• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN ORANGTUA DAN TINGKAT INTERAKSI SOSIAL ANAK AUTIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN ORANGTUA DAN TINGKAT INTERAKSI SOSIAL ANAK AUTIS"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

i

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN ORANGTUA DAN

TINGKAT INTERAKSI SOSIAL ANAK AUTIS

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Indriyani Tunjungsari

Nim : 099114134

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

Hasil karya ini kupersembahkan untuk:

 Allah SWT yang selalu besertaku

 Papi, Mami, Cindy, Riska, Wahyu, dan Saskia tercinta

(5)
(6)

vi

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN ORANGTUA DAN TINGKAT INTERAKSI SOSIAL ANAK AUTIS

Indriyani Tunjungsari

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara penerimaan orangtua dan tingkat interaksi sosial pada anak autis. Hipotesis yang diajukan yaitu terdapat korelasi yang positif dan signifikan antara penerimaan orangtua dengan tingkat interaksi sosial anak autis. Subyek yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 37 anak autis usia 6-11 tahun dan melibatkan 74 orangtua anak-anak tersebut. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala penerimaan orangtua dan observasi interaksi sosial anak autis dengan pencatatan kejadian. Koefisien reliabilitas dalam skala penerimaan orangtua menggunakan Alpha Cronbach dengan hasil koefisien 0.970, sedangkan skala interaksi sosial diolah dengan menggunakan reliabilitas antarobserver dengan persentase reliabilitas sebesar 90.09%. Data dianalisis dengan menggunakan korelasi Product-Moment Pearson. Hasilnya menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut memiliki koefisien korelasi sebesar 0.525 dengan signifikansi 0.000. Angka tersebut menunjukkan bahwa kedua variabel memiliki korelasi yang positif dan signifikan.

(7)

vii

THE RELATION BETWEEN PARENTAL ACCEPTANCE AND THE LEVEL OF SOCIAL INTERACTION TO CHILDREN WITH AUTISM

Indriyani Tunjungsari

ABSTRACT

This research is aim to find out the relation between parental acceptance and the level of social interaction to children with autism. The hypothesis was proposed that there is a positive and significant correlation between parental acceptance and the level of social interaction to autism children. The amount of subjects in this research are 37 autism children with aged 6 to 11 years old and involved their parents. Data collection in this research used Parental Acceptance Scale and Social Interaction’s Event Recording Observation. Reliability Coefficient in parental acceptance scale used Cronbach’s Alpha with coefficient result 0.970, whereas the social interaction scale process used Interobserver Reliability with the reliability percentage 90.09%. Data was analysis used Pearson Product-Moment correlation method. The result shows that both of variables have a correlation coefficient’s value 0.525 with signification value 0.000.

(8)
(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas karuniaNya penulis menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi di Universitas Sanata Dharma. Penulis menyadari keterbatasan yang dimiliki, sehingga banyak bantuan yang berasal dari berbagai pihak dalam proses menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi.

2. Bapak Cornelius Siswa Widyatmoko, M. Psi. selaku dosen Pembimbing Akademik. Terima kasih atas bantuan Bapak dari awal perkuliahan saya hingga terselesaikannya skripsi ini.

3. Ibu Ratri Sunar Astuti, M. Si selaku Ketua Program Studi Psikologi.

4. Ibu Agnes Indar Etikawati, M.Si., Psi. selaku Dosen Pembimbing Skripsi. Terima kasih telah membantu saya dalam proses menyelesaikan skripsi ini. 5. Para penguji yang berkenan meluangkan waktunya, beserta seluruh Dosen

Fakultas Psikologi yang telah membantu dan membagikan ilmunya kepada saya.

6. Bu Nanik, Mas Gandung, Mas Muji, Mas Doni, dan karyawan Fakultas yang banyak membantu selama di saya berada di Fakultas Psikologi.

(10)

x

8. Eman A. Prianto yang setia mendukung dan memahami ketidakstabilan saya dalam proses menyelesaikan skripsi ini.

9. Teman-teman kelas C angkatan 2009 yang selalu mendukung, membantu, dan menghibur saya dari awal perkuliahan hingga terselesaikannya skripsi ini. 10.Para orangtua, guru, dan pihak sekolah autis yang berkenan membantu peneliti

dalam proses pengambilan data, beserta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih atas dukungan, doa, dan kerjasama kalian.

Penulis percaya bahwa Tuhan akan selalu menyertai semua pihak yang telah membantu, mendoakan, menghibur, dan mendukung keseluruhan proses penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi orang lain.

Yogyakarta, 13 April 2014 Penulis

(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian... 10

1. Manfaat Teoritis ... 10

(12)

xii

BAB II LANDASAN TEORI ... 11

A.Penerimaan Orangtua ... 11

1. Definisi Penerimaan Orangtua ... 11

2. Indikator Penerimaan Orangtua ... 11

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Orangtua ... 15

B.Autisme ... 16

1. Definisi Autisme... 16

2. Penyebab Autisme ... 18

3. Kriteria Diagnostik Autisme ... 23

C.Interaksi Sosial Pada Anak Autis ... 26

1. Definisi Interaksi Sosial ... 26

2. Hambatan Interaksi Sosial pada Anak Autis... 26

3. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan interaksi sosial anak autis ... 29

4. Upaya Penanganan untuk Menyejahterakan Anak Autis ... 31

D.Dinamika Hubungan antara Penerimaan Orangtua dan Tingkat Interaksi Sosial Anak Autis ... 35

E.Hipotesis ... 39

BAB III METODE PENELITIAN ... 40

A. Jenis Penelitian ... 40

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 40

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 41

(13)

xiii

2. Interaksi Sosial ... 41

D. Subyek Penelitian ... 43

E. Persiapan Alat Ukur ... 45

1. Penerimaan Orangtua... 45

2. Interaksi Sosial ... 50

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 53

1. Tahap Persiapan ... 53

2. Tahap Pelaksanaan ... 54

3. Tahap Analisis Data... 56

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 57

A. Pelaksanaan Penelitian ... 57

B. Data Identitas Subyek ... 57

C. Deskripsi Data Penelitian ... 58

1. Deskripsi Data Penerimaan Orangtua ... 58

2. Deskripsi Data Interaksi Sosial ... 59

D. Hasil Penelitian ... 59

1. Uji Asumsi ... 59

(14)

xiv

2. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Tabel Perbedaan Perkembangan Interaksi Sosial Anak Normal

dan Anak Autis ... 28

Tabel 3.1. Blue Print Skala Penerimaan Orangtua ... 47

Tabel 3.2. Blue Print Alat Pencatatan Data Interaksi Sosial ... 51

Tabel 3.3. Hasil Reliabilitas Indikator Interaksi Sosial ... 52

Tabel 4.1. Data Siswa SLB Autis dan Hiperaktif CMM Yogyakarta dan SLBN Balikpapan ... 58

Tabel 4.2. Data Mean Teoritik dan Empirik Penerimaan Orangtua ... 58

Tabel 4.4. Rerata dari Aspek Penerimaan Orangtua ... 59

Tabel 4.5. Rerata dari Aspek Interaksi Sosial ... 59

Tabel 4.6. Uji Normalitas ... 60

Tabel 4.7. Uji Linearitas ... 61

(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Grafik Peningkatan Kasus Autisme di Amerika ... 2

Gambar 2 Indikator Penerimaan dan Penolakan Orangtua... 12

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran 1 Skala Penerimaan Orangua ... 76

2. Lampiran 2 Seleksi Aitem Skala Penerimaan Orangtua ... 84

3. Lampiran 3 Uji Reliabilitas Skala Penerimaan Orangtua ... 87

4. Lampiran 4 Uji Reliabilitas Observasi Interaksi Sosial ... 89

5. Lampiran 5 Scatterplot ... 91

6. Lampiran 6 Q-Q Plot ... 93

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Para orangtua mengharapkan putra putrinya terlahir dengan sehat dan normal. Namun karena beberapa faktor, anak dapat terlahir atau berkembang dengan hambatan atau gangguan tertentu yang salah satunya adalah Autisme. Istilah autisme dipakai pertama kali oleh Leo Kanner pada tahun 1943. Kanner (dalam Davison dkk dalam Kuwanto & Natalia, 2001) mengemukakan bahwa anak autis tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Ia memperkirakan bahwa hal ini disebabkan oleh gangguan metabolisme bawaan yang menimbulkan kegagalan untuk berinteraksi. Gangguan autisme dapat berdampak buruk terhadap kemampuan seseorang untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang-orang di sekelilingnya. Karakteristik gangguan autisme dalam DSM-IV TR adalah adanya gangguan perkembangan dalam interaksi sosial dan komunikasi, serta aktivitas dan ketertarikan yang sangat terbatas (APA, 1994). Terdapat ciri-ciri sebagai kriteria untuk mendiagnosa autis yang terkenal dengan sebutan “Wing’s Triad of Autism” atau Trias Autisme antara

(19)

Jumlah anak yang terdeteksi autis semakin lama semakin meningkat. Adapun grafik peningkatannya dari tahun 1996 hingga 2007 di Amerika adalah sebagai berikut:

Gambar 1

Grafik Peningkatan Kasus Autisme di Amerika

Grafik tersebut menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan yaitu 7 hingga 8 kali lipat dimana pada awal tahun 2006 dinyatakan bahwa ada 15 kasus/ 1000 orang/ tahun (Growup Clinic, 2012) dari yang sebelumnya hanya ada 2 kasus/ 1000 orang/ tahun. Studi terbaru menyebutkan bahwa kembali terjadi peningkatan kasus menjadi 1/ 110 orang/ tahun di Amerika pada 2010 (American Academy of Pediatric, 2012., Autistica, tanpa tahun). Sementara untuk di Indonesia tercatat 475.000 orang dengan ciri-ciri autistik pada tahun 2004 (Kompas, 20 Juli 2005 dalam Ginanjar, 2007 ).

