Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sajana Ekonomi Islam (SEi)
Oleh :
AKHIRUL SHOLEH NIM : 105046101664 KONSENTRASI MUAMALAH
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 31 Mei 2010
semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad saw beserta keluarganya dan para sahabat dan umatnya yang senantiasa cinta padanya. Skripsi yang berjudul Analisa Penerapan Fatwa DSN NO. 49/DSN MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah Pada Bank BNI Syariah Pusat, merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Islam (S.Ei) Konsentrasi Perbankan Syariah Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penyusunan skripsi ini terdapat berbagai kekurangan. Namun demikian semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan khlayak umumnya. Banyak pihak yang membimbing dan membantu dalam proses penulisan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan. Oleh karena itu ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada pihak-pihak tersebut, diantaranya kepada :
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. KH. Muhammad Amien Suma. SH,MA,MM.
2. Ketua Prodi Muamalat, Dr. Eius Amalia M.Ag. dan Sekretaris Prodi Muamalat Ah. Azharuddin Lathif M.Ag. Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.
penguji munaqosah yang telah memberikan masukan dan arahan kepada penulis.
5. Bapak Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan membimbing selama perkuliahan penulis.
6. Pimpinan serta Staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, yang dalam penulisan skripsi ini telah memberikan andil besar dalam menyediakan pustaka dan sumber-sumber bacaan untuk kelancaran penulisan skripsi ini.
7. Bpk. Wisnu Suwarno Pimpinan Kelompok Sistem dan Prosedur Pembiayaan Divisi Usaha Syariah BNI yang telah bersedia meluangkan waktunya guna wawancara.
8. Bpk. Muhammad Gunawan Yasni DSN-MUI Bagian Pokja Pasar Modal dan Program yang telah bersedia meluangkan waktunya guna wawancara.
9. Ibunda tercinta Suyati dan Almarhum Bapak yang telah mendidik, mendoakan dan berjuang untuk penulis dan untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dan juga kepada kakak-kakak yang tidak bisa kami sebutkan satu-persatu yang telah memberikan dukungan kepada penulis.
iii
Akhirnya hanya kepada Allah SWT semua kembali, semoga amal yang telah mereka sumbangkan mendapatkan balasan yang lebih baik dan menjadi tabungan kebaikan di akhirat kelak, amin.
DAFTAR ISI ... iv
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………... 7
D. Tinjauan Pustaka ………... 9
E. Metodologi Penelitian ... 12
F. Sistematika Penulisan ... 16
BAB II : TINJAUAN TEORITIS A. Mengenal Murabahah ……….. 18
1. Pengertian Murabahah ………... 18
2. Rukun dan Syarat Murabahah ... 21
B. Deskripsi Umum Tentang Fatwa Dewan Syariah Nasional ... 25
1. Pengertian Fatwa ………... 25
2. Dasar-Dasar Penetapan Fatwa ... 28
3. Sifat Fatwa ………. 37
4. Metode Fatwa ... 39
A. Sejarah Singkat Berdirinya Bank ... 49 B. Produk Bank BNI Syariah ... 52 C. Struktur Organisasi ... 68 BAB IV : ANALISA DAN PEMBAHASAN
A. Kedudukan Fatwa tentang Konversi Akad Murabahah pada Bank BNI Syariah ……….... 72 B. Implementasi Fatwa tentang Konversi Akad Murabahah
pada Bank BNI Syariah ... 85 C. Analisa Penerapan Fatwa tentang Konversi Akad
Murabahah pada Bank BNI Syariah ... 93 BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ………... 111 B. Saran ... 114 DAFTAR PUSTAKA ………... 116 LAMPIRAN-LAMPIRAN
A. Surat permohonan dosen pembimbing
B. Surat permohonan wawancara ke pihak Bank BNI Syariah Pusat C. Surat permohonan wawancara ke pihak DSN-MUI Pusat
vi
G. Lembar Surat perjanjian pembiayaan murabahah dari pihak Bank BNI Syariah Pusat.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ekonomi syari’ah1 di Indonesia demikian cepat, khususnya perbankan, asuransi, reksadana, pasar modal, pegadaian, leasing, dan lembaga
keuangan mikro syariah. Sehubungan dengan pesatnya pertumbuhan lembaga
ekonomi dan keuangan syariah tersebut, maka para praktisi ekonomi syari’ah,
masyarakat dan pemerintah (regulator) membutuhkan fatwa-fatwa syariah dari
lembaga ulama (MUI) berkaitan dengan praktek dan produk di lembaga-lembaga
keuangan syariah tersebut. Perkembangan lembaga keuangan syariah yang
demikian cepat harus diimbangi dengan fatwa-fatwa hukum syari’ah yang valid
dan akurat, agar seluruh produknya memiliki landasan yang kuat secara syari’ah.
Untuk itulah Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dilahirkan pada tahun 1999 sebagai
bagian dari Majlis Ulama Indonesia.2
DSN adalah lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)
yang mempunyai fungsi melaksanakan tugas-tugas MUI dalam menangani
masalah-masalah yang berhubungan dengan aktifitas lembaga keuangan syariah.
Salah satu tugas pokok DSN adalah mengkaji, menggali dan merumuskan nilai dan
1
Ekonomi islam adalah ilmu pengetahuan social yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai islam. Diakses pada tanggal 10 Juni 2009 dari http//www.wikipedia.com.
2
prinsip-prinsip hukum Islam (syari’ah) dalam bentuk fatwa untuk dijadikan
pedoman dalam kegiatan transaksi di Lembaga Keuangan Syari`ah. Melalui Dewan
Pengawas Syari`ah melakukan pengawasan terhadap penerapan prinsip syari`ah
dalam sistem dan manajemen Lembaga Keuangan Syari`ah (LKS).3
Tren bank syariah sendiri memang makin marak. Dimulai tahun 1992, ketika
Bank Muamalat Indonesia berdiri, sistem perbankan syariah diasumsikan bisa
melenggang tenang ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997. Kenapa bisa
demikian? Asumsinya, penerapan sistem bagi hasil dinyatakan lebih baik
ketimbang sistem bunga yang dianut bank konvensional. Dalam urusan kredit,
syariah sebenarnya tidak menerapkan pinjaman dalam bentuk uang tunai, tetapi
bekerja sama atas dasar kemitraan, seperti mudharabah, musyarokah atas dasar jual
beli (murabahah), atau atas dasar sewa (ijarah).
Sistem keuangan dan Perbankan Islam merupakan bagian dari konsep yang
lebih luas tentang ekonomi Islam, sebagaimana dianjurkan oleh para ulama
tujuannya adalah memberlakukan sistem nilai dan etika Islam kedalam lingkungan
ekonomi. Karena dasar etika inilah, maka Lembaga Keuangan Syariah bagi
kebanyakan Muslim adalah bukan sekadar sistem transaksi komersial. Persepsi
Islam dalam transaksi finansial itu dipandang oleh banyak kalangan Muslim
sebagai kewajiban agama. Kemampuan Lembaga Keuangan Syariah menarik
investor dengan sukses bukan hanya tergantung pada tingkat kemampuan lembaga
3
itu menghasilkan keuntungan, tetapi pada persepsi bahwa secara sungguh-sungguh
memperhatikan batas-batas yang digariskan oleh Islam.4
Dalam dunia perbankan, terutama perbankan syariah tidak lepas dari berbagai
permasalahan salah satunya adalah masalah pembiayaan, khususnya dalam
pembiayaan Murabahah. Pembiayaan merupakan kegiatan utama dalam Perbankan,
sebagai usaha untuk memperoleh laba. Akan tetapi pembiayaan rawan resiko kredit
yang tidak saja dapat merugikan bank tapi juga berakibat kepada masyarakat
penyimpan dan pengguna dana. Penyebab utama terjadinya resiko kredit
pembiayaan adalah terlalu mudahnya bank memberikan pinjaman atau melakukan
investasi karena terlalu dituntut untuk memanfaatkan kelebihan likuiditas, sehingga
penilaian kredit yang kurang cermat dalam mengantasipasi berbagai kemungkinan
resiko usaha yang dibiayainya.5 Kredit macet dalam pembiayaan merupakan salah satu permasalahan yang harus ditangani dengan serius oleh pihak bank. Sebab
menyangkut beberapa pihak yang dapat dirugikan haknya, terutama dari pihak bank
dan pihak penyimpan dana. Oleh karena itu, pihak bank dapat memberikan sanksi
administratif kepada nasabah yang melakukan kredit macet.6
Ada fenomena menarik dalam permasalahan resiko kredit pembiayaan
murabahah di Perbankan Syariah. Pihak Perbankan Syariah melakukan konversi
4
Raymond Dantes, Bank Syariah Antara Teori Dan Realita: Studi Komperatif Akad dan Produk Bank Syariah di Dunia Islam., diakses pada 08 Mei 2008 dari
http//www.konsultasimuamalat.com/home/index php. 5
Drs. Zainul Arifin, MBA, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, ( Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006),cet.4, h.225.
