• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Soal Berbasis Literasi Mate

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Soal Berbasis Literasi Mate"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Ahmad Wachidul Kohar1, Zulkardi2

1

Pascasarjana Universitas Sriwijaya, bangwachid@gmail.com 2

Pascasarjana Universitas Sriwijaya, zulkardi@yahoo.com

Abstrak. Literasi matematika, kemampuan seseorang dalam merumuskan, menerapkan, dan menafsirkan matematika ke dalam berbagai konteks telah menjadi isu penting dalam survei internasional PISA dalam beberapa tahun terakhir ini. Sebuah kerangka telah dirancang oleh dewan pelaksana PISA sebagai landasan dalam mengembangkan konsep literasi matematika sekaligus menyusun soal PISA beserta profilnya untuk digunakan pada survei tahun 2012. Dalam tulisan ini, peneliti menyajikan proses pengembangan soal berbasis literasi matematika dengan menggunakan kerangka PISA 2012 sebagai rujukan utama. Soal dikembangkan dengan alur formative evaluation, yang terdiri dari tahap self evaluation, one-to-one, expert review, small group, dan field test dengan melibatkan 8 ahli dari pakar PMRI, 2 ahli dari tim PISA Australia, dan 67 siswa SMA usia 15 tahun di kota Palembang. Hasil penelitian menunjukkan soal yang dikembangkan memenuhi kriteria valid dan praktis berdasakan analisis hasil one-to-one, expert review, dan small group dan mempunyai efek potensial berdasarkan analisis field test yang menunjukkan keterlibatan siswa secara aktif dalam memunculkan indikator kemampuan dasar matematika yang disebutkan oleh kerangka PISA.

Kata Kunci: pengembangan soal, literasi matematika, kerangka PISA 2012, kemampuan dasar matematika.

1.

Pendahuluan

Dewasa ini pemahaman matematika yang baik semakin berperan penting sebagai alat untuk memecahkan berbagai permasalahan yang kompleks. Untuk itu, seseorang perlu mengembangkan kemampuan untuk menggunakan matematika ke dalam berbagai situasi masalah. OECD [1] dan Stacey, K. [2,3,4] menyebut kemampuan ini sebagai kemampuan literasi matematika, yaitu kemampuan yang merujuk pada kapasitas merumuskan, menerapkan, dan menafsirkan matematika ke dalam berbagai konteks. Literasi matematika merujuk pada kemampuan penalaran matematis dan menggunakan konsep matematika, prosedur, fakta, dan alat untuk menggambarkan, menjelaskan, dan memprediksi fenomena dalam kehidupan sehari-hari (OECD, 2013).

Literasi matematika telah menjadi isu utama dalam kajian survei internasional PISA (Program for International Student Assessment). Survei ini diselenggarakan tiga-tahunan untuk menguji pencapaian akademis anak-anak sekolah yang berusia 15 tahun, dan penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Organisasi untuk Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) yang kantor pusatnya berkedudukan di Paris, Prancis. Tujuan dari penilaian ini adalah untuk mengukur prestasi literasi membaca, matematika, dan sains siswa sekolah di negara-negara peserta.

(2)

utama dari kajian PISA bergantian dari kemampuan membaca, matematika, sains, dan pemecahan hingga pada tahun 2012, matematika menjadi domain utama kembali. Kerangka PISA 2012 sedikit berbeda dengan kerangka PISA matematika tahun-tahun sebelumnya. Pada PISA 2012, selain skor keseluruhan dan skor berdasarkan keempat kategori konten, pelaporan juga didasarkan atas skor pada kategori proses matematika yang meliputi kategori merumuskan (formulate), menggunakan (employ), dan menafsirkan (interpret) (OECD, 2013). Lebih lanjut, Turner (2012; 2013) mengungkapkan bahwa tingkat kesulitan soal tidak hanya didesain untuk melihat tingkat kesulitan secara umum saja (level 1 sampai 6), namun juga dilihat dari level kemampuan dasar matematis (KDM) (fundamental mathematical capabilities) yang mendasari proses matematis tersebut (level 0 sampai 3).

