• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terapi Metadon dan Hubungannya dengan Intensitas Kecemasan dan Tingkat Depresi Pasien Narkoba Puskesmas Tebet Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Terapi Metadon dan Hubungannya dengan Intensitas Kecemasan dan Tingkat Depresi Pasien Narkoba Puskesmas Tebet Jakarta"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

TERAPI METADON DAN HUBUNGANNYA DENGAN

INTENSITAS KECEMASAN DAN TINGKAT DEPRESI

PASIEN NARKOBA PUSKESMAS TEBET JAKARTA

Oleh :

ACHMAD FIRDAUS

NIM : 105070002219

Skripsi diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

TERAPI METADON DAN HUBUNGANNYA DENGAN

INTENSITAS KECEMASAN DAN TINGKAT DEPRESI

PASIEN NARKOBA PUSKESMAS TEBET JAKARTA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh :

ACHMAD FIRDAUS NIM : 105070002219

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Bambang Suryadi, Ph.D Rena Latifa, M.Psi NIP. 250 326 891 NIP. 150 408 704

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul TERAPI METADON DAN HUBUNGANNYA DENGAN INTENSITAS KECEMASAN DAN TINGKAT DEPRESI PASIEN NARKOBA PUSKESMAS TEBET JAKARTA telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 21 Januari 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.

Jakarta, 27 Januari 2010

Sidang Munaqasyah

Dekan/ Pembantu Dekan/

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si

NIP. 130 885 522 NIP. 19561223 198303 2001

Anggota :

Penguji I Penguji II

Neneng Tati Sumiati, M.Si, Psi Bambang Suryadi, Ph.D

NIP. 150 300 679 NIP. 250 326 891

Pembimbing I Pembimbing II

Bambang Suryadi, Ph.D Rena Latifa, M.Psi

(4)

“Dengan Ilmu Kita Dapat Membuka Jendela Dunia”

Persembahan buat :

(5)

ABSTRAK

( A ) Fakultas Psikologi ( B ) 2009 Desember ( C ) Achmad Firdaus

( D ) Terapi Metadon dan Hubungannya Dengan Intensitas Kecemasan dan Tingkat Depresi Pasien Narkoba di Puskesmas Tebet Jakarta

( E ) 83 Halaman + Lampiran

( F ) Terapi metadon merupakan suatu bentuk terapi pemberian obat metadon yang ditujukan kepada pasien ketergantungan opioida, sebagai bentuk pengalihan dari sifat ketergantungannya terhadap zat tersebut. Metadon secara klinis memiliki efek

samping terhadap fungsi psikologis. Terlihat semakin banyaknya pasien narkoba yang menggunakan Program Rumatan Terapi Metadon (PRTM), semakin pentingnya untuk dilakukan penelitian tentang kemungkinan terjadinya dampak psikopatologis, terutama kecemasan dan depresi, dikarenakan penelitian mengenai faktor-faktor yang berkaitan tentang kemungkinan terjadinya gangguan mental pada pasien narkoba yang menggunakan terapi metadon masih sangat minim.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan penggunaan terapi metadon dengan intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba.

Penelitian ini bersifat kuantitatif. Angket diberikan pada pasien narkoba yang menggunakan terapi metadon di Puskesmas Tebet Jakarta dengan menggunakan MINI ICD-10. 35 pasien dengan rerata umur 20 – 29 tahun. 94,3% diantaranya laki-laki, 65,7% memiliki pendidikan setingkat SMA.

Dari hasil penelitian, 29% didiagnosis mengalami gangguan anxietas menyeluruh, 26% gangguan panik, 26% episode depresif, 14% distimia, 11% gangguan obsesif kompulsif, dan 6% agorafobia. Hasil analisis data, menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara penggunaan terapi metadon dengan intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba (p < 0,05).

(6)

masih harus dicarikan alternatif lain dalam upaya penatalaksanaan atau penanganan bagi para pecandu.

(7)

ABSTRACT

( A ) Faculty of Psychology ( B ) 2009 December ( C ) Achmad Firdaus

( D ) Metadhone Therapy and Correlation With Intensity of Anxiety and Depression Levels Patient Drug in the Health Center Tebet Jakarta

( E ) 83 Page + Enclosure

( F ) Methadone therapy is a form of drug delivery methadone therapy directed toward patients opioida dependence, as a form of diversion from the nature of substance dependence. Methadone are clinically have side effects on psychological functioning. Looks more and more patients using the drug methadone therapy Weak Program (PRTM), the more important to do research on the possibility of

psychopathological effects, particularly anxiety and depression, because research on factors related to the possibility of mental disorders in patients using the drug methadone therapy is still very minimal.

The purpose of this study is to see how much the intensity of anxiety and depression levels of patients who use the drug methadone therapy.

This research is quantitative. Questionnaire given to patients who use the drug methadone therapy at the health center Tebet Jakarta by using ICD-10 MINI. 35 patients were interviewed with the average age of 20 to 29 years. 94.3% of them male, 65.7% had high school level education.

From the results of research, 29% diagnosed with generalized anxiety disorders, 26% panic disorder, 26% depressive episode, 14% distimia, 11% obsessive compulsive disorder, and 6% agorafobia. The results of data analysis, suggesting a significant relationship between the use of methadone therapy with the intensity of anxiety and depression levels of drug patients (p <0.05).

(8)

small amounts. For that still need to look for other alternatives in order management or treatment for addicts.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai karya tulis ilmiah mahasiswa program strata satu. Tema dipilih adalah Terapi Metadon dan Hubungannya Dengan Intensitas Kecemasan dan Tingkat Depresi Pasien Narkoba yang penelitiannya dilaksanakan pada bulan Juli sampai bulan September di Puskesmas Tebet Jakarta.

Dalam proses penyusunan dan penyempurnaan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing atas ketulusannya dalam membimbing, yaitu Bambang Suryadi, Ph.D. (Pembimbing I), Rena Latifa, M.Psi. (Pembimbing II), dan Jahya Umar, Ph.D (Dekan Fakultas Psikologi) yang telah banyak membantu penulis selama studi di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ucapan terima kasih kepada dr. Fadlinah (kepala penanggung jawab Program Rumatan Terapi Metadon) Puskesmas Tebet Jakarta, sekaligus kepada semua partisipan, yaitu Abang Hengky, Ridwan, Jery, Reza, Mukarom, Dziki, Mba’ Arum, dan semua teman-teman MUST (Metadon User Society Tebet).

Ucapan terima kasih kepada Bapak Pungky (Yayasan Pelita Ilmu) dan Ka’ Lia (BNN) atas saran dan nasehatnya dalam setiap kesempatan diskusi. Terima kasih kepada teman-teman angkatan 2005, Dita, Hany, Mutia, Ary, Nisa, Hamdah, Wahyu, Lina, Nina, Ida, Rahmi, Qory, Dalla, Icha, Syifa, Yudi, Najib, Ady, Syafi’i, dan semua teman-teman yang tak terlupakan.

Penulis menyampaikan penghargaan yang tulus kepada ayah ibu tercinta, H. Muhammad Jusuf dan Hj. Mas’ah serta Kakanda Maryam dan Mahdie, Safuroh dan Akmal, Rohmatulloh dan Sri Winarni, Sarkowi, dan Erniyati atas segala do’a dan kasih sayangnya.

Semoga Allah SWT meridhoi hasil karya ilmiah ini menjadi bermanfaat.

Jakarta, Januari 2010

Achmad Firdaus

(10)

DAFTAR ISI

Halaman Judul i

Halaman persetujuan ii

Halaman pengesahan iii

Motto iv

Dedikasi iv

Abstract v

Kata Pengantar ix

Daftar Isi x

Daftar Tabel xiii

Daftar Gambar xiv

BAB 1 PENDAHULUAN 1 - 9

1.1. Latar belakang masalah ... 1

1.2. Identifikasi masalah ………... 6

1.3. Pembatasan dan perumusan masalah ... 6

1.3.1. Pembatasan masalah ... 6

1.3.2. Perumusan masalah ... 7

1.4. Tujuan dan manfaat penelitian ...………... 7

1.4.1. Tujuan penelitian ....………... 7

1.4.2. Manfaat penelitian ..………... 8

1.5. Sistematika penulisan ... 9

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 10 - 62 2.1. Gangguan depresif dan anxietas ....………... 10

2.1.1. Gangguan depresif ……….………... 10

A. Jenis-jenis depresi ... 11

B. Faktor-faktor penyebab gangguan depresif ... 12

1. Episode depresif …….………... 15

2. Distimia ... 19

2.1.2. Gangguan anxietas …..………... 22

A. Jenis-jenis gangguan anxietas ... 23

B. Faktor-faktor penyebab gangguan anxietas ... 24

1. Gangguan anxietas menyeluruh ………... 29

2. Gangguan panik ……..………... 33

3. Agorafobia ………... 35

4. Gangguan obsesif kompulsif………... 38

2.2. Terapi metadon …….………... 42

2.2.1. Program layanan terapi ketergantungan NAPZA 42

(11)

A. Dampak psikologis terapi metadon ... 49

B. Farmakokinetik ……..………... 52

C. Farmakodinamik ……….……... 53

D. Penggunaan dosis metadon: Opioid-Pasien Pemula………... 55

E. Penggunaan dosis metadon: Opioid-Pasien Toleran…….…………... 56

2.3. Kerangka berpikir …..………... 57

2.4. Hipotesis ... 62

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 63 - 71 3.1. Jenis penelitian ………... 63

