PENGARUH TIPE KEPRIBADIAN
BIG FIVE DAN
KECERDASAN EMOSI TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL
SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA TANGERANG
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk
memenuhi syarat-syarat mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Oleh
RIKHA FARIKHA NIM : 106070002202
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
PENGARUH TIPE KEPRIBADIAN
BIG FIVE DAN
KECERDASAN EMOSI TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL
SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA TANGERANG
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk
memenuhi syarat-syarat mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Oleh
RIKHA FARIKHA NIM: 106070002202
Di bawah bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag Ikhwan Lutfi, M. Psi NIP.196806141997041001 NIP.19730710 200501 1 006
FAKULTAS PSIKOLOGI
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul Pengaruh Tipe Kepribadian Big Five dan Kecerdasan Emosi terhadap Perilaku Prososial Satuan Polisi Pamong Praja kota Tangerang telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) Fakultas Psikologi.
Jakarta, 06 Juni 2011
Sidang Munaqasyah
Dekan/Ketua Pembantu Dekan/Sekretaris
Jahja Umar, Ph.D NIP. 130 885 522
Anggota
Bambang Suryadi, Ph.D Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag
NIP. 197005292003121002 NIP.196806141997041001
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Rikha Farikha
NIM : 106070002202
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul PENGARUH TIPE KEPRIBADIAN BIG FIVE DAN KECERDASAN EMOSI TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA TANGERANG adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan karya tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam skripsi. Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan undang-undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau ciplakan dari karya orang lain.
Demikian pernyataan ini diperbuat untuk dipergunakan seperlunya.
Jakarta, Juni 2011 Yang Menyatakan
Inti kemampuan pribadi dan
sosial yang
merupakan kunci utama
keberhasilan seseorang
sesungguhnya adalah kecerdasan
emosi
.
Dari Abu Hurairah ra,
ia berkata: Rasulullah SAW
bersabda:
Sesungguhnya Allah tidak melihat
kepada tubuh dan bentuk kalian,
tetapi Allah melihat kepada hati
dan
amal perbuatan kalian .
KATA PENGANTAR
BismillahirahmanirrahiimSegala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam, yang telah
menghamparkan bumi tanpa batas dan mendirikan langit tanpa tiang peyangga,
yang menguasai kerajaan langit dan bumi, yang memberikan begitu banyak
kenikmatan iman, kenikmatan Islam, dan hidayah-Nya kepada kita semua.
Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada junjungan ummat Islam Nabi
besar Muhammad SAW.
Syukur Alhamdulillah penulis haturkan atas terselesaikannya skripsi ini.
Meskipun penulis banyak hambatan dan rintangan dalam perjuangan bangku
kuliah hingga penyusunan skripsi yang diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana
Psikologi. Semua itu tidak luput dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu,
izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Jahja Umar, Ph.D, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, beserta jajarannya.
2. Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag, dan Ikhwan Lutfi, M.Psi yang telah
membimbing, mengarahkan dan memberikan saran dengan kesabaran serta
memberikan dukungan yang membuat penulis merasa sangat beruntung
karena arahan dan bimbingan yang diberikan terasa sangat membantu dalam
menyelesaikan skripsi ini.
3. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi yang telah memberikan ilmu dan
pengetahuannya dengan kesabaran dan keikhlasan.
4. Instasi pemerintah kota Tangerang dengan seluruh jajaran anggota Satpol PP
yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian disana.
5. Kedua orang tua penulis, ibunda tercinta atas jasamu yang tak kenal lelah
mendoakan anakmu ini. Ayahanda tercinta yang selalu memberikan
dukungan dan bantuan berupa doa dan materi sehingga penulis dapat bertahan
hidup menuntut ilmu di sini.
6. Kakak tercinta almarhumah Nur Minkhatullaila yang tidak sempat
menyaksikan adikmu ini meraih gelar sarjana dan maafkan adikmu yang tak
sempat melihat kepergianmu untuk terakhir kalinya, doaku akan selalu
mengalir untukmu, semoga Allah menempatkanmu disisiNya. Penulis selalu
dimasa kecil kita berdua. Adik penulis Emi, Indah, Ayu, Khalwa, Kia yang
menjadikan semangat dalam hidup penulis.
7. Om haji Alwani dan Kak Mei, yang telah berkenan membantu dan
meluangkan waktunya ketika proses pengambilan data penelitian, dan
memberikan nasehat kepada penulis.
8. Mas Bayu yang dengan perhatian dan pengorbanannya selalu memberikan
bantuan disaat penulis membutuhkannya, tak pernah lelah memberi semangat,
menemani penulis dikala suka dan duka, yang membuat penulis tertawa dan
menangis, dan slalu setia mengantarkan kemana penulis inginkan. Takkan
pernah penulis mampu membayar semua ketulusanmu kecuali dengan cinta
dan kesetiaan.
9. Rahma teman terbaik penulis, dengan kebersamaan kita dikala senang dan
duka, atas tumpangan motornya ketika ke kampus, penulis takkan dapat
melupakan kenangan itu. Kak Via yang telah mengizinkan tempatnya yang
dijadikan pangkalan penulis ketika menunggu dosen pembimbing buat
bimbingan. Teman kosan, Anna yang dengan baik hati membantu penulis
ketika sedang skirpsi, menemani penulis kala sepi, dengan sabar dan selalu
pengertian. Teman-teman Fakultas Psikologi angkatan 2006, khususnya kelas
A dan juga sahabat-sahabat yang tak dapat disebutkan satu persatu, yang turut
merangkai guratan-guratan garis kenangan di kanvas hidup penulis, yang
dengannya terasa penuh warna.
10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu
kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah diharapkan untuk
menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata, besar harapan penulis semoga skripsi ini
memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi siapa saja yang
membaca.
Jakarta, Juni 2011
ABSTRAK
(A) Fakultas Psikologi
(B) Juni 2011
(C) Rikha Farikha
(D) Pengaruh Tipe Kepribadian Big Five Dan Kecerdasan Emosi Terhadap Perilaku Prososial Anggota Satuan Polisi Pamong Praja Kota Tangerang
(E) 107 Halaman + 30 Lampiran
(F)Dalam institusi pemerintahan Satpol PP memiliki andil yang cukup penting seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2004 Pasal 148 yaitu menertibkan dan menjaga ketentraman lingkungan masyarakat daerah. Untuk itu perilaku prososial merupakan salah satu cara yang sangat penting untuk menjaga citra Satpol PP dimasyarakat. Perilaku prososial Satpol PP dapat dipengaruhi oleh aspek-aspek kepribadian big five dan aspek-aspek kecerdasan emosi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tipe kepribadian big five
(neuroticism, extrovertness, openness to experience, agreeableness, councientiousness) dan kecerdasan emosi (kesadaran, mengelola emosi, memotivasi diri, empati, ketrampilan sosial) terhadap perilaku prososial anggota Satpol PP kota Tangerang.
Sampel penelitian kuantitatif ini pada anggota Satpol PP yang berjumlah 118 orang. Instrument pengumpulan data dengan menggunakan 5 skala Likert. Alat ukur kepribadian big five diadaptasikan dari skala International Personality Item Pools (IPIP) big five oleh Goldberg, L. R. Alat ukur kecerdasan emosi dikembangkan berdasarkan dimensi-dimensi kecerdasan emosi yang dikemukakan oleh Goleman, dan alat ukur perilaku prososial dikembangkan berdasarkan dimensi-dimensi perilaku prososial yang dikemukakan oleh Wispe. Analisis data pada penelitian ini menggunakan tehnikMultiple Regression Analysis.
Hasil penelitian menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari variabel
neuroticism, extrovertness, openness to experience, agreeableness,
councientiousness, kesadaran, mengelola emosi, memotivasi diri, empati, ketrampilan sosial terhadap perilaku prososial. Berdasarkan koefisien regresi
variable penelitian sebesar 56.5%, dan proporsi varian 12 independent variabel menunjukkan hanya ada empat variabel yang tidak signifikan pengaruhnya pada perilaku prososial yaitu agreeableeness sebesar 6%,
kesadaran 0%, memotivasi diri 3% dan empati 0%.
