PENGARUH PRE-GELATINISASI DAN PEMBEKUAN TERHADAP
KARAKTERISTIK FISIKO-KIMIA JAGUNG MUDA INSTAN DAN
PENENTUAN UMUR SIMPANNYA
MARLENI LIMONU
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Halaman DAFTAR TABEL ...
DAFTAR GAMBAR ...
DAFTAR LAMPIRAN ...
PENDAHULUAN ...
Latar Belakang ... Tujuan Penelitian ... Hipotesis ...
TINJAUAN PUSTAKA ...
Tanaman Jagung ... Jagung Muda ... Komposisi Kimia Jagung ... Pengeringan ... Pembekuan ... Pangan Instan ... Pati ... Granula Pati ... Struktur, bentuk dan ukuran granula pati ... Sifat Birefringence dan Gelatinisasi Pati ... Aktivitas Air (aw) dan Sorpsi Isotermik ...
Penentuan Umur Simpan ...
METODOLOGI ...
Bahan Dan Alat ... Metode ... Pengamatan ... Analisis proksimat ... Uji Densitas kamba ... Daya rehidrasi ... Kekerasan ... Lama Masak (Instan) ... Gelatinisasi ... Uji organoleptik, Hedonic Scaling Test ... Penentuan umur simpan ...
xii xiii xvi 1 1 2 2 3 3 6 8 9 10 12 14 14 14 17 19 22 25 25 26 30 30 33 33 33 33 34 34 34
HASIL DAN PEMBAHASAN ...
Densitas Kamba ... Daya Rehidrasi ... Kekerasan ... Lama Masak ... Granula Pati ... Uji Organoleptik ... Komposisi Kimia Jagung Sebelum dan Setelah Pengolahan ...
Penentuan Umur Simpan ...
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ...
Saran ...
DAFTAR PUSTAKA ...
LAMPIRAN ... 72
78
78
79
80
86
Halaman 1
2
3
4
5
6
7
Contoh beberapa varietas jagung yang ditanam di Indonesia ...
Kandungan gizi beberapa macam produk jagung dalam 100 g
bahan ...
Komposisi kimia beras jagung dan beras jagung instan (% bb) ...
Bentuk dan diameter granula beberapa jenis pati ...
Delapan jenis garam jenuh dan kelembaban relatif ...
Komposisi kimia tiga varitas jagung muda dan JMI per 100 gram ...
Parameter-parameter pengukuran umur simpan ... 4
8
13
17
26
72
76
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 16 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28Jagung kelobot dan beberapa bentuk biji jagung ...
Potongan membujur biji jagung ...
Struktur amilosa dan amilopektin ...
Tiga bentuk tipe kurva isotermi adsorpsi ...
Jagung muda varietas Pulut, Motor dan Manis ...
Contoh jagung saat dibekukan (a) dan setelah beku (b) ...
Jagung muda saat dikeringkan ...
Diagram alir penelitian tahap I ...
Penyimpanan Produk JMI pada lingkungan dengan RH tertentu ...
Penampakan JMI Pulut saat sebelum dan setelah rehidrasi...
Penampakan JMI Motor saat sebelum dan setelah rehidrasi...
Penampakan JMI Manis saat sebelum dan setelah rehidrasi...
Rata-rata densitas kamba JMI Pulut ...
Rata-rata densitas kamba JMI Motor ...
Rata-rata densitas kamba JMI Manis ...
Rata-rata daya rehidrasi JMI Pulut ...
Rata-rata daya rehidrasi JMI Motor ...
Rata-rata daya rehidrasi JMI Manis ...
Rata-rata kekerasan JMI Pulut ...
Rata-rata kekerasan JMI Motor ...
Rata-rata kekerasan JMI Manis ...
Rata-rata lama masak JMI Pulut ...
Rata-rata lama masak JMI Motor ...
Rata-rata lama masak JMI Manis ...
Granula Pati JMI Pulut tanpa pre-gelatinisasi dan pre-gelatinisasi 3 menit dengan pembekuan Lambat ...
Granula Pati JMI Pulut pre-gelatinisasi 6 menit, dan 9 menit dengan pembekuan Lambat ...
Granula Pati JMI Pulut tanpa pre-gelatinisasi dan pre-gelatinisasi 3 tanpa pembekuan ...
Granula Pati JMI Pulut pre-gelatinisasi 6 menit dan pre-gelatinisasi 9 menit, tanpa pembekuan ...
30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52
menit dengan pembekuan Lambat ...
Granula Pati JMI Motor pre-gelatinisasi 6 menit dan 9 menit dengan pembekuan Lambat ...
Granula Pati JMI Motor tanpa pre-gelatinisasi dan pre-gelatinisasi 3 menit tanpa pembekuan ...
Granula Pati JMI Motor pre-gelatinisasi 6 menit, dan 9 menit, tanpa pembekuan ...
Granula Pati JMI Manis tanpa pre-gelatinisasi, dan pre-gelatinisasi 3 menit, dengan pembekuan Lambat ...
Granula Pati JMI Manis pre-gelatinisasi 6 menit, dan 9 menit dengan pembekuan Lambat ...
Granula Pati JMI Manis tanpa pre-gelatinisasi, dan pre-gelatinisasi 3 menit tanpa pembekuan ...
Granula Pati JMI Manis pre-gelatinisasi 6 menit dan 9 menit, tanpa pembekuan ...
Rata-rata skor hedonik rasa JMI Pulut ...
Rata-rata skor hedonik rasa JMI Motor ...
Rata-rata skor hedonik rasa JMI Manis ...
Rata-rata skor hedonik warna JMI Pulut ...
Rata-rata skor hedonik warna JMI Motor ...
Rata-rata skor hedonik warna JMI Manis ...
Rata-rata skor hedonik Aroma JMI Pulut ...
Rata-rata skor hedonik Aroma JMI Motor ...
Rata-rata skor hedonik Aroma JMI Manis ...
Rata-rata skor hedonik kekerasan JMI Pulut ...
Rata-rata skor hedonik kekerasan JMI Motor ...
Rata-rata skor hedonik kekerasan JMI Manis ...
Kurva sorpsi isotermik tiga jenis jagung muda instan ...
Slope untuk umur simpan JMI Pulut ...
Slope untuk umur simpan JMI Motor ...
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32Sidik Ragam Densitas Kamba JMI Pulut ...
Uji beda Duncan Densitas Kamba JMI Pulut ...
Sidik Ragam Densitas Kamba JMI Motor ...
Uji beda Duncan Densitas Kamba JMI Motor (pre-gelatinisasi)...
Sidik Ragam Densitas Kamba JMI Manis ...
Sidik Ragam Daya rehidrasi JMI Pulut ...
Uji beda Duncan Daya rehidrasi JMI Pulut ...
Sidik Ragam Daya rehidrasi JMI Motor ...
Uji beda Duncan Daya Rehidrasi JMI Motor ...
Sidik Ragam Daya rehidrasi JMI Manis ...
Uji beda Duncan Daya Rehidrasi JMI Manis ...
Sidik Ragam Kekerasan JMI Pulut ...
Uji beda Duncan Kekerasan JMI Pulut (pre-gelatinisasi ) ...
Uji beda Duncan Kekerasan JMI Pulut (pembekuan) ...
Sidik Ragam Kekerasan JMI Motor ...
Uji beda Duncan Kekerasan JMI Motor (pre-gelatinisasi) ...
Uji beda Duncan Kekerasan JMI Motor (pembekuan) ...
Sidik Ragam Kekerasan JMI Manis ...
Uji beda Duncan Kekerasan JMI Manis (pre-gelatinisasi) ...
Uji beda Duncan Kekerasan JMI Manis (pembekuan) ...
Sidik Ragam Lama Masak JMI Pulut ...
Uji beda Duncan Lama Masak JMI Pulut ...
Sidik Ragam Lama Masak JMI Motor ...
Uji beda Duncan Lama Masak JMI Motor (pre-gelatinisasi) ...
Sidik Ragam Lama Masak JMI Manis ...
Uji beda Duncan Lama Masak JMI Manis (pre-gelatinisasi) ...
Sidik Ragam hedonik Rasa JMI PulutSetelah rehidrasi ...
Uji beda Duncan hedonik Rasa JMI PulutSetelah rehidrasi ...
Sidik Ragam hedonik Rasa JMI MotorSetelah rehidrasi ...
Uji beda Duncan hedonik Rasa JMI Motor Setelah rehidrasi ...
Sidik Ragam hedonik Rasa JMI ManisSetelah rehidrasi ...
Uji beda Duncan hedonik Rasa JMI Manis Setelah rehidrasi ...
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
Uji beda Duncan hedonik Warna JMI PulutSetelah rehidrasi ...
Sidik Ragam hedonik Warna JMI MotorSetelah rehidrasi ...
Uji beda Duncan hedonik Warna JMI Motor Setelah rehidrasi ...
Sidik Ragam hedonik Warna JMI ManisSetelah rehidrasi ...
Uji beda Duncan hedonik Warna JMI Manis Setelah rehidrasi ...
Sidik Ragam hedonik Aroma JMI PulutSetelah rehidrasi ...
Uji beda Duncan hedonik Aroma JMI PulutSetelah rehidrasi ...
Sidik Ragam hedonik Aroma JMI MotorSetelah rehidrasi ...
Uji beda Duncan hedonik Aroma JMI Motor Setelah rehidrasi ...
Sidik Ragam hedonik Aroma JMI ManisSetelah rehidrasi ...
Uji beda Duncan hedonik Aroma JMI Manis Setelah rehidrasi ...
Sidik Ragam hedonik Kekerasan JMI PulutSetelah rehidrasi ...
Uji beda Duncan hedonik Kekenyalan JMI PulutSetelah rehidrasi ...
