HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN BERLANGGANAN AIR BERSIH ANTARA PDAM TIRTABINA
LABUHAN BATU RANTAUPERAPAT DENGAN KONSUMEN MENURUT UNDANG UNDANG NO. 8 TAHUN 1999
SKIRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh :
NIM : 080200164 ROCKY ARDIANSYAH. S
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA DAGANG
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang dan segenap
pihak terkait atas terselesaikannya penulisan hukum skripsi ini yang berjudul ”HAK
DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN BERLANGGANAN AIR
BERSIH ANTARA PDAM TIRTA BINA LABUHAN BATU RANTAUPERAPAT
DENGAN KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 08 TAHUN 1999”.
Salah satu tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi persyaratan meraih gelar
Sarjana Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Perdata Universitas sumatera Utara..
Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian penulisan skripsi ini tidak
dapat terlaksana dengan lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini,
penulis mengucapakan terima kasih dengan segala kerendahan hati kepada pihak-pihak
yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini, terutama kepada:
1.Bapak Prof .Dr Runtung Sitepu ,SH,M.Hum Selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas sumatera Utara yang telah mengorbankan segenap tenaga dan pikiran demi
kemajuan Fakultas Hukum USU .
2. Bapak Dr. H. Hasyim Purba SH, M.Hum Selaku Ketua Departemen Hukukum
Keperdataan di Fakultas Hukum Universitas sumatera Utara.
3 Ibu Rabiatul Syahriah SH,M.Hum selaku pembimbing skripsi I yang telah
meluangkan waktu, memberikan ilmu, dan arahan serta selalu memotivasi penulis di
4 Bapak Azwar Mahyuzar SH selaku pembimbing skripsi II yang telah meluangkan
waktu, memberikan ilmu, dan arahan serta selalu memotivasi penulis di kala penulis
mengalami kebingungan.
5. Bapak Amin Prasetya,MM selaku Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM) Tirta Bina Labuhan Batu Rantauperapat, dan segenap karyawan yang telah
memberikan informasi, memberikan ijin kepada penulis untuk mengambil data dan
membantu penulis dalam penelitian ini.
6. Bapak dan Ibu Dosen staf pengajar di Fakultas Hukum USU serta seluruh pegawai di
lingkungan Fakultas Hukum Universitas sumatera Utara, atas pendidikan, pengajaran,
dan ilmu yang diberikan untuk penulis.
7. Bapak Drs, H. Iriyanto Siregar M.Pd ayahanda tercinta yang telah mendidik,
mencurahkan kasih sayang, tiada henti dari lahir hingga saat ini dan seterusnya.
8. Ibu Dra Hj Rosdani nasution ibunda tersayang, motivator terhebat, yang selalu
mengajarkan hidup dan menjalani kehidupan dengan cara yang luar biasa dengan
9. Seluruh Keluarga besarku yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu semoga
ukhuwah dan tali silaturahim ini membawa kita dalam kesuksesan dunia akhirat.
10. Semua pihak yang telah banyak membantu sampai penulisan skripsi ini
terselesaikan dengan baik. Semoga menjadi amal kita semua, Amin. Penulisan skripsi
ini masih belum sempurna, namun demikian mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang membacanya.
Medan, 15 Mei 2013
ABSTRAK Rocky Ardiansyah, 2013.
HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN
BERLANGGANAN AIR BERSIH ANTARA PDAM TIRTA BINA LABUHAN BATU RANTAUPERAPAT DENGAN KONSUMEN MENURUT
UNDANG-UNDANG NO. 08 TAHUN 1999.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ……… i
KATA PENGANTAR……….. ii
DAFTAR ISI ……… v
BAB I. PENDAHULUAN……….. 1
A. Latar Belakang ... . 1
B. Permasalahan ... . 5
C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan ... . 6
D. Keaslian Penulisan ... 7
E. Metode Penelitian ... 8
F. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II. GAMBARAN UMUM TENTANGPERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA……….... 16
A. Pengertian Perjanjian ... … 16
B. Pengertian Hak dan Kewajiban ... . 20
C. Asas Umum dalam Perjanjian ... . 22
D. Syarat Sahnya Perjanjian………. 25
E. Wanprestasi………. 28
F. Berakhirnya Perjanjian……… 31
BAB III. GAMBARAN UMUM TENTANG KONSUMEN……… 39
A. Pengertian Konsumen ... .. 39
B. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen ... .. 41
C. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ... .. 43
D. Hak dan Kewajiban Konsumen ... .. 46
BAB IV. HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN BERLANGGANAN AIR BERSIH ANTARA PDAM TIRTA BINA LABUHAN BATU RANTAUPERAPAT DENGAN KONSUMEN
MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 08 TAHUN 1999 ... 50
A. Profil PDAM Tirta Bina Labuhan Batu Rantauperapat………... 50
B. Hak dan Kewajiban Para Pihak Menurut UU No. 08 Tahun 1999………….. 51
C. Akibat Hukum Jika Terjadi Wanprestasi………. 65
D. Penyelesaian Sengketa antara PDAM dengan Konsumen………... 78
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………. 82
A. Kesimpulan………... 82
B. Saran………... 83
ABSTRAK Rocky Ardiansyah, 2013.
HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN
BERLANGGANAN AIR BERSIH ANTARA PDAM TIRTA BINA LABUHAN BATU RANTAUPERAPAT DENGAN KONSUMEN MENURUT
UNDANG-UNDANG NO. 08 TAHUN 1999.
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Air merupakan sarana yang sangat vital bagi kelangsungan hidup, baik itu
manusia, binatang maupun tumbuhan. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk,
perkembangan Kabupaten Labuhan Batu baik di sektor pembangunan maupun industri
yang terus meningkat mengakibatkan kebutuhan akan air bersih terus bertambah. Air
yang merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia yang mengandung suatu nilai
universal, dimana kebutuhan tersebut adalah kebutuhan yang tidak boleh dilimitasi,
dielemindir sebagian dan atau seluruhnya, kebutuhan tersebut juga sudah menjadi hak
konstitusional setiap warga negara, yang bisa diartikan bahwa keberadaan air bagi
rakyat banyak tidak bisa lagi dalam pemenuhannya tergantung pada Undang-undang
atau Peraturan Pemerintah yang berlaku di sebuah negara, misalkan dibatasi dengan
keberadaan oleh adanya Undang-undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
(SDa)1
1
Undang-undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDa).
.
Dalam memenuhi kebutuhan hidup terutama yang menyangkut hajat hidup
orang banyak, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) diselengggarakan oleh Negara,
karena salah satu sektor yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
adalah air. Air merupakan sumber kehidupan bagi setiap makhluk hidup, dan tanpa air
orang tidak dapat hidup. Karena sifatnya yang penting dan merupakan kebutuhan hajat
Hal ini diperkuat dengan dasar hukum yang telah ditetapkan, dapat kita lihat
dalam Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi “Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai
oleh Negara2
Hal ini diperkuat oleh Undang-undang Nomor 8 tahun 1999, Tentang
Perlindungan Konsumen, dalam Pasal 29 ayat 1 ”.
Tujuan untuk dikuasainya cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai
hajat hidup orang banyak oleh Negara adalah antara lain bertujuan untuk kemakmuran
rakyat. Dikhawatirkan apabila tidak dikuasai oleh negara akan terjadi penindasan
terhadap masyarakat, terutama masyarakat golongan rendah.
Sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan
manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala
bidang. Sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, undang-undang ini menyatakan bahwa sumber daya air dikuasai
oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat secara adil. Dalam hal
ini masyarakat disebut sebagai pemakai (konsumen), sebagaimana konsumen memiliki
hak dan kewajiban untuk pelayanan dan perlindungan.
