J
URNAL
P
ENYULUHAN
ISSN: 1858-2664 September 2007, Vol. 3 No.2
R
ESENSI
B
UKU
LEARNING TO LISTEN, LEARNING TO TEACH: The Power Of Dialogue in Educating Adults
Penulis : Janne Vella
Penerbit : Jossey-Bass Publishers
Tahun Terbit : 1994
Jumlah Halaman : 202
Syafruddin
Buku Learning To Listen, Learning To
Teach: The power Of Dialogue in Educating
Adults, layaklah sebagai buku wajib bagi
mereka yang berkecimpung di bidang pengembangan masyarakat, pekerja sosial, penyuluh pembangunan (pertanian, sosial, hukum, kesehatan, agama, pajak, politik, kebudayaan) baik di instansi pemerintah maupun swasta. Buku ini menunjukkan cara
ampuh untuk lebih memahami teknik
mendidik orang dewasa yaitu melalui
kekuatan dialog dengan 12 prinsip yang menyertainya.
Buku ini ditulis berdasarkan
pengalaman penulis sebagai pengajar orang dewasa lebih dari empat puluh tahun di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Afrika, Asia, Amerika Latin, Eropa, dan Timur Tengah. Aplikasi prinsip pengajaran orang dewasa yang disajikan dalam buku ini tebukti efektif terhadap para pelajar yang berasal dari berbagai negara, bahasa, dan kebudayaan dengan karakter unik yang sangat beragam.
Secara keseluruhan, isi buku ini terbagi dalam tiga bagian. Bagian pertama terdiri dari dua bab. Bab pertama menyajikan 12 prinsip yang menjamin dialog dan pembelajaran yang efektif. Bab 2 menunjukkan aplikasi 12
prinsip untuk memastikan efektifitas
pembelajaran orang dewasa.
Bagian kedua buku ini, memuat 12 bab, mendemonstrasikan aplikasi spesifik 12 prinsip pembelajaran orang dewasa dengan penjelasan peristiwa aktual. Bagian ketiga merupakan kesimpulan buku yang terdiri dari 2 bab.
Dalam buku ini, 12 prinsip dasar pendidikan orang dewasa secara praktis diuji dengan pola yang bervariasi. Masalah signifikan dalam pendidikan orang dewasa ialah adanya gap antara pelajar dengan pengajar, misalnya antara guru dengan murid, antara dokter dengan pasiennya, antara pengacara dengan kliennya, antara hakim dengan terdakwa, antara dosen dengan mahasiswa, antara petani dengan penyuluh,
antara polisi dengan penjahat, antara
pemerintah dengan rakyatnya, dan lain sebagainya. Hingga gap tersebut masih terbuka berarti dialog lemah menurut Vella.
Syafruddin/ Resensi Buku/
Jurnal Penyuluhan September 2007, Vol. 3 No.2
147
pertama pendidik orang dewasa menurut Vella adalah menemukan kedewasaan pelajar dan kebutuhan belajarnya. Hal tersebut hanya dapat dilakukan dengan dialog.
Duabelas prinsip tersebut adalah: (1) Analisis kebutuhan: langkah pertama untuk
membangun dialog; (2) Keamanan:
menciptakan lingkungan yang aman bagi pelajar maupun pengajar; (3) Hubungan yang sehat: kekuatan persahabatan dan rasa hormat; (4) Tahapan dan penguatan: mengetahui di mana dan bagaimana memulai; (5) Bertindak
dengan refleksi: suatu pelajaran
kepemimpinan: (6) Pelajar sebagai subyek dalam pembelajaran mereka; (7) Pengajaran dengan ide, feeling, dan aksi; (8) Kesiapan:
mengajarkan apa yang benar-benar
bermanfaat; (9) Menerima peran baru untuk
dialog: kematian sang “professor”; (10) Kerja
kelompok: bagaimana orang-orang belajar bersama; (11) Keterlibatan: belajar sebagai
sebuah proses aktif; (12) Dapat
dipertanggungjawabkan: sukses ada di mata pelajar.
Prinsip pertama disajikan dalam Bab 3, dengan pengalaman di Ethiopia sepanjang masa kelaparan dan kekeringan yang ekstrim, yakni di pegunungan bagian utara Addis Ababa. Dalam program aksi, ditemukan
betapa pentignya melakukan analisis
kebutuhan secara komprehensif sebelum memulai sebuah program.
Bab 4 mengemukakan prinsip kedua, mengisahkan sebuah proyek pengembangan masyarakat di Tanzania, dekat danau Victoria, di mana prinsip keamanan tidak dapat digunakan dengan cukup bijakasana ketika
memasukkan orang luar. Contoh ini
menegaskan kebutuhan keamanan bagi pelajar dewasa dan pengajarnya.