Penyebab dari autis sendiri belum dapat diketahui secara pasti. Para ahli berpendapat bahwa ada banyak faktor yang menyebabkan munculnya autisme pada anak, mulai dari genetik, gangguan metabolisme, gangguan pada syaraf pusat, infeksi virus pada ibu yang mengandung, gangguan pencernaan, hingga keracunan logam berat. Beberapa sumber menyebutkan bahwa autisme

(20)

disebabkan oleh faktor lingkungan misalnya vaccination. Pemberian vaksin pada sejumlah anak justru menimbulkan kerugian yang dampaknya sangat besar, yaitu gangguan neurobiologis yang mengarah pada autisme. Namun, tentu saja sumber ini perlu dibuktikan oleh beberapa studi dan penelitian ilmiah yang cukup rumit dan panjang (Yuwono, 2009).

Salah satu gejala autisme yang akan disoroti dalam penelitian ini adalah gangguan pada aspek interaksi sosial. Perilaku interaksi sosial menjadi kelemahan utama pada anak autis. Kelemahan berinteraksi sosial akan menghambat dan membatasi anak autis dari lingkungannya (Alimin, Homdijah & Sugiarmin, 2009., Sugiarto, Prambahan, Sarwindah & Pratitis, 2004., Yuwono, 2009). Pandangan ini beralasan karena aspek interaksi sosial mempengaruhi anak autis dalam belajar dan berperilaku. Adanya hambatan berinteraksi menghalangi proses transaksi sosial anak autis yang merupakan kerangka untuk memandang dunia yang ada.

(21)

membangun hubungan dengan orang lain. Pada anak normal, interaksi sosial berhubungan dengan perkembangan komunikasi dan bahasa anak (Lenawaty, Widyorini & Roswita, tanpa tahun., Supartini, 2009., Alimin, Homdijah & Sugiarmin, 2009., Laws, Bates, Feuerstein, Mason & White, 2012).

Anak dengan spektrum autisme gagal menunjukkan keakraban yang lazim pada orangtua maupun orang lain misalnya kontak mata dan tersenyum. Pada anak autis, interaksi sosial merupakan kesulitan nyata yang dihadapi pada tahap awal perkembangan. Jika anak kurang mampu berinteraksi, hal ini akan menghambat mereka untuk memperoleh pengetahuan yang lebih luas melalui pengalamanan sosial dengan orang lain. Anak autis yang bersekolah tentunya akan mempunyai interaksi yang sulit dengan guru maupun teman-teman di sekolah, sehingga anak tidak akan memiliki pengetahuan sosial karena mereka kurang mampu terlibat dalam kegiatan sosial dengan teman sebayanya (Yuwono, 2009). Sebagai hasilnya, anak kurang mampu berkembang dengan baik.

(22)

emosi (APA, 1994). Anak autis tidak mampu membaca sinyal sosial seperti tersenyum atau bahasa nonverbal orang lain, sehingga mereka tidak belajar untuk meniru dan kurang mampu merespon perilaku yang kita harapkan.

Faktor-faktor yang membantu anak autis untuk sejahtera dan tetap berkembang dengan baik antara lain diet terkait dengan zat-zat yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak, psikoterapi perilaku terkait dengan komunikasi, interaksi sosial dan emosi, dan peran serta orangtua antara lain penerimaan, dukungan, dan pola asuh yang diterapkan pada anak (Wijayakusuma, 2004). Diperlukan usaha atau dukungan orang-orang terdekat untuk membantu anak autis berinteraksi sosial. Oleh karena itu, penerimaan orangtua menjadi hal yang penting dalam menentukan keterampilan sosial yang dipelajari oleh anak autis demi kesejahteraan mereka.

Orangtua merupakan sosok pertama yang dikenal anak sejak masa kelahiran, sehingga orangtua berperan penting dalam perkembangan anak-anak mereka. Pusat Terapi Anak Ceria Jakarta (dalam Yuwono, 2009) mengatakan bahwa 10% orangtua memiliki keterlibatan dalam proses “penyembuhan” anak autis. Sisanya adalah orangtua yang kurang

(23)

keterbatasan pengetahuan, keterampilan, serta pengalaman dalam mengasuh anak terutama yang berkebutuhan khusus. Hal ini tentu tidak baik mengingat anak autis butuh “perhatian ekstra” dari orangtua mereka. Jika orangtua

terkesan tidak peduli dengan kondisi yang dialami anak mereka, maka ini akan membawa pengaruh buruk bagi perkembangan anak autis secara keseluruhan. Keterlibatan orangtua dalam upaya penanganan membawa pengaruh besar bagi kesejahteraan anak autis. Penerimaan dan dukungan yang penuh pada anak serta pola asuh yang tepat mampu membuat anak autis tumbuh dengan optimal. Sehingga diharapkan para orangtua mampu membuka diri serta menerima keberadaan dan kondisi anak sebelum memberikan penanganan yang tepat bagi anak mereka.

Penerimaan merupakan aspek dasar yang memberikan dampak besar pada anak autis agar mampu berkembang dengan positif. Orang tua sebagai

partner terdekat yang menunjukkan penerimaan akan membantu

(24)

dengan sikap positif, adanya pengakuan atau penghargaan terhadap nilai-nilai individual tetapi menyertakan pengakuan terhadap tingkah lakunya (Chaplin, 2000). Penerimaan orangtua mulai terjadi saat masa awal kehamilan anak. Pada fase kelahiran, orangtua yang mendapati anaknya mengalami spektrum autis kemudian merencanakan seperti apa akan menangani anak autis mereka (Rachmayanti & Zulkaida, 2008).

Orangtua dapat memilih untuk menerima, atau sebaliknya menolak kehadiran anak autis mereka. Menjadi hal yang lazim jika orangtua menjadi kaget, kecewa, merasa bersalah, marah, menolak, dan malu ketika mendapati anaknya memiliki gangguan perkembangan yaitu autis (Kubbler-Ross dalam Sarasvati, 2004). Emosi yang dimunculkan oleh orangtua kebanyakan sifatnya adalah emosi negatif (Safaria, 2005). Emosi negatif tersebut membuat orangtua menyembunyikan anak autis dari masyarakat dan membatasi ruang lingkup sosialnya sebagai bentuk penolakan akan rasa malu terhadap kehadiran anak tersebut (Marijani, 2003). Penolakan orangtua pada anak mereka ditandai dengan adanya sikap dingin dan tidak menunjukkan kasih sayang, bermusuhan dan agresif, acuh tak acuh dan mengabaikan, serta menolak dan membeda-bedakan (Rohner, Khaleque & Cournoyer, 2007).

(25)

hasil dari pengalaman mereka dengan orangtua dan orang dewasa lainnya yang membuat kasih sayang mereka bersyarat di masa awal kanak-kanak. Artinya, anak belajar bahwa penerimaan mereka bergantung pada pembentukan perilaku dengan cara tertentu dan mengekspresikan emosi hanya dengan ekspresi tertentu. Ketika kasih sayang dan cinta tampak bersyarat, anak memunculkan dorongan dan perasaan negatif, dan konsep diri dan kepercayaan diri mereka menjadi terdistorsi/ menyimpang (Rogers dalam Karen, Verno & Vernoy, 2000). Orangtua yang menolak anak tidak mampu membangun serta melestarikan hubungan baik dengan anak tersebut. Kegagalan orangtua dalam menunjukan penerimaan pada anak mereka menyebabkan anak menjadi kurang percaya diri dan memandang diri mereka tidak berharga sehingga anak memilih untuk menutup diri dari lingkungannya dan menghambat perkembangan anak secara sosial.