3
2
Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara
3
Undang-undang Nomor 8 tahun 1999, Tentang Perlindungan Konsumen, dalam Pasal 29 ayat 1 tentang perlindungan konsumen
mengatakan : “ Pemerintah
menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya
kewajiban konsumen dan pelaku usaha”.
Pembangunan di bidang ekonomi yang berorientasi pertumbuhan ekonami yang
tinggi tersebut telah menghasilkan konglomerasi di bidang usaha. Namun ironisnya
pada saat yang sama ada kepentingan yang terasa belum secara utuh menjadi bagian
dari kegiatan bidang ekonomi, yaitu aspek-aspek perlidungan konsumen.
Demikian halnya dalam bidang pelayanan berlangganan jika terjadi
pelanggaran-pelanggaran hak konsumen yaitu masyarakat pengguna jasa Perusahaan
Daerah Air Minum yang dalam kegiatan sehari-harinya selalu mengguanakan air
minum untuk kelangsungan hidupnya, maka pihak Perusahaan Daerah Air Minum dapat
dituntut untuk memberikan ganti rugi.
Dengan demikian dalam hal ini Perusahaan Air Minum sangat diharapkan dapat
memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya pada pengguna air Perusahaan Daerah
Air Minum tersebut yaitu para konsumen yang harus diperhatikan haknya sebagai
pengguna air Perusahaan air minum tersebut.
Konsumen kerap kali menjadi korban sepihak. Pelaku usaha yang tidak
bertanggung jawab meraup keuntungan besar tanpa harus bertanggung jawab atas apa
yang dialami konsumennya akibat mengkonsumsi air yang dijual. Misalnya tentang
mutu kualitas dan layanan jasa, para pihak perusahaan yang tidak bertanggung jawab
menempatkannya pada posisi prioritas kedua setelah keuntungan usaha. Telah banyak
bukti yang terjadi di masyarakat selama bertahun-tahun tentang hal ini, sehingga
Berdasarkan kenyataan yang ada, banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan
yang dapat merugikan baik Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Bina Labuhan Batu
maupun pihak konsumen, terutama dalam hal memberikan pelayanan kepada konsumen
yang kurang baik misalnya masyarakat banyak mengeluh pelayanan yang diberikan
oleh pihak Perusahaan Daerah Air Minum sering terjadi keluhan terhadap kelancaran
air yang kurang baik terutama pada siang hari disaat masyarakat membutuhkannya, dan
air yang keluar tersebut tidak jernih seperti halnya air bersih.
Lahirnya Undang-undang Nomor 8 tahun 1999tentang Perlindungan Konsumen
adalah pada dasarnya penegasan dari hak masyarakat yang dilayani itu, untuk
mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya. Para pengelola penyedia air minum
mencermati dengan baik hal itu dan mempersiapkan diri tentang datangnya tutntutan
nyata tentang kualitas pelayanan yang harus diterima masyarakat.
Bagaimana pun pada kenyataannya harus diakui pelayanan seperti yang
dimaksud belum dapat dilakukan oleh semua Perusahaan Daerah Air Minum. Dapat
dikatakan sebagian kecil Perusahaan Daerah Air Minum saja yang sudah mencapai
tingkat pelayanan seperti yang diharapkan masyarakat dan pelanggan.
Undang-undang ini diharapkan mampu memfasilitasi masyarakat produsen dan
konsumen menjadi mandiri, dengan memahami hak dan kewajiban masing-masing yang
pada gilirannya akan mendorong iklim usaha yang sehat, kondusif, dan bertanggung
jawab.
Upaya ini merupakan sesuatu hal yang penting untuk mendidik produsen agar
mendidik konsumen untuk mengetahui mereka mendapatkan apa atas sejumlah harga
yang bibayarkan. Bila posisi ini dipahami dan dilaksanakan masing-masing pihak maka
sinergi produsen-produsen dalam memberi peluang yang sehat akan terbuka luas.
Dengan demikian dalam perjanjian berlangganan air bersih antara pelanggan
dengan Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Bina Labuhanbatu jika salah satu pihak
melakukan wanprestasi, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut gati rugi pada
pihak yang menimbulkan kerugian tersebut.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penulis tertarik
untuk melakukan penelitian yang berjudul : “ Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam
Perjanjian Berlangganan Air Bersih antara PDAM Tirta Bina Labuhanbatu dengan
Konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999”.
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang terjadi adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana proses pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian
berlangganan air bersih antara Konsumen dengan Perusahaan Daerah Air Minum
berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
2. Kendala apa yang dihadapi konsumen dan PDAM Tirta Bina labuhanbatu dalam
melaksanakan hak dan kewajiban berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ?
C. TUJUAN PENULISAN DAN MANFAAT PENULISAN
Adapun maksud dilakukannya penelitian ini adalah untuk mendapatkan
bahan-bahan dan data-data yang diperlukan dalam rangka penulisan skripsi untuk memenuhi
salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum di Universitas Sumatera Utara
1. Tujauan Penulisan.
Tujuan dari penulisan ini adalah :
a. Untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan hak dan kewajiban para
pihak dalam perjanjian berlangganan air bersih antara Konsumen dengan
Perusahaan Daerah Air Minum berkaitan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.
b. Untuk mengetahui kendala-kendala apa yang dihadapi konsumen dan
PDAM Tirta Bina Labuhanbatu dalam melaksanakan hak dan kewajiban
pelaku usaha berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen.
c. Untuk mengetahui bagimana tanggapan konsumen tentang pelaksanaan
kewajiban pelaku usaha sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Manfaat dari penulisan ini adalah:
a. Bagi perusahaan, penulis berharap hasil penelitian dapat menjadi bahan
masukan dan pertimbangan bagi perusahaan dalam melaksnakan kewajiban
pelaku usaha berkaitan dengan Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
b. Bagi pihak lain diharapkan dapat menjadi bahan sumbangan pemikiran yang
dapat membantu apabila ingin melaksanakan penelitian lebih lanjut dan
menambah wawasan bagi rekan-rekan mahasiswa lain dalam hal perjanjian
berlangganan air terutama di Perusahaan Daerah Air Minum, khususnya
kewajiaban pelaku usaha berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun
1999 tentang Perlindungan konsumen.
D. KEASLIAN PENULISAN
Andry fahrizal (2001) telah melakukan penelitian mengenai perlindungan
hukum bagi konsumen terhadap pengguna jasa air minum ditinjau dari undang undang
no 8 tahun 1999 4
Susanti Idris (1993) telah melakukan penelitian mengenai tinjauan hukum
tentang pelaksanaan perjanjian asuransi kesehatan (askes) dan dana pension karyawan
di PDAM Tirtanadi Medan
(studi kasus di PDAM Tirtanadi cabang Diski).
5
4
Andry fahrizal. 2001. Perlindungan hukum bagi konsumen terhadap pengguna jasa air minum ditinjau dari undang undang no 8 tahun 1999. Medan : USU
5
Susanti Idris. 1993. Tinjauan hukum tentang pelaksanaan perjanjian asuransi kesehatan (askes) dan dana pension karyawan di PDAM Tirtanadi Medan. Medan : USU
Engko (2008) telah melakukan penelitian mengenai kinerja finansial Perusahaan
Daerah Air Minum Kabupaten Asahan periode tahun 2004-20086
Sesuai dengan judul dan permasalahan yang akan diteliti maka
penelitian yang akan dilakukan menggunakan pendekatan normatif yakni
penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau
norma-norma dalam hukum positif. Hal ini sesuai dengan pandangan Soerjono
Soekanto (2006) bahwa penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder, dapat dinamakan penelitian hukum normatif , dengan menganalisis
pengelolaannya, kemungkinan pengembangan dan menghitung common
size, indeks,efektivitas, rentabilitas, likuiditas dansolvabilitas. Kesimpulan yang
diperoleh adalah common size dan neraca indeks menunjukkan jumlah aktiva pada
tahun 2004-2008 cukup baik, kinerja keuangan pada tahun 2004-2008 kurang sehat, dan
secara operasional belum berhasil.