Indonesia sendiri berpartisipasi dalam studi PISA matematika sebanyak lima kali selama tahun 2000-2012. Namun, sejak pertama kali keikutsertaan ini, prestasi siswa-siswa Indonesia belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Dalam kurun waktu 2003-2009 hampir 80% siswa Indonesia hanya mampu mencapai di bawah garis batas level 2 dari enam level soal yang diujikan [10]. Lebih lanjut pada PISA matematika tahun 2009, hampir semua siswa Indonesia hanya mencapai level 3 saja, sedangkan hanya 0,1% siswa Indonesia yang mampu mencapai level 5 dan 6 [4]. Keterpurukan hasil ini semakin diperkuat oleh hasil survei PISA terbaru tahun 2012 yang menempatkan siswa Indonesia pada peringkat 64 dari 65 negara dengan pencapaian level yang masih terbilang rendah dimana hampir seluruh siswa Indonesia (98,5%) pada survei ini hanya mampu mencapai level 3[1, 6].

Menyadari kenyataan ini, Indonesia melalui momen berlakunya kurikulum 2013 mulai menggunakan hasil studi PISA sebagai salah satu dasar perbaikan kurikulum pembelajaran. Untuk itu, Kemdikbud [10] menganjurkan perlu adanya perubahan orientasi kurikulum dengan mengutamakan aspek kemampuan esensial yang diperlukan semua warga negara di masa mendatang. Hal ini sejalan dengan konsep penilaian pada PISA yang mengutamakan kemampuan literasi matematika sebagai kemampuan esensial yang dibutuhkan saat ini. Sebagai bentuk kontribusi terhadap implementasi kurikulum 2013 yang mengintegrasikan konten PISA ke dalam pembelajaran matematika diperlukan upaya-upaya seperti pengembangan soal berbasis literasi matematika. Melalui upaya ini, diharapkan soal yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai tambahan perbendaharaan soal berbasis literasi matematika yang sudah ada dan sebagai bahan kajian dalam mendesain pembelajaran berbasis soal PISA.

Dari uraian di atas, peneliti memandang perlu untuk mengembangkan soal berbasis literasi matematika melalui penelitian yang berjudul Pengembangan Soal Berbasis Literasi Matematika dengan Menggunakan Kerangka PISA Tahun 2012. Dengan demikian, tujuan dari artikel ini adalah untuk mendeskripsikan proses dan hasil pengembangan soal berbasis literasi matematika berdasarkan kerangka PISA 2012 yang valid, praktis, dan memiliki efek potensial.

2.

Literasi Matematika

(3)

dan Stacey [5]) sebagai berikut, “Mathematical literacy is an individual’s capacity to formulate, employ, and interpret mathematics in a variety of contexts. It includes reasoning mathematically and using mathematical concepts, procedures, facts and tools to describe, explain and predict phenomena. It assists individuals to recognise the role that mathematics plays in the world and to make the well-founded judgments and decisions needed by constructive, engaged and reflective citizens.” Dari definisi ini, setidaknya ada tiga hal utama yang menjadi pokok pikiran dari konsep literasi matematika, yaitu (1) kemampuan merumuskan, menerapkan, dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks yang selanjutnya disebut sebagai proses matematika, (2) pelibatan penalaran matematis dan penggunaan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika untuk mendeskripsikan, menjelaskan, dan memprediksi fenomena, dan (3) manfaat dari kemampuan literasi matematika yaitu dapat membantu seseorang dalam menerapkan matematika ke dalam dunia sehari-hari sebagai wujud dari keterlibatan masyarakat yang konstruktif dan reflektif.

Menurut OECD (2013), seorang pemecah masalah matematika yang aktif adalah seseorang yang mampu menggunakan matematikanya dalam memecahkan masalah kontekstual melalui beberapa tahapan seperti yang diuraikan PISA dalam model literasi matematika pada gambar di bawah ini.

Gambar 1. Model Literasi Matematis dalam Praktik

Penjelasan model literasi matematika pada gambar di atas dijelaskan sebagai berikut.

1. Untuk memecahkan masalah kontekstual, seseorang harus menerapkan tindakan dan gagasan matematis untuk menyelesaikan masalah ini. Tindakan ini melibatkan kemampuan mengggunakan pengetahuan dan keterampilan matematika, yang mana hal ini sangat bergantung pada kemampuan yang disebut PISA sebagai kemampuan dasar matematika (Fundamental Mathematical Capabilities).

