• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respons Pertumbuhan Bibit Kakao (Theobroma cacao L.) terhadap Pemberian Abu Boiler dan Pupuk Urea pada Media Pembibitan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Respons Pertumbuhan Bibit Kakao (Theobroma cacao L.) terhadap Pemberian Abu Boiler dan Pupuk Urea pada Media Pembibitan"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.)

TERHADAP PEMBERIAN ABU BOILER DAN PUPUK UREA

PADA MEDIA PEMBIBITAN

SKRIPSI

OLEH

ULI KRIS PUTRI SITORUS 90301212

BUDIDAYA PERTANIAN DAN PERKEBUNAN

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

(2)

RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.)

TERHADAP PEMBERIAN ABU BOILER DAN PUPUK UREA

PADA MEDIA PEMBIBITAN

SKRIPSI

Oleh

ULI KRIS PUTRI SITORUS 90301212

BUDIDAYA PERTANIAN DAN PERKEBUNAN

Skripsi sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

(3)

Judul Skripsi : Respons Pertumbuhan Bibit Kakao (Theobroma cacao L.) terhadap Pemberian Abu Boiler dan Pupuk Urea pada Media Pembibitan

Nama : Uli Kris Putri Sitorus

Nim : 090301212

Minat : Budidaya Pertanian dan Perkebunan Program Studi : Agroekoteknologi

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Ir. Balonggu Siagian, MS. Ketua

Nini Rahmawati, SP., M.Si. Anggota

Mengetahui,

(4)

ABSTRAK

ULI KRIS PUTRI SITORUS : Respon Pertumbuhan Bibit Kakao terhadap Pemberian Abu Boiler dan Pupuk Urea pada Media Pembibitan, dibimbing oleh

BALONGGU SIAGIAN dan NINI RAHMAWATI.

Kesuburan media tumbuh dapat diperbaiki atau ditingkatkan dengan pemupukan anorganik maupun organik, diantaranya adalah dengan memanfaatkan abu boiler yang merupakan salah satu jenis limbah padat hasil samping dari pabrik pengolahan kelapa sawit serta pupuk urea sebagai sumber nitrogen, yang diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan kakao pada media pembibitan. Penelitian dilaksanakan di lahan percobaan Fakultas pertanian USU pada bulan Mei 2013 sampai dengan bulan September 2013, menggunakan rancangan acak kelompok faktorial dengan dua faktor yaitu dosis abu boiler (0, 100, 200, dan 300 g/polibag) dan dosis pupuk urea (0, 5, dan 10 g/polibag). Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, jumlah klorofil daun, total luas daun, volume akar, bobot basah tajuk, bobot basah akar, bobot kering tajuk, dan bobot kering akar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian abu boiler berpengaruh nyata terhadap parameter total luas daun, bobot basah tajuk, dan bobot kering tajuk. Pemberian pupuk urea berpengaruh nyata terhadap parameter jumlah klorofil daun dan bobot kering tajuk. Interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap parameter bobot basah tajuk dan bobot kering akar. Hasil terbaik dari penelitian ini diperoleh pada perlakuan pemberian abu boiler 300 g/polibag dan pemberian pupuk urea 5 g/polibag.

(5)

ABSTRACT

ULI KRIS PUTRI SITORUS: Response of Boiler Ash and Urea Fertilizer on

Cocoa Seedlings Growth at Nursery, supervised by BALONGGU SIAGIAN dan NINI RAHMAWATI.

Growing media fertility can be improved or enhanced with inorganic or organic fertilizer, such as boiler ash, which is one type of solid waste by-product of palm oil mills as well as the source of nitrogen urea fertilizer, is expected to boost growth of cocoa seedling in the nursery. This research had been conducted at experimental field of Fakultas Pertanian USU in May 2013 until September 2013, using factorial randomized block design with two factor, i.e. dose of boiler ash (0, 100, 200, and 300 g/polybag) and dose of urea fertilizer (0, 5, and 10 g/polybag). Parameter observed were plant height, stem diameter, number of leaf, number of leaf chlorophyll, summarize of leaf area, root volume, fresh weight of shoot, fresh weight of root, dry weight of shoot and dry weight of root.

The result showed response of boiler ash on cocoa seed significantly increase summarize of leaf area, fresh weight of shoot and dry weight of shoot. Urea fertilizer significantly affect the parameter number of leaf chlorophyll and dry weight of shoot. Interaction of both significantly affect fresh weight of shoot parameter and canopy and dry weight of root. The best results from this experimental were obtained in the treatment of boiler ash at 300 g/polybag and urea fertilizer 5 g/polybag.

Keywords: Boiler Ash, Urea Fertilizer, Cocoa Seed .

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Parapat pada tanggal 24 Juli 1990 dari

ibu Ester Simangunsong dan ayah Hisar Sitorus. Penulis merupakan anak

ketujuh dari tujuh bersaudara.

Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Parapat, dan pada

tahun 2009 masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur Seleksi Nasional

Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Penulis memilih minat Budidaya

Pertanian dan Perkebunan, Program Studi Agroekoteknologi.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai pengurus Himpunan

Mahasiswa Agroekoteknologi (Himagrotek), sebagai asisten praktikum di

Laboratorium Agronomi Tanaman Perkebunan.

Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di

PT. London Sumatra, Tbk, Bagerpang Estate dari tanggal 9 Juli sampai

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas segala

rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Respon Pertumbuhan Bibit Kakao (Theobroma cacao L.) Terhadap Pemberian

Abu Boiler dan Pupuk Urea Pada Media Pembibitan”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada

bapak Ir. Balonggu Siagian, MS., selaku dosen ketua komisi pembimbing dan

ibu Nini Rahmawati, SP., M.Si., sebagai dosen anggota komisi pembimbing, yang

telah memberikan bimbingan dan masukan selama penulisan skripsi ini. Penulis

juga mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua yang telah memberikan

dukungan finansial dan spiritual. Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada

seluruh staf pengajar, pegawai serta kerabat di lingkungan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara yang telah berkontribusi dalam kelancaran studi dan

penyelesaian skripsi ini.

Semoga hasil skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Medan, September 2013

(8)

DAFTAR ISI

Hal.

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Hipotesis Penelitian ... 4

Kegunaan Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman ... 5

Syarat Tumbuh ... 7

Iklim ... 7

Tanah ... 8

Abu Boiler ... 9

Pupuk Urea ... 12

Ultisol ... 16

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 18

Bahan dan Alat ... 18

Metode Penelitian ... 18

PELAKSANAAN PENELITIAN Persiapan Lahan. ... ..21

Persiapan Naungan ... 21

Persiapan Media Tanam. ... 21

Pengecambahan Benih. ... 21

Penanaman Kecambah ... 21

Aplikasi Pupuk Urea ... 22

(9)

Penyiraman ... 22

Penyiangan ... 22

Pengendalian Hama dan Penyakit ... 22

Pengamatan Parameter ... 23

Tinggi Tanaman (cm) ... 23

Jumlah Daun (helai) ... 23

Diameter Batang (mm) ... 23

Jumlah Klorofil Daun (unit/0,71 cm2) ... 23

Total Luas Daun (cm2) ... 24

Volume Akar (ml) ... 24

Bobot Basah Tajuk (g) ... 24

Bobot Basah Akar (g) ... 25

Bobot Kering Tajuk (g) ... 25

Bobot Kering Akar (g) ... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 26

Pembahasan ... 48

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 56

Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57

LAMPIRAN ... 60

(10)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Hasil uji komposisi unsur kimia dari abu boiler ... 11 2. Rekomendasi pemupukan tanaman kakao ... 15 3. Rataan tinggi tanaman 2-16 MST (cm) pada pemberian abu boiler dan

pupuk urea ... 27 4. Rataan diameter batang 2-16 MST (mm) pada pemberian abu boiler

dan pupuk urea ... 29 5. Rataan jumlah daun 2-16 MST (helai) pada pemberian abu boiler dan

pupuk urea ... 31 6. Rataan jumlah klorofil daun pada pemberian abu boiler dan

pupuk urea ... 33 7. Rataan total luas daun (cm2) pada pemberian abu boiler dan pupuk

urea ... 35 8. Rataan volume akar (ml) pada pemberian abu boiler dan pupuk urea ... 37 9. Rataan bobot basah tajuk (g) pada pemberian abu boiler dan

pupuk urea ... 38 10. Rataan bobot basah akar (g) pada pemberian abu boiler dan

pupuk urea ... 41 11. Rataan bobot kering tajuk (g) pada pemberian abu boiler dan

pupuk urea ... 42 12. Rataan bobot kering akar (g) pada pemberian abu boiler dan

pupuk urea ... 47

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Kurva respon jumlah klorofil daun dengan pemberian beberapa dosis pupuk urea ... 34 2. Kurva respon total luas daun dengan pemberian beberapa dosis abu

boiler ... 36 3. Kurva respon bobot basah tajuk dengan pemberian beberapa dosis abu

boiler ... 39 4. Kurva respon bobot basah tajuk dengan pemberian beberapa dosis abu

boiler dan pupuk urea ... 40 5. Kurva respon bobot kering tajuk dengan pemberian beberapa dosis

abu boiler ... 43 6. Kurva respon bobot kering tajuk dengan pemberian beberapa dosis

pupuk urea ... 44 7. Kurva respon bobot kering tajuk dengan pemberian beberapa dosis

abu boiler dan pupuk urea ... 45 8. Kurva respon bobot kering tajuk dengan pemberian beberapa dosis

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Deskripsi tanaman kakao varietas Lindak ... 60