3.1.1. Pendekatan dan metode penelitian …... 63

3.1.2. Variabel penelitian dan definisi operasional Variable ………... 63

A. Independent Variabel (IV) ... 63

B. Dependent Variabel (DV) ... 63

3.2. Pengambilan sampel ... 65

3.2.1. Populasi dan sampel ... 65

3.2.2. Teknik pengambilan sampel ... 65

3.3. Pengumpulan data ... 65

3.3.1. Instrumen ... 65

3.3.2. Hasil uji reliabilitas dan validitas MINI ICD-10... 67

3.3.3. Teknik dan prosedur penelitian .…... 70

3.3.4. Teknik analisis data ... 71

BAB 4 PRESENTASI DAN ANALISA DATA 72 - 79 4.1. Gambaran umum subjek penelitian ... 72

4.1.1. Gambaran umum latar belakang responden pasien narkoba yang menggunakan terapi metadon 72 4.2. Presentasi data ... 74

4.2.1. Frekuensi dan jenis gangguan mental pada responden 74 4.2.2. Uji hipotesis ... 76

A. Hubungan antara lamanya terapi metadon dengan gangguan depresi ……... 76

B. Hubungan antara dosis penggunaan metadon dengan gangguan depresi ……... 77

C. Hubungan antara lamanya terapi metadon dengan gangguan kecemasan ... 77

D. Hubungan antara dosis penggunaan metadon dengan gangguan kecemasan ………... 78

(12)

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 80 - 83

5.1. Kesimpulan .………... 80 5.2. Diskusi ....………... 81 5.3. Saran ...………... 82

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1. Kriteria diagnostik untuk episode depresif berat ...………... 16

2.2. Kriteria diagnostik untuk gangguan distimik ...……….... 20

2.3. Kriteria diagnostik untuk gangguan anxietas menyeluruh ... 30

2.4. Kriteria diagnostik untuk serangan panik ………... 34

2.5. Kriteria diagnostik untuk agorafobia ...……….... 36

2.6. Kriteria diagnostik untuk gangguan obsesif kompulsif ....………... 39

2.7. Perbandingan umur paruh metadon dan morpin ………... 52

2.8. Efek klinis metadon dalam reseptor Mu ( ), Kappa ( ), dan Delta ( ) ...………... 54

2.9. Contoh: Pemberian titrasi metadon Opioid-Pasien Pemula ... 56

2.10. Perbandingan dosis obat EDR: Perubahan morpin ke metadon ... 57

3.1. Hasil perbandingan uji reliabilitas MINI ICD-10 ... 70

4.1. Sebaran responden berdasarkan karakteristik sosial, ekonomi, dan demografi ... 73

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang masalah

Akhir tahun 2000 terdata sekitar 3,5 juta orang penyalahguna Narkotika Psikotropika dan Zat Adikif (NAPZA) di Indonesia. Diindikasikan, besarnya jumlah ini

disebabkan Indonesia bukan lagi sekedar daerah transit jalur perdagangan NAPZA, namun menjadi daerah tujuan perdagangan NAPZA (Tambunan dalam Mohan Siddiq Dharma, 2008).

Penelitian yang telah dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan bahwa satu setengah persen populasi penduduk Indonesia berarti 3,2 juta orang dengan kisaran 2,9 juta sampai 3,6 juta orang terlibat penyalahgunaan narkoba, laki-laki 79% dan perempuan 21% (BNN, 2007).

(16)

Penyalahgunaan NAPZA mempunyai dimensi yang luas dan kompleks. Dari sekian banyak permasalahan yang ditimbulkan sebagai dampak penyalahgunaan NAPZA antara lain :

1. Merusak hubungan kekeluargaan.

2. Menurunkan kemampuan belajar dan produktivitas kerja secara drastis. 3. Perubahan perilaku menjadi antisosial.

4. Gangguan kesehatan (fisik dan mental).

5. Tindak kekerasan dan kriminalitas lainnya (Dadang Hawari dalam Mohan Siddiq Dharma, 2008).

Dadang Hawari (1991) menyatakan dalam penelitiannya tentang pemeriksaan klinis terhadap pasien penyalahgunaan zat di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta bahwa 75 orang kasus penyalahgunaan zat diperoleh adanya hubungan yang bermakna antara penyalahgunaan zat dengan gangguan kepribadian antisosial, kecemasan, depresi, dan kondisi keluarga. Resiko relatif (estimated relative risk) penyalahgunaan zat terhadap gangguan kepribadian antisosial = 19,9%; kecemasan =13,8%; depresi = 18,8%; dan kondisi keluarga = 7,9%.

(17)

Kaplan dan Sadock (1997) menyatakan bahwa gejala depresi sering ditemukan di antara orang-orang dengan penyalahgunaan zat atau ketergantungan zat. Kira-kira sepertiga sampai setengah dari semua orang yang melakukan penyalahgunaan opioid atau ketergantungan opioid.

Dalam hal ini, tingkatan layanan terapi ketergantungan NAPZA dalam upaya mendukung proses pemulihan cukup bervariasi, tergantung dari derajat keparahan dan seberapa intensif terapi diperlukan. Bentuk-bentuk terapi ketergantungan NAPZA antara lain adalah: Detoksifikasi dan Terapi Withdrawal, Terapi terhadap Kondisi Emergensi, Terapi Gangguan Diagnosis Ganda, Terapi Rawat Jalan (Ambulatory atau Out-Patient Treatment), Terapi Residensi (residential treatment), Terapi Pencegahan Relaps, Terapi Pasca Perawatan (after care), Terapi Substitusi (Substitution Therapy) (Dalam lampiran Keputusan Menteri Kesehatan, 2006).

Terapi substitusi terutama ditunjukkan kepada pasien ketergantungan opioida. Substitusi yang digunakan dapat bersifat methadone, buphrenorphine atau

naltrexone. Methadone Maintenance Therapy (MMT), sering disebut Terapi Rumatan Metadone (TRM) yang paling umum dijalankan (Dalam lampiran Keputusan Menteri Kesehatan, 2006).

(18)

menggantikan zat yang biasanya disalahgunakannya, dan obat ini menekan gejala putus zat (Kaplan & Sadock, 1997).

Pelaksanaan Program Terapi Rumatan Metadon (PRTM) di Jakarta telah berkembang pesat. Walau masih menghadapi banyak kendala, program terapi metadon makin banyak diminati pecandu guna menanggulangi ketergantungan narkoba sekaligus menekan risiko penularan HIV/AIDS akibat penggunaan jarum suntik secara bergantian dengan jumlah pasien yang terdaftar mencapai lebih dari 1.200 orang," ungkap Kepala Pelaksana Harian Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) DKI Jakarta, Rohana Manggala (Kompas, 2008).

Terapi oral metadon merupakan salah satu pilihan bagi pecandu untuk meminimalkan risiko ketergantungan opioid dan menormalkan gaya hidup. Terapi metadon dapat membantu orang yang ketergantungan mencapai keadaan bebas obat dengan cara detoksifikasi dan mencapai tujuan akhir yakni meningkatnya status kesehatan dan produktivitas pasien. Sekaligus juga efektif menekan dampak buruk narkoba suntik yakni menurunkan prevalensi penularan HIV dan penyakit menular lainnya di kalangan pengguna jarum suntik (Kompas, 2008).

Menurut Dadang Hawari (1991) adanya hubungan yang bermakna antara

(19)

dimensi yang luas dan kompleks, seperti merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan kemampuan belajar dan produktivitas kerja secara drastis, ganguan kesehatan (fisik dan mental) dan tindak kekerasan dan kriminalitas lainnya.

Penggunaan metadon yang merupakan suatu narkotik sintesis (suatu opioid)

kemungkinan terjadi efek samping yang berat baik fisik maupun psikis. Efek samping yang biasanya terjadi adalah konstipasi, kepala terasa ringan, pusing, mengantuk, pikiran tidak jernih, berkeringat, mual dan muntah. Bahaya utama karena kelebihan dosis adalah pernafasan. Jika dosis yang diberikan terlalu rendah gejala putus opiat dapat terjadi yang mengakibatkan gejala kram perut, lekas marah, dan punggung serta tulang sendi sakit. Dosis metadon yang terlalu tinggi dapat ditunjukkan oleh gejala seperti kantuk, tertidur, sesak napas dan manik mata mengecil (Soetomo, 2008).

Berdasarkan pemaparan di atas, ”apakah terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan terapi metadon pada pasien narkoba dengan dampak psikopatologis yang sama halnya dengan pemakaian opioid lainnya”, sehingga penting sekali untuk dijadikan pedoman atau sumber informasi sebagai penelitian baru yang akan

(20)

1.2. Identifikasi masalah

a. Seberapa besar intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba yang

menggunakan terapi metadon?

b. Apakah ada hubungan yang signifikan antara penggunaan terapi metadon dengan intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba?

1.3. Pembatasan dan perumusan masalah

1.3.1. Pembatasan masalah

Supaya pembahasan tidak meluas dan terarah, penulis memberikan batasan penelitian ini pada terapi metadon dan hubungannya dengan intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba merupakan fokus dari permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini.

1. Kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi (Nevid, Rathus, & Greene, 2005).

Intensitas kecemasan adalah keadaan tingkatan atau ukuran intensnya suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi.

2. Depresi adalah kondisi perasaan yang terus ada yang mewarnai kehidupan

(21)

Tingkat depresi adalah tinggi rendahnya kondisi perasaan yang terus ada yang mewarnai kehidupan psikologis kita.

