• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Propinsi Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Propinsi Riau"

Copied!
293
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KELEMBAGAAN PENYULUHAN

PERTANIAN DI PROPINSI RIAU

EL SYABRINA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAN MENGENAI TUGAS AKHIR

DAN SUMBER INFORMASI

Bersama ini saya menyatakan sebenarnya, bahwa Analisis Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Provinsi Riau Tugas Akhir adalah karya dan pemikiran saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun dan oleh siapapun kepada perguruan tinggi manapun dimana karya tulis ini murni muncul dari pemikiran saya. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah dituliskan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tugas Akhir ini.

Bogor, Februari 2009

(3)

ABSTRACT

EL SYABRINA. Analysis of Agricultural Extension Institutions in the Province of Riau. Under the Supervision of DEDI BUDIMAN HAKIM and FREDIAN TONNY.

This era of regional autonomy with its emphasis on the efficiency of institutions and improved human resources has made some changes in the extension paradigm. Different regions have different responses. Some still maintain their extension institutions as they were in the past while others have changed the extension system. The varied institutions that are responsible for agricultural extension have certainly resulted in different performance, and consequently affected the main target of agricultural development, namely farmers.

This study was intended to: (1) identify the structure of agricultural extension institutions in the regional autonomy era in the Province of Riau, (2) analyze the implementation of agricultural extensions in different institutions, and (3) analyze the effect of different extension implementation on the performance of extension workers and the degree of technological application among farmers. This is a descriptive study through a survey conducted from March to April 2008 in three regencies/towns, namely Pekanbaru, Kampar Regency and Pelalawan Regency.

The data collected for the study consist of primary and secondary data. The primary data were obtained from a structured interview by using questionnaires and a focus group discussion. The secondary data were collected by examining documents or reports from the related institutions. To determine alternative strategies in developing the extension institutions in the Province of Riau, an analysis was made on the internal and external factors, followed with a further analysis of SWOT (strengths, weakness, opportunities, and threat); and to determine the strategy priorities, the study used the method of quantitative strategic planning matrix (QSPM).

(4)
(5)

RINGKASAN

EL SYABRINA. Analisis Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Propinsi Riau. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM sebagai ketua dan FREDIAN TONNY sebagai anggota komisi pembimbing.

Sejak diberlakukannya Undang-undang Republik Indonesia No. 22 tahun 1999 yang diamandemen dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian dan Peraturuan Pemerintah No 41 tahun 2007 tentang Kelembagaan Daerah, telah mewarnai penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Penafsiran yang berbeda-beda terhadap kebijakan publik tersebut, telah merubah pranata dan struktur kelembagaan penyuluhan pertanian serta operasionalisasinya di daerah. Keragaman kelembagaan yang menangani penyelenggaraan penyuluhan pertanian mengakibatkan beragamnya kinerja penyuluhan tersebut, dan konsekuensinya berpengaruh terhadap sasaran utama pembangunan pertanian yaitu para petani. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian akan berjalan dengan baik apabila ada persamaan persepsi dan keterpaduan kegiatan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota bahkan sampai ke tingkat desa dalam satu system penyuluhan pertanian yang disepakati bersama dengan melibatkan petani, swasta dan pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam kenyataannya sekarang, masing-masing instansi berjalan sendiri-sendiri, sehingga penyelenggaraan penyuluhan pertanian menjadi tidak produktif, tidak efektif dan efisien.

(6)

laporan-laporan dari instansi terkait. Untuk menentukan alternatif strategi pengembangan kelembagaan penyuluhan di Provinsi Riau digunakan analisis faktor internal dan eksternal yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode analisis SWOT (strengths, weakness, opportunities, threat) dan untuk menentukan prioritas strategi digunakan analisis quantitative strategic planning matrix (QSPM).

Hasil kajian mengungkapkapkan : 1). Implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 beserta perangkat peraturan perundangan di bawahnya menyebabkan kelembagaan penyuluhan pertanian di provinsi Riau mengalami perubahan bersama ( co-evolution) pranata sosial kelembagaan penyuluhan baik di tingkat kabupaten/kota dan kecamatan. Perbedaan tersebut terakomodasi pada ketiga pilar penopang kelembagaan penyuluhan pertanian yakni pilar regulative, normative dan cultural cognitive. Kelembagaan di penyuluhan pertanian pada kabupaten Kampar dinilai cukup baik dibandingkan dengan kelembagaan penyuluhan di kabupaten Pelalawan dan kota Pekanbaru; 2). Pelaksanaan fungsi pelayanan dan fungsi pengaturan masih mendominasi sistim kerja penyuluhan. Keberadaan kelembagaan penyuluhan belum dapat mengakomodir kepentingan penyuluh dan petani Frekuensi LAKU belum sepenuhnya terlaksana. Penyuluh pada lembaga penyuluhan di Kabupaten Kampar menyelenggarakan penyuluhan yang baik dibanding pada penyuluh yang berada di Kabupaten Pelalawan dan Kota Pekanbaru, 4) Rumusan strategi dalam pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian di Provinsi Riau adalah membentuk badan sendiri yang spesifik menaungi penyuluhan pertanian. Program yang dapat mewujudkan pembentukan lembaga penyuluhan pertanian tersendiri di provinsi Riau adalah : a) Program Penataan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian, b) Program Peningkatan Ketenagaan Penyuluh Pertanian, c) Program Peningkatan Mutu Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian.

(7)
(8)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(9)

ANALISIS KELEMBAGAAN PENYULUHAN

PERTANIAN DI PROPINSI RIAU

EL SYABRINA

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul Tugas Akhir : Analisis Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Propinsi Riau

Nama : El Syabrina

NRP : A 153050225

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Dedi Budiman Hakim, MAEc Ir. Fredian Tonny, MS Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah

Dr.Ir. Yusman Syaukat,ME Prof.Dr.Ir.Khairil A. Notodiputro, MS

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkat ridho dan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan karya ilmiah dengan judul “ Analisis Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Provinsi Riau”.

Penulisan karya ilmial ini merupakan salah satu tugas yang harus dipenuhi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional dalam program Pasca Sarjana Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Ir. Frediantonny, MS selaku anggota komisi pembimbing. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para dosen dan pimpinan serta pengelola Magister Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Bapak Walikota Pekanbaru, yang telah mengizinkan penulis untuk melanjutkan pendidikan ini. Terimakasih penulis ucapkan kepada koordinator dan rekan-rekan PPL pada lokasi penelitian. Orang tua tercinta dan keluarga besar yang telah banyak mendorong, menyemangati dan memberikan perhatiannya sampai selesainya pendidikan ini, diucapkan terimakasih tak terhingga. Kepada teman-teman yang tak dapat disebutkan satu persatu, diucapkan terimakasih.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, karenanya saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan langkah-langkah selanjutnya. Terlepas dari kekurangannya, penulis berharap tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak

Bogor , Februari 2009 El Syabrina

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 8 Juni 1963 sebagai anak pertama dari dua orang bersaudara, dari pasangan H. Syahruddin Sidik, BRE dan Hj. Daliana. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi (Budidaya Pertanian), Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), lulus pada tahun 1987. Pada tahun 2005, penulis melanjutkan kuliah pada Program Studi Pembangunan Daerah pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2008.

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ………... i

PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... v

PRAKATA ... vii

RIWAYAT HIDUP ………... viii

DAFTAR ISI ………... ix

DAFTAR TABEL ………. ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I. PENDAHULUAN ... 1

2.1. Pengertian dan Peranan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian... 10

2.2 Perkembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ... 13

2.2.1. Era Bimas ... 15

2.2.2. Era otonomi ... 17

2.3. Penyuluhan dan Penyuluh Pertanian ... 22

2.3.1. Penyuluhan Pertanian ... 22

2.3.2. Penyuluh Pertanian ... 29

2.4. Kerangka Pemikiran ... 32

III. METODOLOGI KAJIAN ... 36

3.1. Jenis Kajian ………... 36

3.2. Waktu dan Tempat Kajian... 37

3.3. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel ... 37

3.4. Pengumpulan dan Analisis Data ... 38

3.4.1. Jenis Data ... 38

3.4.2. Analisis Data ... 39

(15)

