palatihan guru, marupakan salah satu hal yang penting sabalum

mamasukkan anak autis, beberapa modul yang penting dalam pelatihan ini antara lain adalah pangetahuan mangenai autisme, simulasi tarapi parilaku bagi siswa autis dan stratagi atau kiat-kiat dalam mananggani anak autis, dan idaalnya semua guru pernah mendapatkan pelatihan ini.

Kemudian pendataan siswa, yang dilakukan agar sakolah mandapatkan informasi yang langkap mengenai kondisi siswa, hal ini dapat dilakukan oleh pihak sekolah dangan cara obsarvasi sarta wawancara dengan pihak-pihak yang terkait.Sadangkan persiapan kalas, dilakukan agar siswa-siswa raguler tersebut tidak tarlalu kaget akan hadirnya siswa autis yang secara fisik dan perilaku berbada dangan meraka sehingga siswa autis dapat ditarima secara baik olah teman-tamannya dalam hal ini adalah siswa-siswa regular, yang akan bardampak pada kagiatan

interaksi diantara kaduanya. Parsiapan kalas yang paling sadarhana dan penting adalah mensosialisasikan kapada siswa-siswa regular akan

adanya anak autis yang ikut serta dalam kelas mereka, hal tersebut dapat dilengkapi melalui pembentukan team guru yang akan manangani anak autis dengan tugas memparsiapkan matari khusus atau IEP yang sasuai dangan kebutuhan anak. Dangan adanya parsiapan yang matang

(54)

siswa autis yang memiliki keterkaitan terhadap interaksi diantara keduanya.

2. Adanya kolaborasi antara orang tua dengan guru, hal ini penting dilakukan agar perkembangan anak autis berjalan dengan baik. Adapun hal yang dapat dilakukan oleh para guru adalah pertemuan rutin antara keduanya, yang dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama misalnya satu bulan sekali, adapun hal-hal yang dapat didiskusikan adalah mengenai

hambatan-hambatan yang ditemui ketika menangani anak-anak mereka sehingga dapat dicarikan jalan keluar bersama dalarn mendidiknya. Sehingga perilaku-perilaku siswa autis dapat berubah kearah yang lebih baik dengan waktu yang lebih cepat dan merubah persepsi siswa reguler mengenai siswa autis ke arah yang lebih positif yang secara langsung mempengaruhi interaksi sosial diantara keduanya.

(55)

4. Dukungan sekolah, guru, terhadap siswa autis, hal ini dapat dilakukan dengan cara menyediakan guru pendamping atau ウゥセエゥ、。ォョケ。@ guru bantu atau sekurang-kurangnya relawan yang dapat membantu siswa autis. Adapun tugas bagi guru pendamping antara lain adalah menjembatani instruksi guru kepada anak, mengendalikan perilaku anak di kelas, membantu anak belajar, bermain atau berinteraksi dengan teman-temannya. Sedangkan tugas dari guru bantu adalah sebagai konsultan dalam menangani siswa autis di sekolah, ikut serta dalam merencanakan program pembelajaran, memonitor dan mengevaluasi program

pembelajaran. Dengan adanya guru pendamping dan guru bantu mempercepat perubahan ciri-ciri perilaku siswa autis kearah yang lebih baik, yang berpengaruh terhadap perubahan persepsi dan berdampak pada perubahan sikap dan tingkah laku saat berinteraksi sosial diantara keduanya.

(56)

persepsinya mengenai siswa autis dan berdampak pada interaksi diantara keduanya.

6, lmplementasi atau pelaksanaan pembelajaran di kelas, dalam

pelaksanaan pendidikan inklusi bagi siswa autis, idealnya pihak sekolah memiliki IEP (Individual Education Plan) yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing siswanya, atau sarana dan prasarana yang dapat dipakai bila siswa autis memerlukannya. Dengan adanya IEP serta sarana dan prasarana yang mendukung bagi siswa autis dapat merubah ciri-ciri perilaku siswa autis ke arah yang lebih baik secara efektif, dan

berpengaruh pada perubahan persepsi yang berdampak pada interaksi di antara keduanya.