3. Terapi metadon adalah suatu bentuk terapi pemberian obat metadon yang

ditujukan kepada pasien ketergantungan opioida yang digunakan per-oral, sebagai bentuk pengalihan dari sifat ketergantungannya terhadap zat tersebut (Kaplan & Sadock, 1997). Dalam penelitian ini penggunaan terapi metadon dibatasi oleh lamanya terapi metadon dan dosis penggunaan metadon.

1.3.2. Perumusan masalah

Apakah ada hubungan yang signifikan antara penggunaan terapi metadon dengan intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba di Puskesmas Tebet Jakarta.

1.4. Tujuan dan manfaat penelitian

1.4.1. Tujuan penelitian

(22)

1.4.2. Manfaat penelitian

Manfaat teoritis sebagai khasanah ilmu pengetahuan mengenai dampak penggunaan zat, sekaligus menjadi masukan yang berharga untuk penelitian lebih lanjut mengenai masalah yang serupa. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang hubungan penggunaan terapi metadon dengan intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba.

Manfaat praktis diharapkan dapat memberikan informasi bagi masyarakat agar memperoleh gambaran tentang hubungan penggunaan terapi metadon dengan

intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba. Kemudian dapat bermanfaat bagi pasien narkoba yang menggunakan terapi metadon dan keluarga dengan anak ketergantungan zat yang menggunakan terapi metadon tentang gambaran

(23)

1.5. Sistematika Penulisan

Untuk memperolah gambaran secara menyeluruh mengenai penelitian ini, penulis menyusun secara sistematis dalam lima bab, dengan perincian sebagai berikut : BAB I : Pendahuluan meliputi : Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Sistematika Penulisan.

BAB II : Kajian Pustaka meliputi gangguan depresif dan anxietas, terapi metadon, kerangka berpikir, dan hipotesis.

BAB III : Metodologi Penelitian meliputi Jenis penelitian yaitu pendekatan dan metode penelitian, variabel penelitian dan definisi operasional variabel, pengambilan sampel yaitu populasi dan sampel, teknik pengambilan sampel, pengumpulan data yaitu instrumen penelitian, Hasil uji reliabilitas dan validitas MINI ICD-10, teknik dan prosedur penelitian, dan teknik analisis data.

BAB IV : Presentasi dan Analisis Data meliputi: gambaran umum subjek penelitian, presentasi data yaitu frekuensi dan jenis gangguan mental pada responden, uji hipotesis, dan pembahasan hasil pengujian hipotesis.

(24)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1.

Gangguan depresif dan anxietas

2.1.1.

Gangguan depresif

Depresi adalah penyakit atau gangguan mental yang sering dijumpai. Penyakit ini menyerang siapa saja tanpa memandang usia, ras atau golongan, maupun jenis kelamin. Namun dalam kenyataannya depresi lebih banyak mengenai perempuan daripada laki-laki dengan rasio 1 : 2 (Faisal Idrus, 2007).

Depresi merupakan penyakit yang umum dengan morbiditas dan kematian besar. Sekitar 5% dari populasi mengalami depresi besar pada waktu tertentu, dimana laki-laki mengalami resiko seumur hidup 7-12%; dan perempuan 20-25% (Thomas L Schwenk, 2005).

(25)

Depresi memiliki berbagai sebab munculnya gangguan psikiatrik tersebut, dimana tidak ada satupun mengetahui penyebab depresi. Sebaliknya, hal itu mungkin hasil dari kombinasi faktor genetik, biokimia, lingkungan, dan faktor-faktor psikologis (National Institute of Mental Health, 2008).

National Institute of Mental Health (2008) menjelaskan dalam suatu penelitiannya bahwa penyakit depresi berasal dari gangguan otak. Teknologi pencitraan otak, seperti Magnetic Resonance Imaging (MRI), telah menunjukkan bahwa otak orang-orang yang depresi terlihat berbeda dibandingkan dengan orang-orang tanpa depresi. Beberapa jenis depresi cenderung berasal dari faktor genetik. Namun, depresi dapat terjadi pada orang tanpa adanya sejarah dari keluarga yang depresi. Selain itu, trauma, kehilangan orang yang dicintai, hubungan yang sulit atau situasi stres dapat memicu episode depresif.

A. Jenis-jenis depresi

Marta Stuart (2004) menguraikan tiga jenis utama dari depresi:

1. Episode depresi merupakan gejala yang mengganggu kemampuan untuk bekerja, belajar, tidur, makan, dan menikmati kegiatan yang menyenangkan.

(26)

3. Gangguan bipolar juga dikenal sebagai penyakit manik depresif atau kelainan otak serius yang menyebabkan pergeseran dalam suasana hati, energi, dan fungsi. Gangguan ini biasanya muncul pada masa remaja atau awal masa dewasa, tetapi dalam beberapa kasus muncul di masa kanak-kanak.

B. Faktor-faktor penyebab gangguan depresif

Dasar penyebab depresi yang pasti tidak diketahui, banyak usaha untuk mengetahui penyebab dari gangguan ini. Menurut Kaplan (Dalam Dunia Psikologi, 2009), Faktor-faktor yang dihubungkan dengan penyebab munculnya depresi dapat dibagi atas: faktor biologi, faktor genetik dan faktor psikososial. Dimana ketiga faktor tersebut juga dapat saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.

a. Faktor biologi

1. Faktor neurotransmitter: Dari biogenik amin, norepinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmitter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood. a) Norepinefrin : hubungan yang dinyatakan oleh penelitian ilmiah dasar antara turunnya regulasi reseptor b-adrenergik dan respon

antidepresan secara klinis memungkinkan indikasi peran sistem noradrenergik dalam depresi. Bukti-bukti lainnya yang juga melibatkan presinaptik reseptor adrenergik dalam depresi, sejak reseptor reseptor tersebut diaktifkan

(27)

serotin yang dilepaskan, b) Serotonin : dengan diketahui banyaknya efek spesifik serotin reuptake inhibator (SSRI), contoh; fluoxetin dalam pengobatan depresi, menjadikan serotonin neurotransmitter biogenik amin yang paling sering

dihubungkan dengan depresi, c) Dopamine: walaupun norepinefrin dan serotonin adalah biogenik amin. Dopamine juga sering berhubungan dengan patofisiologi depresi, d) Faktor neurokimia lainnya : GABA dan neuroaktif peptida (terutama vasopressin dan opiate endogen) telah dilibatkan dalam patofisiologi gangguan mood.

2. Faktor neuroendokrin: Hipothalamus adalah pusat regulasi neuroendokrin dan menerima rangsangan neuronal yang menggunakan neurotransmitter biogenic amin. Bermacam-macam disregulasi endokrin dijumpai pada pasien gangguan mood. 3) Faktor Neuroanatomi: Beberapa peneliti menyatakan hipotesisnya, bahwa gangguan mood melibatkan patologik dan sistem limbik, ganglia basalis dan hypothalamus.

b. Faktor Genetik

Data genetik menyatakan bahwa faktor yang signifikan dalam perkembangan gangguan mood adalah genetik. Pada penelitian anak kembar terhadap gangguan depresi berat, pada anak kembar monozigot adalah 50 %, sedangkan dizigot 10-25 %. c. Faktor Psikososial

1. Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan : suatu pengamatan klinik menyatakan

(28)

menyertai episode pertama akan menyebabkan perubahan fungsional neurotransmitter dan sistem pemberi tanda intra neuronal yang akhirnya

perubahan tersebut menyebabkan seseorang mempunyai resiko yang tinggi untuk menderita gangguan mood selanjutnya.

2. Faktor kepribadian Premorbid : Tidak ada satu kepribadian atau bentuk

kepribadian yang khusus sebagai predisposisi terhadap depresi. Semua orang dengan ciri kepribadian manapun dapat mengalami depresi, walaupun tipetipe kepribadian seperti oral dependen, obsesi kompulsif, histerik mempunyai risiko yang besar mengalami depresi dibandingkan dengan lainnya.

3. Faktor Psikoanalitik dan Psikodinamik : Freud (1917) menyatakan suatu hubungan antara kehilangan objek dan melankoli. Ia menyatakan bahwa kemarahan pasien depresi diarahkan kepada diri sendiri karena

mengidentifikasikan terhadap objek yang hilang. Freud percaya bahwa introjeksi merupakan suatu cara ego untuk melepaskan diri terhadap objek yang hilang. E. Bibring menekankan pada kehilangan harga diri. Bibring mengatakan depresi sebagai suatu efek yang dapat melakukan sesuatu terhadap agresi yang diarahkan kedalam dirinya. Apabila pasien depresi menyadari bahwa mereka tidak hidup sesuai dengan yang dicita-citakannya, akan mengakibatkan mereka putus asa. 4. Ketidakberdayaan yang dipelajari: Didalam percobaan, dimana binatang secara

(29)

Pada penderita depresi, kita dapat menemukan hal yang sama dari keadaan ketidak berdayaan tersebut.

5. Teori Kognitif: Beck menunjukkan perhatian gangguan kognitif pada depresi Asikal H.S. dalam Tarigan (2003) Dia mengidentifikasikan 3 pola kognitif utama pada depresi yang disebut sebagai triad kognitif, yaitu : a) Pandangan negatif terhadap masa depan, b) Pandangan negatif terhadap diri sendiri, individu menganggap dirinya tak mampu, bodoh, pemalas, tidak berharga, c) Pandangan negatif terhadap pengalaman hidup. Meyer berpendapat bahwa depresiadalah reaksi seseorang terhadap pengalaman hidup.