Hasil diskusi menyatakan bahwa untuk pengembangan penelitian selanjutnya disarankan untuk mengambil sampel tidak hanya pada anggota Satpol PP kota Tangerang saja tapi diperluas ke wilayah yang lain. Kemudian juga perlu mengkaji variabel lain diluar penelitian ini yang menjadi faktor dan mempengaruhi perilaku prososial. Untuk anggota Satpol PP, terutama di kota Tangerang.
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
LEMBAR PENYATAAN ... iii
KATA PENGANTAR... iv
ABSTRAK ... vi
DAFTAR ISI... viii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang... 1
1.2 Pembatasan dan perumusan masalah ... 11
1.3 Tujuan dan manfaat penelitian ... 12
1.4 Sistematika penulisan ... 13
BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1 Perilaku Prososial 14 2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial ... 14
2.1.2 Bentuk-Bentuk Perilaku Prososial ... 16
2.1.3 Faktor-Faktor Penentu Perilaku Prososial... 20
2.2 KepribadianBig Five ... 25
2.2.1 Pengertian kepribadianbig five ... 25
2.2.2 Trait-trait dalam kepribadianbig five ... 26
2.3 Kecerdasan Emosional ... 35
2.3.1 Pengertian kecerdasan emosional ... 35
2.3.2 Aspek-aspek dalam kecerdasan emosi ... 36
2.4 Kerangka Berfikir ... 40
2.5 Hipotesis Penelitian ... 46
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode pengumpulan data ... 47
3.1.1 Populasi ... 47
3.1.2 Sampel ... 47
3.2 Variabel Penelitian ... 48
3.3 Definisi Koseptual dan Operasional Variabel ... 48
3.4 Pengumpulan Data ... 51
3.4.1 Teknik Pengumpulan Data ... 51
3.4.2 Instrumen Penelitian ... 51
3.4.3 Prosedur Pengumpulan Data ... 58
3.5 Metode Analisis Data ... 58
3.5.1 Uji Validitas ... 58
3.5.2 Uji Reliabilitas ... 59
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Analisis Deskriptif ... 63
4.1.1 Responden Berdasarkan Usia ... 63
4.1.2 Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 64
4.1.3 Responden Berdasarkan Masa Kerja ... 65
4.1.4 Responden Berdasarkan Etnis ... 66
4.1.5 Tipe KepribadianBig Five ... 67
4.1.6 Kecerdasan Emosi ... 69
4.1.7 Perilaku Prososial ... 71
4.2 Uji Hipotesis Penelitian ... 72
4.2.1 Analisis Regresi Variable Penelitian ... 72
4.2.2 Pengujian ProporsiVarians Untuk Masing-Masing Independent Variabel... 77
BABV KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 81
5.2 Diskusi ... 82
5.3 Saran ... 88
5.3.1 Saran Teoritis ... 89
5.3.2 Saran Praktis ... 90
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Blue PrintTry Out Skala Tipe KepribadianBig Five... 52
Tabel 3.2 Blue PrintField Test Skala Tipe KepribadianBig Five... 53
Table 3.3 Blue PrintTry Out Skala Kecerdasan Emosi ... 54
Table 3.4 Blue PrintField Test Skala Kecerdasan Emosi ... 55
Table 3.5 Blue PrintTry Out Skala Perilaku Prososial... 56
Table 3.6 Blue PrintField Test Skala Perilaku Prososial ... 57
Table 3.7 Bobot Skor Skala ... 57
Table 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia... 63
Table 4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Pendidikan ... 64
Table 4.3 Gambaran Responden Berdasarkan Masa Kerja... 65
Table 4.4 Gambaran Responden Berdasarkan Etnis/Suku Bangsa... 66
Table 4.5Descriptive Statistics Tipe KepribadianBig Five... 67
Table 4.6 Gambaran Responden Berdasarkan Tipe KepribadianBig Five ...68
Table 4.7 Descriptive Statistics Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi ... 69
Table 4.8 Descriptive Statistics Kecerdasan Emosi... 70
Table 4.9 Interpretasi Skor Kecerdasan Emosi ... 70
Table 4.10Descriptive Statistics Perilaku Prososial... 71
Table 4.11. Kategori Perilaku Prososial... 71
Table 4.12 Anova ... 72
Table 4.13 R Square... 73
Table 4.14 Koefisien Regresi... 74
DAFTAR LAMPIRAN
1. Reabilitas dan validitasbig five
2. Reabilitas dan validitas kecerdasan emosi 3. Reabilitas dan validitas perilaku prososial 4. Regresi berganda
5. Data mentah itembig five
6. Data mentah item kecerdasan emosi 7. Skor Z item big five
8. Data mentah perilaku prososial
9. Data mentah latar belakang responden
10. Surat permohonan izin penelitian dari kampus 11. Surat balasan peneitian dari Satpol PP
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab ini berisi latar belakang mengapa perlu dilakukan penelitian
perilaku prososial, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat, dan
sistematika penulisan.
1.1 Latar Belakang Masalah
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) merupakan perangkat daerah yang
bertugas memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat. Tugas tersebut
diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
Pasal 148 yang berbunyi ”Untuk membantu Kepala Daerah dalam menegakkan
Peraturan Daerah dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat dibentuklah Satuan Polisi Pamong Praja", Ayat (1) untuk membantu
Kepala Daerah dalam menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum
dan ketentraman masyarakat dibentuk Satpol PP, Ayat (2) Pembentukan dan
susunan organisasi Satpol PP sebagaimana dimaksud ayat (1) berpedoman pada
Peraturan Pemerintah.
Tugas-tugas Satpol PP pun terus dikembangkan, sehingga diharapkan
mampu tercapai tujuan dalam pelaksanaan tugas di dalam masyarakat. Seperti
yang diatur dalam dalam Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2010 tentang Satuan
Polisi Pamong Praja, disebutkan dalam Pasal 6 tentang kewenangan Satpol PP
adalah melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat,
peraturan kepala daerah. Dalam melaksanakan tugas diatur pada Pasal 5, Satpol
PP mempunyai fungsi: penyusunan program dan pelaksanaan penegakan Perda;
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta
perlindungan masyarakat; pelaksanaan kebijakan penegakan Perda dan peraturan
kepala daerah; pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketenteraman masyarakat di daerah; pelaksanaan kebijakan perlindungan
masyarakat; pelaksanaan koordinasi penegakan Perda dan peraturan kepala
daerah, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dengan
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah,
atau aparatur lainnya; pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan
hukum agar mematuhi dan menaati Perda dan peraturan kepala daerah; dan
pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh kepala daerah. Tetapi untuk
melakukannya, anggota Satpol PP diwajibkan pula untuk menjunjung tinggi
norma hukum, norma agama, hak asasi manusia, dan norma sosial lainnya yang
hidup dan berkembang di masyarakat.
Kesuksesan pelaksanaan tugas Satpol PP sangat dipengaruhi oleh peran
anggotanya. Oleh karena itu, masing-masing anggota harus mampu mengatasi
masalah yang sedang dihadapi dengan baik, benar, dan tepat. Anggota Satpol PP
harus mampu menghadapi tekanan-tekanan yang ada dalam dirinya dan
menyikapi konflik yang ada di dalam maupun di luar dirinya.
Namun, media massa maupun elektronik memberitakan fenomena
perilaku Satpol PP yang negatif dalam pelaksanaan tugasnya. Sehingga saat ini
di internet jejaring pertemanan facebook yang membuat ”Gerakan Sejuta
Facebooker Bubarkan Satpol PP” dengan jumlah link 125 (Wijaya, 2010). Hal
yang sama juga datang dari sejumlah massa yang tergabung dalam Front
Perjuangan Pemuda Indonesia berunjuk rasa menolak kekerasan oknum Satpol PP
di depan Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Jumat, 16 April 2010.
Mereka menuntut dicabutnya Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 2004 tentang
Satpol PP yang dinilai telah menjadi penyebab perilaku anarkis pada peristiwa
kerusuhan di Koja, Jakarta Utara serta pemecatan Hariyanto Bajuri salah satu
anggota dari Satpol PP (Prambuda, 2010). Ratusan warga miskin yang terdiri dari
pedagang kaki lima, pengamen, pemulung, sopir bajaj dan waria bergabung
dengan ”Persatuan Rakyat Miskin” dalam protes yang dilakukan beberapa waktu
lalu untuk mendesak pembubaran Satuan Polisi Pamong Praja atau Satpol PP
(Dwi, 2010).