(26)

umumnya bersosialisasi dengan baik, kooperatif, ramah, loyal, stabil secara emosi, dan gembira (Hurlock, 1989., Gulay, 2011). Anak yang diterima akan lebih mudah menyesuaikan diri, memiliki perkembangan sosial dan emosional yang sehat, dan memiliki kepercayaan diri yang positif (Kapur & Gill, 1986., Rohner, 2000., Rohner, Varan & Koberstein, 2010., Khaleque & Rohner, 2011a., Khaleque, Rohner & Rahman, 2011b., Ansari & Qureshi, 2013).

(27)

B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan positif dan signifikan antara penerimaan orangtua dan tingkat interaksi sosial anak autis?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara penerimaan orangtua dan tingkat interaksi sosial anak autis.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Sebagai masukan atau informasi untuk area Psikologi Klinis mengenai hubungan antara penerimaan orangtua dan tingkat interaksi sosial yang dimunculkan oleh anak autis dalam kesehariannya.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai sumbangan kepada orangtua dan tenaga profesional mengenai penerimaan orangtua dan tingkat interaksi sosial, sehingga bisa membantu anak untuk mengembangkan potensinya.

(28)

11

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penerimaan Orangtua

1. Definisi Penerimaan Orangtua

Penerimaan orangtua berarti kemampuan untuk menyatakan atau menjawab atau mengakui apa yang anak katakan tanpa mencoba untuk merubahnya. Ini juga berarti mendengarkan anak dan tidak meresponnya dengan pandangan orangtua, dengan saran atau anjuran, dengan strategi penyelesaian masalah, atau menggurui apa yang anak katakan. Selain itu, orangtua yang menerima berarti tidak merespon anak dengan mencela dan mengkritik (Eugster, 2007). Penerimaan orangtua mengacu pada kehangatan, kasih sayang, perawatan, kenyamanan, perhatian, pemeliharaan, dukungan, atau cinta yang dialami anak dengan orangtua atau pengasuh mereka (Rohner, Khaleque & Cournoyer, 2007).

2. Indikator Penerimaan Orangtua

(29)

Gambar 2

Indikator Penerimaan dan Penolakan Orangtua

Pada gambar di atas, Rohner (2005) memberi gambaran mengenai dimensi kehangatan orangtua yang mencakup penerimaan dan penolakan orangtua. Pada aspek kehangatan/ afeksi, terdapat penerimaan secara fisik dan verbal. Pada dimensi penolakan, terdapat empat aspek diantaranya adalah perilaku dingin secara fisik dan verbal, perilaku agresif/ bermusuhan secara fisik dan verbal, mengabaikan, dan membeda-bedakan anak.

(30)

emosinya, membangun komunikasi terbuka, dan mendengarkan dengan pikiran yang tenang terhadap konflik yang dialami anak. Hurlock (1989) mengatakan bahwa orangtua yang menerima melakukan aktivitas bersama anak seperti bermain, olahraga, melakukan perjalanan, melibatkan anak dalam pekerjaan rumah sehari-hari, memberikan sesuatu yang dibutuhkan, memperhatikan perkembangan prestasi dan minat anak serta memberikan kepercayaan, tidak mengharapkan terlalu banyak dan bertutur manis pada anak.

Berdasarkan penjelasan beberapa ahli di atas, penerimaan bisa ditunjukkan melalui ungkapan secara fisik, verbal, dan psikologis yang dirangkum dalam beberapa aspek sebagai berikut:

1. Penerimaan secara fisik mencakup ekspresi fisik orangtua kepada anak misalnya ditandai dengan memeluk, membelai, mencium, tersenyum, dan indikasi lainnya yang terkait dengan tindakan yang menunjukkan kasih sayang.

2. Penerimaan dalam bentuk ekspresi verbal ditandai dengan memuji, mengatakan hal-hal yang baik terkait dengan suatu hal, mengatakan hal-hal yang baik pada anak, atau gestur tertentu berdasarkan kultur tertentu.

(31)

Untuk memperjelas batasan mengenai penerimaan orangtua, Rohner (2005) mencantumkan indikasi untuk penolakan orangtua. Penolakan orangtua kepada anak mencakup empat aspek, yaitu adanya sikap dingin atau tidak adanya kasih sayang baik secara fisik maupun verbal, diantaranya:

1. Secara fisik, sikap ini ditandai dengan kurangnya pelukan, ciuman, kedekatan dengan anak. Secara verbal, sikap ini ditandai dengan kurangnya pujian dan perkataan yang baik terhadap anak.

2. Aspek penolakan orangtua lainnya muncul berupa adanya perilaku bermusuhan atau agresi secara fisik dan atau verbal. Secara fisik, muncul perilaku orangtua dimana mereka memukul, menendang, melukai, mendorong, dan mencubit anak. Sedangkan secara verbal, perilaku yang muncul berupa kutukan, sindiran, meremehkan, dan mengatakan hal yang tidak baik dan tanpa dipikirkan dahulu kepada anak.

3. Penolakan berupa adanya sikap yang acuh tak acuh atau mengabaikan anak. Sikap ini ditandai dengan ketidakhadiran orangtua secara fisik dan psikologis, serta tidak memerhatikan kebutuhan anak.

(32)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Orangtua

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses penerimaan orangtua terhadap anak autisme menurut Rachmayanti & Zulkaida (2008). Berikut ini adalah penjabarannya:

a. Dukungan keluarga. Orangtua akan terhindar dari merasa ”sendirian”, sehingga menjadi lebih ”kuat” dalam menghadapi

”cobaan” karena dapat bersandar pada keluarga besar mereka.

b. Keuangan keluarga yang memadai. Dengan kemampuan finansial yang lebih baik, makin besar pula kemungkinan orang tua untuk dapat memberikan beberapa terapi sekaligus, sehingga proses ”penyembuhan” juga akan semakin cepat.

c. Latar belakang agama yang kuat. Kepercayaan yang kuat kepada Tuhan membuat orang tua yakin bahwa mereka diberikan cobaan sesuai dengan porsi yang mampu mereka hadapi.

d. Dokter ahli yang simpatik. Apalagi jika dokter memberikan dukungan dan pengarahan kepada orangtua (atas apa yang sebaiknya mereka lakukan selanjutnya).

e. Tingkat pendidikan orangtua. Semakin tinggi tingkat pendidikan, relatif makin cepat pula orangtua menerima kenyataan dan segera mencari penyembuhan.

(33)

g. Sikap masyarakat umum. Makin rendahnya pengetahuan masyarakat umum akan kondisi kebutuhan khusus anak-anak ini, makin sulit bagi mereka untuk menerima ”kelainan” pada anak-anak ini. Namun, pada masyarakat yang sudah lebih ”menerima”, mereka berusaha

memberikan dukungan secara tidak berlebihan dengan menanyakan secara halus apakah orang tua perlu bantuan, memberikan senyuman kepada sang anak, dsb.

h. Kematangan usia orangtua. Hal ini memperbesar kemungkinan orang tua untuk menerima diagnosa dengan relatif lebih tenang. Dengan kedewasaan yang mereka miliki, pikiran serta tenaga mereka difokuskan pada mencari jalan keluar yang terbaik.

i. Sarana penunjang, seperti pusat-pusat terapi, sekolah khusus, dokter ahli, dan pusat konseling keluarga, merupakan saran penunjang yang sangat dibutuhkan oleh orang tua dalam mengasuh anak-anak dengan kebutuhan khusus.

B. Autisme

1. Definisi Autisme

Autistik berasal dari kata “Autos” yang berarti “Aku”. Dalam

pengertian yang harfiah dapat berarti terpusat pada diri sendiri (Monks dalam Yuwono, 2009). Berk (2003) menuliskan autistik dengan istilah “absorbed in the self” (keasyikan dalam dirinya sendiri). Sedangkan Wall

(34)

anak yang tidak tertarik pada dunia di sekitarnya. Kanner (dalam Yuwono, 2009) adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah autis untuk menunjukkan suatu gejala psikosis pada anak-anak yang unik dan menonjol yang disebut Sindrom Kanner. Ciri-ciri dari Sindrom Kanner itu sendiri antara lain ekspresi wajah yang kosong seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran dan tidak gampang bagi orang lain untuk berkomunikasi dan menarik perhatian mereka (Yuwono, 2009).

Anak autis adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan pervasif yang ditandai dengan tiga ciri utama, yaitu pengasingan yang ekstrim (extreme isolation) dan adanya ketidakmampuan untuk berhubungan dengan orang lain. Kedua, kebutuhan patologis akan kesamaan dan mutism atau cara berbicara yang tidak komunikatif termasuk ecolalia dan kalimat-kalimat yang tidak sesuai dengan situasi (Kanner dalam Kerig & Wenar, 2005).

Pada buku DSM IV-TR (1994) dijelaskan bahwa autisme adalah keabnormalan yang jelas dan gangguan perkembangan dalam interaksi sosial, komunikasi, dan adanya keterbatasan pada aktivitas dan minat. Gejala yang muncul pada tiap anak berbeda, sehingga manifestasi pada autisme dapat berganti-ganti didasarkan pada usia kronologis dan tingkat perkembangan individu autis.