Sidik Ragam hedonik Kekenyalan JMI MotorSetelah rehidrasi ...
Uji beda Duncan hedonik Kekenyalan JMI Motor Setelah rehidrasi ..
Sidik Ragam hedonik Kekenyalan JMI ManisSetelah rehidrasi ...
Hasil analisa sorpsi isotermik Tiga jenis JMI ...
Formulir Uji hedonik ...
98
99
99
100
100
101
101
102
102
103
103
104
104
105
105
106
106
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu pangan strategis yang bernilai ekonomi karena kedudukannya sebagai salah satu sumber karbohidrat.
Di Indonesia jagung merupakan komoditas terpenting kedua setelah beras dan
ketiga di dunia setelah gandum dan beras. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik,
produksi jagung nasional tahun 2004 adalah 11,35 juta ton pipilan kering dan
tahun 2005 diperkirakan produksi ini menjadi sebesar 12,01 juta ton atau
meningkat sebanyak 788 ribu ton (7,02 persen) dibandingkan dengan produksi
tahun 2004 (BPS, 2005).
Jagung dimanfaatkan dalam kondisi muda maupun kering. Untuk
kebutuhan industri pakan, pangan dan industri lainnya umumnya digunakan
jagung kering sebagai bahan bakunya. Oleh karena itu beberapa daerah
diproduksi jagung kering secara besar-besaran. Beberapa daerah penghasil
jagung juga memanfaatkan jagung muda sebagai bahan baku makanan
tradisional. Diantaranya adalah Gorontalo, yang merupakan salah satu lumbung
jagung di Indonesia. Gorontalo memiliki makanan khas “binthe biluhuta” yang terbuat dari jagung muda. Meskipun demikian, upaya memproduksi jagung
muda kurang dilirik. Luas lahan penanaman jagung di daerah ini adalah 63.330
hektar (Triyono, 2003). Dua varietas yang banyak digunakan untuk
memproduksi jagung muda adalah varietas Motor dan Pulut, dengan luas tanam
6,8 % dari luas tanam total, yaitu sekitar 4.306 hektar dengan total produksi ± 940 ton/tahun.
Kualitas jagung muda cepat turun dalam penyimpanan. Jagung muda
tidak dapat disimpan dalam waktu relatif lama. Belum adanya teknologi yang
tepat dalam pengeringan jagung muda menjadi salah satu penyebab rendahnya
minat petani dalam memproduksi jagung muda. Permintaan jagung muda untuk
bahan binthe biluhuta cukup tinggi. Di kabupaten dan kota Gorontalo, permintaan jagung muda ± 2 ton/hari atau ± 730 ton/tahun, dan untuk tiga kabupaten lainnya diperkirakan minimal ± 1 ton/hari atau ± 365 ton/tahun sehingga kebutuhan total jagung muda untuk daerah ini 1.095 ton (Anonim,
2
jagung muda pipilan lebih tinggi dibandingkan jagung pipil kering. Di pasaran,
harga jagung muda pipil Rp.2.200/kg pada musim hujan dan pada musim kering
dapat mencapai Rp. 3.250-4.000/kg. Harga untuk jagung pipil kering hanya Rp.
975/kg di petani dan di pasaran dapat mencapai harga Rp.1.800-2.000/kg.
Ditinjau dari waktu panen, umur panen jagung muda lebih singkat, sehingga
membutuhkan biaya produksi yang lebih sedikit.
Jagung muda juga berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk
makanan olahan sereal yang selama ini Indonesia masih sering menggunakan
bahan baku impor seperti gandum. Tersedianya jagung muda kering sebagai
bahan baku makanan, dapat menjadi salah satu solusi untuk mengurangi
ketergantungan konsumsi beras dan pangan impor sehingga dapat mendukung
kegiatan pengembangan diversifikasi pangan dalam program ketahanan pangan.
Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan gaya
hidup masyarakat akan kebutuhan produk makanan instan, “ready to eat dan
ready to cook”, maka pengembangan produk pangan olahan instan dari jagung muda dapat menjadi salah satu alternatif. Dengan demikian komoditas ini dapat
memiliki umur simpan relatif lama dibandingkan dengan jagung muda segar.
Dalam pengolahan produk jagung muda instan dibutuhkan perlakuan baik
kimia ataupun fisika yang akan memperbaiki karakteristik hidrasi produk.
Mengingat hal tersebut maka perlu penelitian dasar yang berhubungan dengan
pre-gelatinisasi dan pembekuan terhadap pembuatan jagung muda instan.
Tujuan Penelitian
Mengkaji pengaruh perlakuan pre-gelatinisasi dan pembekuan sebelum
pengeringan terhadap karakteristik fisiko-kimia jagung muda instan dan
menentukan umur simpan jagung muda instan melalui metode isotermi sorpsi air.
Hipotesa
Perlakuan pre-gelatinisasi dan pembekuan sebelum pengeringan
berpengaruh terhadap sifat fisik (densitas kamba, lama masak, kekerasan, daya
rehidrasi) dan sifat kimia dan organoleptik jagung muda instan. Perlakuan
pre-gelatinisasi dan pembekuan dapat menghasilkan jagung muda instan yang
mempunyai umur simpan yang lebih lama lama. Umur simpan jagung muda
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Jagung
Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman asli Benua Amerika. Jagung telah ditanam oleh suku Indian jauh sebelum Benua Amerika ditemukan
(Purwono dan Purnamawati, 2007) dan (Rukmana, 2005). Lebih lanjut Rukmana
(2005) mengatakan bahwa literatur lain juga menyebutkan jagung berasal dari
Meksiko kemudian menyebar ke Amerika Tengah dan Amerika utara. Setelah itu
jagung menyebar ke seluruh dunia. Di Indonesia daerah-daerah penghasil
utama tanaman jagung adalah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, D.I.
Yogyakarta, NTT, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan dan Maluku
(Anonim, 2005b).
Tanaman jagung diklasifikasikan dalam kingdom Plantae, divisio
Spermatophyta, sub divisio Angiospermae, klas Monocotyledonae. Ordo
Graminae, famili graminaceae, genus Zea, dan species Zea mays L. (Rukmana 2005 ) dan (Purwono dan Hartono, 2007).
Rukmana (2005), membagi jagung menjadi 3 kelompok varietas
berdasarkan umur yaitu: berumur pendek (Genjah) 70-80 hari, berumur sedang
(Medium) 80 -110 hari, berumur panjang (Dalam) lebih dari 110 hari.
Sedangkan Purwono dan Hartono (2007), menyatakan bahwa kelompok jagung
berumur pendek bisa dipanen pada umur 75-90 hari , umur sedang bisa dipanen
pada umur 90-120 hari dan umur panjang dipanen pada umur lebih dari 120 hari.
Rukmana (2005) dan Purwono dan Hartono (2007), mengemukakan
bahwa berdasarkan bentuk dan kandungan pati dalam biji (endosperma), jagung
dapat digolongkan menjadi 7 tipe sebagai berikut: jagung gigi kuda atau dent corn (Zea mays indentata); jagung mutiara atau flint corn (Zea mays indurata); jagung manis atau sweet corn (Zea mays saccharata); jagung berondong atau
pop corn (Zea mays everta); jagung tepung atau flour corn (Zea mays amylacea); jagung polong atau pod corn (Zea mays tunicata) dan jagung pulut atau waxy corn (Zea mays ceratina).
Jagung gigi kuda memiliki ciri-ciri : terdapat lekukan di puncak biji yang
terjadi karena pati keras terdapat di pinggir dan pati lembek di puncak biji,
mempunyai bagian yang lunak dan bertepung, biji berwarna kuning atau putih
endosperma yang tebal dan keras yang mengelilingi inti granula yang kecil dan
lunak, bagian atas biji berbentuk bulat dan tidak berlekuk, umumnya berwarna
putih.
Jagung manis mengandung lebih banyak gula bebas dari pati yang
merupakan polimer dari gula-gula tersebut, sehingga biji jagung manis bila
kering menjadi keriput. Jagung berondong memiliki ciri-ciri : bentuk butir yang
agak meruncing dengan ukuran yang kecil, biji-bijinya kecil dan bila dipanaskan
dapat mengembang 10-30 kali dari volume asal. Jagung tepung memiliki
ciri-ciri : endosperma lunak dan mudah dihancurkan namun mudah ditumbuhi
kapang.
Jagung polong (pod) merupakan jenis jagung yang langka dan aneh. Ciri
khas jagung ini adalah biji dan tongkolnya diselubungi oleh kelobot sehingga
umumnya digunakan sebagai tanaman hias dengan kulit yang menutupi
biji-bijinya yang tidak terdapat pada jagung jenis lain. Jagung pulut atau ketan
memiliki ciri-ciri : biji jagung mirip lilin dan zat patinya menyerupai tepung tapioka,
kandungan amilopektin di dalam endospermnya lebih besar dari amilosa.
Kandungan amilopektin yang tinggi menyebabkan rasa pulen pada jagung ketan.
Purwono dan Purnamawati (2007), mengemukakan bahwa jagung jenis
lokal Indonesia umumnya adalah jagung tipe mutiara. Di samping itu terdapat
juga tipe gigi kuda, tipe setengah mutiara dan tipe setengah gigi kuda.
(Rukmana, 2005). Contoh beberapa tipe jagung dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Contoh beberapa varietas jagung yang ditanam di Indonesia
Tipe Biji Varietas
Mutiara (flint)
Gigi kuda (dent)
Setengah mutiara (semi flint) Setengah gigi kuda (semi dent)
Metro, Bogor IMR4, Genjah Kertas, Arjuna, Sadewa, Bromo, Abimanyu dan Nakula.