(4)

masalah. Setelah mengubah masalah kontekstual tersebut ke dalam bentuk matematika, langkah selanjutnya adalah menerapkan prosedur matematika untuk memperoleh ‘hasil matematika’. Tahapan ini biasanya melibatkan aktivitas seperti memanipulasi, bernalar, dan menghitung. Hasil matematika yang diperoleh kemudian ditafsirkan kembali dalam bentuk hasil yang berhubungan dengan masalah awal.

3. Dalam proses merumuskan, menerapkan, dan menafsirkan, kemampuan dasar matematis (KDM) akan diaktifkan secara berturut-turut dan bersamaan bergantung pada konten matematika dari topik-topik yang sesuai untuk memperoleh solusi. Bagaimanapun, ketiga proses ini kadang tidak dilibatkan semua dalam memecahkan masalah. Sebagai contoh, pada beberapa kasus, bentuk-bentuk representasi matematis seperti grafik dan persamaan dapat ditafsirkan secara langsung untuk memperoleh suatu solusi. Untuk alasan inilah, banyak dari soal-soal PISA yang hanya melibatkan beberapa tahap dari siklus pemodelan PISA.

3.

Kerangka soal PISA matematika tahun 2012

Dalam kerangka soal PISA tahun 2012, soal digolongkan dalam tiga domain utama, yaitu kategori konten, konteks, dan proses.

1) Konten PISA

Terdapat empat kategori konten matematika dalam PISA 2012 [1] yaitu:

a) Change and relationships (perubahan dan hubungan), berkaitan dengan pemahaman pada tipe-tipe mendasar dari perubahan yang membutuhkan pemodelan matematika dalam menjelaskan dan memprediksi fenomena. Secara matematis, konten ini berhubungan fungsi dan persamaan, serta menciptakan, menafsirkan dan menerjemahkan antara representasi simbolis dan grafis dari hubungan-hubungan matematika.

b) Space and shape (ruang dan bentuk), berkaitan dengan fenomena-fenomena yang terbentuk dari dunia visual dan fisik seperti pola, bentuk visual, sifat, posisi dan arah benda, menafsirkan informasi visual, interaksi dinamis dengan bentuk yang nyata.

c) Quantity (bilangan), berkaitan dengan hubungan bilangan dan pola bilangan, antara lain kemampuan untuk memahami ukuran, pola bilangan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan bilangan dalam kehidupan sehari-hari, seperti menghitung, melakukan penafsiran dan mengukur benda tertentu. d) Uncertainty and data (ketidakpastian dan data), sering dijumpai dalam

kehidupan sehari-hari, seperti data tentang pertumbuhan penduduk di suatu daerah, hasil jajak pendapat, prakiraan cuaca, dan lain sebagainya. Probabilitas/ketidakpastian dan data berhubungan dengan domain statistik dan peluang.

2) Konteks PISA

Dalam PISA 2012, OECD [1] menyebutkan empat konteks dalam PISA 2012, yaitu:

a) Personal (konteks pribadi), berhubungan dengan aktivitas pribadi, keluarga dan kelompok sebaya. Permasalahan nyata yang termasuk dalam diantaranya adalah seperti makanan, kesehatan pribadi, belanja, permainan, olahraga.

(5)

dan pemesanan bahan bangunan, menghitung gaji, pengendalian mutu, penjadwalan, arsitektur.

c) Societal (konteks umum), berhubungan dengan penggunaan pengetahuan matematika dalam kehidupan bermasyarakat baik lokal, nasional, maupun global. Konteks ini dapat berupa masalah angkutan umum, pemerintah, kebijakan publik, demografi, periklanan, statistik nasional.

d) Scientific (konteks ilmiah), berhubungan dengan kegiatan ilmiah yang lebih abstrak dan juga yang berkaitan dengan penerapan matematika di alam, isu-isu dan topik-topik yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti cuaca atau iklim, ekologi, kedokteran, ilmu ruang, genetika, pengukuran, dan dunia matematika itu sendiri.

