• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis willingness to pay petani terhadap peningkatan pelayanan irigasi melalui rehabilitasi jaringan irigasi studi kasus daerah irigasi Cisadane-Empang, Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor-Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis willingness to pay petani terhadap peningkatan pelayanan irigasi melalui rehabilitasi jaringan irigasi studi kasus daerah irigasi Cisadane-Empang, Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor-Jawa Barat"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

MELALUI REHABILITASI JARINGAN IRIGASI

(Studi Kasus: Daerah Irigasi Cisadane-Empang, Desa Pasir Gaok,

Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor-Jawa Barat)

Oleh

FITRIA NUR ARIFAH A14303057

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

(2)

RINGKASAN

FITRIA NUR ARIFAH. Analisis Willingness to Pay Petani terhadap Peningkatan Pelayanan Irigasi Melalui Rehabilitasi Jaringan Irigasi di Daerah Irigasi Cisadane-Empang, Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor-Jawa Barat. (Di bawah bimbingan YUSMAN SYAUKAT)

Kondisi jaringan irigasi di Desa Pasir Gaok saat ini mengalami penurunan. Oleh karena itu, pembangunan subsektor irigasi dan kegiatan operasi dan pemeliharaan (O&P) jaringan irigasi yang kontinyu perlu dilakukan. Berdasarkan Undang-undang Sumberdaya Air No 7 tahun 2004 pasal 78 ayat (3) menjelaskan pembiayaan O&P sistem irigasi primer dan sekunder ditangani oleh pemerintah bersama masyarakat petani, sedangkan sistem irigasi tersier menjadi tanggung jawab perkumpulan petani pemakai air (P3A). Oleh karena itu, perlu adanya iuran pengelolaan irigasi di tingkat petani yang dikelola oleh P3A. Permasalahannya adalah petani merasa tidak bersedia dan keberatan dengan adanya iuran pengelolaan irigasi. Hal ini disebabkan petani masih menganggap bahwa air merupakan barang bebas (free goods).

Sehubungan dengan adanya permasalahan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani bersedia atau tidak bersedia dalam membayar iuran pengelolaan irigasi, mengestimasi besarnya water value pada usahatani padi, mengestimasi besarnya nilai Willingness to Pay (WTP) petani terhadap peningkatan pelayanan irigasi dengan pendekatan Contingent Valuation Methode (CVM), dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi WTP petani terhadap peningkatan pelayanan irigasi.

Hasil penelitian menggunakan analisis regresi logit menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan atau ketidaksediaan petani dalam membayar iuran pengelolaan irigasi adalah tingkat pendidikan dan produktivitas lahan. Hasil penilaian nilai ekonomi air irigasi menggunakan analisis usahatani diperoleh nilai kontribusi air irigasi (water value) usahatani padi sebesar 938.293/ha. Nilai tersebut menandakan bahwa petani memiliki kemampuan untuk membayar iuran pengelolaan irigasi. Iuran pengelolaan irigasi tersebut ditentukan melalui pendekatan WTP petani terhadap peningkatan pelayanan irigasi yaitu sebesar Rp 70.000/hektar. Berdasarkan nilai tengah WTP masing-masing responden pada usahatani padi dan dianalisis menggunakan regresi linear berganda, maka diperoleh bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi WTP terhadap peningkatan pelayanan irigasi adalah luas lahan, tingkat pengetahuan petani tentang iuran pengelolaan irigasi, pendapatan dan tanggungan keluarga.

(3)

Judul Skripsi : ANALISIS WILLINGNESS TO PAY PETANI TERHADAP PENINGKATAN PELAYANAN IRIGASI MELALUI REHABILITASI JARINGAN IRIGASI (Studi Kasus: Daerah Irigasi Cisadane Empang, Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor-Jawa Barat) Nama : FITRIA NUR ARIFAH

NRP : A14303057

dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc NIP. 131 804 162

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr NIP. 131 124 019

(4)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

“ANALISIS WILLINGNESS TO PAY PETANI TERHADAP PENINGKATAN

PELAYANAN IRIGASI MELALUI REHABILITASI JARINGAN IRIGASI (STUDI

KASUS: DAERAH IRIGASI CISADANE EMPANG, DESA PASIR GAOK,

KECAMATAN RANCBUNGUR, KABUPATEN BOGOR-JAWA BARAT)”

BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Februari 2008

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Jakarta, 08 Juli 1985 sebagai anak ke enam dari delapan bersaudara dari pasangan Djuwari, BA dan Latifah. Penulis mengawali pendidikannya di bangku TK Taman Kodok-Bekasi tahun 1990-1991, kemudian dilanjutkan di SDN Bhakti Handayani-Bekasi Utara tahun 1991-1997, SMP Mutiara 17 Agustus-Bekasi Utara tahun 1997-2000, SMUN 1 Cikupa-Tangerang tahun 2000-2003. Pada tahun 2003 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI.

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada :

1. Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

2. Keluarga penulis, khususnya atas dorongan moril dan spirituil, doa, semangat dan kepercayaan yang telah diberikan dari Bapak dan mamah beserta kakak-kakak dan adik-adikku tercinta Mas Opik, Mas Arif, Mas Erick, Mb Dewi, Mb Nung, Mb Aan, Mas Fahri, Faris dan Farhan yang merupakan kekuatan utama bagi penulis dan juga kepada keempat ponakanku Fatimah, Asma, Safia, dan Dede Mariam yang selalu memberikan keceriaan kepada penulis. 3. Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc selaku dosen pembimbing skripsi atas segala

bimbingan dan masukan yang telah diberikan.

4. Dr. Ir. Ahyar Ismail, MAgr selaku dosen penguji utama dan Eva Anggraini, SPi, MSi selaku dosen penguji Wakil Departemen yang telah bersedia memberikan kritik dan saran sebagai penyempurna skripsi ini.

5. Seluruh pegawai di Balai Pengelolaan Sumberdaya Air, Bapak-bapak petani dan Perangkat Desa Pasir Gaok atas informasi-informasi yang telah diberikan ke penulis untuk kelancaran penyusunan skripsi ini.

6. Sahabat-sahabatku EPS 40: Dara, Angke, Hamna, Hanum, Kristanto, Yudha, Iwan dan seluruh rekan EPS 40, keluaargaku di Wisma Arsida 2 atas bantuan dan kebersamaannya selama ini.

7. Rekan-rekan BEM KM IPB 2005-2006, BEM KM IPB 2006-2007 (Erick, Jayadin, all Menteri, all Sesmen ’n all BEM’ers) atas bantuan, kebersamaan, semangat, perjuangan dan pengorbanannya selama ini yang penuh makna. Semoga kita bisa mewujudkan semua cita dan cinta yang kita harapkan. Hidup Mahasiswa !!!!!

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 5

1.3 Tujuan Penelitian... 10

1.4 Kegunaan Penelitian... 10

1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Fungsi Irigasi ... 12

2.2 Sistem Irigasi di Indonesia ... 14

2.3 Peran Masyarakat (Petani) dalam Pembangunan Pengairan ... 15

2.4 Operasi dan Pemeliharaan (O&P) Irigasi ... 16

2.5 Pertimbangan Pengenaan Iuran Pengelolaan Irigasi ... 18

2.6 Kelembagaan Petani Pemakai Air (P3A) ... 19

2.7 Penelitian Terdahulu... 20

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis ... 23

3.1.1 Konsep Kesediaan untuk Membayar (Willingness to Pay)... 23

3.1.2 Asumsi dan Pendekatan Willingness to Pay dari Petani ... 24

3.1.3 Konsep Contingent Valuation Method (CVM) ... 24

3.1.4 Keunggulan dan Kelemahan Contingent Valuation Method (CVM) ... 26

3.1.5 Organisasi dalam Pengoperasian Contingent Valuation Method (CVM) ... 28

3.1.6 Skenario dan Pertanyaan yang Relevan terhadap Skenario ... 29

3.1.7 Hipotesis... 30

(8)

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 34

4.2 Metode Pengambilan Sampel ... 34

4.3 Teknik Pengumpulan Data ... 35

4.4 Metode Analisa Data ... 35

4.4.1 Analisis Kesediaan atau Ketidaksediaan Petani Membayar Iuran Pengelolaan irigasi ... 36

4.4.1.1 Pengujian Parameter ... 37

4.4.1.2 Interpretasi Koefisien ... 39

4.4.2 Analisis Pendapatan Usahatani ... 40

4.4.3 Nilai Kontribusi Air Irigasi (Water Value) terhadap Usahatani Padi... 41

4.4.4 Willingness to Pay (WTP) Petani terhadap Peningkatan Pelayanan Irigasi ... 42

4.4.4.1 Metode Pendugaan Besarnya Nilai WTP ... 42

4.4.4.2 Teknik Penentuan WTP ... 44

4.4.5 Analisis Fungsi WTP ... 47

V. GAMBARAN UMUM LOKASI 5.1 Deskripsi Daerah Irigasi Cisadane-Empang ... 50

5.2 Keadaan Geografis Lokasi Penelitian ... 52

5.3 Keadaan Sosial Ekonomi Lokasi Penelitian ... 52

5.4 Pelayanan Irigasi dan Pola Tanam ... 54

5.5 Produksi Usahatani ... 55

5.6 Peran Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) ... 56

5.7 Perkembangan Iuran Pengelolaan Irigasi ... 56

VI. ANALISIS KESEDIAAN PETANI MEMBAYAR IURAN PENGELOLAAN IRIGASI 6.1 Karakteristik responden ... 58

6.2 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesediaan Petani Membayar Iuran Pengelolaan irigasi ... 62