Sebanyak 23 LSM (ANBTI, ARMP, Arus Pelangi, Bingkai Merah,
Hammurabi, IKOHI Jabodetabek, Imparsial, Infid, JCSC, JRMK, Kasum, KM
Raya, Kontras, KPI, KSMT, LBH Apik, LBH Jakarta, PRP Jakarta, Sebaja,
Sebumi, Senja, SRMI, UPCI) yang tergabung dalam Komite Pembubaran Satpol
PP menuntut bubarkan Satpol PP yang dinilainya kerap melakukan kasus tindak
kekerasan saat menggelar proses penggusuran rakyat miskin. Kasus terakhir yang
menjadi acuan desakan itu adalah bentrokan antara Satpol PP dan warga di Koja,
Tanjung Priok, Jakarta Utara beberapa waktu yang lalu (Rahmat, 2010).
Pemberitaan tentang perilaku aparat keamanan daerah ini masih menjadi
Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta PAM Monas, melakukan
pencabulan dan pemerasan terhadap pasangan muda-mudi di Monas yang
berakibat pada pemecatan pada kedua anggota Satpol PP tersebut. Sebelumnya
juga, pemberitaan Satpol PP mengenai tragedi ”Mbah Priuk” yang mengakibatkan
banyaknya korban luka-luka dan yang meninggal dunia dari kalangan sipil. Dari
kasus mbah priuk ini juga menewaskan beberapa personil Satpol PP, puluhan
lainnya mengalami luka-luka dan membuat cidera pada sisi psikologisnya.
Bahkan dari kejadian bentrokan Satpol PP dengan warga sekitar makam mbah
priuk ditaksir kerugian dari pihak Satpol PP sendiri mencapai Rp. 22. 955.074.000
(Yadisetia, 2010). Apalagi dengan adanya berita tentang Satpol PP yang akan
dipersenjatai, hal ini mengundang kontroversi dari berbagai kalangan masyarakat.
Masyarakat yang menyetujui beralasan untuk menunjang keberhasilan jalannya
tugas Satpol PP. Akan tetapi, masyarakat yang tidak menyetujui dengan alasan
bahwa yang dihadapi Satpol PP adalah rakyat-rakyat miskin, bukan musuh dan
masyarakat juga khawatir bila Satpol PP dibekali senjata akan bertindak lebih
semena-mena dan lebih arogan. Masalah yang melarbelakangi kasus-kasus itulah
yang menjadi sorotan publik saat-saat ini.
Seharusnya sebagai penegak keamanan dan ketertiban masyarakat
memberikan contoh yang baik, tetapi mengapa dengan mudahnya melakukan
hal-hal yang membuat masyarakat seakan-akan menjadi musuh dengannya. Dari
contoh-contoh perilaku Satpol PP tersebut, ternyata masih ada anggota yang
menunjukkan perilaku antisosial, yang diwarnai dengan tindakan agresifitas dan
Dalam pengabdiannya terhadap masyarakat seorang anggota Satpol PP
seharusnya memberikan pelayanan yang baik terhadap masyarakat. Apabila
dilihat dari tugasnya yang harus menjaga ketentraman dan ketertiban daerah,
pekerjaan tersebut sangat mulia dimana secara tidak langsung Satpol PP menjadi
sosok yang harus dapat memberikan suri tauladan bagi masyarakat setempat.
Dengan adanya berita-berita perilaku negatif maka yang menjadi pertanyaan
adalah dimana perilaku prososial Satpol PP?
Perilaku prososial merupakan perilaku yang menguntungkan orang lain
atau memiliki konsekuensi sosial yang positif. Perilaku prososial juga sudah ada
di Al Qur’an, Allah berfirman:” Tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan taqwa, dan janganlah kamu tolong menolong dalam perbuatan
dosa”(QS: 5;2). Ayat lainnya juga, Allah berfirman ”Perumpamaan harta yang
dikeluarkan di jalan Allah, serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
bilir, pada setiap bulir seratus biji”(QS: 2; 261). Dalam hadis Rasulullah bersabda
bahwa: “Hamba yang paling dicintai Allah adalah orang yang bermanfaat untuk
orang lain dan amal yang paling baik adalah memasukkan rasa bahagia kepada
mukmin, menutupi rasa lapar membebaskan kesulitan atau membayarkan utang.”
(HR Muslim). Dalam hadis lain “Sesungguhnya Allah senantiasa menolong
hambanya selama hambanya menolong orang lain” (HR Muslim).
Perilaku prososial merupakan salah satu hal yang penting dalam
kehidupan bermasyarakat karena manusia adalah mahluk sosial yang saling
membutuhkan satu dengan yang lainnya. Dalam kaitannya dengan perilaku
mengenai perilaku prososial. Seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh
Dahriani (2007) tentang perilaku prososial terhadap pengguna jalan dengan
sample polisi lalu lintas. Hasil penelitiannya adalah perilaku prososial
memerlukan proses evaluasi, berupa pertimbangan-pertimbangan tertentu, sampai
pada faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial subjek.
Perilaku prososial merupakan sebuah tindakan yang secara lahiriah ada di
dalam diri manusia. Hal ini karena manusia adalah mahluk sosial yang harus
bersosialisasi dengan sesama dan tidak bisa hidup tanpa adanya orang lain dalam
arti saling membantu, menolong, melengkapi dan saling menyanyangi. Akan
tetapi perilaku menolong seseorang dipengaruhi juga faktor eksternal dan faktor
internal. Dimana faktor internal bisa dari pengalaman sosial individu tersebut dan
kepribadian yang dimiliki orang tersebut.
Berdasarkan apa yang telah dijelaskan mengenai perilaku prososial pada
paragraf sebelumnya, maka perilaku prososial sangat penting dimiliki oleh
seorang anggota Satpol PP dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Akan lebih
bagus jika anggota Satpol PP memiliki kecenderungan perilaku prososial yang
tinggi karena berkaitan dengan tugasnya yang menjaga ketertiban dan
ketentraman masyarakat. Akan tetapi, kejadian perilaku prososial masih sangat
minim pemberitaannya di media cetak maupun elektronik bahkan banyak
masyarakat yang memberikan kritikan tajam dan mengeluh atas tindakan yang
dilakukan oleh anggota Satpol PP. Hal ini seakan-akan menjadi sebuah peringatan
Walaupun banyak kritikan yang disampaikan oleh masyarakat mengenai
perilaku negatif yang dilakukan anggota Satpol PP. Hal itu memunculkan
gerakan-gerakan yang menginginkan Satpol PP dibubarkan Seperti disalah satu
situs jejaring sosial facebook yang mengatasnamakan ”Gerakan Sejuta Facebooker Bubarkan Satpol PP”, namun ada juga pemberitan-pemberitaan yang
positif tentang Satpol PP. Hal ini disebabkan banyak faktor yang mempengaruhi
personil seperti faktor kepribadian masing-masing anggota yang dapat
mempengaruhi perilaku prososial. Seperti yang dikemukakan oleh Kartono (dalam
Jannah, 2008) kepribadian merupakan keseluruhan individu yang terorganisir dan
terdiri atas disposisi-disposisi fisik serta psikis yang memberi kemungkinan untuk
membedakan ciri-ciri yang umum dengan pribadi lainnya. Perilaku prososial
dipengaruhi oleh beberapa aspek dalam diri individu baik secara internal maupun
eksternal. Faktor internal individu yang mempengaruhi perilaku prososial
seseorang diantaranya adalah tipe kepribadian seseorang (Staub, dikutib dari
Jannah, 2008). Kepribadian merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi perilaku prososial (Wrightmans, 1977).
Berdasarkan penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Rahmani
(2009) dengan judul tipe kepribadian lima faktor dengan perilaku prososial
perawat, menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tipe
kepribadian dengan perilaku prososial. Smith (2003) menyatakan bahwa
kepribadian anda memiliki pengaruh pada cara anda berpikir, merasa dan
David O. Sears (1994) menyatakan faktor situasional dapat meningkatkan
atau menurunkan kecenderungan orang untuk melakukan tindakan prososial.
Namun, apa yang juga diperlihatkan oleh Sears tentang penelitian lain bahwa
beberapa orang tetap memberikan bantuan meskipun kekuatan situasional
menghambat pemberian bantuan, dan yang lain tidak memberikan bantuan
meskipun berada dalam kondisi yang sangat baik. Ada perbedaan individual
dalam usaha memahami mengapa ada orang yang lebih mudah menolong
dibandingkan orang lain, para peneliti menyelidiki karakteristik kepribadian yang
relatif menetap maupun suasana hati dan psikologis yang lebih mudah berubah.
