• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Konteks Pembangunan Daerah: Kasus Mitra Proyek UNDP di Wilayah Jawa dan Lampung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Konteks Pembangunan Daerah: Kasus Mitra Proyek UNDP di Wilayah Jawa dan Lampung"

Copied!
366
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT TERHADAP

PROGRAM PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS

MASYARAKAT DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN

DAERAH: KASUS MITRA PROYEK UNDP DI WILAYAH

JAWA DAN LAMPUNG

WAHYU FATHURRAHMAN RIVA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Konteks Pembangunan Daerah: Kasus Mitra Proyek UNDP di Wilayah Jawa dan Lampung adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutup dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Mei 2009

(3)

ABSTRACT

WAHYU FATHURRAHMAN RIVA. The Role of Non-Governmental Organizations in Community-Based Forest Management Program in Regional Development Contexts: Cases on the UNDP Grantees in Java Island and Lampung Region. Under direction of PARULIAN HUTAGAOL and PATRICE LEVANG

The increasing rate of forest degradation and lack of local communities access to forest, have been a significant stimulus for the implementation of community-based forest management (CBFM). The CBFM has an objective to achieve sustainable forest management and prosperity for rural community adjacent to forest area. To pursue the objective several local communities work closely with non-governmental organizations (NGOs) to get financial support from international funding agencies . There is a need to improve the role of NGOs and their strategy in order to work effectively with the local communities. The thesis provides analytical methods to evaluate the role and strategy of the NGOs, namely performance approach and institutional development approach. The research was conducted by analyzing 9 (nine) NGOs, which are partners of the UNDP project in 2005-2007 and located in Jawa island and Lampung province. NGOs undertake its programs in 3 mainstream scope of works, first, conservation; second, technical assistance; and third, advocacy program. Each of main issues have a approach and various methods of assistance. There are many lesson learnt got by NGOs collaborating with UNDP in a particular project commenced 2005 to 2007. A part of NGOs achieved the key role in conducting the project and otherwise getting a high performance of expected target. In the some location of the project, now it has become a show window to see how they conduct the best practices in CBFM. There are 3 NGOs successfully undertakeing best ways, namely Persepsi in achieving broad CBFM certification, Watala in getting HKm status, and Masta that successfully facilitating communities to collabotare with Perhutani through signing an MoU. The other one is still on going process in building local goverment regulation about CBFM in Indonesia. In general, CBFM programs facilitated by the NGOs have similar goal, which is pursuing government recognition on local community access to the forest area. A gap in terms of knowledge regarding forest management and the effectiveness of advocacy may become an obstacle in achiving the objective of CBFM. The most intriguing result of the research is that the succesfulness of NGOs program in CBFM relies on the hand of government. It is up to local and central government regulations may or may not recognizes the access of local community to the forest.

(4)

RINGKASAN

WAHYU FATHURRAHMAN RIVA. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Konteks Pembangunan Daerah: Kasus Mitra Proyek UNDP di Wilayah Jawa dan Lampung. Dibimbing oleh PARULIAN HUTAGAOL dan PATRICE LEVANG

Tingkat kerusakan hutan yang cenderung meningkat dan melemahnya kapasitas masyarakat sekitar hutan akibat kebijakan pemerintah dalam pengelolaan hutan telah memicu munculnya paradigma baru yaitu pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM). PHBM ini bertujuan untuk mewujudkan hutan lestari dan masyarakat sejahtera. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, masyarakat dibantu LSM yang sebagian besar mendapatkan pendanaan dari lembaga donor luar negeri.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM serta merumuskan strategi peningkatan peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM. Penelitian ini dilakukan pada 9 LSM mitra proyek UNDP periode 2005-2007 di wilayah Jawa dan Lampung. Penelitian ini menggunakan 2 metode analisis, yaitu analisis kinerja LSM dalam program PHBM dan analisis pengembangan kelembagaan institusi lokal.

Dalam menjalankan programnya, LSM terbagi menjadi 3 isu utama, yaitu isu konservasi, pendampingan teknis, dan isu advokasi. Setiap isu utama mempunyai pendekatan dan metode pendampingan yang beragam. Penelitian ini menemukan bahwa sebagian besar LSM mempunyai peran utama untuk membantu masyarakat dapat memperoleh hak akses terhadap sumberdaya hutan. Selain itu juga berperan bersama masyarakat untuk mengusung kelestarian sumberdaya hutan dan sebagian kecil fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hanya sebagian kecil LSM yang berperan untuk melakukan ketiga tujuan tersebut secara bersamaan.

Dalam menjalankan programnya di bidang konservasi, LSM memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibanding dengan bidang pendampingan teknis dan advokasi. Hal ini disebabkan ukuran keberhasilan terhadap program yang bersifat konservasi baru dapat dipetik dalam hitungan jangka panjang. Sementara masyarakat lebih menginginkan adanya program yang bersifat jangka pendek dan dapat segera dinikmati hasilnya.

(5)

Dalam melakukan proyek UNDP, LSM banyak bersentuhan dengan pemerintah daerah. Keterlibatan pemerintah daerah mempunyai keragaman metode dan pendekatan yang dilakukan bersama dengan LSM. Pemerintah daerah yang terlibat dalam program diantaranya adalah Dinas Kehutanan Kabupaten dan Propinsi, Taman Nasional, Taman Hutan Raya (Tahura), Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Propinsi, Departemen Kehutanan, Perum Perhutani, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). LSM berperan penting dalam proses negosiasi dan advokasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan, misalnya dalam proses penyusunan kebijakan pemerintah daerah.

Peran LSM dalam pendampingan masyarakat di Lampung difokuskan pada upaya memperoleh kepastian pengelolaan kawasan hutan lindung, melalui ijin hutan kemasyarakatan (HKm). Kebijakan HKm yang menempatkan masyarakat sekitar sebagai pelaku utama dalam pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam selain bertujuan untuk perbaikan fungsi lingkungan juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melalui skema HKm, masyarakat membuat rencana pengelolaan dan melaksanakan kegiatan pemulihan sumberdaya hutan, menjaga kawasan yang masih berhutan secara swadaya serta melakukan pengamanan terhadap areal yang menjadi tanggung jawab masyarakat. LSM juga telah berperan penting dalam proses pendampingan masyarakat sekaligus juga berperan dalam melakukan advokasi kepada pemerintah daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di daerahnya.

Peran LSM masih perlu ditingkatkan untuk isu pendampingan teknis, misalnya dalam sertifikasi PHBM. Sampai saat ini memang belum muncul insentif yang signifikan yang diterima oleh masyarakat melalui sertifikasi ekolabel. Insentif ini seharusnya muncul dari berbagai pihak khususnya dari pemerintah daerah. Hal ini disebabkan hutan-hutan yang ditanami oleh masyarakat tersebut merupakan lahan milik yang memang dari sisi aturan hukum tidak dibebani menjadi hutan. Atas kesadaran dari masyarakat sendiri, mereka telah mampu menghutankan kembali hutannya sehingga dapat memberikan nilai tambah baru bagi masyarakat sebagai pengelola hutan. Peran LSM diharapkan lebih besar dalam pengembangan pemasaran dan tata niaga perdagangan kayu yang bersertifikat ekolabel.

Banyak pelajaran berharga yang diperoleh oleh LSM-LSM yang menjadi mitra proyek UNDP mulai tahun 2005-2007. Beberapa LSM telah berperan penting dan berhasil sesuai dengan harapan yang diinginkan bahkan ada LSM yang dapat melebihi target yang ingin dicapai. Beberapa lokasi proyek juga telah menjadi best practices bagi wilayah lainnya dalam program PHBM karena besarnya peran LSM. Terdapat 3 LSM yang berhasil dan dapat dijadikan best practices, yaitu Persepsi dengan sertifikasi ekolabel, Watala dengan perolehan HKm, dan Masta yang berhasil memfasilitasi masyarakat untuk menandatangai MoU dengan Perhutani. Sebagian lagi masih menyusun draf Peraturan Daerah (Perda) tentang pengelolaan hutan berbasis masyarakat.

(6)

baik di tingkat masyarakat maupun di tingkat LSM, (4) sebagian besar (5 LSM) mempunyai kinerja yang baik dalam pelaksanaan program PHBM yang didanai UNDP dan sebanyak 2 LSM masing-masing memiliki kinerja yang cukup baik dan kurang baik, (5) pengembangan institusi lokal dipengaruhi oleh faktor kondisi sumberdaya lokal, faktor ekonomi-politik internasional, nasional dan lokal, serta faktor sosial-politik lokal, dan (6) keberhasilan atau kegagalan kinerja LSM tidak hanya dipengaruhi oleh kinerja LSM-nya saja, namun juga oleh kinerja pihak lainnya, terutama pemerintah.

Strategi peningkatan peran LSM dalam pelaksanaan PHBM dalam konteks pembangunan daerah dapat dilakukan melalui beberapa hal, yaitu pengembangkan kapasitas dan kelembagaan LSM, pengembangan pemberdayaan kapasitas dan kelembagaan masyarakat dampingan, pengembangan advokasi pada pemerintah daerah, dan pengembangan usaha masyarakat dampingan bersama pihak swasta.