7. Komitmen sekolah, sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusi seharusnya memiliki komitmen terhadap perl<embangan anak autis, komitmen yang paling ideal adalah menjamin seluruh siswanya mencapai keberhasilannya. Komitmen seperti ini terlihat pada model sekolah inklusi level 3 dimana dalam satu kelas selain ada guru tetap dan dibantu oleh guru pembimbing khusus di bidang pendid!kan luar biasa. Guru

(57)

Atau setidaknya siswa autis diberi kesempatan untuk: belajar dengan baik dengan siswa reguler dalam satu kelas yang sama, hal ini dapat dilihat dengan model sekolah inklusi level 2 dimana dalam satu kelas ada tiga orang guru yang terdiri dari 1 orang guru utama dan :2 orang guru bantu, para guru ini dipersiapkan untuk menangani kelas yang heterogen. Pengelompokkan anak dalam satu kelas berdasarkan usia, dan di setiap akhir tahun ajaran semua anak akan naik kelas. Memka mendapatkan hak yang sama untuk naik kelas, walaupun tingkat ke1mampuannya berbeda sehingga dalam proses pembelajarannya siswa autis dan siswa reguler mendapatkan berbagai materi dalam tingkatan yang berbeda sesuai dengan kemampuannya.

Atau sekurang-kurangnya sekolah inklusi berkomitme1n agar siswa autis dapat ikut serta dalam kegiatan sekolah, hal ini terlihat pada model sekolah inklusi pada level 1 dimana dalam suatu kelas terdapat anak normal dan beberapa anak kelainan atau anak dengan kebutuhan khusus yang bermacam-macam jenis. Ketika anak berkelainan atau anak-anak dengan kebutuhan khusus mernerlukan bantuan mereka

(58)

2.3.3.

Tujuan pendidikan inklusi

Tujuan utama dari pendidikan inklusi agar semua siswa tidak terkecuali siswa berkebutuhan khusus mendapatkan pendidikan yang normal serta memberikan pengalaman interaksi dengan lingkungan sosial, Pendidikan inklusi dapat melayani semua siswa secara adekuat dengan memberi fasilitas dan membantu proses belajar mengajar serta penyesuaian diri dari seluruh siswa.

2.3.4.

Manfaat pendidikan inklusi

Pendidikan inklusi memberikan manfaat bagi siswa-siswa berkebutuhan khusus dan tidak berkebutuhan khusus.

1. Bagi siswa-siswa autis, manfaatnya antara lain adalah:

a. Pendidikan inklusi akan memberikan sense of belonging terhadap lingkungan yang berbeda dari diri mereka, serta mengembangkan perasaan menjadi suatu anggota dari komunitas yang beragam b. Mengembangkan keterampilan sosial siswa autis

c. Melalui interaksi dengan anak-anak tidak berkebutuhan khusus, siswa autis memiliki kesempatan untuk belajar membina hubungan

(59)

2. Bagi anak-anak tidak berkebutuhan khusus, manfaatnya antara lain adalah: a. Kehadiran anak-anak berkebutuhan khusus, akan dapat

mengembangkan perasaan penerimaan dari anak normal terhadap kehadiran anak berkebutuhan khusus di lingkungannya.

b. Memberikan kesempatan bagi anak-anak tidak berkebutuhan khusus untuk mengalami kehidupan sosial yang beragam meskipun dalam skala kelas.

c. Mengembangkan perasaan saling menghargai individu yang memiliki karakteristik yang berbeda dari dirinya.

d. Mengembangkan sifat empati.

e. Mengembangkan perasaan sensitivitas terhadap keterbatasan orang lain.

f. Anak-anak tidak berkebutuhan khusus dapat belajar memahami. mengenai perbedaan individual

g. Memahami mengenai kecacatan secara umum.

h. Mengembangkan suatu perasaan menghargai keunikan karakteristik dan perbedaan kemampuan terhadap individu.

(60)

Dalam penelitian ini, sekolah inklusi merupakan wadah yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi perubahan persepsi siswa reguler mengenai siswa autis dan berdampak pada interaksi diantara keduanya baik siswa reguler terhadap siswa autis maupun siswa autis terhadap siswa reguler. Dengan penerapan komponen-komponen keberhasilan penyelanggaraan pendidikan inklusi secara baik dan benar maka keberhasilan tersebut dapat dicapai oleh pihak sekolah sehingga diharapkan pihak sekolah mampu menerapkan dengan benar secara konsisten setiap komponen-komponen keberhasilan penyelanggaraan pendidikan inklusi agar tujuan dari sekolah inklusi ini dapat tercapai.

2.4. Autisme

2.4.1. Pengertian autisme

(61)

S.M Lubantobing (2001:82) mengatakan bahwa autisme atau gangguan autistik adalah gangguan perkembangan fungsi otak yang mencakup bidang sosial, komunikasi (bahasa), imajinasi, fleksibilitas, minat, kognisi dan atensi. Gangguan autistik membuat seseorang tidak mampu meingadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri.