2. Bagan penelitian ... 61

3. Bagan letak polibag per plot ... 62

4. Jadwal kegiatan pelaksanaan penelitian ... 63

5. Data hasil analisis abu boiler... ..64

6. Data hasil analisis tanah ultisol ... 65

7. Kriteria penilaian sifat-sifat kimia tanah ... 66

8. Data pengamatan tinggi tanaman 2 MST (cm) ... 67

9. Sidik ragam tinggi tanaman 2 MST ... 67

10. Data pengamatan tinggi tanaman 4 MST (cm) ... 68

11. Sidik ragam tinggi tanaman 2 MST ... 68

12. Data pengamatan tinggi tanaman 6 MST (cm) ... 69

13. Sidik ragam tinggi tanaman 6 MST ... 69

14. Data pengamatan tinggi tanaman 8 MST (cm) ... 70

15. Sidik ragam tinggi tanaman 8 MST ... 70

16. Data pengamatan tinggi tanaman 10 MST (cm) ... 71

17. Sidik ragam tinggi tanaman 10 MST ... 71

18. Data pengamatan tinggi tanaman 12 MST (cm) ... 72

19. Sidik ragam tinggi tanaman 12 MST ... 72

20. Data pengamatan tinggi tanaman 14 MST (cm) ... 73

21. Sidik ragam tinggi tanaman 14 MST ... 73

22. Data pengamatan tinggi tanaman 16 MST (cm) ... 74

23. Sidik ragam tinggi tanaman 16 MST ... 74

24. Data pengamatan diameter batang 2 MST (mm) ... 75

25. Sidik ragam diameter batang 2 MST ... 75

26. Data pengamatan diameter batang 4 MST (mm) ... 76

27. Sidik ragam diameter batang 4 MST ... 76

28. Data pengamatan diameter batang 6 MST (mm) ... 77

29. Sidik ragam diameter batang 6 MST ... 77

30. Data pengamatan diameter batang 8 MST (mm) ... 78

31. Sidik ragam diameter batang 8 MST ... 78

32. Data pengamatan diameter batang 10 MST (mm) ... 79

33. Sidik ragam diameter batang 10 MST ... 79

34. Data pengamatan diameter batang 12 MST (mm) ... 80

35. Sidik ragam diameter batang 12 MST ... 80

36. Data pengamatan diameter batang 14 MST (mm) ... 81

37. Sidik ragam diameter batang 14 MST ... 81

(13)

39. Sidik ragam diameter batang 16 MST ... 82

40. Data pengamatan jumlah daun 2 MST (helai) ... 83

41. Sidik ragam jumlah daun 2 MST ... 83

42. Data pengamatan jumlah daun 4 MST (helai) ... 84

43. Sidik ragam jumlah daun 4 MST ... 84

44. Data pengamatan jumlah daun 6 MST (helai) ... 85

45. Sidik ragam jumlah daun 6 MST ... 85

46. Data pengamatan jumlah daun 8 MST (helai) ... 86

47. Sidik ragam jumlah daun 8 MST ... 86

48. Data pengamatan jumlah daun 10 MST (helai) ... 87

49. Sidik ragam jumlah daun 10 MST ... 87

50. Data pengamatan jumlah daun 12 MST (helai) ... 88

51. Sidik ragam jumlah daun 12 MST ... 88

52. Data pengamatan jumlah daun 14 MST (helai) ... 89

53. Sidik ragam jumlah daun 14 MST ... 89

54. Data pengamatan jumlah daun 16 MST (helai) ... 90

55. Sidik ragam jumlah daun 16 MST ... 90

56. Data pengamatan jumlah klorofil daun (unit/0,71 cm2) ... 91

57. Sidik ragam jumlah klorofil daun ... 91

58. Data pengamatan total luas daun daun (cm2) ... 92

59. Sidik ragam total luas daun daun ... 92

60. Data pengamatan volume akar (ml) ... 93

61. Sidik ragam volume akar ... 93

62. Data pengamatan bobot basah tajuk (g) ... 94

63. Sidik ragam bobot basah tajuk ... 94

64. Data pengamatan bobot basah akar (g) ... 95

65. Sidik ragam bobot basah akar ... 95

66. Data pengamatan bobot kering tajuk (g) ... 96

67. Sidik ragam bobot kering tajuk ... 96

68. Data pengamatan bobot kering akar (g) ... 97

69. Sidik ragam bobot kering akar ... 97

70. Rangkuman uji beda rataan pengamatan parameter ... 98

(14)

ABSTRAK

ULI KRIS PUTRI SITORUS : Respon Pertumbuhan Bibit Kakao terhadap Pemberian Abu Boiler dan Pupuk Urea pada Media Pembibitan, dibimbing oleh

BALONGGU SIAGIAN dan NINI RAHMAWATI.

Kesuburan media tumbuh dapat diperbaiki atau ditingkatkan dengan pemupukan anorganik maupun organik, diantaranya adalah dengan memanfaatkan abu boiler yang merupakan salah satu jenis limbah padat hasil samping dari pabrik pengolahan kelapa sawit serta pupuk urea sebagai sumber nitrogen, yang diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan kakao pada media pembibitan. Penelitian dilaksanakan di lahan percobaan Fakultas pertanian USU pada bulan Mei 2013 sampai dengan bulan September 2013, menggunakan rancangan acak kelompok faktorial dengan dua faktor yaitu dosis abu boiler (0, 100, 200, dan 300 g/polibag) dan dosis pupuk urea (0, 5, dan 10 g/polibag). Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, jumlah klorofil daun, total luas daun, volume akar, bobot basah tajuk, bobot basah akar, bobot kering tajuk, dan bobot kering akar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian abu boiler berpengaruh nyata terhadap parameter total luas daun, bobot basah tajuk, dan bobot kering tajuk. Pemberian pupuk urea berpengaruh nyata terhadap parameter jumlah klorofil daun dan bobot kering tajuk. Interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap parameter bobot basah tajuk dan bobot kering akar. Hasil terbaik dari penelitian ini diperoleh pada perlakuan pemberian abu boiler 300 g/polibag dan pemberian pupuk urea 5 g/polibag.

(15)

ABSTRACT

ULI KRIS PUTRI SITORUS: Response of Boiler Ash and Urea Fertilizer on

Cocoa Seedlings Growth at Nursery, supervised by BALONGGU SIAGIAN dan NINI RAHMAWATI.

Growing media fertility can be improved or enhanced with inorganic or organic fertilizer, such as boiler ash, which is one type of solid waste by-product of palm oil mills as well as the source of nitrogen urea fertilizer, is expected to boost growth of cocoa seedling in the nursery. This research had been conducted at experimental field of Fakultas Pertanian USU in May 2013 until September 2013, using factorial randomized block design with two factor, i.e. dose of boiler ash (0, 100, 200, and 300 g/polybag) and dose of urea fertilizer (0, 5, and 10 g/polybag). Parameter observed were plant height, stem diameter, number of leaf, number of leaf chlorophyll, summarize of leaf area, root volume, fresh weight of shoot, fresh weight of root, dry weight of shoot and dry weight of root.

The result showed response of boiler ash on cocoa seed significantly increase summarize of leaf area, fresh weight of shoot and dry weight of shoot. Urea fertilizer significantly affect the parameter number of leaf chlorophyll and dry weight of shoot. Interaction of both significantly affect fresh weight of shoot parameter and canopy and dry weight of root. The best results from this experimental were obtained in the treatment of boiler ash at 300 g/polybag and urea fertilizer 5 g/polybag.

Keywords: Boiler Ash, Urea Fertilizer, Cocoa Seed .

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditi perkebunan

utama andalan nasional. Sejak awal tahun 1980-an, pertumbuhan dan

perkembangan kakao semakin pesat di Indonesia dan berperan penting sebagai

sumber devisa negara, sumber pendapatan petani, serta penyediaan

lapangan pekerjaan. Kondisi iklim, kondisi lahan dan permintaan terhadap

kakao mendorong meningkatnya pembangunan perkebunan kakao

(Suryani dan Zulfebriansyah, 2007).

Indonesia merupakan salah satu negara pembudidaya tanaman kakao

paling luas di dunia dan termasuk negara penghasil kakao terbesar ketiga setelah

Ivory-Coast dan Ghana, yang nilai produksinya mencapai 1.315.800 ton/tahun.

Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, perkembangan luas areal perkebunan kakao

meningkat secara pesat dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 8%/tahun dan saat

ini mencapai 1.462.000 ha (Karmawati, dkk, 2010).

Teknik budidaya merupakan salah satu faktor yang akan membawa

manfaat besar dalam mencapai produksi tinggi dan mutu yang baik. Media

tumbuh kakao memerlukan kesuburan kimia dan fisika, agar dapat diperoleh bibit

yang baik dan sehat untuk pertumbuhan selanjutnya. Salah satu faktor yang

menentukan mutu bibit adalah medium tumbuh. Kesuburan media tumbuh dapat

diperbaiki atau ditingkatkan dengan pemupukan anorganik, organik, atau

penggunaan biostimulan mikroorganisme (Quddusy, 1999).

Urea adalah pupuk buatan hasil persenyawaan NH4 (Amonia) dengan CO2.

(17)

tambang minyak bumi. Kandungan N total berkisar antara 45 – 46 %. Keuntungan

menggunakan pupuk Urea adalah mudah diserap tanaman. Selain itu, kandungan

N yang tinggi pada urea sangat dibutuhkan pada pertumbuhan awal tanaman

(Marsono dan Sigit, 2001).

Peningkatan dosis pupuk urea dapat meningkatkan N-total dalam tanah.

Peningkatan kadar N-total dalam tanah dimungkinkan melalui dua cara, yaitu

secara langsung dimana semakin tinggi dosis pupuk urea yang diberikan sebagai

sumber N maka jumlah hara N yang diberikan ke dalam tanah juga semakin

tinggi, sehingga kadar N-total dalam tanah meningkat. Secara tidak langsung,

peningkatan dosis urea akan menyebabkan peningkatan aktivitas dari

mikroorganisme dalam merombak pupuk organik yang diberikan, sehingga

dengan demikian semakin banyak N-organik yang termineralisasi dari pupuk

organik yang diberikan (Sarief, 1986).

Salah satu jenis tanah mineral yang banyak digunakan sebagai media

tumbuh bibit adalah tanah ultisol. Hal ini terjadi karena jenis tanah tersebut

tersebar cukup luas di Indonesia. Kelemahan tanah ultisol sebagai media tumbuh

adalah karena tanah ini umumnya bereaksi sangat masam. Oleh karena itu untuk

menaikkan pertumbuhan bibit tanarnan diperlukan rnedia tumbuh yang baik bagi

tanaman (Nugroho, 2000).