(35)

bermain yang stereotipik dan berulang, memiliki rute ingatan yang kuat dan obsesif untuk mempertahankan keteraturan dalam lingkungannya.

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum gangguan autis merupakan gangguan yang mencakup hambatan pada aspek interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku. Anak autis sulit untuk membangun interaksi dengan orang lain dikarenakan keterpusatan mereka terhadap diri sendiri. Hal ini juga menyebabkan komunikasi mereka menjadi terbatas dan kurang “terasah”. Selain itu, anak

autis memiliki perilaku yang dianggap kurang normal pada anak seusia mereka yaitu adanya pengulangan kata, penggunaan kosakata yang tidak tepat, serta adanya rutinitas yang mereka lakukan secara terus-menerus.

2. Penyebab Autisme

Secara spesifik, faktor-faktor penyebab anak autistik belum ditemukan secara pasti, meskipun secara umum ada kesepakatan yang membuktikan ada keragaman tingkat penyebabnya. Hal ini termasuk adanya faktor genetik yang berperan dalam menurunnya autisme, gangguan metabolisme dan gangguan syaraf pusat, infeksi pada masa kehamilan, keracunan logam berat, hingga struktur otak yang tidak normal (Yuwono, 2009).

(36)

diberikan vaksinasi, tampak adanya perubahan terkait dengan perkembangan anak mereka. Mereka mengaku mendapati anak mereka dengan ciri-ciri autistik setelah diberikannya vaccination. Namun hal ini masih menjadi perdebatan dalam dunia medis (Yuwono, 2009).

Menurut Nakita (dalam Yusuf, 2003), ada dua penyebab yang melatar belakangi munculnya autisme, antara lain:

a. Faktor Psikogenik

Autisme diperkirakan muncul sebagai hasil dari pola asuh yang salah. Banyak kasus autisme dialami oleh keluarga menengah dan berpendidikan yang orangtuanya bersikap dingin dan kaku pada anak. Kanner mengatakan bahwa perilaku orangtua yang demikian kurang menstimulasi anak, sehingga perkembangan komunikasi dan interaksi sosial anak menjadi terhambat. Pendapat Kanner ini disebut dengan Teori Psikogenik, dimana penyebab autisme berasal dari faktor-faktor psikologis.

b. Faktor Biologis dan Lingkungan

(37)

darah. Kemudian berkembanglah penelitian yang mengarahkan perhatian pada faktor biologis, antara lain kondisi kehamilan ibu, kondisi lingkungan, perkembangan perinatal, komplikasi persalinan, dan genetik. Kondisi lingkungan lebih menekankan pada virus dan zat-zat kimia yang sifatnya beracun misalnya seperti asap pabrik, asap knalpot mobil, hingga zat yang terkandung dalam tambalan gigi ibu saat kehamilan. Zat pada tambalan gigi ibu menguap di dalam mulut yang kemudian uapannya dihirup oleh ibu secara tidak sadar. Hal ini mengakibatkan uapan tersebut terkandung pada tulang ibu. Pertumbuhan janin menjadi bayi di dalam kandungan menjadi terkontaminasi oleh uap dari zat berbahaya tersebut.

Hal lain diungkapkan oleh Acocella (dalam Lubis, 2009), dikatakan bahwa ada tiga perspektif yang dapat digunakan untuk menjelaskan penyebab autisme, antara lain:

a. Perspektif Psikodinamika

Dikatakan bahwa autisme disebabkan oleh karena adanya penolakan dari orangtua. Hal ini menyebabkan anak mampu merasakan perasaan negatif dari orangtua mereka. Anak merasa perilaku mereka hanya berdampak kecil bagi orangtua mereka yang tidak responsif. Sehingga, anak meyakini bahwa mereka tidak diinginkan. Hal ini memungkinkan anak untuk menciptakan “benteng kekosongan/ autisme” untuk melindungi diri mereka dari

(38)

b. Perspektif Biologis

1) Pendekatan Biologis

Dalam sebuah penelitian, antara 11 pasang monozigot kembar dan 10 pasang dizigot kembar. Ditemukan satu pasang yang merupakan gen autisme. Pada kelompok monozigot, 4 dari 11 memiliki gen autisme sedangkan pada dizigot tidak ada. Walaupun demikian, monozigot kembar tidak didiagnosa sebagai autisme, hanya mengalami gangguan bahasa atau kognisi.

2) Pendekatan Kromosom

Kromosom yang dapat menyebabkan autisme yaitu kromosom XXY dan sindrom fragile X. Namun, kromoson XXY tidak menunjukkan hubungan yang sekuat sindrom

fragile X.

3) Pendekatan Biokimia

Anak autis memiliki dopamin dan serotonin yang tinggi. Hal ini membuat perilaku-perilaku tertentu pada anak autis muncul sebagai akibat dari neurotransmitter yang berlebih di dalam tubuh mereka.

4) Gangguan Bawaan (herediter) dan Komplikasi

(39)

5) Pendekatan Neurologikal

Autisme disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak, dengan munculnya gejala sebagai berikut:

a) Terdapat gangguan perkembangan pada bahasa, tingkah laku motorik, kognitif, memiliki respon yang rendah atau bahkan sangat tinggi pada stimulus sensoris, dan menentang stimulus auditori dan visual.

b) Sistem syaraf menunjukkan abnormalitas seperti gangguan pada otot dan atau alat koordinasi, hiperaktif, mengeluarkan air liur.

c) Memiliki elektroencefalogram (EEG) yang abnormal. Penelitian EEG mengatakan bahwa anak autis tidak menunjukkan adanya respon dalam memperhatikan obyek atau stimulus bahasa.

d) Terdapat keabnormalan pada bagian cerebellum dan sistem limbik otak yang berpengaruh pada kognisi, emosi, memori, dan perilaku. Sistem limbik pada anak autis lebih kecil dan menggumpal di beberapa area, bagian dendrit syarafnya pun lebih pendek dan kurang lengkap.

c. Perspektif Kognitif

(40)

menyatakan input terhadap alat perasa. Contohnya, memberi respon yang rendah atau bahkan sangat tinggi terhadap suara. 2) Sensori persepsi juga memiliki pengaruh yang signifikan,

dimana anak autis tidak memberikan respon pada stimulus suara. Anak autis mengalami gangguan berbahasa seperti aphasia (kehilangan kemampuan untuk menggunakan atau memahami kata-kata) karena kerusakan otak. Tetapi, pada perspektif ini, lebih ditekankan bahwa tidak adanya respon pada stimulus suara disebabkan karena masalah perseptual. 3) Anak autis sangat over selektif dalam memperhatikan sesuatu.

Mereka hanya dapat memproses dan merespon satu stimulus dalam satu waktu, dan hal ini juga terkait dengan masalah perseptual.

4) Anak autis tidak mampu mengolah sesuatu di dalam pikiran mereka, misalnya tidak mampu memperkirakan dan memahami perilaku yang mendasari suatu obyek.

3. Kriteria Diagnostik Autisme

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Autisme: 299.00 (APA, 1994). Enam atau lebih gejala dari (1), (2), dan (3) dengan paling sedikit dua dari (1), dan satu dari (2), dan (3).

(41)

1) Gangguan dalam perilaku nonverbal misalnya kontak mata, ekspresi wajah, postur tubuh, dan gestur untuk mengatur interaksi sosial.

2) Kegagalan dalam mengembangkan relasi teman sebaya yang sesuai dengan tingkat perkembangan.

3) Kurangnya spontanitas untuk berbagi kesenangan, minat, atau prestasi dengan orang lain (misalnya: kurang dalam menunjukkan, membawa, atau menunjuk obyek yang menarik).

4) Kurangnya hubungan timbal balik sosial atau emosi.

b. Gangguan kualitatif komunikasi yang terlihat paling tidak satu dari gangguan berikut:

1) Perkembangkan bahasa lisan (berbicara) terlambatan atau sama sekali tidak berkembang (tidak disertai usaha untuk mengimbangi melalui komunikasi dengan cara alternatif seperti gestur dan mimik).

2) Bila anak bisa berbicara, ditandai dengan kerusakan pada kemampuan untuk memulai atau mempertahankan percakapan dengan orang lain.

(42)

4) Kurangnya variasi, spontanitas dalam permainan imajinatif

atau permainan meniru sesuai dengan tahap

perkembangannnya.

c. Dibatasi pola perilaku repetitif dan stereotip, serta minat dan kegiatan yang terbatas dimanifestasikan dalam satu dari gejala berikut:

1) Meliputi keasyikan dengan satu atau lebih stereotip dan keterbatasan minat yang abnormal juga pada intensitas anak untuk fokus.