Halaman

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 49

4.1. Kabupaten Kampar ... 49

4.1.1. Letak dan Luas Wilayah ... 49

4.1.2. Penduduk dan Mata Pencarian ... 50

4.1.3. Pendidikan dan Tingkat Kesejahteraan ... 51

4.1.4. Penggunaan Tanah dan Produktivitas Pertanian ... 51

4.1.5. Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ... 53

4.2. Kabupaten Pelalawan ... 54

4.2.1. Letak dan Luas Wilayah ... 54

4.2.2. Penduduk dan Mata Pencarian ... 55

4.2.3. Pendidikan dan Tingkat Kesejahteraan ... 55

4.2.4. Penggunaan Tanah dan Produktivitas Pertanian ... 56

4.2.5. Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ... 57

4.3. Kota Pekanbaru ... 58

4.2.1. Letak dan Luas Wilayah ... 58

4.2.2. Penduduk dan Mata Pencarian ... 58

4.2.3. Pendidikan dan Tingkat Kesejahteraan ... 59

4.2.4. Penggunaan Tanah dan Produktivitas Pertanian ... 60

4.2.5. Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ... 62

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 63

5.1. Keragaan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ... 63

5.1.1 Kabupaten Kampar ... 63

5.1.2. Kota Pekanbaru ... 67

5.1.3. Kabupaten Pelalawan ... 70

5.1.4. Ikhtisar ... 73

5.2. Pelaksanaan Sisitem Kerja Penyuluhan Pertanian ... 74

5.2.1. Sistem Penyuluhan ... 74

5.2.2. Persepsi Penyuluh Terhadap Keberadaan Kelembagaan Penyuluhan ... 76

5.2.3. Sistem Kerja Penyuluh Pertanian ... 78

5.2.4. Ikhtisar ... 83

5.3. Dampak Penyelenggaraan Penyuluhan Terhadap Kinerja Penyuluh Dan Tingkat Penerapan Teknologi... 84

5.3.1. Karakteristik Penyuluh ... 84

5.3.2. Kinerja Penyuluh Pertanian ... 87

5.3.3. Karakteristik Petani ... 89

5.3.4. Tingkat Penerapan Teknologi ... 91

5.3.4. Ikhtisar ... 94

5.4. Strategi Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ... 95

5.4.1. Analisis Evaluasi Faktor Internal/Eksternal Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan ... 95

5.4.2. Analisis SWOT Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ... 98

5.4.3. Tahap Keputusan Strategi ... 102

(16)

Halaman

VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ... 108

6.1. Kesimpulan ... 108

6.2. Rekomendasi Kebijakan ... 109

DAFTAR PUSTAKA... 112

LAMPIRAN ... 115

(17)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Produktivitas Pangan (Kw/Ha) dan Nilai tukar Petani di Provinsi

Riau Tahun 2001 s/d Tahun 2007... 3

2. Perubahan Penyuluhan Paradigma Baru dalam Penyuluhan Pertanian... 32

3. Penyebaran Jenis dan Jumlah Responden... 38

4. Matrik Analisis Faktor Internal Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ... 41

5. Matrik Analisis Faktor Eksternal Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ... . 43

6. Matrik SWOT (Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats)... 44

7. Matriks Analisis QSPM ... 46

8. Rincian Metode dan Pengumpulan AnalisisData ... 48

9. Penggunaan Tanah di Kabupaten Kampar ... 52

10. PerkembanganProduktivitas Padi, Jagung dan Ubi Kayu di Kabupaten Kampar Tahun 2001 – 2006 (Kw/Ha) ... 53

11. Penggunaan Tanah di Kabupaten Pelalawan Tahun 2006... 56

12. PerkembanganProduktivitas Padi, Jagung dan Ubi Kayu di Kabupaten Pelelawan Tahun 2001 – 2006 (Kw/Ha)... 57

13. Penggunaan Tanah di Kota Pekanbaru ... 60

14. PerkembanganProduktivitas Padi, Jagung dan Ubi Kayu di Kota Pekanbaru Tahun 2001 – 2006 (Kw/Ha)... 61

15. Keragaan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian Tahun 2007 di Tiga Kabupaten/Kota ... 72

16. Sistem Penyuluhan Pada Kelembagaan Penyuluh Pertanian di Tiga Kabupaten/Kota ... 75

17. Persepsi Penyuluh Terhadap Kelembagaan Penyuluhan di Tiga Kab/Kota ... 77

18. Sistem Kerja Penyuluhan Pertanian di Tiga Kabupaten/Kota Tahun 2008 ... 81

19. Karakteristik Penyuluh di Tiga kabupaten/kota Tahun 2007... 86

20. Kinerja Penyuluh Pertanian di Tiga Kabupaten/Kota Tahun 2007... 88

21. Karakteristik Petani di Tiga kabupaten/Kota Tahun 2008 ... 90

22. Persepsi Petani tentang Sistem LAKU (Latihan dan Kunjungan) dan Tingkat Penerapan Teknologi ... 92

23. Matrik IFE Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Provinsi Riau ... 96

24. Matrik EFE Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Provinsi Riau ... 97

25. Matrik SWOT ... 100

26. Hasil Analisis QSPM dalam perumusan Prioritas Strategi Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Provinsi Riau ... 103

(18)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kerangka Pemikiran Analisis Kelembagaan Penyuluhan di Provinsi Riau ... 35

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Kuesioner untuk Instansi/Kepala Satuan Kerja... 2. Kuesioner untuk PPL... 3. Kuesioner untuk Petani ... 4. Kuesioner Nilai Faktor eksternal dan internal ... 5. Pembobotan Faktor Internal dan Eksternal ... 6. Matriks Nilai Keterkaitan Faktor Strategis ...

(20)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan pertanian telah memberikan sumbangan besar dalam pembangunan nasional, baik berupa sumbangan langsung seperti peningkatan ketahanan pangan nasional, pembentukan PDB, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, perolehan devisa melalui ekspor dan penekanan inflasi, maupun sumbangan tidak langsung melalui penciptaan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan dan hubungan sinergis dengan sektor lain. Namun demikian, pembangunan pertanian saat ini dan yang akan datang dihadapkan kepada permasalahan antara lain : penurunan kapasitas sumberdaya pertanian; sistem alih teknologi masih lemah dan kurang tepat sasaran, keterbatasan akses terhadap layanan usaha terutama permodalan, rantai tata niaga yang panjang dan sistem pemasaran yang belum adil, kualitas dan ketrampilan sumberdaya petani rendah, kelembagaan petani dan posisi tawar petani rendah (Departemen Pertanian, 2002).

Dalam rangka membangun kemandirian pangan, pemerintah berusaha agar pemenuhan kebutuhan pangan diutamakan dari produksi dalam negeri dan meminimalisasi impor, melalui optimalisasi sumberdaya domestik dan lokal. Sehingga strategi yang ditempuh untuk mencapai sasaran kemandirian pangan tersebut adalah memprioritaskan pembangunan ekonomi berbasis pertanian dan pedesaan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan masyarakat (pemberdayaan masyarakat) (Dewan Ketahanan Pangan, 2006).

(21)

Indonesia No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang diamandemen dengan UU No. 32 tahun 2004, menunjukkan bahwa usaha pertanian pada umumnya didominasi oleh usaha skala kecil, tingkat pendidikan petani/nelayan masih rendah dan bermodal kecil. Kondisi dengan skala usaha kecil umumnya belum mampu menerapkan teknologi inovatif karena akan menjadi kurang efisien. Akibatnya adalah hanya sebagian kecil potensi sumberdaya itu yang dapat dimanfaatkan dan karena ketidak tepatan dalam penerapan inovasi teknologi terjadi penurunan kuantitas maupun kualitas produk yang dihasilkan (Suryana, 2003).

Sektor pertanian hingga saat ini di Provinsi Riau masih merupakan sektor yang memberikan lapangan usaha dominan dan menyerap tenaga kerja paling besar (52,24 %). Oleh karena itu arah kebijakan pembangunan tahun 2004 – 2008 bidang pertanian adalah pengembangan sektor pertanian khususnya tanaman pangan terpadu dengan peternakan tetap menjadi prioritas pembangunan, mengingat 76,26 persen penduduk miskin mempunyai mata pencaharian pada sub sektor tanaman pangan dan peternakan (Pemerintah Provinsi Riau, 2006).

(22)

memberikan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat petani. Belum baiknya tingkat kesejahteraan petani ditunjukkan oleh nilai tukar petani. Nilai tukar petani di Riau dalam periode yang sama menunjukkan penurunan sebesar 6,59 persen setiap tahunnya.

Tabel 1. Produktivitas Pangan (Kw/Ha) dan Nilai Tukar Petani di Provinsi Riau Tahun 2001 – 2007

No. Tahun Produktivitas Padi Produktivitas Jagung Nilai Tukar Petani

1 2001 30.55 21.28 123.4

2 2002 29.41 21.06 126.4

3 2003 29.87 21.13 139.1

4 2004 30.45 21.25 113.6

5 2005 29.99 21.40 88.13

6 2006 30.49 21.73 84.91

7 2007 30.24 21.56 82.05

Gr (%) - 0,17 0.22 -6.59

Sumber : Dinas Tanaman Pangan dan BPS Riau (2007)

Banyak faktor yang menjadi kendala peningkatan produktivitas dan produksi pangan di Propinsi Riau untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh penduduknya, Diantraranya yang terpenting adalah : a) masih tingginya konversi lahan produktif ke lahan non pertanian tanaman pangan; 2) kecilnya skala usaha pertanian tanaman pangan, perikanan maupun peternakan sehingga hasilnya tidak mampu mensejahterakan petani dan berakibat pada kurangnya investasi untuk peningkatan produksi; 3) terbatasnya teknologi tepat guna yang dapat diakses oleh petani; 4) kurangnya bimbingan kepada petani karena tidak difungsikannya institusi penyuluhan pertanian secara optimal seperti masa lalu, 5) terbatasnya sistem pengairan dan 6) rendahnya akses petani terhadap modal usaha (Badan Ketahanan Pangan Riau, 2008).