Kania putih dan Semar-1
Harapan, Hibrida C1, Pioneer-1, IPB-4, C-2 dan Semar-2.
Pandu
Sumber : Rukmana, 2005
Buah jagung terdiri dari tongkol, biji dan daun pembungkus (kelobot). Biji
jagung mempunyai bentuk, warna dan kandungan endosperm yang
bervariasi tergantung pada jenisnya (Gambar 1). Pada umumnya biji jagung
tersusun dalam barisan yang melekat secara lurus atau berkelok-kelok. Jumlah
5
menambahkan bahwa jumlah biji per tongkol adalah 200-400 biji. Biji terdiri dari
tiga bagian. Bagian paling luar disebut perikarp. Bagian atau lapisan kedua
merupakan cadangan makanan biji disebut endosperm. Sedangkan bagian
paling dalam yaitu embrio atau lembaga.
Sumber : Petugas lapangan Dinas Pertanian Gorontalo (2004)
Gambar 1 Jagung kelobot dan beberapa bentuk biji jagung
Bentuk sel epidermis pada bagian luar biji merupakan jembatan membran
semipermiabel antara perikarp dan aleuron (Gambar 2). Dinding biji adalah
suatu lapisan penutup biji yang terdiri dari mesokarp dan lapisan aleuron.
Dinding biji ini lebih banyak mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin
sehingga menyebabkan biji menjadi keras (Jugenheimer, 1971).
Beberapa varietas jagung yang dikenal antara lain: Abimanyu, Arjuna,
Bromo, Bastar Kuning, Bima, Hibrida C1 (Hibrida Cargil 1), hibrida IPB-4,
Kalingga, Kania Putih, Malin, Metro, Bogor composite-2, Pulut (lokal) dan
lain-lain. Saat ini telah banyak dibudidayakan beberapa varietas baru antara lain
varietas Lamuru-Fm, Bisma, Sukmaraga, Andalas, Srikandi, NKRI , Bisi-2 dan
Motor.
Berdasarkan tujuan penggunaannya, kemasakan jagung dapat dibedakan
menjadi empat tingkat, yaitu masak susu, masak lunak, masak tua, dan masak
kering (Adisarwanto dan Widyastuti, 2004).
Ciri-ciri jagung masak susu adalah biji jagung mulai terisi zat pati yang
terbentuk seperti cairan susu atau santan; biji belum keras dan bila dipijit akan
keluar cairan putih seperti cairan susu atau santan; panjang rambut jagung
antara 3-5 cm; kelobot pada tongkol berwarna hijau; dan kondisi tanaman masih
segar dan berwarna hijau.
Jagung masak lunak biasanya digunakan untuk keperluan jagung rebus,
jagung bakar, atau jagung sayur. Ciri-ciri jagung masak lunak adalah biji jagung
mulai agak keras dan bila dipijit akan keluar isi seperti tepung basah; keadaan
tongkol agak besar dan agak berat; dan ujung daun bagian bawah mulai kering.
Jagung masak tua digunakan untuk berbagai keperluan konsumsi,
misalnya untuk makanan pokok, pembuatan tepung, pakan ternak atau
keperluan lain. Ciri-ciri jagung masak tua yaitu batang, daun dan kelobot buah
berubah menjadi kuning tetapi pangkal buah dan pangkal pelepahnya masih
hijau; biji jagung sudah tampak keras, bernas dan mengkilap; bila ditekan
dengan kuku, tidak tampak bekas tekanan (pada kondisi ini diperkirakan kadar
air 35-40%; dan pada butiran jagung sudah terbentuk jaringan tertutup berwarna
hitam.
Jagung masak kering atau masak mati, sangat baik untuk dijadikan benih
atau persediaan makanan. Adapun ciri-ciri jagung masak kering ini adalah biji
sangat keras dan kering, bahkan tampak mulai berkerut; kelobot sudah
mengering dan berwarna coklat; dan semua bagian tanaman telah kering dan
mati.
Jagung varietas Motor dan Pulut putih termasuk berumur genjah dengan
umur panen 60- 65 hari pada kondisi stadia masak tua, sedangkan jagung muda
dari dua varietas ini dapat dipanen pada stadia masak susu atau telah berumur
40-45 hari (Anonim, 2005b). Untuk varietas jagung manis dipanen pada stadia masak susu pada umur 65 - 75 hari setelah tanam tergantung ketinggian tempat
dan kesuburan tanaman (Anonim, 2007).
Jagung Muda
Di Amerika Serikat, jagung muda umumnya diperoleh dari jagung manis,
7
antara lain varietas Arjuna, Pioneer-2, Bisi-2, Pulut dan varietas Motor.
Salunkhe dan Desai (1984), mengemukakan bahwa jagung muda dengan mutu
terbaik diperoleh jika jagung muda dipanen pada tingkat masak susu dengan
ujung atas biji jagung terisi penuh. Keuntungan petani memanen jagungnya
sebagai jagung muda stadia masak susu dibandingkan dengan jagung stadia
masak tua adalah umur panennya 2-3 minggu lebih pendek dari waktu panen
masak tua.
Pemanenan merupakan tahapan yang penting dalam penanganan jagung
muda karena umur panen sangat berpengaruh terhadap persentase bagian yang
dapat dimakan (edible portion), mutu dan umur sumpan jagung muda tersebut. Jagung muda yang dipanen terlalu awal biji jagungnya masih kecil-kecil sehingga
edibel portionnya rendah, sedangkan jagung muda yang terlambat dipanen akan berkurang kemanisannya dan biji jagung tersebut mempunyai tekstur yang keras.
Secara umum kerusakan jagung muda dapat dikelompokkan menjadi
kerusakan fisiologis, fisik mekanis, mikrobiologis serta kerusakan karena
serangan hama dan penyakit. Proses respirasi merupakan penyebab kerusakan
jagung muda yang penting. Respirasi dilakukan oleh sel-sel yang masih hidup
untuk memperoleh energi yang diperlukan oleh bahan itu sendiri. Laju respirasi
selama penyimpanan dipengaruhi oleh kadar air bahan, suhu, komposisi udara
dan kondisi bahan (Pomeranz dalam Ardana, 1985). Respirasi berjalan lambat
pada suhu kurang atau sama dengan 20 oC dan kadar air bahan mencapai 14 %. Akan tetapi laju reaksi meningkat pada suhu dan kadar air yang lebih tinggi yang
mengakibatkan CO2, H2O dan kalor sebagai hasil dari proses respirasi juga
meningkat (Buckle et al, 1985).
Lebih lanjut Hall dalam Ardana (1985), mengatakan bahwa air dan panas
yang dihasilkan dari proses respirasi dapat meningkatkan laju respirasi jagung
muda. Air yang dihasilkan dari proses tersebut mengakibatkan permukaan
jagung muda yang disimpan menjadi lembab. Hal ini dapat mempermudah dan
mempercepat terjadinya kerusakan oleh mikroorganisme.
Umur simpan yang lama tanpa penanganan yang tepat dapat juga
menyebabkan kerusakan jagung muda. Hasil penelitian Dalem (1990),
menunjukkan bahwa semakin lama umur simpan jagung muda, maka
menyebabkan jagung makin berkeriput, teksturnya makin keras dan
kemanisannya makin berkurang. Seperti pada varietas Pioneer yang diteliti
Penurunan kandungan gula ini disebabkan oleh adanya mekanisme perubahan
gula menjadi pati, sedangkan perubahan tekstur menjadi keras karena
penguapan komponen air dan suhu tempat penyimpanan jagung muda cukup
tinggi. Disamping itu terjadi pula perubahan kadar air, kadar gula, total padatan
terlarut dan nilai pH biji jagung selama penyimpanan.
Komposisi Kimia Jagung
Komposisi kimia jagung bervariasi tergantung dari jenis varietas, cara
tanam, iklim dan tingkat kematangan (Rukmana, 2005). Komposisi kimia
beberapa macam produk jagung diperlihatkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kandungan gizi beberapa macam produk jagung dalam 100 g bahan
Banyaknya kandungan gizi dalam: Kandungan gizi Jagung Segar Kuning Jagung Kuning Pipilan Baru Jagung Giling
Kuning Maizena
Tepung Jagung Kuning Kalori (kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat besi (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg) Air (g)
Bagian yang dapat dimakan (%) 140.00 4.70 1.30 33.10 6.00 118.00 0.70 435.00 0.24 8.00 60.00 90.00 307.00 7.90 3.40 63.60 9.00 148.00 2.10 440.00 0.33 0.00 24.00 90.00 361.00 8.70 4.50 72.40 9.00 380.00 4.60 350.00 0.27 0.00 13.10 100.00 343.00 0.30 0.00 85.00 20.00 30.00 1.50 0.00 0.00 0.00 14.00 100.00 335.00 9.20 3.90 73.70 10.00 256.00 2.40 510.00 0.38 0.00 12.00 100.00
Sumber :Direktorat Gizi Depkes RI (1981) dalam Rukmana (2005)
Berdasarkan data Direktorat Gizi Departemen Kesehatan (1972), Jagung
muda dari jenis lokal mengandung air 63,50 %, protein 11,23 % (bk), Lemak
3,56 % (bk) dan karbohidrat 83,01 % (bk). Sedangkan hasil penelitian Dalem
(1990), menunjukkan bahwa jagung muda (varietas pioneer) yang dipanen pada
umur 70 hari mengandung air 80 %, protein 12,74 % (bk) dan lemak 3,62 % (bk).
Pada jagung muda, pengisian pati pada bagian endospermnya belum
9
penyimpanan. Penguapan komponen air ini terjadi selama penyimpanan dalam
suhu kamar. Komponen air pada endosperm biji jagung muda lebih tinggi
daripada biji jagung masak tua. Sebaliknya, endosperm biji jagung masak tua
mengandung pati lebih tinggi daripada endosperm biji jagung muda (Purnomo,
1988).