6
akad murabahah supaya nasabah yang telah menunggak tagihan bank dapat segera
melunasi hutang-hutang tersebut. Akan tetapi, tidak semudah membalikkan tangan
bagi perbankan syariah untuk melakukan reconditioning pembiayaan murabahah
tersebut. Adanya aturan-aturan untuk melakukan reconditioning pembiayaan
murabahah tersebut, salah satunya dengan meminta Dewan Syariah Nasional untuk
berijtihat supaya dapat mengeluarkan fatwa-fatwa yang berkenaan dengan
permasalahan yang sedang dihadapi oleh bank.
ﺎ
،
ﺰ ا
ﺪ ﺎﺧ
ﺎ
،
رﺎ
مﺎﺸه
ﺎ
،
ﺔ رز
أ
ﺪ
ﺎ ﺪ
،
ﺔ ﺮﻜ
،
ا
دواد
،
ﺔ ﺎآر
ﺪ ﺰ
ﻰ
ا
نأ
،
سﺎ
ا
اﻮ ﺎﻘﻓ
،
ﻬ
سﺎ
ءﺎ
،
ﺮ ﻀ ا
جاﺮﺧﺈ
ﺮ أ
ﺎ
و
ﷲا
:
،
ﷲا
لﻮ ر
ﺎ
و
ﷲا
ﻰ
ﷲا
لﻮ ر
لﺎﻘﻓ
،
نﻮ د
سﺎ ا
ﻰ
ﺎ و
ﺎ اﺮﺧﺈ
تﺮ أ
ﻚ إ
:
اْﻮﻌﺿ ْﻮﻠﱠﺠﻌﺗو»
ﺔ ﺎآر
ﺪ ﺰ
ﺪ ا
اﺬه
وﺮ
ﺪ ﺎﺧ
ﻻإ
«
)
ﻓ اﺮ ﻄ ﻂ وﻻا ابﺎ ﻜ ا ( 7 Artinya :“Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi Saw. ketika beliau memerintahkan untuk mengusir Bani Nadhir, datanglah beberapa orang dari mereka seraya mengatakan: “Wahai Nabiyallah, sesungguhnya Engkau telah memerintahkan untuk mengusir kami sementara kami mempunyai piutang pada orang-orang yang belum jatuh tempo” Maka Rasulullah saw berkata: “Berilah keringanan dan tagihlah lebih cepat”. (H.R. Thabrani dalam Kitab Al-Mu’jam al Aswad, juz 15, hal.24)
Telah kita ketahui bahwa, fatwa merupakan salah satu pendirian dalam hukum
Islam untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat.
Bahkan umat Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam
bersikap dan bertingkah laku. Kehadiran fatwa-fatwa ini menjadi aspek organik dari
bangunan ekonomi islami yang tengah ditata/dikembangkan, sekaligus merupakan
7
alat ukur bagi kemajuan ekonomi syari’ah di Indonesia. Fatwa ekonomi syari’ah
yang telah hadir itu secara teknis menyuguhkan model pengembangan bahkan
pembaharuan fiqh muamalah maliyah (fiqh ekonomi).8
Dari penjelasan yang telah penulis paparkan diatas, bahwa fatwa yang telah
dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional dikeluarkan jika terdapat permasalahan
yang muncul dalam perkembangan ekonomi syariah. Dalam melaksanakan
penyusunan fatwa tentang produk perbankan syariah, maka pada tahapan proses
penetapannya DSN akan berkonsultasi dengan Bank Indonesia khususnya untuk
memperoleh pandangan tentang aspek teknis keuangan dan perbankan serta
keselarasan fatwa dengan berbagai hukum positif yang terkait dengan perbankan
syariah.9
Apabila kita kaitkan dengan permasalahan pada pembiayaan Murabahah,
maka yang menjadi permasalahannya adalah masih adakah penerapan dan
efektivitas Fatwa DSN No.49/DSN/MUI/II/2005 tentang Konversi Akad
Murabahah yang dipakai oleh Perbankan Syariah dalam meminimalkan
permasalahan pada pembiayaan Murabahah. Sebab hal ini sangatlah penting dalam
mewujudkan suatu pembiayaan yang bebas dari permasalahan yang sering kali
dapat mempersulit dan merugikan pihak perbankan.
Berdasarkan permasalahan di atas, penulis akan memilih tempat penelitian di
Bank BNI Syariah Pusat. Hal ini disebabkan pada tahun berdirinya Bank BNI
8
Fatwa Ekonomi Syari’ah di Indonesia. Diakses pada tanggal 10 Juni 2009 dari http//www.iaeipusat.org.
9
Syariah sekitar tahun 2001, maka berpendapat adanya jangka waktu yang cukup
lama sebelum dikeluarkannya Fatwa DSN No.49/DSN/MUI/II/2005 tentang
Konversi Akad Murabahah. Disamping itu, hanya Bank BNI Syariah yang mau
menerima penulis dalam melaksanakan proses penelitian tersebut.
Berdasarkan pemahaman dan pengkajian mengenai permasalahan di atas,
serta keinginan untuk menelusuri lebih jauh bagaimana peran dan eksistensi
fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional bagi kemajuan Perbankan Syariah. Dengan
demikian penulis bermaksud mengangkat permasalahan tersebut kedalam sebuah
skipsi dengan judul ”ANALISA PENERAPAN FATWA DSN NO.
49/DSN-MUI/II/2005 TENTANG KONVERSI AKAD MURABAHAH PADA BANK BNI SYARIAH PUSAT”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan
Banyak penelitian yang telah membahas tentang pembiayaan murabahah yang
merupakan salah satu produk yang dibuat oleh bank syariah dengan berbagai
macam penelitian yang difokuskan oleh para penulis. Pada penelitian ini penulis
akan membatasi permasalahan hanya pada ”Analisa Penerapan Fatwa DSN No.49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah Pada Bank BNI Syariah Pusat”.
Dari uraian latar belakang, penulis merumuskan masalah penelitian dalam
beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :
a. Bagaimana posisi atau kedudukan Fatwa DSN di Lembaga Keuangan
Syariah? Terutama kedudukan Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005
Tentang Konversi Akad Murabahah.
b. Bagaimana implementasi atau penerapan fatwa DSN di Lembaga
Keuangan Syariah? Terutama implementasi Fatwa DSN No.
49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah.
c. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kedudukan dan implementasi
Fatwa DSN No.49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad
Murabahah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan diangkatnya skripsi yang berjudul ”Analisa Penerapan Fatwa DSN No.49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah Pada Bank BNI Syariah Pusat”. Sesuai uraian permasalahan di atas akan memberikan beberapa hal penjelasan untuk menjawab permasalahan tersebut diantaranya :
a. Penjelasan posisi atau kedudukan Fatwa DSN di Lembaga Keuangan
Syariah. Terutama kedudukan Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005
b. Penjelasan implementasi atau penerapan Fatwa DSN di Lembaga
Keuangan Syariah. Terutama implementasi Fatwa DSN No.
49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah.
c. Mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi kedudukan dan
implementasi Fatwa DSN No.49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi
Akad Murabahah.
Dengan demikian menurut penulis dianggap penting untuk mengetahui
pandangan dari Dewan Syariah Nasional (DSN), UU No. 21 tahun 2008 pasal 125
tentang Konversi Akad Murabahah, PSAK No.108 tentang Konversi Akad
Murabahah dan Lembaga Keuangan Syariah dalam menyikapi Fatwa DSN No.
49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah.
Berdasarkan tujuan di atas maka perlu adanya manfaat dari penelitian ini
diantaranya sebagai berikut :
1. Dalam lembaga kepustakaan, hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan
sebagai bahan ilmu dalam memperkaya cakrawala khazanah pemikiran
hukum islam.
2. Dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan yang lebih dalam
mengenai penggunaan menyikapi Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005
Tentang Konversi Akad Murabahah di Lembaga Keuangan Syariah yang
3. Dapat mengetahui prosedur penggunaan fatwa-fatwa dalam mengatasi
permasalahan di Lembaga Keuangan Syariah.
4. Dapat mengetahui upaya Lembaga Keuangan Syariah dalam
menggunakan Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi
Akad Murabahah untuk menyelesaikan permasalahan.
5. Sebagai pengetahuan hukum secara teori dan praktek di Lembaga
Keuangan Syariah terutama tentang reconditioning akad murabahah jika
terjadi permasalahan.
6. Dapat memberikan penjelasan tentang eksistensi dan peran dari Fatwa
DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah
kepada masyarakat umumnya dan kepada nasabah khususnya.
