• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evolusi perairan Teluk Jakarta berdasarkan sedimen dan foraminifera

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evolusi perairan Teluk Jakarta berdasarkan sedimen dan foraminifera"

Copied!
253
0
0

Teks penuh

(1)

EVOLU

BERDASAR

IN

OLUSI PERAIRAN TELUK JAKARTA

SARKAN SEDIMEN DAN FORAMINI

ISNI NURRUHWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Evolusi Perairan Teluk Jakarta Berdasarkan Sedimen dan Foraminifera adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2012

(3)

Foraminifera. Under Direction of RICHARDUS KASWADJI, DIETRIECH G. BENGEN, and VIJAYA ISNANIAWARDHANI

Jakarta Bay is located in Special Region of Jakarta Province where the sediment samples in Jakarta Bay had been carried out using the Geomarine I. There are 25 collected samples location. The collected samples had been done in 1994 and had been storage in the cold storage in Cirebon. The sediment and microorganism observation and study has been carried out at Paleontology Laboratorium, Geological Technological Faculty of Padjadjaran University. Analitical of submarine core sample were included the description of sediment and indentification of benthic foraminifera. Analitical of Lost On Ignition (LOI) is a method to count organic material content and carbonate content in the sediment sample. The absolute dating for Holocen is based on radioactive (210Pb method) for sediment dating. Factorial Correspondence Analysis is for sediment group analysis and benthic foraminifera by using XLSTAT 2012 software. The result of sediment grain measurement analysis shows that sediment of Jakarta bay is consist of clay fraction (<0.004 mm) and shale (0.063-0.004 mm) based on grain measurement scale of Wenworth (1922). The result of Lost On Ignition analysis shows that carbonate and organic material content in the sediment change from time to time. Carbonate content in the sample is the opposite result with its organic material content. The dating from the core TJ-11 in the sediment layer 20-22 cm was more than 173 years. Core TJ-21 in the sediment layer 30-32 cm was more 115 years. Core TJ -89 sediment layer less than 30-32 cm, which was more than 136 years. The study on Recent Benthic Foraminifera from the Jakarta Bay consist 177 species included 84 genera. The grouping based on shell:

-Subordo Rotaliina was found 87 species included its 52 genera. -Subordo Miliolina was found 65 species included its 17 genera. -Subordo Textulariina was 25 species included its 15 genera.

The result on Factorial Correspondence Analysis that the genus of benthic foraminifera with layers of depth shows the distribution pattern which is different in each layer of sample depth. The change of composition foraminifera genus can be seen in each layers has different genus composition. From here, it can be noticed the environment evolution that has been characterised by Benthic Foraminifera.

(4)

Foraminifera. Dibimbing oleh RICHARDUS KASWADJI, DIETRIECH G. BENGEN dan VIJAYA ISNANIAWARDHANI.

Teluk Jakarta adalah sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di Propinsi DKI Jakarta dimana, bermuara 13 sungai yang membelah kota Jakarta. Teluk Jakarta yang luasnya sekitar 514 km2 merupakan wilayah perairan dangkal dengan kedalaman perairan sangat bervariasi, umumnya memiliki kedalaman 30 meter meskipun di beberapa lokasi hingga 70 meter seperti di utara Pulau Pari dan di utara Pulau Semak Daun. Kepulauan Seribu adalah gugusan kepulauan yang berada di Teluk Jakarta. Penggunaan foraminifera sebagai petunjuk lingkungan telah digunakan secara luas. Berdasarkan karakteristiknya foraminifera merupakan indikator potensial untuk memahami lingkungan perairan modern (resent) maupun purba (ancient). Salah satu karakteristik yang menonjol adalah struktur tubuhnya yang sederhana dan memiliki cangkang keras, sebarannya yang luas di perairan serta kemampuannya yang tinggi dalam merespon lingkungan hidupnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji secara vertikal dan horizontal perubahan ekologis yang terjadi di perairan Teluk Jakarta. Dengan demikian, penelitian perubahan lingkungan berdasarkan foraminifera pada urutan lapisan sedimen laut ini dapat memberikan masukan bagi upaya pelestarian lingkungan perairan khususnya di Teluk Jakarta.