Lebih lengkap lagi, menurut Sarasvati (2004: 135) yang merangkumnya dalam berbagai sumber antara lain The Association for Autistic Children dan ISSAD

(Intervention Service for Autism and Developmental Delc;iy), untuk dapat dikatakan sorang anak terdiagnosa autisme, seseorang harus memiliki 6

kriteria dari 3 daftar berikut ini, yaitu:

1. Gangguan dalam interaksi sosial (minimal 2 kriteria dari 4 kriteria), yaitu: a. Rendahnya kemampuan berinteraksi sosial melalui komunikasi

non-. verbal, misalnya kurangnya kontak mata, ekspresr muka dan gerak-gerik tubuh.

b. Tidak mampu berinteraksi sosial dalam kelompok, layaknya anak-anak seusianya.

c. Tidak memiliki keinginan untuk berbagi kesenangan, prestasi atau keingintahuan dengan anak-anak lain.

(62)

membalas memeluk pada saat dipeluk dan tidak rnampu membaca kemarahan di wajah orang lain.

2. Gangguan dalam komunikasi (minimal 1 kriteria dari 4 kriteria), yaitu: a. Terlambat atau tidak adanya kemampuan berbicara yang mana tidak

juga dikompensasikan dengan menggunakan bahasa isyarat dengan gerak tubuh.

b. Kalaupun dapat berbicara, tidak mampu memulai percakapan atau mempertahankan percakapan.

c. Bahasa yang digunakan cenderung berulang-ulang, kaku, khas

(stereotype) dan agak aneh (idiosyncratic).

d. Dibandingkan dengan pertumbuhan anak seusianya, anak autis tidak mampu bermain dengan meniru, khayalan, atau spontan.

3. Sering melakukan kegiatan, bertingkah laku dan merasa tertarik pada sesuatu yang berulang-ulang, terbatas dan khas (minimal 1 kriteria dari 4 kriteria), yaitu:

a. Rasa tertarik yang cenderung abnormal dari segi fokus dan intensitas terhadap suatu kegiatan yang khas dan terbatas. Misalnya mengulang-u!ang sebuah adegan dari film video secara terus menerus, dan

berjalan tanpa henti dalam bentuk lingkaran.

(63)

jalan tertentu menuju ke sekolah atau hanya mau tidur jika menggunakan baju tertentu.

c. Rasa tertarik berlebihan pada suatu bagian dari sebuah benda. Misalnya roda pada mainan mobil-mobilan.

d. Sering melakukan gerakan tertentu yang khas dan berulang-ulang. Misalnya mengepak-epakkan tangan secara berulang-ulang atau berjongkok sambil menggoyang-goyangkan badan ke depan dan belakang (rocking).

Selain memenuhi 6 kriteria di atas, kriteria tambahan sesorang dapat dikatakan autis jika anak tersebut sebelum usia tiga (3) tahun sudah

menunjukkan ketidaknormalan atau keterlambatan dalam berinteraksi sosial, berbicara dan bermain menggunakan daya imajinasi.

Menurut DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual) dalam Kaplan dan Sadock (1997:715) seseorang dikatakan memiliki gangguan autistikjika: 1. Memiliki gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik, dan

berefek samping pada:

a. Tidak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai. b. Kontak mata sangat kurang.

(64)

e. Tidak bisa bermain dengan teman sebaya.

f. Tidak memiliki sifat empati (tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain).

g. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.

2. Memiliki gangguan kualitatif dalam komunikasi, yang terlihat pada: a. Perkembangan bicara yang terlambat atau sama sekali tidak

berkembang.

b. Tidak berusaha untuk berkomunikasi secara non-verbal, dan biasanya bila anak bisa bicara maka bicaranya tidak digunakan untuk

berkomunikasi.

c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang. d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang dapat

meniru.

3. Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat dan kegiatan, terlihat pada:

a. Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan.

b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidal< ada gunanya.

c. Memiliki gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang.

(65)

Ditambahkan dalam ICD - 1 O (International Clasification of Diseases) Gejala-gejala di atas dapat timbul sejak lahir dan anak tidak pernah mengalami perkembangan prilaku yang normal, namun ada juga anak yang sejak lahir tampak normal dan baru pada usia sekitar 2 tahun terjadi hambatan

perkembangan pada prilakunya dan bahkan kemudian エ・セイェ。、ゥ@ kemunduran.