(9)

6.2.2 Hasil Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesediaan Petani

Membayar Iuran Pengelolaan Irigasi ... 64

VII. PENILAIAN NILAI EKONOMI AIR IRIGASI 7.1 Nilai Kontribusi Air Irigasi (Water Value) pada Usahatani Padi ... 67

7.2 Willingness to Pay (WTP) Petani terhadap Peningkatan Pelayanan Irigasi ... 70

7.3 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai WTP ... 73

7.3.1 Deskripsi Variabel Penelitian ... 73

7.3.2 Hasil Analisis Fungsi WTP ... 77

7.3 Perbandingan antara Nilai Iuran Pengelolaan Irigasi, WTP, dan Water Value ... 80

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan ... 82

8.2 Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 85

LAMPIRAN ... 88

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

Tabel 1. Jumlah Kondisi Bendung di Jawa Barat

tahun 2002-2004 ... 3 Tabel 2. Realisasi Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Daerah

Propinsi Jawa Barat di sector Pembangunan Sumberdaya

Air dan Irigasi dari tahun 199-2003 (000 rupiah) ... 4 Tabel 3. Wilayah dan Luas Lahan Pertanian yang Mengandalkan

Air irigasi dari Bendung Empang Cisadane, Bogor ... 7 Tabel 4. Matriks Metode Analisis Data ……….. 36 Tabel 5. Struktur Mata Pencaharian Penduduk

Desa Pasir Gaok tahun 2006 ... 54 Tabel 6. Distribusi Responden Menurut Kelompok Luas Lahan, Umur,

Tingkat Pendidikan, Pengalaman Berusahatani, Tingkat

Pendapatan, dan Status Usahatani ... 60 Tabel 7. Hasil Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesediaan

Atau Ketidaksediaan Petani Membayar

Iuran Pengelolaan irigasi... 63 Tabel 8. Hasil Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesediaan

Atau Ketidaksediaan Petani Membayar

Iuran Pengelolaan irigasi... 65 Tabel 9. Rata-rata Penerimaan, Biaya Produksi, dan Water Value

Usahatani Padi Berdasarkan Kategori Luas Lahan

tahun 2006/2007 ... 68 Tabel 10. Distribusi WTP Sampel di Atas Iuran Irigasi yang Berlaku

Saat Ini ... 71 Tabel 11. WTP Agregat (TWTP) Petani Pemakai Air... 72 Tabel 12. Nilai Rata-rata Variabel Kontinyu Analisis Faktor-faktor

Yang mempengaruhi WTP... 72 Tabel 13. Deskripsi Variabel Kontinyu yang Bersifat Dummy dalam

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Teks Halaman

Lampiran 1. Hasil Analisis Kesediaan atau Ketidaksediaan Petani

Membayar Iuran Pengelolaan Irigasi ... 86 Lampiran 2. Hasil Analisi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai WTP

(12)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Air merupakan faktor terpenting dalam kehidupan baik untuk kebutuhan hidup manusia maupun kebutuhan hidup tanaman. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut perlu adanya persediaan air yang memadai, tetap serta tepat pemberiannya pada saat yang ditentukan. Oleh karena itu, perlu diadakan suatu pengaturan dan pemanfaatan air yang sebaik-baiknya.

Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2004 tentang sumberdaya air pada pasal 29 ayat 2 dijelaskan bahwa sumberdaya air ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan pokok, sanitasi lingkungan, pertanian, ketenagaan, industri, pertambangan, perhubungan, kehutanan, dan keanekaragaman hayati, olahraga, rekreasi dan pariwisata, ekosistem, estetika, serta kebutuhan lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dijelaskan pula pada pasal 29 ayat 3 bahwa penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi bagi pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada merupakan prioritas utama penyediaan sumberdaya air di atas semua kebutuhan.

(13)

Pembangunan subsektor irigasi perlu dilakukan karena untuk menunjang program peningkatan produksi pertanian dengan tujuan utama swasembada beras. Selain itu, peningkatan produksi pertanian juga bertujuan untuk melestarikan ketahanan pangan, meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan kesempatan kerja di pedesaan dan perbaikan gizi keluarga, serta sejalan dengan semangat demokrasi, desentralisasi, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, perlu dilakukan penyesuaian kebijakan pengelolaan irigasi untuk meningkatkan penyelenggaraan sistem irigasi secara efisien dan efektif.1

Tujuan-tujuan tersebut akan terwujud apabila didukung dengan pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi yang baik dan benar. Salah satu jaringan irigasi yang diperlukan oleh pertanian rakyat dalam mencukupi kebutuhan air irigasinya yaitu berupa sarana bangunan air irigasi atau biasa disebut bangunan bendung. Salah satu jenis bendung yang dibangun ialah bendung tetap dari bahan pasangan batu. Ribuan bendung di seluruh Indonesia yang telah dibangun beroperasi dan berfungsi dengan baik untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Namun, di beberapa wilayah khususnya di Jawa Barat tidak demikian, hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

1

(14)

Tabel 1. Jumlah Kondisi Bendung di Jawa Barat tahun 2002-2004

Sumber : Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat, 2006

Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah kondisi bendung di Jawa Barat dari tahun 2002-2004 yang biasa digunakan sebagai sarana jaringan irigasi utama mengalami penurunan. Hal ini terjadi karena adanya permasalahan di bendung-bendung tersebut. Permasalahan tersebut antara lain disebabkan oleh berbagai hal. Misalnya masalah-masalah penyadapan air, gangguan angkutan sedimen dan sampah yang terjadi pada saluran irigasi, rusaknya pintu-pintu air yang digunakan sebagai pendistribusi air irigasi, masalah penggerusan setempat di hilir bendung sampai dengan masalah hancurnya bangunan, kurangnya keterampilan teknis petugas untuk mengoperasikan dan memelihara jaringan irigasi, dan sebagainya (Mawardi dan Memed 2002).

Kondisi Bendung Tetap

No Lokasi Jumlah Baik Rusak Ringan Rusak Berat

(15)

Oleh karena itu, pemerintah berusaha menginvestasikan dana yang cukup besar untuk melakukan pengembangan dan rehabilitasi jaringan irigasi. Berdasarkan data BPS (2003), realisasi pengeluaran pembangunan Pemerintah Daerah propinsi Jawa Barat di sektor pembangunan sumberdaya air dan irigasi dari tahun 1999-2003 berfluktuasi. Walaupun biaya investasi Pemerintah di sektor pembangunan sumberdaya air dan irigasi cenderung mengalami peningkatan, akan tetapi tetap saja tidak bisa menutupi biaya operasi dan pemeliharaan (O&P) yang dibutuhkan, hal ini dapat dilihat di Tabel 2.

Tabel 2. Realisasi Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat di Sektor Pembangunan Sumberdaya Air dan Irigasi dari tahun 1999-2003 (000 rupiah).

Sektor 1999/2000 2000 2001 2002 2003

Sumberdaya

Air dan Irigasi 37.397.259 26.261.388 25.389.097 41.769.885 52.891.997

Sumber : Badan Pusat statistik, 2003

(16)

masyarakat petani dalam keseluruhan proses pengambilan keputusan serta pelaksanaan pengembangan pengelolaan sistem irigasi.

Adanya kebijakan tersebut mendorong lembaga pengelola air irigasi khususnya perkumpulan petani pemakai air (P3A) bersifat mandiri dalam pengelolaannya, baik berkaitan dengan pelaksanaan O&P atau pembiayaannya. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air pasal 77 ayat (1) bahwa pembiayaan pengelolaan sumberdaya air ditetapkan berdasarkan kebutuhan nyata pengelolaan sumberdaya air. Dijelaskan pula pada pasal 78 ayat (3) bahwa pembiayaan pelaksanaan konstruksi, O&P sistem irigasi primer dan sekunder menjadi tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dan dapat melibatkan peran serta masyarakat petani, sedangkan pembiayaan konstruksi sistem irigasi tersier menjadi tanggung jawab petani dan dapat dibantu pemerintah pusat dan atau Pemerintah Daerah.

Aktivitas pembangunan dan rehabilitasi jaringan irigasi yang cukup penting adalah tahap O&P yang harus dilakukan secara berkesinambungan. Hal tersebut mutlak untuk dilakukan karena dapat menjamin ketersediaan air yang memadai serta mencegah terjadinya kebocoran-kebocoran yang dapat berakibat pada efisiensi pemanfaatan sumberdaya air tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya perawatan dari fasilitas irigasi yang ada (Aji, 2005).

1.2 Perumusan Masalah

(17)

sekitar 22,7 persen dari total lahan irigasi mengalami kerusakan.2 Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain keberadaan infrastruktur irigasi yang kurang memuaskan, terbatasnya sumberdaya manusia sehingga sulit dicapai kinerja jaringan irigasi yang maksimal, kurangnya dana yang disediakan pemerintah untuk O&P, kurangnya dukungan-dukungan dari instansi terkait, serta peran serta petani yang belum seperti yang diharapkan, pada dasarnya berarti petani belum melaksanakan tanggungjawabnya dengan baik yaitu pembangunan dan pengelolaan jaringan tersier (Soenarno, 1998).