Sedangkan pada penelitian ini penulis membahas mengenai hak dan kewajiban
para pihak dalam perjanjian berlangganan air bersih antara PDAM Tirta Bina
Labuhanbatu dengan konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999.
E. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
6
atau penelitian hukum kepustakaan7
a. Penelitian terhadap asas- asas hukum
. Penelitian hukum normatif atau
kepustakaan tersebut mencakup:
b. Penelitian terhadap sistematik hukum
c. penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal
d. Penelitian terhadap perbandingan hukum
e. Penelitian terhadap sejarah hukum (Soerjono Soekanto 2006)
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang mendasari dalam tulisan ini, menurut penulis termasuk
dalam penelitian Preskriptif atau terapan. Hal tersebut merujuk pada teori Peter
Mahmud Marzuki, yakni ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai
preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai- nilai keadilan,
validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum8
3. Pendekatan Penelitian
.
Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur,
ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam aturan hukum. Dalam penelitian ini akan
mengulas lebih jauh mengenai sejauh mana perlindungan hukum yang diberikan
oleh PDAM atas hak-hak konsumen, berdasarkan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan
Perundang-undangan. Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan
perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum
7
Soerjono, Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press.
8
yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian (Jhonny Ibrahim,
2008) Untuk itu menurut Haryono sebagaimana dikutip oleh Jhonny Ibrahim,
penelitian harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai
sifat-sifat sebagai berikut9
a. Comprehensive, artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya
terkait antara satu dengan yang lain secara logis. :
b. All-inclusive, bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu
menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada
kekurangan hukum.
c. Systematic, bahwa disamping bertautan satu dengan yang lain,
norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis
4. Lokasi dan Waktu Penelitian
a. Lokasi penelitian
Sebelum melakukan penelitian perlu di tetapkan lokasi penelitian.
Adapun tempat penelitian ini adalah di PDAM Tirta Bina Rantauprapat. Adapun
alasan peneliti memilih melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimana proses pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian
berlangganan air bersih antara Konsumen dengan Perusahaan Daerah Air
Minum berkaitan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
b. Waktu penelitian
9
Waktu penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Februari 2013 sampai
dengan bulan April 2013.
Penelitian direncanakan selama sekitar 4 bulan dengan perincian :
No Kegiatan Bulan
Februari Maret April Mei
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Persiapan
penelitian/proposal
2 Pengumpulan data
melalui studi
kepustakaan
yang diperoleh
disusun sesuai
penelitian
4 Penyusunan
laporan
penelitian skripsi
5. Metode Pengumpulan Data dan Analisis Data
a. Jenis dan sumber data
1. Jenis data.
Jenis data penelitian ini data sekunder, dimana data sekunder dalam
penelitian ini bersumber dari bahan-bahan primer, yaitu bahan hukum yang
mengikat berupa peraturan perundang-undangan khusus perjanjian
berlangganan air bersih antara PDAM Tirta Bina Rantauprapat dengan
pelanggan. Sedangkan data primer penelitian ini antara lain berupa
wawancara dengan pimpinan PDAM Tirta Bina Rantauprapat.
2. Sumber data
Sumber data merupakan tempat dimana, dapat ditemukannya
adalah: Sumber Data Sekunder. Dalam penelitian ini, sumber data sekunder
adalah sejumlah data-data keterangan atau fakta-fakta yang diperoleh secara
langsung maupun tidak langsung melalui studi pustaka yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti sedangkan data primer adalah data yang hanya
dapat kita peroleh dari sumber asli atau pertama dan bukan berasal dari
pengumpulan data yang pernah dilakukan sebelumnya. Sumber data
sekunder dibidang hukum dapat diperoleh dari bahan-bahan hukum yang
dibedakan menjadi:
a. Bahan Hukum Primer
Merupakan bahan hukum yang utama dalam penelitian ini meliputi:
1. Peraturan dasar UUD 1945
2. Undang-undang Nomor Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
b. Bahan Hukum Sekunder
Merupakan bahan hukum yang erat hubungannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu memahami dan
menganalisa bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder meliputi:
1. Buku-buku ilmiah di bidang hukum
2. Makalah dan hasil-hasil karya ilmiah para sarjana
Merupakan bahan hukum yang memberikan informasi tentang
bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier dalam
penelitian ini meliputi:
1. Surat Kabar
2. Internet
b. Teknik pengumpulan data
Dalam penelitian data ini, digunakan teknik pengumpulan data dengan
studi kepustakaan atau dokumentasi. Studi dokumentasi ini sebagai metode
pengumpulan data yang utama dan dokumen-dokumen tersebut diharapkan
dapat menjadi nara sumber yang dapat memecahkan permasalahan penelitian.
Di dalam melakukan metode dokumentasi, penulis menyelidiki benda-benda
tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen
rapat, catatan harian dan sebagainya. Dalam pengertian yang lebih luas,
dokumen bukan hanya yang berwujud tulisan saja tetapi dapat berupa
benda-benda peninggalan seperti prasasti dan simbol-simbol.
c. Teknik analisis data
Dalam penelitian ini, akan dianalisis dengan logika deduktif. Menurut
Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat Philipus M. Hadjon
menjelaskan metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh
Aristoteles, penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis
khusus), dari kedua premis itu ditarik suatu kesimpulan atau conclusion10(Peter
Mahmud Marzuki, 2008). Pada logika silogistik untuk penalaran hukum yang
bersifat premis mayor adalah aturan hukum sedangkan premis minornya adalah
fakta hukum. Sedangakan menurut Jhonny Ibrahim, yang mengutip pendapat
Bernard Arief Shiharta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik
kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat
individual11
10
Peter, M. Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
11
Jhonny, Ibrahim. 2008. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia
(Jhonny Ibrahim, 2008). Dalam hal ini, data yang diperoleh dalam
penelitian ini dengan melakukan inventarisasi sekaligus mengkaji dari penelitian
studi kepustakaan aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang
dapat membantu menafsirkan norma terkait, kemudian data tersebut diolah dan
dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir adalah
menarik kesimpulan dari data yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat
diketahui sebarapa jauh PDAM menerapkan Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang perlindungan konsumen, dalam usahanya memberikan
perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen PDAM.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Adapun sistematika penulisan secara keseluruhan dapat diuraikan, yaitu sebagai
Bab I Pendahuluan, yang menjadi sub bab terdiri dari, yaitu : Latar Belakang,
Permasalahan, Tujuan Penulisan dan manfaat penulisan, Keaslian penulisan, Metode
Penelitian, Sistematika penulisan.
Bab II Gambaran umum tentang perjanjian menurut kitab undang undang
hokum perdata yang terdiri dari sub bab, yaitu : Pengertia perjanjian, Pengertian hak
dan kewajiban, Asas umum dalam perjanjian, Syarat sahnya perjanjian, Wanprestasi,
Berakhirnya perjanjian.
Bab III Gambaran umum tentang Konsumen meliputi : Pengertian konsumen,
Dasar hukum perlindungan konsumen, Asas dan tujuan perlindungan konsumen, Hak
dan kewajiban konsumen, Prinsip-prinsip perlindungan konsumen.