(7)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar.

(8)

PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT

DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN DAERAH: KASUS MITRA PROYEK UNDP DI WILAYAH JAWA DAN LAMPUNG

WAHYU FATHURRAHMAN RIVA

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk melaksanakan penelitian dalam rangka penulisan tugas akhir untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi

Magister Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

(10)

Judul Tugas Akhir : Peran Lembaga Swadaya Masyarakat

terhadap Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Konteks Pembangunan Daerah: Kasus Mitra Proyek UNDP di Wilayah Jawa dan Lampung

Nama Mahasiswa : Wahyu Fathurrahman Riva NRP : A 153044145

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Parulian Hutagaol, M.S Dr. Patrice Levang Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(11)

PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT TERHADAP

PROGRAM PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS

MASYARAKAT DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN

DAERAH: KASUS MITRA PROYEK UNDP DI WILAYAH

JAWA DAN LAMPUNG

WAHYU FATHURRAHMAN RIVA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Konteks Pembangunan Daerah: Kasus Mitra Proyek UNDP di Wilayah Jawa dan Lampung adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutup dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Mei 2009

(13)

ABSTRACT

WAHYU FATHURRAHMAN RIVA. The Role of Non-Governmental Organizations in Community-Based Forest Management Program in Regional Development Contexts: Cases on the UNDP Grantees in Java Island and Lampung Region. Under direction of PARULIAN HUTAGAOL and PATRICE LEVANG

The increasing rate of forest degradation and lack of local communities access to forest, have been a significant stimulus for the implementation of community-based forest management (CBFM). The CBFM has an objective to achieve sustainable forest management and prosperity for rural community adjacent to forest area. To pursue the objective several local communities work closely with non-governmental organizations (NGOs) to get financial support from international funding agencies . There is a need to improve the role of NGOs and their strategy in order to work effectively with the local communities. The thesis provides analytical methods to evaluate the role and strategy of the NGOs, namely performance approach and institutional development approach. The research was conducted by analyzing 9 (nine) NGOs, which are partners of the UNDP project in 2005-2007 and located in Jawa island and Lampung province. NGOs undertake its programs in 3 mainstream scope of works, first, conservation; second, technical assistance; and third, advocacy program. Each of main issues have a approach and various methods of assistance. There are many lesson learnt got by NGOs collaborating with UNDP in a particular project commenced 2005 to 2007. A part of NGOs achieved the key role in conducting the project and otherwise getting a high performance of expected target. In the some location of the project, now it has become a show window to see how they conduct the best practices in CBFM. There are 3 NGOs successfully undertakeing best ways, namely Persepsi in achieving broad CBFM certification, Watala in getting HKm status, and Masta that successfully facilitating communities to collabotare with Perhutani through signing an MoU. The other one is still on going process in building local goverment regulation about CBFM in Indonesia. In general, CBFM programs facilitated by the NGOs have similar goal, which is pursuing government recognition on local community access to the forest area. A gap in terms of knowledge regarding forest management and the effectiveness of advocacy may become an obstacle in achiving the objective of CBFM. The most intriguing result of the research is that the succesfulness of NGOs program in CBFM relies on the hand of government. It is up to local and central government regulations may or may not recognizes the access of local community to the forest.

(14)

RINGKASAN

WAHYU FATHURRAHMAN RIVA. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Konteks Pembangunan Daerah: Kasus Mitra Proyek UNDP di Wilayah Jawa dan Lampung. Dibimbing oleh PARULIAN HUTAGAOL dan PATRICE LEVANG

Tingkat kerusakan hutan yang cenderung meningkat dan melemahnya kapasitas masyarakat sekitar hutan akibat kebijakan pemerintah dalam pengelolaan hutan telah memicu munculnya paradigma baru yaitu pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM). PHBM ini bertujuan untuk mewujudkan hutan lestari dan masyarakat sejahtera. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, masyarakat dibantu LSM yang sebagian besar mendapatkan pendanaan dari lembaga donor luar negeri.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM serta merumuskan strategi peningkatan peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM. Penelitian ini dilakukan pada 9 LSM mitra proyek UNDP periode 2005-2007 di wilayah Jawa dan Lampung. Penelitian ini menggunakan 2 metode analisis, yaitu analisis kinerja LSM dalam program PHBM dan analisis pengembangan kelembagaan institusi lokal.

Dalam menjalankan programnya, LSM terbagi menjadi 3 isu utama, yaitu isu konservasi, pendampingan teknis, dan isu advokasi. Setiap isu utama mempunyai pendekatan dan metode pendampingan yang beragam. Penelitian ini menemukan bahwa sebagian besar LSM mempunyai peran utama untuk membantu masyarakat dapat memperoleh hak akses terhadap sumberdaya hutan. Selain itu juga berperan bersama masyarakat untuk mengusung kelestarian sumberdaya hutan dan sebagian kecil fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hanya sebagian kecil LSM yang berperan untuk melakukan ketiga tujuan tersebut secara bersamaan.

Dalam menjalankan programnya di bidang konservasi, LSM memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibanding dengan bidang pendampingan teknis dan advokasi. Hal ini disebabkan ukuran keberhasilan terhadap program yang bersifat konservasi baru dapat dipetik dalam hitungan jangka panjang. Sementara masyarakat lebih menginginkan adanya program yang bersifat jangka pendek dan dapat segera dinikmati hasilnya.

(15)

Dalam melakukan proyek UNDP, LSM banyak bersentuhan dengan pemerintah daerah. Keterlibatan pemerintah daerah mempunyai keragaman metode dan pendekatan yang dilakukan bersama dengan LSM. Pemerintah daerah yang terlibat dalam program diantaranya adalah Dinas Kehutanan Kabupaten dan Propinsi, Taman Nasional, Taman Hutan Raya (Tahura), Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Propinsi, Departemen Kehutanan, Perum Perhutani, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). LSM berperan penting dalam proses negosiasi dan advokasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan, misalnya dalam proses penyusunan kebijakan pemerintah daerah.

Peran LSM dalam pendampingan masyarakat di Lampung difokuskan pada upaya memperoleh kepastian pengelolaan kawasan hutan lindung, melalui ijin hutan kemasyarakatan (HKm). Kebijakan HKm yang menempatkan masyarakat sekitar sebagai pelaku utama dalam pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam selain bertujuan untuk perbaikan fungsi lingkungan juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melalui skema HKm, masyarakat membuat rencana pengelolaan dan melaksanakan kegiatan pemulihan sumberdaya hutan, menjaga kawasan yang masih berhutan secara swadaya serta melakukan pengamanan terhadap areal yang menjadi tanggung jawab masyarakat. LSM juga telah berperan penting dalam proses pendampingan masyarakat sekaligus juga berperan dalam melakukan advokasi kepada pemerintah daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di daerahnya.

Peran LSM masih perlu ditingkatkan untuk isu pendampingan teknis, misalnya dalam sertifikasi PHBM. Sampai saat ini memang belum muncul insentif yang signifikan yang diterima oleh masyarakat melalui sertifikasi ekolabel. Insentif ini seharusnya muncul dari berbagai pihak khususnya dari pemerintah daerah. Hal ini disebabkan hutan-hutan yang ditanami oleh masyarakat tersebut merupakan lahan milik yang memang dari sisi aturan hukum tidak dibebani menjadi hutan. Atas kesadaran dari masyarakat sendiri, mereka telah mampu menghutankan kembali hutannya sehingga dapat memberikan nilai tambah baru bagi masyarakat sebagai pengelola hutan. Peran LSM diharapkan lebih besar dalam pengembangan pemasaran dan tata niaga perdagangan kayu yang bersertifikat ekolabel.

Banyak pelajaran berharga yang diperoleh oleh LSM-LSM yang menjadi mitra proyek UNDP mulai tahun 2005-2007. Beberapa LSM telah berperan penting dan berhasil sesuai dengan harapan yang diinginkan bahkan ada LSM yang dapat melebihi target yang ingin dicapai. Beberapa lokasi proyek juga telah menjadi best practices bagi wilayah lainnya dalam program PHBM karena besarnya peran LSM. Terdapat 3 LSM yang berhasil dan dapat dijadikan best practices, yaitu Persepsi dengan sertifikasi ekolabel, Watala dengan perolehan HKm, dan Masta yang berhasil memfasilitasi masyarakat untuk menandatangai MoU dengan Perhutani. Sebagian lagi masih menyusun draf Peraturan Daerah (Perda) tentang pengelolaan hutan berbasis masyarakat.

(16)

baik di tingkat masyarakat maupun di tingkat LSM, (4) sebagian besar (5 LSM) mempunyai kinerja yang baik dalam pelaksanaan program PHBM yang didanai UNDP dan sebanyak 2 LSM masing-masing memiliki kinerja yang cukup baik dan kurang baik, (5) pengembangan institusi lokal dipengaruhi oleh faktor kondisi sumberdaya lokal, faktor ekonomi-politik internasional, nasional dan lokal, serta faktor sosial-politik lokal, dan (6) keberhasilan atau kegagalan kinerja LSM tidak hanya dipengaruhi oleh kinerja LSM-nya saja, namun juga oleh kinerja pihak lainnya, terutama pemerintah.