Pengeringan
Pengeringan adalah proses penurunan kadar air suatu bahan sampai
tingkat kadar air tertentu. Secara spesifik, pengeringan hasil pertanian adalah
pengeluaran air dari bahan sampai kadar air kesetimbangan dengan lingkungan
atau kadar air tertentu dimana jamur, enzim, mikroorganisme dan serangga yang
bersifat merusak tidak dapat aktif. Hall (1979), mengatakan bahwa pengeringan
merupakan metode tertua untuk mengawetkan bahan pangan.
Pengeringan adalah salah satu cara untuk mengeluarkan atau
menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menyerapnya
menggunakan energi panas. Biasanya kandungan energi bahan dikurangi
sampai batas tertentu sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi pada
bahan tersebut. Hal ini diperkuat oleh Ratti dan Mujumdar (1995) yang
mengemukakan bahwa pengeringan merupakan operasi industri yang paling
umum dan yang paling banyak mengkonsumsi energi.
Sejalan dengan pendapat para ahli sebelumnya, maka Fellows (2000)
mendefinisikan pengeringan sebagai suatu proses pemberian panas dibawah
kondisi yang terkontrol untuk menghilangkan sebagian besar air yang terkandung
dalam bahan. Beberapa faktor yang mengontrol kecepatan pengeringan
diantaranya adalah kondisi proses (suhu dan kelembaban udara), jenis bahan
pangan yang dikeringkan, dan desain alat pengering. Ketika udara panas
diberikan pada produk pangan yang basah, maka uap air akan berdifusi melalui
permukaan udara yang berada di sekitar makanan dan akan dihilangkan oleh
udara yang bergerak.
Proses pengeringan dalam beberapa hal dapat menguntungkan dan dapat
pula merugikan. Sebagaimana dinyatakan oleh Singh dan Heldman (2001),
bahwa pengeringan menguntungkan karena akan mengurangi massa dan
volume produk dalam jumlah yanng signifikan dan meningkatkan efisiensi untuk
menimbulkan kerugian karena sifat asal bahan menjadi berubah baik bentuk
penampakan, sifat fisik dan kimia, penurunan mutu dan lain-lain.
Pengeringan jagung stadia masak tua biasanya langsung dilakukan
setelah panen dengan cara alami yaitu dengan menggunakan rak ataupun
langsung dihamparkan pada lantai jemur. Pengeringan dapat juga dilakukan
dengan menggunakan mesin, yaitu dengan menggunakan “grain dryer” (Suprapto, 2001). Selain itu jagung stadia masak tua dapat pula dikeringkan
setelah jagung mengalami gelatinisasi dengan tujuan untuk mendapatkan produk
instan. Berbeda dengan jagung stadia masak tua, jagung muda (jagung stadia
masak susu), tidak dikeringkan dan umumnya dikonsumsi dalam keadaan segar.
Hal ini berhubungan dengan kondisi fisik dan kimia jagung muda, sehingga di
pasaran belum ditemukan penjualan jagung muda kering.
Untuk pembuatan jagung muda instan, pengeringannya dapat dilakukan
setelah pre-gelatinisasi antara lain dengan menggunakan berbagai pengering
misalnya pengering kabinet, pengering fluidized bed dan pengering oven yang dilengkapi blower. Hasil penelitian Husain (2006) terhadap nasi jagung instan
menunjukkan bahwa dari ketiga alat pengering tersebut, ternyata pengering oven
yang dilengkapi blower memberikan hasil terbaik karena dapat menghasilkan
nasi jagung yang penampakannya bagus, berwarna putih dan lebih porous.
Pembekuan
Pembekuan adalah proses mengeluarkan panas dari dalam produk dan
selanjutnya produk akan mengalami penurunan suhu. Disamping itu pembekuan
merupakan salah satu cara pengawetan untuk mencegah kerusakan bahan
pangan, sehingga memperpanjang masa simpan serta mempertahankan mutu.
Bahan pangan yang dibekukan akan memiliki masa simpan yang lebih panjang
dibandingkan yang disimpan dalam keadaan dingin. Pengawetan dengan
pembekuan didasarkan pada pertumbuhan mikroba hingga suatu titik dimana
dekomposisi oleh mikroba tidak terjadi.
Pemberian perlakuan pada buah-buahan dan sayuran sebelum
pembekuan, dapat mengurangi perubahan-perubahan yang merusak selama
pembekuan dan penyimpanan beku. Jenie (1995), menyatakan bahwa blanching
sebelum pembekuan pada beberapa buah dan kebanyakan sayuran dapat
menginaktifkan enzim peroksidase, katalase dan enzim browning lainnya,
11
memperbaiki warna. Selama pembekuan, perubahan-perubahan fisik dan
biologis dapat terjadi (Desroiser, 1988). Ditambahkan pula bahwa pembekuan
berpengaruh terhadap mikroba, perubahan citarasa, warna, kehilangan zat gizi
(protein, dan vitamin) dan perubahan enzim.
Oleh karena kebanyakan bahan pangan mempunyai kandungan air yang
tinggi, maka kebanyakan bahan pangan akan membeku pada suhu diantara
32 oF dan 25 oF. Selama berlangsungnya pembekuan, suhu bahan pangan tersebut relatif tetap sampai sebagian besar dari bahan pangan tersebut
membeku, dan setelah beberapa waktu, suhu akan mendekati medium pembeku.
Desroiser (1988) menambahkan, bahwa pada pembekuan akan terjadi
pengembangan volume. Namun pengembangan volume ini tidak terjadi pada
semua bahan pangan.
Pembekuan dapat terjadi secara cepat dan lambat. Menurut Brenan
(1981), pembekuan terjadi secara bertahap, dimana pada permukaan
pembekuan berlangsung cepat, sebaliknya pada bagian yang lebih dalam
proses pembekuan berlangsung lebih lambat. Sebagaimana dikemukakan oleh
deMan (1997), bahwa pembekuan secara perlahan-lahan akan mengakibatkan
terbentuknya kristal es besar di daerah ekstrasel secara ekslusif. Pembentukan
kristal es yang besar ini dapat meningkatkan sifat porous bahan menjadi lebih
tinggi (Karathanos et al., 1996). Sebaliknya pembekuan cepat mengakibatkan terbentuknya kristal es kecil-kecil baik di daerah ekstrasel maupun daerah
intrasel.
Pertumbuhan kristal es merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap kualitas bahan pangan yang dibekukan. Hal ini dikemukakan oleh
Desroiser (1988), bahwa jika pembekuan terjadi secara lambat maka memberi
kesempatan kristal es tersebut tumbuh sehingga sel-sel menjadi rusak dan
jaringan yang dicairkan tidak dapat kembali menyerupai aslinya. Seperti halnya
strawberi. Strawberi yang ditempatkan dalam nampan dan dibekukan lambat,
jika dicairkan akan memberikan karakteristik tekstur yang telah berubah.
Kristal-kristal es yang terbentuk akan menembus dan melukai jaringan-jaringan, jika
dicairkan akan mengeluarkan semua isinya dan buah menjadi lembek serta
kehilangan bentuk. Rusaknya struktur sel akibat pembekuan lambat juga terjadi
pada buah pinang. Zhang et al., (2004) telah melaporkan bahwa tekstur buah pinang menurun setelah dilakukan pembekuan lambat, Akan tetapi dengan
Kerusakan sel akibat pembekuan lambat justru menguntungkan dalam hal
pengolahan pangan instan. Hasil penelitian Husain (2006) terhadap nasi jagung
instan menunjukkan bahwa nasi jagung yang mengalami pembekuan lambat (-10
sampai -20 oC, selama 44 jam) menunjukkan hasil yang lebih baik dalam hal rehidrasinya dibandingkan nasi jagung yang dibekukan cepat (-40 sampai -50 oC, selama 30 menit). Hal ini disebabkan oleh karena pembekuan lambat
menghasilkan kristal-kristal es yang besar dan membentuk rongga yang lebih
porous sehingga memudahkan rehidrasi.
Pangan Instan
Pangan instan merupakan produk pangan yang dibuat untuk mengatasi
masalah penggunaan produk pangan yang sering dihadapi, misalnya
penyimpanan, transportasi, tempat dan waktu konsumsi. Instanisasi merupakan
suatu istilah yang mencakup berbagai pelakuan baik kimia ataupun fisika yang
akan memperbaiki karakteristik hidrasi dari suatu produk pangan.
Hartomo dan Widiatmoko (1993), mengemukakan bahwa produk pangan
instan merupakan produk pangan yang mudah disajikan dalam waktu yang relatif
singkat. Tiga kriteria yang harus dimiliki bahan makanan agar dapat membentuk
produk pangan instan, yaitu : a) sifat hidrofilik yaitu sifat yang mudah mengikat air,
b) tidak memiliki lapisan gel yang tidak permiabel sebelum digunakan dapat
menghambat laju pembasahan, dan c) rehidrasi produk tidak menghasilkan
produk yang menggumpal dan mengendap.