Bab IV Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian berlangganan air bersih
antara PDAM tirta bina Labuhan Batu Rantauperapat dengan konsumen menurut
undang undang no. 08 tahun 1999 yang meliputi : Profil PDAM tirta bina Labuhan Batu
Rantauperapat, Hak dan kewajiban para pihak menurut undang undang no. 08 tahun
1999, Akibat hukum jika terjadi wanprestasi, Penyelesaian sengketa antara PDAM tirta
bina Labuhan Batu Rantauperapat dengan konsumen.
Bab V Penutup sebagai layaknya dalam penulisan skripsi, maka dalam penulisan
ini membuat suatu kesimpulan juga saran-saran yang menjadi bahan masukan untuk
penelitian mengenai masalah ini dan dalam skripsi ini akan turut pula dimasukkan
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA
A. PENGERTIAN PERJANJIAN
Pengertian perjanjian terdapat dalam KUH Perdata, terdapat dalam buku III
yaitu mengatur tentang perikatan (Verbintenis), dimana setiap perikatan-perikatan yang
timbul dari suatu perjanjian. Hal itu diatur dalam pasal 1313 s/d 1351. Pada Pasal 1313
KUH Perdata dinyatakan “ suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih12
Perjanjian (sering disebut kontrak dalam pergaulan bisnis sehari-hari) diliputi
oleh berbagai istilah yang bagi banyak pihak dapat menimbulkan kebingungan atau
malah dianggap sama, pada hal hakekatnya berbeda. Kata perjanjian dan kata perikatan
merupakan istilah yang telah dikenal dalam kitab undang-undang hukum perdata ( KUH
Perdata). Pada dasarnya KUH Perdata tidak secara tegas memberikn defenisi dari
perikatan, akan tetapi pendekatan terhadap pengertian perikatan dapat diketahui dari
pengertian perjanjian dalam pasal 1313 KUH Perdata yang didefenisikan sebagai suatu
perbuatan hukum dengan mana salah satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih. Hukum perjanjian dalam KUH Perdata menganut asas
konsensualisme. Konsensualisme berasal dari akar kata konsensus yang berarti sepakat.
Kesepakatan dapat berupa suatu perjanjian tertulis, atau lisan atau kebiasaan yang
terjadi dalam satu sifat atau lingkup transaksi tertentu. Menurut pendapat R. Subekti .
12
(1992) bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang
lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.13
Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
dinyatakan bahwa Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat Perikatan merupakan suatu perjanjian abstrak, sedangkan suatu perjanjian
adalah suatu peristiwa hukum yang konkrit.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terjemahan R. Subekti dan R.
Tjitrosdibio tidak dipakai istilah perjanjian melainkan yang dipakai adalah perikatan.
Jadi kedua istilah tersebut adalah sama artinya.
Dengan demikian hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa
perjanjian itu dapat menimbulkan perikatan dikalangan para pihak yang mengadakan
perjanjian itu atau diantara para pihak yang bersepakat di dalam perjanjian itu. Jadi
perjanjian adalah merupakan salah satu sumber perikatan di samping sumber-sumber
perikatan lainnya. Perjanjian disebut sebagai persepakatn atau persetujuan, sebab para
pihak yang membuatnya tentunya menyetujui atau menyepakati isi dari perjanjian yang
dibuat untuk melaksankan sesuatu prestasi tententu.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perikatan adalah suatu pengertian yang
abstrak sedangkan perjanjian adalah merupakan hal yang nyata atau suatu peristiwa
konkrit. Sebab perikatan tidak dapar terlihat secara nyatamelainkan hanya dapat
dibayangkan sedangkan perjanjian pada umumnya terlihat jika itu dalam bentuk tertulis
dan jika hanya lisan saja, maka perjanjian dapat didengar isinya atau
perkataan-perkataan yang mengandung janji tersebut.
13
yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha
yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib
dipenuhi oleh konsumen.
Secara sepintas, dapat terkesan bahwa perjanjian baku bertentangan atau tidak
sejalan dengan asas-asas umum perjanjian seperti asas sepakat dan konsensual,
mengingat terms and cinditionnya telah ditetapkan (pre determined) secara sepihak.
Namun demikian, bahwa dengan diterimanya syarat-syarat oleh pihak lainnya dapat
diartikan bahwa secara sukarela yang bersangkutan telah mengikatkan diri untuk
menerima persyaratan-persyaratan dimaksud.
Mengingat penundukan sukarela yang demikian, maka penting dijaga bahwa
terms and cindition teresbut memenuhi unsur-unsur keadilan, kepatutan, keseimbangan
dan perlidungan bagi pihak yang secara objektif faktual berada dalam posisi yang tidak
seimbang. Kondisi objektif faktual tersebut antara lain dapar berupa tidak adanya
alternatif untuk mendapatkan pilihan-pilihan yang terbuka, atau tidak adanya waktu
yang cukup bagi satu pihak untuk merundingkan terms and cindition atau posiis tawar
yang relatif lebih lemah baik karena kedudukan monopolistis atau karena sifat barang
dan atau jasa yang menjadi objek perjanjian.
Kontrak baku adalah kebutuhan nyata dalam sebuah bisnis. Kebutuhan tersebut
timbul mengingat sifat-sifat dan transaksi seperti berulang-ulang dan relatif hmogen,
berlaku umum dan massal serta telah merupakan kebiasaan dalam dunia perdagangan.
Namun demikian, Undang-Undang membatasi kebebasan dari satu pihak untuk
mendiktekan dan sayarat-syaratnya untuk tidak bertentangan dengan asas-asas umum
menyatakan bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu
meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian
konsumen untuk melindumgi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha
yang bertanggungjawab.
Selain itu juga dalam pasal 3 dinyatakan bahwa penting untuk menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh
sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha. Berdasarkan pasal 18 ayat 1
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, pembatasan-pembatasan pada kontrak baku
jstru diperlukan untuk melindungi asas kebebasan berkontrak yang berlaku secara
universal itu.
Selengkapnya bunyi pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 adalah
sebagai berikut :
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap
konsumen dan atau perjanjian apabila :
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang
yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang
yang dibayarkan atas barang dan atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh
pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang
yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yamh letak atau bentuknya
sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti
3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagiamana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dinyatakan batal demi hukum.
4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan
Undang-Undang ini. Sebenarnya pengaturan perundang-undangan perlindungan
konsumen ini adalah semacam lex specialist dari pengaturan umum yang ada pada
perikatan dalam KUH Perdata, apada pasal 1493 dan pasal 1494 yang berbunyi
sebagai berikut : Pasal 1493 kedua belah pihak, dengan persetujuan-persetujuan
Undang-Undang ini bahkan mereka boleh mengadakan persetujuan bahwa penjual
tidak wajib menanggung sesuatu apa pun.
B. PENGERTIAN HAK DAN KEWAJIBAN
Sebelum membahas mengenai hak dan kewajiban, ada baiknya kita memahami
dulu apa pengertian hak itu. Dalam pengertian hukum, hak adalah kepentingan hukum
yang dilindumgi oleh hukum. Kepentingan sendiri berarti tuntutan yang diharapkan
untuk dipenuhi. Sehingga dapat dikatakan bahwa hak adalah suatu tuntutan yang
pemenuhannya dilindungi oleh hukum. Hak adalah sesuatu yang mutlak menjadi milik
kita dan penggunaannya tergantung kepada kita sendiri.
Sebagai warga negara yang baik kita wajib membina dan melaksanakan hak dan
kewajiban kita dengan tertib. Dalam penelitian ini hak dan kewajiban ditujukan kepada
konsumen dan pelaku usaha sebagai pihak dalam perjanjian berlangganan air bersih.