(23)

pada sektor pertanian dalam arti luas terutama terhadap kesejahteraan petani. Hal ini disebabkan lambatnya alih teknologi dan kebijakan pemerintah, terutama sangat dirasakan sejak awal otonomi daerah (Yasin, 2007). Peningkatan kapabilitas petani/nelayan harus dilakukan melalui pembangunan system penyuluhan yang mampu membantu baik dalam penerapan teknologi inovasi berwawasan bisnis yang menghasilkan produk bermutu sesuai permintaan pasar global.

Penyuluhan mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan pertanian, karena mempunyai tugas dan fungsi untuk menyelenggarakan pendidikan non formal bagi petani/nelayan. Dengan demikian, system kelembagaan penyuluhan harus dibangun dan dikembangkan dalam upaya untuk membantu petani/nelayan dalam menciptakan iklim pendidikan/pembelajaran yang kondusif, sehingga pada akhirnya mereka mampu menolong dirinya sendiri untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga (Departemen Pertanian, 2007). Disamping itu menurut Tedjokoesoemo (1996), keberhasilan mengaitkan sistem produksi pertanian dengan mata rantai agribisnis sangat ditentukan oleh keberhasilan upaya-upaya pemberian motivasi kepada kelompok tani – nelayan untuk berkembang menjadi kelompok-kelompok usaha komoditas pertanian tertentu atau kombinasinya. Perkembangan ini hanya dimungkinkan oleh adanya kesempatan berusaha yang lebih luas yang dapat diciptakan melalui pembangunan jaringann kelembagaan penyuluhan pertanian yang berwatak profesional.

(24)

terhadap pencapaian tujuan akhir dari pembangunan pertanian yaitu mensejahterakan petani. Seperti yang dikatakan oleh Riant Nugroho (2008) dalam bukunya Public Policy menyatakan bahwa kebijakan publik adalah faktor yang me-leverage kehidupan bersama. Dikatakan lebih lanjut bahwa kebijakan public merupakan faktor kritikal bagi kemajuan atau kemunduran suatu Negara-bangsa (dalam hal juga termasuk daerah). Untuk itu perlu di-review kembali kebijakan public yang telah dibuat oleh kabupaten/kota di Provinsi Riau yang berkaitan dengan pembentukan kelembagaan penyuluhan. Berdasarkan argumentasi tersebut maka “Analisa Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Provinsi Riau” perlu dilakukan.

1.2. Perumusan Masalah

Sejak diberlakukannya Undang-undang Republik Indonesia No. 22 tahun 1999 yang diamandemen dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian dan Peraturuan Pemerintah No 41 tahun 2007 tentang Kelembagaan Daerah, telah mewarnai penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Penafsiran yang berbeda-beda terhadap kebijakan publik tersebut, telah merubah pranata dan struktur kelembagaan penyuluhan pertanian serta operasionalisasinya di daerah. Kondisi ini menyebabkan kinerja penyuluhan pertanian semakin menunjukkan penurunannya, karena penyelenggaraan penyuluhan pertanian ditempatkan pada posisi minor. Bahkan memasuki abad ke 21 kinerja penyuluhan pertanian dapat dikatakan mencapai titik terendah (Mardikanto, 2008).

(25)

sampai kedaerah. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian dilakukan secara integral dan didukung dengan baik oleh empat catur sarana (PPL, Kios Saprotan, BRI dan KUD serta kepemimpinan petani yang progresif. Pola penyampaian teknologi dilakukan dengan pendekatan dipaksa, terpaksa dan menjadi biasa. Pendekatan yang digunakan pada era ini, telah menghantarkan bangsa kita mencapai swasembada beras pada tahun 1984 (RPP IPB, 2005).

Sedangkan pada era otonomi daerah, paradigma pembangunan pertanian yang telah bergeser dari pendekatan sentralistik menjadi desentralistrik dan pendekatan penyuluhan pertanian bergeser dari pendekatan dipaksa menjadi pendekatan partisipatif dan dipengaruhi oleh berbagai kepentingan tampaknya penyelenggaraan penyuluhan pertanian di daerah kurang mendapat perhatian pemerintah daerah. Kebijakan penyelenggaraan penyuluhan di daerah belum terprogram dengan jelas karena penyuluhan pertanian dianggap suatu kegiatan yang dianggap kurang penting. Sebagai akibatnya, kelembagaan/instansi penyuluhan pertanian banyak yang terlikuidasi (Amanah, 2006).

Menurut Harun (2006) bahwa, pada era otonomi daerah saat ini, dengan orientasi efisiensi institusi dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia ternyata telah ikut merubah nuasa paradigma penyuluhan. Berbagai daerah menyikapinya dengan cara dan bentuk yang berbeda-beda. Ada daerah yang masih mempertahankan kelembagaan penyuluhan seperti pada masa sebelumnya, dan ada lagi yang merubah tatanan kepenyuluhan dengan merekrut penyuluh dalam salah satu dinas atau beberapa dinas sub sektor pertanian.

(26)

diselenggarakan oleh Kantor Pusat Informasi Penyuluhan Terpadu, dan di kabupaten Kampar diselenggarakan oleh Kantor Informasi dan Penyuluhan Pembangunan; serta di kabupaten Pelalawan oleh Dinas Pertanian. Keragaman kelembagaan yang menangani penyelenggaraan penyuluhan pertanian mengakibatkan beragamnya kinerja penyuluhan tersebut. Kelembagaan yang beragam ini, menunjukkan bahwa beragamnya persepsi provinsi/kabupaten/kota tentang posisi dan peran strategis kelembagaan penyuluhan pertanian di wilayah masing-masing (Departemen Pertanian, 2005). Kondisi kelembagaan yang sangat beragam ini mempengaruhi kinerja penyelenggaraan penyuluhan dan konsekuensinya berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan petani. Mengingat penyelenggaraan penyuluhan pertanian akan berjalan dengan baik apabila ada persamaan persepsi dan keterpaduan kegiatan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota bahkan sampai ke tingkat desa dalam satu system penyuluhan pertanian yang disepakati bersama dengan melibatkan petani, swasta dan pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam kenyataannya sekarang, masing-masing instansi berjalan sendiri-sendiri, sehingga penyelenggaraan penyuluhan pertanian menjadi tidak produktif, tidak efektif dan efisien.

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana keragaan kelembagaan penyuluhan pertanian di era otonomi

daerah di Provinsi Riau ?

2. Bagaimana pelaksanaan sistem kerja penyuluhan pertanian pada kelembagaan

(27)

3. Bagaimana dampak penyelenggaraan penyuluhan yang berbeda terhadap kinerja penyuluh dan tingkat penerapan teknologi petani ?

4. Bagaimana strategi dan program pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian untuk Provinsi Riau ?

1.3. Tujuan Kajian

Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan kajian ini adalah untuk :

1. Mengidentifikasi keragaan kelembagaan penyuluhan pertanian di era otonomi daerah di Provinsi Riau.

2. Menganalisis pelaksanaan sistem kerja penyuluhan pertanian pada

kelembagaan yang berbeda.

3. Menganalisis dampak penyelenggaraan penyuluhan yang berbeda terhadap

kinerja penyuluh dan tingkat penerapan teknologi petani.

4. Merumuskan strategi dan program pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian yang terbaik untuk Provinsi Riau.

1.4. Manfaat Kajian

Manfaat kajian ini adalah :

1. Bagi masyarakat akademi dapat dijadikan bahan dan konsep dalam pemberdayaan masyarakat petani melalui kelembagaan penyuluhan yang efektif dan efisien;

(28)

penyuluhan pertanian di daerah, sehingga tercipta proses peningkatan adopsi teknologi inovasi di tingkat petani.

1.5. Cakupan Kajian

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian dan Peranan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian

Kelembagaan (institusion) merupakan suatu sistem aktivitas dari kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaannya besarta komponen-komponennya yang terdiri dari sistem norma dan tata kelakuan untuk wujud ideal kebudayaan, kelakuan berpola untuk wujud kelakuan kebudayaan dan peralatan untuk wujud fisik kebudayaan ditambah dengan manusia atau personil yang melaksanakan kelakuan berpola (Koentjaraningrat, 1997). Sehingga suatu kelembagaan adalah suatu kompleks peraturan-peraturan dan peranan-peranan sosial. Dengan demikian, kelembagaan memiliki aspek kultural dan struktural. Segi kultural berupa norma-norma dan nilai-nilai, dari struktural berupa pelbagai peranan sosial

(Tonny, dkk, 2004). Sedangkan menurut Budiono (2008), konteks ”kelembagaan ” dalam pemerintahan sudah seharusnya dimaknai dalam pelayanan

publik yakni memberikan layanan yang terbaik pada masyarakat, oleh karena itu hal ini dapat merupakan satu cermin dari praktik tata pemerintahan yang baik, yang merupakan dambaan setiap warga.

(30)

bidang pertanian agar mereka mampu menolong dirinya sendiri baik dibidang ekonomi, sosial maupun politik sehingga peningkatan pendapatan dan kesejahteraan mereka dapat dicapai.