Strategi peningkatan peran LSM dalam pelaksanaan PHBM dalam konteks pembangunan daerah dapat dilakukan melalui beberapa hal, yaitu pengembangkan kapasitas dan kelembagaan LSM, pengembangan pemberdayaan kapasitas dan kelembagaan masyarakat dampingan, pengembangan advokasi pada pemerintah daerah, dan pengembangan usaha masyarakat dampingan bersama pihak swasta.

(17)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar.

(18)

PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT

DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN DAERAH: KASUS MITRA PROYEK UNDP DI WILAYAH JAWA DAN LAMPUNG

WAHYU FATHURRAHMAN RIVA

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk melaksanakan penelitian dalam rangka penulisan tugas akhir untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi

Magister Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(19)

(20)

Judul Tugas Akhir : Peran Lembaga Swadaya Masyarakat

terhadap Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Konteks Pembangunan Daerah: Kasus Mitra Proyek UNDP di Wilayah Jawa dan Lampung

Nama Mahasiswa : Wahyu Fathurrahman Riva NRP : A 153044145

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Parulian Hutagaol, M.S Dr. Patrice Levang Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(21)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah, anugerah, dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan November – Desember 2008 ini adalah Peran Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Konteks Pembangunan Daerah: Kasus Mitra Proyek UNDP di Wilayah Jawa dan Lampung.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Parulian Hutagaol, MS dan Bapak Dr. Patrice Levang selaku dosen pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Lala M Kolopaking sebagai dosen penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukan.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh teman-teman LSM dan masyarakat dampingannya yang telah bersedia bekerja sama dengan penulis dan telah membantu selama pengumpulan data. Terima kasih juga disampaikan kepada seluruh teman-teman seperjuangan saya di Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), tempat dimana saya bekerja sekaligus belajar. Ungkapan terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh civitas akademika dan rekan-rekan mahasiswa MPD-IPB yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan sejak awal sampai terselesaikannya Tesis ini.

Penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada CIFOR melalui Bapak Dr. Patrice Levang yang telah banyak membantu penulis, baik dari dukungan pendanaan pendidikan dan penelitian ini, maupun waktu beliau yang selalu tersedia bagi penulis untuk berdiskusi dengan intensif dan produktif.

Secara khusus penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua saya, Bapak Koesjairi dan Ibu Nadlifah yang tiada henti-hentinya mendoakan dan memberikan kasih sayangnya.

Terakhir, kepada istriku tercinta: Eny Kadarti, yang selalu memberikan dukungan dan motivasi yang tinggi yang diiringi dengan doa-doanya, serta kepada putri-putriku: Salma Nisrina Riva (6) dan Avia Fathina Riva (3,5), yang telah memberikan semangat dan inspirasi yang besar bagi penulis, kepadanya Tesis ini dipersembahkan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2009

Wahyu Fathurrahman Riva

(22)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tuban, Jawa Timur pada tanggal 16 Juni 1974, sebagai anak bungsu dari pasangan Koesjairi dan Nadlifah. Pada tahun 1993, penulis lulus SMA Negeri Jatirogo, Tuban dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan dan menamatkannya pada tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Pascasarjana IPB pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah diperoleh pada tahun 2007.

Penulis bekerja pada Bagian Sertifikasi dan Akreditasi Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), sebuah organisasi berbasis konstituen yang mengembangkan sistem sertifikasi ekolabel pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Di LEI, penulis pernah menjadi Project Manager untuk Program Development Facilities (PDF) pada Small Grand Programme to operation Promoting Tropical Forest (SGP PTF) - UNDP bekerja sama dengan LEI tahun 2005 – 2007 dengan tema Implementasi PHBM di Indonesia untuk wilayah Jawa, Sumatera dan Sulawesi Tengah. Program ini telah banyak menginspirasi penulis untuk melakukan penelitian ini.

Penulis juga aktif melakukan penelitian dan audit untuk sertifikasi pengelolaan hutan lestari, sertifikasi lacak balak, dan melakukan penilaian dampak sosial pada beberapa perusahaan. Penulis juga sering menjadi narasumber pada berbagai seminar, lokakarya, dan pelatihan yang berkaitan dengan topik PHBM. Beberapa hasil penelitian dan tulisannya telah dipublikasikan di beberapa media dan buku.

(23)

DAFTAR ISI

Daftar Tabel ... iv Daftar Grafik ... v Daftar Gambar... vi Daftar Lampiran ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Rumusan Masalah ... 6 1.3. Tujuan Penelitian ... 6 1.4. Manfaat Penelitian ... 7 1.5. Ruang Lingkup Penelitian... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Kerangka Teoritis... 9 2.1.1 Karakteristik LSM ... 9 2.1.2 Sejarah Perkembangan LSM di Indonesia…… ... 11 2.1.3 Strategi Penggalangan Dana …… ... 14 2.1.4 Perkembangan Lembaga Donor di Indonesia ... 17 2.1.5 Praktik Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat ... 22 2.1.6 Pengukuran Peran LSM ... 26 2.2. Kajian Penelitian Terdahulu... 32

III. METODE PENELITIAN ... 37

3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian... 37 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 42 3.3. Pendekatan Penelitian ... 43 3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 43 3.5. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data... 45 3.5.1 Analisis Kinerja... 45 3.5.1.1. Penentuan Elemen Kinerja ... 45 3.5.1.1. Pembobotan Elemen Kinerja... 47 3.5.2 Analisis Pengembangan Institusi Lokal ... 49 3.6. Metode Perancangan Program ... 52

IV. GAMBARAN UMUM LSM ... 54

(24)

4.3. Program PHBM oleh LSM bersama UNDP ... 60

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 64

5.1. Elemen Kinerja LSM dalam Program PHBM ... 64 5.1.1. Relevansi Visi dan Misi terhadap Program PHBM ... 65 5.1.2. Kinerja Pelaksanaan Program PHBM... 67 5.1.3. Kinerja Pengelolaan Keuangan dalam Program PHBM ... 80 5.1.4. Kinerja Tata Laksana dalam Program PHBM ... 83 5.1.5. Kinerja Administrasi dalam Program PHBM ... 86 5.1.6. Legitimasi Sosial dalam Program PHBM ... 90 5.2. Penilaian Kinerja LSM dalam Program PHBM... 92 5.2.1. Penilaian Kinerja untuk Setiap Elemen... 92 5.2.2. Penilaian Kinerja untuk Setiap LSM... 94 5.3. Analisis Pengembangan Institusi Lokal... 102 5.3.1. Pengaturan Tata Kuasa Tenurial dan Tata Guna Lahan... 102 5.3.2. Pengaturan Tata Produksi ... 104 5.3.3. Pengaturan Tata Konsumsi ... 105 5.4. Peran UNDP dalam Program PHBM... 109 5.5. Strategi Peningkatan Kinerja LSM dalam Pembangunan Daerah ... 110

VI. RESPON MASYARAKAT TERHADAP PELAKSANAAN PHBM ... 113

6.1. Respon Masyarakat pada Isu Konservasi ... 113 6.2. Respon Masyarakat pada Isu Pendampingan Teknis ... 115 6.3. Respon Masyarakat pada Isu Advokasi ... 117

VII. PERAN PEMERINTAH DALAM PELAKSANAAN PROGRAM

PHBM DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN DAERAH ... 120

7.1. Kasus di Lampung Barat ... 121 7.2. Kasus di Jawa Tengah ... 123

VIII. RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS ... 127

8.1. Rancangan Program Peningkatan Peran LSM ... 127 8.2. Prioritas Program Strategis ... 128 8.2.1. Perencanaan dan Pelaksanaan Program ... 128 8.2.2. Monitoring dan Evaluasi ... 131

IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 140

(25)

DAFTAR PUSTAKA... 142

(26)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Identifikasi LSM Kehutanan yang Menjadi Fokus Penelitian ... 43

Tabel 2. Jenis dan Sumber Data Penelitian... 45

Tabel 3. Bentuk Lembaga dan Tahun Berdiri LSM ... 54

Tabel 4. Analisis Terhadap Fokus Visi Setiap LSM... 57

Tabel 5. Analisis Terhadap Misi Setiap LSM... 57

Tabel 6. Identifikasi Visi dan Misi LSM... 58

Tabel 7. Analisis Fokus dan Lokasi Proyek UNDP ...61

Tabel 8. Tujuan dan Fokus LSM sebagai Mitra dalam Proyek SGPPTF UNDP Periode 2005 – 2007... . . 63

Tabel 9. Penilaian Kinerja Elemen Visi dan Misi... 66

Tabel 10. Hasil Penilaian Kinerja Elemen

Program... 67

Tabel 11. Pengalaman LSM di Lokasi Proyek dan Fokus Proyek UNDP...