3)

Proses

Dalam kerangka PISA 2012 disebutkan bahwa survei PISA tahun 2012 untuk pertama kalinya melaporkan hasilnya berdasarkan kategori proses matematika [1]. Kategori ini meliputi kategori merumuskan (formulate), menerapkan (employ), dan menafsirkan (interpret). Soal dikategorikan ke dalam salah satu dari ketiga kelompok ini bergantung pada dominansi kebutuhan proses tersebut dilibatkan dalam soal. Sebagai contoh, soal yang lebih banyak melibatkan proses merumuskan masalah kontekstual ke dalam bentuk matematika dikelompokkan dalam kategori proses merumuskan/formulate.

4.

Metode penelitian

Dalam mengembangkan soal, peneliti menggunakan

design research tipe development study. Penekanan dari tipe penelitian ini adalah pada pengembangan dengan siklus berulang yang menggunakan evaluasi formatif (formative evaluation) [6]. Tahap-tahap yang dilakukan peneliti adalah tahap preliminary dan tahap prototyping (formative evaluation) yang meliputi self evaluation, expert reviews dan one-to-one, small group, dan field test [7,8]

Gambar 2. Alur Pengembangan Soal Berbasis Literasi Matematika dengan Formative Evaluation (Adopsi dari Tessmer, 1993; Zulkardi, 2002)

5.

Hasil penelitian

(6)

(expert review) dan 6 siswa pada uji one-to-one untuk diberikan komentar dan saran. Berikut ini salah satu contoh perubahan soal akibat dari tahap ini.

Soal ke-1 konteks IMT (Sebelum revisi)

Tabel 1. Komentar dan Keputusan Revisi Soal Konteks IMT

Uji Komentar/Respon Keputusan Revisi

Expert review

Perlu ada tambahan informasi untuk butir pernyataan 1 tentang tinggi orang yang tetap: I do not think the answer is yes – I cannot tell, because it also depends on height.

 Pada pernyataan 1 ditambahkan asumsi bahwa tinggi orang dibuat tetap, sedangkan yang berubah adalah berat badan

 Memperbaiki deskripsi dan prediksi level tiap KDM Good range of interesting question

Level KDM perlu diperbaiki: “should be higher (but a couple of the others might be lower)”

Level KDM penalaran dan argumentasi seharusnya lebih dari 1: “You need to do this separately for each proposition, which means in total it will be more than 1.”

One-to-one Berarti tingginya harus dibuat tetap jika ingin mengatakan semakin bertambah berat badan, semakin bertambah pula nilai IMT-nya

Menambah informasi bahwa tinggi orang diasumsikan tetap

Hasil perubahan ini kemudian menjadi prototipe 2 yang merupakan hasil revisi dari prototipe 1.

(7)

Soal ke-1 konteks IMT (Sesudah revisi)

Pada soal di atas, konteks Indeks Massa Tubuh berhubungan dengan bagaimana seseorang dapat menggunakan formula IMT untuk menentukan kontrol yang tepat dalam menjaga keseimbangan antara tinggi badan dan berat badan. Oleh karena formula ini berlaku umum bagi masyarakat, maka konteks pada soal ini digolongkan dalam kategori konteks sosial.

Kebutuhan untuk menafsirkan formula aljabar ke dalam kalimat pernyataan menjadi fokus proses matematika yang paling utama pada soal ini, dimana siswa dituntut untuk menerjemahkan representasi berbentuk simbolik berupa rumus ke dalam kalimat tertulis dan menguji kebenaran dari informasi numerik: berat badan, tinggi badan, dan nilai IMT itu sendiri dengan menggunakan formula yang diberikan. Untuk itu, soal ini digolongkan ke dalam soal dengan proses menafsirkan. Kemampuan merumuskan masalah ke dalam bentuk matematika tidak banyak dibutuhkan karena informasi sudah disajikan dalam bentuk formal matematika (formula IMT), sehingga siswa hanya perlu menerapkan operasi aljabar sederhana untuk menentukan nilai dari variabel tertentu dari formula.