D. Tinjauan Pustaka
Sebelum melakukan penelitian ini penulis melakukan penelitian studi
terdahulu melalui beberapa skripsi terdahulu untuk mengetahui apa saja yang sudah
diteliti, dan mengetahui kekurangan serta kelebihan yang terdapat dalam skripsi
terdahulu.
Dengan demikian penulis melakukan penelitian skripsi yang disusun oleh
membahas tentang analisa penerapan pembiayaan di Lembaga Multifinance, dan
hasil penelitiannya adalah :
1. Sistem murabahah yang ideal belum sepenuhnya menerapkan prinsip
murabahah yang ideal, terlihat ada beberapa hal yang belum sesuai.
Misalnya dalam sistem operasionalnya khususnya dalam hal pengadaan
barang yang dipesan oleh konsumen masih belum sepenuhnya dimiliki
oleh FIF Syariah. Kemudian hal lain juga terjadi dalam operasional di
lapangan terutama transparasi margin yang belum tertransparasikan
kepada konsumen ketika terjadi akad awal.
2. Faktor utama yang memiliki peran penting dalam mendukung efektivitas
pembiayaan murabahah yang ada di FIF Syariah adalah pertama, faktor
Sumber Daya Manusia yang berkompeten dari sisi skill dan pemahaman
terhadap muamalah syariah dan kedua, faktor teknologi informasi yang
canggih dan mudah di akses.
Bacaan kedua penulis adalah penelitian skripsi yang disusun oleh Silvi Yanti dengan judul Dominasi Murabahah Pada Perbankan Syariah Dalam Perspektif Manajemen Resiko (Studi kasus Pada Permata Bank Syariah). Dalam skripsi tersebut membahas tentang penerapan manajemen resiko pada Bank Permata
Syariah, dan hasil penelitiannya adalah adalah :
1. Penerapan manajeman resiko oleh Bank Indonesia No.5/8/PBI/2003 dan
diantaranya: resik kredit, (pembiayaan), resiko pasar, resiko likuiditas,
resiko operasional, resiko hukum, resiko reputasi, resiko strategi dan
resiko kepatuhan.
2. Program manajemen resiko yakni untuk mengidentifikasikan resiko-resiko
yang dihadapi mengukur besar dan kecilnya, kemudan ditarik jalan untuk
menangani resiko itu. Jika resiko itu kecil, maka harus dikendalikan.
Bacaan ketiga penulis adalah skripsi yang ditulis oleh Mahfudin dengan judul skripsi Kesesuaian Aplikasi Jual Beli Dalam Pembiayaan KPR Syariah Pada unit Usaha Syariah Pt. Bank Permata Tbk. Dalam skripsi tersebut membahas tentang aplikasi pembiayaan KPR Syariah pada Bank Permata Syariah, dan hasil
penelitiannya adalah:
Biaya kredit pada pembiayaan bank syariah berdasarkan murabahah atau
mark up harga adalah pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pembiayaan
berdasarkan bunga (fixed) yaitu pada sisi faktor yang mempengaruhi keduanya,
pembagian resiko, hubungan antara bank dan nasabah, dan juga paada penyelesaian
hutang akan dikenakan sanksi apabila telah membayarnya.
Subtansi dalam skripsi diatas jelas berbeda dengan penulisan skripsi ini
karena ada beberapa perbedaan yakni :
1. Perbedaan tempat penelitian yakni di Bank BNI Syariah Pusat.
2. Perbedaan objek yang akan diteliti, yakni penelitian tentang Fatwa DSN
3. Pandangan UU. No.21 Tahun 2008 Pasal 125 Tentang Konversi Akad
Murabahah, dan PSAK No.108 tentang Konversi Akad Murabahah
terhadap masalah tingkat kredit macet di perbankan syariah.
4. Alasan dasar hukum Dewan Syariah Nasional (DSN) memutuskan
dan mengeluarkan Fatwa DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang
Konversi Akad Murabahah tersebut.
E. Metode Penelitian
Dalam upaya mendapat data yang akurat, lengkap, dan objektif, untuk
penyusunan skripsi ini penulis menggunakan penelitian melalui:
1. Jenis Penelitian.
Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris yang merupakan penelitian
melalui pengamatan lansung di lapangan yang berlokasi pada PT. Bank
BNI Syariah Pusat. Dimana penelitian ini akan menggabungkan fakta dan
teori-teori yang diambil dari studi kepustakaan melalui pengupasan dari
buku-buku dan peraturan perundang-undangan. Di samping itu Al-Qur’an,
Hadits, dan kitab-kitab fiqih, serta berbagai literatur lainya yang dapat
dijadikan sebagai rujukan yang berhubungan dengan bahasan yang sedang
dikerjakan.
2. Pendekatan Penelitian.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan
Konversi Akad Murabahah dengan cara mengurai dan mendiskripsikan
putusan fatwa, kemudian dihubungkan dengan masalah yang diajukan
sehingga di temukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan
sistematis.10
3. Sumber Pengumpulan Data.
Sumber pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data bahan hukum primer yaitu bahan–bahan mengikat yakni; Fatwa DSN
No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah, UU No.
21 tahun 2008 pasal 125 Tentang Konversi Akad Murabah, PSAK No.108
tentang Konversi Akad Murabahah yang digunakan oleh pihak Bank.
Dan sumber pengumpulan data bahan sekunder yaitu bahan–bahan hukum
yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer11; Buku-buku, pendapat ulama yaitu pendapat Majelis Ulama Indonesia (MUI) terutama
dari Dewan Syariah Nasional (DSN) tentang penjelasan dan pengeluaran
fatwa yang berkaitan dengan konversi akad murabahah, penjelasan dari
pihak Bank dalam menggunakan fatwa tersebut, dan penjelasan dari para
Praktisi Hukum Ekonomi Islam.
10
Amiruddin. Zainal Asikin., Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.2003.
11
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji., Penelitian Hukum Normatif suatu tinjaun singkat.
4. Teknik Pengumpulan Data.
a. Studi Pustaka, dengan mengumpulkan dan menganalisa suatu
pengertian yang bersifat teoritis, untuk itu penulis menggunkan
beberapa literatur yang mendukung penelitian ini dilakukan dengan
cara membaca dan mempelajari buku-buku yang berkenaan dengan
masalah yang dibahas. Studi ini dilakukan untuk menguji kebenaran
serta relevansi antara teori yang terdapat dalam buku dengan praktek
di lapangan.
b. Wawancara, adalah proses pengumpulan data dan memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab dengan
menggunakan alat yang dinamakan pedoman wawancara.12 Proses wawancara ini akan ditujukan kepada beberapa nara sumber
diantaranya :
- DPS (Dewan Pengawas Syariah) BNI Syariah atau staff DPS BNI
Syariah.
- DSN (Dewan Syariah Nasional) sebagai pembuat fatwa-fatwa
perbankan.
c. Dokumenter, berupa pengumpulan data-data yang diperoleh melalui
data dokumentasi. Maka data yang akan penulis analisa berupa Fatwa
12
DSN No. 49/DSN/MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah
dan peraturan-peraturan yang lainnya.
5. Analisa Data.
Seluruh data yang penulis peroleh dari hasil wawancara dan kepustakaan
diseleksi dan disusun, setelah itu penulis melakukan klasifiksi data. Estela
diklarifikasi lalu di analisis, dalam hal ini data yang di kumpulkan penulis
adalah kualitatif, maka teknik analisa data yang digunakan adalah content
análisis (analisa isi), artinya penulis menggambarkan sesuatu yang
menjadi objek penelitian secara kritis melalui analisa isi yang bersifat
kualitattif. Deskriptif dimaksudkan memberikan data yang seteliti
mungkin keadaan dan gejalanya.13 Data-data yang telah terkumpul diperiksa kembali mengenai kelengkapan jawaban yang diterima,
kejelasannya, konsistensi jawaban atau informasi yang biasa disebut
editing.
6. Teknik Penulisan.
Tehnik penulisan dalam penyusunan penulis berpedoman pada
prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum tahun 1428 H/2007 M, agar penulisan
skripsi ini sesuai dengan kaidah penulisan skripsi.
13
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan menguraikan logika yang mendasari tahap-tahap uraian
penulisan pelaporan hasil penelitian. Secara keseluruhan skripsi ini terdiri dari lima
bab, masing-masing bab terdiri dari sub-sub sebagai berikut :
Bab I. Pendahuluan
Dalam bab ini penulis mengenal alasan pemilihan judul, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjuan pustaka, metodologi
penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II. Tinjuan Teoritis
Dalam bab ini, penulis menjelaskan tentang mengenal Murabahah,
diantaranya: Pengertian, Rukun dan Syarat Murabahah. Disamping itu menjelaskan
juga tentang deskripsi umum tentang Fatwa Dewan Syariah Nasional,diantaranya:
Pengertian, Metode, Sifat dan Implikasi Fatwa terhadap Perkembangan Hukum
Islam.