Kondisi demikian sangat mengharapkan perhatian dari pemerintah, antara lain perlu adanya pembangunan baru dan rehabilitasi jaringan irigasi di berbagai tempat guna memenuhi kebutuhan petani akan air dan demi kelancaran pendistribusian air irigasi di suatu wilayah tertentu. Rehabilitasi jaringan irigasi ini bukan hanya semata-mata tugas dan tanggung jawab pemerintah, berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 dijelaskan bahwa pembangunan jaringan irigasi perlu melibatkan partisipasi masyarakat petani dalam memikul biaya konstruksi berupa biaya O&P sehingga akan menumbuhkan rasa memiliki dan tanggungjawab terhadap jaringan irigasi yang ada.

Menurut Aji (2005) pemerintah mengalami kesulitan dalam menyediakan dana O&P irigasi dalam jumlah yang mencukupi disebabkan kondisi perekonomian Indonesia yang saat ini sedang mengalami krisis. Oleh karena itu, masalah dana ini sangat memprihatinkan karena jumlah dan ketersediaannya tidak mencukupi.

2

(18)

Salah satu daerah yang memiliki permasalahan irigasi adalah Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor-Jawa Barat yang sumber air irigasinya diambil dari Bendung Empang Cisadane. Selain dimanfaatkan untuk irigasi pertanian, air Bendung Empang Cisadane juga dimanfaatkan untuk kebutuhan industri dan rumah tangga. Berdasarkan data Dinas Bina Marga, Sub Dinas Pengairan (2005), Bendung Empang Cisadane ini mengairi lahan pertanian seluas 1.052 hektar di wilayah Kota/Kabupaten Bogor dan Depok, dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Wilayah dan Luas Lahan Pertanian yang Mengandalkan Air Irigasi dari Bendung Empang Cisadane, Bogor.

No Wilayah Luas Lahan Pertanian

Kota Bogor 1.

Kecamatan Bogor Barat 4 hektar

Kabupaten Bogor

Kecamatan Rancabungur 544 hektar

Kecamatan Kemang 227 hektar

2.

Kecamatan Bojong 18 hektar

Kecamatan Lima Beiji Pancoran, Depok 259 hektar 3.

J U M L A H 1.052 hektar

Sumber : Dinas Bina Marga, Sub Dinas Pengairan, 2005

(19)

Berdasarkan keterangan dari Kepala Desa Pasir Gaok bahwa sudah sekitar delapan tahun terakhir ini di wilayah tersebut pemenuhan kebutuhan air irigasi terhambat sehingga luas areal tanamnya mengalami penurunan. Awalnya luas areal tanamnya 160 hektar (ditanami padi) menurun menjadi 75 hektar. Hal ini disebabkan adanya permasalahan irigasi di desa tersebut, sehingga mayoritas dari lahan tersebut ditanami tanaman palawija yang tidak membutuhkan banyak air.3

Berdasarkan keterangan dari salah satu anggota Mitra Cai (P3A), permasalahan irigasi yang terjadi di desa tersebut yang utama yaitu: pertama, karena terjadinya pendangkalan di saluran induk (primer) dan saluran irigasi sekunder sehingga terjadi penghambatan pengaliran air irigasi dari saluran induk ke saluran tersier lahan pertanian di wilayah tersebut, dan kedua karena petugas kepala urusan yang semula mengurusi pengairan dan pertanian sudah tidak berfungsi lagi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dilihat besarnya nilai kontribusi air irigasi pada usahatani padi di Desa Pasir Gaok.

Berdasarkan masalah yang telah diuraikan diatas, Pemerintah Daerah setempat berencana untuk mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Salah satunya adalah dengan program tahunan berupa rehabilitasi jaringan irigasi, sehingga jaringan irigasi pertanian dapat berfungsi dengan baik dan pendistribusian air irigasinya pun menjadi lancar kembali.

Upaya rehabilitasi jaringan irigasi Bendung Empang Cisadane yang optimum oleh Pemerintah Daerah sangat diperlukan untuk menjamin ketersediaan air yang memadai dan memperlancar sistem serta pendistribusian air irigasi ke

3

(20)

lahan pertanian di wilayah tersebut. Tentu saja untuk mewujudkan hal ini partisipasi aktif masyarakat petani sangat diperlukan.

Salah satu bentuk partisipasi aktif masyarakat petani adalah membayar iuran O&P jaringan irigasi. Hal ini diperlukan guna keberlanjutan jaringan irigasi bagi peningkatan produksi pertanian, khususnya padi. Dalam pengelolaan biaya O&P diserahkan tanggungjawabnya kepada organisasi P3A dan tentunya diperlukan manajemen irigasi yang baik dari organisasi P3A, guna mengelola seluruh biaya yang dibutuhkan.

Perkembangannya, iuran pengelolaan irigasi menghadapi kendala dimana sebagian petani tidak bersedia untuk membayar iuran tersebut. Hal ini disebabkan petani masih menganggap bahwa air merupakan barang bebas (free goods) yang tidak terbatas ketersediaannya, dimana mereka dapat menggunakannya dengan bebas tanpa adanya kontrol yang jelas, serta adanya alokasi air yang tidak sesuai (terdapat sekelompok petani yang tidak mendapatkan air, tetapi ada sekelompok petani yang berlebih dalam pengunaannya). Berdasarkan permasalahan tersebut, muncul pertanyaan mengenai faktor apa saja yang mendorong kesediaan petani untuk membayar iuran pengelolaan rehabilitasi jaringan irigasi.

(21)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan atau ketidaksediaan masyarakat petani untuk ikut berpartisipasi dalam membayar iuran pengelolaan irigasi.

2. Mengestimasi besarnya water value air irigasi pada usahatani padi.

3. Mengestimasi besarnya iuran pengelolaan irigasi yang bersedia dibayar oleh masyarakat petani melalui pendekatan Willingness To Pay (WTP). 4. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi nilai Willingness To

Pay petani terhadap peningkatan pelayanan irigasi melalui rehabilitasi jaringan irigasi.

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi: 1. Masyarakat luas, khususnya masyarakat Kecamatan Rancabungur, Desa

Pasir Gaok dalam ikut menjaga dan memelihara jaringan irigasi Bendung Empang Cisadane guna memperlancar pendistribusian air irigasi ke wilayah tersebut.

2. Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dalam penetapan iuran irigasi guna pembiayaan operasi dan pemeliharaan pengelolaan irigasi di wilayah irigasi yang bersangkutan.

(22)

1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Penelitian yang dilakukan mempunyai ruang lingkup dan keterbatasan-keterbatasan yaitu:

1. Peneliti hanya meneliti satu desa saja di Kecamatan Rancabungur yaitu Desa Pasir Gaok, Bogor-Jawa Barat.

2. Sampel responden terdiri dari 30 petani Desa Pasir Gaok yang mengandalkan air irigasi untuk mengairi lahan pertanian mereka dari Bendung Empang Cisadane.

3. Willingness to pay (WTP) adalah sejumlah uang yang ingin diberikan seseorang untuk memperoleh suatu peningkatan kondisi lingkungan dan sumberdaya serta akan lebih baik dari kondisi sebelumnya.

(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Fungsi Irigasi

Irigasi berasal dari istilah irrigatie dalam bahasa Belanda atau irrigation

dalam bahasa Inggris. Irigasi dapat pula diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan untuk mendatangkan air dari sumberdaya guna keperluan pertanian, mengalirkan dan membagikan air secara teratur dan setelah digunakan dapat pula di buang kembali. Istilah pengairan yang sering pula didengar dapat diartikan sebagai usaha pemanfaatan air pada umumnya, berarti irigasi termasuk di dalamnya.

Pengertian irigasi, bangunan irigasi, daerah irigasi, dan petak irigasi telah dibakukan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 23/1982 Ps. 1. Kutipan dari pengertian-pengertian tersebut adalah sebagai berikut:

• Irigasi adalah usaha penyediaan dan pengaturan air untuk menunjang

pertanian.

• Jaringan irigasi adalah saluran dan bangunan yang merupakan satu kesatuan

dan diperlukan untuk pengaturan air irigasi mulai dari penyediaan, pengambilan, pembagian, pemberian dan penggunaannya.

• Daerah irigasi adalah kesatuan wilayah yang mendapat air satu jaringan

irigasi.

• Petak irigasi adalah petak tanah yang memperoleh air irigasi.

(24)

Berdasarkan Peraturan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah tentang Pedoman Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif tahun 2004 jaringan irigasi dikelompokkan menjadi tiga, yaitu jaringan primer, jaringan sekunder, dan jaringan tersier. Jaringan primer dan sekunder yaitu bagian dari jaringan irigasi yang terdiri dari bangunan utama, saluran induk/primer, saluran sekunder, dan saluran pembuangannya, bangunan bagi serta bangunan pelengkapnya. Jaringan irigasi tersier yaitu jaringan irigasi yang berfungsi sebagai prasarana pelayanan irigasi dalam petak tersier yang terdiri dari saluran tersier, saluran kwarter, dan bangunan pelengkapnya.

Fungsi irigasi, yaitu untuk: (1) menjamin keberhasilan produksi tanaman dalam menghadapi kekeringan jangka pendek, (2) mendinginkan tanah dan atmosfir sehingga akrab untuk pertumbuhan tanaman, (3) mengurangi bahaya kekeringan, (4) mencuci atau melarutkan garam dalam tanah, (5) mengurangi bahaya pemipaan tanah, (6) melunakkan lapisan oleh dan gumpalan-gumpalan tanah, dan (7) menunda pertunasan dengan cara pendinginan lewat evaporasi (Pusposutardjo, 2001).