Kegiatan penyuluhan pertanian adalah kegiatan terencana dan berkelanjutan yang harus diorganisasikan dengan baik. Pengorganisasian penyuluhan pertanian dilakukan dengan tujuan mengefisienkan pelaksanaan kewenangan, tugas dan fungsi, manajemen dan pengelolaan sumberdaya. Organisasi atau kelembagaan penyuluhan pertanian terdiri dari kelembagaan penyuluhan pertanian pemerintah, petani dan swasta (Departemen Pertanian 2006).

Menurut Suhardiyono (1990), fungsi pelayanan penyuluhan mempunyai lingkup yang terbatas yaitu komunikasi tentang pesan-pesan ilmiah yang disiapkan oleh para ahli kepada petani beserta keluarganya melalui pendidikan non formal, sehingga kelembagaan penyuluhan dapat dikatakan sebagai kelembagaan pendidikan yang bertujuan mengubah pengetahuan, tingkah laku dan sikap bagi petani dan keluarganya. Dengan demikian inti kelembagaan penyuluhan adalah petani dan penyuluh yang melakukan komunikasi dua arah, baik antara penyuluh dengan petani, antara petani yang satu dengan yang lain, antara petani dengan keluarganya serta antara penyuluh dengan penyuluh (Suhardiyono, 1990)

(31)

beberapa hal diantaranya : (1) Adanya penyuluh lapangan yang professional, (2) terdapatnya pelayanan penyuluhan di berbagai tingkatan guna memudahkan dalam mendekatkan hubungan antara pusat-pusat penelitian atau sumber inovasi lain dan pelayanan penyuluhan yang akan diorganisir, (3) terjalinnya hubungan antara peneliti dengan pekerjaan penyuluhan dalam menerapkan teknik budidaya pertanian modern di lahan usaha tani untuk menjawab permasalahan-permaslahan para petani yang bersifat mendesak, (4) adanya sisitem kerja penyuluhan pertanian yang ditetapkan, sehingga dapat memberikan jaminan bahwa pelaksanaan alih teknologi serta ketrampilan kepada petani dan keluarganya benar-benar dapat berjalan secara rutin dan terus menerus, (5) Adanya hubungan koordinasi dengan kegiatan-kegiatan bidang penyuluhan yang dilaksanakan oleh unit kegiatan yang lain, (6) adanya sistem pemantauan yang memadai untuk mengetahui hasil pelaksanaan kegiatan penyuluhan, kendala-kendala yang ditemui, masalah-masalah yang dihadapi baik oleh penyuluh di lapangan maupun petani yang harus dipecahkan melalui kegiatan penyuluhan, dan (7) adanya kelembagaan petani untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan alih teknologi ataupun alih ketrampilan dari para penyuluh lapangan kepada petani beserta keluarganya.(Departemen Pertanian, 2005).

(32)

Mardikanto (1991), efektivitas penyuluhan pertanian akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh lembaga penyuluhan diperhatikan oleh sub system yang lain, atau mampu mengembangkan dirinya menjadi suatu kegiatan strategis.

Penyuluhan berkontribusi besar dalam peningkatan produktivitas, produksi dan pendapatan masyarakat tani. Hanya saja, akhir-akhir ini terasa keberadaan lembaga penyuluhan semakin merosot yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain : a) program yang lemah; b) kuantitas penyuluh yang kurang berkembang; c) kualitas penyuluh cenderung kurang berkembang; d) fasilitas yang semakin terbatas; e) perhatian pemerintah ; terutama pemerintah daerah yang semakin lemah ( Hafsah, 2006).

2.2. Perkembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian

(33)

adalah sama tetapi dalam implementasinya kekuatan struktur lokal atau kelembagaan yang ditopang oleh pilar normative dan cultural cognitive semakin membuat ”bangunan” tata-pemerintahan daerah menjadi lebih beragam.

Pembentukan kelembagaan dalam masyarakat tidak terlepas dari peranan individu, kelompok atau pemerintah sehingga lembaga-lembaga yang hidup dalam masyarakat yang ada bersifat informal dan ada pula yang tercipta secara formal baik dari masyarakat maupun luar masyarakat (Indaryanti, 2003). Pergeseran paradigma penyuluhan dari teknik budidaya (on-farm) menuju sistem usaha agribisnis, telah mengubah sistem kelembagaan penyuluhan. Dari pendekatan agribisnis dan partisipatif yang tadinya hanya terdiri dari sub sistem petani, penyuluh dan kelembagaan struktural, menjadi subsitem petani, penyuluh, pelaku agribisnis lainnya, lembaga penelitian dan lembaga pelatihan (Hafsah, 2006).

Kelembagaan penyuluhan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sepanjang hal itu memungkinkan adanya pembagian kerja yang lebih jauh, peningkatan pendapatan, perluasan usaha dan kebebasan untuk memperoleh peluang usaha. Dalam kehidupan nyata, kelembagaan dapat menjadi peubah eksogen dalam proses pembangunan dengan demikian kelembagaan dapat dianggap sebagai penyebab segala perubahan pembangunan. Namun dipihak lain kelembagaan bisa diduga menjadi peubah endogen dimana perubahan kelembagaan diakibatkan karena adanya perubahan-perubahan pada sistem sosial masyarakat yang ada. Sehingga kelembagaan yang ada dalam masyarakat sudah mengalami dinamika perubahan berbagai zaman (Daryanto, 2004).

(34)

regulasi. Selain faktor tersebut faktor stuktur sosial masyarakat, termasuk di dalamnya perubahan dan dinamika ekonomi mikrodan makro, dan faktor kultural merupakan faktor-faktor yang dapat mempercepat atau memperlambat (atau menjadi buffer ) evolusi bersama kelembagaan an organisasi tersebut. Dengan kata lain, terdapat tiga pilar ”penopang” kelembagaan, yakni pilar regulative, normative dan cultural cognitive. Ketiga elemen tersebut membentuk suatu gerak kontinum ”from the conscious to the unconscious, from the legally enforced to the taken for granted”

2.2.1. Era Bimas

Pada era BIMAS, penyuluhan pertanian dilakukan melalui pendekatan sentralistis dan berkoordinasi yang ketat antar instansi terkait dari pusat sampai kedaerah. Penyelenggaraan penyuluhan dilakukan secara integrasi dan didukung dnegan baik oleh empat catur sarana : (1) PPL, (2) Kios Saprotan, (3) BRI, dan (4) KUD serta kepemimpinan petani yang progresif. Pola penyampaian teknologi dilakukan dengan pendekatan dipaksa, terpaksa, dan menjadi biasa (RPP, IPB, 2005).

(35)

metode penyuluhan, penyediaan sarana penyuluhan yang memadai, serta tenaga penyuluh yang memadai (Hafsah, 2006)

(36)

pertanian yang berfungsi sebagai penyalur informasi teknologi, pasar, permodalan dan lain-lain (Departemen Pertanian, 2002).

2.2.2. Era Otonomi

Dengan diberlakukannya UU No.22/1999 dan UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 16 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan dan peraturan-peraturan yang mengikutinya, merubah konsep penyuluhan dimana paradigma pembangunan pertanian telah bergeser dari pendekatan sentralistik menjadi disentralistik, dan dari pendekatan produksi menjadi pendekatan agribisnis. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian diserahkan sepenuhnya ke kabupaten/kota. Pemerintah pusat sepenuhnya hanya bertugas merumuskan kebijakan, norma, standar, dan model-model penyuluhan partisipatif (RPP IPB, 2005).

Menurut Hafsah (2006) pada era otonomi daerah pendekatan penyuluhan pertanian bergeser dari pendekatan dipaksa menjadi pendekatan partisipatif. Penyuluhan pertanian partisipatif adalah penyuluhan yang dilakukan melalui pendekatan partisipatif melalui proses yang melibatkan berbagai pihak terkait. Namun dengan munculnya beberapa peraturan pemerintah yang kurang mendukung penyelenggaraan penyuluhan daerah, seperti PP No.25/2000 dam PP No.8/2003 mengakibatkan ruang gerak pemerintah daerah untuk mendirikan kelembagaan penyuluhan pertanian sangat terbatas. Hal ini menyebabkan kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat provinsi tidak jelas, kelembangaan penyuluhan pertanian di tingkat kabupaten/kota beragam.

(37)

Perubahan pranata sosial yang merujuk kepada paradigma desentralisasi, yakni menciptakan ”ruang” untuk menangkap kekhasan lokal, menyebabkan adapatasi dan respons setiap daerah berbeda dan menjadi beragam. Perbedaan tersebut terakomodasi pada ketiga pilar penopang kelembagaan yakni pilar regulative, normative dan cultural cognitive (Nasdian, 2008).

Dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan telah dikemukakan bahwa kelembagaan penyuluhan adalah sebagai berikut :

a. Kelembagaan di Pusat

Kelembagaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Pusat adalah Badan Penyuluhan yang bertanggung jawab kepada Menteri. Sebagai mitra kerja Menteri dalam memberikan rekomendasi yang berkaitan dengan penyuluhan, dibentuk Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian. Keanggotaan Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional terdiri dari para pakar dan/atau praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian dalam bidang penyuluhan atau pembangunan pedesaan.

b. Kelembagaan di Provinsi

Kelembagaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Provinsi berbentuk Badan Koordinasi Penyuluhan. Untuk menetapkan kebijakan dan strategi penyuluhan provinsi, gubernur dibantu oleh Komisi Penyuluhan Provinsi yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur.