Pengambilan contoh sedimen di perairan Teluk Jakarta dilakukan dengan menggunakan kapal Geomarine I, dan alat untuk pengambilan sedimen yaitu gravity core. Lokasi pengambilan contoh berjumlah 25 buah. Sampel core sedimen untuk penelitian ini pengambilannya telah dilakukan pada tahun 1994 dengan menggunakan kapal Geomarine I dan disimpan dalam cold storage di Cirebon yaitu tempat penyimpanan batuan sedimen bawah laut milik Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan. Bahan-bahan penelitian adalah urutan sedimen yang telah diambil dari perairan Teluk Jakarta. Core sedimen diambil dengan menggunakan spatula setebal 2 cm, setiap interval 10 cm, dari mulai permukaan sampai ke dasar core.

Pengamatan sedimen dan mikroorganisme dilakukan di Laboratorium Paleontologi Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran. Sampel sedimen dari dalam inti (core) dianalisis menggunakan mikroskop untuk meneliti mikroorganismenya. Analisis core sampel sedimen dasar laut meliputi deskripsi sedimen dan identifikasi foraminifera bentik. Analisis Lost On Ignition (LOI) merupakan suatu metode untuk menghitung kadar material organik dan karbonat dalam sampel sedimen. Penentuan umur absolut pada kala Holosen didasarkan pada prinsip peluruhan radioaktif (metode 210Pb) untuk menentukan umur sedimen. Analisis Faktorial Koresponden (Correspondence Analysis) analisis kelompok sedimen dan foraminifera bentik dengan menggunakan alat bantu perangkat lunak program XLSTAT 2012.

(5)

dijumpai adalah Echinodermata, Foraminifera, Gastropoda, Ostracoda dan Pelecypoda. Selain itu Corallia sering dijumpai, terutama pada stasiun yang dekat dengan pulau karang. Proses dinamika dan evolusi pantai banyak dipengaruhi oleh kondisi oseanografi seperti arus dan gelombang. Sedimentasi yang berasal dari darat, oleh arus didistribusikan ke sepanjang pantai.

Jenis sedimen dengan kelimpahan foraminifera bentik memiliki keterkaitan yang erat. Di dalam penelitian ini terlihat pada TJ-91, yang memiliki jumlah individu foraminifera tertinggi yaitu 29816 individu dengan jenis sedimen lanau, kemudian TJ-93 (16366 individu) dengan jenis sedimen lanau dan lempung serta TJ-49 (9562 individu) dengan jenis sedimen lempung dan lanau. Kelimpahan foraminifera pada stasiun TJ-91 didominasi oleh genus Operculina sebanyak 6840 individu dan Elphidium sebanyak 2240 individu. Pada stasiun TJ-93 didominasi oleh genus Operculina sebanyak 5684 individu dan genus Elphidium sebanyak 2170 individu. Stasiun TJ-49 didominasi oleh foraminifera genus Asterorotalia sebanyak 2383 individu serta genus Elphidium sebanyak 2548 individu.

Hasil analisis Lost On Ignition pada TJ-09, TJ-23 dan TJ-91 menunjukkan bahwa kadar karbonat dan material organik dalam sedimen berubah dari waktu ke waktu. Kadar karbonat dalam sampel berbanding terbalik dengan kadar material organiknya.

Umur sedimen pada core TJ-11 di lapisan sedimen 20-22 cm, yang berumur lebih dari 173 tahun. Core TJ-21 di lapisan sedimen 30-32 cm, yang berumur lebih dari 115 tahun. Sedangkan core TJ-89 di lapisan sedimen kurang dari 30-32 cm, yang berumur lebih dari 136 tahun.