Bab III. Gambaran Umum tentang Bank
Dalam bab ini Menguraikan tentang profil dari tempat penelitian dan
menguatkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, maka penelti
mendeskripsikan objek-objek penelitian ini terdiri dari: Sejarah Singkat, Visi dan
Bab IV. Analisa dan Pembahasan
Dalam bab ini penjelasan tentang informasi yang dihasilkan dalam
pengelolaan data-data yang telah dikumpulkan oleh peneliti berdasarkan metode
yang digunakan dengan berpedoman pada landasan teori dasar.
Bab V. Kesimpulan dan Saran
Dalam bab ini merupakan bab penutup dari skripsi yang menyajikan
kesimpulan, yang berisi penjelasan secara singkat dari hasil pembahasan dan
analisa, dan penulis juga mencoba untuk mengemukakan saran yang dianggap perlu
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Mengenal Bai’ Murabahah
1. Pengertian Bai’ Murabahah
Bai’ Murabahah adalah jual beli barang yang harga asalnya dengan tambahan
keuntungan yang disepakati. Secara bahasa kata “murabahah” berasal dari Bahasa
Arab dengan asal kata ( ر- ﺮ- ر.) yang berarti beruntung atau mendapatkan laba.1 Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa definisi Bai’ Murabahah yang dikemukakan oleh :
a. Menurut di dalam kitabnya fiqh sunnah murabahah adalah penjualan dan
harga pembelian barang berikut keuntungan yang diketahui.2
b. Menurut Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid, Murabahah
adalah jika penjual menyebutkan harga pembelian barang kepada pembeli,
kemudian ia menyaratkan atas labanya dalam jumlah tertentu, dinar atau
dirham.3
Bai’ Murabahah merupakan salah satu jual beli yang dibenarkan oleh syariah
islam dan suatu implementasi muamalah “tijarah” (interaksi bisnis). Maka dapat
digambarkan praktek Bai’ Murabahah sebagai berikut :
1
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir kamus Arab-Indonesia. (Yogyakarta : Pustaka Progresif, 1997). hal.463.
2
Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah Terjemahan Kamaluddin Jilid 12. Al-Ma’rif, (Bandung, 1995). h.47.
3
“Misalnya, pedagang eceran membeli komputer dari grosir dengan harga
Rp.10.000.000,- kemudian ia menambahkan keuntungan sebesar Rp.750.000,-
dan ia menjual kepada pembeli dengan harga Rp.10.750.000,- Jadi penjual
memberitahukan kepada pembeli besarnya harga pokok dan keuntungan yang
dia minta. Pada umumnya pedagang eceran tidak akan membeli barang dari
grosir sebelum ada pesanan dari calon pembeli".4
Dari beberapa pengertian Bai’ Murabahah penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa murabahah adalah suatu akad jual beli barang dengan
menyebutkan harga pokok, biaya-biaya, dan keuntungan yang disepakati dengan
pembeli beserta pembayaran secara tunai. Murabahah sebagaimana digunakan
dalam perbankan syariah, prinsipnya didasarkan pada dua elemen pokok yang harus
diketahui oleh nasabah, dimana perkara tersebut tidak terdapat pada jual beli
lainnya, diantaranya adalah :
1. Harga beli barang dan biaya terkait
2. Kesepakatan atas mark up (keuntungan).
Dengan demikian murabahah dapat dikatakan transaksi kepercayaan, karena
pembeli mempercayakan penjual untuk menentukan harga asal barang yang akan
dibelinya. Ketika bank menawarkan skim murabahah maka sebenarnya bank akan
menawarkan kepercayaan dan good willnya kepada nasabah dan sebaliknya
nasabah yang memberikan kepercayaan penuh kepada pihak bank.
4
Bai’ Murabahah merupakan sarana jual beli atau saling tukar menukar harta
diantara sesama manusia yang mempunyai landasan hukum yang amat kuat dalam
islam. Diantara landasan hukum yang dijadikan sebagai dasar hukum bai’
murabahah adalah sebagai berikut :
QS. An-Nisa’ ayat 29
⌧
☺
. )
ﺂﺴﻨﻟا ء
:
٩
(
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisa’(4): 29)
Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa orang-orang yang berdagang tidak boleh
mengambil untung terlalu banyak atau tinggi, karena itu akan memberatkan
nasabah dan juga dapat memakan harta saudaranya dengan jalan bathil atau
merugikan orang lain. Dengan demikian dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa
penjual dan pembeli harus sama-sama rela, suka sama suka saat transaksi berniaga,
penjual rela menyerahkan barangnya dan pembeli juga rela memberikan uangnya.
Dalam transaksi murabahah, barang yang telah dibeli dibayar dengan cara
tunai. Oleh karena itu Allah SWT memerintahkan kepada seluruh umat islam untuk
memenuhi akad-akad yang telah dibuat dan disepakati oleh manusia itu sendiri.
Akad itu sendiri mencakup janji prasetya kepda Allah SWT dan perjanjian yang
Dalam setiap perniagaan tidak selamanya berjalan sesuai dengan
syariat-syariat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasulullah. Oleh karena itu,
setiap perniagaan harus berhati-hati dan semaksimal mungkin untuk menjauhi
kecurangan atau praktek riba.
Dalam Firman Allah SWT QS. Al-Baqarah ayat 275
) ...
ةﺮﻘﺒﻟا
:
٧۵
( Artinya :
…“Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”… (QS. Al-Baqarah(2) : 275).
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa Allah SWT telah menghalalkan jual beli,
karena jual beli mendapatkan harta seseorang dengan jalan sukarela diantara
mereka, dan Allah SWT telah mengharamkan riba karena hal itu berarti melipat
gandakan pembayaran uang salah satu orang diantara mereka. Ayat di atas
merupakan teguran dan perintah untuk semaksimal mungkin menjauhi praktek riba,
sehingga tidak saling merugikan dalam perniagaan.
2. Rukun dan Syarat Bai’ Murabahah a. Rukun Bai’ Murabahah
Bai’ Murabahah adalah suatu transaksi jual beli, dengan demikian
rukun-rukunnya sama dengan rukun jual beli, adalah sebagai berikut :
1) Pihak yang berakad dalam jual beli yaitu : penjual dan pembeli.
2) Objek yang diakadkan, meliputi barang yang diperjual belikan dan
3) Akad atau sighot yaitu : ijab dan qobul.5
Adapun ketentuan rukun Bai’ Murabahah adalah sesuai dengan rukun jual
beli di atas yaitu :
1) Pihak yang berakad menurut ulama fiqh sepakat, bahwa orang yang
melakukan akad murabahah harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a) Cakap hukum dan baligh (berakal sehat dan dapat membedakan
baik-buruk) sehingga jual beli dengan orang gila tidak sah,
sedangkan dengan anak kecil dianggap sah apabila seijin orang tua
atau walinya.
b) Orang yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda.6 2) Orang jual beli harus memenuhi :
a) Barang yang diperjual belikan adalah barang yang halal
b) Barang yang diperjual belikan harus bisa diambil manfaatnya atau
memiliki nilai.
c) Barang tersebut dimiliki oleh penjual.bukan milik orang lain.
d) Barang tersebut dapat diserah terimakan tanpa syarat.
e) Barang tersebut harus diketahui secara spesifik dan
diindentifikasikan oleh penjual.
f) Barang tersebut diketahui kuantitasnya dengan jelas.
5
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Banker Indonesia. Konsep, Produk, dan Implementasi Operasional Bank Syariah. (Jakarta : Djambatan, 2003). h.77.
6
g) Barang tersebut dapat diketahui kualitasnya dengan jelas.
h) Harga barang tersebut jelas.
i) Barang tersebut diakadkan secara fisik dan ditangan penjual.7 3) Ketentuan yang terkait dengan ijab qabul
Perkara utama dalam bai’ Murabahah adalah kerelaan diantara penjual
dan penbeli. Kerelaaan ini dapat terlihat saat akad berlangsung, maka ijab
qabul harus diucapkan secara jelas karena transaksi ini mengikat kedua
belah pihak. Adapun syarat-syarat ijab qabul adalah sebagai berikut :
a) Harus jelas dan disebutkan secara spesifik dengan siapa berakad.
b) Antara ijab dan qabul (serah terima) harus selaras baik dalam
spesifiksi barang maupun haraga yang disepakati.
c) Tidak menggantungkan klausul yang bersifat keabsahan transaksi
padش hal atau kejadian yang akan datang.
d) Tidak membatasi waktu, misalnya : “saya jual barang ini kepada
anda dalam jangka waktu 12 bulan, setelah itu maka jadi milik
saya kembali”.8
7
Sri Nurharyati dan Washilah. Akuntamsi Syariah di Indonesia. (Jakarta : Salemba Empat, 2008). h.166.