(38)

Pertanian Nasional yaitu terdiri dari para pakar dan/atau praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian dalam bidang penyuluhan atau pembangunan pedesaan. c. Kelembagaan di Kabupaten/Kota

Kelembagaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Kabupaten/Kota berbentuk Badan Pelaksana Penyuluhan. Untuk menetapkan kebijakan dan strategi penyuluhan kabupaten/kota, bupati/walikota dibantu oleh Komisi Penyuluhan Kabupaten/Kota yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bupati/Walikota.

Komisi Penyuluhan Pertanian Kabupaten/Kota bertugas memberikan masukan kepada Bupati/Walikota sebagai bahan penyusunan kebijakan dan strategi penyuluhan kabupaten/kota. Keanggotaannya terdiri dari para pakar dan/atau praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian dalam bidang penyuluhan atau pembangunan pedesaan.

d. Kelembagaan di Kecamatan

Kelembagaan penyuluhan pertanian di kecamatan adalah Balai Penyuluh Pertanian . BPP merupakan instalasi/sub ordinat dari kelembagaan penyuluhan pertanian kabupaten/kota. Dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian, kelembagaan penyuluhan pertanian (BPP) dibantu oleh Tim Penyuluh Pertanian. Tim ini terdiri dari Penyuluh Pertanian (PPL), Petani Pemandu, LSM, Mantri Tani, Mantri Kesehatan Hewan dan Teknisi pertanian lapangan lainnya.

e. Kelembagaan di Desa

(39)

Amanat UU No.16/2006 menurut Slamet (2008) bertabrakan dengan PP 8/2003 tentang struktur pemerintah daerah yang membatasi jumlah institusi/dinas di daerah, meskipun PP tersebut sudah diubah dengan PP 41/2007, tetap saja menyisakan kendala bagi dibentukanya Badan Koordinasi Penyuluhan di tingkat propinsi, dan lahirnya Badan Pelaksana Penyuluhan di tingkat kabupaten/kota. Selain kelembagaan penyuluhan pertanian, ada juga sektor lain yang memerlukan adanya institusi tambahan di daerah.

Dengan berlakunya otonomi daerah, penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang menyangkut aspek-aspek perencanaan, ketenagaan, program, manajemen, dan pembiayaan menjadi kewenangan bersama Pemerintah, provinsi, Kabupaten/kota, Petani dan Swasta. Kondisi ini memberi kewenangan yang lebih luas kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk menyelenggarakan penyuluhan pertanian sesuai dengan kebutuhan lokalita, sedangkan pemerintah mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan koordinasi penyelenggaraan penyuluhan pertanian (Departemen Pertanian, 2006). Dengan kata lain, pelaksanaan kelembagaan penyuluhan dapat ditinjau dari aspek perencanaan, ketenagaan, penyelenggaraan dan pendanaan.

(40)

kerjasama di antara pelaku agribisnis, penyuluhan pertanian, peneliti, pendidikan dan pelatihan (Hafsah, 2006)

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, ada dua hal penting yang perlu dipikirkan dan dilaksanakan dengan baik agar penyuluhan di bidang pertanian, perikanan dan kehutanan dimasa depan dapat berjalan dengan efektif secara berkelanjutan. Dua hal penting itu adalah : (1) dibangunnya sistem penyuluhan yang komprehensif, dan (2) diadopsinya pengembangan program-program penyuluhan yang berbasis penelitian dan ilmu pengetahuan (Slamet, 2008).

Pada UU No.16/2006 pasal 6 tercantum kebijakan system penyuluhan yaitu : (1) Kebijakan penyuluhan ditetapkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan memperhatikan asas dan tujuan system penyuluhan; (2) Dalam menetapkan kebijakan penyuluhan sebagaimana dimaksud pada point terdahulu, pemerintah dan pemerintah daerah memperhatikan ketentuan sebagai berikut : a) penyuluhan dilaksanakan secara terintegrasi dengan subsistem pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan; b) penyelenggaraan penyuluhan dapat dilaksanakan oleh pelaku utama dan/atau warga masyarakat lainnya sebagai mitra pemerintah dan pemerintah daerah, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerjasama, yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan program pada tiap-tiap tingkat admnistrasi pemerintah.

(41)

berkelanjutan dan menjamin redistribusi secara merata serta hak kepemilikan rakyat atas sumberdaya alam; 3) pemberdayaan keuangan untuk membuka akses pendanaan, 4) pemberdayaan kelembagaan untuk menguatkan institusi rakyat agar mampu mengorganisir diri dan komunitasnya dalam sebuah institusi yang berdaya dan berkelanjutan.

2.3. Penyuluhan dan Penyuluh Pertanian

2.3.1. Penyuluhan Pertanian

Ilmu penyuluhan adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana pola perilaku manusia dibentuk, bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau diubah, sehingga membawa pada perubahan kualitas kehidupan orang yang bersangkutan (Slamet, 1992). Sebagai suatu disiplin ilmu, penyuluhan memulai proses perkembangannya dengan meminjam dan merangkum konsep-konsep ilmiah dari berbagai disiplin ilmu lain yang relevan, seperti ilmu pendidikan, psikologi, antropologi, sosiologi, psikologi sosial dan manajemen.

(42)

Ilmu penyuluhan pada awal kegiatannya disebut dan dikenal sebagai Penyuluhan Pertanian (Agricultural Extension), terutama di Amerika Serikat, Inggris dan Belanda. Kemudian ternyata berkembang penggunaannya bidang-bidang lain maka berubah namanya menjadi “Extension Education”, dan di beberapa negara lain disebut “Development Communication”. Meskipun antara tiga istilah itu ada perbedaan, namun pada dasarnya semua mengacu pada disiplin ilmu yang sama.

Penyuluhan sebagai proses pendidikan, maka penyuluh harus dapat membawa perubahan manusia dalam hal aspek-aspek perilaku baik pengetahuan maupun ketrampilannya. Penyuluhan sebagai proses demokrasi, maka penyuluhan harus mampu mengembangkan suasana bebas, untuk mengembangkan kemampuan masyarakat. Penyuluh harus mampu mengajak sasaran penyuluhan berfikir, berdiskusi, menyelesaikan masalahnya, merencanakan dan bertindak bersama-sama di bawah bimbingan orang-orang di antara mereka. Sebagai proses yang kontiniu, penyuluhan harus dimulai dari keadaan petani pada waktu itu ke arah tujuan yang mereka kehendaki berdasarkan kepada kebutuhan dan kepentingan yang senantiasa berkembang yang dirasakan oleh sasaran penyuluhan. Bila penyuluh melihat adanya kebutuhan, tetapi kebutuhan itu belum dirasakan oleh sasaran penyuluhan, padalah kebutuhan tersebut dinilai sangat vital dan mendesak, maka penyuluhan perlu berusaha terlebih dahulu untuk menyadarkan sasaran akan kebutuhan yang tersebut (unfelt need) menjadi kebutuhan yang dirasakan oleh sasaran (felt need)

(43)

mampu berswadaya melaksanakan upaya peningkatan produksi, pendapatan/keuntungan dan perbaikan kesejahteraan keluarga/ masyarakatnya. Sedangkan menurut AW.Van den Ban dan Hawkins (1999), penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar. UU No. 16/2006, mendefenisikan bahwa penyuluhan pertanian adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama (petani-nelayan) serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestrasian fungsi lingkungan hidup.

Dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan agar dapat berlangsung efektif dan efisien, maka terlebih dahulu harus dipahami falsafah penyuluhan. Falsafah penyuluhan menurut Suhardiyono (1990) yang merupakan dasar dalam bekerja dilandasi oleh tiga hal yaitu : (1) penyuluhan merupakan suatu proses pendidikan, (2) penyuluhan merupakan proses demokrasi dan (c) penyuluhan merupakan proses yang terus menerus. Artinya, penyuluhan merupakan proses pendidikan yang membawa perubahan yang diharapkan oleh seseorang ataupun masyarakat, dengan cara tidak memaksakan sesuatu kepada masyarakat tani tersebut dan dilakukan secara terus menerus.

(44)

Prinsip-prinsip penyuluhan menurut Valera, dkk (1987) adalah : (1) penyuluhan bekerja dengan klien, bukan untuk klien, (2) penyuluhan harus bekerjasama dan melakukan koordinasi dengan organisasi pembangunan lainnya, (3) penyuluhan adalah pertukaran informasi yang bersifat dua arah, (4) penyuluhan bekerja dengan kelompok-kelompok sasaran yang berbeda-beda di masyarakat, dan (5) masyarakat harus ikut serta dalam semua aspek-aspek kegiatan pendidikan dari penyuluhan.

Menurut Dahama dan Bhatnagar dalam Mardikanto (1991), setidak-tidaknya ada 12 prinsip penyuluhan yang penting diperhatikan penyuluh dalam bertugas yaitu :

(1) Minat dan Kebutuhan, artinya, penyuluhan akan efektif jika selalu mengacu kepada minat dan kebutuhan masyarakat.