Ditinjau dari KDM yang dilibatkan, kemampuan menalar dan berargumen dibutuhkan dengan mengaitkan informasi rumus IMT dan tabel kategori IMT untuk menafsirkan hubungan keduanya. Hal ini berarti bahwa matematisasi banyak bekerja pada saat menafsirkan hubungan tersebut ke dalam pernyataan-pernyataan soal. Dalam hal ini, kemampuan komunikasi diperlukan untuk mengidentifikasi, memilih dan menggabungkan secara langsung unsur-unsur yang relevan: berat badan, tinggi badan, dan tabel IMT. Untuk mengecek kebenaran dari tiap pernyataan soal, maka perlu dilakukan strategi pemecahan masalah dengan melakukan operasi aljabar sederhana dengan mensubstitusikan nilai numerik yang diketahui ke dalam formula IMT.

Langkah selanjutnya adalah mengujicobakan prototipe 2 ke uji small group yang melibatkan 12 siswa SMAN 1 Palembang. Untuk itu, peneliti meninjau ulang setiap butir soal yang dikembangkan tersebut untuk dibuang, dipertahankan dengan revisi, atau dipertahankan tanpa revisi. Keputusan ini didasarkan pada hasil kegiatan: (1) memberi angket yang menanyakan pendapat siswa terhadap soal, (2) menelaah distribusi jawaban siswa, dan (3) mewawancarai subjek small group untuk mengetahui apakah siswa memang tidak bisa mengerjakan soal karena tidak adanya skema yang membantu atau karena masalah keterbacaan soal.

(8)

Pemberikan angket dilaksanakan setelah siswa mengerjakan soal. Isi angket menanyakan ada tidaknya kata/kalimat/gambar/grafik yang tidak dipahami dan kesan secara umum siswa terhadap soal. Dari hasil angket diketahui bahwa sebagian besar subjek (9 dari 12 siswa) menyatakan bahwa semua kata dalam soal bisa dipahami, sedangkan 8 siswa menyatakan semua kalimat bisa dipahami. Selain itu, hasil angket menyajikan kesan umum yang diberikan siswa seperti yang ditunjukkan tabel berikut ini.

Tabel 2. Komentar Umum Subjek Small group terhadap Prototipe 2

Kode Siswa Komentar Umum

S-1 Menantang, walaupun ada beberapa soal yang susah dimengerti. Akan tetapi, dari soal tersebut membuat saya berusaha untuk menjawab pertanyaan

S-2 Menantang dan baru. Berbelit-belit. Membutuhkan logika, menciptakan rumus sendiri, lain daripada yang lain.

S-3 Soal ini lebih bervariasi dan lebih sulit dari soal-soal yang biasa saya kerjakan. Soal ini memiliki wawasan yang lebih luas menyangkut kehidupan sehari-hari

S-4 Kalau soal-soal ini lebih menggunakan nalar daripada soal yang biasa saya kerjakan langsung pada pokoknya (jawabnya tinggal pake rumus). Soalnya sangat bagus untuk melatih otak

S-5 Menurut pendapat saya, soal-soal ini sangat membantu karena dengan adanya soal ini kita dapat mencoba memakai rumus sendiri dan juga kita bisa mengetahui soal-soal yang baru.

S-6 Berdasarkan soal yang dibuat soalnya bernalar, mengaitkan informasi pada soal dengan pengalaman yang sudah ada

Berdasarkan data tabel di atas, dapat disimpulkan beberapa kesan umum siswa subjek small group terkait soal yang dikembangkan, yaitu (1) soal berhubungan dengan kehidupan sehari-hari sehingga dapat menambah wawasan, (2) pemecahan soal lebih membutuhkan penalaran daripada langsung menggunakan rumus, (3) soal menuntut kreativitas untuk menyelesaikannya, (4) tipe soal seperti ini jarang ditemui di sekolah, dan (5) beberapa soal rumit dikerjakan karena berbelit-belit. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa poin (1), (2), dan (3) mendukung pernyataan bahwa soal ini dikembangkan berdasarkan konsep literasi matematika, yaitu untuk menguji kemampuan dasar matematika seperti penalaran dalam memecahkan masalah sehari-hari. Sementara itu, poin (4) menunjukkan bahwa soal berbasis literasi matematika memang perlu diperkenalkan lebih meluas, sedangkan poin (5) menunjukkan masih ada beberapa soal yang perlu diperbaiki materi soalnya karena adanya kemungkinan siswa yang tidak mampu menjawab disebabkan oleh susunan kalimat/gambar atau sejenisnya yang kurang jelas dalam soal. Secara keseluruhan, berdasarkan hasil uji small group revisi soal dilakukan dengan kegiatan yang meliputi hal-hal sebagai berikut.