70

Tabel 12. Manfaat Proyek UNDP yang Dirasakan oleh Masyarakat... 75

Tabel 13. Penilaian Kinerja Elemen

Keuangan... 81 Tabel 14. Penilaian Kinerja Elemen Tata

(27)

Tabel 15. Penilaian Kinerja Elemen Administrasi... 87

Tabel 16. Penilaian Kinerja Elemen

Legitimasi... 91

Tabel 17. Instrumen yang digunakan LSM untuk Masyarakat dalam Memperoleh Pengakuan... . 92

Tabel 18. Peringkat Kinerja LSM dalam Program PHBM... 97

Tabel 19. Kelebihan dan Kelemahan LSM dalam Program PHBM... 98

Tabel 20. Instrumen Pengakuan yang dikembangkan LSM dan Tujuan Utama Proyek UNDP

... 103 Tabel 21. Capaian LSM dalam Proyek UNDP periode 2005-2007...

103

Tabel 22. Bentuk Kelembagaan di Masyarakat yang Dikembangkan LSM ... 106

Tabel 23. Matrik Perencanaan Program ...

133

(28)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Rekapitulasi Penilaian Kinerja Berdasarkan Elemen Kinerja... 93

Grafik 2. Rekapitulasi Penilaian Kinerja LSM dalam Program PHBM... 95

(29)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian... 41

Gambar 2. Kerangka Konseptual Pengembangan Institusi Lokal ... 51

(30)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Identifikasi fokus proyek dari LSM Kehutanan yang Menjadi Mitra SGPPTF UNDP periode 2005 – 2007 ... 148

Lampiran 2. Pedoman Pertanyaan Umum untuk LSM ... 149

(31)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan sumberdaya alam hayati yang tinggi baik dalam jumlah maupun keanekaragamannya. Dalam hal ini Indonesia merupakan negara mega-biodiversity di peringkat dua dunia setelah Brazilia. Keanekaragaman biodiversitas tersebut tercermin dari 90 tipe ekosistem hutan dengan beragam kekayaan spesies flora dan fauna yang dimiliki (Bappenas, 2003). Selain ekosistemnya, didalam dan disekitar hutan juga terdapat masyarakat yang tinggal dan hidup didalamnya. Masyarakat yang tinggal di dalam dan disekitar hutan ini mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Secara umum wilayah tersebut mempunyai aksesibilitas yang rendah terhadap pendidikan, kesehatan dan pasar. Kebijakan pemerintah selama kurang lebih tiga dekade terakhir yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin telah membuat masyarakat yang tinggal didalam dan disekitar hutan semakin termarjinalkan. Mereka juga tidak dapat menikmati pemanfaatan hasil hutan dari kegiatan logging.

Menurut Brown (2004), masyarakat yang tinggal di dalam dan disekitar hutan di luar Pulau Jawa sekitar 48,8 juta orang. Dari jumlah itu, 10, 2 juta orang

miskin (Sunderlin, 2000) tinggal dan hidup di sekitar hutan alam serta sekitar 6 juta kepala keluarga telah melakukan perladangan bergilir secara turun temurun.

Banyak masyarakat yang hidup secara tradisional dengan menerapkan strategi ekonomi melalui kombinasi antara kegiatan berladang untuk mendapatkan padi, menanam tanaman palawija, berburu, memanen dan menjual kayu, mengumpulkan dan menjual hasil hutan bukan kayu (non timber forest products) seperti rotan, madu, dan getah. Hasil dari kebun karet, kopi, dan tanaman lainnya juga penting sebagai sumber pendapatan masyarakat (FWI/GFW, 2001).

(32)

hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia, berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan (Dephut, 2003). Berdasarkan data terbaru dari Departemen Kehutanan (2007), rata-rata laju kerusakan hutan dalam 5

tahun terakhir sebesar 1.089.500 ha/tahun.

Kerusakan hutan Indonesia tidak hanya menyedot perhatian di tingkat nasional maupun regional, namun telah sampai pada tingkat dunia Internasional. Manifestasi dari kehancuran hutan Indonesia ini dibuktikan dengan dipecahkannya rekor Guinnes World Record yang menetapkan Indonesia pada 2007 sebagai Negara penghancur hutan tercepat. Sebagai salah satu dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90 persen hutan di dunia, Indonesia meraih tingkat laju penghancuran tercepat antara 2000 – 2005, yakni dengan tingkat 1,871 juta hektar atau sebesar 2 persen setiap tahun atau 51 kilometer persegi per hari, atau setara dengan 300 lapangan bola setiap jamnya (SKEPHI, 2007).

Namun realitasnya, kebijakan kehutanan yang diimplementasikan bagi pengelolaan hutan di Indonesia dirasakan tidak mampu secara efektif menghambat laju kerusakan hutan. Hutan Indonesia juga merupakan paru-paru dunia, yang dapat menyerap karbon dan menyediakan oksigen bagi kehidupan di muka bumi ini. Fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah juga akan terganggu akibat

terjadinya pengrusakan hutan yang terus-menerus. Hal ini akan berdampak pada semakin seringnya terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir serta tanah longsor di musim penghujan. Pada akhirnya, hal ini akan berdampak serius terhadap kondisi perekonomian masyarakat.

(33)

Program-program yang diusung oleh LSM ini mendapat dukungan yang besar dari lembaga donatur terutama dari international funding agency yang concern terhadap pengembangan PHBM. Bentuk dukungan yang diberikan lembaga donatur dalam program community forestry diantaranya adalah program pemberdayaan masyarakat dan program pengembangan kemitraan (partnership).

Sejak tahun 1990-an, perkembangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia sangat luar biasa, bagai jamur di musim hujan, terutama sejak runtuhnya rezim Orde Baru. Namun tidak ada data yang pasti berapa jumlah LSM di Indonesia. Malik (2004) mencatat bahwa pada awal tahun 1990-an, LSM di Indonesia mengalami puncak perkembangannya yang berjumlah 13.500. Menurut Ibrahim (2004), jumlah LSM sebagai komponen yang paling visible dan vocal dari Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang hanya beberapa ribu, di masa Orde Baru telah meningkat menjadi puluhan ribu.

Kehadiran LSM di Indonesia, menurut Culla (2006), dipicu oleh faktor kesempatan politik dan beroperasinya lembaga-lembaga donor internasional yang menjadi pendorong lahirnya banyak LSM, juga disebabkan oleh kekecewaan sebagian tokoh/pemimpin terhadap pemerintah yang menunjukkan indikasi penyimpang dari komitmen awal untuk membangun tatanan masyarakat berkeadilan dan demokratis lebih baik ketimbang era sebelumnya.

Tumbuh dan menjamurnya LSM di era Reformasi merupakan fenomena yang menarik untuk dicermati. Menurut Abidin (2004a), pertumbuhan LSM itu di satu sisi bisa diangap sebagai simbol kebangkitan masyarakat sipil dalam memperjuangkan kepentingan dan hak-haknya. Masyarakat mulai kritis dan mampu menampilkan wacana tandingan terhadap wacana dan kebijakan yang disodorkan oleh negara.

(34)

Menurut Afiff (2007), isu yang sering diangkat oleh LSM ini diantaranya adalah tentang kepastian akan akses dan kontrol terhadap lahan dan sumberdaya hutan. Masalah kepastian tenurial banyak dipersoalkan karena mayoritas dari kawasan kelola masyarakat seringkali tumpang tindih dengan kawasan yang diklaim oleh negara sebagai kawasan hutan.

Program pengembangan masyarakat (community empowerment) yang dilakukan oleh LSM diantaranya adalah mengembangkan kapasitas dan keahlian komunitas yang secara signifikan dapat mengurangi tekanan pada sumberdaya hutan. Selain itu juga untuk membangun kapasitas dan jaringan kerja pemangku kepentingan para komunitas untuk mencapai pengelolaan hutan yang ramah lingkungan dan ramah komunitas sehingga keterkaitan pada pemangku kepentingan lain dapat memenuhi kebutuhan dasar dan jasa-jasa lainnya.

Tumbuhnya perhatian, pengakuan, dan dukungan dari para peneliti dan aktivis LSM terhadap pola-pola PHBM merupakan satu gejala positif. Paling tidak semua itu telah membuka wawasan dan harapan baru bagi terwujudnya sistem PHBM yang berkelanjutan di masa yang akan datang, yang akan mampu menggantikan pola pengelolaan yang sangat exploitatif selama ini (Lubis, 2000).

LSM juga dituntut untuk dapat mengembangkan inisiatif lokal dalam mempromosikan pemanfaatan dan penggunaan hutan secara berkelanjutan dan

inisiatif lainnya untuk mengembangkan ekonomi lokal yang akan memberikan nilai tambah terhadap komunitas yang hidupnya bergantung pada hutan. Pada saat yang sama inisiatif ini juga diharapkan menjaga pemanfaatan lestari dari sumberdaya hutan (Abidin, 2004b).