Di bawah ini akan dijelaskan dua tipe utama gangguan depresif (episode depresif dan distimia), di luar gangguan bipolar atau gangguan manik depresif sebagai bentuk kajian utama penelitian.

1.

Episode depresif

Episode depresi merupakan gejala yang mengganggu kemampuan untuk bekerja, belajar, tidur, makan, dan menikmati kegiatan yang menyenangkan (Marta Stuart, 2004).

(30)

ditandai dengan suasana perasaan murung atau sedih, hilangnya minat atau kegembiraan, kelelahan (fatigue) atau berkurangnya energi. Setidaknya dua dari gejala-gejala ini diperlukan untuk mendiagnosis episode depresif: suasana perasaan murung atau sedih, hilangnya minat atau anhedonia, atau hilangnya energi yang secara umum tampak sebagai kelelahan (fatigue). Gejala-gejala ini sering kali

bersamaan dengan gejala psikologik seperti perasaan bersalah dan ide-ide bunuh diri, dan gejala-gejala fisik seperti retardasi psikomotor atau agitasi dan gangguan nafsu makan atau tidur.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa episode depresif merupakan gangguan yang dapat mengganggu segala aktivitas dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti DSM-IV-TR menuliskan kriteria diagnostik untuk gangguan episode depresif berat (Lihat tabel 2.1).

Tabel 2.1

Kriteria Untuk Episode Depresif Berat

A. Lima (atau lebih) gejala berikut telah ditemukan selama periode 2 minggu yang sama dan mewakili perubahan dari fungsi sebelumnya; sekurangnya satu dari gejala adalah salah satu dari (1) mood terdepresi atau (2) hilangnya minat atau kesenangan.

Catatan: Jangan memasukkan gejala yang jelas karena suatu kondisi medis

(31)

(1) Mood terdepresi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, seperti yang ditunjukkan oleh laporan subjektif (misalnya, merasa sedih atau kosong) atau pengamatan yang dilakukan orang lain (misalnya, tampak sedih). Catatan: pada anak-anak dan remaja, dapat berupa mood yang mudah tersinggung. (2) Hilangnya minat atau kesenangan secara jelas dalam semua, atau hampir

semua, aktifitas sepanjang hari, hampir setiap hari (seperti yang ditunjukkan oleh keterangan subjektif atau pengamatan yang dilakukan orang lain). (3) Penurunan berat makan yang bermakna jika tidak melakukan diet atau

penambahan berat badan (misalnya, perubahan berat badan lebih dari 5% dalam satu bulan), atau penurunan atau peningkatan nafsu makan hampir setiap hari. Catatan: pada anak-anak, pertimbangkan kegagalan untuk mencapai pertambahan berat badan yang diharapkan.

(4) Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.

(5) Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat dilihat oleh orang lain, tidak semata-mata perasaan subjektif adanya kegelisahan atau menjadi lamban).

(6) Kelelahan atau hilangnya energi hampir setiap hari.

(7) Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan atau tidak tepat (mungkin bersifat waham) hampir setiap hari (tidak semata-mata mencela diri sendiri atau menyalahkan karena sakit).

(8) Hilangnya kemampuan untuk berpikir atau memusatkan perhatian, atau tidak dapat mengambil keputusan, hampir setiap hari (baik oleh keterangan subjektif atau seperti yang dilihat oleh orang lain).

(9) Pikiran akan kematian yang rekuren (bukan hanya takut mati), ide bunuh diri yang rekuren tanpa rencana spesifik, atau usaha bunuh diri atau rencana khusus untuk melakukan bunuh diri.

B. Gejala tidak memenuhi kriteria untuk episode campuran.

(32)

D. Gejala bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis umum (misalnya, hipotiroidisme).

E. Gejala tidak lebih baik diterangkan oleh dukacita, yaitu setelah kehilangan orang yang dicintai, gejala menetap lebih dari 2 bulan atau ditandai oleh gangguan fungsional yang jelas, preokupasi morbid dengan rasa tidak berharga, ide bunuh diri, gejala psikotik, atau retardasi psikomotor.

Tabel dari DSM-IV-TR, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Hak Cipta American Psychiatric Association, Washington, 2000.

Suatu mood depresi dan hilangnya minat atau kesenangan merupakan gejala utama dari depresi. Pasien mungkin mengatakan bahwa mereka merasa murung, putus asa, dalam kesedihan, atau tidak berguna. Bagi pasien mood depresi seringkali memiliki kualitas yang terpisah yang membedakannya dari emosi normal kesedihan atau dukacita. Pasien seringkali menggambarkan gejala depresi sebagai suatu rasa nyeri emosional yang menderita sekali. Pasien terdepresi kadang-kadang mengeluh tidak dapat menangis, suatu gejala yang menghilang saat mereka membaik (Kaplan & Sadock, 1997).

(33)

Banyak pasien terdepresi (97%) mengeluh adanya penurunan energi yang menyebabkan kesulitan dalam menyelesaikan tugas, sekolah dan pekerjaan, dan penurunan motivasi untuk mengambil proyek baru. Kira-kira 80% pasien mengeluh sulit tidur, khususnya terbangun pada dini hari (yaitu insomnia terminal) dan sering terbangun pada malam hari, selama dimana mereka mungkin merenungkan

masalahnya (Kaplan & Sadock, 1997).

2.

Distimia

Marta stuart (2004) memberikan definisi distimia sebagai tipe depresi yang melibatkan jangka panjang gejala kronis, dimana individu tetap berfungsi dengan perasaan yang baik.

Hergueta dan Leqrubier (Dalam modul anxietas dan depresi Yayasan Depresi Indonesia, 2002) mendefinisikan distimia sebagai adanya suasana perasaan murung (depresif) yang bersifat kronik selama minimal 2 tahun dengan masa remisi tidak lebih lama dari 2 bulan. Suasana murung ini diikuti dengan gejala psikologis seperti putus asa dan gejala fisik seperti gangguan tidur.

(34)

Seperti DSM-IV-TR menuliskan kriteria diagnostik untuk gangguan distimik (Lihat tabel 2.2).

Tabel 2.2

Kriteria Diagnostik Untuk Gangguan Distimik

A. Mood terdepresi untuk sebagian besar hari, lebih banyak hari dibandingkan tidak, seperti yang ditunjukkan oleh keterangan subjektif atau pengamatan orang lain, selama kurangnya 2 tahun. Catatan: Pada anak-anak dan remaja, mood dapat mudah tersinggung (iritabel) dan lama harus sekurangnya 1 tahun.

B. Adanya, saat terdepresi, dua (atau lebih) berikut: (1) Nafsu makan yang buruk atau makan berlebihan. (2) Insomnia atau hipersomnia.

(3) Energi lemah atau lelah. (4) Harga diri yang rendah.

(5) Konsentrasi buruk atau sulit mengambil keputusan. (6) Perasaan putus asa.

C. Selama periode 2 tahun (1 tahun untuk anak-anak atau remaja) gangguan, orang tidak pernah tanpa gejala dalam kriteria A dan B selama lebih dari 2 bulan pada suatu waktu.

D. Tidak pernah ada episode depresif berat selama 2 tahun pertama gangguan (1 tahun untuk anak-anak dan remaja); yaitu, gangguan tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan depresif berat kronis, gangguan depresif berat, dalam remisi parsial.

Catatan: Mungkin terdapat episode depresif berat sebelumnya asalkan terdapat

(35)

E. Tidak pernah terdapat episode manik, episode campuran, atau episode hipomanik, dan tidak pernah memenuhi kriteria untuk gangguan siklotimik. F. Gangguan tidak terjadi semata-mata selama perjalanan gangguan psikotik kronis,

seperti skizofrenia atau gangguan delisional.

G. Gejala tidak merupakan efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis umum (misalnya, hipotiroidisme).

H. Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.

Sebutkan jika

Onset awal: jika onset sebelum usia 21 tahun

Onset lambat: jika onset pada usia 21 tahun atau lebih

Sebutkan (untuk 2 tahun terakhir gangguan distimik) Dengan ciri atipikal

Tabel dari DSM-IV-TR, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Hak Cipta American Psychiatric Association, Washington, 2000.

Kaplan dan Sadock dalam bukunya “Synopsis of Psychiatry” (1997) mendefinisikan gangguan distimik adalah suatu gangguan kronis yang ditandai oleh adanya mood yang terdepresi (atau mudah marah pada anak-anak dan remaja) yang berlangsung hampir sepanjang hari dan ditemukan pada sebagian besar hari. Istilah “distimia,” yang berarti humor yang buruk (ill-humored), diperkenalkan di tahun 1980 dan diganti menjadi “gangguan distimik” di dalam DSM-IV.

(36)

sepertiga dari semua pasien klinik. Sekurangnya satu penelitian melaporkan

prevalensi gangguan distimik di antara remaja yang muda adalah kira-kira 8% pada laki-laki dan 5% pada perempuan. Gangguan distimik adalah lebih sering pada wanita yang berusia kurang dari 64 tahun dibandingkan laki-laki pada setiap usia. Gangguan distimik juga lebih sering ditemukan di antara orang yang tidak menikah dan orang muda dan pada orang dengan penghasilan yang rendah. Selain itu, gangguan distimik seringkali ada bersama-sama dengan gangguan mental lain, khususnya gangguan depresif berat, gangguan kecemasan (khususnya gangguan panik), penyalahgunaan zat, dan kemungkinan gangguan kepribadian ambang (Kaplan & Sadock, 1997).