1. Perlu ada tambahan keterangan perintah untuk membaca informasi umum yang digunakan sebagai informasi penting dalam menyelesaiakn soal-soal dalam satu unit konteks.

2. Memperjelas informasi gambar dan grafik serta kalimat perintah soal.

(9)

membahas efek potensial, peneliti membandingkan hasil angket secara tertulis mengenai respon butir pertanyaan 1 (kemampuan matematika), butir pertanyaan 2 (ketertarikan dan keseriusan siswa), butir pertanyaan 3 (kesan umum), dan hasil wawancara.

Dari angket yang diberikan, diperoleh sebaran data sebagai berikut.

Tabel 3. Pelibatan Kompetensi Dasar Matematis dalam Penyelesaian Soal Berbasis Literasi Matematika

No Kemampuan matematika yang dilibatkan Persentase Respon Siswa 1 Membuat model matematika sendiri, seperti membuat persamaan

matematika, membuat pola barisan bilangan, dan sejenisnya

56%

2 Menuliskan jawaban seperti membuat perhitungan dengan runtut 52%

3 Membuat/memanfaatkan model gambar, tabel, grafik, dan sejenisnya untuk membantu menemukan jawaban

64%

4 Memilih dan membandingkan strategi-strategi untuk menemukan jawaban 62%

5 Bernalar dengan mengaitkan informasi-informasi pada soal dengan pengalaman yang sudah ada

80%

6 Menggunakan dan memanipulasi rumus-rumus atau prosedur matematika tertentu untuk memperoleh jawaban

42%

Keterangan: Persentase Respon Siswa:

Berdasarkan tabel di atas diketahui 6 dari 7 jenis kemampuan matematika digunakan oleh lebih dari 50% siswa dalam menyelesaikan soal prototipe 3. Diantara 6 kemampuan tersebut, sebagai contoh kemampuan bernalar dengan mengaitkan informasi pada soal dengan pengalaman yang sudah ada atau yang dalam KDM disebut sebagai penalaran dan argumentasi, diakui oleh paling banyak siswa (80%) digunakan dalam menyelesaikan soal. Pengakuan ini sejalan dengan beberapa komentar tertulis subjek sebagai berikut.

B-1 : Soal ini memerlukan banyak logika dan tidak terpaku pada rumus-rumus A-31 : Kalau soal-soal di sini lebih menggunakan nalar daripada soal yang biasa saya

kerjakan langsung pada pokoknya (jawabnya tinggal pakai rumus). Soalnya sangat bagus untuk melatih otak.

Untuk menunjukkan bagaimana kemampuan dasar matematika diaktivasi siswa ketika menyelesaikan soal prototipe 3, berikut ini disajikan pembahasan soal ke-2 konteks IMT.

Berdasarkan analisis hasil pekerjaan siswa, diketahui hanya sebanyak 38% siswa menjawab soal ini dengan benar. Berikut ini adalah dua contoh model penyelesaian siswa yang mewakili sebagian besar jawaban siswa yang benar. Perbedaan strategi penyelesaian A-31 dan A-20 terletak pada cara

A-31

(10)

merepresentasikan jawaban pada saat mengoperasikan bahasa simbolik, dimana A-31 melakukan substitusi langsung nilai t dan IMT ke rumus, untuk dicari berat badannya dulu, sedangkan A-20 memilih untuk mencari nilai b dengan membuat persamaan yang menyatakan bahwa tinggi Kohar (tokoh dalam soal) tetap sama. Perbedaan cara ini mengakibatkan hasil yang sedikit berbeda, karena cara A-20 mengarah pada jawaban hasil pembulatan, sedangkan cara A-31 mengarah pada jawaban eksak bukan hasil pembulatan.

6.

Simpulan dan Saran

Berdasarkan pembahasan, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. 1. Penelitian ini menghasilkan seperangkat soal berbasis literasi matematika

berdasarkan kerangka PISA 2012 yang valid, praktis;

2. Soal berbasis literasi matematika yang dikembangkan memiliki efek potensial dalam mengembangkan kemampuan dasar matematika siswa, seperti komunikasi, penalaran dan argumentasi, pemecahan masalah, representasi, matematisasi, dan penggunaan bahasa/operasi simbolik/formal.