2) Tampak tidak fleksibel untuk bertahan pada sesuatu yang spesifik, bersifat rutin atau ritual.

3) Gerakan motorik yang stereotip dan berulang (misalnya: mengepakkan jari atau membelok-belokkan (twisting) tangan; menggerakkan badan secara kompleks).

4) Keasyikan yang menetap pada bagian dari obyek tertentu. d. Keterlambatan atau adanya fungsi abnormal pada minimal satu dari

aspek ini, dengan onset sebelum tiga tahun: (1) Interaksi sosial, (2) Bahasa yang digunakan untuk komunikasi sosial, (3) Bermain simbolis atau imajinatif.

(43)

C. Interaksi Sosial Pada Anak Autis

1. Definisi Interaksi Sosial

Interaksi sosial merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Kodrat manusia sebagai makhluk sosial mengharuskan kita untuk berinteraksi satu sama lain untuk kebutuhan tertentu. Menurut Boner & Kelley (dalam Sugiarto, Prambahan, Sarwindah & Pratitis, 2004), interaksi sosial adalah hubungan antara dua individu atau lebih, sehingga individu yang satu akan mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki perilaku individu yang lain atau sebaliknya serta saling tergantung untuk mencapai hasil yang positif. Interaksi sosial merupakan suatu proses perhatian dan respon seseorang terhadap rangsangan atau stimulus orang lain dan dapat terjadi bila memenuhi dua aspek yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi (Mar’at, 1982).

2. Hambatan Interaksi Sosial pada Anak Autis

(44)

teman sebayanya dan kurang spontanitas untuk berbagi kesenangan dengan orang lain serta kurangnya hubungan timbal balik sosial dan emosi.

(45)

kesulitan memproses informasi emosional seperti gestur, bahasa tubuh, ekspresi wajah, atau suara. Anak autis pra sekolah tidak memahami isyarat emosional yang diberikan orang lain seperti tersenyum, tertarik, bahagia, kecewa, dsb. Di samping itu, anak autis menunjukkan emosi melalui ekspresi badan yang berbeda dengan anak normal, yang sering dikarakteristikan dengan spontanitas yang terbatas dalam menggunakan gestur ekspresif, aneh, kaku, atau ekspresi wajah yang mekanis (Mash & Wolfe, 2007).

Adapun perbedaan interaksi sosial anak autis dengan anak normal seperti yang dijabarkan oleh Carlton (1993) adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1.

Tabel Perbedaan Perkembangan Interaksi Sosial Anak Normal dan Anak Autis

Usia Anak Normal Anak Autis

1 bulan

Ada kontak mata dan ekspresi wajah bila bertemu dengan ibunya kontak mata bila diberi makan

Tidak ada ekspresi senyum, walaupun ada sangat terbatas, ada rasa cemas terhadap orangtua dan orang lain

7 bulan

Merasa senang berinteraksi dengan orangtua dan orang-orang yang dikenal, serta merasa malu bila bertemu dengan orang yang baru dikenalnya

Sama seperti perkembangan sosial pada usia 2,5 bulan atau stagnasi

12 bulan

Mencari dan menikmati perhatian orangtua, seperti bermain dan belajar serta suka meniru perilaku orang dewasa

Melakukan segala sesuatu tanpa tujuan yang jelas seperti berjalan, berlari, dan melompat-lompat

18 bulan

Ada kelekatan dengan orangtua, mampu berimajinasi, menikmati rutinitas walaupun ada perubahan sebagai bentuk perhatian dan perlindungan orangtua

Sangat menolak perubahan yang berakibat tantrum

3 tahun

Mulai bermain dengan teman sebaya dan mengembangkan rasa ingin tahu dengan mengamati segala sesuatu di sekelilingnya

Mengasingkan diri dari keluarga dan menikmati rutinitas serta menolak segala perubahan

6 tahun

Mulai mandiri, orientasi aktivitas bermain dengan teman sebaya

(46)

Berdasarkan tabel di atas, anak autis berkembang lebih lambat dibandingkan dengan anak normal seusia mereka. Pada usia 6 tahun, anak autis kurang mengembangkan aktivitas sosialnya sehingga interaksi sosial mereka kurang berkembang bahkan mereka bisa sama sekali tidak merespon stimulus dari orang lain (Gonzales & Kamps dalam Sugiarto, Prambahan, Sarwindah & Pratitis, 2004).

3. Faktor-faktor yang Dapat Meningkatkan Interaksi Sosial Anak Autis

a. Keterlibatan Teman sebaya

Teman sebaya dapat meningkatkan perilaku sosial yang positif bagi anak autis dan selama proses bermain. Melalui teman sebaya ini maka anak autis belajar untuk meniru (modeling) berbagai macam interaksi sosial yang dilakukan oleh teman sebaya (Shafer, Egel & Neef, 1984., Rollins, Wambacq, Dowell, Mathews & Reese 1998., Serene & Nieminem, 2005., Wang & Spillane, 2009).

b. Keikutsertaan Anak dalam Psikoterapi

(47)

dapat meningkatkan interaksi antara anak dan teman sebayanya (Roswita & Wahyuni, 2011., Krantz & McClannahan, 1998). Pada metode lovaas/ ABA dalam hal memunculkan respon pada anak autis, dapat dilakukan dengan memberikan reward jika anak mampu merespon dengan baik. Metode ini dapat meningkatkan kepatuhan, keterampilan anak dalam meniru, dan membangun kontak mata (Krantz & McClannahan, 1998., Yuwono, 2009). Adapula metode

(48)

c. Peran Aktif Orangtua

Dalam beberapa pendapat ahli, peran orangtua dalam hal meningkatkan interaksi sosial anak autis dapat dilakukan dengan menciptakan lingkungan yang menyenangkan bagi anak dan mengajari anak hal-hal yang simpel dan mudah (White, Keonig & Scahill, 2006., Jonovich, 2007). Memberikan reward dan mengajak anak melakukan aktivitas bersama juga membantu anak berinteraksi (Baker, 2010). Selain itu, menerima anak autis sepenuhnya diyakini mempengaruhi perkembangan sosial bagi anak autis (Wijayakusuma, 2004., Rohner, 2000).

4. Upaya Penanganan untuk Menyejahterakan Anak Autis

Intervensi dini pada anak autis penting dilakukan mengingat fungsi utamanya adalah untuk membantu anak mencapai keberhasilan dan kemajuan atas perkembangannya. Fungsi ini lebih bersifat perbaikan dan mengurangi dampak buruk dari perilaku anak. Intervensi dini sebaiknya dilakukan secara intensif, kontinyu, integratif, dan melibatkan tim ahli (Yuwono, 2009). Wijayakusuma (2004) mengatakan ada beberapa hal yang dilakukan untuk penanganan anak autis, antara lain:

a. Diet

(49)

alergi dan intoleransi terhadap makanan dengan kadar zat tinggi. Efeknya, zat makanan yang seharusnya membentuk neurotransmitter untuk menunjang kesinambungan kerja sistem saraf, justru dalam tubuh anak autis diubah menjadi zat lain yang bersifat meracuni. Beberapa kandungan dalam makanan akan memperburuk kondisi anak autis. Oleh karena itu, menjadi penting untuk menyeimbangkan kandungan-kandungan dalam tubuh anak melalui asupan yang tepat. Hal ini akan menjaga kesinambungan kemampuan bicara dan mendengar anak.

b. Perbaikan Neurotransmitter

(50)

c. Dukungan Orangtua

Diyakini bahwa perhatian, cinta kasih, dan ungkapan sayang dari orangtua memberikan efek terapeutik tersendiri bagi anak dalam proses penyembuhannya. Hal ini menjadi sesuatu yang sangat penting karena tak sedikit orangtua yang bersikap acuh tak acuh terhadap anak autis. Akibatnya, perkembangan yang dicapai anak pun sangat rendah karena kurangnya partisipasi orangtua. Terkait dengan hal ini, ada suatu kepercayaan di antara pihak psikoanalis dan psikiatri bahwa keterlibatan orangtua secara penuh dalam proses penyembuhan akan menumbuhkan perbaikan emosional yang lebih optimal dan hal ini akan menciptakan dorongan bagi anak autis untuk bisa terlepas dari beban penderitaan maupun perasaan depresif yang mereka alami.

d. Psikoterapi

Psikoterapi merupakan terapi khusus bagi anak autis yang dalam pelaksanaanya harus melibatkan peran aktif dari orangtua. Berikut psikoterapi yang dimaksud:

1) Perbaikan stimulus reseptor indera penglihat

Terapi ini berfokus pada ransangan-rangsangan indera penglihatan.

2) Perbaikan stimulus reseptor indera pendengar

(51)

merangsang ketajaman indera pendengar dan sensitivitas terhadap ragam gelombang bunyi.