Tanah ultisol mempunyai tingkat kesuburan yang rendah sebagai akibat

dari reaksi tanah yang masam, kandungan bahan organik, unsur nitrogen (N),

fosfor (P) dan kalium (K) yang rendah serta kapasitas tukar kation yang rendah.

Untuk mengatasi kendala tersebut, maka tindakan pemupukan sangat diperlukan

(18)

pertumbuhan tanaman yang akan dihasilkan. Pada umumnya untuk memenuhi

kebutuhan unsur hara N digunakan pupuk urea dimana jenis pupuk tersebut

cepat bereaksi dalam larutan tanah, mudah didapat di pasaran dan harganya

relatif murah (Suriatna, 1992).

Berdasarkan data di dunia, Indonesia merupakan salah satu negara agraris

yang terbesar di dunia yang memiliki kekayaan alam dari struktur perkebunan

diantaranya adalah perkebunan kelapa sawit. Hampir seluruh daerah di Indonesia

memiliki lahan kelapa sawit yang luas dan tidak menutup kemungkinan limbah

kelapa sawit akan melimpah pula. Cangkang kelapa sawit merupakan salah satu

jenis limbah padat hasil samping dari industri pengolahan kelapa sawit yang saat

ini masih menimbulkan permasalahan bagi lingkungan hidup. Abu kerak boiler

cangkang kelapa sawit merupakan sisa pembakaran dari Pabrik Kelapa Sawit

yang cukup melimpah (Siregar, 2008).

Pemanfaatan abu boiler dapat menjadi bahan amelioran yang ideal karena

mempunyai sifat-sifat kejenuhan basa tinggi, dapat meningkatkan pH tanah, serta

memiliki kandungan unsur hara yang lengkap, sehingga juga berfungsi sebagai

pupuk dan mempunyai kemampuan memperbaiki struktur tanah.

Biasanya digunakan sebagai bahan amelioran pada tanah gambut. Menurut

penelitian (Rini, dkk, 2005), abu boiler menjadi salah satu alternatif yang

memberi harapan dapat memperbaiki sifat kimia tanah gambut sekaligus mampu

mengurangi beban limbah terhadap lingkungan.

Menurut Suriadikarta dan Adimihardja (2001), nitrogen, fosfor, dan

kalium di dalam tanah ketersediaannya terbatas untuk pertumbuhan tanaman.

(19)

pertambahan protoplasma yang dicirikan pertambahan berat kering tanaman. Oleh

karena itu ketersediaan unsur hara nitrogen, fosfor, kalium dan magnesium yang

optimal bagi tanaman dapat meningkatkan klorofil, dimana dengan adanya

peningkatan klorofil maka akan meningkat aktifitas fotosintesis yang

menghasilkan asimilat yang lebih banyak yang akan mendukung berat kering

tanaman (Jumin, 1987). Oleh karena itu perlu dilakukan pemupukan, yang dalam

hal ini yaitu dengan memanfaatkan abu boiler sebagai pengganti pupuk anorganik

buatan pabrik. Penggunaan abu boiler dimaksudkan untuk menekan biaya

pengeluaran, dimana saat ini harga pupuk semakin mahal.

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian

guna mengetahui respons pemberian abu boiler dan pupuk urea terhadap

pertumbuhan bibit kakao (Theobroma cacao L.) di pembibitan.

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui respons pemberian abu boiler dan pupuk urea terhadap

pertumbuhan bibit kakao (Theobroma cacao L.) di pembibitan.

Hipotesis Penelitian

Ada respon pertumbuhan bibit kakao (Theobroma cacao L.) terhadap

pemberian abu boiler pada media tanam, pupuk urea, dan interaksi kedua faktor

tersebut.

Kegunaan Penelitian

Penelitian berguna untuk mendapatkan data penyusunan skripsi sebagai

salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pertanian di Fakultas Pertanian,

Universitas Sumatera Utara, Medan, dan diharapkan berguna sebagai informasi

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman

Menurut Tambunan (2009) sistematika tanaman kakao adalah sebagai

berikut: Kingdom: Plantae ; Divisi : Spermatophyta ; Sub divisio : Angiospermae;

Kelas : Dicotyledoneae ; Ordo : Malvales ; Family : Sterculiaceae;

Genus : Theobroma ; Spesies : Theobroma cacao L.

Akar kakao adalah akar tunggang (radix primaria). Pertumbuhan akar

kakao bisa sampai 8 m ke arah samping dan 15 m ke arah bawah. Kakao yang

diperbanyak secara vegetatif pada awal pertumbuhannya tidak menumbuhkan

akar tunggang, melainkan akar-akar serabut yang banyak jumlahnya. Setelah

dewasa, tanaman tersebut menumbuhkan dua akar yang menyerupai akar

tunggang (Soenaryo, 1983).

Kakao dapat tumbuh sampai ketinggian 8-10 m dari pangkal batangnya di

permukaan tanah. Tanaman kakao yang diperbanyak melalui biji akan

menumbuhkan batang utama sebelum menumbuhkan cabang-cabang primer.

Letak cabang-cabang primer yang tumbuh disebut jorket, yang tingginya 1-2 m

dari permukaan tanah. Ketinggian jorket yang ideal adalah 1,2 m-1,5 m agar

tanaman dapat menghasilkan tajuk yang baik dan seimbang. Ditinjau dari tipe

pertumbuhannya, cabang-cabang tanaman kakao tumbuh ke arah atas (ototrop)

dan ke arah samping (plagiotrop) (Sunanto, 1992).

Daun kakao bersifat dimorfis (dua bentuk percabangan). Daun kakao

terdiri atas tangkai daun dan helai daun. Panjang daun berkisar 25-34 cm dan

lebarnya 9-12 cm. Daun yang tumbuh pada ujung-ujung tunas biasanya berwarna

(21)

akan berubah menjadi hijau dan permukaannya kasar. Pada umumnya daun-daun

yang terlindung lebih tua warnanya bila dibandingkan dengan daun yang langsung

terkena sinar matahari. Pada tunas ototrop, panjang tangkai daunnya 7,5-10 cm

sedangkan pada tunas plagiotrop panjang tangkai daun 2,5 cm. Tangkai daun

berbentuk silinder dan bersisik halus, bergantung pada tipenya (Tambunan, 2009).

Tanaman kakao bersifat kaulifori. Artinya bunga tumbuh dan berkembang

dari bekas ketiak daun pada batang dan cabang. Tempat tumbuh bunga tersebut

semakin lama semakin membesar dan menebal atau biasa disebut dengan bantalan

bunga. Bunga kakao mempunyai rumus K5C5A5+5G(5) artinya, bunga

disusun oleh 5 daun kelopak yang bebas satu sama lain, 5 daun mahkota,

10 tangkai sari yang tersusun dalam 2 lingkaran dan masing-masing terdiri

dari 5 tangkai sari tetapi hanya 1 lingkaran yang fertil, dan 5 daun buah

yang bersatu. Bunga kakao berwarna putih, ungu atau kemerahan. Tangkai

bunga kecil tetapi panjang (1-1,5 cm) (Suryani dan Zulfebriansyah, 2007).

Warna buah kakao sangat beragam, tetapi pada dasarnya hanya ada dua

macam warna. Buah yang ketika muda berwarna hijau atau hijau agak putih jika

sudah masak akan berwarna kuning. Sementara itu, buah yang ketika muda

berwarna merah, setelah masak berwarna jingga (oranye). Kulit buah memiliki

10 alur dalam dan dangkal yang letaknya berselang-seling. Pada tipe criollo dan

trinitario alur kelihatan jelas. Kulit buahnya tebal tetapi lunak dan permukaannya

kasar. Sebaliknya, pada tipe forastero, permukaan kulit buah pada umumnya halus

(rata), kulitnya tipis, dan liat. Buah akan masak setelah berumur enam bulan. Pada

(22)

Di dalam setiap buah, biji tersusun dalam 5 baris mengelilingi poros buah,

jumlahnya beragam antara 20-50 biji per buah. Pada penampakan melintang biji,

akan terlihat 2 kotiledon yang saling melipat. Biji kakao dilindungi oleh daging

buah yang berwarna putih. Di sebelah dalam daging buah terdapat kulit biji yang

membungkus dua kotiledon dan embryo axis. Biji kakao bersifat rekalsitran dan

tidak memiliki masa dorman (Suryani dan Zulfebriansyah, 2007).

Syarat Tumbuh

Iklim

Kakao menghendaki curah hujan rata-rata 1500-2000 mm/tahun. Pada

daerah yang curah hujan nya lebih rendah dari 1500 mm/tahun masih dapat

ditanami kakao bila tersedia air irigasi. Lama bulan kering maksimum 3 bulan

(Tambunan, 2009).

Pengaruh suhu terhadap kakao erat kaitannya dengan ketersedian air, sinar

matahari dan kelembaban. Faktor-faktor tersebut dapat dikelola melalui

pemangkasan, penataan tanaman pelindung dan irigasi. Suhu sangat berpengaruh

terhadap pembentukan flush, pembungaan, serta kerusakan daun. Menurut hasil

penelitian, suhu ideal bagi tanaman kakao adalah 30o-32oC (maksimum)

dan 18º-21oC (minimum). Kakao juga dapat tumbuh dengan baik pada suhu

minimum 15oC per bulan. Suhu ideal lainnya dengan distribusi tahunan 16,6oC

masih baik untuk pertumbuhan kakao asalkan tidak didapati musim hujan yang

panjang (Karmawati, dkk, 2010).

Lingkungan hidup alami tanaman kakao ialah hutan hujan tropis yang di

dalam pertumbuhannya membutuhkan naungan untuk mengurangi pencahayaan

(23)

kecil, daun sempit, dan batang relatif pendek. Pemanfaatan cahaya matahari

semaksimal mungkin dimaksudkan untuk mendapatkan intersepsi cahaya dan

pencapaian indeks luas daun optimum (Firdausil, dkk, 2008).