Janus Sidabalok (2006) dalam bukunya Hukum perlindungan Konsumen di
Indonesia menyebutkan bahwa ada tiga macam hak berdasarkan sumber
pemenuhannya14
1. Hak manusia karena kodratnya, yakni hak yang kita peroleh begitu kita lahir,
seperti hak untuk hidup dan hak untuk bernapas. , yakni :
14
2. Hak yang lahir dari hukum, yaitu hak yang diberikan oleh negara kepada
warga negaranya. hak ini juga disebut sebagai hak hukum. Contohnya hak
untuk memberi suara dalam Pemilu.
3. Hak yang lahir dari hubungan kontraktual, yaitu hak ini didasarkan pada
perjanjian/kontrak antara orang yang satu dengan orang yang lain. Contohnya
pada peristiwa jual beli, Hak pembeli adalah menerima barang sedangkan hak
penjual adalah menerima uang.
C. ASAS UMUM DALAM PERJANJIAN
1. Asas-asas umum perikatan
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa perikatan dapat timbul dari
dua hal yaitu karena perjanjian dan atau karena undang-undang. Perikatan yang lahir
dari perjanjian adalah perikatan yang timbul aras dasar sepakat berdasarkan asas
kebebasan berkontrak antara para pihak. Kesepakatan tersebut berlaku dan mengikat
sebagai undang-undang bagi para pihak yang terikat dengan kesepakatan tersebut (pasal
1338 KUH Perdata).
Terlepas dari sumber timbulnya perikatan, setiap perikatan harus memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut 15
15
R. Subekti. 1992. Aneka Perjanjian. Jakarta : PT. Intermasa.
a. Hubungan hukum. hubungan hukum tersebut melekatkan hak pada satu pihak
dan kewajiban pada pihak lainnya. Pelanggaran oleh satu pihak atas
hubungan tersebut, menempatkan hukum untuk berperan dalam pemenuhan
atau pemulihannya.
b. Kekayaan dan immaterialitas. Hubungan hukum yang dapat dinilai dengan
uang merupakan suatu perikatan. Namun, sekalipun hubungan hukum tidak
dapat dinilai dengan uang, apabila rasa keadilan masyarakat menghendaki
agar suatu hubungan diberi akibat hukum, maka hukumpun akan melekatkan
akibat hukum pada hubungan tadi sebagai suatu perikatan.
c. Pihak-pihak pada setiap perikatan setidak-tidaknya harus ada satu pihak yang
bertindak sebagai kreditur dan satu pihak sebagai debitur. Kreditur dan
debitur dalam hal ini adalah pengertian yang luas menyangkut kepada
prestasi yang dituntut dan kontraprestasi yang diharapkan. Satu kreditur dapat
menjadi debitur pada saat yang sama, namun dengan prestasi dan
kontraprestasi yang resiprokal. Misalnya seorang penjual adalah kreditur
terhadap harga penjualannya namun adalah merupakan debitur yang
mempunyai kewajiban untuk menyerahkan barang dan jasa yang
diperjanjikan. Hal yang sebaliknya berlaku bagi pembeli.
d. Prsetasi (objek hukum) Pasal 1234 KUHPerdata membedakan prestasi dalam
bentuk :
1. Memberikan sesuatu
3. Tidak berbuat sesuatu16
(R. Subekti. 1992)
2. Asas-asas umum perjanjian
Asas-asas umum perjanjian ini pada umumnya berlaku secara universal baik
dalam sistem hukum anglo saxon. Asas-asas tersebut terdapat baik secara eksplisist
maupun dalam sifatnya yang implisit dalam buku III KUHPerrdata tentang perikatan
asas-asas hukum perjanjian adalah :
a. Asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomi) para pihak bebas
menentukan isi serta persyaratan perjanjian sepanjang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, baik
ketentuan umum maupun perudang-undangan.
b. Asas konsensualisme (persesuaian kehendak) timbulnya berdasarkan
perjumpaan atau persesuaian kehendak, tanpa terikat dengan bentuk
formalitas tertentu.
c. Asas kepercayaan.
d. Asas kekuatan mengikat, mengikat bagi para pihak, tidak saja untuk hal-hal
yang secara tegas dinyatakan tetapi juga untuk yang menurut sifat
persetujuan daharuskan oleh suatu kepatutan, kebiasaan, atau
undang-undang.
e. Asas persamaan hukum.
16
f. Asas keseimbangan, adalah asas yang menghendaki kedi\ua belah pihak
memenuhi dan melakasanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan
untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pemenuhan
prestasi melalui kekayaan debitur. Debitur memikul pula kewajiban untuk
melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.
g. Asas kepastian hukum.
h. Asas morali.
i. Asas kepatutan.
j. Asas kebiasaan.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
dinyatakan bahwa klausula Baku adalah setiap aturan atua ketentuan dan syarat-syarat
yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha
yang dituangkan dalam suatu dokumen atau perjanjian yang mengikat dan wajib
dipenuhi oleh konsumen. Mengingat kedudukan para pihak dalam penentuan terms and
conditions perjanjian baku tidak seimbang, dimana satu pihak (dalam hal ini konsumen)
berada pada posisi take it or leave it, maka perjanjian baku diharapkan tetap memenuhi
asas-asas lain dalam perjanjian seperti asas keseimbangan, asas kepatutan, asas itikad
baik dan tidak ada cacat tersembunyi serta memanuhi rasa keadilan hukum bagi
konsumen 17
Ketentuan yang mengatur hak-ha dan kewajiaban antara konsumen (dalam hal
ini dapat dipersamakan dengan debitur yang menyediakan jasa pelayanan ait minum), (R.Subekti. 1992).
17
merupakan perjanjian baku, yaitu perjanjian yang telah diberlakukan sepihak dan
dianggap diterima oleh pihak lain seketika pihak lain tersebut menerima penawaran jasa
dimaksud. Prosedur baku dalam pelayanan PDAM adalah PDAM dengan konsumen
(pelanggan) ini tergolong perjanjian baku (standard contract).
Kalusula perjanjian dituangkan dalan bentuk formulir, yang berlaku secara
masal untuk semua orang yang mengikatkan diri. Mengingat kedudukan para pihak
dalam penentuan terms and conditions perjanjian baku tidak seimbang, dimana satu
pihak (dalam hal ini konsumen) berada pada posisi take it or leavi it, maka perjanjian
baku diharapkan tetap memenuhi asas-asas lain dalam perjanjian seperti asas
keseimbangan, asas kepatutan, asas itikad baik dan tidak ada cacat.
D. SYARAT SAHNYA DALAM PERJANJIAN
KUHPerdata menentukan empat syarat yang harus ada pada setiap perjanjian
sebab dengan dipenuhinya syarat-syarat inilah suatu perjanjian itu berlaku sah. Adapun
empat syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 KUHPerdata tersebut adalah :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Dengan kata sepakat dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan
perjanjian itu harus bersepakat, para pihak setuju atau setia sekata mereka mengenai
hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak
yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu hal yang
sama secara timbal balik, misalnya seorang penjual suatu benda untuk mendapatkan
uang sedang si pembeli menginginkan benda itu dari yang menjualnya. Dalam hal ini
kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas untuk
mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan.
ad. 2. Kecakapan untuk membuat perjanjian
Kecakapan disini orang yang cakap yang dimaksud adalah mereka yang telah
berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun tetapi telah pernah kawin. Sedangkan
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 pria sudah mencapai usia 19
tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun. Tidak termasuk orang-orang
sakit ingatan atau bersifat pemboros yang karena itu oleh Pengadilan diputuskan berada
di bawah pengampuan dan seorang perempuan yang masih bersuami. Mengenai seorang
perempuan yang masih bersuami setelah dikeluarkan surat edaran Mahkamah Agung
Nomor. 3 Tahun 1963, maka sejak saat itu seorang perempuan yang masih mempunyai
suami telah dapat bertindak bebas dalam melakukan perbuatan hukum serta sudah
ad. 3. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu maksudnya adalah sekurang-kurangnya macam atau jenis
benda dalam perjanjian itu sedah ditentukan, misalnya jual beli beras sebanyak 100 kg
adalah dimungkinkan asal disebutkan macam atau jenis dan rupanya, sedangkan jual
beli beras 100 kg tanpa disebutkan macam atau jenis, warna dan rupanya dapat
dibatalkan.
ad. 4. Suatu sebab yang halal
Dengan syarat ini dimaksudkan adalah tujuan dari perjanjian itu sendiri. Sebab
yang tdak halal adalah berlawanan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban
umum. Dari syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut di atas, kedua syarat pertama yaitu
sepakat mereka yang mengikatkan diri dan kecakapan untuk membuat perjanjian
dinamakan syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian.