3) Perbaikan stimulus refleks motorik

Psikoterapi ini berfokus pada gerakan-gerakan olah tubuh dan bermain.

4) Perbaikan stimulus reseptor indera peraba

Psikoterapi untuk memperbaiki reseptor indera peraba mencakup permainan yang merangsang indera peraba anak. 5) Eliminir perilaku stereotip

Perilaku stereotip menjadi simptom umum yang ditemui dari anak autis. Hal inilah yang menjadi dasar pentingnya pemberian stimulasi terapi yang dapat mengeliminir perilaku stereotip anak secara perlahan-lahan.

6) Perbaikan stimulus reseptor rasa sakit

Begitu penting untuk mengajari anak untuk mengenal berbagai sensitivitas rasa yang beragam, termasuk salah satunya memberi rangsangan sensasi rasa sakit pada anak. 7) Perbaikan stimulus reseptor rasa gatal dan geli

(52)

8) Perbaikan stimulus reseptor rasa dingin dan hangat

Untuk perbaikan kemampuan mengindera, perlu dilakukan perbaikan pada fungsi sensorik-motoriknya terlebih dahulu yang berpusat pada sistem saraf.

9) Perbaikan penginderaan

Pada tahap akhir psikoterapi ini terdapat teknik tertentu yang dapat merangsang sinergi pada reseptor penginderaan anak dengan merangsang anggota gerak tubuh anak.

D. Dinamika Hubungan Antara Penerimaan Orangtua Dan Tingkat

Interaksi Sosial Anak Autis

Ellen (dalam Supartini, 2009) mengatakan sikap mencintai dan menerima dari orangtua kepada anak adalah dasar dari semua interaksi dengan anak. Anak yang diterima umumnya bersosialisasi dengan baik, kooperatif, ramah, loyal, stabil secara emosi, dan gembira (Hurlock, 1989). Sebagaimana dijelaskan, penerimaan orangtua memberikan dampak positif terhadap perkembangan interaksi sosial anak untuk dapat mengenal orang lain dan lingkungan lain diluar dirinya.

(53)

kemudian mencari tahu bagaimana keadaan dan cara menangani anak mereka melalui informasi yang bisa didapat oleh para ahli yaitu dokter, psikolog, atau pakar lain yang bersangkutan.

Gambaran orangtua yang menerima anak autis dijabarkan dalam sebuah skripsi dengan metode kualitatif oleh Rachmayanti & Zulkaida (2008). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Orangtua akan memahami keadaan anak (positif dan negatif serta kelebihan dan kelemahan) dan mencari tahu bagaimana cara yang tepat untuk mengasuh anak.

2. Orangtua yang menerima akan memahami kebiasaan-kebiasaan anak. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan tingkah laku anak sehari-hari melalui pengamatan langsung maupun dari pengasuh anak. 3. Orangtua kemudian menyadari apa yang belum bisa dilakukan anak.

Untuk menangani kelemahan anak tersebut, orangtua bisa berkonsultasi dengan dokter, psikolog, terapis, dan ahli yang menangani anak dalam rangka mengevaluasi kondisi anak.

(54)

5. Orangtua mengupayakan alternatif penanganan sesuai dengan kebutuhan anak. Tidak semua anak menunjukkan karakteristik yang sama. Oleh karena itu, penanganan sesuai dengan kebutuhan menjadi penting untuk perkembangan optimal anak.

Dari pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa orangtua yang menerima memberi kesempatan pada anak untuk mengembangkan pola keterikatan antara orangtua dan anak yang baik dengan memahami keadaan anak secara menyeluruh. Anak yang diterima mendapat pemahaman dan penanganan dari orangtua untuk mengembangkan aspek yang kurang pada anak sehingga bermanfaat memperbaiki keterbatasan anak itu sendiri.

Dinamika tersebut dapat digambarkan dengan skema alur pada gambar berikut:

Gambar 3

Skema Hubungan Penerimaan Orangtua dengan Tingkat Interaksi Sosial Anak Autis

Anak autis memiliki hambatan pada tiga aspek yaitu komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku. Berdasarkan skema di atas, yang menjadi

Autisme

Gangguan Komunikasi Gangguan Interaksi Sosial

Gangguan Perilaku (Stereotip & Repetitif)

Anak autis merasa nyaman, dihargai & lebih percaya diri Membantu kemajuan motorik

(55)

pertanyaan adalah apakah penerimaan orangtua memiliki hubungan dengan tingkat interaksi sosial anak autis mengingat mereka memiliki kesulitan berinteraksi di lingkungan sehari-hari.

Orangtua yang memahami anak akan memperlakukan anak dengan tepat. Pemahaman orangtua terhadap perilaku anak autis akan membuat anak merasa nyaman dan dihargai (Wijayakusuma, 2004., Jonovich, 2007., Rachmayanti & Zulkaida, 2008). Orangtua yang mengupayakan penanganan akan membantu proses pendidikan anak dan membantu kemajuan motorik kasar dan halus pada anak autis. Hal ini dapat membantu anak untuk lebih mandiri dan percaya diri karena mereka dilatih untuk melakukan segala sesuatunya sendiri. Selain itu, hal ini juga membantu perkembangan akademik karena anak akan belajar lebih banyak melalui upaya-upaya orangtua tersebut (White, Keonig & Scahill, 2006., Astuti, 2007., Novia & Kurniawan, 2007). Mencari Informasi seputar autis penting dilakukan karena orangtua dapat menentukan terapi apa yang paling sesuai untuk anak mereka. Sebagai hasilnya, anak akan mengembangkan potensi dirinya yang belum berkembang dengan baik. Selain itu, informasi yang didapat bisa pula berupa mengenai asupan yang sesuai dengan kondisi anak. Diet pada anak autis akan meredam agresifitas terkait dengan sensitivitas anak autis pada zat tertentu (Yuwono, 2009).

(56)

ditolak. Penjelasan untuk hal ini adalah karena orangtua yang menerima akan meningkatkan keingintahuan anak dalam mengeksplor dan memanipulasi obyek dan gagasan di lingkungan. Selain itu, anak yang diterima juga akan menunjukkan kejujuran, pandai mengungkapkan pikirannya, dan kooperatif (Hurley, 1965). Secara afektif dan perilaku, anak yang diterima stabil secara emosi dan gembira, ramah, memiliki sosialisasi yang baik, mudah menyesuaikan diri, dan memiliki kepercayaan diri yang positif (Kapur & Gill, 1986., Hurlock, 1989., Rohner, 2000., Rohner, Varan & Koberstein, 2010., Khaleque & Rohner, 2011a., Khaleque, Rohner & Rahman, 2011b., Ansari & Qureshi, 2013).

Dari uraian di atas, perilaku orangtua dalam hal ini adalah penerimaan, membuat anak dan orangtua memiliki interaksi yang baik. Interaksi antara orangtua dan anak ini kemudian menjadi bekal bagi anak untuk memiliki hubungan baik dengan orang lain di luar rumah. Hubungan baik tersebut bisa berupa interaksi sosial anak dengan teman-temannya baik di rumah maupun di lingkungan yang lebih luas lagi. Interaksi sosial merupakan salah satu kemampuan wajib yang harus dimiliki anak autis agar mereka mampu berkembang dengan baik kedepannya.

E. Hipotesis

(57)

40

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan unsur yang tidak bisa dipisahkan dalam penelitian ilmiah karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut bisa dipertanggunggjawabkan atau tidak hasilnya (Hadi dalam Lubis, 2009). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan tujuan penelitian yaitu untuk melihat hubungan antar dua variabel. Adapun penjabaran metode-metodenya sebagai berikut.

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif korelasional. Penelitian korelasional merupakan penelitian untuk mendeteksi sejauh mana variabel suatu faktor berkaitan dengan variabel pada faktor lain (Suryabrata, 2006). Dalam penelitian ini penelitian korelasional digunakan untuk melihat pola hubungan antara penerimaan orangtua dan tingkat interaksi sosial anak autis.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

(58)

orangtua dan tingkat interaksi sosial anak autis dengan rincian sebagai berikut:

1. Variabel bebas (x) : Penerimaan Orangtua Anak Autis 2. Variabel tergantung (y) : Interaksi Sosial pada Anak Autis

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Penerimaan orangtua

Penerimaan orangtua merupakan kemampuan untuk memahami kondisi anak secara menyeluruh. Penerimaan orangtua mengacu pada kehangatan, kasih sayang, perawatan, serta membuat anak merasa diterima dan nyaman. Penerimaan orangtua dalam penelitian ini diungkap melalui skala penerimaan orangtua yang mencakup penerimaan secara fisik, verbal dan psikologis (Rohner, Khaleque & Cournoyer, 2007., Astuti, 2007., Hurlock, 1978). Semakin tinggi total skor yang diperoleh individu maka akan menunjukkan penerimaan yang semakin baik, sebaliknya jika total skor penerimaan yang diperoleh individu rendah maka menunjukkan penerimaan yang buruk.