Adapun penelitian sebelumnya tentang kepribadian dengan perilaku
prososial yang dilakukan yang berjudul ”Perbedaan Perilaku Prososial ditinjau
dari Tipe Kepribadian pada Anggota Palang Merah Remaja” menyatakan bahwa
orang dengan tipe kepribadian ekstravert memiliki kecenderungan intensi
prososial yang lebih tinggi (Susanto dalam Jannah, 2008).
Hal ini menunjukkan bahwa kepribadian merupakan aspek psikologi yang
penting dalam menentukan perilaku individu. Banyak sekali para psikolog
menggunakan tes-tes kepribadian untuk memperoleh gambaran yang representatif
tentang kepribadian individu. Salah satunya menggunakan kepribadian big five
faktor atau five factor modeluntuk memperoleh gambaran individu. Kepribadian
Big Five sendiri merupakan suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah
domain kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor.
bentuk lima dimensi dasar (McCrae & Costa.Jr dalam Pervin, 2005). Kelima
dimensi dasar tersebut adalah Openness to Experience, Conscientiousness, Extraversion, Agreeableness, Neuroticism.
Berbagai penelitian tentang big five personality sudah banyak dilakukan salah satunya adalah mahasiswa pascasarjana UGM yang meneliti tentang
evaluasi faktor dalam big five: pendekatan analisis faktor konfirmatori studi ini bertujuan untuk melihat konsistensi lima faktor big five di Indonesia. Instrumen yang digunakan adalahFive Factor Personality Inventory. Melalui analisis faktor konfirmatori, ditemukan bahwa kelima faktor yang dikonfirmasi konsisten dengan
faktor di dalambig five(Widhiarso, 2004).
Endah Mastuti (2005) meneliti tentang analisis faktor alat ukur kepribadian big five (adaptasi dari IPIP) pada mahasiswa suku Jawa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa validitas konstrak alat ukur kepribadian big five
yang diambil dariInternational Personality Item Pools (IPIP), tidak terbukti. Hal ini karena data yang didapatkan tidak sesuai dengan teori kepribadian big five
yang diteorikan. Pada penelitian ini dengan analisis faktor menunjukkan bahwa trait kepribadian terdiri dari enam faktor yaitu Opennes to Experience, Conscientiousness, Extraversion, Agreeableness, Neuroticism, dan morality.
Penelitian-penelitian mengenaibig five personality ini banyak dilakukan di negara barat maupun timur oleh beberapa ahli dengan menggunakan tes tersebut
dan berbagai metode analisis faktor. Big five dapat digunakan lagi dengan beragam bahasa, tidak hanya dalam bahasa Inggris namun juga di seluruh ragam
bahasa (Costa & MeCrae, 1997; DeRaad, Perugini, Hrebickova, & Szarota, 1998;
McCrae et al., 1998 dikutib dalam Smith, 2003). Hasil analisis dari
perbedaan-perbedaan individu dalam sifat yang ditulis dalam berbagai bahasa terwakili dalambig five factor ini (O Sterdorf dan Angleitner dalam Caprara, 2000).
Selain tipe kepribadian big five, peneliti juga menghubungkan dengan kecerdasan emosi seperti yang dikutib dari Baron, Byrne, Branscombe (dalam Sarwono, 2009) bahwa emosi seseorang dapat mempengaruhi kecenderungannya untuk menolong. Emosi positif secara umum meningkatkan tingkah laku
menolong dan pada emosi negatif memungkinkan menolong yang lebih kecil.
Kecerdasan Emosi atau Emotional Quostiont (EQ) adalah akumulasi kecenderungan individu yang bersifat bawaaan dengan faktor lingkungannya.
Dampak yang terjadi jika pengelolaan EQ kurang salah satunya adalah tindakan
anarkisme. Dewasa ini telah terjadi banyak kasus karena kurangnya kemampuan
kesadaran dan pengetahuan untuk mengelola kecerdasan emosi, misalnya kasus
pemukulan seorang perdana mentri disuatu negara, atau meninggalnya seorang
pejabat daerah saat menghadapi massa yang sedang berdemonstrasi, atau
banyaknya tayangan reality show yang justru memberikan tontonan berbagai kekerasan fisik.
bahwa faktor-faktor yang ada dalam kepribadian big five dan kecerdasan emosi memiliki pengaruh terhadap perilaku prososial Satpol PP.
Dari fenomena-fenomena yang telah dikemukakan dan
penelitian-penelitan sebelumnya yang telah diselenggarakan, maka peneliti sangat tertarik
untuk meneliti topik tersebut. Dengan demikian penelitian ini berjudul “Pengaruh
Tipe Kepribadian Big Five dan Kecerdasan Emosi terhadap Perilaku Prososial Satuan Polisi Pamong Praja”.
1.2 Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah
1.2.1 Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini, variabel-variabel yang berkaitan dengan judul
penelitian diatas dibatasi sebagai berikut:
− Tipe kepribadian big five dari Costa yang meliputi unsur NEOAC antara
lain: Neuroticism (keterbukaan terhadap tekanan-tekanan), Extrovertness
(keterbukaan diri terhadap orang lain), Oppennes to experience
(keterbukaan terhadap pengalaman hidup), Agreeableness (keterbukaan terhadap kesepakatan),Counsenciousness (sikap yang hati-hati).
− Kecerdasan emosional adalah keterampilan dalam mengontrol dan
mengatur emosi diri sendiri. Dalam penelitian ini kecerdasan emosional
dari teori Goleman yang diteliti meliputi kesadaran, mengelola emosi,
memotivasi diri, empati dan ketrampilan sosial.
− Perilaku prososial adalah suatu perilaku menolong yang menguntungkan
orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan
suatu resiko bagi orang yang menolong.
1.2.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
sebagai berikut:
• ”Apakah ada pengaruh tipe kepribadian big five terhadap perilaku prososial
pada Satpol PP?”
− “Apakah ada pengaruh openness to experience pada big five terhadap
perilaku prososial pada Satpol PP?”
− “Apakah ada pengaruhconcienciusness padabig five terhadap perilaku
prososial pada Satpol PP?”
− “Apakah ada pengaruh extravertion pada big five terhadap perilaku
prososial pada Satpol PP?”
− “Apakah ada pengaruh agreeableness pada big five terhadap perilaku
prososial pada Satpol PP?”
− “Apakah ada pengaruh neuroticm pada big five terhadap perilaku
prososial pada Satpol PP?”
• “Apakah ada pengaruh aspek-aspek kecerdasan emosi terhadap perilaku
prososial pada Satpol PP?”
− “Apakah ada pengaruh self ewarreness (kesadaran) pada kecerdasan
− “Apakah ada pengaruh mengelola emosi pada kecerdasan emosi
terhadap perilaku prososial pada Satpol PP?”
− “Apakah ada pengaruh motivating oneself (memotivasi diri) pada
kecerdasan emosi terhadap perilaku prososial pada Satpol PP?”
− “Apakah ada pengaruh empathy (empati) pada kecerdasan emosi
terhadap perilaku prososial pada Satpol PP?”
− “Apakah ada pengaruh social skill (ketrampilan sosial) pada
kecerdasan emosi terhadap perilaku prososial pada Satpol PP?”
• “Apakah ada pengaruh tingkat usia terhadap perilaku prososial?”
• “Apakah ada pengaruh masa bekerja terhadap perilaku prososial?”
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh aspek-aspek
kepribadian big five dan aspek-aspek kecerdasan emosi terhadap perilaku prososial anggota Satuan Polisi Pamong Praja kota Tangerang.
1.4.2 Manfaat Penelitian
1.4.2.1 Manfaat teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih
bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya pada ranah psikologi
sosial-kepribadian. Yang mana hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber data tambahan
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi para
mahasiswa, para pendidik ataupun bagi instansi pemerintah dalam mengetahui
kepribadian yang dimiliki oleh petugas Satpol PP agar lebih dapat selektif dalam
melakukan rekuitmen.