Namun disisi lain, kadang beberapa program yang dilakukan oleh LSM belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam penyusunan proposal, terkadang masyarakat tidak dilibatkan dari awal sehingga terjadi lack/gap antara kebutuhan masyarakat dan kepentingan LSM itu sendiri. Terkadang masyarakat hanya dijadikan sebagai alat justifikasi untuk memperoleh dukungan finansial dari lembaga donor.

(35)

finansial. Hal ini disebabkan karena LSM sebagai organisasi nirlaba seringkali menetapkan tujuan yang sangat jangka panjang yang tidak memungkinkan untuk dicapai dalam waktu yang singkat. Padahal kebutuhan ukuran keberhasilan pencapaian tujuan dan kinerja sama pentingnya antara organisasi nirlaba dan organisasi privat.

Secara umum, LSM yang ada saat ini juga cenderung memiliki citra negatif. LSM yang ada saat ini memiliki manajemen yang tertutup serta orientasi proyek. Alokasi penggunaan dana sering kali tidak tepat sasaran baik dikarenakan ketidakjelasan program kerja maupun ketiadaan koordinasi yang baik antar-LSM yang berada dalam satu wilayah (Abidin, 2004b).

Tantangan mengenai pentingnya akuntabilitas yang harus dihadapi LSM sesungguhnya tidak lepas dari tanggungjawabnya. Secara umum, tanggungjawab LSM dapat dibagi ke dalam tiga kategori. Pertama, tanggung jawab organisasional, termasuk diantaranya transparansi dalam pembuatan keputusan dan keuangan, efisiensi dan efektivitas dalam bekerja serta penghormatan terhadap hukum hak asasi manusia dalam setiap kegiatan dan tindakan LSM. Kedua, tanggung jawab untuk melaksanakan apa yang tercantum dalam misi organisasi seperti melindungi hak-hak kaum miskin dan tertindas, pengentasan kemiskinan, perlindungan lingkungan hidup, dan sebagainya. Ketiga, tanggung

jawab terhadap semua pemangku kepentingan (stakeholders) yang dipengaruhi atau terlibat dalam aktivitas LSM.

(36)

pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat yang terpadu. Untuk itu, penelitian ini akan melakukan analisis penilaian kinerja yang menyeluruh terhadap beberapa LSM dalam program pengembangan PHBM yang menjadi mitra SGP PTF UNDP.

1.2. Rumusan Masalah

Kerusakan hutan yang cenderung meningkat dan kebijakan pemerintah yang tidak mendukung terwujudnya kelestarian sumberdaya hutan, mendorong terjadinya perubahan paradigma dari state-based forest management (pengelolaan hutan berbasis negara) ke paradigma PHBM. Dalam pelaksanaan PHBM ini, masyarakat mengalami kendala. LSM sebagai lembaga pendorong dan agen perubahan berupaya membantu masyarakat menuju tujuan PHBM lestari dan masyarakat sejahtera. Berkaitan dengan kondisi tersebut, maka rumusan masalah pertama adalah bagaimana peran LSM dalam program PHBM?

Program yang dilakukan LSM mempunyai keragaman metode, pendekatan, dan sebaran yang berbeda-beda. Pendampingan ini juga bersentuhan dengan pemerintah dan piha-pihak lainnya. Terkait dengan kondisi tersebut, maka rumusan masalah kedua adalah bagaimana strategi peningkatan peran LSM dalam program PHBM di Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengkaji dan menganalisis peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM. 2. Merumuskan strategi peningkatan peran LSM dalam pelaksanaan program

(37)

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi LSM Kehutanan, hasil penelitian ini memberikan kontribusi terhadap upaya peningkatan kinerjanya dalam program pengembangan masyarakat. Hasil penelitian ini juga dapat dipergunakan sebagai salah satu instrumen untuk memantau dan mengukur pencapaian kinerja LSM sesuai dengan pencapaian visi dan misinya

2. Bagi Pemerintah, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan dan masukan dalam mengukur dan merumuskan strategi pengorganisasian, penataan, dan konsolidasi, khususnya pada LSM-LSM yang saat ini ada dan akan semakin berkembang ke depan guna mendukung tujuan pembangunan daerah dalam jangka panjang. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi masukan kepada pemerintah untuk menyusunan kebijakan bagi tercapainya kemitraan antar stakeholders, khususnya dengan LSM Kehutanan.

3. Bagi ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu referensi kajian pengembangan pengetahuan tentang LSM dan pengembangan masyarakat

4. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan wahana sekaligus sarana dalam mempraktekkan pengetahuan Manajemen Pembangunan Daerah yang

ditekuni.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dibatasi pada tingkat organisasi pelaksana LSM-LSM Kehutanan di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Lampung yang ditujukan untuk menghasilkan sejumlah rekomendasi dalam rangka pencapaian kinerja LSM Kehutanan yang optimal di masa yang akan datang.

Pemilihan responden terpilih ini didasarkan pada beberapa hal, diantaranya adalah:

1. Pola pendampingan oleh LSM Kehutanan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat sekitar hutan;

(38)

(39)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerangka Teoritis 2.1.1. Karakteristik LSM

Istilah LSM di Indonesia sesungguhnya adalah pengganti istilah non-govermental organization (NGO) atau Ornop. Menurut Tim Fasilitasi LP3ES untuk Kode Etik (2004), istilah ini diperkenalkan pada awal tahun 1980-an, karena istilah NGO dapat menimbulkan kesan dan interpretasi sebagai antipemerintah, sesuatu yang tidak disukai rezim Orde Baru pada waktu itu. Istilah LSM menunjuk pada beberapa bentuk organisasi atau kelompok dalam masyarakat yang secara hukum bukan merupakan bagian dari pemerintah (non-goverment) dan bekerja tidak untuk mencari keuntungan (non-profit).

Menurut Eldridge (2006), terdapat tiga model pendekatan yang dilakukan oleh Ornop Indonesia dalam rangka menjali hubungan dengan pemerintah. Pertama, high-level partnership: grassroots development. Ornop ini menekankan kerjasama dalam program-program pembangunan pemerintah seraya berusaha memperngaruhi rancangan maupun implementasi program-program ini agar bergerak ke arahyang lebih partisipatoris serta menyentuh dan melibatkan akar rumput. Kedua, high level politics: grassroots mobilization. Ornop ini mempunyai kecenderungan untuk aktif dalam kegaitan politik. Ketiga,

empowerment at the grassroots. Ornop yang memusatkan perhatian pada usaha peningkatan kesadaran dan pemberdayaan masyarakat, terutama di tingkat akar rumput.

Menurut Tim Fasilitasi LP3ES untuk Kode Etik (2004), merujuk pada kegiatan-kegiatan yang dilakukannya, maka Ornop dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu: (1) Ornopyang terlibat dalam kegiatan amal (charity), (2) Ornop yang bergerak dalam bidang kegiatan yang berorientasi pada perubahan dan pembangunan serta pengembangan masyarakat, (3) Ornop yang tidak hanya bergerak dalam pelayanan masyarakat, tetapi juga melakukan pembelaan (advokasi).

(40)

permanen, mempunyai kantor dengan seperangkat aturan dan prosedur; (2) Swasta, artinya kelembagaan yang berada di luar atau terpisah dari pemerintah; (3) Tidak mencari keuntungan, yaitu tidak memberikan keuntungan (profit) kepada direktur atau pengurusnya; (4) Menjalankan organisasinya sendiri (self-governing), yaitu tidak dikontrol oleh pihak luar; (5) Sukarela (voluntary), yaitu menjalankan derajat kesukarelaan tertentu; (6) Nonreligius, artinya tidak mempromosikan ajaran agama; dan (7) Nonpolitik, yaitu tidak ikut dalam pencalonan di pemilu

Lebih lanjut menurut Fakih (1996), Ornop dapat digolongkan menjadi tiga tipologi, yaitu: (1) Tipe konformis. Ornop ini bekerja berdasarkan paradigma bantuan karikatif yang berorientasi pada proyek dan bekerja sebagai organisasi yang menyesuaikan diri dengan sistem dan struktur yang ada; (2) Tipe reformis. Ornop ini bekerja didasarkan pada ideologi modernisasi dan developmentalism serta menekankan pada partisipasi rakyat dalam pembangunan; (3) Tipe transformatif. Ornop ini berusaha menemukan paradigma alternatif yang akan mengubah struktur dan suprastruktur yang menindas rakyat serta membuka kemungkinan bagi rakyat untuk mewujudkan potensi kemanusiaannya.

Wirasapoetra (2004) menjelaskan bahwa ada beberapa pendorong tumbuhnya LSM di Kalimantan Timur berdasarkan pengamatan selama 20 tahun

terakhir ini. Pertama, LSM yang tumbuh atas dasar kepedualian terhadap kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang memperoleh perlakukan tidak adil oleh rezim Orde Baru. Kedua, LSM yang tumbuh atas dasar kepedulian terhadap kondisi masyarakat dan alam, atau sebagai tindak lanjut dari program terdahulu yang menghasilkan ikatan kerjasama antar pesertanya. Ketiga, LSM yang tumbuh atas dasar hasil kolaborasi beberapa LSM untuk menangani masalah secara spesifik.