(25)

2.2 Sistem Irigasi di Indonesia

Ditinjau dari pengelolaannya sistem irigasi di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua kelompok yakni jaringan irigasi yang dikelola oleh pemerintah dan jaringan irigasi desa. Jaringan irigasi yang dikelola pemerintah adalah jaringan irigasi yang dibangun dan dilaksanakan operasional dan pemeliharaannya (O&P) oleh pemerintah. Sedangkan jaringan irigasi desa adalah jaringan irigasi yang dibangun dan dikelola oleh desa dan P3A, biasanya tingkat teknologinya sederhana dan areal pelayanannya terbatas. Sistem irigasi yang tergantung pada bantuan pemerintah dibagi dalam tiga kategori: irigasi teknis, semi teknis, dan sederhana.

(26)

2.3 Peran Masyarakat (Petani) dalam Pembangunan Pengairan

Peranserta masyarakat telah diisyaratkan dalam UU RI No. 7 tahun 2004 pasal 64 ayat 5 tentang Sumberdaya Air. Dengan demikian dasar hukumnya sudah ada. Namun pelaksanaannya masih belum intensif sehingga masih kuat pandangan dalam masyarakat bahwa pembangunan pengairan adalah semata-mata tugas pemerintah. Mengingat pembangunan hakekatnya adalah untuk masyarakat maka sudah seharusnya peran serta masyarakat dalam bidang pengairan ditingkatkan. Sebagai dasar pelaksanaan peran serta masyarakat adalah segala yang dapat dilakukan oleh masyarakat, termasuk sektor swasta, hendaknya dilakukan oleh masyarakat sendiri dengan bimbingan pemerintah. Sisanya, yang tidak dapat dilaksanakan oleh masyarakat, ditangani oleh pemerintah.

Setidaknya ada empat kelompok masyarakat yang terlibat langsung dalam pembangunan pengairan, yakni: masyarakat pemanfaat irigasi (petani), masyarakat pengusaha, masyarakat secara umum dan masyarakat cendikiawan dan pemerhati. Masing-masing kelompok tersebut mempunyai andil dan peranserta yang berbeda dalam pembangunan pengairan. Namun, tinjauan pustaka dalam penelitian ini hanya akan fokus terhadap peran serta masyarakat pemanfaat irigasi dalam hal ini petani dalam pembangunan pengairan.

(27)

dibangun jaringan irigasi di tempat itu dan sekaligus untuk mempersiapkan mereka untuk memanfaatkan nantinya. Langkah yang demikian ini telah ditempuh oleh Ditjen Pengairan dengan kegiatan yang disebut institutional profile pada tahap awal dari pengembangan. Pada tahap konstruksi hendaknya juga dilibatkan, terutama pada pembangunan jaringan tersier sehingga tercipta rasa ikut memiliki. Sedangkan pada tahap operasi dan pemeliharaan inilah peranserta yang lebih besar diharapkan.

Bentuk peran serta tersebut dapat sebagai partisipasi yang berkonotasi ikut serta dalam kontribusi yang bersifat lebih aktif memberikan sesuatu. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa kondisi ekonomi petani Indonesia masih memprihatinkan. Karena itu masih perlu dicari rumusan yang “pas” terhadap partisipasi petani ini. Satu hal penting yang perlu diperhatikan juga adalah bahwa peranserta ini hendaknya bukan atas dasar paksaan tetapi atas dasar kesadaran. Untuk itu perlu penyuluhan sebagai pembuka kesadaran sangat penting artinya. Mengingat petani kita belum cukup mampu ekonominya, maka konsep peranserta petani dengan cara gotong royong tanpa kompensasi pada waktu pembangunan, perlu ditinjau kembali.

2.4 Operasi dan Pemeliharaan (O&P) Irigasi

(28)

pembagian air sepanjang tahun dalam jumlah yang cukup dan waktu yang tepat sesuai dengan kebutuhan tanaman yang ditanam di setiap lokasi daerah irigasi. Untuk mendapatkan manfaat penggunaan air semaksimal mungkin pengaturan pembagian air dilakukan dengan sistem golongan dan giliran. Sedangkan kegiatan pemeliharaan terutama berfungsi untuk mempertahankan kondisi fisik jaringan irigasi agar dapat berfungsi secara baik, sebagai sarana pendukung kegiatan operasi (Sugianto,1991).

Operasi dan pemeliharaan irigasi merupakan suatu pekerjaan dalam pengelolaan irigasi yang bersifat lestari dan mandiri. Lestari berarti pelaksanaan O&P dilakukan secara rutin, teratur, terus-menerus dalam satuan waktu tertentu. Sedangkan mandiri artinya pekerjaan O&P berasal dari petani dengan dibantu oleh pemerintah dan penerima manfaat air irigasi lainnya (Notoatmodjo, 1991).

Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2004, pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder beserta pembiayaan pelaksanaan O&P menjadi tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta partisipasi masyarakat petani. Untuk sistem irigasi tersier menjadi tanggung jawab perkumpulan petani pemaki air (P3A).

(29)

jauh dari ketersediaannya, (4) petani pemanfaat, sebagian besar petani belum mampu mengelola jaringan tersier secara tepat guna, berdaya guna, dan berhasil guna sehingga masih banyak yang menggunakan air secara berlebihan, mangabaikan pemeliharaan saluran dan bangunan irigasi, dan sebagainya, (5) instansi terkait (stakeholder), kurang adanya koordinasi dan kerjasama yang baik antara aparat pemerintah dengan para petani pemakai air sehingga timbul ego sektoral yang tinggi dan penyusunan program yang tidak terpadu. Oleh karena itu, agar upaya mempertahankan swaembada pangan, khususnya beras dapat terwujud, maka perlu adanya operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi yang efisien (Soenarno, 1998).

Secara garis besar berdasarkan Rancangan Peraturan Pemerintah Tahun 2004 tentang irigasi, kegiatan O&P merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan rasa memiliki, rasa tanggung jawab dan kemampuan perkumpulan petani pemakai air dalam rangka meningkatkan efisiensi, efektivitas dan keberlanjutan sistem irigasi.

2.5 Pertimbangan Pengenaan Iuran Pengelolaan Irigasi

(30)

bangunan-bangunan pengairan dapat diikutsertakan mananggung pembiayaan sebagai pengganti jasa pengelolaan. Ketentuan inilah yang menjadi dasar hukum bagi diterapkannya iuran pengelolaan irigasi. Jadi, melalui iuran ini diharapkan partisipasi positif dari para petani pemakai air dalam pembiayaan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi khususnya pada jaringan irigasi tersier.

Dengan adanya iuran irigasi yang dikelola dengan baik, maka beban Pemerintah Daerah dalam kegiatan O&P jaringan irigasi menjadi berkurang dan kondisi jaringan irigasi yang baik akan terwujud sehingga dapat memberikan kinerja yang tinggi. Oleh karena itu, pada akhirnya iuran pengelolaan irigasi menjadi sumber dana utama untuk pembiayaan O&P jaringan irigasi.

2.6 Kelembagaan Petani Pemakai Air (P3A)

(31)

Adapun tugas P3A adalah: (1) merencanakan dan melaksanakan O&P di petak tersier, (2) mobilitas sumberdaya petani; dan (3) menjalin kerjasama horizontal dengan organisasi formal dan nonformal di tingkat desa, serta hubungan vertikal dengan instansi-instansi yang bertanggung jawab atas O&P jaringan utama (Sugianto, 1991). Berdasarkan tujuan dan tugas dari P3A tersebut, maka kelembagaan P3A secara organisatoris, teknis, dan finansial diharapkan mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam pembangunan, rehabilitasi, eksploitasi, dan pemeliharaan jaringan irigasi beserta bangunan pelengkapnya dalam petak tersier, kwarter, desa, dan subak sehingga terlihat bahwa lembaga tersebut sebenarnya dapat memberikan kontribusi yang besar bagi keberhasilan pengelolaan air irigasi di tingkat tersier.

2.7 Penelitian Terdahulu

(32)

Hasil penelitian Nuryartono (1998) menjelaskan bahwa keseluruhan dana IPAIR yang terkumpul didistribusikan pada berbagai pihak yang terlibat. Komponen terbesar digunakan untuk biaya perawatan jaringan irigasi sebesar 80 persen dari total dana yang terkumpul. Sedangkan 20 persen dibagikan kepada pihak-pihak yang terkait. Persentase terbesar dari 20 persen tersebut dinikmati oleh kolektor P3A. Adanya mekanisme pembagian dana tersebut dari hasil penelitian tersebut menunjukkan kecenderungan bahwa P3A dikhawatirkan akan terjebak ke dalam persoalan-persoalan memburu 7 persen dana tersebut sedangkan persoalan pokok yang harus dilakukan P3A menjadi terabaikan. Dengan kondisi demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa P3A yang ada masih belum melaksanakan tugas yang diemban.