1.5 Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam membahas tema yang diteliti, penulis
membagi dalam 5 (lima) bab dengan sistematika sebagai berikut:
Bab 1 Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang mengapa perlu
dilakukannya penelitian tentang perilaku prososial pada anggota Satpol PP,
perumusan, pembatasan masalah, tujuan, manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB 2 Landasan Teoritis, yang berisi sejumlah teori yang berkaitan
dengan masalah yang akan diteliti secara sistematis, kerangka berpikir dan
hipotesis penelitian.
BAB 3 Metodologi Penelitian, yang terdiri dari populasi dan sampel
penelitian, variabel penelitian, instrumen penelitian, dan teknik analisa data.
BAB 4 Hasil Penelitian, yang membahas mengenai hasil penelitian
meliputi, pengolahan statistik dan analisis terhadap data.
BAB 5 Kesimpulan, Diskusi dan Saran, dalam bab ini peneliti akan
merangkum keseluruhan isi penelitian dan menyimpulkan hasil penelitian, serta
BAB II
LANDASAN TEORITIS
Bab ini memaparkan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Bab yang
akan dipaparkan terdiri dari lima sub bab yaitu sub bab tentang perilaku prososial,
kepribadian big five, kecerdasan emosi, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian.
2.1 Perilaku Prososial
2.1.1 Pengertian perilaku prososial
Zanden (1993) menyatakan bahwa prosocial behaviors ways of responding to other people through sympathetic, cooperative, helpful, rescuing, comforting, and giving acts. Bahwa perilaku prososial merupakan cara merespon orang lain seperti simpati, kerjasama, menolong, menyelamatkan, menenangkan,
dan tindakan memberi.
Wispe (dalam Brown, 2006) menyatakan bahwa perilaku prososial
merupakan tindakan apa saja yang tanpa memperhatikan keuntungan lain atau
pengorbanan pelaku. Sedangkan Wispe (dalam Vaughan dalam Luthfi dkk, 2009)
mendefinisikan bahwa perilaku prososial adalah bentuk perilaku yang memiliki
konsekuensi sosial secara positif dan berkontribusi terhadap kebahagiaan fisik
atau psikologis orang lain.
Staub (dalam Luthfi dkk, 2009) mengartikan secara sederhana perilaku
prososial mencakup segala bentuk tindakan yang dilakukan atau direncanakan
untuk menolong orang lain, tanpa memperdulikan motif-motif si penolong (Sears
dkk,1994)
Tingkah laku prososial adalah suatu tindakan menolong yang
menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung
pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan
suatu risiko bagi orang yang menolong (Baron & Byrne, 2005).
Latane dan Darley (dalam Baron, et.al., 2005) menggambarkan tingkah
laku prososial sebagai titik akhir dari lima langkah yang berurutan – lima pilihan
dalam menghadapi keadaan darurat yang menimbulkan respons prososial atau
tidak.
Prosocial behavior is voluntary behavior that is carried out to benefit another person(Batson & Powell dalam Franzoi, 2006), bahwa perilaku prososial merupakan perilaku sukarela yang dilaksanakan untuk memberi manfaat pada
orang lain. Perilaku prososial mengacu pada tindakan dengan tujuan untuk
menguntungkan orang lain (Kenrick,2003).
Prosocial behavior is narrower, in that the action is intended to improve the situation of the help-recipent, the actor is not motivated by the fulfillment of professional obligations, and the recipient is a person and not an organization. (Bierhoff, 2002), bahwa arti perilaku prososial lebih dangkal dimana tindakannya
bermaksud untuk memperbaiki situasi si penerima pertolongan, tindakan tersebut
tidak dimotivasi oleh penyempurnaan tanggung jawab profesional, dan penerima
Perilaku prososial meliputi semua bentuk tindakan yang dilakukan atau
direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa mempedulikan motif-motif si
penolong. Baron dan Byrne (dalam Nashori, 2008) mengungkapkan bahwa
perilaku prososial dapat didefinisikan sebagai perilaku yang memiliki nilai positif
pada orang lain.
Jadi, dari berbagai tokoh yang mendefinisikan perilaku prososial dapat
disimpulkan bahwa perilaku prososial merupakan suatu tindakan atau perilaku
untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan, tanpa adanya unsur
paksaan, dan memberikan keuntungan secara langsung kepada orang yang
ditolong.
2.1.2 Bentuk-bentuk perilaku prososial
Perilaku prososial merupakan perilaku yang memberikan keuntungan bagi
orang lain. Menurut Wispe (dalam Luthfi dkk, 2009), perilaku prososial meliputi
berbagai bentuk, antara lain:
1. Empati
Bordens & Horowitz (2008) menyatakan bahwa empati adalah suatu emosi
yang tidak langsung diarahkan untuk semua individu dalam suatu kebutuhan.
Perilaku yang didasarkan atas perasaan positif terhadap orang lain, sikap peduli,
serta ikut merasakan kesedihan dan penderitaan orang lain. Menurut Duan (dalam
Robert, 2004), empati meliputi komponen afektif dan kognitif. Secara afektif,
orang yang berempati merasakan yang orang lain rasakan. Secara kognitif, orang
2. Kerjasama (Cooperation)
Baron & Byrne (2005) mengartikan kerja sama sebagai perilaku dimana
kelompok bekerja secara bersama-sama untuk mendapatkan tujuan yang sama.
Kerja sama timbul karena orientasi yang sama antar individu terhadap
kelompoknya (in group) dan kelompok lainnya (out group). Kerja sama mungkin akan bertambah apabila ada bahaya luar yang mengancam atau tindakan-tindakan
yang menyinggung kesetiaan yang telah tertanam didalam kelompok, dalam diri
seseorang.
Sebuah situasi sosial yang kooperatif didefinisikan sebagai sebuah situasi
dimana wilayah tujuan dari setiap anggota kelompok sedemikian rupa sehingga
bila wilayah tujuan itu dimasuki oleh individu manapun, semua anggota
kelompok yang lain terfasilitasi dalam pencapaian wilayah tujuan mereka
masing-masing.
Situasi kerjasama dalam suatu kelompok dapat dikatakan bahwa tujuan
dari kelompok itu homogen, setiap anggota menginginkan hal sama. Saat anggota
dari sebuah kelompok menyetujui sebuah tujuan dan kerjasama untuk mencapai
goal tersebut, mereka lebih tertarik satu dengan yang lain, lebih menunjukkan
keakraban dan keramahan satu dengan yang lain, menjadi lebih kooperatif dalam
diskusi kelompok, bertingkah laku lebih positif terhadap kontribusi anggota
lainnya dan secara umum bertingkah laku positif terhadap kelompok (Shaw,
3. Membantu (Helping)
Wrightsman (1977) menyatakan bahwa membantu adalah perilaku yang
menguntungkan orang lain dari pada diri sendiri. Suatu tindakan tetap dapat
dikategorikan sebagai membantu (helping) selama terjadi perbaikan kesejahteraan pada seseorang yang dilakukan oleh orang lain (seperti memberi hadiah,
membantu menyelesaikan tugas). Bentuk menolong sendiri dapat dibedakan atas
beberapa macam mulai dari tindakan yang hanya memerlukan pengorbanan paling
kecil atau mudah dilakukan, seperti memberitahukan jam pada orang lain yang
bertanya, memberikan bantuan kepada organisasi sosial, sampai dengan tindakan
yang memerlukan pengorbanan yang lebih besar.
4. Berderma (Donating)
Wrightsman (1977) menyatakan bahwadonation is the provision of goods or services to a person or organization in need. Yang memiliki arti bahwa berderma merupakan ketentuan yang baik atau pelayanan seseorang atau
organisasi yang membutuhkan.
Derma merupakan perilaku memberikan hadiah atau sumbangan kepada
orang lain. Dalam kamus bahasa indonesia berderma adalah pemberian (kepada
fakir miskin, dsb) atas dasar kemuranhan hati, bantuan uang, makanan,
obat-obatan dsb, kepada perkumpulan sosial atau panti-panti sosial.
5. Suka menolong (Altruisme)
kebutuhan orang lain. Bordens & Horowitz (2008) menyatakan bahwa altruisme
adalah perilaku yang termotivasi oleh keinginan untuk meringankan penderitaan
korban atau orang lain. Sedangkan Walster & Piliavin (dalam Brown, 2006)
menyatakan bahwa altruisme adalah jenis membantu atau sebuah perilaku prososial yang sukarela, pada biaya untuk membantu dan termotivasi oleh sesuatu
selain harapanreward materi atau sosial.