Pengamatan foraminifera bentik Resen dari perairan Teluk Jakarta sebanyak 222 buah berasal dari 25 buah core. Hasil yang didapatkan terdiri dari 177 spesies termasuk ke dalam 84 genera. Pengelompokan berdasarkan dinding cangkang berdasarkan dinding cangkang dari penelitian ini adalah :

-Subordo Rotaliina ditemukan 87 spesies terrmasuk didalamnya 52 genera. -Subordo Miliolina ditemukan 65 spesies termasuk didalamnya 17 genera. -Subordo Textulariina ditemukan 25 spesies termasuk didalamnya 15 genera.

Hasil Analisis Faktorial Koresponden (AFK) sedimen dan genus foraminifera bentik dengan setiap lapisan kedalaman didapatkan pola distribusi yang berbeda-beda di setiap lapisan kedalaman pada setiap sampel yang diamati. Perubahan komposisi genus foraminifera terlihat perubahannya di masing-masing lapisan yang dicirikan dengan komposisi genus yang berbeda-beda. Disini terlihat evolusi perairan yang dicirikan oleh foraminifera bentik.

(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan nama sumber :

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

EVOLUSI PERAIRAN TELUK JAKARTA

BERDASARKAN SEDIMEN DAN FORAMINIFERA

ISNI NURRUHWATI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Edy Sunardi, M. Sc. Dr. Ir. Tri Prartono, M. Sc.

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Ayi Yustiati, M. Sc. Dr. Rina Zuraida.

(9)

Nama : Isni Nurruhwati

NIM : C561070051

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M. Sc. Ketua

Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA. Dr. Ir.Vijaya Isnaniawardhani, M.T. Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M. Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc. Agr.

(10)

xi

1.3. Tujuan Penelitian………...………. 5

1.4. Nilai Kebaruan (Novelty)…...………. 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ………...……… 9

2.1. Sejarah Pembentukan Teluk Jakarta…………...…... 9

2.2. Sedimen………...………. 12

2.3. Zona Wilayah Laut………...……… 14

2.4. Kala Holosen………...……… 15

2.5. Paleoekologi………...….. 16

2.6. Penentuan Umur Sedimen………...……. 16

2.7. Mikrofosil…………...……… 17

2.8. Foraminifera………...……… 18

2.8.1. Cangkang Foraminifera………...………….. 20

2.8.2. Klasifikasi Foraminifera………...……….. 22

2.8.3. Reproduksi ……...……… 22

2.8.4. Cara Hidup………...………. 23

2.8.5. Pengaruh Lingkungan Terhadap Komunitas Foraminifera (Mikroorganisme)…... 25

2.9. Penelitian Foraminifera di Perairan Teluk Jakarta…...… 29

III. METODE PENELITIAN ………...……… 33

3.1. Pengambilan Core Sedimen…...………. 33

3.1.1. Waktu dan Lokasi Penelitian....……...……… 33

3.1.2. Bahan dan Alat ………...……….. 33

3.2. Penelitian Sedimen ………...……….. 35

3.3. Analisis Lost On Ignition (LOI)……...……….. 37

3.4. Penentuan Umur Absolut …………...………. 39

3.5. Analisis Foraminifera………...……… 39

3.6. Pengumpulan Data………...……… 41

3.7. Analisis Data ………...……… 41

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………...……… 43

4.1. Sedimen Dasar Laut Perairan Teluk Jakarta…...………… 43

(11)

xii

4.1.2. Geologi Daerah Penelitian... 45

4.1.2.1. Stratigrafi…………...……… 46

4.1.2.2. Sumberdaya Mineral dan Energi... 47

4.1.3. Lingkungan Fisik Daratan Jakarta……...…….…. 48

4.1.4. Lingkungan Fisik Dasar Perairan Teluk Jakarta…….…...….. 49

4.1.5. Morfologi Pantai Teluk Jakarta……...….… 49

4.1.6. Keadaan Hidrografi………...….. 51

4.2. Jenis Sedimen dengan Kelimpahan Foraminifera Bentik Perairan Teluk Jakarta………...…….…… 52

4.3. Kualitas Air Perairan Teluk Jakarta………...…… 53

4.4. Lost On Ignition (LOI) ………...………… 57

4.5. Umur Sedimen dengan Kelimpahan Foraminifera... 65

4.6. Distribusi Jenis Sedimen Pada Setiap Lapisan Kedalaman Pada Seluruh Core Sedimen………...……… 70

4.7. Evolusi Sedimen ………...……... 77

4.8. Foraminifera…...………...…….. 80

4.8.1. Sebaran Subordo Rotaliina, Miliolina dan Textulariina Pada Stasiun Pengambilan Sampel Core Sedimen Dasar Laut ...…… 86