8
b. Syarat Bai’ Murabahah
Dalam Bai’ Murabahah juga dibutuhkan beberapa syarat untuk
melengkapi rukun bai’ murabahah diatas, diantara syarat-syarat yang harus
dipenuhi adalah sebagai berikut :
1) Mengetahui harga pertama ( harga pembelian).
2) Mengetahui besarnya keuntungan .
3) Modal hendaklah berupa komoditas yang memiliki kesamaan dan
sejenis, seperti benda-benda yang dapat ditakar dan ditimbang.
4) Sistem Bai’ Murabahah dalam harta riba hendaknya tidak menisbatkan
riba tersebut terhadap harga pertama.
5) Transaksi pertama harus sah secara syara’.9 Skema Jual-Beli Akad Murabahah
PENJUAL
SUPLIER BARANG
PEMBELI 1.Negoisasi &
Persyaratan
2.Akad jual beli
5. Serah Terima Barang
6. Bayar Tunai
3. Beli barang
4. Kirim barang
9
Berdasarkan Skema Bai’ Murabahah diatas, sang penjual melakukan
pembelian barang setelah ada negoisasi atau pemesanan barang dari pembeli.
Untuk menunjukkan keseriusan pembeli, penjual boleh meminta “hamish
ghadiya”10 (artinya uang tanda jadi ketika terjadinya ijab qabul). Jika di kemudian hari pembeli membatalkan pesanannya, maka uang muka tersebut dapat digunakan
untuk menutupi kerugian sang penjual. Apabila kerugian tersebut lebih besar dari
uang muka, maka penjual dapat meminta kekurangan itu kepada sang pemesan dan
sebaliknya terdapat kerugian yang lebih kecil maka sang penjual wajib
mengembalikan sisanya kepada sang pemesan.
B. Deskripsi Umum Tentang Fatwa Dewan Syariah Nasional 1. Pengertian Fatwa
Secara etimiologi fatwa berasal dari bahasa arab yaitu (ءﺎﺘﻓﻻا) yang yang
merupakan mufrod (tunggal) dan memiliki arti pendapat resmi atau fatwa.11 Menurut bahasa Indonesia fatwa berarti “jawaban” atau keputusan yang diberikan
oleh ahli hukum islam atau mufti.12 Di dalam Al-quran terdapat bentuk kata yang menggambarkan aktivitas konsultasi hukum, jadi kata fatwa disini dapat diartikan
sebagai mengerjakan sesuatu dengan mengajukan pertanyaan dan memberikan
jawaban terhadap pertanyaan tersebut.
10
Hamish ghadiyah adalah uang tanda jadi ketika terjadinya ijab qabul. Lihat juga buku Adi Warma Azhwar Karim, bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan. (Jakarta : IIIT Indonesia, 2003). h.163.
11
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia. (Yogyakarta : Pustaka Progresif, 1997). h.1034.
12
Mufti adalah orang pemberi fatwa tentang suatu masalah. Lihat di buku Muhammad Ali.
Firman Allah dalam QS. An-Nisa’: 176 ⌧ ⌧ ☺ ⌧ ⌧ ☯ ⌧ ☯ ⌧ . ) ءﺎﺴﻨﻟا : ٧٦ ( Artinya :
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)13. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. An-Nisaa’(4): 176).
Penggunaan kata “ístifta’” pada ayat tersebut merupakan sebuah penjelasan
singkat terhadap terminology yang berkaitan dengan aktivitas pemberian keputusan
hukum (menerangkan hukum suatu masalah atau perkara). Terdapat beberapa
pengertian tentang fatwa yang dikemukakan oleh :
13
a. Menurut M. Hasbi Ash-Shidiqie memberikan maksud bahwa fatwa adalah
sebagai jawaban atas pertanyaan yang tidak begitu jelas hukumnya.14
b. Menurut Yusuf Qardhawi memberikan maksud bahwa fatwa adalah
menerangkan atau menjelaskan hukum syara’ dari suatu persoalan sebagai
jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh yang meminta fatwa, baik
individu, maupun kolektif atau lembaga.15
c. Dalam ilmu Ushul Fiqh, fatwa berarti pendapat yang dikemukakan oleh
seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban atas pertanyaan yang diminta
atau diajukan oleh peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak
mengikat. Pihak yang meminta fatwa tersebut bisa pihak pribadi, lembaga
atau kelompok masyarakat.16
d. Menurut Zamakhsyari, fatwa adalah penjelasan hokum syara’ tentang
suatu permasalahan atas pertanyaan seseorang atau kelompok.17
e. Menurut As-Syatibi, fatwa dalam arti al-iftaa berarti
keterangan-keterangan tentang hukun syara’ yang tidak mengikat untuk diikuti.18 Beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat diambil kesimpulan
bahwa fatwa merupakan suatu pendapat atau jawaban yang diberikan oleh seorang
mujtahid, mufti atau ahli hukum islam terhadap suatu pertanyaan atau permasalahan
14
M. Hasbi Ash-Shidiqie. Peradilan dan Hukum Acara Islam.(Semarang : PT. Pustaka Rizki, 2001). h.86.
15
Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam.(Jakarta : Elsas, 2008). h.20. 16
Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedia Hukum Islam. (Jakarta : PT. Ikctiar Baru Van Hoeve, 1996). h.32.
17
Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : Elsas Jakarta, Juli 2008). h.20. 18
penting menyangkut masalah hukum islam yang diminta oleh pihak pribadi atau
lembaga atau kelompok masyarakat.
Terkadang terjadi kerancuan dalam membedakan antara fatwa dengan ijtihad.
Ijtihad menurut Al-Amidi dan An-Nabhani adalah mencurahkan seluruh
kemampuan untuk menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil dzanni hingga
batas tidak ada lagi kemampuan melakukan usaha lebih dari apa yang telah
dicurahkan. Sedangkan ifta’ hanya dilakukan ketika ada kejadian secara nyata, lalu
ulama ahli fiqh berusaha mengetahui hukumnya. Dengan demikian, fatwa lebih
spesifik dibandingkan dengan ijtihad.19
Seorang mustafti bisa saja mengajukan pertanyaan kepada seorang mufti
mengenai hukum suatu permasalahan yang dihadapinya. Apabila mufti
menjawabnya dengan perkataan, hukum masalah ini halal atau haram, disertai
dalil-dalilnya secara terperinci, maka itulah fatwa. Fatwa dapat berbentuk perkataan
ataupun tulisan.
2. Dasar-Dasar Penetapan Fatwa
Dalam menetapkan fatwa harus mengikuti tata cara dan prosedur tertentu
yang telah disepakati oleh para ulama, termasuk dalam hal penggunaan dasar yang
menjadi landasan hukum dalam penetapan fatwa. Penetapan fatwa yang tidak
mengindahkan tata cara dan prosedur yang ada merupakan salah satu bentuk
tahakkum (membuat-buat hukum) dan menyalahi esensi fatwa yang merupakan
19
hukum syara’ terhadap suatu masalah, yang harus ditetapkan berdasarkan dalil-dalil
keagamaan (adillah syar’iyyah).
Dalam hal ini para ulama mengelompokkan sumber atau dalil syara’ yang
dapat dijadikan dasar penetapan fatwa dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan
untuk dijadikan dasar penetapan fatwa. Para ulama juga telah menjelaskan apa saja
dalil-dalil hukum yang disepakati untuk dijadikan dasar penetapan fatwa (adilliah
al-ahkam al-muttafaq ‘alaihi), yaitu meliputi :
a. Al-Quran
Para ulama menjelaskan bahwa kata “Al-qur’an” secara etimologi berasal
dari bahasa Arab ءﺮ-ءﺮﻘ-ءﺮ yang mempunyai arti “bacaan”. Sebagaimana
dalam firman Allah SWT dalam QS. Al-Qiyamah ayat 17-18.20
)..
ﺔ݊ﺎﻴﻘﻟا
:
٧
-٨
( Artinya :
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu”. (QS. Al-Qiyamah (75):17-18).
Para ulama juga menyimpulkan ciri-ciri Al-qur’an sebagai berikut :21 1). Al-qur’an merupakan lafadz
2). Al-qur’an diturunkan dalam bahasa Arab.
20
KH. Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008). h.59.
21
3) Al-qur’an dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir
(diturunkan oleh orang banyak kepada orang banyak sampai
sekarang).
4). Membaca setiap kata dalam Al-qur’an mendapat pahala, baik bacaan
itu berasal dari hafalan maupun dibaca langsung dari mushaf
Al-qur’an.
5). Al-qur’an itu dimulai dari surat Al-Fatihah dan di akhiri dengan suarat
An-Nass. Tata urutan surat yang terdapat dalam Al-Quran, disusun
sesuai dengn petunjuk Allah melalui malaikat Jibril Nabi Muhammad
saw., tidak boleh diubah dan diganti letaknya.