(2) Organisasi masyarakat bawah, artinya penyuluhan harus mampu menyentuh organisasi masyarakat sasaran, keluarga atau kerabatnya.

(3) Keragaman budaya, artinya penyuluh harus menyadari adanya keragaman

budaya memerlukan keragaman pendekatan.

(4) Perubahan budaya, artinya kegiatan penyuluhan perlu dilaksanakan dengan

bijak karena akan menimbulkan perubahan budaya.

(5) Kerjasama dan partisipasi, artinya penyuluhan harus mampu menggerakkan partisipasi masyarakat untuk bekerjasama dalam merencanakan dan melaksanakan program penyuluhan

(6) Demokrasi dalam penerapan ilmu, penyuluhan harus selalu member

(45)

alternative pemecahan masalah dan metode apayang digunakan dalam penyuluhan.

(7) Belajar sambil bekerja, artinya dalam kegiatan penyuluhan harus diupayakan agar masyarakat dapat belajar sambil bekerja atau belajar dari pengalaman tentang segala sesuatu yang ia kerjakan.

(8) Penggunaan metoda yang sesuai, artinya penyuluhan harus dilakukan dengan penerapan metoda yang disesuaikan dengan kondisi (lingkungan fisik, kemampuan ekonomi dan social budaya)

(9) Kepemimpinan, kartinya penyuluhan harus mampu mengembangkan kepemimpinan, teutama mampu menumbuhkan pemimpin-pemimpin local untuk membantu kegiatan penyuluhan itu sendiri.

(10) Spesialis yang terlatih, artinya penyuluh harus orang yang terlatih khusus

dan benar-benar menguasai sesuatu yang sesuai dengan fungsi seorang penyuluh.

(11) Segenap keluarga, artinya penyuluhan harus memperhatikan keluarga

sebagai satu kesatuan dari unit sosial.

(12) Kepuasan, artinya penyuluhan harus mampu mewujudkan tercapainya

kepuasan. Kepuasan akan sangat menentukan keikutsertaan sasaran pada program-program penyuluhan.

(46)

(output) yang tidak sama pada berbagai tingkat yaitu lapangan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan pusat serta untuk berbagai kategori petani nelayan. Kendati mempunyai keluaran yang berbeda, penyelenggaraan penyuluhan pertanian ditujukan untuk menolong petani nelayan agar mampu melakukan identifikasi dan analisis masalah, serta memecahkan berbagai masalah yang menyangkut usahataninya sebagai bagian dari sistem agribisnis sehingga menghasilkan perilaku professional dalam bentuk antara lain : (1) perilaku usahawan yang rasional dalam pengambilan keputusan usaha yang didasarkan atas permintaan pasar dan saluran pemasaran yang tepat; (2) pengelolaan usaha yang efisien disertai kemampuan bekerjasama di antara sesama petani nelayan atau antara petani nelayan dan pengusaha agroindustri serta sektor ekonomi pedesaan lainnya; (3) kepemimpinan yang berkembang secara mandiri ke arah berkembangnya sistem pengguna aktif berbagai peluang dan informasi usaha yang tersedia; (4) usaha yang berorientasi pelestarian sumberdaya alam sehingga mewujudkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan; (5) penyerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang relative cepat melalui kemandirian dalam mencari, menganalisa, dan mengambil keputusan atas informasi yang tersedia, serta (6) kepedulian terhadap masalah ketahanan pangan di tingkat keluarga, masyarakat dan nasional.

(47)

kemampuan serta pendayagunaan kemampuan-kemampuan yang telah dikembangkan ke dalam upaya peningkatan pendapatan, kesejahteraan, penciptaan lapangan kerja, kesehatan lingkungan serta kelangsungan pembangunan pertanian dan pembangunan nasional.

Efektivitas atau keberhasilan suatu kegiatan penyuluhan menurut Mardikanto (1991) dapat diukur dari seberapa jauh telah terjadi perubahan perilaku (petani) sasarannya, baik yang menyangkut : pengetahuan, sikap, dan ketrampilannya. Yang kesemuanya itu dapat diamati pada :

a. Perubahan-perubahan pelaksanaan kegiatan bertani yang mencakup macam dan jumlah sarana produksi, serta peralatan/mesin yang digunakan, maupun cara-cara atau teknik bertaninya

b. Perubahan-perubahan tingkat produktivitas dan pendapatannya

c. Perubahan dalam pengelolaan usaha (perorangan, kelompok, koperasi), serta pengelolaan pendapatan dari usaha taninya.

(48)

Terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menilai kinerja penyuluhan pertanian (RPP IPB,2005) antara lain : 1) tersusunya programa penyuluhan pertanian sesuai dengan kebutuhan petani, 2) tersusunnya rencana kerja penyuluh pertanian di wilayah kerja masing-masing, 3) tersedianya data peta wilayah untuk pengembangan teknologi spesifik lokasi sesuai dengan pengwilayahan komoditas unggulan, 4) terdesiminasinya informasi teknologi pertanian secara merata dan sesuai dengan kebutuhan petani, 5) tumbuh kembangnya keberdayaan dan kemandirian petani, kelompok tani, kelompok usaha/asosiasi petani dan usaha formal (seperti koperasi), 6) terwujudnya kemitraan usaha antara petani dengan pengusaha yang saling menguntungkan, 7) terwujudnya akses petani ke lembaga keuangan, informasi, sarana produksi pertanian dan pemasaran, 8) meningkatnya produktivitas agribisnis komoditas unggulan di masing-masing wilayah kerja, dan 9) meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani dimasing-masing wilayah kerja.

2.3.2. Penyuluh Pertanian

(49)

atau kehutanan untuk melakukan kegiatan penyuluhan; (2) Penyuluh swasta adalah penyuluh yang berasal dari dunia usaha dan/atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan; dan (3) Penyuluh Swadaya adalah pelaku utama yang berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh.

Penyuluh pertanian dalam memberdayakan masyarakat tani menurut Suhardiyono (1990), berperan sebagai : (1) pembimbing petani, (2) Organisator dan dinamisator petani, (3) teknisi dan (4) penghubung antara lembaga penelitian dengan petani. Kemudian Harun (1996), menyatakan peran penyuluh sebagai : (1) sumber informasi bagi petani, (2) penghubung petani kepada sumber-sumber informasi, (3) katalisator atau dinamisator di dalam mengarahkan dinamika petani atau kelompok tani untuk menciptakan suasana belajar yang diinginkan dan (4) pendidik, yang menyampaikan ilmu pengetahuan dan ketrampilannya di bidang pertanian kepada petani. Sedangkan Samsudin (1987) menyatakan bahwa penyuluh berperan sebagai pemimpin, pengajar dan penasehat. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas mempunyai kesamaan dan saling melengkapi mengenai pengertian dan peranan penyuluh pertanian lapangan dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai “ujung tombak” dalam membina petani dan kelompok tani dengan baik menuju kondisi penerapan pembangunan pertanian yang lebih baik.

(50)

menjalankan fungsi sebagai komunikator, pendidik dan motivator, bagi terjadinya perubahan perilaku sasaran, karena penyuluh mengkomunikasikan pesan-pesan penyuluhan kepada sasaran, dengan metode yang syarat nilai pendidikan, sehingga bertindak sebagai pendidik dengan berperan sebagai motivator bagi peningkatan kesadaran masyarakat kearah pencapaian tujuan yang diinginkan, dengan melaksanakan tugas-tugas tertentu. Selain itu, penyuluh juga harus mampu melakukan pengamatan terhadap keadaan sumberdaya yang terdapat di pedesaan, memberikan contoh pemecahan masalah dari berbagai kebutuhan pokok yang dihadapi masyarakat, serta menganalisa pemecahan masalah tersebut (Departemen Pertanian, 2002).

Kegiatan penyuluhan akan menjadi kegiatan yang mendapat apresiasi petani bila sang penyuluh dapat memberikan informasi-informasi segar dan bermanfaat serta memberikan pencerahan dalam setiap problem usaha tani yang dilakukan oleh para petani sebagai sasaran dari penyuluhannya. Standarisasi kualitas sumberdaya manusia seorang penyuluh pertanian mutlak menjadi main point dalam perekrutan dan penempatan PPL di lapangan. Trampil memahami masalah, mengetahui kebutuhan, dan dapat memberikan solusi pada setiap permasalahan yang dialami dan ditemui oleh petani merupakan kebutuhan ideal yang harus dapat distandarkan bagi setiap PPL di lapangan (Tohir, 2005)

(51)

Tabel. 2. Perubahan Penyuluhan Paradigma Baru dalam Penyuluhan Pertanian.