4.8.2. Kelimpahan Foraminifera Bentik Dengan Kedalaman Dasar Laut Perairan Teluk Jakarta... 87

4.8.3. Distribusi Subordo Foraminifera Bentik Setiap Lapisan Kedalaman Pada Seluruh Core Sedimen di Perairan Teluk Jakarta……...… 89

4.9. Evolusi Foraminifera………...…. 110

V. KESIMPULAN DAN SARAN…………...………....…. 113

5.1. Kesimpulan………..……...…………...…... 113

5.2.Saran………...…...… 113

DAFTAR PUSTAKA………...…………... 115

LAMPIRAN………...…....…… 123

(12)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Database Core Sedimen, Waktu Sampling dan Penyimpanan Golongan

Sampel. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan.

Lokasi Teluk Jakarta…………...…………... 34

2. Data Jumlah Sampel Pada Setiap Core Perairan Teluk Jakarta... 36

3. Klasifikasi Ukuran Butir Skala Wentworth (1922)…………... 37

4. Jenis Sedimen di Lokasi Pengambilan Contoh…………...…… 44

5. Kualitas Air Perairan Teluk Jakarta (Susana et al. 2008 dan 2009) ...… 54

6. Proporsi CaCO3, Proporsi Material Organik dan Jumlah Foraminifera Pada Core TJ-09 ………...….. 59

7. Proporsi CaCO3, Proporsi Material Organik dan Jumlah Foraminifera Pada Core TJ-23………...… 61

8. Proporsi CaCO3, Proporsi Material Organik dan Jumlah Foraminifera Pada Core TJ-91………...…………...…… 63

9. Estimasi Umur (Tahun) Berdasarkan 210 Pb Pada Core TJ-11…... 67

10. Lapisan Sedimen, Tahun dan Jumlah Foraminifera (individu/gram) Pada Core TJ-11………...…… 67

11. Estimasi Umur (Tahun) Berdasarkan 210 Pb Pada Core TJ-21... 68

12. Lapisan Sedimen, Tahun dan Jumlah Foraminifera (individu/gram) Pada Core TJ-21………... 69

13. Estimasi Umur (Tahun) Berdasarkan 210 Pb Pada Core TJ-89... 69

14. Lapisan Sedimen, Tahun dan Jumlah Foraminifera (individu/gram) Pada Core TJ-89………...… 69

15. Nama Genus dan Spesies yang Termasuk Subordo Rotaliina... 81

16. Nama Genus dan Spesies yang Termasuk Subordo Miliolina... 83

17. Nama Genus dan Spesies yang Termasuk Subordo Textulariina... 85

(13)
(14)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Diagram Alir Perumusan Masalah…...………...…...…….. 6