Kelembaban udara berkaitan erat dengan curah hujan dan suhu udara.

Unsur ini berhubungan dengan timbulnya penyakit yang menyerang kakao. Pada

curah hujan yang tinggi, 3-6 hari berturut-turut akan menyebabkan kelembaban

udara tinggi dan munculnya cendawan Phytopthora palmivora yang menjadi

penyebab busuk buah (Suryani dan Zulfebriansyah, 2007).

Tanah

Tanaman kakao dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang memiliki

pH 6-7,5., tidak lebih tinggi dari 8 serta tidak lebih rendah dari 4, paling tidak

pada kedalaman 1 meter. Hal ini disebabkan terbatasnya ketersediaan hara pada

pH tinggi dan efek racun dari Al, Mn, dan Fe pada pH rendah

(Karmawati, dkk, 2010).

Tanaman kakao membutuhkan tanah berkadar bahan organik tinggi, yaitu

di atas 3%. Kadar bahan organik yang tinggi akan memperbaiki struktur tanah,

biologi tanah, kemampuan penyerapan (absorbsi) hara, dan daya simpan lengas

tanah. Tingginya kemampuan absorbsi menandakan bahwa daya pegang tanah

terhadap unsur-unsur hara cukup tinggi dan selanjutnya melepaskannya untuk

diserap akar tanaman (Suryani dan Zulfebriansyah, 2007).

Tekstur tanah yang baik untuk tanaman kakao adalah lempung liat berpasir

dengan komposisi 30-40% fraksi liat, 50% pasir, dan 10-20% debu. Susunan

demikian akan mempengaruhi ketersediaan air dan hara serta aerasi tanah.

(24)

udara di dalam tanah sehingga menguntungkan bagi akar. Tanah tipe latosol

dengan fraksi liat yang tinggi ternyata sangat kurang menguntungkan tanaman

kakao (Firdausil, dkk, 2008).

Areal penanaman tanaman kakao yang baik tanahnya mengandung fosfor

antara 257-550 ppm pada berbagai kedalaman (0-127,5 cm), dengan persentase

liat dari 10, 8-43,3 %; kedalaman efektif 150 cm; tekstur rata-rata 0-50 cm > SC,

CL, Si, CL; kedalaman Gley dari permukaan tanah 150 cm; pH-H2O (1:2,5)

adalah 6-7; bahan organik 4%; KTK rata-rata 0-50 cm > 24 me/100 gram;

kejenuhan basa rata-rata 0-50 cm > 50% (Suryani dan Zulfebriansyah, 2007).

Abu Boiler

Dalam pemrosesan buah kelapa sawit menjadi ekstrak minyak sawit,

dihasilkan limbah padat yang sangat banyak dalam bentuk serat, cangkang dan

tandan buah kosong, dimana untuk setiap 100 ton tandan buah segar yang

diproses, akan didapat lebih kurang 20 ton cangkang, 7 ton serat dan 25 ton

tandan kosong. Untuk membantu pembuangan limbah dan pemulihan energi,

cangkang dan serat ini digunakan lagi sebagai bahan bakar untuk menghasilkan

uap pada penggilingan minyak sawit. Setelah pembakaran dalam ketel uap, akan

dihasilkan 5% abu dengan ukuran butiran yang halus. Abu hasil pembakaran ini

biasanya dibuang dekat pabrik sebagai limbah padat dan tidak dimanfaatkan

(Hutahaean, 2007).

Cangkang sawit merupakan bagian paling keras pada komponen yang

terdapat pada kelapa sawit. Dalam hasil penelitian, besar kalori cangkang kelapa

sawit mencapai 20000 KJ/Kg. Saat ini pemanfaatan cangkang sawit di berbagai

(25)

sehingga masih meninggalkan residu. Akhirnya cangkang ini dijual mentah ke

pasaran dengan harga tidak sampai Rp 800/kg, yang berpotensi untuk dijadikan

bahan bakar bagi keperluan rumah tangga (Rini, dkk, 2005).

Cangkang adalah sejenis bahan bakar padat yang berwarna hitam

berbentuk seperti batok kelapa dan agak bulat, terdapat pada bagian dalam pada

buah kelapa sawit yang diselubungi oleh serabut. Pada bahan bakar cangkang ini

terdapat berbagai unsur kimia antara lain : Carbon (C), Hidrogen (H2),

Nitrogen (N2), Oksigen (O2) dan Abu. Dimana unsur kimia yang terkandung pada

cangkang mempunyai persentase yang berbeda jumlahnya, bahan bakar cangkang

ini setelah mengalami proses pembakaran akan berubah menjadi arang, kemudian

arang tersebut dengan adanya udara pada dapur akan terbang sebagai ukuran

partikel kecil yang dinamakan partikel pijar. Selain itu, pada beberapa literatur

dikatakan bahwa abu boiler ini juga mengandung unsur K (kalium) yang cukup

tinggi, yaitu dapat mencapai hingga 30% (Prananta, 2009).

Abu kerak boiler adalah abu yang telah mengalami proses penggilingan

dari kerak pada proses pembakaran cangkang dan serat buah pada suhu

500-700oC pada dapur tungku boiler yang dimanfaatkan untuk Pembangkit Listrik

Tenaga Uap (PLTU), dari pembakaran tersebut diperoleh kerak boiler

(Siregar, 2008).

Cangkang kelapa sawit yang merupakan salah satu jenis limbah padat hasil

samping dari industri pengolahan kelapa sawit, saat ini masih menimbulkan

permasalahan bagi lingkungan hidup. Hal ini disebabkan karena limbah ini

diproduksi dalam jumlah besar dan sukar terdegradasi atau terurai secara alami di

(26)

(29,4%), hemiselulosa (27,7%), selulosa (26,6%), air (8,0%), komponen ekstraktif

(4,2%), abu (0,6%). Oleh karena itu, limbah ini sangat berpotensi jika

dikembangkan menjadi produk-produk yang bermanfaat dan memberi nilai

tambah dari aspek ekonomi serta ramah lingkungan (Hutahaean, 2007).

Hasil uji komposisi unsur kimia dari abu boiler yang telah dilakukan oleh

Hutahaean (2007) dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Hasil uji komposisi unsur kimia dari abu boiler

Unsur Kimia Persentase (%)

SiO2 58,02

Al2O3 8,7

Fe2O3 2,6

CaO 12,65

MgO 4,23

Na2O 0,41

K2O 0,72

H2O 1,97

Hilang Pijar 8,59

Sumber : (Hutahaean, 2007)

Berdasarkan hasil analisis laboratorium (Laboratorium Fakultas

Pertanian UISU Medan, 2013), dalam abu boiler juga terkandung unsur

N (0,78%), P2O5 (0,81), K2O (2,02%), CaO (1,17%), dan MgO (0,68%), dimana

masing-masing unsur hara tersebut berguna bagi pertumbuhan tanaman. Dalam

Damanik, dkk (2011), senyawa-senyawa organik yang ada di dalam tubuh

tanaman pada umumnya mengandung nitrogen. Beberapa senyawa nitrogen yang

ada di dalam tubuh tanaman seperti protein, asam-asam amino, enzim-enzim,

bahan penghasil energi seperti ADP, ATP, dan klorofil. Tanaman tidak dapat

melakukan metabolisme bila kahat nitrogen untuk membentuk bahan-bahan vital

tersebut. Nitrogen berperan sebagai penyusun klorofil yang dapat meningkatkan

(27)

pembentukan lemak, pembentukan bunga, buah, dan biji, merangsang

perkembangan akar, dan meningkatkan kualitas hasil tanaman. Kalium memegang

peranan penting dalam metabolisme karbohidrat, pembentukan, pemecahan dan

translokasi pati, metabolisme dan sintesis protein, mengaktifkan berbagai jenis

enzim, serta mengatur membuka dan menutup stomata dan hal-hal yang berkaitan

dengan air. Kalsium berperan penting untuk pembentukan lamella tengah sel,

karena berperan dalam hal sintesa kalsium pekat. Kalsium juga berperan

mencegah pengguguran serta proses menuanya daun, serta penyusun dinding sel.

Magnesium berperan sebagai penyusun klorofil, pembentukan gula, mengatur

penyerapan unsur hara lainnya, menstimulasi pembentukan minyak dan lemak,

serta berperan dalam translokasi pati di dalam tubuh tanaman.

Abu boiler menjadi salah satu alternatif yang dapat memberi harapan dapat

memperbaiki sifat kimiawi tanah gambut sekaligus mampu mengurangi beban

limbah terhadap lingkungan. Menurut Rini, dkk (2005), kandungan asam humat

yang berada dalam tanah gambut dapat dinetralisir oleh abu boiler yang bersifat

basa (pH 10-13), sehingga dapat mengurangi kandungan asam humat dalam tanah

gambut yang mengakibatkan pH tanah menjadi naik. Dengan meningkatnya pH

tanah maka akan meningkatkan sejumlah unsur hara diantaranya kalsium dan

magnesium, selain itu juga meningkatkan aktifitas mikroba, mempercepat proses

dekomposisi tanah dan mencegah tercucinya kation-kation basa.

Pupuk Urea

Pupuk Urea adalah pupuk kimia yang mengandung Nitrogen (N) berkadar

tinggi. Pupuk Urea berbentuk butir-butir kristal berwarna putih, dengan rumus

(28)

sangat mudah menghisap air (higroskopis). Pupuk urea yang dijual dipasaran

biasanya mengandung unsur hara N sebesar 46% dengan pengertian setiap 100 kg

urea mengandung 46 kg nitrogen (Angkapradipta, dkk, 1988).

Unsur hara nitrogen yang terkandung dalam pupuk urea memiliki

kegunaannya bagi tanaman yaitu, membuat daun lebih banyak mengandung butir

hijau daun (chlorophyl), dapat mempercepat pertumbuhan tanaman, dapat

menambah kandungan protein tanaman dan dapat dipakai untuk semua jenis

tanaman, baik tanaman pangan, holtikultura, tanaman perkebunan, usaha

peternakan dan usaha perikanan (Sutedjo, 2008).