Jadi dapat disimpulkan bahwa autisme adalah gangguan pada perkembangan fungsi otak yang mencakup bidang interaksi sosial,

komunikasi dan perilaku yang khas serta berulang-ulang dan terlihat sebelum usia 3 tahun.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, anak autis memiliki pola pikir dan tingkah laku yang unik. Secara lengkap Kaplan dan Sadock, menjelaskan bahwa secara garis besar, anak autis memiliki karakteristik fisik dan perilaku yang berbeda dengan anak normal lainnya. Untuk karakteristik fisik anak autis, dalam penelitian Kanner (dalam Sadock dan Kaplan, 1997) pada usia 2 hingga 7 tahun memiliki tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan anak normal lainnya. Sedangkan karakteristik perilaku, Sadock (1997, 716) membaginya menjadi 6 kelompok yaitu:

(66)

sebayanya, gagal dalam membentuk persahabatan serta gagal untuk mengekspresikan empatinya.

2. Gangguan komunikasi dan bahasa, misalnya pada anak autis yang aktif tapi "aneh" mereka lebih banyak berkata dibandingkan dengan apa yang dimengertinya, hampir semua kata dalam kalimat yang mungkin di luar perbendaharaan kata anak-anak, pembicaraannya mengandung

echolalia,

sering terbalik dalam menyebutkan kata ganti (misalnya saya jadi kamu).

3. Perilaku streotipik, terlihat pada kegiatan atau aktivitasnya yang kaku, berulang dan monoton.

4. Ketidakstabilan mood dan afek, terlihat pada seringnya tertawa atau menangis tanpa terlihat alasan yang jelas, tidak dapat mengekspresikan pikiran yang sesuai dengan afeknya.

5. Respon terhadap stimuli, pada anak autis dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu sangat responsif atau kurang responsif terhadap stimuli (misalnya pada stimulus suara atau rasa nyeri).

6. Gejala perilaku lain, mencakup prilaku tempertantrum, hiperkinesis, hiperaktivitas dan sering diikuti oleh prilaku menyakiti d!ri sendiri

2.4.2. Etiologi Autisme

(67)

prediksi yang dapat diberikan oleh para ahli sebagai penyebab autisme antara lain adalah komplikasi sebelum dan setelah melahirkan, vaksin MMR

(Mumps, Meas/es, Rubella), polusi lingkungan, faktor genetik, keracunan logam berat serta alergi terhadap suatu makanan tertentu.

Lebih lengkap Kaplan dan Sadock (1997) menjelaskan ada tujuh (7) etiologi dan patogenesis dalam menjelaskan autisme, yaitu:

1. faktor psikodinamika dan keluarga, zaman dahulu orang menyangka bahwa gejala-gejala autisme sangat erat kaitannya 、ゥセョァ。ョ@ hubungan interaksional yang tidak mendukung. Dalam laporan awal Kanner (dalam

Kaplan dan Sadock) menulis bahwa beberapa orang tua dengan anak-anak autis adalah benar-benar pemarah dan untuk sebagian besarnya adalah orang tua dengan anggota keluarga yang merniliki preokupasi dengan abstraksi intelektual dan cenderung sedikit mengekspresikan perhatian yang murni terhadap anak-anaknya, sehingga muncul berbagai teori yang berkaitan dengan faktor psikodinamika dan keluarga antara lain adalah teori "Psikogenik" yang diperkenalkan oleh Kanner dan "The

Mother Frigid" yang diperkenalkan oleh Bruno Bettelhiem (dalam

Nirmala,2002, 13). Dengan berkembangnya pengetahuan dan teknologi, teori tersebut tidak dig

Gambar

Gambar 2.1.
Gambar 2.2.
Tabel 3.1.
Tabel 3.2.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jika ya, berapa kali dalam seminggu Anda mengkonsumsi alkohola. Riwayat Penyakit

Model hubungan antara risiko finansial , risiko produk , risiko waktu , risiko pengiriman , risiko sosial, keamanan dan kepercayaan dengan pembelian konsumen melalui media online

[r]

Berdasarkan uraian diatas, peneliti memutuskan untuk mengambil judul penelitian “ Analisis Persepsi Auditor Mengenai Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penetapan Fee

Penerapan Metode Pembelajaran Outdoor Study Objek Lereng Gunung Kelut Guna Meningkatkan Aktivitas Hasil Belajar Dan Kemampuan Menyusun Karya Tulis Geografi Materi

Untuk mencapai tujuan tersebut, Prodi Ilmu Komunikasi mengumpulkan mahasiswa angkatan 2006 dan 2007 untuk diajak berdiskusi persoalan apa yang dihadapi mereka.. Acara bertajuk

Bagi calon Penyedia barang/jasa diberi waktu masa sanggah selama 5 (lima) hari kerja dari tanggal 13 juli 2012 sampai dengan tanggal 19 Juli 2012 (sesuai jadwal LPSE);.

Penelitian ini dilatarbelakangi permasalahan belum optimalnya mutu sekolah. Adapun permasalahan yang ingin dipecahkan adalah pengaruh Kemampuan Manajerial kepala sekolah