Dalam penelitian Nuryartono juga dijelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan petani membayar IPAIR. Faktor-faktor tersebut adalah variabel-variabel: keadilan, tingkat keuntungan yang diperoleh dan pengalaman berusahatani. Variabel keadilan merupakan variabel yang di duga mempunyai pengaruh kuat dalam petani mangambil keputusan (dilihat dari taraf nyatanya) dibandingkan variabel-variabel lainnya. Sedangkan variabel tingkat keuntungan dengan melalui analisis fungsi keuntungan dan factor share dipengaruhi oleh upah tenaga kerja, harga pupuk TSP, harga pupuk KCL. Input yang memiliki share

terbesar adalah tenaga kerja.

(33)

usahatani dipengaruhi oleh produksi, luas lahan, pengalaman berusahatani, dan komoditas yang diusahakan. Untuk kemampuan menabung petani secara keseluruhan dipengaruhi oleh pendapatan usahatani, pandapatan non irigasi, pengeluaran keluarga, beban tanggungan, lama pendidikan dan umur kepala keluarga.

Hasil penelitian Aji (2005) diketahui bahwa faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap kesediaan atau ketidaksediaan petani membayar iuran pengelolaan irigasi yaitu faktor tingkat pelayanan, peranserta petani dalam O&P irigasi, umur petani, serta tingkat pendidikan. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa untuk meningkatkan pelayanan irigasi diperlukan adanya peningkatan iuran pengelolaan irigasi. Besarnya iuran yang bersedia dibayar petani guna adanya peningktan pelayanan irigasi yaitu sebesar Rp 36.315,78/hektar untuk MT I, Rp 75.000,00/hektar untuk MT II, dan Rp 162.631,56/hektar untuk MT III dan total WTP dalam satu tahun senilai Rp 25.321.250,00 di atas total pengeluaran O&P irigasi pertahun. Hasil perhitungan dihitung melalui pendekatan Willingness to Pay melalui metode Contingent Valuation Methode (CVM).

(34)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Teoritis

3.1.1 Konsep Kesediaan Untuk Membayar (Willingness to Pay)

Willingness to Pay (WTP) atau kesediaan untuk membayar adalah kesediaan individu untuk membayar terhadap suatu kondisi lingkungan atau penilaian terhadap sumberdaya alam dan jasa alami dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan. Dalam WTP dihitung seberapa jauh kemampuan setiap individu atau masyarakat secara agregat untuk membayar atau megeluarkan uang dalam rangka memperbaiki kondisi lingkungan agar sesuai dengan standard yang diinginkan. WTP merupakan nilai kegunaan potensial dari sumberdaya alam dan jasa lingkungan.

Beberapa pendekatan yang digunakan dalam penghitungan WTP untuk menghitung peningkatan atau kemunduran kondisi lingkungan adalah:

1. Menghitung biaya yang bersedia dikeluarkan oleh individu untuk megurangi dampak negatif pada lingkungan karena adanya suatu kegiatan pembangunan. 2. Menghitung pegurangan nilai atau harga dari suatu barang akibat dari semakin

menurunnya kualitas lingkungan.

3. Melalui suatu survey untuk menentukan tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar dalam rangka mengurangi dampak negatif pada lingkungan atau untuk mendapatkan lingkungan yang lebih baik.

Penghitungan WTP dapat dilakukan secara langsung (direct method)

(35)

survey dan melakukan wawancara dengan masyarakat petani Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor.

3.1.2 Asumsi dan Pendekatan Willingness To Pay dari Petani

Willingness to Pay adalah metode yang bertujuan untuk mengetahui pada level berapa seseorang mampu membayar biaya perbaikan lingkungan apabila lingkungan ingin menjadi lebih baik. Dalam dunia pertanian khususnya irigasi, pendekatan WTP digunakan untuk melihat tingkat kemampuan petani membayar pada berbagai tingkatan harga air. Dengan menggunakan pendekatan ini diharapkan akan dapat melihat sejauh mana petani merasakan manfaat adanya air irigasi sebagai input produksi.

Dalam pelaksanaan pengumpulan nilai WTP dari masing-masing responden (petani) diperlukan asumsi berikut:

1. Responden mengenal dengan baik sistem irigasi yang ada di lokasi penelitian. 2. Pemerintah Daerah/Provinsi setempat memberikan perhatian pada operasi dan

pemeliharaan jaringan irigasi di lokasi penelitian.

3. Responden dipilih secara random dari petani yang relevan.

3.1.3 Konsep Contingent Valuation Method (CVM)

Pendekatan CVM pertama kali dikenalkan oleh Davis (1963) dalam penelitian mengenai perilaku perburuan (hunter) di Miami. Pendekatan CVM sering digunakan untuk mengukur nilai pasif (nilai non-pemanfaatan) sumberdaya alam atau sering juga dikenal dengan nilai keberadaan. CVM pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui: pertama, keinginan membayar (willingness to pay

(36)

udara, dsb) dan kedua, keinginan menerima (willingness to accept atau WTA) suatu lingkungan.

Contingent Valuation Method merupakan salah satu teknik perhitungan yang didasarkan pada asumsi mengenai hak kepemilikan (Garrod dan Willis dalam Fauzi, 2004), jika individu yang ditanya tidak memiliki hak atas barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam, pengukuran yang relevan adalah keinginan membayar yang maksimum untuk memperoleh barang tersebut. Sebaliknya, jika individu yang kita tanya memiliki hak atas sumberdaya, pengukuran yang relevan adalah keinginan untuk menerima kompensasi yang paling minimum atas hilang atau rusaknya sumberdaya alam yang dimiliki (Fauzi, 2004). Namun, pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan WTP.

Menghitung nilai atau penawaran melalui teknik CVM dapat dilakukan jika pasar dari barang-barang tersebut benar-benar ada. Pasar hipotetik (kuesioner dan responden) oleh karenanya harus sebisa mungkin mendekati kondisi pasar yang sebenarnya. Responden harus mengenal baik barang yang ditanyakan dalam kuesioner dan alat hipotetik yang digunakan untuk pembayaran, seperti pajak dan biaya masuk secara langsung, yang disebut sebagai alat pembayaran.

(37)

hipotetik benda publik yang menjadi obyek pengamatan. Selanjutnya dilakukan pembuktian pasar hipotetik menyangkut pertanyaan perubahan kualitas lingkungan yang dijual atau yang dibeli.

Asumsi dasar dari metode CVM ini adalah bahwa individu-individu memahami benar pilihan mereka dan mereka cukup familiar atau tahu kondisi lingkungan yang dinilai, dan bahwa apa yang dikatakan orang adalah sungguh-sungguh apa yang akan mereka lakukan jika pasar untuk public goods

(lingkungan) benar-benar terjadi.

3.1.4 Keunggulan dan Kelemahan Contingent Valuation Method (CVM) Secara teknik CVM dapat diaplikasikan pada semua kondisi dan memiliki hal penting, yaitu:

1. Seringkali menjadi hanya satu-satunya teknik untuk mengestimasi manfaat. 2. Dapat diaplikasikan pada kebanyakan konteks kebijakan lingkungan.

Hal yang paling penting dari CVM adalah penggunaannya dalam berbagai macam penilaian barang-barang lingkungan di sekitar masyarakat. Secara khusus CVM menyarankan bahwa nilai keberadaan barang-barang lingkungan merupakan hal yang penting untuk diketahui. Salah satu kelebihan CVM dibanding dengan teknik penilaian yang lain, yaitu CVM memiliki kemampuan untuk mengestimasi nilai non pengguna. Dengan CVM, seseorang mungkin dapat mengukur utilitasnya dan keberadaan barang lingkungan, bahkan jika mereka sendiri tidak menggunakannya secara langsung (Hanley dan Spash, 1993).

(38)

1. Strategi bias yang muncul akibat dari ketidakjujuran responden, yang mencoba memanipulasi hasil analisis dan mempengaruhi kebijakan pemerintah di masa yang akan datang.

Solusi: desain dari alat survey sehingga memperkecil kemungkinan hasil survey yang dilihat sebagai sumber kebijakan di masa yang akan datang. 2. Information bias yang muncul dari kurang lengkapnya informasi yang

diberikan oleh pewawancara kepada responden. Informasi tentang kondisi yang dihadapi, perubahan-perubahan yang akan terjadi dan alternatif yang tersedia tidak dipahami responden secara jelas, padahal hal ini penting untuk menimbulkan suatu hipotesis dalam teknik survey.

Solusi: desain alat survey yang hati-hati dan terperinci serta alat penjelas yang tepat.

3. Instrument bias yang muncul dari reaksi subyek survey pada alat pembayaran yang dipilih atau pilihan yang ditawarkan, seperti pajak, retribusi atau iuran. Solusi: desain dari alat sedemikian hingga alat pembayaran dan aspek yang lainnya dari kuesioner tidak mempengaruhi tanggapan subyek wawancara. 4. Starting point bias yang muncul pada kasus permainan penawaran (bidding

game). Sebagai contoh, pilihan dari harga awal atau selang harga yang dipilih oleh pewawancara mungkin mempengaruhi hasil wawancara. Panawaran yang terlalu lama atau panjang akan membosankan responden.

Solusi: desain dari alat survey sedemikian hingga pertanyaan open-ended

memungkinkan dan starting point yang realistik.

(39)

menikmati barang-barang publik, kesediaan membayar sering dipengaruhi oleh anggapan subyek bahwa mereka berhak menikmati barang-barang tersebut secara gratis karena merupakan anugerah Tuhan. Subyek mungkin tidak menanggapi proses survei dengan serius dan jawaban yang mereka berikan cenderung tidak memenuhi pernyataan yang diajukan.