Perilaku prososial meliputi segala bentuk tindakan atau direncanakan
untuk menolong orang lain, tanpa mempedulikan motif-motif si penolong (David
O Sears, Jonathan Fredman, L. Anne Peplau, 1994). Perilaku prososial berkisar
dari tindakan altruisme yang tidak mementingkan diri sendiri atau tanpa pamrih sampai tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi oleh kepentingan diri
sendiri (Rushton, dalam Lutfi dkk, 2009).
Musen, dkk (dalam Nashori, 2008) mengungkapkan bahwa aspek-aspek
perilaku prososial meliputi:
1. Menolong, yaitu membantu orang lain dengan cara meringankan beban fisik
atau psikologis orang tersebut.
2. Berbagi rasa, yaitu kesediaan untuk ikut merasakan apa yang dirasakan orang
lain.
3. Kerjasama, yaitumelakukan pekerjaan atau kegiatan secara bersama-sama
berdasarkan kesepakatan untuk mencapai tujuan bersama pula.
4. Menyumbang, yaitu berlaku murah hati kepada orang lain.
5. Memperhatikan kesejahteraan orang lain, yaitu peduli terhadap permasalahan
Menurut Morgan (dalam Widodo, 2005) perilaku prososial meliputi
berbagi (sharing), kerjasama (cooperation), altruisme (altruism), suka menolong (helpfulness), menyelamatkan (rescue).
Deaux & Wrigthsman (dalam Widodo, 2005) mengemukakan beberapa
aspek perilaku prososial antara lain menolong, berbagi, kerjasama, bertindak
jujur, menyumbang, dermawan, memperhatikan hak dan kesejahteraan orang lain,
punya kepedulian terhadap orang lain.
Berdasarkan tokoh-tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk perilaku
prososial meliputi berderma, membantu, simpati, kerjasama, dan altruism,
masing-masing memiliki tujuan untuk memberikan keuntungan bagi orang lain
tanpa mementingan imbalan dari orang yang diuntungkan.
2.1.3 Faktor-faktor penentu prososial
David O Sears, et.al., (1994) mengemukakan bahwa perilaku prososial
dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut.
A. Karakteristik Situasi
Karakteristik situasi yang mempengaruhi perilaku prososial meliputi
kehadiran orang lain, kondisi lingkungan, dan tekanan keterbatasan waktu.
1. Kehadiran Orang Lain/bystander
• Penyebaran Tanggung Jawab. Penyebaran tanggung jawab yang timbul
karena kehadiran orang lain. Bila hanya ada satu orang yang menyaksikan
korban yang mengalami kesulitan, maka orang itu mempunyai tanggung
jawab untuk memberikan reaksi terhadap situasi tersebut dan akan
menanggung rasa salah dan rasa sesal bila tidak bertindak. Bila orang lain
untuk menolong dan kemungkinan kerugian tidak memberikan pertolongan
akan terbagi. Lebih jauh bila orang mengetahui kehadiran orang lain tetapi
tidak dapat berbicara dengan mereka atau tidak melihat perilaku mereka,
seperti kasus Kitty Genovese yang dibunuh oleh seseorang di depan
apartemennya dan dilihat oleh banyak tetangga-tetangganya dan tidak ada
satupun yang menolongnya, mungkin orang itu beranggapan bahwa orang
lain sudah melakukan sesuatu untuk menolong, seperti, menghubungi polisi.
• Efek penonton menyangkut ambiguitas dalam mengintrepretasikan situasi.
Perilaku penonton yang lain dapat mempengaruhi bagaimana
mengintrepretasikan situasi dan bagaimana reaksi. Jika orang lain
mengabaikan suatu situasi atau memberikan reaksi seolah-olah tidak terjadi
apa-apa, mungkin juga beranggapan tidak ada keadaan darurat.
• Kekuatan efek penonton adalah rasa takut dinilai. Bila mengetahui bahwa
orang lain memperhatikan perilaku, mungkin berusaha melakukan apa yang
menurut diharapkan oleh orang lain dan memberikan kesan yang baik
(Baumeister, dalam Sears, 1994). Rasa takut dinilai dalam efek penonton
memungkinkan terjadi, hal ini disebabkan adanya kekhawatiran bystander
dan timbulnya pertimbangan. Misalnya rasa takut akan salah jika memberikan
bantuan, rasa takut dinilai menjadi pusat perhatian penonton yang lain dan
menimbulkan rasa malu.
2. Kondisi Lingkungan
Sejumlah penelitian membuktikan pengaruh kondisi lingkungan seperti
• Cuaca.orang cenderung membantu bila hari cerah dan bila suhu udara cukup
menyenangkan (relatif hangat di musim dingin dan relatif sejuk di musim
panas)
• Ukuran kota. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ukuran kota
menimbulkan perbedaan dalam usaha menolong orang asing yang mengalami
kesulitan. Persentase orang yang menolong lebih besar di kota kecil daripada
di kota besar.
• Kebisingan. Faktor lingkungan lainnya yang mempengaruhi perilaku
prososial adalah kebisingan. Beranjak dari gagasan umum bahwa kebisingan
dapat menurunkan daya tanggap orang terhadap semua kejadian di
lingkungan, beberapa peneliti menyelidiki apakah kondisi yang mengurangi
kecenderungan untuk menolong orang asing yang mengalami kesulitan
(Sherrod & Downs dalam Sears, 1994).
3. Tekanan Keterbatasan Waktu
Orang yang sedang tergesa-gesa dan sedang dihadapkan oleh situasi terlambat
akan membuat kecenderungan seseorang untuk tidak berperilaku prososial.
Sebaliknya dengan seseorang yang dalam keadaan santai maka akan cenderung
untuk melakukan perilaku prososial kepada orang lain.
B. Karakteristik penolong
• Faktor kepribadian. kepribadian tertentu mendorong orang untuk
memberikan pertolongan dalam beberapa jenis situasi dan tidak dalam
• Suasana hati. Ada sejumlah bukti bahwa orang lebih terdorong untuk
memberikan bantuan bila mereka berada dalam suasana hati yang baik.
Misalnya, orang akan lebih cenderung menolong bila menemukan
sekeping uang ditempat telepon (Isen & Simmonds, dalam Sears, 1994).
Daripada tidak terjadi peristiwa yang meningkatkan suasana perasaan
positif yang dapat meningkatkan kesediaan untuk melakukan tindakan
prososial.
• Rasa bersalah. Keadaan psikologis yang mempunyai relevansi khusus
dengan perilaku prososial adalah rasa bersalah, perasaan gelisah yang
timbul bila kita melakukan sesuatu yang kita anggap salah. Keinginan
untuk mengurangi rasa bersalah bisa menyebabkan kita menolong orang
yang kita rugikan, atau berusaha menghilangkannya dengan melakukan
”tindakan yang baik”. Beberapa peneliti memperlihatkan rasa bersalah
yang timbul meningkatkan kesediaan untuk menolong (Cunningham dkk,
dalam Sears, 1994). Penelitian yang lain menyatakan bahwa orang yang
merasa bersalah mungkin mengalami konflik motivasi. Disatu pihak,
mereka ingin memperbaiki tindakan buruk mereka dengan menolong
korban atau melakukan sesuatu yang baik untuk orang lain. Di lain pihak,
mereka juga ingin menghindari pertemuan dengan korban, karena takut
ketahuan, malu, atau takut dibalas. Dampak rasa bersalah terhadap
pemberian bantuan yang paling besar terjadi bila orang yang bersalah
• Distres diri dan rasa empatik. Distres diri adalah reaksi pribadi kita
terhadap penderitaan orang lain, perasaan terkejut, takut, cemas, prihatin,
tidak berdaya, atau perasaan apa pun yang kita alami. Sebaliknya yang
dimaksud rasa atau sikap empatik (emphatic concern) adalah perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagai
pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain.
Perbedaan utamannya adalah bahwa penderitaan diri terfokus pada diri
sendiri, sedangkan empatik terfokus pada si korban. Distres diri
memotivasi kita untuk mengurangi kegelisahan kita sendiri. Kita bisa
melakukannya dengan membantu orang yang membutuhkan, tetapi kita
juga dapat melakukannya dengan menghindari situasi tersebut arau
mengabaikan penderitaan di sekitar kita. Sebaliknya rasa empati hanya
dapat dikurang dengan membantu orang yang berada dalam kesulitan.