Standar Nasional Indonesia (SNI) telah memberikan definisi terhadap
beberapa produk instan. SNI-01-4321-1996 mendefinisikan sup instan sebagai
merupakan produk olahan kering yang dibuat dari daging, ikan, sayuran,
serealia atau campurannya dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan
makanan yang diizinkan. SNI-01-3551-2000 mendefinisikan mie instan sebagai
mie yang terbuat dari tepung terigu atau tepung beras atau tepung lain sebagai
bahan utama dengan atau tanpa penambahan bahan lain, dapat diberi perlakuan
dengan bahan alkali dan mengalami gelatinisasi sebelum pengeringan dimana
sifat instan dicirikan pada proses rehidrasi untuk siap dikonsumsi serta
penambahan bumbu. Definisi tersebut meliputi mie (dari terigu), bihun (dari
beras dan sagu), sohun (dari pati kacang hijau dan sagu) dan kwetiau (dari beras
13
Sebagaimana produk pangan lain, produk jagung dapat diolah menjadi
produk instan. Contoh makanan instan hasil olahan dari produk jagung antara
lain berupa mie jagung, beras jagung, bubur jagung dan bassang. Juniawati
(2003), dalam penelitiannya tentang optimasi proses mie jagung instan yang
dalam proses pembuatan melalui dua kali pengukusan sebelum dikeringkan
menghasilkan mie yang dapat masak dalam waktu 4 menit. Dimana waktu
pengukusan pertama dan kedua berturut-turut adalah 10-20 menit dan 30 menit.
Penelitian Supriyadi (2004), terhadap beras jagung instan menghasilkan
nasi jagung dengan lama masak 4,4 menit untuk beras jagung Pulut dan 6
menit untuk beras jagung Motor. Proses pembuatan beras jagung ini sebelum
pengeringan membutuhkan waktu pre-gelatinisasi berturut-turut selama 37 dan
30 menit. Hernawati (2006), dalam penelitiannya tentang pembuatan grits
jagung sebagai bahan baku bassang instan memperoleh grits dengan lama
masak 7,3 menit. Lama masak ini diperoleh setelah jagung diberi perlakuan
perendaman dengan Na-sitrat 1%, aron kukus dan dibekukan lambat.
Pengolahan beras jagung menjadi beras jagung instan dapat
meningkatkan kandungan beberapa komponen kimia beras jagung. Hasil
penelitian Supriyadi (2004) terhadap beras jagung menunjukkan bahwa proses
instanisasi beras jagung kedua varietas tersebut menghasilkan kandungan
protein, karbohidrat dan amilosa yang lebih tinggi dibandingkan sebelum
mengalami instanisasi (Tabel 3).
Tabel 3 Komposisi kimia beras jagung dan beras jagung instan (% bb). Beras jagung mentah Beras jagung instan Komponen Varietas Motor Varietas Pulut Varietas Motor Varietas Pulut Kadar air Protein Lemak Abu Karbohidrat Serat Amilosa 13.6 9.6 0.6 0.5 75.7 7 9 13 10 0.6 0.45 75.9 7 1 9 11 0.36 0.2 79.4 6 11.6 9 10.5 0.4 0.27 79.8 6 1.6
Sumber : Supriyadi (2004)
Jagung muda kering dapat dihasilkan dengan perlakuan instanisasi
sehingga memiliki beberapa nilai tambah yaitu umur simpannya dapat
diperpanjang dan penyiapan makanan olahan dari jagung muda tersebut dapat
dilakukan dengan cara memberi perlakuan pre-gelatinisasi dan pembekuan pada
jagung muda, kemudian mengeringkannya pada suhu dan waktu tertentu.
Pati
Pati adalah karbohidrat utama penyusun 72-73% biji jagung (Watson &
Ramstad, 1991). Pati adalah polisakarida yang merupakan cadangan metabolik
pada tanaman (Pomeranz, 1985). Swinkels (1985) menyatakan bahwa pati
adalah homoglikan yang terdiri dari satu jenis unit D-glukosa yang dihubungkan
dengan ikatan glukosida. Pati terdapat sebagai butiran kecil dengan berbagai
ukuran dengan bentuk yang khas untuk setiap spesies tumbuhan. Butir pati
dapat ditunjukkan dengan mikroskop cahaya biasa dan cahaya terpolarisasi dan
dengan difraksi sinar-X. Pati berperan penting dalam pengolahan pangan karena
merupakan pengsuplai kebutuhan energi bagi manusia dengan porsi yang tinggi.
Pati komersial dibuat dari biji-bijian seperti jagung, gandum dan padi serta
umbi-umbian seperti ubi kayu, ubi jalar dan kentang (BeMiller dan Whistler, 1996).
Granula Pati
Pati yang terdapat dalam tanaman tergabung dalam suatu paket-paket
kecil yang disebut granula (Fenema, 1985). Paket-paket kecil tersebut biasanya
terdeposit pada bagian biji, batang atau akar dari suatu bagian tanaman yang
berperan sebagai persediaan makanan selama fase dorman, germinasi atau
pertumbuhan.
Pandanwangi (1984) mengemukakan bahwa pati merupakan kumpulan
dari butiran-butiran granula pati, berwarna putih, mengkilap, tidak berbau dan
tidak mempunyai rasa. Jagung, gandum dan beberapa serealia lain hanya
mengandung satu granula pati sedang pada beras dan oat mengandung granula
pati yang kompleks Hoseney (1998). Pada tanaman serealia, granula pati
dibentuk dalam suatu plastid. Plastid yang membentuk pati ini disebut amiloplas.
Struktur, bentuk dan ukuran granula pati
Struktur granula pati secara molekuler terdiri dari amilosa yang berantai
lurus dan amilopektin yang rantainya bercabang (Gambar 3) (Biliaderis, 1992).
Unit glukosa pati membentuk dua jenis polimer yaitu amilosa dan amilopektin
15
membentuk rantai linear melalui ikatan α 1-4 D-glukosa dan merupakan polimer monosakarida yang bergabung dengan mengeliminasi satu molekul air pada
setiap ikatan (Ghaman dan Sherrington, 1990). Kadang-kadang terdapat juga
percabangan molekul dengan jumlah yang sangat terbatas. Percabangan ini
akan timbul setelah kurang lebih 500 glukosa membentuk rantai lurus
(Greenwood, 1979).
Sumber: Horton et al (1994)
Gambar 3 Struktur amilosa (a) dan amilopektin (b)
Amilosa mampu membentuk struktur kristal karena adanya interaksi
molekuler yang kuat. Kristalisasi muncul dengan adanya pembentukan
spherulite yang terjadi bila larutan pekat amilosa didinginkan perlahan-lahan. Hal ini sering dilihat sebagai retrogradasi, yaitu proses dimana tidak larutnya
molekul pati di dalam air secara irreversibel karena kuatnya ikatan intermolekuler
yang terbentuk (Banks, et al., 1973). Disamping itu Eliasson dan Gudmunson
(1996) melaporkan bahwa retrogradasi adalah perubahan gel amorf menjadi
kristalin yang terjadi pada pati tergelatinisasi selama penyimpanan. Proses
retrogradasi pati dipengaruhi oleh jenis pati, jumlah amilosa, suhu penyimpanan
dan bahan aditif (Ward et. al. 1994).
Amilopektin adalah molekul hasil polimerisasi unit-unit glukosa anhidrous
Pomeranz (1991) menerangkan struktur cabang amilopektin merupakan salah
satu hasil mekanisme enzim yang memecah rantai linier yang panjang. Hasil
pecahan berupa rantai-rantai pendek dengan unit glukosa yang kemudian
bergabung membentuk struktur yang berantai banyak. Amilopektin memiliki
bentuk globular yang memperlihatkan peningkatan pembengkakan dan viskositas
yang lebih tinggi dalam larutan ( Glicksman, 1975).
Jumlah amilosa dan amilopektin bervariasi menurut jenis jagungnya.
Singh et all. (2003), menyatakan bahwa pati jagung normal terdiri dari 75% amilopektin dan 25% amilosa. Disamping itu Chaplin (2006) menyatakan bahwa
pati mengandung amilosa 20-30%. Pendapat ini diperkuat oleh Sandhu et al. (2004), yang mengemukakan bahwa secara umum, jagung dari jenis endosperm
dent atau flint memiliki amilosa 25-30 %, sedang amilopektin mencapai 70-75
persen. Jagung jenis waxy mengandung hampir 100 persen amilopektin. Berat
molekul pati jagung bervariasi dari 100.000 sampai 200.000.
Jobling (2004), yang mengatakan bahwa pati tersusun paling sedikit oleh
tiga komponen utama, yaitu amilosa, amilopektin dan bahan antara seperti lipid
dan protein. Secara umum dapat dikatakan bahwa pati biji-bijian mengandung
bahan antara yang lebih besar dibanding pati batang dan pati umbi. Sifat-sifat
botani dari sumber pati tersebut akan menentukan struktur dan jenis bahan
antara. Pati merupakan bahan yang bernilai tinggi untuk industri pangan, yang
secara luas digunakan sebagai bahan pengental, gelling agent, bulking agent dan water retention agent (Singh et al., 2003).
Sandhu et al. (2004), menyatakan bahwa granula pati jagung mempunyai dua ukuran yaitu granula kecil dan besar. Granula yang kecil berukuran 1- 7 μm sedangkan granula yang besar berukuran 15 sampai 20 μm, tergantung jenis jagung. Swinkels (2003), mengemukakan bahwa granula pati jagung berbentuk
bulat persegi dengan diameter rata-rata granula pati jagung adalah 15 µm.
Ukuran granula pati jagung ini lebih besar dibandingkan granula pati beras yang
diameternya hanya 5 µm (Swinkels, 1985). Sedangkan Hoover et al., (2001) menyatakan bahwa granula pati jagung berukuran 2-30 µm dengan diameter 10
µm. Adapun bentuk dan ukuran diameter granula beberapa jenis pati dapat
17
Tabel 4 Bentuk dan diameter granula beberapa jenis pati
Jenis pati
Kisaran Diameter
(μm)
Diameter rata-rata
(μm)
Bentuk granula
Jagung
Jagung tinggi amilopektin Jajgung tinggi amilosa Kentang Gandum Tapioka Sorghum Beras Sagu Garut Ubi jalar Ganyong
3 - 26 3 - 24 3 - 26 5 - 100 2 - 35 4 - 35 3 - 26 3 - 8 5 - 65 5 - 70 5 - 25 22 - 85
15 02 15 33 15 20 15 5 30 30 15 53
Bulat, bersegi –segi Bulat
Bulat, bersegi –segi Oval, membulat Bulat
Oval, bersudut Bulat,bersegi – segi Bersegi - segi Oval, bersudut Oval, bersudut Bersegi – segi Oval
Sumber : Swinkels (1985).