Nitrogen merupakan unsur hara makro esensial bagi tanaman yang

berperan dalam proses fisiologis tanaman seperti dalam pembentukan protoplasma

sel, asam amino, protein, amida, dan berbagai koenzim. Salah satu faktor penting

peranan nitrogen adalah pengaruhnya terhadap penggunaan karbohidrat di dalam

tanaman. Penggunaan nitrogen berpengaruh langsung terhadap sintesis

karbohidrat di dalam sel tanaman dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap

vigor tanaman. Nitrogen juga berperan sebagai penyusun klorofil yang

menyebabkan daun berwarna hijau. Kandungan nitrogen yang tinggi di dalam

tanaman, menyebabkan daun berwarna hijau dan mampu bertahan lebih lama.

Bila tanaman kahat nitrogen, pertumbuhan tanaman akan terhambat, tanaman

tampak kurus kerdil, dan daun berwarna kuning pucat. Kelebihan nitrogen

ditandai dengan warna daun menjadi hijau gelap, sekulen, pertumbuhan vegetatif

yang hebat. Pengaruh negatif kelebihan nitrogen terhadap pertumbuhan tanaman

dapat dikurangi dengan pemberian hara posfor dan kalium dalam jumlah yang

(29)

Pupuk urea terbuat dari gas amoniak dan gas asam arang. Urea termasuk

pupuk yang higroskopis (mudah menarik uap air). Pada kelembaban 73%, pupuk

ini sudah mampu menarik uap air dari udara. Oleh karena itu, urea mudah larut

dalam air dan mudah diserap oleh tanaman. Kalau diberikan ke tanah, pupuk ini

akan mudah berubah menjadi amoniak dan karbondioksida. Padahal kedua zat ini

berupa gas yang mudah menguap. Sifat lainnya ialah mudah tercuci oleh air dan

mudah terbakar oleh sinar matahari (Hasibuan, 1999).

Menurut Lindawati, dkk (2000), pupuk nitrogen merupakan pupuk yang

sangat penting bagi semua tanaman, karena nitrogen merupakan penyusun dari

semua senyawa protein, lemak, dan berbagai persenyawaan organik lainnya.

Nitrogen juga memiliki peranan yaitu merangsang pertumbuhan tanaman secara

keseluruhan, khususnya batang, cabang, dan daun. Nitrogen penting dalam hal

pembentukan hijau daun yang berguna sekali dalam proses fotosintesis.

Pemupukan bertujuan untuk memenuhi jumlah kebutuhan hara yang

kurang sesuai di dalam tanah, sehingga produksi meningkat. Hal ini berarti

penggunaan pupuk dan input lainnya diusahakan agar mempunyai efisiensi

tinggi. Efisiensi pemupukan haruslah dilakukan, karena kelebihan atau

ketidaktepatan pemberian pupuk merupakan pemborosan yang berarti

mempertinggi input. Keefisienan pupuk diartikan sebagai jumlah kenaikan hasil

yang dapat dipanen atau parameter pertumbuhan lainnya yang diukur sebagai

akibat pemberian satu satuan pupuk/hara. Rekomendasi pemupukan tanaman

(30)
[image:30.595.112.512.98.213.2]

Tabel 2. Rekomendasi pemupukan tanaman kakao

No Umur/Fase Satuan Urea TSP/SP-36 KCl Kieserit

1 Bibit gr/bibit 5 7 4 4

2 0-1 tahun gr/bibit 25 33 20 40

3 1-2 tahun gr/bibit 45 60 35 40

4 2-3 tahun gr/bibit 90 120 70 60

5 3-4 tahun gr/bibit 180 240 135 75

6 > 4 tahun gr/bibit 220 240 170 120

Sumber : (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao)

Hara yang diserap tanaman dimanfaatkan untuk berbagai proses

metabolisme dalam menjaga fungsi fisiologis tanaman. Gejala fisiologis sebagai

efek pemupukan diantaranya dapat diamati melalui parameter yaitu bobot segar,

bobot kering, kadar klorofil daun nitrogen dan magnesium jaringan. Unsur

nitrogen akan meningkatkan warna hijau daun, mendorong pertumbuhan batang

dan daun sedangkan magnesium merupakan faktor untuk pembentukan klorofil

(Supriadi dan Soeharsono, 2005).

Kehilangan urea akibat penguapan dapat diperkecil jika pupuk

ditempatkan di bawah permukaan tanah sebelum hidrolisis. Hal ini dapat

dilaksanakan dengan cara memasukkan dalam-dalam ke tanah, atau hanya

membiarkan urea yang baru digunakan meresap ke bawah bersama air pengairan

atau air hujan. Berkurangnya kehilangan urea akibat penguapan, jika dilakukan

pengairan melalui permukaan yang baru dipupuk. Air pengairan dengan mudah

memindahkan urea masuk ke dalam tanah sebelum urea itu sempat terhidrolisis.

Dalam keadaan lembab tidak terjadi penguapan ammonia. Kerugian akibat

penguapan amonia pada dasarnya dihilangkan dengan memasukkan bahan pupuk

(31)

Ultisol

Ultisol di Indonesia merupakan bagian terluas dari lahan kering dan

tersebar luas di Sumatera. Jenis tanah ini mempunyai tekstur yang relatif berat,

berwarna merah dan kuning dengan tekstur gumpal, mempunyai agregat yang

kurang stabil dan permeabilitas rendah. Tanah ini umumnya berkembang dari

bahan induk tua. Ciri ultisol adalah memiliki solum tanah agak tebal yaitu

90-180 cm dengan batas horison yang datar. Kandungan bahan organik

pada lapisan olah adalah kurang dari 2%. Kandungan unsur hara N, P, K dan Ca

umumnya rendah dan reaksi tanah (pH) sangat rendah yaitu 4-5,5

(Darmawijaya, 1997).

Pada umumnya ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga merah. Pada

klasifikasi lama, ultisol diklasifikasikan sebagai Podsolik Merah Kuning (PMK).

Warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahan organik yang

menyebabkan warna gelap atau hitam, kandungan mineral primer fraksi

ringan seperti kuarsa dan plagioklas yang memberikan warna putih keabuan,

serta oksida besi seperti goethit dan hematit yang memberikan warna kecoklatan

hingga merah. Makin coklat warna tanah umumnya makin tinggi kandungan

goethit, dan makin merah warna tanah makin tinggi kandungan hematit

(Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah

permukaan sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran

permukaan dan erosi tanah. Tanah ultisol mempunyai tingkat perkembangan yang

cukup lanjut, dicirikan oleh penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat

(32)

Pada umumnya tanah ini mempunyai potensi keracuanan Al dan miskin

kandungan bahan organik. Tanah ini juga miskin kandungan hara terutama P dan

kation- kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas

tukar kation rendah dan peka terhadap erosi (Adiningsih dan Mulyadi, 1993).

Tanah ultisol sering diidentikkan dengan tanah yang tidak subur, tetapi

sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk lahan pertanian potensial, asalkan

dilakukan pengelolaan yang memperhatikan kendala yang ada pada tanah

tersebut. Ultisol ternyata dapat merupakan lahan potensial apabila iklimnya

mendukung. Untuk meningkatkan produktivitas ultisol, dapat dilakukan melalui

pemberian kapur, pemupukan, penambahan bahan organik, penanaman tanah

adaptif, penerapan teknik budidaya tanaman lorong (tumpang sari), terasering,

drainase dan pengolahan tanah yang seminim mungkin. Pengapuran pada ultisol

di daerah beriklim humid basah seperti di Indonesia tidak perlu mencapai pH

tanah 6,5 (netral), tetapi sampai pada pH 5,5 sudah dianggap baik sebab yang

terpenting adalah meniadakan pengaruh meracun dari aluminium dan penyediaan

kalsium bagi pertumbuhan tanaman (Hakim, dkk, 1986).

Pemanfaatan ultisol sebagai areal pertanian menemui berbagai kendala.

Kendala kimia berupa kemasaman tanah dan kandungan alumunium pada taraf

meracun tanaman, kekahatan unsur hara makro dan mikro, serta kapasitas tukar

kation, kejenuhan basah, dan kadar bahan organik rendah. Sedangkan kendala

fisik antara lain peka terhadap erosi dan jumlah pori makro rendah. Hal ini

mengakibatkan perkolasi dan infiltrasi rendah serta aliran permukaan dan laju

(33)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Agronomi Tanaman Perkebunan

dan di lahan percobaan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan

dengan ketinggian +25 meter di atas permukaan laut, mulai bulan Mei sampai

dengan September 2013.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kakao varietas

lindak dari Pusat penelitian kelapa Sawit dan Karet (PPKS), polibag ukuran

25 x 30 cm sebagai tempat media tanam, tanah top soil ultisol sebagai media

tanam, abu boiler dan pupuk urea sebagai objek perlakuan, insektisida dengan

bahan aktif Deltamethrin 2 cc/l air (Decis 2,5 EC), bambu sebagai tiang naungan,

dan daun nipah sebagai atap naungan.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkul sebagai alat

untuk mengolah lahan, gembor sebagai alat untuk menyiram tanaman, meteran

untuk mengukur lahan dan tinggi tanaman, bak kecambah sebagai wadah

pengecambahan benih kakao, timbangan analitik untuk menimbang abu boiler,

pupuk urea, serta menimbang bobot basah dan bobot kering tanaman kakao, oven,

gunting, cutter, parang, handsprayer sebagai alat untuk menyemprotkan pestisida,

klorofil meter untuk menghitung jumlah klorofil daun, dan alat tulis.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial

(34)

Faktor 1: Abu Boiler (B) dengan empat taraf, yaitu:

B0 : 0 g Abu Boiler/polibag

B1 : 100 g Abu Boiler/polibag

B2 : 200 g Abu Boiler/polibag

B3 : 300 g Abu Boiler/polibag

Faktor 2: Dosis Pupuk Urea dengan tiga taraf, yaitu:

U0 : 0 g/polibag

U1 : 5 g/polibag

U2 : 10 g/polibag

Diperoleh kombinasi perlakuan sebanyak 12 kombinasi, yaitu :

B0U0 B1U0 B2U0 B3U0

B0U1 B1U1 B2U1 B3U1

B0U2 B1U2 B2U2 B3U2

Jumlah kombinasi perlakuan = 12

Jumlah ulangan = 3

Jumlah petak penelitian = 36

Jumlah tanaman / petak = 4

Jumlah sampel / petak = 3

Jumlah tanaman seluruhnya = 144 tanaman

Jumlah sampel seluruhnya = 108 tanaman

Jarak tanam antar polibag = 20 cm x 20 cm

Jarak antar blok = 50 cm

Jarak antar petak = 30 cm

(35)

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan sidik ragam

berdasarkan model linier sebagai berikut:

Yijk = µ + ρi + αj + βk + (αβ)jk + εijk

dimana:

Yijk = Hasil pengamatan pada blok ke-i yang diberi pemberian abu boiler

pada taraf ke- j dan pupuk urea pada taraf ke-k

µ = Nilai tengah

ρi = Pengaruh blok ke-i

αj = Pengaruh pemberian abu boiler pada taraf ke- j

βk = Pengaruh pupuk urea pada taraf ke-k

(αβ)jk = Pengaruh interaksi pemberian abu boiler pada taraf ke- j dan pupuk

urea pada taraf ke-k

εijk = Pengaruh galat pada blok ke-i yang mendapat perlakuan pemberian

abu boiler pada taraf ke- j dan pupuk urea pada taraf ke-k

Data hasil penelitian pada perlakuan yang berpengaruh nyata dilanjutkan dengan

(36)

PELAKSANAAN PENELITIAN

Persiapan Lahan

Areal penelitian dibersihkan dari gulma dan sampah lainnya. Lahan diukur

dan dilakukan pembuatan plot dengan luas 80 cm x 80 cm dengan jarak antar plot

30 cm dan jarak antar blok 50 cm.

Persiapan Naungan

Naungan dibuat dari bambu sebagai tiang dan daun nipah sebagai atap

memanjang utara-selatan dengan tinggi 1,5 m di sebelah timur dan 1,2 m di

sebelah barat dengan panjang areal naungan 20 m dan lebar 6 m.

Persiapan Media Tanam

Tanah topsoil ultisol dan abu boiler sebagai media tanam dicampur merata

hingga homogen lalu dimasukkan ke dalam polybag dengan bobot ±10 kg sesuai

dengan perlakuan yang telah ditetapkan di atas.

Pengecambahan Benih

Pasir digunakan sebagai media perkecambahan yang diletakkan di dalam

bak kecambah setebal 10-15 cm. Benih ditanam dengan posisi radikula di bagian

bawah dengan jarak antar benih 2 cm x 3 cm. Benih ditanam tidak terlalu dalam.

Pengecambahan dilakukan di Laboratorium Agronomi Tanaman Perkebunan,

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penanaman Kecambah

Pemindahan bibit ke dalam polibag dilakukan setelah benih mulai

tersembul ke atas permukaan tanah, ditandai dengan munculnya radikula dan

plumula. Setiap polibag diisi satu kecambah, dengan membenamkannya

(37)

diisi kecambah disusun rapi/teratur di atas lahan pembibitan yang telah diberi

naungan.

Aplikasi pupuk Urea

Aplikasi pupuk urea dilakukan minggu ke 6, minggu ke 9, minggu ke 12,

dan minggu ke 15 setelah penanaman kecambah. Aplikasi pupuk dilakukan

dengan cara tugal sesuai dengan dosis perlakuan masing-masing, dimana

setiap kali aplikasi, diberikan dengan jumlah satu per empat kali dosis perlakuan

yang ditetapkan.

Pemeliharaan Tanaman

Penyiraman

Penyiraman dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari atau

sesuai dengan kondisi di lapangan. Penyiraman dilakukan dengan menggunakan

alat berupa gembor.

Penyiangan

Penyiangan dilakukan secara manual dengan mencabut rumput yang

berada dalam polibag dan menggunakan cangkul untuk gulma yang berada pada

plot. Penyiangan dilakukan sesuai dengan kondisi di lapangan.

Pengendalian Hama dan Penyakit

Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan menggunakan

insektisida dengan bahan aktif Deltamethrin 2 cc/l air. Aplikasi dilakukan dengan

menggunakan alat berupa handsprayer dan pengaplikasian disesuaikan dengan

(38)

Pengamatan Parameter

Tinggi bibit (cm)

Tinggi bibit diukur mulai dari garis permukaan tanah pada patok standar

hingga titik tumbuh bibit dengan menggunakan meteran. Pengukuran tinggi

tanaman dilakukan sejak tanaman berumur 2 MST hingga 16 MST dengan

interval pengamatan dua minggu sekali.

Jumlah daun (helai)

Jumlah daun yang dihitung adalah seluruh daun yang telah membuka

sempurna dengan ciri-ciri helaian daun dalam posisi terbuka yang ditandai telah

terlihatnya tulang-tulang daun seluruhnya bila diamati dari atas daun. Pengukuran

jumlah daun dilakukan sejak tanaman berumur 2 MST hingga 16 MST dengan

interval pengamatan dua minggu sekali.

Diameter batang (mm)

Diameter batang diukur sejajar garis 1 cm di atas garis permukaan tanah

pada patok standar dengan menggunakan jangka sorong. Pengukuran dilakukan

pada dua bagian sisi batang yang kemudian dirata-ratakan. Pengukuran dilakukan

sejak tanaman berumur 2 MST hingga 16 MST dengan interval pengamatan dua

minggu sekali.

Jumlah klorofil daun (unit/0,71 cm2)

Jumlah klorofil diukur dengan menggunakan klorofilmeter tipe Opti Sciences

CCM 200 yang berhubungan dengan tingkat kandungan klorofil yang terdapat di

dalam daun sampel utuh. CCM 200 Plus Clorofil dapat digunakan untuk

mengukur kandungan klorofil dengan area luas daun 0,71 cm2. Prinsip kerja

(39)

dilakukan sebanyak 3 kali kemudian diambil rata-ratanya, dengan masing-masing

tempat yang berbeda, yaitu pada pangkal daun, tengah daun, dan ujung daun.

Kriteria daun yang diukur yaitu dipilih daun yang berada di tengah, tidak terlalu

muda, dan tidak terlalu tua. Pengukuran jumlah klorofil dilakukan pada akhir

penelitian.

Total luas daun (cm2)

Luas seluruh daun dari setiap bibit sampel ditotalkan sehingga diperoleh

total luas daun. Pengukuran menggunakan persamaan yang dibuat oleh

Asomaning dan Locard yaitu :

Log Y = -0,495 + 1,904 log X

Dimana : Y = luas daun (cm2)

X = panjang daun (cm)

Pengukuran total luas daun dilakukan pada akhir penelitian.

Volume Akar (ml)

Volume akar diamati dengan menggunakan gelas ukur. Perhitungan yang

digunakan adalah sebagai berikut : Va = V1 – V0, dimana :

Va = Volume akar

V1 = Volume air setelah akar dimasukkan ke dalam gelas ukur

V0 = Volume air mula-mula

Volume akar dihitung pada akhir penelitian.

Bobot basah tajuk (g)

Bobot basah tajuk diukur pada akhir penelitian dengan mengambil bagian

(40)

yang terdiri dari batang, serta daun-daun pada tanaman kakao. Bahan dibersihkan,

dikeringanginkan, dan kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan

analitik.

Bobot basah akar (g)

Bobot basah akar diukur pada akhir penelitian. Bahan berupa akar

dibersihkan, dikeringanginkan, dan kemudian ditimbang dengan timbangan

analitik.

Bobot kering tajuk (g)

Bobot kering tajuk diukur pada akhir penelitian. Setelah penghitungan

bobot basah tajuk yaitu bahan (bagian tajuk tanaman kakao) ditimbang dengan

menggunakan timbangan analitik, kemudian bahan dimasukkan ke dalam amplop

coklat yang diberi label sesuai perlakuan dan telah dilubangi, kemudian

dikeringkan pada suhu 80°C di dalam oven hingga bobot keringnya konstan saat

penimbangan.

Bobot kering akar (g)

Bobot kering akar diukur pada akhir penelitian. Setelah bahan ditimbang

dengan menggunakan timbangan analitik, kemudian bahan dimasukkan ke dalam

amplop coklat yang diberi label sesuai perlakuan dan telah dilubangi, kemudian

dikeringkan pada suhu 80°C di dalam oven hingga bobot keringnya konstan saat

(41)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Berdasarkan data pengamatan dan hasil sidik ragam (Lampiran 7-69)

diketahui bahwa pemberian abu boiler berpengaruh nyata terhadap parameter total

luas daun (cm2), bobot basah tajuk (g), dan bobot kering tajuk (g). Pemberian

pupuk urea berpengaruh nyata terhadap parameter jumlah klorofil daun dan bobot

kering tajuk (g). Interaksi antara pemberian abu boiler dengan pemberian pupuk

urea berpengaruh nyata terhadap bobot basah tajuk (g) dan bobot kering tajuk (g).

Tinggi Tanaman (cm)

Data tinggi bibit kakao umur 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, dan 16 MST

dicantumkan pada Lampiran 8, 10, 12, 14, 16, 18, 20 dan 21 sedangkan hasil sidik

ragam masing-masing tinggi bibit kakao dicantumkan pada Lampiran 9, 11, 13,

15, 17, 19, 21, dan 23. Berdasarkan hasil sidik ragam diketahui bahwa pemberian

abu boiler berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi bibit kakao dan pemberian

pupuk urea juga berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi bibit kakao. Interaksi

pemberian abu boiler dan pupuk urea berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi

bibit kakao.