2.1.2.

Gangguan anxietas

Nevid, Rathus, dan Greene dalam bukunya “Abnormal Psychology in a Changing World” (2005) mendefinisikan anxietas sebagai suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi.

(37)

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah perasaan takut yang tidak menyenangkan dan apprehension, dan dapat menimbulkan beberapa keadaan psikopatologis sehingga mengalami apa yang disebut gangguan kecemasan atau anxiety disorder.

Untuk memahami kecemasanyang mempengaruhi beberapa area dari fungsi-fungsi individu, Acocella (Dalam Josetta Maria, 2003) mengatakan bahwa anxiety

seharusnya melibatkan atau memiliki 3 komponen dasar, yaitu :

1. Adanya ungkapan yang subjektif (subjective reports) mengenai ketegangan, ketakutan dan tidak adanya harapan untuk dapat mengatasinya.

2. Respon-respon perilaku (behavioral responses), seperti menghindari situasi yang ditakuti, kerusakan pada fungsi bicara dan motorik, dan kerusakan tampilan untuk tugas-tugas kognitif yang kompleks.

3. Respon-respon fisiologis (physiological responses), termasuk ketegangan otot, peningkatan detak jantung dan tekanan darah, nafas yang cepat, mulut yang kering, nausea, diare dan dizziness.

A. Jenis-jenis gangguan anxietas

(38)

1. Panic Disorder, yang umumnya diawali dengan panic attacks atau serangan panik berulang yang ditandai dengan adanya gejala fisiologis, seperti pusing, detak jantung yang cepat, gemetar, perasaan tercekik dan ketakutan ‘menjadi gila’ atau ‘mau mati’.

2. Generalized Anxiety Disorder dikarateristikan dengan kekhawatiran yang tidak dapat dikuasai dan menetap, biasanya terhadap hal-hal yang sepele/tidak utama. 3. Phobia yaitu perasan takut dan menghindar terhadap objek atau situasi yang

realitanya atau kenyataannya tidak berbahaya.

4. Obssessive-compulsive disorder ditandai dengan adanya ide-ide dalam pikiran yang muncul secara berulang-ulang dan tidak terkendali, serta menimbulkan perilaku yang berulang atau adanya tindakan mental.

5. Posttraumatic stress disorder merupakan akibat dari pengalaman traumatik dari suatu kejadian disertai gejala peningkatan arousal dan dorongan kuat untuk menghindari stimulus yang berhubungan dengan trauma tersebut.

6. Acute stress disorder, gejalanya sama dengan posttraumatic stress disorder yang terjadi secara langsung dan bertahan selama 4 minggu atau kurang.

B. Faktor-faktor penyebab gangguan anxietas

(39)

dipengaruhi oleh ancaman eksternal tetapi lebih dipengaruhi oleh keadaan internal individu :

“Psychodynamic theorists view the anxiety disorder as neuroses resulting from uncounscious conflicts between id impulses and ego actions.”

Sebagaimana diketahui, Sigmund Freud sebagai bapak dari pendekatan

(40)

menahan dorongan id. Acocella (Dalam Josetta Maria, 2003) menggambarkannya sebagai berikut :

“The neurotic individual experiences conscious anxiety over these conflicts or keeps the anxiety at bay through rigid defense mechanism.”

Jadi, individu yang mengalami anxiety disorder, menurut pendekatan psikodinamika, berakar dari ketidak-mampuan egonya untuk mengatasi dorongan-dorongan yang muncul dari dalam dirinya sehingga ia akan mengembangkan mekanisme pertahanan diri. Mekanisme pertahanan diri ini sebenarnya upaya ego untuk menyalurkan dorongan dalam dirinya dan bisa tetap berhadapan dengan lingkungan. Tetapi jika mekanisme pertahanan diri ini dipergunakan secara secara kaku, terusmenerus dan berkepanjangan maka hal ini dapat menimbulkan perilaku yang tidak adaptif dan tidak realistis.

Para ahli dari aliran humanistik-eksistensial mengatakan bahwa konsep anxiety bukan hanya sekedar masalah yang bersifat individual, tetapi juga merupakan hasil konflik antara individu dengan masyarakat atau lingkungan sosialnya. Acocella (Dalam Josetta Maria, 2003) menjabarkannya sebagai berikut :

“... they see anxiety not just as an individual problem but as the outcome of conflicts between the person’s self concept and society’s ideal.”

(41)

atau anxiety. Jadi, menurut pandangan humanist-eksistensialis, pusat kecemasan adalah konsep diri; yang terjadi sehubungan dengan adanya gap antara konsep diri yang sesungguhnya (real sefl) dengan diri yang diinginkan (ideal self). Hal ini muncul sehubungan dengan tidak adanya kesempatan bagi individu untuk mengaktualisasikan dirinya sehingga perkembangannya menjadi terhalang. Akibatnya, dalam menghadapi tantangan atau kendala dalam menjalani hari-hari dikehidupan selanjutnya, ia akan mengalami kesulitan untuk membentuk konsep diri yang positif. Setiap kita sebenarnya perlu mengembangkan suatu upaya untuk menjadi diri sendiri (authenticity), sedangkan individu yang neurotis atau yang mengalam anxiety disorder adalah individu yang gagal menjadi diri sendiri

(inauthenticity) karena mereka mengembangkan konsep diri yang keliru/palsu (false self).

Sementara para ahli dari pendekatan behavioristik mengatakan bahwa kecemasan muncul karena terjadi kesalahan dalam belajar, bukan hasil dari konflik

intrapsikis/unconsciousness conflict; individu belajar menjadi cemas. Hal ini digambarkan oleh Acocella (Dalam Josetta Maria, 2003) sebagai berikut :

“... people may also learn to associate a neutral stimulus with the anxiety-producing stimulus and then be conditioned to habitually avoid that stimulus.”

(42)

1. Dalam pengalaman individu, beberapa stimulus netral, tidak berbahaya atau tidak menimbulkan kecemasan, dihubungan dengan stimulus yang menyakitkan

(aversive) akan menimbulkan kecemasan (melalui respondentconditioning). 2. Individu yang menghindar dari stimulus yang sudah terkondisi, dan sejak

penghindaran ini menghasilkan pembebasan/terlepas dari rasa cemas, maka respon menghindar ini akan menjadi kebiasaan (melalui operant conditioning).

Dari sudut pandang kognitif, anxiety disorder terjadi karena adanya kesalahan dalam mempersepsikan hal-hal yang menakutkan, yang oleh Acocella (Dalam Josetta Maria, 2003) dijabarkan sebagai berikut :

“... people with anxiety disorder misperceive or misinterpret internal and external stimuli. Events and sensations that are not really threatening are interpreted as threatening, and anxiety result.”

(43)

dapat menghasilkan panic attack yang kemudian dapat berkembang menjadi panic disorder.

Di bawah ini akan dijelaskan empat bentuk utama gangguan anxietas yang akan dijadikan sebagai kajian pustaka penelitian, diantaranya:

3.

Gangguan anxietas menyeluruh

Individu dengan gangguan generalized anxiety akan terus-menerus merasa khawatir tentang hal-hal yang kecil/sepele tetapi kekhawatiran ini berlebihan, tidak dapat dikontrol dan menyangkut beberapa aspek kehidupan. Acocella (Dalam Josetta Maria, 2003) mengatakan bahwa :

“As the name suggest, the main feature of generalized anxiety disorder is a chronic state of diffuse anxiety. DSM IV defines the syndrome as exessive worry, over a period of at least six months, about several life circumstances. The most common areas of worry are family, money, work, and health (Rapee & Barlow, Dalam Josetta Maria, 2003).”

Fitur utama dari gangguan kecemasan menyeluruh adalah suatu keadaan kronis yang menyebarkan kecemasan. DSM IV mendefinisikan sebagai khawatir yang berlebih, selama sekurang-kurangnya enam bulan, tentang kehidupan sehari-hari, yang paling umum adalah kekhawatiran keluarga, uang, kerja, dan kesehatan.

(44)

yang menyeluruh dan menetap, ketegangan dan kekuatiran berlebihan mengenai kejadian-kejadian yang lazim terhadap peristiwa-peristiwa hidup. Gangguan anxietas ini bersamaan dengan adanya suatu keadaan ketegangan fisik dan psikologis yang menetap. Gangguan anxietas menyeluruh adalah suatu bentuk anxietas kronik. Diagnosisnya mensyaratkan sejumlah gejala yang harus terdapat bersamaan minimal selama 6 bulan.

Seperti DSM-IV-TR menuliskan kriteria diagnostik untuk gangguan distimik (Lihat tabel 2.3).

Tabel 2.3

Kriteria Diagnostik Untuk Gangguan Anxietas Menyeluruh

A. Kecemasan berlebihan dan keraguan (harapan penuh pengertian), terjadi lebih dari hari untuk sedikitnya 6 bulan, sekitar sejumlah peristiwa atau aktivitas (seperti pekerjaan atau pencapaian sekolah).

B. Orang mengalami kesulitan untuk mengendalikan keraguan itu.

C. Kecemasan dan keraguan dihubungkan dengan tiga (atau lebih dari enam gejala (dengan sedikitnya beberapa gejala menyajikan untuk masa lalu 6 bulan). catatan: hanya satu aitem diperlukan anak-anak.