No. UNSUR PENYULUHAN LALU PENYULUHAN

MASA DEPAN 1. Manajemen Sentralisasi Desentralis mengadopsi 2. Tujuan Memaksimal produksi Meningkatkan

pendapatan dan kesejateraan petani 3. Pendekatan Top down Bottom Up 4. Metodologi Teknologi umum Teknologi spesifik

lokasi 7. Fokus Komoditi nasional Komoditi unggulan

daerah 8. Sumber Informasi - Lembaga penelitian

- Lembaga pendidikan -

- Petani

- Sektor swasta

- Lembaga pendidikan - Media informasi 9. Peran Penyuluh Pengajar Pemandu dan

Pendamping 10. Kedudukan Petani Penerima pesan dan

pengguna teknologi

Berorientasi sektoral Berorientasi kebutuhan petani dan terpadu

13. Metoda Belajar Kuliah, demonstrasi Belajar melalui pengalaman dan

Sumber : Hafsah (2006)

2.4. Kerangka Pemikiran

(52)

penyuluhan, sIstem kerja penyuluhan pertanian, kinerja pelaku penyuluhan pertanian, tingkat penerapan teknologi petani dan produktifitas usahatani. Selain itu juga dicermati permasalahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja penyuluh akibat restrukturisasi sIstem penyuluhan pertanian serta pemecahan masalahnya secara partisipatif. Otonomi daerah mengisyaratkan bahwa pemerintah daerah memiliki kekuasaan yang memadai dalam perumusan permasalahan yang dihadapi, kebutuhan serta tujuan pembangunan daerahnya. Pelaksanaan otonomi dan desentralisasi ini diharapkan akan mampu menjamin efisiensi dan efektifitas pelaksanaan pembangunan sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat dan pembagunan daerah.

(53)

Secara operasional sebuah pendekatan penyuluhan mempersoalkan bagaimana pemilihan petani yang akan dijadikan target audience, bagaimana pemenuhan sumberdaya sekaligus alokasinya, metodologi (sistem kerja) apa yang dipilih serta perkiraan hasil dan dampak kegiatan penyuluhan itu sendiri nantinya. Keefektifan dan keberlanjutan interaksi antara pengambil kebijakan, penyuluh dan petani dipengaruhi beberapa variabel seperti : (1) kelembagaan, (2) ketenagaan, (3) penyelenggaraan dan (4) pendanaan .

(54)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Analisis Kelembagaan Penyuluhan di Provinsi Riau

Keterangan : tidak dibahas dalam penelitan KEBIJAKSANAAN

OTDA

KELEMBAGAAN

PENYULUHAN SISTEM

PENYULUHAN

SISTEM KERJA PENYULUHAN

KINERJA PENYULUHAN

KOMPETENSI DAN PEMBERDAYAAN

PETANI

(55)

III. METODOLOGI KAJIAN

3.1. Jenis Kajian

Ditinjau dari aspek tujuan penelitian, kajian ini menggunakan pendekatan deskriptif dengan survey. Menurut Whitney (1960) dalam Natsir (1999), metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Sedangkan Hasmanto (2008), mengemukakan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang mendalam tentang satu atau beberapa fenomena sosial. Setiap gejala atau kondisi sosial tersebut diteliti secara luas dan mendalam dan kemudian dibuatkan gambaran, sehingga diperoleh suatu penjelasan yang luas tentang apa yang diteliti. Pada jenis penelitian ini dapat mengembangkan konsep, menghimpun data, tetapi tidak menguji hipotesa.

(56)

3.2. Waktu dan Lokasi

Pengkajian dilaksanakan selama 2 (bulan) bulan mulai Maret sampai April 2008, yang mengambil lokasi di 3 (tiga) kabupaten/kota yaitu : Kota Pekanbaru, Kabupaten Kampar dan Kabupaten Pelelawan. Penetapan lokasi dilakukan secara ‘purposive’ dengan pertimbangan daerah yang mempunyai sistem kelembagaan penyuluhan dimana penyuluh pertanian ber-satmikal (Satuan Administrasi Pangkal) di lembaga penyuluhan (Kabupaten Kampar) tersebut atau bersatminkal dibawah Dinas Pertanian (Kabupaten Pelalawan dan penyuluh pertanian yang bersatminkal di lembaga penyuluhan terpadu (Kota Pekanbaru). 3.3. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel

Populasi penelitian adalah adalah semua pihak yang terlibat dalam kelembagaan penyuluhan pertanian di kabupaten/kota, di tingkat kecamatan dan desa di Kabupaten Kampar, Pelalawan dan Kota Pekanbaru. Sampel penelitian adalah kepala satuan kerja, koordinator penyuluh, penyuluh, kelompok tani dan petani. Unit analisis SWOT, digunakan tiga orang stakeholders sebagai responden yang dianggap punya kompetensi yaitu Koordinator Penyuluh Pertanian Spesial (PPS), Kepala Balai Latihan Penyuluh Pertanian (BLPP) Provinsi Riau dan salah satu anggota Komisi Penyuluh Pertanian (KKP) Provinsi Riau.

(57)

Kampar di Kabupaten Kampar, Kecamatan Teluk Meranti di Kabupaten Pelalawan dan Kecamatan Rumbai Pesisir. Ditingkat kecamatan dipilih 1 orang Koordinator Penyuluh (Kepala BPP), 5 orang Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), dan 10 petani dari 2 kelompok tani pada daerah sentra produksi pangan (padi atau jagung), yang dipilih secara acak. Sehingga jumlah sampel setiap kabupaten/kota adalah 36 orang. Sehingga total sampel adalah 78 orang (Tabel 3) Tujuan diambilnya sampel kelembagaan di tingkat petani (kelompok tani) adalah untuk melihat perubahan perilaku dan dampak kebijakan publik yang berkaitan dengan pembentukan kelembagaan ini pada masing-masing kabupaten/kota. Tabel 3. Penyebaran Jenis dan Jumlah Responden

No. Kabupaten/ Kota/ Kecamatan

Koordinator Penyuluh

Penyuluh Petani Jumlah

1. Kampar 1 5 20 26

2. Pelalawan 1 5 20 26

3. Pekanbaru 1 5 20 26

Jumlah 3 15 60 78

Sumber : Data Primer, 2008.

3.4. Pengumpulan dan Analisis Data.

3.4.1. Jenis Data

(58)

tertutup dan terbuka. Untuk mengetahui persepsi responden terhadap kelembagaan dan kinerja penyuluhan digunakan, digunakan kuesioner tertutup dengan skala likert (Arikunto, 1998). Untuk lebih memperoleh masukan yang lebih mendalam terhadap masalah yang ada dilakukan Focus Group Discusion baik tingkat responden dan dilanjutkan ditingkat kecamatan.

Pengumpulan data sistem penyuluhan meliputi kesesuaian fungsi penyuluhan yang terlaksana, persepsi penyuluh terhadap keberadaan kelembagaan penyuluhan. Sedangkan sistem kerja penyuluhan pertanian, data yang dikumpulkan tentang intensitas laku, materi pertemuan, ketepatan metode, frekuensi latihan, pemecahan masalah yang ada. Sedangkan kinerja penyuluh diukur dari disiplin mematuhi jam kerja, ketepatan dalam menyelesaikan pekerjaan.

Pengumpulan data tingkat penerapan teknologi, diperoleh dari wawancara dengan petani sampel, yang meliputi persepsi petani tentang sistem LAKU, dan jumlah komponen teknologi yang diadopsi.

Sedangkan data sekunder yang diperoleh dengan telahan dokumen dari laporan-laporan dari instansi terkait, yang meliputi : 1) aspek kelembagaan (visi, misi, tugas pokok); 2) aspek ketenagaan (data jumlah tenaga penyuluh, status penyuluh, penyebaran), 3)aspek penyelenggaraan (program/kegiatan/materi penyuluhan, 4) aspek pendanaan (alokasi anggaran, dana operasional penyuluh, tunjangan operasional). Serta data-data terkait dengan potensi daerah.

3.4.2. Analisis Data

(59)

sederhana, grafik atau bagan sesuai jenisnya. Data tersebut selanjutnya diinterpretasikan untuk dapat menunjang dan saling melengkapi dengan data kualitatif guna menjawab permasalahan-permasalahan dalam kajian. Data kualitatif diolah dan dianalisis dengan tahapan melakukan peringkasan (reduksi) data, penggolongan, penyederhanaan, penelusuran tema dan pangaitan antar tema. Untuk menentukan alternatif strategi pengembangan kelembagaan penyuluhan di Provinsi Riau digunakan analisis faktor internal dan eksternal yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode analisis SWOT (strengths, weakness, opportunities, threat) dan untuk menentukan prioritas strategi digunakan analisis quantitative strategic planning matrix (QSPM).

1. Analisis Faktor Internal

Analisis internal dilakukan untuk memperoleh faktor kekuatan yang dapat dimanfaatkan dan faktor kelemahan yang harus diatasi. Faktor tersebut dievaluasi dengan menggunakan matriks IFE (Internal Faktor Evaluation) dengan langkah sebagai berikut (David, 2002)) :

a. Menentukan faktor kekuatan (strengths) dan kelemahan (weakness) dengan responden terbatas.