Para ulama sepakat bahwa Al-qur’an merupakan sumber utama hukum
islam yang diturunkan Allah, dimana seorang mujtahid harus mendahulukan
nash-nash Al-qur’an sebagai dasar penetapan sebelum mempergunakan
sumber hukum lainnya. Begitu juga dalam penetapan fatwa, Al-qur’an
merupakan dasar pertimbangan pertama sebelum beralih pada yang lainnya.
Apabila hukum permasalahan yang dicari tidak ditemukan dalam Al-qur’an,
maka barulah mujtahid tersebut menggunakan dalil yang lainnya.
b. As-Sunnah
Pengertian As-Sunnah dari sisi bahasa adalah “jalan yang biasa di lalui”
atau “cara yang senantiasa dilakukan”. Hal ini bias kita lihat dalam sabda
ﺪ ْ ﺔ ْ أ ْ نْﻮ ْ ﺔ ْ ﺎ ﺪ ﺮ ْ ْ ﺪ ﺎ ﺮ ْﺧأ يﺰ ْا ﻰ ْا ْ ﺪ لﺎ أْ ﺮ ﺮ ْ رﺬْ ْا و ْ اﻰ الﻮ ر ﺪْ ﺎ آ ... ْ ﺔ مﺎ ْ ﺈْا ﻓ ﻓ ْ و ءْ ْ هرﻮ أ ْ ﻘْ ْنأ ﺮْ ْ ﺪْ ﺎﻬ ْ ﺮْ أو ﺎهﺮْ أ ﻓ ﺔ ﺪْ ْ ﺎﻬ ْ رْزوو ﺎهرْزو ْ نﺎآ ﺔﺌ ﺔ مﺎ ْ ﺈْا ْ هرازْوأْ ﻘْ ْنأﺮْ ْ ءْ ) . بﺎ ﻜ ا ﻓ ا اور ا ا ( 22
Sedangkan secara terminology, As-Sunnah bisa dibedakan menurut
disiplin ilmunya. Menurut disiplin ilmu hadis, pengertian Sunnah sama
dengan pengertian Hadist, yaitu “seluruh yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw, baik perkataan, perbuatan dan ketetapannya atau sifatnya
sebagai manusia, akhlaknya, apakah itu sebelum maupun setelah di angkat
menjadi rasul”. Sedangkan pengertian Sunnah menurut disiplin ushul fiqh
adalah : “segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw, berupa
perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum”.23
Sedangkan pengertian Sunnah menurut disiplin ilmu fiqh, disampingnya
pengertian yang dikemukan para ulama ushul fiqh di atas, juga dimaksudkan
sebagai salah satu hukum taklifi, yang mengandung pengertian “perbuatan
yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak
berdosa”. Terjadinya perbedaan pengertian Sunnah di kalangan ahli ushul
fiqh, disebabkan perbedaaan sudut pandang masing-masing terhadap Sunnah.
Ulama ushul fiqh memandang bahwa Sunnah tersebut merupakan salah satu
sumber atau dalil hukum. Sedangkan ulama fiqh menempatkan Sunnah
sebagai salah satu hukum taklifi.
22
Kitab Shahih Al-Muslim. Dalam Maktabah Syamilah. Juz :5, h.198. 23
Para ulama sepakat mengatakan bahwa Sunnah Rasulullah saw dalam tiga
bentuk (fi’liyyah, qauliyyah dan taqririyyah) merupakan sumber asli dari
hukum-hukum syara’ dan menempati posisi yang kedua setelah Al-qur’an.
Sehingga dalam penetapan fatwa, As-Sunnah menjadi rujukan kedua setelah
Al-qur’an. Ada beberapa alasan yang dikemukan oleh para ulama untuk
mendukung penyataan di atas, di antaranya adalah sebagai berikut :24 1). Surat Ali Imran ayat 31.
⌦ ⌧ . ) ناﺮﻤﻌﻟا : ( Artinya :
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Imran: 31).
2). Surat Al-Ahzab (33)ayat 21
⌧ ☺ ⌧ ⌧ ⌧ ) . بﺰ܊ﻻا : ( Artinya :
“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah".(QS. Al-Ahzab ayat 21). (QS. Al-Ahzab (33)ayat 21).
3). Surat Al-Hasyr (59) ayat 7.
) ﺮﺸ܋ﻟا : ٧ ( 24
Artinya :
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.(QS. Al-Hasyr (59) ayat 7).
4). Surat An-Nisa’ )( ayat 59. 4
⌧ ⌧ . ) ءﺎﺴﻨﻟا : ۵٩ ( Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(QS. An-Nisa’ (4)ayat 59).
5). Hadist ﺎ ﺪ ﺪ ﺰ ْ نورﺎه لﺎ ﺎ ﺮ ْﺧأ ﺰ ﺮ ْ ﺪْ ْ ﺮ ا ْ أ فْﻮ ﺮ ْا ماﺪْﻘ ْا ْ يﺪْ بﺮآ يﺪْﻜْا لﺎ . لﺎ لﻮ ر ا ﻰ ا ْ و ﺎ أ إ وأ بﺎ ﻜْا ْ و ﺎ أ إ وأ نﺁْﺮﻘْا ْ و ﺎ ﻚ ﻮ ر ْ ﺎ ﺎ ْ ﻰ ﻜ رأ لﻮﻘ ْ ﻜْ نﺁْﺮﻘْﺎ ﺎ ﻓ ْ ْﺪ و ﻓ ْ لﺎ ﻮ ﺄﻓ ﺎ و ْ ْﺪ و ﻓ ْ ﺮ ما ﻮ ﺮ ﻓ ﺎ أ ﺎ ْ ﻜ ْ رﺎ ْا ْهﺄْا ﺎ و آ يذ بﺎ ْ عﺎ ا ﺎ أ ﺎ و ﺔﻄﻘ ْ لﺎ ﺪهﺎ ﺎ إ ْنأ ْ ْ ﺎﻬْ ﺎﻬ ﺎ ْ و لﺰ مْﻮﻘ ْ ﻬْ ﻓ ْنأ ْ هوﺮْﻘ ْنﺈﻓ ْ ْ هوﺮْﻘ ْ ﻬ ﻓ ْنأ ْ هﻮ ﻘْ ْ ْ هاﺮ 25
Yang dimaksud dengan perkataan “dan semisalnya” dalam hadist di atas,
menurut jumhur ulama adalah Sunnah Rasulullah saw.
c. Ijma’
25
Pengertian Ijma’ menurut bahasa (etimilogi) adalah “kesepakatan” atau
“konsensus”. Selain itu mengandung arti “ketetapan hati untuk melakukan
sesuatu”. Sedangkan secara terminology, ada beberapa rumusan ijma’ yang
dikemukakan oleh para ulama. Imam Ghazali mendefinisikan ijma’ dengan
“kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama”.
Rumusan ini memberikan batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat
Muhammad saw., yaitu umat Islam, tetapi harus dilakukan oleh seluruh umat
Islam, termasuk orang awam.26
Rumusan menurut al-Amidi mengikuti pandangan Imam As-Syafi’I yang
meyatakan bahwa ijma’ harus dilakukan dan dihasilkan oleh seluruh umat
Islam, karena suatu pendapat yang dapat terhindar dari suatu kesalahan
hanyalah apabila disepakati oleh seluruh umat. Selanjutnya al-Amadi
merumuskan ijma’ dengan “kesepakatan sekelompok ahl al-hall wa al-‘aqdi
dari umat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu
peristiwa/kasus”. Rumusan tersebut menunjukkkan bahwa tidak semua orang
bias melakukan ijma’, melainkan orang-orang tertentu yang disebut dengan
ahl al-hall wa al-‘aqdi yang bertanggung jawab langsung terhadap umat.
Maka orang awam tidak diperhitungkan dalam proses ijma’.27
26
KH. Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008. h.92.
27
Sedangkan jumhur ulama merumuskan bahwa ijma’ adalah “kesepakatan
para mujtahid dari umat Muhammad saw pada suatu masa, setelah wafatnya
Rasulullah saw terhadap suatu hukum syara’”. Dari beberapa rumusan diatas
bahwa ijma’ hanya dilakukan dan disepakati oleh para mujtahid Muslim pada
suatu masa setelah wafatnya Rasulullah saw. Jumhur ulama perlu menyatakan
“setelah wafatnya Rasulullah saw”. sebab selama Rasulullah masih hidup
seluruh permasalahan yang timbul langsung dapat ditanyakan kepada beliau,
sehingga tidak diperlukan ijma’.