Dalam industri pangan, besar kecilnya ukuran granula pati mempunyai
peranan yang penting, antara lain sebagai bahan untuk pensubtitusi dan untuk
daya tahan selama proses pemanasan. Sebagai contoh, pati yang berdiameter
2.0 μm dapat digunakan untuk subtitusi lemak karena mempunyai ukuran yang sama dengan micell dari lipid (Champbell et.al., 1996). Pati dengan ukuran granula besar akan mempunyai ketahanan terhadap panas yang lebih tinggi
dibadingkan dengan granula pati yang berukuran kecil (Wirakartakusumah, 1981).
Disamping itu granula pati yang berukuran kecil mempunyai suhu awal
gelatinisasi yang lebih rendah dibandingkan dengan granula pati yang berukuran
besar.
Sifat Birefringence dan Gelatinisasi Pati
Sifat birefringence merupakan sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi, sehingga terlihat kontras gelap-terang yang tampak sebagai warna biru kuning.
Sifat ini akan terlihat jika diamati di bawah mikroskop polarisasi. Derajat dan
orientasi kristal akan sangat menentukan intensitas birefringence pati. Pati dengan kadar amilosa tinggi, intensitas birefringencenya lebih lemah dibandingkan dengan pati dengan kadar amilopektin tinggi (Hoseney, 1998).
Warna biru kuning pada permukaan granula pati disebabkan oleh perbedaan
indeks refraksi dalam granula pati yang dipengaruhi oleh struktur amilosa dalam
pati. Sebagian cahaya yang melewati granula pati dapat diserap oleh bentuk
secara intensif jika arah getar dari gelombang cahaya paralel terhadap sumbu
heliks (French, 1984). Lebih lanjut dikatakan bahwa intensitas birefrigence
sangat tergantung pada derajat dan orientasi kristal.
Sifat kristal ditentukan oleh sepasang rantai dengan derajat polimerisasi 15
dari amilopektin yang membentuk double helix sedangkan sifat amorphous
granula pati ditentukan oleh daerah dengan ikatan α–(1-6) dari amilopektin, sehingga disimpulkan bahwa amilopektin merupakan komponen yang
menyebabkan adanya sifat kristal dan birefringence granula pati. Hoseney (1998) mengatakan bahwa sifat kristal pati dapat dirusak dengan perlakuan secara
mekanis.
Pada prinsipnya gelatinisasi pati merupakan peristiwa hilangnya sifat
birefrigence granula pati akibat penambahan air secara berlebihan dan pemanasan dalam waktu dan suhu tertentu, sehingga granula pati membengkak
dan tidak dapat kembali seperti keadaan normal atau bersifat irreversibel (Beliz
dan Grosch, 1999., dan Winarno, 1995). Titik suhu dimana granula pati bersifat
irreversibel ini disebut Birefrigence End Point Temperature (BEPT).
Mekanisme gelatinisasi terjadi melalui tiga tahapan yaitu: (1) Penyerapan
air oleh granula pati sampai batas yang akan mengembang secara lambat
dimana air secara perlahan-lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula
sehingga terjadi pemutusan ikatan hidrogen antar molekul-molekul granula,
(2) Terjadi pengembangan granula secara cepat karena penyerapan air
berlangsung cepat sampai kehilangan sifat birefriegencenya dan (3) Granula
pecah jika cukup air dan suhu terus naik sehingga molekul amilosa keluar dari
granula (Swinkels, 1985). Selama proses gelatinisasi, ukuran granula pati
semakin besar dengan semakin meningkatnya suhu. Saat terjadi pembengkakan
maksimum maka ukuran granula pati berada pada ukuran maksimum. Pada pati
jagung dengan kandungan amilopektin yang tinggi, diameter awal granula adalah
15,6 μm dan naik menjadi 39,6 μm pada saat terjadi pembengkakan. Sifat pati yang tergelatinisasi inilah yang dimanfaatkan untuk pembuatan makanan instan
(Winarno, 1997).
Pati yang telah diberi perlakuan pemanasan bersama air akan kehilangan
19
mengikat molekul air lebih banyak (Fennema, 1985). Setelah mengalami
gelatinisasi dan dikeringkan, pati masih mampu menyerap air kembali dalam
jumlah yang besar. Hasil penelitian Supriadi (2004) menunjukkan bahwa setelah
gelatinisasi dan pengeringan, maka kemampuan rehidrasi dari beras jagung
instan varietas Motor adalah sebesar 113% dan mengembang sebesar 30%.
Demikian pula dengan beras jagung instan varitas Pulut mampu be-rehidrasi
sebesar 213% dan mengembang sebesar 6%.
Aktivitas Air (a
w) dan Sorpsi Isotermik
Air merupakan komponen utama dalam bahan pangan dan bahan
biologis lainnya yang berkontribusi terhadap bentuk, struktur, sifat fisikokimia dan
pola reaksi kimia dalam suatu bahan. Sifat fisik air berpengaruh besar pada
proses pembekuan, pengeringan dan evaporasi. Syarief dan Halid (1993)
mengemukakan bahwa air sangat berperan dalam bahan pangan karena,
kandungan air dapat mencerminkan kesegaran buah-buahan dan sayuran,
sebaliknya jika bahan pangan tersebut mengalami penurunan kandungan air
akan tampak layu.
Peranan air dalam bahan pangan dinyatakan sebagai kadar air dan water activity (aw). Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan.
Henderson dan Perry (1976) membedakan kadar air menjadi kadar air basis
basah dan kadar air basis kering. Kadar air basis basah (Mb) adalah
perbandingan berat air (Ba) dalam bahan terhadap berat bahan (Bb). Kadar air
basis kering (Mk) adalah perbandingan berat air terhadap berat kering atau
padatannya. Hubungan antara kadar air basis basah dengan kadar air basis
kering dapat ditulis sebagai berikut:
b b k
M 100
M 100 M
− ×
= (Pers. 1)
Kadar air berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100
persen, sedangkan kadar air berdasarkan berat kering dapat lebih dari 100
persen (Syarief dan Halid, 1993). Di sisi lain, peranan air dalam bahan pangan
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas metabolisme, yaitu
terjadinya ketengikan dan reaksi-reaksi non enzimatis sehingga menimbulkan
perubahan sifat-sifat organoleptik, penampakan, tekstur dan citarasa serta nilai
Sorpsi isotermis suatu bahan pangan sangat membantu dalam
menentukan jenis pengemas yang dibutuhkan dan untuk memprediksi
karakteristik kondisi penyimpanan yang sesuai serta umur simpannya ( Mir dan
Nath, 1995). Dengan demikian kerusakan bahan pangan akibat pertumbuhan
mikroba dapat dihindari (Boente et al., 1996)
Labuza (1984) mengklasifikasikan kurva isotherm sorpsi ke dalam 3 tipe
(Gambar 5), antara lain tipe I adalah tipe Langmuir, tipe II adalah bentuk sigmoid
atau huruf S dan tipe III (tipe Flory-Huggins). Berdasarkan Gambar 6, dapat
diketahui pada umumnya kurva moisture sorpsi isothermis tidak linier. Moisture sorption isotherms mempunyai bentuk sigmoidal untuk banyak makanan, meskipun untuk makanan yang mempunyai kadar gula tinggi atau molekul
terlarut rendah mempunyai kurva isotherm yang berbentuk J.
Kurva isothermis sorpsi tipe I merupakan bentuk khas dari senyawa
antikempal. Senyawa antikempal mampu menyerap banyak air dengan ikatan
hydrogen yang kuat sehingga dapat menurunkan aw secara dramatis. Itulah
sebabnya dalam Gambar 5, kurva tipe I menunjukkan kenaikan vertical yang
tajam pada aw rendah. Ketika seluruh gugus polar sudah mengikat air maka
setiap tambahan kadar air menyebabkan kenaikan aw yang besar. Hal ini terjadi
karena bahan tersebut tidak larut sehingga tambahan air hanya akan berinteraksi
dengan air yang sudah ada dan bersifat seperti air bebas.
Gambar 4 Tiga bentuk tipe kurva isotermi adsorpsi (Labuza, 1984)
Bahan makanan kering umumnya termasuk isothermis sorpsi tipe II.
Bentuk kurva isothermis sorpsi II yang berbentuk huruf S disebabkan pengaruh
akumulatif dari ikatan hydrogen, Hukum Raoult, kapiler dan interaksi antara
21
lengkungan, lengkungan pertama pada aw sekitar 0,2 sampai 0,4 dan yang lain
pada aw 0,7 sampai 0,8. Kedua lengkungan ini merupakan akibat perubahan
sifat fisikokimia pengikatan air oleh bahan (Labuza, 1984).
Tipe III mewakili sifat isotherm sorpsi bahan berbentuk kristal, contohnya
gula murni Bahan tersebut hanya menyerap sedikit kondisi lingkungan yang lebih
tinggi dari kondisi penyimpanan normal air sampai aw sekitar 0,7 sampai 0,8. Hal
ini terjadi karena ikatan air melalui jembatan hidrogen hanya terjadi pada gugus
hidroksil bebas yang terdapat di permukaan kristal saja. Rizvi (1995)
menyatakan bahwa bahan pangan yang tinggi akan komponen terlarut seperti
gula biasanya mempunyai bentuk kurva moisture sorpsi isothermis seperti tipe III.