Solusi: desain dari alat survei sedemikian sehingga memaksimalkan “realitas” dari situasi yang akan diuji dengan memberikan penjelasan kepada responden tentang pilihan-pilihan yang tersedia dengan berbagai konsekuensinya.

3.1.5 Organisasi dalam Pengoperasian Contingent Valuation Method (CVM) Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam organisasi pengoperasian CVM, yaitu (Hanley dan Spash, 1993):

1. Pasar hipotetik yang digunakan harus memiliki kreadibilitas dan realistik. 2. Alat pembayaran yang digunakan dan atau ukuran kesejahteraan (WTP)

sebaiknya tidak kontroversial dengan etik di masyarakat.

3. Responden sebaiknya disajikan informasi yang cukup mengenai sumberdaya yang dimaksud dalam kuesioner dan alat pembayaran untuk penawaran mereka.

4. Responden sebaiknya mengenal sumberdaya yang dimaksud dalam kuesioner dan mempunyai pengalaman di dalamnya.

5. Jika memungkinkan, ukuran WTP sebaiknya dicari karena responden sering kesulitan dengan penentuan nilai nominal yang ingin mereka berikan.

(40)

7. Pengujian kebiasan sebaiknya dilakukan dan pengadopsian strategi untuk memperkecil strategi bias khusus.

8. Penawaran sanggahan sebaiknya diidentifikasi.

9. Sebaiknya diketahui dengan pasti apakah contoh memiliki karakteristik yang sama dengan populasi dan penyesuaian dibuat jika diperlukan.

10.Tanda parameter sebaiknya dilihat kembali apakah mereka setuju dengan harapan sebelumnya.

3.1.6 Skenario dan Pertanyaan yang Relevan terhadap Skenario Skenario

(41)

itu juga, responden ditanyakan pendapatnya mengenai persepsi terhadap rencana program rehabilitasi jaringan irigasi yang akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

Pertanyaan yang Menyangkut Skenario

Seandainya kebijakan Pemerintah Daerah mengenai jaringan irigasi benar-benar dilaksanakan, maka responden akan ditanyakan maksimum kesediaan mereka untuk membayar iuran pengelolaan irigasi dan mengikuti kegiatan-kegiatan O&P irigasi sebagai bentuk partisipasi mereka sebagaimana yang dirumuskan di bawah ini:

3.1.6 Hipotesis

3.1.7 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran dan perumusan masalah penelitian, dapat dikembangkan hipotesis penelitian, yaitu:

1. Diduga pilihan masyarakat untuk bersedia membayar iuran pengelolaan irigasi dipengaruhi secara positif oleh faktor pendapatan, pengalaman usahatani, produktivitas lahan, tingkat pendidikan, dan pelayanan.

2. Diduga tingkat WTP petani terhadap iuran pengelolaan irigasi dipengaruhi secara positif oleh faktor luas lahan, pendapatan, pengalaman berusahatani, umur, tingkat pendidikan, pengetahuan petani tentang iuran pengelolaan irigasi, pelayanan irigasi, dan peranserta petani dalam O&P irigasi. Sedangkan secara negatif dipengaruhi oleh tanggungan keluarga.

(42)

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Jaringan irigasi merupakan salah satu komponen pendukung keberhasilan dalam meningkatkan produksi pertanian khususnya padi. Namun, dengan melihat realita yang ada bahwa sebagian jaringan irigasi mengalami kerusakan, baik akibat faktor alam, usia bangunan, atau ulah manusia. Oleh karena itu, pemerintah berusaha untuk merehabilitasi jaringan irigasi yang rusak tersebut. Upaya rehabilitasi tersebut tidak akan berhasil apabila tidak didukung dengan pemeliharaan oleh masyarakat tani. Oleh karena itu, melalui Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), masyarakat tani diharapkan dapat melakukan O&P irigasi secara rutin guna memberikan pelayanan irigasi yang baik. Untuk kelancaran jalannya O&P irigasi diperlukan adanya kesadaran petani pemakai air untuk membayar iuran pengelolaan irigasi.

(43)
(44)

Analisis Usahatani Estimasi Nilai WTP

Penentuan Iuran Pengelolaan Irigasi Analisis Regresi Logit

Ket:

= berkaitan secara langsung = berkaitan secara tidak langsung = lingkup pelayanan irigasi

Gbr. 1 Kerangka Berfikir Operasional

(45)

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, yang termasuk dalam Daerah Irigasi Cisadane-Empang. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) karena kelembagaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) di desa tersebut sudah terbentuk, namun belum diberlakukan adanya iuran pengelolaan irigasi di tingkat petani guna pembiayaan operasi dan pemeliharaan pada jaringan irigasi tersier. Penelitiaan lapang dilaksanakan pada bulan Agustus-September 2007 kemudian dilanjutkan dengan pengolahan data dan penulisan laporan penelitian.

4.2 Metode Pengambilan Sampel

Mengingat daerah irigasi ini mencakup areal baku yang cukup luas, maka dengan keterbatasan yang ada, baik dalam hal dana, waktu, dan tenaga, maka penelitian ini dipusatkan pada tingkat saluran tersier. Hal ini diharapkan dapat mempermudah dalam penetapan iuran pengelolaan irigasi di tingkat petani.

(46)

4.3 Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari karakteristik responden, persepsi masyarakat tani terhadap kondisi jaringan irigasi dan program rehabilitasi yang dilakukan Pemerintah, respon responden terhadap peningkatan pelayanan irigasi dan besarnya nilai WTP yang diperoleh melalui kuisioner maupun wawancara langsung dengan responden. Hasil kuisioner dan wawancara tersebut akan dimanfaatkan sebagai pendukung dari penggunaan CVM dan analisis WTP. Data sekunder meliputi: data jaringan irigasi Cisadane Empang, potensi desa, data dari dinas-dinas terkait, dan literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi pemerintah seperti Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (BPSDA), Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Bina Marga Sub Dinas Pengairan, dan Kantor Kecamatan.

4.4 Metode Analisis Data

(47)

Tabel 4. Matriks Metode Analisis Data

No Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis Data

1 Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi dengan Minitab for Windows Release 14

2 Mengestimasi besarnya iuran pengelolaan rehabilitasi yang bersedia dibayar petani melalui pendekatan

Willingness to Pay (WTP)

Wawancara dengan

3 Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi nilai

4.4.1 Analisis Kesediaan atau Ketidaksediaan Petani Membayar Iuran Pengelolaan Irigasi

Analisis data yang digunakan untuk menghasilkan tujuan pertama dari penelitian ini dengan menggunakan model regresi logit (Logistic Regression Model) dimana variabel respon merupakan peubah yang bersifat kategorik (Firdaus dan Farid, 2008). Dengan model logit ini dapat diduga peluang responden untuk memilih bersedia atau tidak bersedia membayar iuran pengelolaan irigasi.

Bentuk model logit yang akan digunakan untuk mengkaji kesediaan atau kesediaan responden petani dalam membayar iuran pengelolaan irigasi adalah:

log

Pi Pi

(48)

dimana :

Pi = Peluang petani bersedia membayar iuran pengelolaan irigasi (bernilai 1 jika petani bersedia membayar dan bernilai 0 jika petani tidak bersedia membayar).

ßo = Konstanta TP = Tingkat pendidikan (tahun)

PLYN = Pelayanan

i = Responden ke-i (i = 1,2,…n)

4.4.1.1 Pengujian Parameter

Pengujian terhadap parameter model dilakukan untuk memeriksa kebaikan model. Uji statistik yang dilakukan adalah dengan menggunakan statistik uji G dan statistik uji Wald.

Uji G

The log-likelihood biasa dikenal sebagai – 2 LL (- two times the log-likelihood) dimana nilai tersebut dapat memperkirakan distribusi chi-squere (χ2)

dan memungkinkan penentuan level signifikansi. Statistik uji G adalah uji rasio kemungkinan maksimum (likelihood ratio test) yang digunakan untuk menguji peranan variabel penjelas secara serentak. Rumus umum untuk uji G adalah (Hosmer & Lemeshow, 1989) adalah:

(49)

dimana :

L0 = nilai likelihood tanpa variable penjelas

L1 = nilai likelihood model penuh

Pengujian terhadap hipotesis pada uji G adalah sebagai berikut: H0 : ß1 = ... = ßn = 0

H1 : minimal ada satu nilai ß1 tidak sama dengan nol, dimana i = 1,2,3,...,n

Statistik G akan mengikuti sebaran χ2 dengan derajat bebas α. Kriteria

keputusan yang diambil adalah jika G > χ2p(a) maka hipotesis nol ditolak. Uji G

juga dapat digunakan untuk memeriksa apakah nilai yang diduga dengan variabel di dalam model lebih baik jika dibandingkan dengan model tereduksi (Hosmer & Lemeshow, 1989).

Uji Wald

Uji wald digunakan untuk uji nyata parsial bagi masing-masing koefisien variabel. Dalam pengujian hipotesa, jika koefisien dari variabel penjelas sama dengan nol, hal ini berarti variabel penjelas tidak berpengaruh pada variabel respon. Statistik uji Wald dapat didefinisikan sebagai berikut (Hosmer & Lemeshow, 1989):

dimana :

j

βˆ = penduga βˆ j

SE (βˆ ) = penduga galat baku j βˆ j

Pengujian terhadap hipotesis pada uji Wald adalah:

(50)

Uji wald mengikuti sebaran normal baku dengan kaidah keputusan menolak H0

jika W > Zα/2 atau p-value < α.