Rataan tinggi bibit kakao (Theobroma cacao L.) 2-16 MST pada

(42)
[image:42.595.115.513.131.701.2]

Tabel 3. Rataan tinggi bibit kakao 2-16 MST (cm) pada pemberian abu boiler dan pupuk urea

Pupuk Urea Pupuk Boiler Rataan

B0 (0 g) B1 (100 g) B2 (200 g) B3 (300 g) 2 MST

U0 (0 g) 11,41 11,79 13,17 11,51 11,97

U1 (5 g) 10,67 13,74 11,14 10,79 11,59

U2 (10 g) 12,19 11,74 11,88 12,67 12,12

Rataan 11,42 12,43 12,06 11,66

4 MST

U0 (0 g) 16,61 17,40 19,11 17,41 17,63

U1 (5 g) 16,46 18,70 16,59 16,37 17,03

U2 (10 g) 17,32 17,68 18,91 16,99 17,73

Rataan 16,80 17,93 18,20 16,92

6 MST

U0 (0 g) 17,66 18,80 20,38 18,29 18,78

U1 (5 g) 18,26 20,47 18,17 17,80 18,67

U2 (10 g) 18,49 19,14 19,84 18,44 18,98

Rataan 18,13 19,47 19,46 18,18

8 MST

U0 (0 g) 19,00 19,94 21,50 19,37 19,95

U1 (5 g) 20,08 21,36 19,66 19,31 20,10

U2 (10 g) 19,40 20,38 20,88 19,12 19,94

Rataan 19,49 20,56 20,68 19,27

10 MST

U0 (0 g) 22,07 22,66 23,04 20,23 22,00

U1 (5 g) 25,13 24,56 21,69 21,56 23,23

U2 (10 g) 22,21 22,47 23,19 19,96 21,96

Rataan 23,14 23,23 22,64 20,58

12 MST

U0 (0 g) 23,62 24,13 24,72 21,77 23,56

U1 (5 g) 26,97 26,19 23,66 23,56 25,09

U2 (10 g) 23,73 24,19 24,48 22,08 23,62

Rataan 24,77 24,84 24,29 22,47

14 MST

U0 (0 g) 24,01 24,57 25,51 22,24 24,08

U1 (5 g) 27,80 26,72 24,33 25,21 26,02

U2 (10 g) 24,68 25,33 25,81 23,14 24,74

Rataan 25,50 25,54 25,22 23,53

16 MST

U0 (0 g) 25,56 25,84 27,09 23,33 25,46

U1 (5 g) 30,17 29,02 29,82 28,33 29,34

U2 (10 g) 27,94 28,14 28,20 24,27 27,14

(43)

Berdasarkan Tabel 3 tampak bahwa pemberian abu boiler menghasilkan

rataan tinggi bibit kakao tertinggi yaitu terdapat pada taraf perlakuan

B2 (pemberian abu boiler 200 g) yaitu 28,37 cm yang berbeda tidak nyata dengan

taraf perlakuan B0 (tanpa pemberian abu boiler) yaitu 27,89 cm,

B1 (pemberian abu boiler 100 g) yaitu 27,67 cm, dan B3 (pemberian abu boiler

300 g) yaitu 25,31 cm. Rataan tinggi bibit kakao terendah terdapat pada taraf

perlakuan B3 (pemberian abu boiler 300 g) yaitu 25,31cm.

Pemberian pupuk urea menghasilkan rataan tinggi bibit kakao tertinggi

yaitu terdapat pada taraf perlakuan U1 (pemberian pupuk urea 5 g) yaitu

29,34 cm yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan U0 (tanpa pemberian

pupuk urea) yaitu 25,46 cm dan U2 (pemberian pupuk urea 10 g) yaitu

27,14 cm. Rataan tinggi bibit kakao terendah terdapat pada taraf perlakuan

U0 (tanpa pemberian pupuk urea) yaitu 25,46 cm.

Diameter Batang (mm)

Data diameter batang bibit kakao umur 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, dan 16 MST

dicantumkan pada Lampiran 24, 26, 28, 30, 32, 34, 36, dan 38 sedangkan hasil

sidik ragam masing-masing diameter batang bibit kakao dicantumkan pada

Lampiran 25, 27, 29, 31, 33, 35, 37, dan 39. Berdasarkan hasil sidik ragam

diketahui bahwa pemberian abu boiler berpengaruh tidak nyata terhadap diameter

batang bibit kakao dan pemberian pupuk urea juga berpengaruh tidak nyata

terhadap diameter batang bibit kakao. Interaksi pemberian abu boiler dan pupuk

urea berpengaruh tidak nyata terhadap diameter batang bibit kakao.

Rataan diameter batang bibit kakao (Theobroma cacao L.) 2-16 MST pada

(44)
[image:44.595.113.504.168.734.2]

Tabel 4. Rataan diameter batang bibit kakao 2-16 MST (mm) pada pemberian abu boiler dan pupuk urea

Pupuk Urea Abu Boiler Rataan

B0 (0 g) B1 (100 g) B2 (200 g) B3 (300 g) 2 MST

U0 (0 g) 3,11 3,00 3,33 3,06 3,13

U1 (5 g) 3,00 3,06 3,11 3,08 3,06

U2 (10 g) 2,94 3,22 3,11 3,06 3,08

Rataan 3,02 3,09 3,19 3,06

4 MST

U0 (0 g) 3,17 3,28 3,44 3,14 3,26

U1 (5 g) 3,17 3,25 3,36 3,22 3,25

U2 (10 g) 3,08 3,36 3,25 3,25 3,24

Rataan 3,14 3,30 3,35 3,20

6 MST

U0 (0 g) 3,39 3,64 3,83 3,50 3,59

U1 (5 g) 3,61 3,86 3,50 3,97 3,74

U2 (10 g) 3,42 3,89 3,69 3,53 3,63

Rataan 3,47 3,80 3,68 3,67

8 MST

U0 (0 g) 3,64 4,36 4,17 4,00 4,04

U1 (5 g) 4,06 4,14 3,78 4,17 4,03

U2 (10 g) 3,92 4,25 4,22 3,78 4,04

Rataan 3,87 4,25 4,06 3,98

10 MST

U0 (0 g) 3,81 4,69 4,69 4,22 4,35

U1 (5 g) 4,36 4,42 4,42 4,64 4,46

U2 (10 g) 4,19 4,61 4,50 4,22 4,38

Rataan 4,12 4,57 4,54 4,36

12 MST

U0 (0 g) 4,28 5,00 5,08 4,58 4,74

U1 (5 g) 4,72 4,81 4,72 5,25 4,88

U2 (10 g) 4,72 5,08 5,00 4,72 4,88

Rataan 4,57 4,96 4,94 4,85

14 MST

U0 (0 g) 4,56 5,33 5,31 5,06 5,06

U1 (5 g) 5,14 5,28 5,14 5,81 5,34

U2 (10 g) 5,14 5,44 5,22 5,03 5,21

Rataan 4,94 5,35 5,22 5,30

16 MST

U0 (0 g) 4,86 5,53 5,47 5,25 5,28

U1 (5 g) 5,44 5,61 5,50 6,03 5,65

U2 (10 g) 5,33 5,69 5,36 5,42 5,45

(45)

Berdasarkan Tabel 4 tampak bahwa pemberian abu boiler menghasilkan

rataan diameter batang bibit kakao tertinggi yaitu terdapat pada taraf perlakuan

B1 (pemberian abu boiler 100 g) yaitu 5,61 mm yang berbeda tidak nyata dengan

taraf perlakuan B0 (tanpa pemberian abu boiler) yaitu 5,21 mm, B2 (pemberian

abu boiler 200 g) yaitu 5,44 mm, dan B3 (pemberian abu boiler 200 g) yaitu 5,56

mm. Rataan diameter batang terendah terdapat pada taraf perlakuan B0 (tanpa

pemberian abu boiler) yaitu 5,21 mm.

Pemberian pupuk urea menghasilkan rataan diameter batang bibit kakao

tertinggi yaitu terdapat pada taraf perlakuan U1 (pemberian pupuk urea 5 g) yaitu

5,65 mm yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan U0 (tanpa pemberian

pupuk urea) yaitu 5,28 mm dan U2 (pemberian pupuk urea 10 g) yaitu 5,45 mm.

Rataan diameter batang bibit kakao terendah terdapat pada taraf perlakuan U0

(tanpa pemberian pupuk urea) yaitu 5,28 mm.

Jumlah Daun (helai)

Data jumlah daun bibit kakao umur 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, dan 16 MST

dicantumkan pada Lampiran 40, 42, 44, 46, 48, 50, 52, dan 54 sedangkan hasil

sidik ragam masing-masing jumlah daun dicantumkan pada Lampiran 41, 43, 45,

47, 49, 51, 53, dan 55. Berdasarkan hasil sidik ragam diketahui bahwa pemberian

abu boiler berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun bibit kakao dan

pemberian pupuk urea juga berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun bibit

kakao. Interaksi pemberian abu boiler dan pupuk urea berpengaruh tidak nyata

terhadap jumlah daun bibit kakao.