7.

Ucapan terima kasih

Ucapan terima kasih, penulis sampaikan kepada dirjen dikti yang membiayai penelitian ini, para ahli yang telah memvalidasi prototipe 1: Prof Kaye Stacey, Dr. Ross Turner, dan para dosen PMRI, serta subjek siswa dan Ibu Yanna (guru matematika) SMAN 1 Palembang.

Daftar pustaka

[1] OECD. (2013). PISA 2012 Assessment and Analytical Framework: Mathematics, Reading, Science, Problem Solving and Financial Literacy. Paris: OECD Publishing, . 2013.

[2] Shiel, G., Perkins, R., Close, S.,& Oldham, E. PISA Mathematics: A Teacher’s Guide. Dublin: Stationery Office, 2007.

[3] Stacey, K. The PISA View of Mathematical Literacy in Indonesia, Journal on Mathematics Education (IndoMS-JME), 2(2),95-126., 2011.

[4] Stacey, K. Mathematical and Scientific Literacy Around The World. Journal of Science and Mathematics Education in Southeast Asia, 33(1), 1-16, 2010.

[5] Stacey, K. PISA 2012: Philosophy, Item Development, Success and Possible Research. Makalah dipresentasikan di kuliah umum Pascasarjana Universitas Negeri Malang, Rabu, 26 Juni 2013, 2013.

[6] National Center for Education Statistics USA. PISA 2012 Data Tables, Figures, and Exhibits. Retrieved March 28, 2014, from http://nces.ed.gov/pubs2014/2014024_tables.pdf, 2013.

[7] Plomp, T., & Nieveen, N. An introduction to educational design research. In Proceedings of the Seminar Conducted at the East China Normal University [Z]. Shanghai: SLO-Netherlands Institute for Curriculum Development, 2007, November.

[8] Tessmer, M. Planning and Conducting Formative Evaluations: Improving the Quality of Education and Training. London: Kogan Page,1993.

[9] Zulkardi. (2002). Developing a Learning Environment on Realistic Mathematics Education for Indonesian Student Teachers. Dissertation. University of Twente, Enschede. The Netherlands. Published Dissertation.

Gambar

Gambar 1.  Model Literasi Matematis dalam Praktik
Gambar 2.  Alur Pengembangan Soal Berbasis Literasi Matematika dengan Formative Evaluation (Adopsi dari Tessmer, 1993; Zulkardi, 2002)
Gambar 3. Soal Konteks IMT (sebelum revisi)
Gambar 4. Soal Konteks IMT (setelah revisi)
+2

Referensi

Dokumen terkait

65 Pada penelitian ini didapatkan hubungan yang tidak bermakna antara hipoadiponektin dengan penyakit perlemakan hati non alkohol pada remaja obesitas yang masih mungkin

Dari pengertian kompensasi diatas, dapat di simpulkan bahwa kompensasi adalah sesuatu yang diterima karyawan baik berupa uang ataupun penghargaan sebagai bentuk balas

(SENARAI KURSUS MENGIKUT FAKULTI, JABATAN DAN NAMA PENSYARAH) SEMESTER KEDUA SESI 2020/2021.. Tarikh: 06/01/2021 m/s 1/ 31 Fakulti PUSAT KOKURIKULUM Jabatan

Sesuai dengan penelitian ini, nilai kuat tekan benda uji pada penggunaan terak nikel sebagai agregat kasar lebih besar dibandingkan dengan nilai kuat tekan pada

Materi Laporan Akuntabilitas Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan yang disajikan ini berisikan pelaksanaan dari serangkaian program strategis yang mengacu kepada 10

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran matematika realistik berbantuan GeoGebra lebih baik daripada siswa yang

Masyarakat atau pun pihak swasta yang dianggap telah melanggar perizinan mengenai pembangunan di kawasan hutan lindung di Bogor yang terdapat dalam Pasal 61 butir (a)

ciri khas dari kerajinan cukli. Kerajinan cukli ini sendiri mulai dibuat pada tahun 1986. Awal mulanya adalah pada saat budidaya mutiara sedang ramai di daerah