4.4.1.2 Interpretasi Koefisien

Dalam kajian hubungan antar variabel kategori dikenal adanya ukuran asosiasi atau ukuran keeratan hubungan antar variabel kategori. Salah satu ukuran asosiasi yang dapat diperoleh melalui analisis regresi logit adalah odds ratio.

Odds berarti rasio peluang kejadian sukses dengan kejadian tidak sukses dari variabel respon (Firdaus & Farid, 2008). Odds ratio mengindikasikan seberapa besarnya peluang kejadian sukses pada suatu kelompok dibandingkan dengan kelompok lainnya.

Odds ratio merupakan interpretasi dari peluang. Koefisien yang bertanda negatif menunjukkan nilai odds ratio yang lebih kecil dari satu mengindikasikan bahwa peluang kejadian tidak sukses akan lebih besar dari peluang kejadian sukses, sedangkan koefisien yang bertanda positif menunjukkan nilai odds ratio

yang lebih besar dari satu mengindikasikan bahwa peluang kejadian sukses akan lebih besar dari peluang kejadian tidak sukses. Jika nilai odds ratio sama dengan satu mengindikasikan kedua kelompok memiliki peluang yang sama besar berkaitan dengan munculnya kejadian sukses (Firdaus & Farid, 2008).

4.4.2 Analisis Pendapatan Usahatani

(51)

Penerimaan usahatani dibagi menjadi 2, yaitu penerimaan tunai usahatani dan penerimaan total usahatani. Penerimaan tunai usahatani adalah nilai uang yang diterima dari penjualan pokok usahatani, yaitu jumlah produk yang dijual dikalikan dengan harga jual produk. Penerimaan total usahatani merupakan keseluruhan nilai produksi usahatani baik dijual, dikonsumsi, dan dijadikan persediaan.

Biaya produksi juga dibagi menjadi 2, yaitu biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai di dalam usahatani adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi kebutuhan usahatani, yang meliputi pembelian sarana produksi, upah buruh tani, sewa ternak atau traktor, pembelian alat-alat, pembayaran pajak, dan yang lainnya. Biaya yang diperhitungkan yaitu pengeluran yang tidak dapat dibayarkan, diantaranya penggunaan tenaga kerja dalam keluarga dan biaya penggunaan lahan bagi petani pemilik jika seandainya petani tersebut harus menyewa lahan pada orang lain. Jumlah dari dua macam pengeluaran tersebut disebut sebgai pengeluaran usahatni total.

Secara umum pendapatan bersih usahatani dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut (Soekartawi, 2006) :

... (1)

dimana :

π = Besarnya pendapatan bersih petani (Rp) A = Output produksi (Kg)

p = Harga dari output produksi per satuan (kg, kuintal, dll) X1 = Variabel masukan produksi tetap yang digunakan

(52)

= n

j 1

fj X j = Jumlah biaya yang diperhitungkan (Rp)

4.4.3 Nilai Kontribusi Air Irigasi (Water Value) Usahatani Padi

Menurut Young (1996), nilai air irigasi (water value) menggambarkan kontribusi nilai ekonomi air irigasi dari produksi pertanian. Water value ini merupakan salah satu nilai dari sumberdaya alam yang dapat menandakan tingkat kemampuan petani untuk membayar iuran pengelolaaran air irigasi. Secara empiris nilai air irigasi memberikan keterangan yang penting pada tingkat kemampuan petani untuk membayar biaya program pemulihan, seperti program pengembangan dan rehabilitasi jaringan irigasi, karena besarnya nilai irigasi ini juga menggambarkan besarnya pendapatan non irigasi dalam usahatani padi.

Penilaian air irigasi ini dapat dilakukan melalui pendekatan Product Exhaustion Theorem, yaitu dilakukan dengan menilai kontribusi air irigasi dari selisih antara nilai output produksi dengan nilai input produksi non irigasi yang dihasilkan. Dapat dinyatakan dengan persamaan rumus sebagai berikut (Young, 1996):

sarana produksi, tenaga kerja, sewa lahan, dll) (j =1,....n)

Nilai kontribusi air irigasi ini dihitung untuk dibandingkan dengan besarnya iuran pengelolaan irigasi yang bersedia dibayarkan oleh petani pemakai air. Iuran pengelolaan irigasi dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan

(Pw x Qw) = Y x Py –

=

n

j1

(53)

pendekatan Willingness to Pay (WTP) petani, dengan tujuan agar penentuan besarnya iuran pengelolaan irigasi dapat ditetapkan sesuai dengan kemampuan petani yang didasarkan pada satuan luas lahan petani.

4.4.4 Willingness to Pay Petani terhadap Peningkatan Pelayanan Irigasi 4.4.4.1 Metode Pendugaan Besarnya Nilai WTP

Menurut Hufscmidit (1987) dalam Ayu (2004), pada dasarnya Contingent Valuation Methode (CVM) menilai barang lingkungan melalui menanyakan dengan dua pertanyaan, yaitu :

1. Apakah anda bersedia membayar (Willingness to Pay/WTP) sejumlah Rp X tiap bulan/tiap tahun untuk memperoleh peningkatan kualitas lingkungan? 2. Apakah anda bersedia menerima (Willingness to Accept/WTA) sejumlah Rp X

tiap bulan/tiap tahun sebagai kompensasi atas diterimanya kerusakan lingkungan?

Dalam CVM dikenal empat macam cara untuk mengajukan pertanyaan kepada responden (Hanley dan Spash, 1993), antara lain:

1. Metode tawar-menawar (bidding game), yaitu suatu metode dimana jumlah yang semakin tinggi dari nilai awal (starting point) disarankan pada responden sampai diperoleh nilai WTP maksimum dari responden.

2. Metode referendum tertutup (dichotomous choice), yaitu metode yang menggunakan satu alat pembayaran yang disarankan pada responden, baik mereka setuju/tidak setuju (jawaban ”Ya/Tidak”).

(54)

perbandingan jenis pekerjaan mereka, sehingga membantu responden untuk menyesuaikan jawaban mereka.

4. Metode pertanyaan terbuka (open-ended questions), yaitu suatu metode dimana individu ditanyakan nilai maksimum WTP mereka tanpa adanya penyaranan nilai awal pada mereka. Responden seringkali menemukan kesulitan untuk menjawab pertanyaan tersebut, khususnya bagi responden yang tidak memiliki pengalaman tentang hal-hal yang menjadi bahan pertanyaan dari pewawancara.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kartu pembayaran (payment card), karena menurut beberapa penelitian, metode ini terbukti lebih mudah dipahami responden mengenai maksud dan tujuan dari penelitiannya dibandingkan dengan metode yang lain. Metode ini menggunakan selang nilai yang disajikan pada sebuah kartu yang memungkinkan jenis pengeluaran responden dalam kelompok pendapatan yang ditentukan oleh perbandingan jenis pekerjaan mereka, sehingga membantu responden untuk menyesuaikan jawaban mereka.

4.4.4.2 Teknik Penentuan WTP

Tahap-tahap dalam melakukan penelitian untuk menentukan WTP dengan menggunakan CVM dalam penelitian ini meliputi (Hanley dan Spash, 1993) : 1. Membentuk Pasar Hipotetik (Hypotetical Market)

(55)

pentingnya air irigasi, kelembagaan P3A, dan kualitas pelayanan irigasi yang diterima.

Alat survei yang biasa digunakan adalah kuesioner, yang memberikan deskripsi jika seluruh konsumen akan membayar untuk peningkatan pelayanan irigasi dan bagaimana besarnya pembayaran itu ditentukan. Informasi yang diberikan kepada responden meliputi keseluruhan aspek dari pasar hipotetik bersama-sama dengan informasi bagaimana hal tersebut disediakan oleh barang yang dinilai keberadaannya.

Proses pembentukan pasar hipotetik, terlebih dahulu responden diminta untuk mendengarkan atau membaca suatu pernyataan tentang kondisi jaringan irigasi saat ini, dimana sebagian saluran irigasi mengalami penurunan kualitas yang disebabkan antara lain karena adanya sedimentasi dan pintu-pintu air yang rusak. Dijelaskan pula bahwa kondisi ini terjadi karena kemampuan pembiayaan jaringan irigasi oleh pemerintah terbatas.

Selanjutnya, responden diminta mendengarkan atau membaca pernyataan tentang pelayanan irigasi dengan kondisi yang lebih baik, misalnya adanya pemeliharaan saluran irigasi secara rutin, perbaikan tanggul-tanggul yang rusak dan tenaga operasional air, maka keluar masuknya air melalui saluran dapat sesuai dengan jumlah dan waktu kebutuhan tanaman. Oleh karena itu, perlu adanya penetapan iuran pengelolaan irigasi di tingkat petani. Berdasarkan pernyataan tersebut akan diperoleh ukuran perilaku konsumen dalam situasi hipotetik.