“Syarat subjektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada subjek-subjek
perjanjian itu atau dengan perkataan lain, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
mereka yang membuat perjanjian, hal ini meliputi kesepakatan mereka yang
mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat perjanjian”.
Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi, maka perjanjiannya bukan batal demi
hukum tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu
dibatalkan. Syarat ketiga dan syarat keempat yaitu suatu hal tertentu dan suatu sebab
Akibat perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian
disebutkan dalam pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan :
1. Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
2. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan
sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
3. Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang
membuatnya.
Dengan demikian, perjanjian yang dibuat secara sah yaitu memenuhi
syarat-syarat pasal 1320 KUHPerdata berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang
membuat perjanjian. Artinya pihak-pihak harus menaati isi perjanjian itu seperti mereka
menaati undang-undang sehingga melanggar perjanjian yang mereka buat dianggap
sama dengan melanggar undang-undang. Perjanjian yang dibuat secara sah mengikat
pihak-pihak dan perjanjian tersebut tidak boleh ditarik kembali atau membatalkan harus
memperoleh persetujuan pihak lainnya18
Menurut pendapat M.Yahya Harahap (1992) dalam bukunya Segi-Segi Hukum
Perjanjian, yang dimaksud dengan wanprsetasi adalah : Pelaksanaan kewajiaban yang (R. Subekti. 1992).
E. WANPRESTASI
18
tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Kata tidak tepat
waktunya dan kata tidak layak apabila dihubungkan dengan kewajiban merupakan
perbuatan melanggar hukum. Pihak debitur sebagian atau secara keseluruhannya tidak
menempati ataupun berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan isi perjanjian yang telah
disepakati bersama19
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya. .
Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam kategori yaitu sebagai
berikut:
2. Melakukan apa yang diperjanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang
diperjanjikan.
3. Melakukan apa yang diperjanjikan akan tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh untuk dilakukan.
Debitur yang oleh pihak kreditur dituduh lalai, dapat menajukan pembelaan diri
atas tuduhan tersebut. Adapun pembelaan debitur yang dituduh dapat didasarkan atas
tiga alasan yaitu :
1. Mengajukan tuntutan adanya keadaan yang memaksa.
2. Mengajukan bahwa si kreditur sendiri juga wanprestasi.
3. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.
Yang dimaksud pihak kreditur melepaskan haknya atas tuntutannya kepada
pihak debitur adalah bahwa pihak kreditur telah mengetahui bahwa ketika pihak debitur
19
mengembalikan barang yang diperjanjikan. Pihak kreditur telah mengetahui bahwa
waktu pengembalian barang sudah terlambat selama seminggu. Akan tetapi atas
keterlambatan tersebut pihak kreditur tidak mengajukan keberatan ataupun sanksi maka
terhadap debitur yang terlambat mengembalikan barang, dapat diartikan bahwa pihak
kreditur telah telah melepaskan haknya untuk pihak debitur yang telah nyata
wanprestasi.
Sebagaimana telah diterangkan, seorang debitur yang lalai, yang melakukan
wanprestasi, dapat digugat didepan hakim dan hakim akan menjatuhkan putusan yang
merugikan pada tergugat itu. Seorang debitur dikatakan lalai, apabila ia tidak memenuhi
kewajibannya atau terlambat memenuhinya atau memenuhinya tetapi tidak seperti yang
telah diperjanjikan.
Hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak si berhutang ini harus dinyatakan
dahulu secara resmi, yaitu dengan memperingatkan si berhutang itu, bahwa si
berpiutang menghendaki pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang pendek.
Pokoknya hutang itu harus ditagih dahulu. Baiasanya peringatan (sommatie) itu
dilakukan oleh seorang jurusita dari pengadilah, yang membuat proses verbal tentang
pekerjaannya itu, atau cukup dengan surat tercatat, asal saja jangan sampai dengan
mudah dipungkiri oleh si berhutang. Menurut Undang-undang memang peringatan
tersebut harus tertulis (pasal 1238 : “ si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat
perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yan ditentukan”), sehingga hakim tidak akan
menganggap sah suatu peringatan lisan.
Peringatan tidak perlu, jika si berutang pada suatu ketika sudah dengan
sendirinya dapat dianggap lalai. Misalnya dalam hal perjanjian untuk membuat pakaian
mempelai, tetapi pada hari perkawinan pakaian itu ternyata belum selesai. Dalam hal ini
meskipun prestasi itu dilakukan oleh si berhutang, tetapi karena tidak menurut
perjanjian, maka prestasi yang dilakukan itu dengan sendirinya dapat dianggap suatu
kelalaian. Ada kalanya, dalam kontrak itu sendiri sudah ditetapkan, kapan atau dalam
hal-hal mana si berhutang dapat dianggap lalai. Disini tidak diperlukan suatu sommatie
atau peringatan.
F. BERAKHIRNYA PERJANJIAN
Undang-undang menyebutkan sepuluh macam cara hapusnya
perikatan/perjanjian. Mengenai peraturan tentang berakhirnya perjanjian diatur di dalam
Bab XII Buku III KUHPerdata. Peraturan untuk itu adalah perlu bagi kedua belah
pihak, baik untuk menentukan sikap selanjutnya maupun untuk memperjelas sampai
dimana batas perjanjian tersebut.
Di dalam pasal 1381 KUHPerdata disebutkan sebagai berikut :
1. Karena pembayaran,
2. Karena penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan penitipan,
4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi,
5. Karena percampuran utang,
6. Karena pembebasan utangnya,
7. Karena musnahnya benda yang terutang,
8. Karena kebatalan/pembatalan,
9. Karena berlakunya syarat batal,
10.Karena kedaluarsa atau lewat waktu.
Yang dimaksud oleh Undang-undang dengan perkataan pembayaran
ialah pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara sukarela, artinya tidak
dengan paksaan atau eksekusi. Jadi perkataan pembayaran itu oleh undang-undang
tidak melulu ditujukan pada penyerahan uang saja, tetapi penyerahan tiap barang
menurut perjanjian, dinamakan pembayaran. Bahkan si pekerja yang melakukan
pekerjaannya untuk majikannya dikatakan membayar.