(1) Kegelisahan atau gelisah atau khawatir. (2) Menjadi dengan mudah dilelahkan.

(45)

(5) Ketegangan otot.

(6) Gangguan tidur (kesukaran jatuh atau tinggal untuk tidur, atau tidur yang tak memuaskan atau resah).

D. Fokus pada kecemasan dan keraguan tidaklah terbatas pada corak gangguan axis 1, e.g., kecemasan atau keraguan bukanlah suatu serangan panik (seperti gangguan panik), dipermalukan publik (seperti fobia sosial), dicemari (seperti gangguan kecemasan perpisahan), memperoleh berat/beban (seperti gangguan anorexia nervosa), mempunyai berbagai keluhan fisik (seperti gangguan somatisasi), atau mempunyai atau menikmati suatu penyakit serius (seperti di hipokondriasis), dan kecemasan dan keraguan tidak terjadi eksklusif selama gangguan stres pasca traumatik.

E. Kecemasan, keraguan, atau gejala fisik menyebabkan penderitaan secara klinis atau perusakan di dalam sosial, pekerjaan, atau area lain yang berfungsi penting. F. Gangguan bukanlah dalam kaitan dengan fisiologis yang langsung untuk suatu

unsur (e.g., hyperthyroidism) dan tidak terjadi eksklusif selama dalam suatu gangguan mood, suatu gangguan psikotik, atau suatu gangguan perkembangan pervasif.

Tabel dari DSM-IV-TR, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Hak Cipta American Psychiatric Association, Washington, 2000.

(46)

anxietas yang ditandai oleh perasaan cemas yang persisten yang tidak dipicu oleh suatu objek, situasi, atau aktifitas yang spesifik, tetapi lebih merupakan apa yang disebut oleh Freud sebagai “mengambang bebas” (free floating). Orang dengan gangguan anxietas menyeluruh. Sanderson dan Barlow (Dalam Nevid, Rathus, & Greene, 2005) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa 9 dari 10 orang dengan gangguan anxietas menyeluruh melaporkan kecemasan yang berlebihan bahkan mengenai hal-hal kecil.

APA (Dalam Nevid, Rathus, & Greene, 2005) memberikan ciri lain yang terkait adalah merasa tegang, khawatir atau waswas, mudah lelah, mempunyai kesulitan berkonsentrasi atau menemukannya bahwa pikirannya menjadi kosong, iritabilitas, ketegangan otot, dan adanya gangguan tidur, seperti sulit untuk tidur, untuk terus tidur, atau tidur yang gelisah dan tidak memuaskan.

Rapee (Dalam Nevid, Rathus, & Greene, 2005) mengemukakan bahwa gangguan anxietas menyeluruh cenderung merupakan suatu gangguan yang stabil, muncul pada pertengahan remaja sampai pertengahan umur 20-an tahun dan kemudian berlangsung sepanjang hidup.

(47)

4.

Gangguan panik

Hergueta dan Leqrubier (Dalam modul anxietas dan depresi Yayasan Depresi

Indonesia, 2002) mendefinisikan karakteristik gangguan panik adalah serangan panik yang mendadak, berulang, sering kali timbul rasa takut mati, takut menjadi gila, takut terhadap hal yang tidak nyata, hilangnya pengendalian diri tanpa alasan yang jelas dan berbagai gejala fisik yang seringkali berat serta melibatkan system syaraf otonom (diare, palpitasi, nyeri dada, berkeringat banyak, dll).

Acocella (Dalam Josetta Maria, 2003) mengatakan bahwa individu disebut

mengalami panic disorder jika ia secara berulang-ulang mengalami serangan panik (panic attacks) yang tidak diharapkan, dan keadaan ini menimbulkan masalah secara psikologis ataupun perilaku.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gangguan panik merupakan gangguan panik berulang yang ditandai dengan adanya gejala fisiologis, seperti pusing,

(48)

Seperti DSM-IV menuliskan kriteria diagnostik untuk serangan panik (Lihat tabel 2.4).

Tabel 2.4

Kriteria Diagnostik Untuk Serangan Panik

Serangan panik mencakup suatu episode ketakutan yang intens atau perasaan tidak nyaman dimana sedikitnya empat dari ciri-ciri berikut ini tiba-tiba muncul dan mencapai puncaknya dalam jangka waktu 10 menit:

A. Palpitasi jantung, jantung berdegup-degup, tachycardia (denyut jantung cepat). B. Berkeringat.

C. Bergetar atau gemetar.

D. Nafas pendek atau sensasi seperti terselubung sesuatu. E. Sensasi seperti tercekik.

F. Sakit atau perasaan tak nyaman di dada.

G. Perasaan mual atau tanda-tanda distress abdominal lainnya.

H. Perasaan pusing, ketidakseimbangan, kepala enteng, atau seperti mau pingsan. I. Perasaan aneh atau tidak riil tentang lingkungannya (derealisasi) atau perasaan

asing tentang dirinya sendiri (depersonalisasi).

J. Perasaan takut kehilangan kendali atau akan menjadi gila. K. Takut akan mati.

(49)

Tabel dari DSM-IV, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, ed 4, Hak Cipta American Psychiatric Association, Washington, 2000.

Weissman, et.all (Dalam Nevid, Rathus, & Greene, 2005) mendeskripsikan serangan panik sebagai pengalaman paling buruk dalam hidup mereka. Serangan panik yang berulang kemungkinan menjadi sulit untuk dihadapi, sehingga penderitanya

mempunyai keinginan untuk bunuh diri. Suatu studi kependudukan mengenai mereka yang menderita serangan panik menemukan bahwa 12% telah melakukan bunuh diri.

APA (Dalam Nevid, Rathus, & Greene, 2005) menjelaskan bahwa diperkirakan 1% sampai 4% dari populasi pernah mengalami gangguan panik pada suatu saat dalam hidup mereka. Gangguan panik biasanya dimulai pada akhir masa remaja sampai pertengahan 30-an tahun. Perempuan mempunyai kemungkinan dua kali lebih besar untuk mengembangkan gangguan panik.

5.

Agorafobia

Hergueta dan Leqrubier (Dalam modul anxietas dan depresi Yayasan Depresi

(50)

Agorafobia didefinisikan sebagai perasaan anxietas yang dapat berkembang menjadi serangan panik, jika penderita merasa dia berada dalam situasi atau tempat yang tak dapat dihindari atau sulit mendapat pertolongan jika dia menderita suatu serangan anxietas. Tempat yang paling sering disebut adalah transportasi publik, elevator, jembatan, terowongan, gua dan lain-lain.

Anxietas situasional seperti ini sering kali bersamaan dengan kebiasaan menghindar dan atau “counter phobic” (meyakinkan diri). Misalnya, agorafobia (takut akan keramaian): kebiasaan menghindar: menghindari toko yang besar, kebiasaan “counter phobic” pergi ke toko yang besar dengan teman yang dipercaya.

Seperti DSM-IV-TR menuliskan kriteria diagnostik untuk agorafobia (lihat tabel 2.5). Tabel 2.5

Kriteria Diagnostik Untuk Agorafobia

Catatan: Agorafobia bukanlah suatu gangguan. kode spesifik agorafobia terjadi:

(51)

atau berdiri satu baris; berada di suatu jembatan; dan bepergian dengan bus, kereta, mobil.

Catatan: mempertimbangkan hasil diagnosis fobia spesifik jika penghindaran

terbatas pada satu atau hanya sedikit situasi spesifik, atau phobic sosial jika penghindaran terbatas pada situasi sosial.

B. Situasi dihindarkan (e.g., perjalanan terbatas) atau selain itu ditandai penderitaan atau dengan kecemasan suatu serangan panik atau gejala seperti panik, atau memerlukan kehadiran suatu rekan.

C. Kecemasan atau penghindaran phobic tidaklah lebih baik dibukukan oleh gangguan mental lain, seperti fobia sosial (e.g., penghindaran membatasi pada situasi sosial oleh karena ketakutan kebingungan), fobia spesifik (e.g., penghindaran membatasi pada situasi tunggal seperti elevator), gangguan obsesif kompulsif (e.g., penghindaran kotoran salah seseorang dengan suatu obsesi tentang pencemaran), gangguan stres pasca traumatik (e.g., penghindaran rangsangan yang berhubungan dengan suatu alat penekan menjengkelkan), atau gangguan kecemasan perpisahan (e.g., penghindaran meninggalkan rumah atau keluarga).

Tabel dari DSM-IV-TR, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Hak Cipta American Psychiatric Association, Washington, 2000.

(52)

masa remaja atau awal masa dewasa. Eaton, Dryman dan Weismann (Dalam Nevid, Rathus, & Greene, 2005) mengemukakan bahwa sekitar 60% dari orang Amerika dewasa pernah mengalami agorafobia pada suatu saat dalam hidup mereka. Agorafobia dapat terjadi bersamaan atau tidak bersamaan dengan gangguan panik yang menyertai. Pada gangguan panik dengan agorafobia, orang tersebut hidup dengan ketakutan akan terjadinya serangan yang berulang dan menghindari tempat-tempat umum di mana serangan telah terjadi atau mungkin terjadi. Karena serangan panik terjadi begitu saja, beberapa orang membatasi aktifitas mereka karena takut menjadikan diri mereka tontonan umum atau menemukan diri mereka dalam keadaan tanpa pertolongan. Orang-orang dengan agorafobia yang tidak mempunyai riwayat gangguan panik dapat mengalami sedikit simtom panik, seperti pusing yang menghalangi mereka untuk melangkah keluar dari tempat-tempat dimana mereka merasa aman dan tidak terancam. Mereka juga cenderung tergantung kepada orang lain untuk mendapatkan dukungan.