2. Interaksi Sosial

(59)

menggunakan pencatatan kejadian (event recording). Daftar perilaku yang diobservasi didasarkan pada indikator-indikator interaksi sosial anak autis yang observable dari DSM IV-TR Indikator-indikator tersebut sebelumnya diobservasi melalui observasi awal dengan penjabaran sebagai berikut:

a) Kontak mata

Merupakan pandangan/ tatapan, ialah bagaimana dan berapa sering kita melihat pada orang lain dan dengan siapa kita berkomunikasi.

b) Gestur atau gerak isyarat

Merupakan gerak tangan, lengan, dan jari-jari yang kita gunakan untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu. Gestur dapat berupa emblem (tidak diikuti kata-kata) dan adopters (terjadi tanpa disadari untuk merespon kebutuhan fisik) (Budyatna & Ganiem, 2011).

c) Ekspresi wajah

Merupakan pengaturan dari otot-otot muka untuk berkomunikasi dalam keadaan emosional (gembira, sedih, takut, marah, muak, dsb.) atau reaksi-reaksi terhadap pesan-pesan. d) Menghampiri untuk menyapa teman

(60)

seorang atau sekelompok orang baik dari kejauhan maupun dari jarak yang dekat.

e) Menunjuk pada obyek yang menarik

Perilaku ini mengacu pada penggunaan jari-jari tangan untuk menunjuk sesuatu atau mengarahkannya pada obyek yang dianggap menarik perhatian anak.

f) Merespon saat orang lain tersenyum

Mengacu pada adanya perubahan raut wajah saat menerima rangsangan sebagai bentuk respon anak pada obyek atau orang lain. Perubahan raut wajah dalam penelitian ini berupa senyuman anak ketika mereka merespon orang yang tersenyum pada mereka.

D. Subyek Penelitian

(61)

Adapun jenis teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Purposive Sampling. Purposive Sampling adalah teknik menentukan sampel dengan pertimbangan khusus sehingga layak untuk dijadikan sampel (Noor, 2011). Adapun sampel yang digunakan dalam penelitian harus mempunyai karakteristik berikut:

1. Anak autis yang bersekolah di Sekolah/ Yayasan Autis. Alasan pemilihan subyek autis yang bersekolah adalah karena penelitian ini membutuhkan setting relasi sosial. Dengan kata lain, peneliti ingin melihat interaksi sosial anak dengan lingkungan di luar rumah pada saat anak beristirahat, karena pada saat itu anak berinteraksi dengan teman-teman dan atau guru mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Payton, Wardlaw, Graczyk, Bloodworth, Tompset & Weissberg (2000) yang mengatakan bahwa sekolah adalah setting sosial dimana para murid diajarkan untuk berkelompok dan diharapkan untuk belajar bagaimana berinteraksi secara efektif dengan teman sebaya dan guru.

(62)

Freud (dalam Santrock, 2002) mengatakan bahwa usia 6 sampai masa puber merupakan tahap laten atau tersembunyi pada anak-anak dimana mereka menekan semua minat terhadap seks dan lebih mengembangkan keterampilan sosial dan intelektual. Oleh karena itu, peneliti memutuskan untuk melihat usia interaksi terbanyak yang dialami anak-anak yaitu pada usia 6-11 tahun.

E. Persiapan Alat Ukur

1. Penerimaan Orangtua

a. Rancangan 1) Metode

(63)

Sulistyastuti 2007). Selain itu, peneliti tidak harus bertemu langsung dengan responden, tetapi cukup dengan mengajukan pertanyaan atau pernyataan secara tertulis untuk mendapatkan respon (Hadjar dalam Taniredja & Mustafidah, 2011). Melalui metode kuesioner, subyek menentukan respon dengan cara menulis sesuatu untuk tujuan yang bersifat spesifik (McMillan

et al dalam Taniredja & Mustafidah dkk, 2011). Metode ini sederhana dan mudah, dan lebih menjamin kerahasiaan identitas responden (Widi, 2010).

2) Skoring

Masing-masing item di dalam skala memiliki empat pilihan kategori untuk menunjukkan frekuensi kejadian, diantaranya adalah (SL) Selalu, (SR) Sering, (JR) Jarang, dan (TP) Tidak Pernah. Nilai masing-masing kategori bergerak dari1-4, bobot penilaian untuk masing-masing pernyataan yaitu SL = 4, SR = 3, JR = 2, dan TP = 1. Kategori tengah atau netral dihilangkan untuk mencegah munculnya central tendency, yaitu responden memberikan jawaban di tengah-tengah jika responden ragu.

3) Blue Print

Isi skala penerimaan orangtua dapat dilihat dari blue print

(64)

Tabel 3.1.

Blue Print Skala Penerimaan Orangtua

Aspek Komponen Penerimaan Orangtua Kategori Jumlah

% Merasa senang dalam merawat anak

Membuatkan makanan kesukaan anak

Memastikan diet yang sesuai untuk autisme Memberikan perhatian lebih ketika anak sakit

Melakukan aktivitas bersama Memberikan pujian pada anak saat melakukan hal yang

baik

Memberikan nasihat pada anak untuk melakukan hal-hal yang baik

Memberikan saran jika anak melakukan kesalahan Menunjukkan kasih sayang

Menyatakan sayang pada anak

Memberikan persetujuan kepada anak misalnya ketika anak ingin bermain

Mendengarkan apa yang anak katakan

Mengenalkan obyek-obyek di lingkungan kepada anak Membanggakan anak

Menceritakan hal baik pada orang lain tentang kondisi

anak

Membanggakan anak pada orang lain

Memperkenalkan anak dengan lingkungan di luar rumah

Menyatakan bahwa kehadiran anak begitu penting pada orang lain

Mengajak anak untuk berkomunikasi

Menanyakan apa yang anak butuhkan

Menanyakan kondisi anak

(65)

Berbicara pada anak dengan penuh kasih sayang

Memperhatikan perkembangan kemampuan anak di sekolah

Memperhatikan lingkungan di sekitar anak Memperhatikan kemajuan prestasi anak Dukungan

Mengajari anak melakukan hal yang belum bisa dilakukan

Memberikan fasilitas yang dibutuhkan anak

Mengajari anak untuk bisa melakukan keperluan sehari-hari sendiri

Mengajari anak bertanggung jawab dengan memberikan pekerjaan rumah yang dapat anak lakukan

Mencari informasi mengenai apa yang dibutuhkan anak Mencari informasi terkait dengan autisme

Mencari tahu kelebihan anak Mencari tahu kekurangan anak Mencari tahu apa yang disukai anak Mencari tahu apa yang tidak disukai anak Menanyakan perkembangan anak kepada guru Tertarik dengan ruang lingkup anak

Tertarik dengan aktivitas yang anak lakukan Turut memberi perhatian pada lingkungan (teman-teman) di sekitar anak

Membiarkan anak untuk melakukan apa yang disukai anak selama itu tidak membahayakannya

Peduli dengan siapa anak berteman

b. Uji Coba 1) Validitas

(66)

2) Reliabilitas

Reliabilitas mengacu pada sejauh mana suatu pengukuran mampu memberikan hasil yang relatif tidak berbeda bila dilakukan pengukuran kembali terhadap subyek yang sama (Azwar, 2011). Reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini dicari dengan menggunakan rumus alpha Cronbach yang dihitung dengan bantuan aplikasi SPSS versi 16.

3) Daya beda

Komputasi pada pengujian daya beda menghasilkan koefisien korelasi item total (rix) yang dikenal dengan sebutan

parameter daya beda item. Kriteria pemilihan item berdasarkan korelasi item dengan menggunakan batasan rix ≥ 0.30.

Masing-masing item yang mencapai korelasi minimal 0.30 memiliki daya beda yang tinggi. Item yang memiliki nilai ≤ 0.30

memiliki daya beda yang rendah. Penelitian ini menggunakan batasan rix 0.30.

c. Hasil Uji Coba

(67)

2. Interaksi Sosial

a. Rancangan 1) Metode

(68)

2) Daftar perilaku target

Perilaku interaksi sosial yang akan diamati mengacu pada beberapa indikator perilaku dari DSM IV-TR. Berikut blue print

alat pencatatan data interaksi sosial pada anak autis:

Tabel 3.2.

Blue Print Alat Pencatatan Data Interaksi Sosial Event #1

Setting Tgl Observer ___________

Nama anak _______________ Kelas_____________ Jenis Kelamin _______

Waktu Mulai _______ Waktu Akhir _______ Total Waktu _________

*Perilaku Interaksi Sosial

No Perilaku Jumlah Perilaku

1 Kontak mata

2 Gestur/ gerak isyarat

3 Ekspresi wajah

4 Menghampiri untuk menyapa teman

5 Menunjuk pada obyek yang menarik

6 Merespon saat orang lain tersenyum

Metode observasi ini mengukur tinggi rendahnya tingkat perilaku berdasarkan indikator perilaku yang tampak pada anak autis. Indikator tersebut berupa kontak mata, gestur, ekspresi wajah, spontanitas dalam berinteraksi, hingga emosi yang muncul saat merespon situasi tertentu.