Aktivitas air berbeda dengan kadar air, dimana aw menentukan batas
terkecil air tersedia yang dapat digunakan untuk pertumbuhan mikrobia.
Aktivitas air pada sistem uap padatan adalah rasio tekanan uap parsial (P)
dengan tekanan uap air murni (Po) pada kondisi suhu yang sama (Rao dan Rizvi,
1995). Rumus aktivitas air secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :
100 ERH Po
P
aw = = (Pers. 2)
Dimana :
aw : aktivitas air
P : tekanan uap air dalam bahan pangan (mmHg)
Po : tekanan uap air jenuh pada suhu yang sama (mmHg)
ERH : kelembaban relative kesetimbangan (%)
Dalam kurun waktu tertentu air dapat berada pada suatu kondisi
lingkungan tertentu. Menurut Brooker et al., (1982), suatu tingkat dimana kadar air pada suatu bahan pangan berada pada suatu kondisi tersebut dalam periode
waktu yang lama dinyatakan sebagai kadar air kesetimbangan (equilibrium moisture content). Menurut Heldman dan Singh (1981), kadar air kesetimbangan suatu bahan adalah saat tekanan uap bahan seimbang dengan lingkungannya.
Pada keadaan setimbang maka aw bahan akan sama dengan kelembaban relatif
udara disekelilingnya (ERH = equilibrium relative humidity). Kadar air kesetimbangan sangat penting dalam pengeringan, karena akan menentukan
dikemukakan oleh Henderson dan Perry (1976) bahwa proses pengeringan dan
penyimpanan bahan pangan sangat terkait dengan kondisi kadar air
kesetimbangan dan RH udara di sekitar bahan.
Hubungan antara kadar air dan aw digambarkan dalam bentuk kurva sorpsi
isotermik. Sorpsi isotermik merupakan karakteristik penting yang dapat
mempengaruhi aspek pengeringan dan penyimpanan. Bentuk sorpsi isotermik
pada umumnya akan menentukan stabilitas penyimpanan.
Penentuan Umur Simpan
Umur simpan merupakan salah satu parameter yang sangat penting
dalam bahan pangan sebagai indikator mutu suatu produk dalam waktu tertentu.
Menurut Institute of Food Technology (IFT, 1974 dalam Arpah, 2001) bahwa umur simpan produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga
saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan, pada
sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur dan nilai gizi. Hal ini didukung oleh
National Food Processor Association (1978, dalam Arpah (2001), yang mendefinisikan bahwa kisaran umur simpan suatu produk yaitu bilamana kualitas
produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh
konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta
memproteksi isi kemasan.
Definisi lainnya dikemukakan oleh Floros dan Gnanasekharan (1993),
yang menyatakan bahwa umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh
produk pangan, dalam suatu kondisi penyimpanan untuk sampai pada suatu
level atau tingkatan degradasi mutu tertentu. Umur simpan juga merupakan
lamanya periode antara pengemasan produk dan penggunaannya dengan
catatan mutu produk masih diterima oleh konsumen (Robeston, 1993).
Umur simpan makanan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Syarief, et al. (1989) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan makanan
yang dikemas adalah ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume,
kondisi atmosfir (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat
bertahan selama transit dan sebelum digunakan, ketahanan keseluruhan dari
kemasan terhadap keluar masuknya air, gas dan bau termasuk perekatan,
23
dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air
dan oksigen serta kemungkinan terjadinya perubahan kimia, internal dan fisik.
Dalam perhitungan umur simpan, menurut Gnanasekharan dan John
(1993) ada beberapa asumsi yang sering digunakan. Asumsi tersebut antara lain
mekanisme kerusakan yang terjadi sangat tergantung pada faktor lingkungan
(tekanan parsial oksigen, kelembaban relatif dan suhu) dan faktor komposisi (pH,
konsentrasi, aktivitas air dan sebagainya); laju penurunan mutu dapat ditentukan
dengan menghubungkan beberapa hasil pengukuran objektif dengan hasil
penilaian organoleptik dan toksikologi dan kemasan diasumsikan bebas dari
kebocoran sehingga karakteritik penyerapan hanya bergantung pada bahan
kemasan saja.
Dikemukakan oleh Labuza (1982) bahwa pendugaan umur simpan produk
pangan dapat dilakukan melalui pengukuran sorpsi isotermik dengan
menggunakan metode ASS (Accelerated Storage Studi). Metode ASS ini diterapkan pada produk pangan kering dengan pendekatan kadar air kritis (PKK).
ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat reaksi
deteriorasi produk pangan. Pada metode ini, kondisi lingkungan penyimpanan
memiliki RH yang ekstrim, sehingga kadar air kritis lebih cepat dicapai daripada
kondisi normal. Meningkatnya suhu dan kelembaban udara pada kondisi
penyimpanan bahan pangan kering dapat digunakan sebagai metode untuk
mempersingkat waktu perkiraan umur simpan suatu produk pangan.
Keuntungan metode ini adalah hanya membutuhkan waktu pengujian yang relatif
singkat (3-4 bulan), namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi
(Arpah, 2001).
Produk pangan kering yang disimpan dengan demikian akan mengalami
penurunan mutu akibat penyerapan uap air. Penambahan atau kehilangan
kandungan air dari suatu bahan pangan pada suhu dan RH yang konstan dapat
dihitung dengan Persamaan 9 sebagai berikut:
(
P P)
Ax k dt dw
in out −
= (Pers. 3)
dimana :
Dw/dt = jumlah air yang bertambah atau berkurang per hari (gram)
k/x = permeabilitas kemasan (g H2O/hari.m2.mmHg)
Pout = tekanan uap air diluar kemasan (mmHg).
Pin = tekanan uap air di dalam kemasan (mmHg)
Berdasarkan laju perubahan kadar air, Labuza (1982) menentukan umur
simpan bahan pangan dengan Persamaan 10 sebagai berikut :
(
)
(
)
[
]
)
(
)
(
)
(
t
b Po W
A x k
Mc Me
Mi Me Ln s
s
− −
=
(Pers. 4)Dimana :
ts = waktu yang diperlukan produk dalam kemasan untuk bergerak
dari kadar air awal menuju kadar air kritis atau waktu perkiraan
umur simpan (hari)
Me = kadar air kesetimbangan (% bk)
Mi = kadar air awal produk (% bk)
Mc = kadar air ktitis (% bk)
k = laju transmisi uap air dari kemasan (g H2O µm/hari.m2.mmHg)
x = ketebalan kemasan (µm)
A = Luas permukaan kemasan (m2) Ws = berat sampel dalam kemasan
Po = tekanan uap jenuh ruang penyimpanan (mmHg)
b = slope kurva sorpsi isothermis
Menurut Reilly et al., (1994), umur simpan dari suatu produk pangan dipengaruhi oleh faktor intrinsik. Faktor-faktor tersebut meliputi bahan baku,
formulasi dan komposisi produk, aktivitas air, pH, reduksi oksidasi dan faktor
ekstensik seperti proses, sanitasi, kemasan dan penyimpanan.
Hasil penentuan umur simpan produk beras jagung instan, menunjukkan
bahwa beras jagung instan dari dua varietas yang disimpan pada aw 0.6-0.7
adalah 20 bulan yaitu untuk beras jagung instan varietas Motor dan 28 bulan
untuk varietas Pulut (Supriyadi, 2004). Lamanya umur simpan beras jagung
instan disebabkan oleh besarnya selisih kadar air kritis dengan kadar air awal
METODOLOGI
Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah jagung muda
segar dari tiga varietas, yaitu varietas Motor dan varietas Pulut putih (dari
Gorontalo) dan varietas Manis dari Bogor (Gambar 5). Terdapat dua alasan
pemilihan varietas Motor dan Pulut. Pertama, karena kedua jagung tersebut
merupakan jagung yang sangat disukai oleh masyarakat Gorontalo sebagai
bahan dasar binthe biluhuta, khususnya dalam hal rasa dan ukuran biji yang relatif lebih kecil dibanding jagung varitas lain. Kedua, karena atas permintaan
Pemda propinsi Gorontalo, sedangkan jagung Manis dipilih karena memiliki rasa
yang khas dan untuk memenuhi selera masyarakat umum yang belum terbiasa
dengan makanan binthe biluhuta tetapi sangat menyukai jagung Manis.
Gambar 5 Jagung muda varietas Pulut, Motor dan Manis
Jagung yang digunakan adalah jagung yang dipanen pada stadia masak
susu atau antara stadia masak susu dan stadia masak lunak yang biasa
digunakan untuk keperluan jagung rebus dan jagung bakar. Jagung Pulut dan
jagung Motor yang digunakan dipanen pada umur 40-45 hari. Sedangkan
jagung Manis yang digunakan dipanen pada 60-65 hari.
Peralatan yang digunakan antara lain timbangan analitik, alat-alat gelas,
oven, mikroskop polarisasi, hardness tester, pemanas kjeldahl, termometer, alat
destilasi, alat ekstraksi soxhlet, desikator, tanur pengabuan dan alat penunjang
lainnya.
Dalam penelitian ini digunakan bahan kimia untuk analisis proksimat dan
Tabel 5 Delapan jenis garam jenuh dan Kelembaban relatif Larutan garam jenuh RH (%) pada suhu ±27 oC
Natrium Hidroxida Magnesium Klorida Kalium Karbonat Kalium Yodida Natrium Klorida Kalium Klorida Barium Klorida
Kalium Sulfat
6.5 33 43 69 75 84 90.3
97
Metode
Penelitian ini terdiri atas dua tahap, yaitu pembuatan produk jagung muda
instan dan penentuan umur simpan.