Karena tujuannya adalah meningkatkan kesejahteraan orang lain, jelas
bahwa rasa empatik merupakan sumber altruistik (bukan kepentingan diri)
perilaku pembantu.
C. Karakteristik orang yang di tolong
• Menolong orang yang kita sukai
a. Daya tarik fisik. Dalam beberapa situasi, yang memiliki daya tarik fisik
mempunyai kemungkinan lebih besar untuk menerima bantuan.
b. Kesamaan. Kesediaan untuk membantu akan lebih besar terhadap orang
(Fieldman, dalam Sears, 1985), dan terhadap orang yang memiliki sikap
yang sama (Tucker dkk., dalam Sears, 1985)
c. Jenis hubungan antara orang yang minta tolong dengan yang menolong.
Semakin dekat hubungannya, semakin kuat harapan untuk mendapatkan
bantuan, semakin sedikit rasa terima kasih yang diungkapkan pada saat
bantuan diberikan.
• Menolong orang yang pantas ditolong
a. Kelayakan permintaan atau kebutuhan masalah.
b. Menolong seseorang bila yakin bahwa penyebab timbulnya masalah
berada diluar kendali orang tersebut.
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial yang telah
diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang berperilaku prososial
memiliki berbagai pertimbangan dan tidak selalu memenuhi subjek yang
memerlukan bantuan. Disamping itu juga terdapat pengaruh eksternal maupun
internal dari penolong itu sendiri dan orang yang akan ditolong.
2.2 KepribadianBig Five
2.2.1 Pengertian kepribadianbig five
J.Feist dan G.J Feist (2009) menyatakan bahwa big five adalah salah satu kepribadian yang dapat baik memprediksi dan menjelaskan perilaku. suatu
pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia
melalui trait yang tersusun dalam lima buah domain kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor. Lima traits kepribadian tersebut
experiences.
Caprara & Cervone (2000) mengatakan bahwa kepribadianbig five adalah teori kepribadian yang menjelaskan hubungan antara kognisi,affect, dan tindakan. Disamping itu menyatakan bahwa big five faktor dapat menjadi landasan bagi teori kepribadian.
Baron & Byrne (2005) menyatakan bahwa lima besar dimensi kepribadian
adalah dimensi dasar kepribadian manusia, dimensi-dimensi dimana individu
berada seperti (openness, exstravertion, agreeableness, dan neurotisme) sering kali tampak dalam perilaku sehari-hari.
Pervin (2005) menyatakan bahwa big five in trait factor theory, the five major trait categories including emotionality, activity, and sociability factors.
Artinya big five adalah teori faktor trait (sifat, ciri), dengan lima kategori sifat secara umum meliputi emosi, tindakan, dan faktor sosial.
Gufron (2010) menyatakan bahwa kepribadianbig five adalah kepribadian yang dikembangkan oleh McCrae dan Costa yang memiliki lima bentuk
kepribadian yang mendasari perilaku individu.
Kepribadian big five merupakan Pendekatan yang diilustrasikan dalam sebuah taksonomi yang komprehensif dari domain perilaku interpersonal yang
menghasilkan dimensi berlawanan (Wiggins, dalam Mischel, 2003).
Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kepribadian big five
merupakan pendekatan psikologi yang memiliki lima trait kepribadian
kerangka kerja untuk melihat atau menguji secara sistematis psiko-fisiologi,
perilaku, psikologi dan genetik dengan trait yang digunakan untuk
mendeskripsikan kepribadian.
2.2.2 Trait-trait dalambig five personality
Trait (sifat, ciri) merupakan suatu pola tingkah laku yang relative menetap
secara terus menerus dan konsekuen yang diungkapkan dalam satu deretan
keadaan. McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) menyatakan bahwa
Trait-trait dalam domain-domain daribig five personalityadalah sebagai berikut. 1. Neuroticm (N)
Neuroticm menggambarkan seseorang yang memiliki masalah dengan emosi yang negatif seperti rasa khawatir dan rasa tidak aman. Secara emosional
mereka labil, seperti juga teman-temannya yang lain, mereka juga mengubah
perhatian menjadi sesuatu yang berlawanan. Seseorang yang memiliki tingkat
neuroticm yang rendah cenderung akan lebih gembira dan puas terhadap hidup dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tingkat neuroticm yang tinggi. Selain memiliki kesulitan dalam menjalin hubungan dan berkomitmen, mereka
juga memiliki tingkat self esteem yang rendah. Individu yang memiliki nilai atau skor yang tinggi di neuroticism adalah kepribadian yang mudah mengalami kecemasan, rasa marah, depresi, dan memiliki kecenderungan emotionally reactive.Facet-facet yang terdapat dalamneoroticm adalah:
• Anxiety (N1). Kecenderungan untuk gelisah, penuh ketakutan, merasa
• Hostility (N2). Kecenderungan untuk mengalami amarah, frustasi dan
penuh kebencian
• Depression (N3). Kecenderungan untuk mengalami depresi pada diri
sendiri
• Self-consciousness (N4). Individu yang menunjukkan emosi malu, merasa
tidak nyaman diantara orang lain, terlalu sensitive, dan mudah merasa
rendah diri
• Impulsiveness (N5). Tidak mampu mengontrol keinginan yang berlebihan
atau dorongan untuk melakukan sesuatu
• Vulnerability (N6). Kecenderungan untuk tidak mampu menghadapi
stress, bergantung pada orang lain, mudah menyerah dan panik bila
menghadapi sesuatu yang datang mendadak
2. Extravertion (E)
Faktor pertama adalahextravertion, atau bisa juga disebut faktor dominan-patuh (dominance-submissiveness). Faktor ini merupakan dimensi yang penting dalam kepribadian, dimana extravertion ini dapat memprediksi banyak tingkah laku sosial. Menurut penelitian, seseorang yang memiliki faktorextravertion yang tinggi, akan mengingat semua interaksi sosial, berinteraksi dengan lebih banyak
orang dibandingkan dengan seseorang dengan tingkat extravertion yang rendah. Dalam berinteraksi, mereka juga akan lebih banyak memegang kontrol dan
keintiman.Pergroup mereka juga dianggap sebagai orang-orang yang ramah,fun
Extravertion dicirikan dengan afek positif seperti memiliki antusiasme yang tinggi, senang bergaul, memiliki emosi yang positif, energik, tertarik dengan
banyak hal, ambisius, workaholic juga ramah terhadap orang lain. Extravertion
memiliki tingkat motivasi yang tinggi dalam bergaul, menjalin hubungan dengan
sesama dan juga dominan dalam lingkungannya. Extravertion dapat memprediksi perkembangan dari hubungan sosial. Seseorang yang memiliki tingkat
extravertion yang tinggi dapat lebih cepat berteman daripada seseorang yang memiliki tingkat extravertion yang rendah. Extravertion mudah termotivasi oleh perubahan, variasi dalam hidup, tantangan dan mudah bosan. Sedangkan
orang-orang dengan tingkat exstravertion rendah cenderung bersikap tenang dan menarik diri dari lingkungannya. Facet-facet yang terdapat dalam extravertion
sebagai berikut:
• Warmth (E1). Kecenderungan untuk mudah bergaul dan membagi kasih
sayang.
• Gregariousness (E2). Kecenderungan untuk banyak berteman dan
berinteraksi dengan orang banyak.
• Assertiveness(E3). Individu yang cenderung tegas.
• Activity(E4). Individu yang sering mengikuti berbagai kegiatan, memiliki
energi dan semangat yang tinggi.
• Excitement-seeking (E5). Individu yang suka mencari sensasi dan suka
mengambil resiko.
• Positive emotion (E6). Kecenderungan untuk mengalami emosi-emosi
3. Openness to experience (O)
Faktor openness to experience merupakan faktor yang paling sulit untuk dideskripsikan, karena faktor ini tidak sejalan dengan bahasa yang digunakan
tidak seperti halnya faktor-faktor yang lain. Openness to experience mengacu pada bagaimana seseorang bersedia melakukan penyesuaian pada suatu ide atau
situasi yang baru.