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ dapat menjadi dalil hukum
(hujjah) selagi memenuhi rukun-rukun ijma’. Dalam kondisi terseut ijma’
menjadi hujjah yang qath’i (pasti), wajib diamalkan dan tidak boleh diingkar,
sehingga jika ada orang yang mengingkarinya maka dianggap kafir. Dengan
begitu ijma’ juga dapat dijadikan sebagai dasar penetapan fatwa. Disamping
itu, permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma’ tidak boleh
lagi menjadi permasalah oleh umat generasi berikutnya, karena hukum yang
ditetapkan melalui ijma’ merupakan hukum syara’ yang qath’I dan menempati
urutan yang ketiga sebagai dalil syara’ setelah Al-qur’an dan As-Sunnah.
d. Qiyas
Pengertian qiyas secara bahasa adalah ukuran, mengetahui ukuran sesuatu,
membandingkan, atau menyamakan sesuatu dengan yang lainnya. Sedangkan
dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda, tetapi
mengandung arti yang sama.28
Menurut mayoritas ulama Syafiiyyah :
ﻜ ﺎ ﻬ ﺎ ﺮ ﺎ ﺎ ﻬ واﺎ ﻬ ﻜ اتﺎ اﻰﻓمﻮ ﻰ مﻮ ﺮ
ﺔ وا
29
“Membawa (hukum) yang (belum) diketahui kepada *hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat”.
Menurut Wahbah al-Zuhaili merumuskan qiyas dengan:
ﻓﺎ ﻬآاﺮ ﻻ ﻜ ﻰ صﻮ ﺮ ﺎ ﻰ ﺮﺸ ا ﻜ ﻰ صﻮ ﺮ ﺮ اقﺎ ا
ﻜ اﺔ
30
“Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebutkan kasatuan ‘illat hukum antara keduanya”.
Dari beberapa rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa proses penetapan
hukum melalui metode qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal, tetapi
hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum yang telah ada pada suatu
kasus yang belum jelas hukumnya. Penyingkapan dan penjelasan ini
dilakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap ‘illat dari suatu
kasus yang sedang dihadapi.
28
Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008). h.105.
29
Al-Ghazali, Al-Mustassyfa fi ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al kutub al-Ilmiyah), jilid II, h.54. 30
Misalnya, seorang mujtahid ingin mengetahui hukum meminum bir atau
wisky. Dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara cermat, kedua
minuman tersebut mengandung zat yang memabukkan, seperti yang ada pada
zat yang ada pada khomer (mengandung zat yang memabukkan). Zat yang
memabukkan inilah yang menjadi illatnya, sebab illatnya bir dan wisky sama
seperti ‘illatnya khomer. Dengan demikian mujtahid tersebut telah
menemukan bahwa hukum bir dan wisky sama dengan hukum khomer yaitu
haram.31
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah qiyas dapat dijadikan dasar
hukum. Tetapi jumhur ulama ushul fiqh berpendirian bahwa qiyas dapat
dijadikan sebagai metode atau sarana untuk mengistinbatkan hukum syara’.
3. Sifat Fatwa
Dalam perkembangan ekonomi syariah, fatwa mempunyai peranan penting
dan menjadi aspek organik dalam bangunannya, fatwa juga menjadi alat ukur bagi
kemajuan ekonomi syariah di Indonesia. Secara teknis fatwa ekonomi syariah
tampil menyuguhkan pembaharuan dalam fiqh muamalah maaliyah (fiqh
ekonomi).32
Dari beberapa pengertian fatwa di atas, fatwa memiliki sifat-sifat yang harus
diketahui. Ada dua hal penting yang harus dicatat adalah sebagai berikut :
31
Ma’ruf Amin. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta : eLSAS Jakarta, Juli 2008). h.106.
32
a. Fatwa bersifat responsive. Fatwa merupakan jawaban suatu hukum (legal
opinion) yang dikeluarkan setelah adanya suatu pertanyaan atau
permintaan fatwa (based on demand). Pada umumnya fatwa dikeluarkan
sebagai jawaban atas pertanyaan yang merupakan peristiwa atau kasus
yang telah terjadi atau nyata. Seorang pemberi fatwa (mufti) boleh untuk
menolak memberikan fatwa atas pertanyaan tentang peristiwa yang belum
terjadi, berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibnu
Umar. ىور ﺪ ْ أ ْ ْا ﺮ ) ﺎ اﻮ ﺄْ ﺎ ْ ْ ﻜ نﺈﻓ ﺮ ﻰﻬ ْ ﻚ ذ ( و ﺎﻀْأ ْ ْا سﺎ لﺎ ْ ﺔ ﺎ ا " ﺎ اﻮ ﺎآ نﻮ ﺄْ ﺎ إ ﺎ ْ ﻬ ْ " ْ او ﻓﺎﺸ ا ﻰ ﺔهاﺮآ لاﺆ ا ْ ءْ ﺸ ا ْ و ﻮ ْﻮﻘ ﻰ ﺎ : } ﺎ اﻮ ﺄْ ْ ءﺎ ْ أ ْنإ ﺪْ ْ ﻜ ْ آْﺆ { نﺎآو ﻰ ا ْ و " ﻰﻬْ ْ لﺎ و ﺔ ﺎ إو لﺎ ْا ةﺮْآو لاﺆ ا " ﻓو ﻆْ } نإ ا ﺮآ ْ ﻜ ﻚ ذ { ﺎ ﻬْ 33
Artinya (yang digaris bawahi):
“Jangan kalian menanyakan tentang peristiwa yang belum terjadi karena Umar RA. (pernah) melarang hal tersebut”.
Walaupun begitu, seorang mufti tetap disunahkan untuk menjawab
pertanyaan seperti itu, sebagai langkah hati-hati agar tidak termasuk orang
yang menyembunyikan ilmu.
b. Dari segi kekuatan hukum, fatwa sebagai jawaban hukum (legal opinion)
tidaklah bersifat mengikat. Dengan kata lain, orang yang meminta fatwa
(mustafti), baik perorangan, lembaga, maupun masyarakat luas tidak harus
mengikuti isi atau hukum yang diberikan kepadanya. Hal ini disebabkan
33
bahwa fatwa tidaklah mengikat sebagaimana putusan pengadilan (qadha’).
Bisa saja fatwa seorang mufti di suatu tempat berbeda dengan fatwa mufti
lain di tempat yang sama. Namun demikian, apabila fatwa ini kemudian
diadopsi menjadi keputusan pengadilan dan hal ini lazim terjadi, maka
barulah ia memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Terlebih lagi jika ia
diadopsi menjadi hukum positif atau regulasi suatu wilayah.34
Dalam kajian Ushul Fiqh, fatwa memiliki sifat mengikat bagi pihak-pihak
yang meminta dan memberi fatwa. Namun teori lama ini dapat diperbaharui seiring
dengan perkembangan dan proses terbentuknya fatwa. Teori fatwa yang mengikat
bagi pihak yang meminta fatwa dan memberi fatwa ini sudah tidak relevan untuk
fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). Maka dalam fatwa ekonomi syariah Dewan
Syariah Nasional (DSN) tidak hanya mengikat bagi pihak yang meminta atau bagi
praktisi (lembaga) ekonomi syariah, tapi juga bagi masyarakat Indonesia khususnya
yang bertransaksi dengan lembaga terkait. Karena fatwa-fatwa ini telah
dipositivisasi oleh Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI), bahkan
DPR RI mensyahkan Perbankan Syariah melalui undang-undang No. 21 Tahun
2008.
4. Metode Fatwa
Fatwa merupakan salah satu metode dalam hukum islam yang terdapat dalam
Al-quran dan hadist untuk memberikan keterangan dan penjelasan mengenai
34
hukum-hukum secara syara’ Islam, ajaran-ajarannya dan arahan-arahannya. Sebagai
sebuah metode dalam memberikan penjelaan terhadap suatu masalah yang belum
jelas status hukumnya, maka fatwa menempati posisi yang sangat penting dan
strategis.
Mengeluarkan fatwa merupakan salah satu cara untuk menerangkan
hukum-hukum Islam kepada masyarakat khususnya umat muslim. Hal ini bukanlah
pekerjaan yang mudah dan mengandung resiko yang berat, maka orang yang pantas
untuk memberikan dan membuat fatwa tidaklah sembarang orang, diperlukan
syarat-syarat tertentu, sehingga fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan layak dipatuhi
umat Islam, dapat dipertanggung jawabkan serta tidak menimbulkan perselisihan.