Bab 5 menjelaskan prinsip ketiga yaitu hubungan antara pengajar dengan pelajar. Dalam proses belajar, hubungan baik antara penjajar dengan pelajar merupakan faktor penting. Dalam hal ini perlu dibangun
hubungan persahabatan, bukan
ketergantungan. Bab ini memperlihatkan
implikasi hubungan yang sehat dalam proses belajar mengajar.
Prinsip keempat disajikan dalam Bab 6, merupakan pengalaman di Kamp pekerja imigran di pedesaan Carolina Utara, di mana para pekerja diajarkan pelajaran bahasa inggris sebagai bahasa kedua pada musim panas. Dalam proses tersebut penerapan
prinsip tahapan dan penguatan
memperlihatkan bagaimana para pekerja imigran Haiti itu dapat menguasai dengan lebih baik keterampilan berbahasa inggris.
Prinsip kelima diuraikan dalam Bab 7,
merupakan pengalaman dalam sebuah
pelatihan yang panjang dengan para pekerja pengembangan masyarakat di Maldives, sebuah negara kepulauan di laut Indian. Prinsip pengajaran yang dikemukakan di sini
adalah Praxis yaitu mengerjakan apa yang
dipelajari. Pelajaran ini memperlihatkan nilai
praxis dan menunjukkan suatu variasi dalam
implementasi praktis prinsip ini.
Bab 8 menjelaskan prinsip keenam yakni menyangkut suatu pembelajaran orang dewasa di pegunungan Himalaya Nepal. Pengalaman tersebut menunjukkan bagaimana para pelajar berkembang ketika mereka benar-benar bertindak bagi dirinya sendiri sebagai subyek atau pembuat keputusan dalam pembelajaran mereka.
Bab 9 mendemonstrasikan prinsip
ketujuh, memperlihatkan bagaimana
pembelajaran orang dewasa dapat menjadi efektif selama penggunaan pendekatan yang
multilevel – kognitif, affektif, dan
psikomotor: ide, perasaan, dan tindakan –
dalam tugas pembelajaran. Pengalaman ini berasal dari sebuah komunitas gereja di Tanzania. Pendekatan prinsip ini berasal dari taxonomi Bloom, di mana elemen-elemen tersebut (ide, feelings, dan actions) perlu diintegrasikan.
Syafruddin/ Resensi Buku/
Jurnal Penyuluhan September 2007, Vol. 3 No.2
148
negara itu, kesiapan membuat semua
pembelajaran lebih efektif.
Prinsip kesembilan diungkapkan dalam Bab 11, merupakan pengalaman berharga dari New York, di mana prinsip peran dan
pengembangan peran membantu sang
profesor menerima suatu cara baru untuk mengajar. Prinsip kesepuluh dikemukakan dalam Bab 12, menunjukkan sebuah pelajaran dari Zimbabwe, Afrika, setelah kemerdekaan negara itu. Di mana prinsip kerja tim memungkinkan para prajurit mengubah diri mereka menjadi guru bahasa bagi negara baru
tersebut. Mereka tidak akan dapat
menyediakan pelajaran yang baik dalam waktu singkat tanpa adanya kerja tim yang efektif.
Prinsip kesebelas dijelaskan dalam Bab 13, mengambil tempat di bagian timur Karolina Utara, di mana disadari betapa
pentingnya prinsip keterlibatan dalam
pengajaran dan membangun pemikiran yang kritis dalam suatu komunitas. Prinsip ini memberikan kemampuan bagi pelajar tidak hanya mengambil bagian dalam proses belajar tetapi juga dalam praktek untuk kehidupan keseharian mereka. Dalam kasus ini pelajar dapat berperan aktif dalam menyusun dan merancang masa depan mereka dalam suatu organisasi.
Bab 14 menguraikan prinsip
keduabelas, yakni suatu pengalaman dari rumah sakit internasional di Bangladesh, di mana prinsip akuntabilitas memungkinkan para dokter untuk belajar sebuah cara pengajaran baru.
Bab 15 merupakan kesimpulan dan
sintesis, menyajikan berbagai contoh
bagaimana 12 prinsip tersebut diaplikasikan
secara bersama. Bab 16 menjelaskan
bagaimana buku ini dapat membuat sesuatu yang berbeda dalam perencanaan, pengajaran, dan evaluasi dalam pendidikan masyarakat.
Pada setiap akhir paparan pengalaman yang tertuang dalam buku ini, para pembaca ditantang untuk mangambil bagian, di mana prinsip kunci disajikan sebagai suatu yang
memungkinkan untuk aplikasi kegiatan