(41)

dikuasai pemerintah juga. Karena itu, advokasi lebih banyak dilakukan lewat bantuan media massa dan lewat pertemuan-pertemuan publik. Advokasi juga dilakukan melalui jaringan-jaringan yang ada maupun lewat pembentukan koalisi-koalisi.

Karakteristik LSM yang beragam ini juga diikuti dengan beragamnya pola dan metodologi pendampingan, isu-isu yang diangkat dan dikembangkan serta sebaran program yang dijalankan. Keberagaman ini akan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik, dan lingkungan di masing-masing wilayah.

2.1.2. Sejarah Perkembangan LSM di Indonesia

Tradisi untuk membangun organisasi masyarakat untuk membantu dan mendorong penyelesaian krisis di masyarakat dimulai pada abad ke-17 di Inggris. Aktor-aktor utamanya berasal dari kalangan agama dan kalangan swasta profesional. Tradisi ini menguat pada saat perang dunia ke satu dan kedua pada awal abad ke-20, dengan lahirnya berbagai LSM internasional di Eropa untuk penanggulangan krisis akibat perang, seperti kelaparan, kemiskinan, pengungsi, pelarian politik, dan kekerasan yang dilakukan oleh negara kepada masyarakat (Korten, 1993).

Menurut Malik (2004) di Indonesia, kelahiran dari beberapa organisasi dari

masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat atau populer disebut LSM pada tahun 1970-an dilihat dari krisis yang terjadi pada negara Indonesia, kemiskinan, kerusakan lingkungan, pelarian politik, kekerasan oleh negara, pada dasarnya tidak berbeda dengan sejarah kelahiran LSM Internasional.

(42)

Sejak tahun 1990-an, perkembangan LSM di Indonesia sangat luar biasa, bagai jamur di musim hujan. Namun tidak ada data yang pasti berapa jumlah LSM di Indonesia (SMERU, 2000). Namun Malik (2004) mencatat bahwa pada awal tahun 1990-an, LSM di Indonesia mengalami puncak perkembangannya yang berjumlah 13.500.

Menurut Ibrahim (2004), jatuhnya rezim otoriter Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998 sebagai akibat dari krisis ekonomi yang sangat parah, yang kemudian diikuti dengan proses transisi menuju demokrasi telah membawa perubahan-perubahan antara lain berupa pertumbuhan yang sangat lura biasa dari organisasi dan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang disebut dengan organisasi masyarakat sipil (OMS). Jumlah LSM sebagai komponen yang paling visible dan vocal dari Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang hanya beberapa ribu, di masa Orde Baru telah meningkat menjadi puluhan ribu.

Berdasarkan Halim (2000), menjamurnya LSM merupakan respon atas lambatnya pemerintah dan lembaga-lembaga komersial mengantisipasi dinamika perubahan sosial kemasyarakatan. Kelambanan pemerintah dalam konteks ini, bukanlah disebabkan oleh lemahnya kemampuan teknis dan dana operasional, tetapi lebih pada lemahnya pemihakan negara (pemerintah) terhadap pemenuhan

kebutuhan esensial komunitas rakyat.

Tumbuh dan menjamurnya LSM di era Reformasi merupakan fenomena yang menarik untk dicermati. Menurut Abidin (2004), pertumbuhan LSM itu di satu sisi bisa diangap sebagai simbol kebangkitan masyarakat sipil dalam memperjuangkan kepentingan dan hak-haknya. Masyarakat mulai kritis dan mampu menampilkan wacana tandingan terhadap wacana dan kebijakan yang disodorkan oleh negara.

(43)

Namun di sisi lain, berbagai penyelewengan dan perilaku miring sebagian LSM telah menodai reputasi lembaga nirlaba lainnya. Mereka menilai perilaku miring itu sebagai ancaman besar terhadap eksistensi lembaga nirlaba yang mengandalkan kepercayaan publik dalam menjalankan program dan organisasinya.

Dengan diberlakukannya UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan mulai tanggal 6 Agustus 2002 maka diharapkan dalam jangka panjang akan berdampak kepada pengelolaan sektor nirlaba yang didasarkan kepada prinsip-prinsip good governance. Meskipun UU ini belum diimplementasikan secara penuh, namun UU ini akan mempunyai dampak yang luas terhadap governance sektor nirlaba di Indonesia, termasuk LSM. Hal ini mengingat bahwa, menurut Ibrahim (2004) lebih dari 95% LSM di Indonesia berbadan hukum yayasan dan sedikit sekali yang mempunyai badan hukum perkumpulan.

Sayangnya, pemberlakuan UU ini tertunda karena mendapatkan banyak penolakan dari kalangan LSM sendiri. Penolakan ini terjadi karena sebagian besar aktivis LSM menilai UU ini telah menempatkan LSM dalam posisi canggung, ketat dan intervensif, kurang cocok dengan peran dan fungsi ideal LSM. Menurut Abidin (2004), UU ini juga dinilai bisa membuhun ribuan yayasan kecil yang berada di daerah-daerah, yang secara riil memang melakukan

kegiatan penyantunan dan pemberdayaan masyarakat. Dengan keluarnya UU tersebut, disamping menghadapi persoalan tentang citra dan jati dirinya sendiri, LSM saat ini juga menghadapi dilema status hukum yang berimplikasi pada hubungannya dengan negara.

(44)

di sis lain. Mereka berpendapat LSM perlu mengatur dirinya sendiri melalui mekanisme pengaturan diri atau self-regulation mechanism.

Perkembangan ini kiranya menarik untuk dicermati dan dikaji lebih dalam karena berkaitan dengan perkembangan wacana good governance. Tidak hanya pemerintah dan kelompok bisnis saja yang dituntut untuk menerapkan good government dan good corporate governance, namun keberadaan sebuah komunitas good non-govermental organization sebagai elemen penting dalam tubuh civil society menjadi sangat penting dalam menyangga keberlangsungan proses transisi demokrasi di Indonesia.

2.1.3. Strategi Penggalangan Dana

Saat ini banyak LSM di Indonesia yang pendanaannya masih bergantung pada pihak asing. LSM tersebut sangat sulit melepaskan diri dari bantuan lembaga donor. Ketergantungan LSM pada pihak asing tersebut tidak baik jika berlangsung secara terus-menerus dan permanen. Ketergantungan ini tidak hanya dapat mengubah style LSM, akan tetapi, juga bisa mengubah paradigma dan orientasi, bahkan mungkin juga ideologi perjuangan LSM.

Penelitian yang dilakukan oleh Rustam Ibrahim (2000) pada 25 Organisasi Sumberdaya Masyarakat Sipil (OSMS) menemukan bahwa mayoritas lembaga nirlaba masih mengandalkan sumber bantuan luar negeri yang mencapai 65%, dan

sumber dalam negeri 35%. Secara lebih rinci, sumber dalam negeri ini terutama adalah hasil usaha sendiri (33%), sumbangan perusahaan dan dana abadi (masing-masing 17%), donasi individu menyumbang 14%, sisanya dalam jumlah yang kecil bersumber dari pemerintah (5%), sumbangan ornop (3%), dan sumber lainnya (11%).

Lembaga nirlaba yang beruntung, akan mendapatkan dana dalam jumlah besar selama bertahun-tahun dari satu atau dua sumber dana, dapat terlena seolah-olah dana akan tersedia terus menerus. Akibatnya, ketika sumber dana utama menghentikan bantuan maka lembaga ini dapat secara tiba-tiba dalam kondisi kritis karena tidak menyiapkan kondisi finansial yang lebih mapan. Sumber dana yang tidak bervariasi dapat menjerumuskan lembaga nirlaba (Widjajanti, 2006)

(45)

mendapat bantuan dana dari luar negeri, khususnya dari Belanda (Novib), Belgia, dan Kanada. Bantuan itu digunakan untuk operasional YLBHI setiap bulan minimal Rp 900 juta untuk overhead dan operasionalisasi program. Setahun YLBHI membutuhkan dana lebih kurang Rp 10 Milyar. Kini setelah YLBHI tidak menerima bantuan terutama dari Novib, YLBHI kemudian mengalami kesulitan untuk membayar gaji para karyawan dan operasionalisasi program. Karena itu, mulai diupayakan penggalangan dana publik. Namun, ternyata tidak mudah menggalang dana publik, sebab publik pun pasti menuntut akuntabilitas dan transparansi pembukuan. Ironinya, LSM yang memposisikan diri untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap lembaga pemerintahan, namun selama ini tidak ada mekanisme kontrol publik atas pembukuan LSM itu sendiri (Kompas, 26 April 2007).

Menurut Abidin (2004), sebagian besar LSM yang beradvokasi menggalang dana (fundraising), khususnya dana lokal, adalah pekerjaan yang sulit. Sebagian kalangan aktivis LSM berpendapat bahwa penggalangan dana lokal mustahil dilakukan karena kapasitas menyumbang masyarakat terbilang kecil. Selain itu, mereka berpandangan bahwa masyarakat cenderung menyumbang program atau kegiatan yang bersifat karikatif atau penyantunan. Ini bisa dilihat dari melimpahnya dukungan pendanaan kepada lembaga yang bergerak dibidang

pengentasan kemiskinan, penyantunan anak yatim piatu dan jompo, atau membantu korban bencana. Sementara lembaga sosial yang bergerak di bidang penegakan hukum dan HAM, penyelamatan lingkungan, advokasi kebijakan publik, pemberdayaan perempuan, dan bidang-bidang advokasi lainnya kurang mendapatkan dukungan.