2. Memperoleh Nilai Penawaran (Bids)

(56)

penawaran nilai (bidding game). Pendekatan yang dimaksud yaitu pendekatan menyatu atau terfokus (permainan tawar menawar untuk memperoleh suatu angka yang disepakati) dan pendekatan tunggal.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan menyatu atau terfokus dengan memberikan beberapa nilai tawaran iuran pengelolaan irigasi saat ini dan meminta responden untuk memilih nilai tertinggi yang bersedia ia bayarkan untuk peningkatan pelayanan irigasi. Dengan demikian, dapat diketahui nilai WTP yang sebenarnya dari individu yang bersangkutan terletak dalam kelas atau interval antara nilai yang dipilih dengan nilai WTP berikutnya yang lebih tinggi. Disamping itu, responden dapat dengan mudah memilih nilai yang ditawarkan menggunakan interval tertentu.

3. Menghitung Dugaan Rataan WTP (Expected WTP, E(WTP))

WTPi dapat diduga dengan menggunakan nilai tengah dari kelas atau

interval WTP responden ke-i. Berdasarkan jawaban responden dapat diketahui bahwa WTP yang benar adalah berada anatara jawaban yang dipilih (batas bawah kelas WTP) dengan WTP berikutnya (batas atas kelas WTP). Pada tahap ini biasanya diabaikan adanya penawaran sanggahan (protest bids). Penawaran sanggahan adalah respon dari responden yang bingung untuk menentukan jumlah yang mereka ingin bayarkan karena mereka tidak mempunyai keinginan untuk ikut serta dalam peningkatan pelayanan irigasi. Selanjutnya dugaan rataan WTP dihitung dengan rumus (Jordan dan Elnagheeb, 1993 dalam Arianti, 1999):

... (3)

E(WTP) = i n

i

W

=1

(57)

dimana :

E(WTP) = dugaan rataan WTP

Wi = batas bawah kelas WTP kelas ke-i

Pfi = frekuensi relatif kelas yang bersangkutan

n = jumlah kelas (interval)

i = kelas (interval) WTP; i = 1,2,3,...n) 4. Menentukan total WTP (TWTP)

Total WTP dapat digunakan untuk menduga WTP populasi secara keseluruhan dengan rumus (Pearce dan Turner, 1989 dalam Arianti, 1999):

... (4)

dimana :

TWTP = kesediaan populasi (anggota P3A) untuk membayar WTPi = kesediaan responden (sampel) untuk membayar

ni = jumlah luas lahan sampel yang bersedia membayar sebesar WTP

N = jumlah luas lahan sampel

P = jumlah luas lahan populasi (P3A) i = sampel; i = 1,2,3,...,n

5. Pengevaluasian CVM

(58)

Pengevaluasian model CVM dapat dilihat dari tingkat keandalan

(releability) fungsi WTP untuk mengetahui apakah CVM yang dilakukan dapat memberikan gambaran yang sebenarnya dari ukuran penelitian anggota P3A.

4.4.5 Analisis Fungsi WTP

Model yang digunakan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP petani terhadap peningkatan pelayanan irigasi yaitu model regresi linear berganda. Bardasarkan penelitian terdahulu dan teori yang berkaitan dengan iuran irigasi, maka persamaan regresi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

dimana :

mean WTP = Nilai tengah kelas WTP di atas iuranirigasi yang berlaku (Rp/petak)

PGLM = Pengalaman usahatani (tahun) U = Umur (tahun)

Koefisien regresi parsial diperoleh dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square-OLS). Metode OLS dilakukan dengan pemilihan

meanWTPi = β0 + β1LHi + β2PDPTNi + β3PGLMi + β4Ui + β5TPi + β6PTHNi +

(59)

parameter yang tidak diketahui, sehingga jumlah kuadrat kesalahan pengganggu

(Residual sum of Square-RSS), yaitu

ei2 = minimum (terkecil). Pemilihan

metode ini didasarkan dengan pertimbangan bahwa metode ini mempunyai sifat-sifat karakteristik yang optimal, sederhana dalam perhitungan, dan umum digunakan. Beberapa asumsi yang digunakan dalam model regresi linear berganda adalah (Firdaus, 2004 dalam Aji 2005):

1. Nilai yang diharapkan bersyarat (conditional expected value) dari ∈i

tergantung pada Xi tertentu adalah 0.

2. Tidak ada korelasi berurutan atau tidak ada autokorelasi (nonautokorelasi), artinya dengan Xi tertentu simpangan setiap Y yang manapun dari nilai

rata-ratanya tidak menunjukkan adanya korelas, baik secara positif maupun negatif.

3. Varians bersyarat dari (∈ ) adalah konstan. Asumsi ini dikenal dengan nama asumsi homoskedastisitas.

4. Variabel bebas adalah nonstokastik, yaitu tetap dalam penyampelan berulang. Jika stokastik didistribusikan secara independen dari gangguan ∈.

5. Tidak ada multikolineritas diantara variabel penjelas satu dengan yang lainnya.

6. ∈ didistribusikan secara normal dengan rata-rata dan varians yang diberikan oleh asumsi 1 dan 2.

(60)

tidak dipenuhi oleh fungsi regresi yang diperoleh, maka kebenaran pendugaan model tersebut dan atau pengujian hipotesis untuk pengambilan keputusan dapat diragukan. Penyimpangan asumsi 2, 3, dan 5 memiliki pengaruh yang serius, sedangkan asumsi, 4, dan 6 tidak.

Pengujian hipotesis regresi berganda dari hasil print out komputer dapat dilakukan dengan cara :

1. Dengan melihat nilai thitung atau Fhitung dan dibandingkan dengan nilai ttabel atau

Ftabel.. Jika thitung atau Fhitung lebih besar daripada ttabel atau Ftabel maka

keputusannya adalah menolak hipotesis nol (H0). Sebaliknya, jika nilai thitung

atau Fhitung lebih kecil dari ttabel atau Ftabel maka keputusannya adalah menerima

hipotesis nol (H0).

2. Dengan menggunakan nilai signifkansi (nilai-P). Jika nilai-P lebih kecil daripada taraf signifikansi yang disyaratkan maka H0 ditolak dan jika niali-P

lebih besar daripada taraf signifikansi yang disyaratkan maka H0 diterima.

(61)

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.1 Deskripsi Daerah Irigasi Cisadane-Empang

Jaringan Irigasi Cisadane-Empang secara keseluruhan meliputi tiga wilayah administratif, yaitu : Kota Bogor, Kabupaten Bogor, dan Kota Depok, dengan satu buah bendung, yaitu Bendung Cisadane-Empang yang terletak di Kecamatan Empang, Kota Bogor. Pada tahun 2007 luas areal baku yang diairi dari Bendung Cisadane-Empang untuk masing-masing Kota Bogor (satu kecamatan), Kabupaten Bogor (tiga kecamatan), dan Kota Depok (satu kecamatan) adalah 4 hektar, 799 hektar, dan 259 hektar. Jadi, jumlah total areal yang diairi DI Empang kurang lebih 1.052 hektar. Sumber air utama DI Cisadane-Empang diambil dari Sungai Cisadane, yang berhulu dari Gunung Salak dengan tambahan suplesi dari Saluran Induk Cibalok.

Jaringan irigasi terdiri dari saluran dan bangunan yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk pengaturan air irigasi mulai dari penyediaan, pengambilan, pembagian, pemberian, dan penggunaan serta pembuangan air yang tidak diperlukan. Jumlah dan jenis bangunan irigasi yang ada di Daerah Irigasi Cisadane-Empang adalah sebagai berikut:

(62)

2. Bangunan pelengkap meliputi 1 got miring, 4 jembatan, 200 m tanggul penutup, dan 2,6 km jalan inspeksi.

3. Saluran irigasi berupa 1 saluran induk sepanjang sekitar 20 km mulai dari Bendung Empang sampai Citayam (perbatasan ranting Bogor dan ranting Depok), 5 buah saluran sekunder (Cibuluh, Ciereng, Cidepit, Kuripan dan Patambran) dengan panjang total sekitar 21.964 km, saluran tersier dengan panjang total sekitar 83 km, saluran suplesi sepanjang sekitar 0,5 km dan saluran kuarter dengan panjang total sekitar 118.196 km.

4. Saluran pembuang meliputi saluran pembuang utama sepanjang sekitar 2 km dan saluran pembuang pengumpul dengan panjang total sekitar 10 km.

Distribusi air yang diterapkan adalah sistem bergilir yang didasarkan atas musim hujan dan kemarau. Sistem tersebut digunakan di Kemantren Semplak hulu (saluran sekunder Cibuluh dan Ciereng) dan Semplak hilir (saluran sekunder Cidepit, Kuripan dan Patambaran). Pada musim hujan (Oktober-Maret) air dialirkan ke semplak hilir dan pada musim kemarau (April-September) air dialirkan ke Semplak hulu.

Tingkat kerusakan jaringan irigasi ditentukan berdasarkan kriteria kondisi fisik bangunan yang dapat berfungsi. Kondisi fisik jaringan irigasi DI Cisadane-Empang tergolong rusak sedang-berat dimana hanya sekitar 25-50% bangunan irigasi dapat berfungsi dengan baik. Kondisi jaringan yang tidak dapat berfungsi terdapat pada saluran sekunder Kuripan yaitu pada Bkp 5-Bkp 38 serta pada saluran sekunder Patambran yaitu Bptb 1 dan Bptb 2.

Gambar

Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah kondisi bendung di Jawa Barat dari
Tabel 4. Matriks Metode Analisis Data
Tabel 6.  Distribusi Responden Menurut Kelompok Luas Lahan, Umur,
Tabel 7.  Tabel 7.
+4

Referensi

Dokumen terkait