Pada dasarnya pembayaran hanya dapat dilaksanakan oleh yang bersangkutan
saja. Namun pasal 1382 KUH Perdata menyebutkan bahwa pembayaran dapat
dilakukan oleh orang lain. Dengan demikian undang-undang tidak mempersoalkan
siapa yang harus membayar, tetapi yangpenting adalah hutang itu harus dibayar. Tetapi
pasal ini selanjutnya menerangkan, juga seorang pihak ketiga yang tidak
berkepentingan dapat membayar secara sah, asal saja pihak ketiga itu bertindak atas
nama si berhutang, atau bilamana ia bertindak atas namanya sendiri, asal saja ia tidak
menggantikan hak-haknya si berpiutang. Jikalau dipikir benar-benar sebetulnya kalimat
jika orang yang membayar hutang itu menggantikan hak-hak si berpiutang, tidak dapat
dikatakan perikatan hutang-piutang itu sudah dihapuskan, karena ia sebenarnya masih
hidup, hanyalah penagihnya saja yang berganti.
Sebagai kesimpulan dapat ditetapkan, bahwa pasal 1382 itu membolehkan siapa
saja membayar dan si berpiutang diharuskan menerimanya, meskipun belum tentu
pembayaran itu juga akan membebaskan si berhutang. Hanya untuk
perjanjian-perjanjian dimana slah satu pihak diharuskan melakukan sesuatu perbuatan tentu saja
asas tersebut itu tidak akan berlaku. Misalnya saja dalam suatu perjanjian bekerja, tidak
dapat seorang pekerja dengan begitu saja digantikan oleh temannya yang mungkin tidak
sepadan kecakapannya.
Penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan adalah salah satu
cara pembayaran untuk menolong debitur. Dalam hal ini si kreditur menolak
pembayaran. Penawaran pembayaran tunai terjadi jika si kreditur menolak menerima
pembayaran, maka debitur secara langsung menawarkan konsignasi, yakni dengan
menitipkan uang atau barang kepada notaris atau panitera. Setelah itu notaris atau uang
yang harus dibayarkan selanjutnya menjumpai kreditur untuk melaksanakan
pembayaran. Jika kreditur menolak, maka dipersilahkan oleh notaris atau panitera untuk
menandatangani berita acara. Jika kreditur menolak juga, maka hal ini dapat dicatat
dalam berita acara tersebut, hal ini merupakan bukti bahwa kreditur menolak
pembayaran yang ditawarkan. Dengan demikian debitut meminta kepada hakim agar
konsignasi disahkan. Jika telah disahkan, maka debitur terbebas dari kewajibannya dan
Pembaharuan hutang (novasi) adalah peristiwa hukum dalam suatu perjanjian
yang diganti dengan perjajian lain. Dalam hal para pihak mengadakan suatu perjanjian
dengan jalan menghapuskan perjanjian lama dan membuat perjanjian yang batu. Dalam
hal ini terjadinya perjumpaan hutang atau kompensasi terjadi jika para pihak yaitu
kreditur dan debitur saling mempunyai hutang piutang, maka mereka mengadakan
perjumpaan hutang untuk suatu jumlah yang sama. Hal ini terjadi jika antara kedua
hutang berpokok pada sejumlah uang atau sejumlah barang yang dapat dihabiskan dari
jenis yang sama dan keduanya dapat ditetapkan serta dapat ditagih seketika.
Pencampuran hutang terjadi akibat keadaan bersatunya kedudukan kreditur dan
debitur pada orang. Dengan bersatunya kedudukan debitur pada satu orang dengan
sendirinya menurut hukum telah terjadi pencampuran hutang sesuai dengan pasal 1435
KUHPerdata. Pembebasan hutang terjadi apabila kreditur dengan tegas menyatakan
bahwa ia tidk menghendaki lagi adanya pemenuhan prestasi oleh si debitur. Jika si
debitu menerima pernyataan si kreditur maka berakhirlah perjanjian hutang piutang
diantar mereka.
Dengan terjadinya musnah barang-barang yang menjadi hutang debitur, maka
perjanjian juga dapat dihapus. Dalam hal demikian debitur wajib membuktikan bahwa
musnahnya barang tersebut adalah diluar kesalahannya dan barang itu akan musnah
atau hilang juga meskipun ditangan kreditur. jadi dalam hal ini si debitur telah berusaha
dengan segala daya upaya untuk menjaga barang tersebut agar tetap berada seperti
semula, hal ini disebut dengan resiko. Suatu perjanjian akan hapus jika ada suatu
hukum. Karena jika dilihat batal demi hukum maka akibatnya perjanjian itu dianggap
tidak pernah ada, sedangkan dalam pembatalan, perjanjian dianggap telah ada akan
tetapi karena suatu pembatalan maka perjanjian itu dihapuskan dan para pihak kembali
kepada keadaan semula.
Syarat batal adalah syarat yang jika dipenuhi, menghentikan perjanjian dan
membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula yaitu, tidak pernah ada suatu
perjanjian. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perjanjian, hanyalah mewajibkan
si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya jika peristiwa yang dimaksud
terjadi. Daluarsa adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan
dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang
diterima oleh undang-undang20
Pihak PDAM menetapkan secara sepihak termasuk kelompok mana pelanggan
tersebut, dan juga menetaplkan secara sepihak kelompok tarif yang harus dibayar
nantinya oleh pihak pelanggan. Perjanjian penyambungan dalam bentuk formulir ini (pasal 1946 KUHPerdata).
Perjanjian baku dam jual beli air minum antara konsumen dengan PDAM Kota
Rantauprapat. Perjanjian jual beli air minum terjadi apabila ad permintaan sambungan
baru air minum oleh calon pelanggan. Calon pelanggan mengisi formulir yang telah
disediakan terlebih dahulu oleh pihak PDAM. Setelah pengisian formulir, dan
syarat-syarat administrasi dipenuhi, maka dilakukan peninjauan ke lapangan oleh pihak
PDAM, guna menetapkan kedalam golongan mana pelanggan itu dimasukkan.
20
adalah perjanjian jual beli air minum antara PDAM sebagai penjual (pihak pertama) dan
pelanggn sebagai pembeli (pihak kedua).
Para pihak bersepakat untuk mengadakan perjanjian jual beli air minum dengan
ketentuan sebagai berikut :
Pertama pihak kedua setuju :
a. Jika kemudian hari timbul sengketa mengenai hak milik perizinan tanah maupun
bangunan hinggga mengakibatkan pipa harus dibongkar, maka hal ini di luar
tanggungjawab PDAM Kota Rantauprapat dan pemohon tidak menuntut kerugian
apapun.
b. Setuju dan tidak akan menggugat jika pipa saluran kota dengan pipa dinas yang
dipasang dialamatkan tersebut di atas yang kami biayai, setelah dipasang menjadi
hak milik PDAM dan PDAM berhak memperluas maupun menghubungkan
pemasangan baru pada saluran air tersebut.
c. Jika kemudian hari terjadi perubahan jaringan pipa dalam persil yang tidak sesuai
gambar yang diizinkan maka sambungan pipa dinas dapat dicabut tanpa dapat kami
tuntut ganti rugi dalam bentuk apapun.
d. Akan memenuhi semua peraturan yang berlaku sebagai pelanggan PDAM Kota
Rantauprapat.