Peneliti bertindak sebagai observer yang melakukan pengamatan pada tiap anak bersama observer lainnya. Observasi dilakukan berdasarkan waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Observasi ini dicatat dengan menggunakan turus (tally) untuk masing-masing perilau yang muncul pada anak autis.

b. Kredibilitas Data Observasi

(69)

kalkulasi Event Recording. Percentage Agreement dengan cara menghitung kesepakatan pada keseluruhan observasi digunakan untuk melihat persentase kesepakatan antarobserver dalam mengobservasi perilaku yang sama. Jenis relaiabilitas ini digunakan sebagai preliminary check untuk melihat kecakapan dalam merekam observasi. Selain itu, teknik ini berguna karena mudah dihitung, diinterpretasi, dan kepekaannya pada bias dan sistematik eror (Sattler, 1992). Berikut cara menghitung reliabilitas dengan menggunakan Percentage Agreement pada Event Recording:

%AIR tot = ×100

%AIR tot = Persentase kesepakatan untuk keseluruhan jumlah observasi

A tot = Jumlah kesepakatan antarobserver pada perilaku yang muncul dan tidak

muncul

D = Jumlah ketidaksepakatan atarobserver pada perilaku yang muncul dan tidak

muncul

Nilai reliabilitas yang muncul antarobserver pada alat ukur interaksi sosial adalah sebesar 90.09%. Angka ini menunjukkan nilai yang memuaskan atau reliabel karena mendekati 100%.

Tabel 3.3.

Hasil Reliabilitas Indikator Interaksi Sosial

(70)

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, ada beberapa persiapan yang dilakukan peneliti guna kelancaran saat penelitian dilaksanakan. Adapun persiapannya adalah sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan

a. Persiapan Alat

Sebelum melakukan penelitian terlebih dahulu peneliti merancang aspek masing-masing variabel. Aspek dari penerimaan orangtua dan interaksi sosial anak autis disusun berdasarkan teori-teori yang ada. Skala penelitian untuk penerimaan orangtua dibuat berdasarkan teori Rohner, Khaleque & Cournoyer (2007), Astuti (2007), dan Hurlock (1978) mengenai penerimaan orangtua. Jumlah item pada skala disesuaikan dengan aspek penerimaan. Sedangkan untuk skala interaksi sosial, indikator dirancang berdasarkan DSM IV TR. Jumlah indikator disusun dengan pertimbangan akan overlap jika terlalu banyak indikator.

b. Persiapan Subyek

Subyek penelitian ditentukan berdasarkan variabel yang ingin diteliti. Dalam penelitian ini, subyek yang digunakan adalah anak autis berusia 6-11 tahun yang bersekolah di yayasan atau sekolah di Yogyakarta dan Balikpapan. Sebelum menyebarkan kuesioner untuk orangtua dan observasi untuk anak, terlebih dahulu peneliti melakukan

(71)

melakukan briefing kepada orangtua dengan menjelaskan mengenai skala penelitian dan cara mengisi skala. Sedangkan kepada guru, peneliti melakukan briefing terkait indikator yang akan diobservasi.

2. Tahap Pelaksanaan

a. Skala Penerimaan Orangtua 1) Preliminary

Alat ukur yang digunakan dalam skala penerimaan orangtua dibuat berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Rohner, Khaleque & Cournoyer (2007), Astuti (2007), dan Hurlock (1978). Skala penerimaan orangtua yang digunakan peneliti terdiri dari 51 item yang dibuat dalam bentuk booklet dengan ukuran kertas A4. Masing-masing item terdiri dari empat kategori pilihan jawaban yaitu (SL) Selalu, (SR) Sering, (JR) Jarang, dan (TP) Tidak Pernah. Skala penerimaan orangtua terlebih dahulu diujikan kepada beberapa orangtua untuk melihat apakah ada kalimat yang sulit dipahami (preliminary). Preliminary dilakukan pada tanggal 19-20 November 2013 kepada 5 orang ayah/ ibu yang memiliki anak normal. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada item yang sulit untuk dipahami. Skala disusun dalam bentuk booklet dengan ukuran kertas A4.

2) Uji coba

(72)

anaknya. Pada salah satu sekolah peneliti menitipkan skala kepada pihak sekolah untuk disebarkan kepada orangtua murid yang anaknya dikenai observasi. Peneliti menyebarkan kuesioner kepada total 74 responden orangtua yang berada di SLB Autis dan Hiperaktif Citra Mulia Mandiri dan SLBN Balikpapan. Setelah dianalisis, tidak ada item yang gugur dalam penelitian ini karena keseluruhan item sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Sekolah-sekolah ini dipilih karena kesediaan para orangtua sebagai responden untuk memberikan data dan mengisi kuesioner.

b. Observasi Interaksi Sosial Anak Autis 1) Pra observasi

Observasi Interaksi sosial dibuat berdasarkan kriteria yang terdapat pada DSM IV TR. Observasi interaksi sosial diuji dengan melakukan pra observasi pada tanggal 20-22 November 2013 dengan interobserver yang ditunjuk oleh SLB Citra Mulia Mandiri dan pada tanggal 12-13 Desember 2013 dengan interobserver yang ditunjuk oleh SLBN Balikpapan untuk membantu.

2) Pencatatan Observasi

(73)

2014 pada dua sekolah dibantu oleh guru sebagai observer yang ditunjuk sekolah.

3. Tahap Analisis Data

Keseluruhan data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan

Pearson’s Product-Moment dengan bantuan aplikasi SPSS versi 16.

Signifikansi tes menggunakan signifikansi 1% atau pada level 0.01 (1-tailed).

a. Hasil Analisis Aitem Skala Penerimaan Orangtua

Untuk aitem penerimaan orangtua dianalisis dengan menggunakan SPSS versi 16 dengan melihat korelasi aitem total (rix). Dari total 51 aitem, tidak ada aitem yang gugur dengan

batasan rix minimal ≤ 0.30 (terdapat pada Lampiran).

b. Hasil Analisis Indikator Observasi Interaksi Sosial

(74)

57

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penyebaran kuesioner dan observasi dilakukan pada tanggal 20 November – 4 Januari 2014 pada dua sekolah. Sekolah tersebut adalah SLB Autis dan Hiperaktif Citra Mulia Mandiri dan SLBN Balikpapan. Atas izin sekolah, peneliti membagikan kuesioner secara mandiri saat orangtua sedang berada di sekolah. Setting penelitian untuk skala interaksi sosial dilakukan dengan meminta kesediaan sekolah untuk menunjuk salah satu guru yang bersedia menjadi observer 2 yang membantu peneliti melakukan observasi terhadap anak-anak autis di sekolah tersebut saat jam istirahat. Jadi total subyek untuk anak autis berjumlah 37 subyek, dan orangtua sebagai responden yaitu ayah dan ibu sebanyak 74 subyek.

B. Data Identitas Subyek

Gambar

Gambar 3 Skema Hubungan Penerimaan Orangtua dan Tingkat Interaksi
Gambar 1 Grafik Peningkatan Kasus Autisme di Amerika
Gambar 2
Tabel 2.1.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Masalah utama yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: apakah penerapan metode demonstrasi dapat meningkatkan hasil belajar IPS materi arah mata angin pada siswa kelas

Listrik untuk kehidupan yang lebih baik 144 dengan mengurangi frekuensi kerja Terminal utama mengalirkan arus ke / dari konduktor Tidak dapat mengalirkan arus ke /

Untuk pengujian validitas pada penelitian ini yaitu validitas internal, dan apabila telah selesai selanjutnya menggunakan validitas eksternal yaitu dengan

3) Strata diambil berdasarkan tingkat kemampuan siswa yaitu tinggi, sedang, rendah. Untuk tingkat kemampuan tinggi, sedang, rendah diambil sampel sebanyak 1, 3, 1 pada

Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat sebuah sistem yang menerapkan konsep Internet of Things (loT) dan sistem kendali jaringan (NCS) untuk aplikasi rumah

Oleh karena itu, secara umum fokus permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah hubungan tingkat resiliensi dengan kecemasan akademik

Nilai koefisien determinasi sebesar 0,523 yang menunjukkan bahwa 52,3 % citra merek, promosi, persepsi manfaat, kemudahan penggunaan, kualitas sistem dan kualitas

Pada penelitian tersebut Sistem digunakan mempermudah dosen untuk menginput data mahasiswa dan langsung bisa menentukan lulus atau tidaknya mahasiswa yang bersangkutan dalam