Rataan jumlah daun bibit kakao (Theobroma cacao L.) 2-16 MST pada

(46)
[image:46.595.111.507.150.722.2]

Tabel 5. Rataan jumlah daun bibit kakao 2-16 MST (helai) pada pemberian abu boiler dan pupuk urea

Pupuk Urea Abu Boiler Rataan

B0 (0 g) B1 (100 g) B2 (200 g) B3 (300 g) 2 MST

U0 (0) 2,78 2,78 2,56 3,44 2,89

U1 (5 g) 2,56 3,67 2,56 2,89 2,92

U2 (10 g) 2,78 3,56 2,22 3,00 2,89

Rataan 2,70 3,33 2,44 3,11

4 MST

U0 (0 g) 4,11 5,33 5,11 4,67 4,81

U1 (5 g) 5,22 5,44 4,89 5,56 5,28

U2 (10 g) 4,78 5,33 5,67 5,44 5,31

Rataan 4,70 5,37 5,22 5,22

6 MST

U0 (0 g) 5,33 6,11 6,00 6,11 5,89

U1 (5 g) 6,00 6,11 5,33 6,11 5,89

U2 (10 g) 5,78 6,33 7,11 6,44 6,42

Rataan 5,70 6,19 6,15 6,22

8 MST

U0 (0 g) 6,56 7,67 9,33 8,89 8,11

U1 (5 g) 8,11 7,44 8,22 10,33 8,53

U2 (10 g) 8,22 8,67 9,00 8,22 8,53

Rataan 7,63 7,93 8,85 9,15

10 MST

U0 (0 g) 11,22 12,11 10,78 10,11 11,06

U1 (5 g) 10,78 11,78 10,89 13,78 11,81

U2 (10 g) 9,33 12,44 12,44 10,22 11,11

Rataan 10,44 12,11 11,37 11,37

12 MST

U0 (0 g) 11,44 13,33 12,56 11,33 12,17

U1 (5 g) 12,00 14,00 12,56 14,78 13,33

U2 (10 g) 9,89 13,89 14,44 12,22 12,61

Rataan 11,11 13,74 13,19 12,78

14 MST

U0 (0 g) 13,56 15,67 14,22 13,56 14,25

U1 (5 g) 13,67 16,44 14,56 18,78 15,86

U2 (10 g) 12,11 16,44 17,22 15,11 15,22

Rataan 13,11 16,19 15,33 15,81

16 MST

U0 (0 g) 15,67 18,56 16,89 15,44 16,64

U1 (5 g) 15,67 18,78 17,00 20,22 17,92

U2 (10 g) 14,33 18,89 19,33 17,11 17,42

(47)

Berdasarkan Tabel 5 tampak bahwa pemberian abu boiler menghasilkan

rataan jumlah daun bibit kakao tertinggi yaitu terdapat pada taraf perlakuan

B1 (pemberian abu boiler 100 g) yaitu 18,74 helai yang berbeda tidak nyata

dengan taraf perlakuan B0 (tanpa pemberian abu boiler) yaitu 15,22 helai,

B2 (pemberian abu boiler 200 g) yaitu 17,74 helai, dan B3 (pemberian abu boiler

300 g) yaitu 17,59 helai. Rataan jumlah daun bibit kakao terendah terdapat pada

taraf perlakuan B0 (tanpa pemberian abu boiler) yaitu 15,22 helai.

Pemberian pupuk urea menghasilkan rataan jumlah daun bibit kakao

tertinggi yaitu terdapat pada taraf perlakuan U1 (pemberian pupuk urea 5 g) yaitu

17,92 helai yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan U0 (tanpa pemberian

pupuk urea) yaitu 16,64 helai dan U2 (pemberian pupuk urea 10 g) yaitu 17,42

helai. Rataan jumlah daun bibit kakao terendah terdapat pada taraf perlakuan U0

(tanpa pemberian pupuk urea) yaitu 16,64 helai.

Jumlah Klorofil Daun (unit/0,71 cm2)

Data jumlah klorofil daun bibit kakao dicantumkan pada Lampiran 56

sedangkan hasil sidik ragam jumlah klorofil daun bibit kakao dicantumkan pada

Lampiran 57. Berdasarkan hasil sidik ragam diketahui bahwa pemberian abu

boiler berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah klorofil daun bibit kakao

sedangkan pemberian pupuk urea berpengaruh nyata terhadap jumlah klorofil

daun bibit kakao. Interaksi pemberian abu boiler dan pupuk urea berpengaruh

tidak nyata terhadap jumlah klorofil daun bibit kakao.

Rataan jumlah klorofil daun bibit kakao (Theobroma cacao L.) pada

(48)

Tabel 6. Rataan jumlah klorofil daun bibit kakao 16 MST (unit/6 mm3) pada pemberian abu boiler dan pupuk urea

Pupuk Urea Abu Boiler Rataan

B0 (0 g)

B1 (100 g)

B2 (200 g)

B3 (300 g)

U0 (0 g) 8,32 11,27 13,82 13,85 11,81b

U1 (5 g) 18,57 30,12 21,71 24,31 23,68a

U2 (10 g) 35,52 36,06 25,32 27,68 31,14a

Rataan 20,80 25,82 20,28 21,94

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Berdasarkan Tabel 6 tampak bahwa pemberian abu boiler menghasilkan

rataan jumlah klorofil daun bibit kakao tertinggi terdapat pada taraf perlakuan

B1 (pemberian abu boiler 100 g) yaitu 25,82 yang berbeda tidak nyata dengan

taraf perlakuan B0 (tanpa pemberian abu boiler) yaitu 20,80., B2 (pemberian abu

boiler 200 g) yaitu 20,28., dan B3 (pemberian abu boiler 300 g) yaitu 21,94.

Rataan jumlah klorofil daun bibit kakao terendah terdapat pada taraf perlakuan B2

(pemberian abu boiler 200 g) yaitu 20,28.

Pemberian pupuk urea 10 g (U2) menghasilkan jumlah klorofil daun bibit

kakao tertinggi yaitu 31,14 yang berbeda nyata dengan taraf perlakuan U0 (tanpa

pemberian pupuk urea) yaitu 11,81, namun berbeda tidak nyata dengan taraf

perlakuan U1 (pemberian pupuk urea 5 g) yaitu 23,68. Jumlah klorofil daun bibit

kakao terendah terdapat pada taraf perlakuan U0 (tanpa pemberian pupuk urea)

yaitu 11,81.

Kurva respon jumlah klorofil daun bibit kakao terhadap pemberian

[image:48.595.113.512.167.278.2]
(49)
[image:49.595.120.487.85.333.2]

Gambar 1. Kurva respon jumlah klorofil daun bibit kakao terhadap pemberian pupuk urea

Berdasarkan Gambar 1 diketahui bahwa hubungan pemberian pupuk urea

dengan jumlah klorofil daun bibit kakao menunjukkan linear positif (r = 0,99).

Hal ini berarti, semakin tinggi dosis pupuk urea yang diberikan hingga batas 10 g

akan mengakibatkan peningkatan jumlah klorofil daun pada bibit kakao.

Interaksi antara pemberian abu boiler dan pupuk urea menunjukkan respon

yang tidak nyata terhadap jumlah klorofil daun bibit kakao.

Total Luas Daun (cm2)

Data total luas daun bibit kakao dicantumkan pada Lampiran 58

sedangkan hasil sidik ragam total luas daun bibit kakao dicantumkan pada

Lampiran 59. Berdasarkan hasil sidik ragam diketahui bahwa pemberian abu

boiler berpengaruh nyata terhadap total luas daun bibit kakao sedangkan

pemberian pupuk urea berpengaruh tidak nyata terhadap total luas daun ŷ= 12,545 + 1,933X

r = 0,99

5 10 15 20 25 30 35

0 5 10

Jum

la

h kl

or

of

il

da

un

(50)

bibit kakao. Interaksi pemberian abu boiler dan pupuk urea berpengaruh tidak

nyata terhadap total luas daun bibit kakao.

Rataan total luas daun bibit kakao (Theobroma cacao L.) pada pemberian

abu boiler dan pupuk urea dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan total luas daun bibit kakao 16 MST (cm2) pada pemberian abu boiler dan pupuk urea

Pupuk Urea Abu Boiler Rataan

B0 (0 g)

B1 (100 g)

B2 (200 g)

B3 (300 g)

U0 (0 g) 337,16 512,83 412,49 544,62 451,78

U1 (5 g) 347,62 668,80 624,31 982,90 655,91

U2 (10 g) 317,11 452,48 592,93 762,43 531,24

Rataan 333,96b 544,70a 543,24a 763,32a

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Berdasarkan Tabel 7 tampak bahwa pemberian abu boiler menghasilkan

rataan total luas daun bibit kakao tertinggi yaitu terdapat pada taraf perlakuan

B3 (pemberian abu boiler 300 g) yaitu 763,32 cm2 yang berbeda nyata dengan

taraf perlakuan B0 (tanpa pemberian abu boiler) yaitu 333,96 cm2, namun

berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan B1 (pemberian abu boiler 100 g) yaitu

544,70 cm2, dan B2 (pemberian abu boiler 200 g) yaitu 543,24 cm2. Rataan total

luas daun bibit kakao terendah terdapat pada taraf perlakuan

Gambar

Tabel 1. Hasil uji komposisi unsur kimia dari abu boiler
Tabel 2. Rekomendasi pemupukan tanaman kakao
Tabel 3. Rataan tinggi bibit kakao 2-16 MST (cm) pada pemberian abu boiler dan pupuk urea
Tabel 4.  Rataan diameter batang bibit kakao 2-16 MST (mm) pada   pemberian abu boiler dan  pupuk urea
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif yang sangat signifikan antara external locus of control

Untuk mengetahui performansi sumber arus pada variasi frekuensi yang berbeda maka dilakukan pengujian yakni dengan mengubah-ubah nilai frekuensi dari 1Hz-200kHz dan nilai beban

Hasil penelitian didapatkan bahwa kondisi yang menghasilkan nilai ketebalan tertinggi dengan parameter diameter 1.3mm, dipadukan dengan parameter tekanan sebesar 3 bar,

Dalam Staatsblaad 1835 Nomor 58 dinyatakan bahwa “jika di antara orang Jawa dengan orang Madura terjadi perselisihan tentang perkara perkawinan atau pembagian

12 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia , h.. dengan lembaga Peradilan lainya. Tetapi dalam hal kompetensi untuk menyelesaikan perkara tidak sepenuhnya diberikan

Pandangan Kuntowijoyo di atas, selaras dengan yang disampaikan Syahrin Harahap bahwa salah satu ciri dari masyarakat industrial adalah terciptanya budaya dunia yang

Akan tetapi indikator tersebut relevan dijadikan sebagai ukuran dasar pengelolaan hutan lestari untuk aspek produksi karena indikator tersebut merupakan

Akan tetapi dalam proses kegiatan, tim PkM juga menemui kendala dikarenakan para peserta awam dengan materi yang disajikan dan juga penyebab yang utama karena mereka