Untuk penyambungan air minum sebagaimana yang dimaksud dalam surat
perjanjian, maka pihak kedua wajib membayar biaya penyambungan. Baiaya
penyambungan yang telah dibayar pihak kedua kepada pihak pertama selanjutnya tidak
itu atau perjanjian berakhir dengan sebab apapun. Kedua belah pihak menerima hak dan
melakukan kewajiban masing-masing, antara lain :
a. Pihak kedua berkewajiban melaksanakan pembayaran rekening air setiap bulannya
dan biaya keterlambatan pembayaran rekening air jika pembayaran rekening air
melewati batas waktu pembayaran.
b. Pihak pertama berhak melakukan pemutusan sementara tanpa pemberitahuan lebih
dahulu kepada pihak kedua.
c. Pihak pertama berkewajiban melakukan penyambungan kembali setelah pihak
kedua melunasi semua tunggakan , denda (biaya keterlambatan) dan biaya-biaya
yang ditentukan.
d. Pihak kedua berkewajiban untuk melaporkan kerusakan-kerusakan serta
gangguan-gangguan pada pipa dinas, pipa persil, meter air yang berada dalam persilnya.
e. Pihak kedua dilarang untuk melakukan penyedotan air dengan pipa hidup langsung
dari pipa air minum, mengambil air minum, mengambil air sebelum meter air atau
merusak meter, mengadakan perubahan dan perluasan instalasi yang telah dipasang
tanpa izin tertulis dari PDAM Kota Rantauprapat, merusak segel yang sudah
dipasang oleh PDAM Kota Rantauprapat.
Apabila terjadi perselisihan pendapat dalam rangka pelaksanaan perjanjian ini,
kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikannya dengan cara musyawarah. Jika
penyelesaian perselisihan pendapat dengan cara musyawarah tidak tercapai, kedua
Sedangkan dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen mengenai klausul baku untuk tetap tegaknya asas kebebasan berkontrak
berbunyi antara lain sebagai berikut : Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 :
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada
setiap dokumen dan atau perjanjian apabila :
a. Menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha
b. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya keguanaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.
2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen
atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum.
4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan
undang-undang ini.
Skripsi ini akan mengkaji dan menguji secara hukum apakah ketentuan yang
tercetak pada perjanjian baku tersebut telah memenuhi asas-asas umum hukum
perjanjian dan perlindungan bagi konsumen berdasarkan asas-asas yang hidup di
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG KONSUMEN
A. PENGERTIAN KONSUMEN
Dalam kamus bahasa, istilah konsumen merupakan alih bahasa dari
consumer (Inggris-Amerika) yang secara harfiah berarti seseorang yang
membeli barang atau menggunakan jasa, atau seseorang atau suatu perusahaan
yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu. Ada pula yang
memberikan arti lain, yaitu konsumen yang berarti setiap orang yang
menggunakan barang atau jasa.
Sekalipun semua orang mengerti bahwa sangat sulit untuk membuat
suatu batasan tentang pengertian konsumen tanpa memuat berbagai kekurangan
didalamnya. R. Setiawan (1999) mencoba memberikan batasan pengertian
konsumen sebagai setiap orang yang mendapatkan secara sah dan menggunakan
barang/jasa untuk suatu kegunaan tertentu21
Dengan demikian yang dimaksud dengan setiap orang dalam batasan
diatas adalah orang alamiah maupun orang yang diciptakan oleh hukum (badan
hukum). Unsur mendapatkan juga digunakan dalam batasan ini, karena
perolehan barang atau jasa oleh konsumen tidak saja berdasarkan suatu
hubungan hukum (perjanjian jual beli, sewa menyewa, pinjam-pakai dan
sejenisnya), tetapi juga mungkin terjadi karena pemberian sumbangan,
hadiah-hadiah atau yang lain, baik yang berkaitan dengan suatu hubungan komersial
maupun dalam hubungan lainnya (non-komersial). Mendapatkan secara sah .
21
adalah mendapatkan suatu barang atau jasa dengan cara-cara yang tidak
bertentangan dan atau /melawan hukum. Selanjutnya unsur kegunaan tertentu
memberikan tolok ukur pembeda antara berbagai konsumen yang dikenal
(konsumen antara dan konsumen akhir). Tergantung untuk kegunaan apakah
suatu barang atau jasa itu diperlukan. Apabila kegunaan tertentu itu adalah
untuk tujuan memproduksi barang atau jasa lain dan atau untuk dijual kembali
(tujuan komersial), maka kita akan berhadapan dengan konsumen antara.
Apabila kegunaan tertentu itu adalah untuk tujuan memenuhi kebutuhan pribadi,
keluarga atau rumah tangganya serta tidak untuk dijual kembali (tujuan
non-komersial), maka konsumen tersebut adalah konsumen akhir.
Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, pada pasal 1 butir 2 menyatkan bahwa: Konsumen adalah setiap
orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan. Secara umum, konsumen dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu:
1) Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa
digunakan untuk tujuan tertentu;
2) Konsumen-antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang/
jasa lain untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/ jasa lain
untuk diperdagangkan (untuk tujuan komersial);
3) Konsumen-akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan
hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk
diperdagangkan kembali (non-komersial).
The UN Guidelines for Consumer protection yang diterima dengan suara
bulat oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui
Resololusi PBB No. A/RES/39/248 tanggal 16 April 1995 tentang Perlindungan
Konsumen, mengandung pemahaman umum dan luas mengenai perangkat
perlindungan konsumen yang asasi dan adil. Hal yang diperjuangkan oleh
guidelines tersbut adalah struktur kelompok-kelompok konsumen yang
independen, dimana dinyatakan dalam paragraf pertama bahwa
pemerintah-pemrintah sepakat untuk memfasilitasi/ mendukung perkembangan
kelompok-kelompok konsumen22
B. DASAR HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
(Yusuf Sofie, 2003).
UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen
diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengonsumsi
serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak
kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang
22
diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan
sebagainya 23
Di
(Shidarta. 2004).
mengajukan perlindungan adalah:
1. Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat
(1), Pasal 27 , dan Pasal 33, sebagai sumber dari segala sumber hukum di
Indonesia, mengamanatkan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tujuan pembangunan nasional
diwujudkan melalui sistem pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga
mampu menumbuhkan dan mengembangkan dunia yang memproduksi barang
dan jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat.
2. Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 3821. Lahirnya Undang-undang ini memberikan
harapan bagi masyarakat Indonesia, untuk memperoleh perlindungan atas
kerugian yang diderita atas transaksi suatu barang dan jasa. UUPK menjamin
adanya kepastian hukum bagi konsumen.
3. Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
23
4. Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif
Penyelesian Sengketa
5. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
6. Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001
Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas
Indag Prop/Kab/Kota
7. Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795
/DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen24
C. ASAS DAN TUJUAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
1. Asas Perlindungan Konsumen
Wijaya. G (2001) membedakan antara hukum konsumen dan hukum
perlindungan konsumen25
24
. Hukum konsumen adalah asas-asas dan
kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan
penggunaannya dalam kehidupan bermasyarakat sedangkan hukum
perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah
25
yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan masalah
penggunaannya dalam kehidupan bermasyarakat. Definisi dari perlindungan
konsumen itu sendiri dapat ditemukan dalam pasal 1 butir 1 UU nomor 8
Tahun 1999 yaitu: Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen. Dalam penjelasan psal 2 Undang-undang Perlindungan
Konsumen dinyatakan bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan
sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam
pembangunan nasional, yakni sebagai berikut:
a. Asas Manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberi manfaat
sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan.
b. Asas Keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajiban secara adil.
c. Asas Keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepentinagn konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti
material maupun spiritual.
d. Asas Keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk
dalm penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barnag dan/ atau jasa
yang dikonsumsi atau digunakan.
e. Asas Kepastian Hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum.
2. Tujuan Perlindungan Konsumen
Diperlukan suatu perlindungan bagi pelaku usaha maupun konsumen
yang mengadakan hubungan hukum untuk memenuhi kebutuhannya
masing-masing. Perlindungan tersebut tidak hanya diberikan kepada pelaku usaha
guna menghindari campur tangan pihak lain dalam hubungan hukum yang
terjadi dengan konsumen, tapi juga diberikan kepada konsumen guna
melindunginya dari perbuatan curang yang dilakukan oleh pelaku usaha
yang dapat merugikan kepenting