6.

Gangguan obsesif kompulsif

(53)

(atau kompulsi). Ide atau kebiasaan ini tidak dipaksakan dari luar. Ini menyebabkan penderitaan dan menyita banyak waktu. Obsesi yang paling sering adalah obsesi merasa terkontaminasi atau terkotori. Kompulsi yang paling sering adalah memeriksa, merapikan dan mencuci. Gangguan obsesif kompulsif adalah gangguan anxietas yang paling serius, tetapi juga yang paling jarang dan sering kali berkaitan dengan depresi.

Seperti DSM-IV-TR menuliskan kriteria diagnostik untuk gangguan obsesif kompulsif (Lihat tabel 2.6).

Tabel 2.6

Kriteria Diagnostik Untuk Gangguan Obsesif Kompulsif

A. Baik obsesi maupun kompulsi:

Obsesi digambarkan dengan (1), (2), (3), dan (4):

1. Pemikiran gigih dan berulang, dorongan/gerakan hati, atau gambaran pengalaman, pada waktu beberapa sepanjang gangguan, tidak sesuai dan mengganggu dan yang menyebabkan kecemasan atau penderitaan.

2. Pemikiran, dorongan/gerakan hati, atau gambaran bukan sekedar keraguan berlebihan tentang permasalahan kehidupan yang riil.

3. Orang mencoba untuk mengabaikan atau menekan. seperti pemikiran, dorongan/gerakan hati, atau gambaran, atau untuk menetralkannya dengan beberapa pikiran atau tindakan lain .

(54)

Catatan: Agorafobia bukanlah suatu gangguan. kode spesifik agorafobia terjadi:

Kompulsi digambarkan dengan (1) dan (2):

1. Perilaku berulang (e.g., mencuci tangan, memesan, mengecek) atau tindakan mental (e.g., berdoa, menghitung, mengulangi kata-kata dengan diam) yang dirasakan orang untuk melaksanakan sebagai jawaban atas suatu obsesi, atau menurut aturan yang harus diterapkan dengan teguh.

2. Perilaku atau tindakan mental diarahkan pada pencegahan atau mengurangi penderitaan atau beberapa pencegahan situasi atau peristiwa menyeramkan; bagaimanapun, perilaku atau tindakan mental ini tidak dihubungkan dalam cara yang realistis yang dirancang untuk menetralkan atau mencegah atau dengan jelas berlebihan.

B. Beberapa poin menunjuk gangguan sepanjang keadaan, orang telah mengenali bahwa obsesi atau kompulsi adalah tidak beralasan atau berlebihan. Catatan: ini tidak berlaku bagi anak-anak.

C. Obsesi atau penyebab kompulsi menandai penderitaan, atas waktu yang dignakannya (memakan lebih dari 1 jam dalam satu hari), atau dengan mantap bertentangan dengan orang normal (atau akademis) berfungsi, atau hubungan atau aktivitas sosial umum.

(55)

serius di hadapan hypochondriasis; preokupasi dengan khayalan seksual di hadapan suatu paraphilia; atau perenungan bersalah di hadapan gangguan depresif mayor).

F. Gangguan tidaklah berkaitan dengan efek fisiologis yang langsung dari suatu zat (e.g., penyalahgunaan zat, suatu pengobatan) atau suatu kondisi medis umum. Menetapkan jika:

Dengan pengertian yang mendalam: jika, karena kebanyakan dari waktunya

sepanjang peristiwa yang sekarang, orang tidak mengenali bahwa obsesi dan kompulsi adalah tidak beralasan atau berlebihan.

Tabel dari DSM-IV-TR, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Hak Cipta American Psychiatric Association, Washington, 2000.

(56)

APA (Dalam Nevid, Rathus, & Greene, 2005) menjelaskan bahwa gangguan obsesif kompulsif dialami 2% sampai 3% masyarakat umum pada suatu saat dalam hidup mereka. Gangguan ini muncul sama seringnya pada laki-laki dan perempuan. Skoog dan Skoog mengemukakan penelitian di Swedia menemukan bahwa meskipun kebanyakan pasien gangguan obsesif kompulsif menunjukkan, banyak juga yang terus berlanjut mempunyai simtom gangguan ini sepanjang hidup mereka.

Dari pemaparan di atas tentang gangguan depresif dan anxietas, nantinya akan dilihat seberapa besar intensitas kecemasan dan tingkat depresi, khususnya pada pasien narkoba yang menggunakan terapi metadon yang akan dijadikan sebagai kajian pustaka penelitian ini.

2.2.

Terapi metadon

2.2.1. Program layanan terapi ketergantungan NAPZA

Pasien adalah seseorang yang menerima perawatan medis. Sering kali, pasien menderita penyakit atau cedera dan memerlukan bantuan dokter untuk

memulihkannya (Wikipedia, 2009).

(57)

dalam tubuh akan mempengaruhi fungsi-fungsi yang dapat merusak tubuh terutama otak (BNN, 2007).

Selain "narkoba", istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah NAPZA yang merupakan singkatan dari 'Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif'. Semua istilah ini, baik "narkoba" atau NAPZA, mengacu pada sekelompok zat yang umumnya mempunyai resiko kecanduan bagi penggunanya (Wikipedia, 2009).

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis memberikan definisi bahwa pasien narkoba adalah seseorang yang menerima perawatan medis dari sifat kecanduan atau

ketergantungannya terhadap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain.

Fokus terapi ketergantungan NAPZA adalah menyediakan berbagai jenis pilihan, yang dapat mendukung proses pemulihan melalui berbagai ketrampilan yang diperlukan dan mencegah kekambuhan (relapse). Tingkatan layanan bervariasi, tergantung dari derajat keparahan dan seberapa intensif terapi diperlukan. Bentuk-bentuk terapi ketergantungan NAPZA (Dalam lampiran Keputusan Menteri Kesehatan, 2006) antara lain adalah:

a. Detoksifikasi dan Terapi Withdrawal

(58)

akibat penghentian penggunaan NAPZA. Detoks bukan terapi tunggal, namun hanya sebagai langkah pertama menuju program terapi jangka panjang

(rehabilitasi, program terapi rumatan substitusi). Bila hanya dilakukan detoks kemungkinan relaps sangat besar. Variasi terapi detoks sangat luas, antara lain: ultra rapid detoxification (hanya 6 jam), home based detoxification, detoks rawat inap dan detoks rawat jalan.

b. Terapi terhadap Kondisi Emergensi

Pasien-pasien ketergantungan NAPZA sering menunjukkan perilaku yang mendatangkan kegawatan baik bagi dirinya maupun bagi orang sekitarnya. Keadaan overdose opioida dapat menyebabkan depresi pada susunan saraf pusat yang menyebabkan kematian. Kondisi paranoid, halusinasi, agresif dan agitasi akut memerlukan pertolongan profesional dengan segera.

c. Terapi Gangguan Diagnosis Ganda

Banyak pasien-pasien ketergantungan NAPZA yang bersama-sama juga menderita gangguan jiwa, seperti: skizofrenia, gangguan bipolar, gangguan kepribadian, anti sosial, depresi berat sampai suicide. Gangguan diagnosis ganda tersebut

memerlukan terapi yang terintegrasi dengan terapi ketergantungan NAPZA. d. Terapi Rawat Jalan (Ambulatory atau Out-Patient Treatment)

(59)

Terapi ini tidak restriktif dan sering memberikan hasil paling baik bagi orang yang telah bekerja dan yang memiliki lingkungan sosial dan keluarga yang stabil. Bentuk layanan ini dapat dilakukan dalam situasi dan kondisi layanan kesehatan formal ataupun dalam masyarakat dengan layanan-layanan yang meliputi; pendidikan kesehatan terkait penyalahgunaan NAPZA, pemberian terapi medis, konseling individu, konseling kelompok, konseling keluarga, psikoterapi, evaluasi psikologi dan evaluasi sosial serta program kelompok dukungan (support group) baik yang berdasarkan pada program 12 langkah, maupun program-program lain sesuai dengan kebutuhan pasien.

e. Terapi Residensi (residential treatment)

Bila detoks dan terapi rawat jalan berulang kali gagal, maka pasien perlu dipertimbangkan untuk mengikuti terapi rawat residensi (yang juga disebut dengan istilah rehabilitasi). Banyak metode yang digunakan dalam terapi residensi antara lain: Therapeutic Community, dan the 12-Step Recovery

Program. Lamanya terapi umumnya 12-24 bulan yang terdiri dari beberapa tahap terapi. Sasaran utama dari terapi residensi adalah abstinentia atau sama sekali tidak menggunakan NAPZA (drug free). Dalam kedua program tersebut,

(60)

f. Terapi Pencegahan Relaps

Angka relaps (kekambuhan) pada pasien ketergantungan NAPZA, khususnya pengguna opioida sangat tinggi. Guna mencegah berulangkalinya relaps, pasien-pasien tersebut harus mendapatkan terapi pencegahan relaps. Beberapa bentuk terapi tersebut antara lain: Relapse Prevention Training (Marlatt), Cognitive Behavior Therapy (CBT) khususnya terhadap craving (Beck) dan the 12-Step Recovery Program.

g. Terapi Pasca Perawatan (after care)

Setelah melewati terapi rawat inap pasien sangat disarankan untuk dapat mengikuti terapi pasca perawatan. Hal ini merupakan bagian penting untuk dapat mendukung pasien tetap tidak menggunakan NAPZA. Beberapa komponen yang masuk dalam terapi pasca perawatan adalah konseling bagi pasien dan keluarga, psikoterapi, terapi perilaku, terapi kognitif, terapi perilaku dan kognitif, terapi dukungan, kelompok dukungan dan program 12 Langkah.

h. Terapi Substitusi (Substitusion Therapy)

(61)

dijalankan. Pasien yang mengikuti terapi substitusi tidak memerlukan

hospitalisasi (rawat residensi) jangka panjang. Terapi ini akan berjalan dengan sangat efektif bila disertai dengan konsultasi dan intervensi perilaku.