Sebelum memberikan jawaban atau fatwa, seorang mufti pada dasarnya telah
melalui proses yang mencakup empat hal, yaitu :
a. Apa hukum atas masalah yang dimaksud.
b. Apakah dalilnya
c. Apa wajib dalalah-nya.
d. Apa saja jawaban-jawaban/fatwa yang bertentangan di seputar persoalan
yang dimaksud.35
Berdasarkan hal itu, sebagian ulama ahli fiqh mensyaratkan seorang mufti itu
harus ahli ijtihad (mujtahid). Sebab, empat proses tersebut di atas, menuntut
kemampuan orang yang ahli ijtihad, di samping tentu saja dia adalah seorang
35
muslim, adil, mukallaf, ahli fiqh dan memliki pemikiran yang jernih. Namun
as-Syaukani tidak mensyaratkan seorang mufti itu harus mujtahid, yang penting dia
ahli di dalam agama Islam.
Seorang mufti juga harus memperhatikan beberapa keadaan, seperti :
mengetahui secara persis kasus yang dimintakan fatwanya, mempelajari psikologi
mustafti dan masyarakat lingkungannya agar dapat diketahui implikasi dari fatwa
yang dikeluarkannya sehingga tidak membuat agama Allah menjadi bahan
tertawaan dan permainan.
Seorang mufti tidak boleh berfatwa dengan fatwa yang bertentangan dengan
nash syar’i, meskipun fatwanya itu sesuai dengan madzhabnya. Ia juga tidak boleh
berfatwa dari perkataan dan pandangan yang belum mengalami proses tarjih atau
analisis perbandingan dan pengambilan dalil terkuat.
Disamping itu, Jalaluddin Al-Mahalli juga menyebutkan seorang mufti atau
orang yang ahli hukum Islam harus mempunyai persyaratan tertentu agar dalam
keputusan-keputusannya layak untuk dipatuhi.
و طﺮ ا نأ نﻮﻜ ﺎ ﺎ ﻘ ﺎ أ ،ﺎ ﺮﻓو ﺎﻓ ﺧ ،ﺎ هﺬ و نأو نﻮﻜ ﺎآ ﺔ ا ﻓ ،دﺎﻬ ﻻا ﺎﻓرﺎ ﺎ جﺎ إ ﻓ طﺎ ا مﺎﻜ ﻷا ﻮ ا ﺔ او ﺔﻓﺮ و لﺎ ﺮ ا ﺮ و تﺎ ا ةدراﻮ ا ﻓ مﺎﻜ ﻷا رﺎ ﺧﻷاو ةدراﻮ ا ﺎﻬ ﻓ . 36 Artinya:
“Mengusai pendapat-pendapat dan akidah-akidah dalam ushul fiqh dan fiqh, mempunyai kelengkapan untuk ijtihad, mengetahui ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk memformulasikan suatu hukum (istinbat al-hukum), misalnya ilmu Nahwu, ilmu bahasa, ilmu mushtalah al-hadits, tafsir-tafsir ayat dan hadist-hadist hukum”.
36
Dari uraian di atas tersebut mengandung makna bahwa setiap menyatakan
hukum terhadap suatu masalah seorang mufti atau ahli hukum Islam tidak hanya
mampu menguasai dalil-dalil, tetapi harus menguasai ilmu-ilmu pendukung ijtihad
seperti ilmu Nahwu, ilmu bahasa, ilmu mushtalah al-hadits, tafsir-tafsir ayat dan
hadist-hadist hukum. Sehingga dapat terhindar dari praktek “tahkim” yaitu
membuat-buat hukum dan mengeluarkan sebuah hukum tanpa suatu landasan
hukum yang jelas.
Menjadi seorang mufti harus memenuhi persyaratan yang telah disebutkan
diatas. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan praktek tahkim yang tidak
diperbolehkan dan sangat dilarang oleh Allah SWT, karena dapat merusak tatanan
hukum Islam, bahkan dapat menimbulkan perselisihan umat Islam. Dalam QS.
An-Nahl ayat 116.
☺ ⌧
⌧
) .
݅܋ﻨﻟا
:
٦٦
( Artinya :
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan Ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”. (QS. An-Nahl (16) : 116).
Firman Allah SWT di atas memberikan penjelasan yang sangat tegas, bahwa
seorang mufti atau ahli hukum Islam dalam mengeluarkan fatwa tidak dibenarkan
hanya didasarkan pada dugaan-dugaan atau suatu kebohongan semata, tanpa
memberikan keputusan hukum sesuai dengan kemauannya hanya untuk memenuhi
kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Menurut para ulama ushul fiqh, seorang mufti atau ahli hukum Islam harus
mempunyai persyaratan sebagai berikut :
a. Baligh, berakal dan merdeka
b. Adil
c. Memenuhi persyaratan seorang Mujtahid atau memilki kapasitas keilmuan
untuk memberikan fatwa.37
Untuk memberikan bentuk kehati-hatian dalam memberikan fatwa, imam
Ahmad Hambal menyatakan bahwa seseorang tidak pantas untuk mengeluarkan
fatwa sebelum pada dirinya terdapat lima hal berikut :38
a. Mempunyai niat yang tulus ikhlas. Maksudnya setiap orang yang
mengeluarkan fatwa harus diniatkan “lillahi ta’ala”, tidak karena
maksud-maksud lain, apalagi maksud-maksud keduniaan, misalnya agar mendapat
kedudukan yang mulia. Karena menurut imam Ahmad, fatwa yang tidak
didasari oleh niat ”lillahi ta’ala” tidak mempunyai “nur” (cahaya).
b. Mempunyai ketenangan dan kewibawaan. Karena setiap mufti harus
mampu menyampaikan dan menjelaskan fatwanya kepada pihak yang
meminta fatwa (mustafti), sehingga fatwanya dipahami secara utuh dan
37
Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedia Hukum Islam. (Jakarta : PT. Ikctiar Baru Van Hoeve, 1996). h.327.
38
benar. Orang yang tidak mempunyai ketenangan dan kewibawaan akan
sulit untuk menyampaikan secara jelas fatwanya.
c. Mempunyai kapasitas kelilmuan yang memadai untuk menetapkan fatwa.
Karena seseorang yang mengeluarkan fatwa tanpa didasari oleh keyakinan
akan keilmuannya, maka orang tersebut termasuk orang yang
membuat-buat hukum dan diancam oleh hadist :
بﻮ أ
ﻰ أ
ْ
ﺪ
ْ
كرﺎ ْا
ْا
ﺎ ﺪ
ﻰ أ
ﺎ ﺪ
ﻰ ﻮ
ْ
هاﺮْإ
ﺎ ﺮ ْﺧأ
ﺮ ْ
ﻰ أ
ْ
ا
ﺪْ
ْ
ا
لﻮ ر
لﺎ
لﺎ
-و
ﷲا
ﻰ
-:
»
ﺎ ْ ْا
ﻰ
ْ آؤﺮْ أ
رﺎ ا
ﻰ
ْ آؤﺮْ أ
«
).
رﺪ ا
بﺎ ﻜ ا
ﻓ
(
39d. Mempunyai kecukupan dalam penghidupannya. Karena jika tidak
mempunyai penghidupan yang cukup dikhawatirkan menggantungkan
hidupnya dari berfatwa yang bisa menjadikannya tidak independent dalam
berfatwa.
e. Memiliki kecermatan dan kecerdikan dalam menghadapi masalah. Hal ini
sangat dibutuhkan oleh seorang mufti agar tidak terjebak dalam tipu daya
orang yang ingin menjadikan fatwa sebagai tempat berlindung dari
masalah yang dihadapinya.
Ada beberapa metode yang dijadikan pedoman dalam penetapan fatwa.
Adapun metode-metode tersebut adalah sebagai berikut :40
39
Kitab Sunan Al-Darami. Dalam Maktabah Syamilah. Juz: 1, h.179. 40
a. Metode Bayani (Analisa Kebahasaan)
Metode ini dipergunakan untuk memperjelaskan teks Al-Quran dan
As-Sunnah dalam menetapkan hukum dengan menggunakan analisa kebahasaan.
Yang dimaksud dengan kaidah kebahasaan adalah kaidah-kaidah yang
dirumuskan oleh para ahli bahasa dan kemudian diadopsi oleh para ulama
ushul fiqh untuk melakukan pemahaman terhadap makna lafadz sebagai hasil
analisa induktif dari tradisi kebahwaan bangsa Arab sendiri.
Pembahasaan metode bayani ini dalam kajian ushul fiqh mencakup :
1). Analisa berdasarkan segi makna lafadz
2). Analisa berdasarkan segi pemakian makna.
3). Analisa berdasarkan segi terang dan samarnya makna.
4). Analisa berdasarkan segi penunjukan lafadz kepada makna menurut
maksud pencipta nash.
b. Metode Ta’lili
Metode ini digunakan untuk menggali dan menetapkan hukum terhadap
suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash baik
secara qath’i maupun dzanni, dan tidak juga ada ijma’ yang menetapkan
hukumnya, namun hukumnya tersirat dalam dalil yang ada. Istinbath seperti
ini ditujukan untuk menetapkan hukum suatu peristiwa dengan merujuk
kepada kejadian yang telah ada huk