Tahap Pertama : Pembuatan Jagung Muda Instan (JMI)
Pada tahap ini digunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan pola
faktorial. Dua faktor yang diteliti adalah pengaruh pre-gelatinisasi (G) dan
pengaruh pembekuan (F).
Pre-gelatinisasi terdiri atas 4 tingkat, yaitu :
- Tanpa pre-gelatinisasi (G0)
- Pre-gelatinisasi selama 3 menit (G1) - Pre-gelatinisasi selama 6 menit (G2) - Pre-gelatinisasi selama 9 menit (G2),
Pembekuan terdiri atas 2 tingkat yaitu :
- Tanpa pembekuan (F0), - Pembekuan lambat (F1),
Dengan demikian diperoleh 8 kombinasi perlakuan dan setiap kombinasi
perlakuan diulang sebanyak 3 kali.
Produk yang dibuat ini ditujukan sebagai bahan baku binthe biluhuta instan. Jagung yang dipilih adalah jagung yang tidak terlalu muda, yang masih dalam
kelobot dengan tujuan agar tidak terjadi penurunan mutu yang berarti sebelum
diolah. Jika jagung yang digunakan terlalu muda, maka setelah dikeringkan biji
yang dihasilkan kosong dan berwarna kecoklatan sampai coklat kehitaman.
27
dipisahkan dari tongkolnya. Pemisahan ini dilakukan secara hati-hati, tidak
seperti cara yang telah lazim dilakukan untuk jagung muda. Hal ini bertujuan
untuk memperoleh bentuk biji yang bagus, dan tidak banyak terluka kecuali
potongan pada bagian tip cap (tangkai biji) sehingga rendemen yang dihasilkan
pun lebih besar karena tidak banyak yang terbuang pada saat jagung ditampi.
Biji dilepaskan menurut arah deret biji. Untuk mempermudah pelepasan
keseluruhan biji, maka lebih dulu dilepaskan dua deret dengan cara mata pisau
diletakkan dalam posisi horisontal pada celah deret. Setelah dua deret biji
terlepas, maka akan terdapat ruang dimana pisau bisa diarahkan dengan leluasa
untuk melepaskan deret berikutnya sehingga biji yang dihasilkan tidak banyak
terluka atau rusak kecuali terluka pada bagian tip cap. Biji-biji jagung yang
dihasilkan masih bercampur dengan kotoran yaitu tip cap dan tempat melekatnya
tip cap pada tongkol yang terikut saat pelepasan biji, sehingga perlu dibersihkan
lebih dahulu. Pembersihan dilakukan dengan cara menampi biji jagung sehingga
kotoran mudah dipisahkan.
Selanjutnya dilakukan perendaman biji dengan sedikit air (sebatas tinggi
jagung dalam wadah). Perendaman bertujuan agar biji memperoleh efek panas
yang merata pada saat perlakuan pre-gelatinisasi. Perendaman dilakukan dalam
air biasa pada suhu ruang (± 27 oC) selama ±15 menit. Selanjutnya adalah pemberian perlakuan pre-gelatinisasi dan pembekuan. Pre-gelatinisasi pada
penelitian ini dilakukan dengan cara mengukus biji jagung dalam waktu 0, 3, 6
dan 9 menit. Selama proses pre-gelatinisasi, jagung dibalik atau diaduk
sebanyak 2-3 kali agar jagung mendapatkan panas yang sama. Kemudian
jagung didinginkan dan dilanjutkan dengan perlakuan tanpa pembekuan dan
[image:35.595.117.473.573.730.2]pembekuan lambat (Gambar 6 a dan b).
Jagung yang yang diberi perlakuan pembekuan lambat, dibekukan pada
suhu -20oC. Pembekuan dilakukan selama 30 sampai 72 jam. Jagung dengan perlakuan tanpa pembekuan, langsung dikeringkan dalam oven blower. Jagung
dimasukkan setelah suhu oven mencapai 65 oC. Jagung dikeringkan selama 6-7 jam (Gambar 7). Jagung yang telah dibekukan lambat, selanjutnya dithawing
dalam kondisi masih dalam kemasan tertutup dengan cara mengalirkan air kran
pada seluruh permukaan kemasan sampai diperkirakan jagung tidak beku lagi.
Kemudian dilanjutkan dengan pengeringan pada suhu dan waktu pengeringan
yang sama dengan perlakuan tanpa pembekuan. Bagan alir penelitian tahap
[image:36.595.106.490.82.773.2]pertama disajikan pada Gambar 8.
Gambar 7 Jagung muda saat dikeringkan
Hasil yang diperoleh berupa jagung muda instan dari tiga varietas,
kemudian diamati tingkat gelatinisasi, densitas kamba, daya rehidrasi,
kekerasan dan lama masak. Produk dari perlakuan yang terbaik berdasarkan
pengamatan di atas, kemudian dianalisa proksimat.
Data hasil pengamatan kemudian dianalisis keragamannya untuk
mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan serta interaksi antara perlakuan.
Apabila perlakuan berpengaruh nyata maka dilakukan uji jarak berganda Duncan.
Analisis dilakukan dengan menggunakan software SAS v 9.1 dan untuk
29
Dicuci Jagung Muda (dalam tongkol)
Direndam dalam air (±15 menit, suhu ± 27 oC)
Dibersihkan Dilepaskan dari tongkol
Dithawing
dengan air kran (suhu ± 27 oC) Dioven
(6-7 jam, suhu 65 oC)
Dibekukan lambat (-20 oC) ±30-72 jam Tidak dikukus
Didinginkan Dikukus 3 menit
Dikukus 6 menit
Dikukus 9 menit
Tidak dibekukan
[image:37.595.118.501.81.668.2]Tahap II Jagung Muda Instan
Tahap Kedua : Penentuan Umur Simpan
Pada tahap kedua dilakukan kajian isotermik sorpsi air (ISA) dan
pendugaan umur simpan terhadap jagung dengan perlakuan terbaik.
Pertama-tama sampel jagung muda instan dihancurkan kemudian dikeringkan dengan
absorben kapur api (CaO) sampai diperoleh kadar air 2-3% bk. Selanjutnya
dilakukan preparasi larutan garam jenuh. Delapan jenis garam ditimbang dan
dimasukkan dalam desikator, sambil diaduk ditambahkan sejumlah air sampai
jenuh dan berlebih untuk menjaga kejenuhan larutan sehingga kelembaban relatif
yang dihasilkan tetap dan tidak mempengaruhi proses sorpsi. Tiap sampel
seberat +3 g ditempatkan dalam cawan porselin. Kemudian sampel
disetimbangkan dalam desikator yang sebelumnya telah dilakukan pengaturan
RH antara 7-97 %. Desikator diletakkan dalam ruangan dengan suhu sekitar
30 oC. Sampel yang dimasukkan dalam desikator, ditimbang setiap hari. Penimbangan dihentikan apabila telah diperoleh berat konstan (perubahan berat
<0,005 g). Kemudian kadar air kesetimbangan ditentukan dengan menggunakan
metode oven (Apriyantono, dkk., 1988).
Selanjutnya dilakukan penentuan kadar air kritis pada produk yang telah
disimpan pada berbagai kondisi RH. Parameter kritis ditentukan berdasarkan
waktu dimana sampel telah mengalami perubahan mutu yaitu mulai ditumbuhi
jamur. Produk yang telah berjamur selanjutnya diukur kadar airnya dan
dinyatakan sebagai kadar air kritis produk. Kemudian dilakukan penentuan
umur simpan. Umur simpan ditetapkan berdasarkan waktu pada saat kadar air
produk sama dengan kadar air kritis.
Pengamatan
Kadar Air, Metode Oven (AOAC, 1995)
Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven.
Cawan porselin dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam
desikator selama 10 menit dan ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram ditimbang
dalam cawan. Cawan beserta isi dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 6 jam. Cawan dipindahkan dalam desikator, didinginkan dan ditimbang.
31
% 100 a b -a (%) basah berat airKadar = ×
% 100 b b -a (%) kering berat air
Kadar = × (Pers. 5-6)
Keterangan :
a = berat sampel awal (g)
b = berat sampel kering (g)
Kadar Protein, Metode Mikro Kjeldahl (AOAC, 1995)
Sampel ditimbang sebanyak 100-200 mg, dimasukkan ke dalam labu
destruksi kemudian ditambahkan 1,9 ± 0,1 g K2SO4; 40 ± 10 mg HgO; 2,0 ± 0,1
ml H2SO4 dan batu didih. Sampel didestruksi selama 1 – 1,5 jam sampai cairan
menjadi jernih. Sampel didinginkan dan ditambah sejumlah kecil air secara
perlahan-lahan, kemudian didinginkan kembali. Isi tabung dipindahkan ke alat
destilasi dan labu dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air. Air cucian dipindahkan ke
labu destilasi.
Erlenmeyer berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 1-2 tetes indikator (campuran 2
bagian merah metil 0,2 % dalam alkohol dan 1 bagian metilen blue 0,2 % dalam
alkohol) diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus
terendam di bawah larutan H3BO3. Larutan NaOH – Na2S2O3 sebanyak 8 – 10 ml
ditambahkan kemudian didestilasi dalam erlenmeyer sampai diperoleh destilat ± 15 ml. Destilat dalam erlenmeyer tersebut dititrasi dengan HCl 0,02 N sampai
terjadi perubahan warna hijau menjadi biru. Penetapan untuk blanko juga
dilakukan. sampel mg 100 14,007 Normalitas blanko) ml HCl (ml (%) N
Kadar = − × × ×
Kada