Terapi substitusi terutama sekali ditunjukkan kepada pasien ketergantungan opioida. Methadone Maintance Therapy (MMT), yang sering disebut sebagai Terapi Rumatan Metadone (TRM) yang paling umum dijalankan sebagai bentuk terapi utama yang akan dijadikan kajian pustaka penelitian ini.

2.2.2.

Metadon

Program pengalihan yang paling diakui, dan telah berkali-kali diteliti secara mendalam adalah pemeliharaan metadon. Program rumatan atau pemeliharaan metadon yang berlangsung sedikitnya 6 bulan sampai 2 tahun atau lebih lama lagi (Dalam lampiran Keputusan Menteri Kesehatan, 2006).

(62)

Metadon termasuk dalam kelompok obat yang sama dengan heroin, kodein, dan morfin. Metadon adalah obat sintetis yang meredakan gejala putus obat yang biasanya dialami para pecandu. Ini bukan berarti metadon menyembuhkan adiksi terhadap opiat, karena saat menjalani program pemeliharaan metadon, klien pun secara fisik masih dalam ketergantungan terhadap opiat. Metadon dikenal luas di Australia dan Eropa sebagai perawatan untuk ketergantungan opiat (Yakita, 2007) dan resmi digunakan di Indonesia tahun 2003, bulan februari sebagai terapi bagi pecandu narkoba (Kompas, 2007).

Metadon adalah suatu narkotik sintesis (suatu opioid) yang menggantikan heroin dan dapat digunakan per-oral. Obat ini diberikan pada pasien kecanduan untuk

(63)

Metadon menyebabkan efek samping berupa perasaan ringan, pusing, kantuk, fungsi mental terganggu, berkeringat, pruritus, mual dan muntah. Efek samping ini lebih sering timbul pada pemberian oral daripada pemberian parenteral dan lebih sering timbul pada pasien berobat jalan. Kepekaan seseorang terhadap metadon dipengaruhi oleh faktor yang mempengaruhi kepekaan terhadap morfin, ditambah timbulnya adiksi jauh lebih kecil daripada bahaya adiksi morfin (Sulistia Gan Gunawan, 2007).

Pemeliharaan dengan metadon (metadhone maintenance) mempunyai beberapa keuntungan. Pertama, obat ini membebaskan seseorang dengan ketergantungan opioid dari heroin yang disuntikkan, dan dengan demikian menurunkan kemungkinan penyebaran HIV melalui penggunaan jarum yang terkontaminasi. Kedua, metadon menyebabkan euforia yang minimal dan jarang menyebabkan mengantuk atau depresi jika digunakan untuk jangka waktu yang lama. Ketiga, metadon memungkinkan pasien mengikuti pekerjaan yang bermanfaat, bukannya aktifitas kriminal. Kerugian utama adalah pasien tetap tergantung pada narkotik (Kaplan & Sadock, 1997).

A.

Dampak psikologis terapi metadon

(64)

kodein, morfin dan jenis opioida lainnya, sehingga dibawah ini akan dijelaskan secara umum dampak psikologis akibat penggunaan atau ketergantungan narkotika jenis opioida, dalam hal ini metadon khususnya yang termasuk dalam kategori opioida (Hidup Sehat, 2008):

1. Selain ketergantungan fisik, terjadi juga ketergantungan mental. Ketergantungan

mental ini lebih susah untuk dipulihkan daripada ketergantungan fisik.

Ketergantungan yang dialami secara fisik akan lewat setelah gejala putus obat diatasi, tetapi setelah itu akan muncul ketergantungan mental, dalam bentuk yang dikenal dengan istilah ‘sugesti’. Orang seringkali menganggap bahwa sakaw dan sugesti adalah hal yang sama, ini adalah anggapan yang salah. Sakaw bersifat fisik, dan merupakan istilah lain untuk gejala putus obat, sedangkan sugesti adalah ketergantungan mental, berupa munculnya keinginan untuk kembali menggunakan narkoba. Sugesti ini tidak akan hilang saat tubuh sudah kembali berfungsi secara normal. Sugesti ini bisa digambarkan sebagai suara-suara yang menggema di dalam kepala seorang pecandu yang menyuruhnya untuk

menggunakan narkoba. Sugesti seringkali menyebabkan terjadinya ‘perang’ dalam diri seorang pecandu, sehingga muncul suatu kecemasan, karena di satu sisi ada bagian dirinya yang sangat ingin menggunakan narkoba, sementara ada bagian lain dalam dirinya yang mencegahnya.

(65)

pikirannya. Ia akan menggunakan semua daya pikirannya untuk memikirkan cara yang tercepat untuk mendapatkan uang untuk membeli narkoba. Tetapi ia tidak pernah memikirkan dampak dari tindakan yang dilakukannya, seperti mencuri, berbohong, atau sharing needle karena perilakunya selalu impulsive, tanpa pernah dipikirkan terlebih dahulu.

Ia juga selalu berpikir dan berperilaku kompulsif, dalam artian ia selalu mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama. Misalnya, seorang pecandu yang sudah keluar dari sebuah tempat pemulihan sudah mengetahui bahwa ia tidak bisa mengendalikan penggunaan narkobanya, tetapi saat sugestinya muncul, ia akan berpikir bahwa mungkin sekarang ia sudah bisa mengendalikan penggunaannya, dan akhirnya kembali menggunakan narkoba.

2. Zat-zat jenis opioida dapat mengubah mood seseorang. Saat menggunakan zat

tersebut, mood, perasaan, serta emosi seseorang ikut terpengaruh. Salah satu efek yang diciptakan oleh zat tersebut adalah perubahan mood. Narkoba dapat

mengakibatkan ekstrimnya perasaan, mood atau emosi penggunanya. Jenis-jenis narkoba tertentu, terutama alkohol dan jenis-jenis narkotik yang termasuk dalam kelompok uppers seperti heroin, dan shabu-shabu, dapat memunculkan perilaku agresif yang berlebihan dari si pengguna, dan seringkali mengakibatkannya melakukan perilaku atau tindakan kekerasan. Terutama bila orang tersebut pada dasarnya memang orang yang emosional dan bertemperamen panas.

(66)

penggunaan narkoba, maka ia tidak akan takut untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap orang-orang yang mencoba menghalaginya untuk menggunakan narkoba.

B.

Farmakokinetik

[image:66.612.141.490.387.480.2]

Oral metadon siap diserap dan sangat panjang tindakannya, dengan perbandingan, bioavailabilitasnya hampir 3 kali dari morfin dan umur-paruhnya adalah sekitar 10 kali lebih besar dari morfin (Lihat tabel 2.7).

Tabel 2.7

Perbandingan Umur Paruh Metadon dan Morpin

Eap, et al (Dalam James D. Toombs, MD, 2008) menyatakan bahwa metadon dengan sangat cepat menyebar ke tiap-tiap jaringan mencakup otak, saluran air atau usus, ginjal, hati, otot, dan paru-paru.

Beaver et. all (Dalam James D. Too

Gambar

Tabel 2.7  Perbandingan Umur Paruh Metadon dan Morpin
Tabel 2.8
Tabel 2.9 Contoh: Pemberian Titrasi Metadon Opioid-Pasien Pemula
Gambar 2.1. Dampak psikologis terhadap penggunaan metadon.
+4

Referensi

Dokumen terkait

Persyaratan K3 untuk ruang terbatas (Confined Space) adalah sebagai berikut: Persyaratan Umum (1) Pengurus wajib melakukan identifikasi dan evaluasi terhadap tempat

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) PhET-3S dapat berperan dalam pembelajaran remedial terhadap peningkatan penguasaan konsep larutan elektrolit dan

layer ini menyediakan data trasnport yang bisa diandalkan dan efektif biayanya dari komputer sumber ke komputer tujuan, yang tidak tergantung pada jaringan. fisik

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji kembali dari peneliti terdahulu yaitu ingin mengetahui apakah benar terdapat pengaruh secara langsung antara kesadaran merek

4 Keluarga saya mendorong saya melakukan pemeriksaan kehamilan di bidan, Puskesmas atau tempat layanan kesehatan terdekat lainnya. 5 Keluarga saya mendorong saya melakukan

Tabungan ini diperuntukkan bagi pemilik dana yang tercatat sebagai anggota koppotren Annuqayah, di mana tabungan yang menggunakan akad wadi’ah yad al-dhamanah, yang

Sebagaimana diungkapan sebelumnya, Indonesia dan Malaysia memiliki karakteristik yang hampir sama dalam perkembangan lembaga keuangan syariah, maka pertanyaan dalam penelitian

Framework TOGAF ADM di TOGAF 9.1 dipergunakan untuk membangun, merancang dan mengelola arsitektur enterprise khususnya dalam memberikan gambaran dari model arsitektur