(60)

c. Memberikan skala rating 1 sampai 4 untuk setiap faktor untuk menunjukkan apakah faktor tersebut mewakili kelemahan utama (peringkat = 1), kelemahan kecil (peringkat = 2), kekuatan kecil (peringkat = 3), dan kekuatan utama (peringkat = 4). Pemberian peringkat didasarkan atas kondisi atau keadaan pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian di Provinsi Riau.

d. Mengalikan bobot dengan rating untuk mendapatkan skor tertimbang.

e. Menjumlahkan semua skor untuk mendapatkan skor total. Nilai 1

menunjukkan bahwa kondisi internal sangat buruk dan nilai 4 menunjukkan kondisi internal yang sangat baik rata-rata nilai yang dibobotkan adalah 2,5. Nilai lebih kecil daripada 2,5 menunjukkan bahwa kondisi internal selama ini masih lemah. Nilai lebih besar daripada 2,5 menunjukkan kondisi internal kuat. Analisis faktor diatas dapat menggunakan matriks pada Tabel 4.

Tabel 4. Matriks Analisis Faktor Internal Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian.

No Faktor Internal Bobot Rating Bobot x Rating Kekuatan (Strengths)

1. ... 2. ... 3. ...

Kelemahan (Weakness)

1. ... 2. ... 3. ...

T o t a l 1,00

2. Analisis Faktor Eksternal

(61)

serta seberapa baik strategi yang telah dilakukan selama ini. Analisis eksternal ini mengunakan matriks EFE (Eksternal Faktor Evaluation) dengan langkah-langkah sebagai berikut (David, 2002):

a. Membuat faktor utama yang berpengaruh penting pada kesuksesan dan kegagalan usaha yang mencakup peluang (opportunities) dan ancaman (threats) dengan melibatkan beberapa responden.

b. Menentukan derajat kepentingan relatif setiap faktor eksternal (bobot).

Penentuan bobot dilakukan dengan memberikan penilaian atau pembobotan angka pada masing-masing faktor. Penilaian angka pembobotan adalah sebagai berikut : 2 jika faktor vertikal lebih penting dari faktor horizontal, 1 jika faktor vertikal sama dengan faktor horizontal dan 0 jika faktor vertikal kurang penting daripada faktor horizontal.

c. Memberikan peringkat (rating) 1 sampai 4 pada peluang dan ancaman untuk menunjukkan seberapa efektif strategi mampu merespon faktor-faktor eksternal yang berpengaruh tersebut. Nilai peringkat berkisar antara 1 sampai 4. Nilai 4 jika jawaban rata-rata dari responden sangat baik dan 1 jika jawaban menyatakan buruk.

d. Menentukan skor tertimbang dengan cara mengalikan bobot dengan rating.

(62)

Tabel 5. Analisis Faktor Eksternal Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian.

No Faktor Eksternal Bobot Rating Bobot x Rating

Peluang (Opportunities)

1. ... 2. ... 3. ...

Ancaman (Threats)

1. ... 2. ...

3. ...

T o t a l 1,00

3. Analisis SWOT

Analisis SWOT merupakan alat untuk memaksimalkan peranan faktor yang bersifat positif, meminimalisasi kelemahan yang terdapat dalam tubuh organisasi dan menekan dampak ancaman yang timbul. Hasil analisis SWOT adalah berupa sebuah matriks yang terdiri atas empat kuadran. Masing-masing kuadran merupakan perpaduan strategi antara faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman). Menurut David (2002) langkah-langkah dalam menyusun matriks SWOT adalah sebagai berikut :

1. Mendaftar peluang eksternal 2. Mendaftar ancaman eksternal 3. Mendaftar kekuatan internal 4. Mendaftar kelemahan internal

5. Memadukan kekuatan internal dengan peluang eksternal dan mencatat hasilnya dalam sel S-O

(63)

7. Memadukan kekuatan internal dengan ancaman eksternal dan mencatat hasilnya dalam sel S-T

8. Memadukan kelemahan internal dengan ancaman eksternal dan mencatat hasilnya pada sel W-T. Secara lengkap matriks SWOT dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Matriks SWOT (Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats)

Faktor Internal

Faktor Eksternal

STRENGTHS (S) WEAKNESSES (W)

OPPORTUNITIES (O)

THREATS (T) STRATEGI S-T

Menggunakan kekuatan

Untuk menentukan prioritas strategi pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian digunakan analisis Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM). Setelah didapat beberapa strategi alternatif yang dihasilkan melalui analisis SWOT, selanjutnya menetapkan prioritas strategi dari beberapa pilihan tersebut dengan menggunakan analisis QSPM (David, 2002). Langkah-langkah dalam analisis QSPM adalah :

a. Mendaftar peluang/ancaman eksternal dan kekuatan/kelemahan internal dalam

(64)

b. Memberikan bobot untuk setiap faktor sukses kritis eksternal dan internal. Bobot ini identik dengan yang dipakai dalam matriks EFE dan matriks IFE. Bobot dituliskan dalam kolom disebelah kanan faktor sukses kritik eksternal dan internal.

c. Memeriksa matriks SWOT dan mengidentifikasi alternatif strategi yang harus

dipertimbangkan untuk diimplementasikan. Mencatat semua strategi ini di baris teratas dari QSPM.

d. Menetapkan nilai daya tarik (Attractiveness Score = AS) , tentukan nilai yang menunjukkan daya tarik relatif dari setiap strategi alternatif. Nilai daya tarik ditetapkan dengan memeriksa setiap faktor sukses kritis eksternal dan internal, satu per satu, dan mengajukan pertanyaan, apakah faktor ini mempengaruhi strategi pilihan yang akan dibuat ? Bila jawaban atas pertanyaan ini ya, maka stategi ini harus dibandingkan relatif pada faktor kunci. Secara spesifik, nilai daya tarik harus diberikan pada setiap strategi untuk menunjukkan daya tarik relatif dari satu strategi atas strategi lain, mempertimbangkan faktor penentu. Nilai daya tarik itu adalah 1 = tidak menarik, 2 = agak menarik, 3 = menarik, dan 4 = amat menarik. Bila jawaban atas pertanyaan di atas tidak, menunjukkan bahwa faktor sukses kritis yang bersangkutan tidak mempunyai pengaruh pada pilihan paling spesifik yang akan dibuat, kita tidak perlu memberikan nilai daya tarik pada strategi tersebut.

(65)

mempertimbangkan dampak dari faktor sukses kritis eksternal dan internal di baris tertentu. Semakin tinggi total nilai daya tarik, semakin menarik strategi alternatif itu ( hanya mempertimbangkan faktor sukses kritis dibaris itu). f. Menghitung jumlah total nilai daya tarik. Menjumlahkan total nilai daya tarik

dalam setiap kolom strategi QSPM. Jumlah total nilai daya tarik mengungkapkan strategi mana yang paling menarik dalam setiap set strategi. Semakin tinggi nilai menunjukkan strategi itu semakin menarik, mempertimbangkan semua faktor sukses kritis eksternal dan internal relevan yang dapat mempengaruhi keputusan strategis. Besarnya perbedaan antara jumlah total nilai daya tarik dalam satu set strategi alternatif tertentu menunjukkan seberapa besar strategi lebih diinginkan relatif terhadap yang lain. Untuk lebih jelasnya analisis metode QSPM dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Matriks Analisis QSPM

Strategi Alternatif

I II III Faktor Kunci Bobot

AS TAS AS TAS AS TAS Faktor-faktor kunci

Eksternal... ... Faktor-faktor kunci Insternal... ...

3.5. Metode Perancangan Program

Gambar

Tabel. 2.   Perubahan Penyuluhan Paradigma Baru dalam Penyuluhan
Gambar 1.    Kerangka Pemikiran Analisis Kelembagaan Penyuluhan
Tabel 4.     Matriks Analisis Faktor Internal Pengembangan
Tabel 5.  Analisis Faktor Eksternal Pengembangan Kelembagaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini yang berjudul internalisasi nilai karakter jujur dan tanggung jawab siswa di sekolah berfokus pada pembahasan tentang menanamkan nilai-nilai karakter jujur dan

Namun begitu, tidak dapat ditentukan secara sah selama tempoh program Saijana Pendidikan (Teknikal) KUiTTHO ini ditawarkan, adakah graduan lepasan program ini benar-benar

Dalam proses untuk menghasilkan energi, semua jenis karbohidrat yang dikonsumsi akan masuk ke dalam sistem pencernaan dan juga usus halus, terkonversi menjadi

K egawatdaruratan yang dapat muncul pada penderita luka bakar salah satunya adalah asidosis metabolik dimana terjadi ketidakseimbangan asam basa yang disebabkan

Berdasarkan grafik perbandingan P maksimum yang dapat diterima dinding BTPTP, pemberian tegangan awal / prestressed (berupa pengencangan baut) 60 Nm memiliki nilai yang

Kurang te r dapatnya ra lasi yang lnik antara llparat yang ber- wenang dalnm pe laksrulaan Ipeda!. ~1 nya unsur pem ungut Ipeda yang satu menyalahkan unaur pemungut

NIM Nama Lengkap Praktikan Romb... NIM Nama Lengkap

Selain itu juga dilakukan klasifikasi penutupan/ penggunaan lahan pada citra LANDSAT 8 multiwaktu untuk memperoleh fase pertumbuhan padi (Tabel 3-1) untuk analisis