(46)

lembaga donor ketimbang menggalangya dari masyarakat. Akibatnya, berbagai program dan agenda perubahan yang diusung oleh LSM tidak banyak didukung oleh publik dan dinilai sebagai agenda lembaga donor asing (Abidin, 2004).

Hal ini sejalan dengan Kuswardono (2004), yang mengatakan bahwa di sisi penerima dana, persoalan pendanaan adalah persoalan yang genting dan cenderung kronis. Dalam keberadaannya yang lebih dari 30 tahun, ornop-ornop di Indonesia, terutama golongan yang biasa disebut dengan LSM, amat bergantung pada dana negara-negara Utara.

Menurut Widjajanti (2006), strategi mobilisasi sumber daya sangat beragam. Ketersediaan sumber dana yang beragam memerlukan kreatifitas strategi untuk menggalangnya. Kreatifitas yang terhambat tidak akan menghantar lembaga ke berbagai sumber daya yang dapat diakses. Banyak lembaga nirlaba masih tergantung pada lembaga dana. Sumber lain kerap kali sulit dijangkau, memerlukan lebih banyak kerja keras, dan sering kali memberikan dalam jumlah dan waktu erbatas. Akibatnya lembaga dana masih menjadi sumber utama dari hidupnya lembaga nirlaba.

Gagasan untuk menciptakan dana sendiri melalui unit usaha bukan tidak populer di kalangan aktivis LSM, namun isu ini masih menjadi perdebatan. Secara teknis banyak LSM yang tidak terbiasa mengelola usaha yang komersial

atau profit oriented. Namun dalam kenyataannya, beberapa organisasi mengelola unit usahanya secara profesional dalam badan usaha yang komersial dan merekrut tenaga-tenaga ahli di bidangnya. Sementara beberapa organisasi lain juga membuat unit usaha, namun pengelolaannya masih dilakukan secara semi profesional dan melibatkan pengurus maupun staf lembaga yang notabene nirlaba (Saidi, 2004a).

(47)

dengan ketidakpercayaan, terutama kepada penggalang dana/fund raiser (34%), organisasinya (9%), maupun kegiatan/misi organisasi yang bersangkutan (8%).

Menurut Saidi (2004a), program kerja yang disusun dengan baik dan logis akan meringankan persoalan klasik tapi pelik bagi lembaga nirlaba seperti LSM dan yayasan yaitu pendanaan. Pengelola lembaga harus mampu menyusun rencana program yang baik dan logis sehingga dapat dipahami secara baik oleh pelaksana dan donor. Program yang koheren dan logis akan meyakinkan donor untuk mendukungnya.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip penyusunan program yang terstruktur dan logis, LSM dan yayasan dapat lebih mudah mengakses lembaga donor. Dengan demikian, LSM dan yayasan dapat mendiversifikasi donor sehingga tidak tergantung pada satu lembaga pemberi dana saja. Selama ini tidak jarang dijumpai kesulitan LSM mengakses donor, karena program yang disusun tidak dapat dipahami dengan baik (Saidi, 2004a).

Untuk itu, LSM perlu memiliki manajemen finansial yang sehat dan staf yang handal menjalankan program agar dapat menarik kepercayaan dari para pendukungnya. Kepercayaan itu harus dibuktikan dengan keberhasilan program dan laporan finansial yang dapat dipertanggungjawabkan. Hanya program yang menunjukkan kemajuan dan perubahan pada kelompok sasaran, serta laporan

finansial yang memenuhi standar akuntabilitas dan transparansi akan memiliki kesempatan untuk terus menambah dukungannya. Tanpa adanya akuntabilitas dan transparansi maka reputasi lembaga akan dipertanyakan sehingga kemungkinan mengakses sumber dana dan sumber daya lainnya akan sulit.

2.1.4. Perkembangan Lembaga Donor di Indonesia 2.1.4.1. Gambaran Umum Lembaga Donor di Indonesia

(48)

Hal ini sangat disadari bersama karena sebagian besar LSM yang ada di Indonesia masih banyak yang menggantungkan lembaganya pada lembaga donor, baik lembaga donor nasional maupun lembaga donor internasional.

Ada lima kategori lembaga donor asing yang memberikan bantuannya kepada LSM Indonesia. Pertama, donor bilateral, yaitu lembaga pemerintah-pemerintah lura negeri yang menyalurkan bantuannya kepada LSM baik melalui pemerintah Indonesia atau langsung kepada LSM bersangkutan. Kedua, yayasan-yayasan internasional. Ketiga, LSM-LSM internasional yang memperoleh dananya dari pemerintah atau publik di negaranya masing-masing kemudian melakukan aktivitas di Indonesia bekerja sama dengan LSM Indonesia. Keempat, lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Indonesia, dan sebagainya yang memberikan pinjaman kepada pemerintah Indonesia kemudian mengontrakkan kepada LSM untuk program pengembangan masyarakat. Kelima, lembaga-lembaga pembangunan internasional yang bernaung dibawah PBB seperti UNDP, UNICEF, dan lain-lain (Ibrahim, 2004).

Menurut Kuswardono (2004), terdapat tiga tipe donor internasional. Pertama organisasi donor sukarela yang memiliki karakter, (1) aktif memperjuangkan penghapusan kemiskinan struktural, (2) sebagai kontraktor

pelayanan umum, (3) sebagai penyandang dana bagi organisasi-organisasi di negara Dunia Ketiga. Kedua, organisasi donor privat yang didirikan oleh perusahaan-perusahaan atau kaum elit Utara yang memiliki semangat filantropi yang tinggi. Ketiga, organisasi donor atau agensi pemerintah untuk bantuan luar negeri. Organisasi ini memperoleh dana langsung dari pemerintah suatu negara untuk didistribusikan sebagai hibah kepada negara penerima demi kepentingan pembangunan.

(49)

Menurut Sumarto (2003), tidak kurang dari 11 lembaga internasional penting yang memiliki program besar berkaitan dengan isu-isu partisipasi dan good governance di Indonesia. Selain World Bank (Bank Dunia) dan ADB, dapat disebtukan UNDP, USAID – termasuk di dalamnya CSSP, dan NRM-GTZ, CIDA, JICA, DFID, British Council, Ford Foundation, dan Tifa Foundation. Sedangkan ornop-ornop internasional yang memiliki program partisipasi dan good governance yang cukup penting di Indonesia saat ini adalah NDI, Pact, CARE, dan The Asia Foundation.

Selama dua dekade terakhir, sudah lebih dari 1 milyar dolar AS yang diinvestasikan lebih dari 40 donor dalam bantuan pembangunan kehutanan Indonesia. Akan tetapi, faktanya manajemen dan tata kelola kehutanan tetap buruk. Kerusakan hutan masih terus berlanjut sampai detik ini (Kompas, 22 Februari 2007). Sementara setiap tahun, Bank Dunia membagi-bagi rata-rata 22,5 milyar dolar AS bantuan pembangunan kepada penguasa korup dan untuk berbagai proyek besar yang merusak lingkungan dan memperlebar kesenjangan sosial (Hadar, 2004).

Sejak tahun 1955, Asia Foundation juga telah bermitra dengan berbagai lembaga pemerintah, organisasi masyarakat sipil dan sektor swasta. Selama lebih dari lima dekade, Asia Foundation ikut berkontribusi menjawab kebutuhan

Indonesia melalu serangkaian program seperti reformasi ekonomi, pengentasan kemiskinan, pendidikan, serta dukungan pada masyarakat sipil yang kuat dan dinamis. Asia Foundation saat ini mengelola dana hibah dan bantuan teknis sebesar 60 juta dolar AS (The Asia Foundation, 2008).

(50)

Donatur dan pemerintah lebih berminat mendukung LSM yang mengadakan campur tangan dalam pemberian bantuan peringanan dan kesejahteraan yang secara langsung menghilangkan penderitaan daripada mendukung LSM yang berupaya mengadakan perubahan struktural mendasar (Korten, 2001).

Menurut Ibrahim (2004), terdapat sekurang-kurangnya empat alasan penting mengapa lembaga donor mau bekerja sama dengan kalangan LSM. Pertama, lembaga donor sangat mendukung pelayanan yang efektif dan efisien, dimana kalangan LSM kadang-kadang dipandang lebih efektif dan efesien dalam penggunaan dana dibandingkan dengan pemerintah. Kedua, unsur-unsur layanan yang diberikan LSM, di samping program pengembangan masyarakat, juga mencakup pembangunan infrastruktur sosial dan politik dalam bentuk advokasi untuk kepentingan rakyat. Ketiga, LSM mendukung pengembangan civil society dengan memperjuangkan demokrasi, HAM, dan sebagainya. Keempat, LSM mendukung upaya perubahan kebijakan.