Openness to experience mempunyai ciri mudah bertoleransi, kapasitas untuk menyerap informasi, menjadi sangat fokus dan mampu untuk waspada pada
berbagai perasaan, pemikiran dan impulsivitas. Seseorang dengan tingkat
openness to experience yang tinggi digambarkan sebagai seseorang yang memiliki nilai imajinasi, broadmindedness, dan a world of beauty. Sedangkan seseorang yang memiliki tingkat openness to experience yang rendah memiliki nilai kebersihan, kepatuhan, dan keamanan bersama, kemudian skor openness to experience yang rendah juga menggambarkan pribadi yang mempunyai pemikiran yang sempit,konservatif dan tidak menyukai adanya perubahan.
Openness to experience dapat membangun pertumbuhan pribadi. Pencapaian kreatifitas lebih banyak pada orang yang memiliki tingkatopenness to experience yang tinggi dan tingkat agreeableness yang rendah. Seseorang yang kreatif, memiliki rasa ingin tahu, atau terbuka terhadap pengalaman lebih mudah
untuk mendapatkan solusi untuk suatu masalah. Facet-facet yang terdapat dalam
openness to experience (O) sebagai berikut:
• Aesthetic (O2). Individu yang memiliki apresiasi yang tinggi terhadap seni
dan keindahan
• Feelings (O3). Individu yang menyadari dan menyelami emosi dan
perasannya sendiri
• Action (O4). Individu yang berkeinginan untuk mencoba hal-hal baru • Ideas (O5). Berpikiran terbuka dan mau menyadari ide baru dan tidak
konvensional
• Values (O6). Kesiapan seseorang untuk menguji ulang nilai-nilai social
politik dan agama
4.Agreeableness (A)
Agreeableness dapat disebut juga socialadaptibility yang mengindikasikan seseorang yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah, menghindari
konflik dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang lain. Berdasarkan
value survey, seseorang yang memiliki skor agreeableness yang tinggi digambarkan sebagai seseorang yang memiliki value suka membantu, forgiving, dan penyayang.
Namun, ditemukan pula sedikit konflik pada hubungan interpersonal orang
yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi, dimana ketika berhadapan dengan konflik, self esteem mereka akan cenderung menurun. Selain itu, menghindar dari usaha langsung dalam menyatakan kekuatan sebagai usaha untuk
memutuskan konflik dengan orang lain merupakan salah satu ciri dari seseorang
agreeableness yang tinggi dengan penggunaan power yang rendah, akan lebih menunjukan kekuatan jika dibandingkan dengan wanita.
Sedangkan orang-orang dengan tingkat agreeableness yang rendah cenderung untuk lebih agresif dan kurang kooperatif. Facet-facet yang terdapat dalamagreeableness sebagai berikut:
• Trust(A1). Tingkat kepercayaan individu terhadap orang lain
• Straightforwardness (A2). Individu yang terus terang, sungguh-sungguh
dalam menyatakan sesuatu
• Altruism (A3). Individu yang murah hati dan memiliki keinginan untuk
membantu orang lain.
• Compliance(A4). Karakteristik dari reaksi terhadap konflik interpersonal
• Modesty(A5). Individu yang sederhana dan rendah hati
• Tender-mindedness(A6). Simpati dan peduli terhadap orang lain
4. Conscientiousness (C)
Conscientiousness dapat disebut juga dependability, impulse control, dan
will to achieve, yang menggambarkan perbedaan keteraturan dan self discipline
seseorang. Seseorang yang conscientious memiliki nilai kebersihan dan ambisi. Orang-orang tersebut biasanya digambarkan oleh teman-teman mereka sebagai
seseorang yangwell-organize, tepat waktu, dan ambisius.
Conscientiousness mendeskripsikan kontrol terhadap lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan norma,
terencana, terorganisir, dan memprioritaskan tugas. Disisi negatifnya trait
membosankan. Tingkat conscientiousness yang rendah menunjukan sikap ceroboh, tidak terarah serta mudah teralih perhatiannya.Facet-facet yang terdapat dalamconscientiousness sebagai berikut:
• Competence (C1). Kesanggupan, efektifitas dan kebijaksanaan dalam
melakukan sesuatu
• Order (C2). Kemampuan mengorganisasi • Dutifulness (C3). Memegang erat prinsip hidup
• Achievement-striving (C4). Aspirasi individu dalam mencapai prestasi
• Self-discipline (C5). Mampu mengatur diri sendiri
• Deliberation (C6). Selalu berpikir dahulu sebelum bertindak
[image:48.598.116.536.105.772.2]Perbandingan skor tertinggi dan skor terendah pada big five dapat diketahui pada tabel di bawah ini (Costa & McCrae dalam Pervin, 2005).
Tabel 2.1
Karakteristik skor tinggi dan skor rendah pada skala trait
Skor tinggi Skala Trait Skor rendah
Cemas, gugup, emosional, merasa tidak aman, merasa tidak mampu, mudah panik
Neuroticism (N)
Menggambarkan stabilitas emosional dengan
cakupan-cakupan perasaan negatif yang kuat termasuk kecemasan, kesedihan,
irritabilitydannervous tension.
Tenang, santai, merasa aman, puas terhadap dirinya, tidak emosional, tabah.
Optimis,fun- Mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, aktif, banyak bicara, orientasi pada hubungan sesama
loving,affectionate.
Exstravertion (E) Mengukur kuantitas dan intensitas dari interaksi interpersonal, tingkatan aktivitas, kebutuhan akan dorongan, dan kapasitas dan dan kesenangan.
Ingin tahu, minat luas, kreatif, original, imajinatif,
untraditional.
Openness to
Experience(O)Gambaran keluasan, kedalaman, dan kompleksitas mental individu dan
pengalamannya.
Konvensional, sederhana, minat sempit, tidak artistik, tidak analitis.
Lembut hati, dapat
dipercaya, suka menolong, pemaaf, penurut.
Agreeableness (A) Mengukur kualitas dari apa yang dilakukan dengan orang lain dan apa yang dilakukan terhadap orang lain.
Sinis, kasar, curiga, tidak kooperatif, pendendam, kejam, manipulatif.
Teratur, pekerja keras, dapat diandalkan, disiplin, tepat waktu, rapi, hati-hati.
Conscientiousness(C) Mendeskripsikan perilaku yang diarahkan pada tugas dan tujuan dan kontrol dorongan secara sosial.
Tanpa tujuan, tidak dapat diandalkan, malas, sembrono, lalai, mudah menyerah,.
Ketangguhan model lima faktor telah diamati melalui metode, beberapa
bahasa dan budaya (McCrae & Costa, dalam Caprara & Cervone, 2000) dilakukan
penelitian pada 1980-an dan 1990-an. Para pendukung dari big five (Goldberg &John, dalam Caprara & Cervone, 2000) dan model lima faktor (McCrae &
Costa, dalam Caprara & Cervone, 2000) menyatakan bahwa fakta yang paling
mendasar dari psikologi kepribadian adalah bahwa kecenderungan dapat
menggambarkan dengan baik oleh sifat dari lima dimensi.
Bukti tentang kekuatan dan validitas big five telah terbukti, seperti dalam Mischel (2003) adalah
1. StrukturBig Five Factor telah sering diulang dalam penelitian oleh beragam peneliti dengan menggunakan berbagai sample berbahasa Inggris.
2. Terutama faktor N, E, dan A telah ditemukan dapat meniru dengan baik
3. Secara keseluruhan, hasilnya mengesankan dan dapat digeneralisasi di
beragam budaya (McCrae et al., 1998), meskipun ada beberapa faktor yang
dapat mengambil bentuk berbeda dalam sampel dan budaya yang berbeda.
4. Struktur faktor dari gambaran individu yang dijelaskan oleh model ini
cenderung relatif stabil selama jangka waktu yang lama pada orang dewasa.
2.3 Kecerdasan Emosional
2.3.1 Pengertian kecerdasan emosional
Goleman (2003) mengatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan
mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi
diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri, dan
dalam hubungan dengan orang lain.
Salovey dan Mayer (dalam Goleman, 2003) mendifinisikan kecerdasan
emosi sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan
orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan
tindakan.
Mubayidh (2006) mengatakan kecerdasan emosional merupakan
kemampuan untuk menyikapi pengetahuan-pengetahuan emosional dalam bentuk
menerima, memahami, dan mengelolannya. Menurut David Wechsler (dalam
Mubayidh, 2006) kecerdasan emosi adalah kemampuan sempurna (komprehensif)