Lembaga donor yang berasal dari berbagai negara dengan keragaman kepedulian melalui berbagai program yang dimiliki dimaksudkan untuk membantu membuka jalan bagi berbagai kelompok masyarakat dalam mencari peluang untuk mengembangkan kegiatannya.

2.1.4.2. SGP PTF UNDP sebagai Lembaga Donor

Berdasarkan dokumen Pemangilan Proposal (SGP PTF, 2005), pada awal tahun 2005, Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Development Programme/UNDP) yang didukung oleh Komisis Eropa (European Commission/EC) dengan penanggungjawab kegiatan adalah SEARCA (SEAMEO Regional Center for Graduate Study and Research in Agriculture) menyelenggarakan program Pendanaan Kecil untuk Menunjang Pelestarian Hutan Tropis di Indonesia (Small Grants Programme for Operations to Promote Tropical Forest/SGPPTF) di Indonesia. Sekretariat SGPPTF kemudian mengundang para mitra yang bergerak di bidang penguatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat untuk terlibat dalam program SGPPTF.

(51)

wilayah yang telah ditentukan. SGPPTF berpandangan untuk berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan secara keseluruhan, memberdayakan individu dan komunitas dalam mengelola hutan dan kehutanan, menghasilkan manfaat yang adil dari barang dan jasa kehutanan yang dihasilkan dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Para mitra yang layak mengajukan proposal adalah komunitas yang bergantung pada hutan termasuk komunitas adat dan traditional, lembaga swadaya masyarakat, organisasi rakyat dan usaha kecil berbasis masyarakat yang bekerja untuk dan dengan komunitas adat dan hutan. Mitra dapat mengajukan proposal atau konsep proposal yang menangani aktifitas-aktifitas layak sebagai berikut:

ƒ Pengembangan inisiatif alternatif dan kehidupan berkelanjutan,

pengembangan kapasitas dan keahlian komunitas yang akan secara signifikan mengurangi tekanan pada sumber daya hutan;

ƒ Membangun kapasitas dan jaringan kerja pemangku kepentingan para

komunitas untuk pengelolaan yang ramah komunitas sehingga keterkaitan pada pemangku kepentingan lain dapat memenuhi kebutuhan dasar dan jasa-jasa lain; dan

ƒ Menunjang kemantapan hak pemanfaatan/penggunaan lahan dan sumber

daya alam lain, dan dengan demikian memperbaiki akses

penggunaan/pemanfaatan sumber daya alam lestari.

Aktifitas-aktifitas tersebut di atas harus mempunyai tema umum kehidupan berkelanjutan dari komunitas yang bergantung pada hutan termasuk komunitas adat dan orang asli. Tema spesifik meliputi Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Komunitas Secara Terpadu, Membangun Prakondisi bagi terciptanya lingkungan hidup yang berkelanjutan dan Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan.

(52)

maupun aset. Proyek yang diajukan harus merupakan kelanjutan dari proyek yang ada dan sudah memiliki struktur pengelolaan dasar.

Melalui seleksi yang ketat yang dilakukan oleh Sekretariat SGP PTF UNDP ini telah terpilih 25 LSM yang tersebar di wilayah Jawa, Sumatera dan Sulawesi Tengah untuk mendapatkan dukungan dana. Besarnya jumlah dana dan rentang waktu pelaksanaan program yang dilakukan oleh LSM sangat beragam. SGPPTF ini aktif berjalan mulai tahun 2005 – 2007.

2.1.5. Praktik Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Indonesia

Indonesia sebagai negara kepulauan merupakan salah satu diantara negara di dunia yang mempunyai sumber daya hutan yang besar dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Bersamaan dengan meningkatnya pengetahuan mengenai sumberdaya hutan dan apresiasi mengenai manfaat sumberdaya hutan, terlihat adanya keterkaitan dalam kerangka perkembangan sosial-budaya masyarakat bagi baik lokal maupun global. Hal ini menimbulkan paradigma baru yaitu pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari (sustainable forest management/SFM)

Saat ini, perhatian publik terhadap pengelolaan hutan lestari telah mengalami kemajuan yang pesat. Dalam kerangka itu, pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) muncul sebagai salah satu alternatif model pengelolaan hutan di Indonesia.

Makna kehutanan masyarakat seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang di lapangan. Komunitas hanya dilihat seperti sekumpulan masyarakat yang memegang teguh hukum adat atau kearifan lokal yang sudah turun temurun sejak dulu kala. Komunitas masih dianggap mempunyai tingkat bargaining position yang rendah, kemampuan yang lemah dan tanpa adanya leverages untuk merubah menuju kearah yang lebih baik. Kondisi seperti itu masih diperparah dengan lemahnya dukungan dan lindungan dari pemerintah.

(53)

Menurut Suharjito (2000), Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) adalah sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu atau kelompok suatu komunitas, pada lahan negara, lahan komunal, lahan adat atau lahan milik (individual/rumah tangga) untuk memenuhi kebutuhan individu/rumahtangga dan masyarakat, serta diusahakan secara komersial ataupun sekedar untuk subsistensi.

Keragaman PHBM di Indonesia menunjukkan variasi berdasarkan asal-usul prakarsa pengelolaannya, status lahan yang dijadikan areal pengelolaan, fungsi kawasan dari lokasi lahan pengelolaan, jenis produk utama yang diusahakan, dan kelembagaan atau organisasi sosial yang terbentuk (atau dibentuk) sebagai institusi pengelolaan hutan (LEI, 2001).

Ada tiga dimensi institusi yang dikembangkan dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang berbasis masyarakat, yaitu pengembangan institusi yang terkait dengan pengaturan tata kuasa dan tata guna lahan, pengembangan institusi yang terkait dengan tata produksi, dan pengembangan institusi yang terkait dengan tata konsumsi. Upaya dan strategi pengembangan institusi di tingkat lokal ini pada dasarnya dipengaruhi oleh sedikitnya tiga hal utama yaitu kondisi fisik dan sumberdaya alam setempat, faktor-faktor ekonomi politik pada tingkat internasional, nasional, maupun daerah, dan faktor dinamika sosial politik lokal (Tim Karsa, 2007)

Dalam Tambun, W et.al (2007), yang memuat kumpulan pengalaman pelaksanaan PHBM dan pendampingan oleh LSM yang tersebar di wilayah Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Lampung, Jambi, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur, menjelaskan bahwa praktik-praktik pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat lokal di Indonesia merupakan suatu kenyataan yang telah berlangsung turun temurun dari generasi ke generasi, tersebar di banyak tempat dan mampu mempertahankan kondisi hutan sehingga dapat berfungsi dengan baik.

(54)

beragam LSM maupun universitas/perguruan tinggi. Kegiatan pendampingan tersebar di berbagai daerah dengan konteks sosial budaya yang berbeda-beda. Sumberdaya hutan yang menjadi arena pergumulanpun berbeda-beda, baik fungsi utamanya: hutan produksi, hutan konservasi, hutan lindung, maupun ragam produknya: buah-buahan, rotan, dan kayu. Pihak-pihak yang terlibat dalam pergumulan sumberdaya hutan tersebut juga beragam kepentingan.

Social Forestry (SF) merupakan salah satu kebijakan Pemerintah dibidang kehutanan yang memberikan akses langsung kepada masyarakat dalam mengelola hutan dengan tujuan untuk membangkitkan ekonomi kerakyatan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa disekitar hutan. Perguliran kebijakan SF ini membuktikan bahwa pemerintah telah melakukan koreksi yang selama ini memposisikan masyarakat sekitar hutan termarjinalkan dengan melatakkan paradigma pembangunan kehutanan berbasis pemberdayaan masyarakat (Departemen Kehutanan, 2005).

Dari aspek kebijakan, akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan sudah cukup terbuka. Selain SF, pemerintah juga telah mengeluarkan beberapa kebijakan tentang Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa, dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Namun dalam implementasinya kebijakan ini kurang berjalan dengan baik, antara lain akibat belum berubahnya paradigma sebagian

besar aparat kehutanan dan para pihak terkait serta belum terbangunnya sistem pelayanan pemerintah untuk pengembangan sistem pengelolaan berbasis masyarakat lokal tersebut.

Masyarakat lokal dan kelompok-kelompok lokal lainnya sering mempunyai kepentingan-kepentingan terhadap hutan yang saling berbeda, atau bahkan bertentangan. Kendati demikian, banyak pemrakarsa upaya partisipatif tidak peka terhadap perbedaan-perbedaan antara kelompo

Gambar

Gambar 1.  Kerangka Pemikiran Penelitian
Tabel 1.  Identifikasi LSM Kehutanan yang Menjadi Fokus Penelitian
Tabel 2.  Jenis dan Sumber Data Penelitian
Gambar 2 dibawah ini.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Faktor eksternal adalah faktor-faktor dari luar diri individu yang diduga berhubungan dengan tingkat peran pendamping dalam membantu masyarakat mendapatkan izin