2. Bagian-bagian Lautan (tidak menurut skala), (Nybakken 1992) ...… 15

3. Siklus Hidup Foraminifera (Shrock dan Twenhofel 1953)………..…...… 23

4. Diamorphisme (Shrock dan Twenhofel 1953)………...…. 23

5. Distribusi Foraminifera Planktonik Pada Kolom Air (Bignot 1982)... 24

6. Lingkungan dan Kumpulan Foraminifera Bentonik (Brasier, 1980)... 25

7. Peta Letak Pengambilan Sampel Core Sedimen di Perairan Teluk Jakarta ………...………... 35

8. Diagram Alir Preparasi Foraminifera …………...…………... 41

9. Jenis Sedimen dengan Kelimpahan Foraminifera di Teluk

Jakarta………...………... 52

10. Grafik Nilai Korelasi antara Proporsi Karbonat dan Proporsi Material Organik Pada TJ-09………...………... 59

11. Grafik Nilai Korelasi antara Proporsi Karbonat danForaminifera Pada TJ-09………... 60

12. Grafik Lapisan Kedalaman dengan Jumlah Foraminifera Pada TJ-09………...………... 60

13. Grafik Nilai Korelasi antara Proporsi Karbonat dan Proporsi

Material Organik Pada TJ-23…………...……..……...…….. 62

14. Grafik Nilai Korelasi antara Proporsi Karbonat dan Foraminifera Pada TJ-23………...……...….. 62

15. Grafik Lapisan Kedalaman dengan Jumlah Foraminifera Pada TJ-23………...……....….. 63

16. Grafik Nilai Korelasi antara Proporsi Karbonat dan Proporsi

Material Organik Pada TJ-91………...…...…...….. 64

(15)

xvi

18. Grafik Lapisan Kedalaman dengan Jumlah Foraminifera Pada

TJ-91………...……...….. 65

19. Peta Sebaran Sedimen Permukaan Dasar Laut (0-2 cm) Perairan Teluk Jakarta) ………...……… 71

20. Penampang Barat-Timur 1. Sedimen Perairan Teluk Jakarta... 72

21. Penampang Barat-Timur 2. Sedimen Perairan Teluk Jakarta...… 73

22. Penampang Barat-Timur 3. Sedimen Perairan Teluk Jakarta...… 73

23. Penampang Barat-Timur 4. Sedimen Perairan Teluk Jakarta...… 74

24. Penampang Barat-Timur 5. Sedimen Perairan Teluk Jakarta...….… 74

25. Penampang Jenis Sedimen Teluk Jakarta dari Lapisan Bawah Sampai Lapisan Atas………...……...… 75

26. Jenis dan Ketebalan Sedimen Perairan Teluk Jakarta Dari Waktu ke Waktu………...………...….. 76

27. Persentase Subordo Rotaliina, Miliolina dan Textulariina di Setiap Stasiun Core Sedimen Perairan Teluk Jakarta... 86

28. Diagram Analisis Faktorial Koresponden Antara Subordo Foraminifera Bentik Lapisan Kedalaman 0-2 cm Pada Seluruh Sampel Sedimen Sumbu 1 dan 2 (F1 X F2)... 90

29. Sebaran Subordo Foraminifera Bentik Pada Lapisan 0-2 cm...…. 90

30. Diagram Analisis Faktorial Koresponden Antara Subordo Foraminifera Bentik Lapisan Kedalaman 10-12 cm Pada Seluruh Sampel Sedimen Sumbu 1 dan 2 (F1 X F2)... 92

31. Sebaran Subordo Foraminifera Bentik Pada Lapisan 10-12 cm...… 93

32. Diagram Analisis Faktorial Koresponden Antara Subordo Foraminifera Bentik Lapisan Kedalaman 20-22 cm Pada Seluruh Sampel Sedimen Sumbu 1 dan 2 (F1 X F2)... 94

33. Sebaran Subordo Foraminifera Bentik Pada Lapisan 20-22 cm...… 95

34. Diagram Analisis Faktorial Koresponden Antara Subordo Foraminifera Bentik Lapisan Kedalaman 30-32 cm Pada Seluruh Sampel Sedimen Sumbu 1 dan 2 (F1 X F2)... 96

(16)

xvii

36. Diagram Analisis Faktorial Koresponden Antara Subordo Foraminifera Bentik Lapisan Kedalaman 40-42 cm Pada Seluruh Sampel Sedimen Sumbu 1 dan 2 (F1 X F2)... 98

37. Sebaran Subordo Foraminifera Bentik Pada Lapisan 40-42 cm...… 99

38. Diagram Analisis Faktorial Koresponden Antara Subordo Foraminifera Bentik Lapisan Kedalaman 50-52 cm Pada Seluruh Sampel Sedimen Sumbu 1 dan 2 (F1 X F2)... 100

39. Sebaran Subordo Foraminifera Bentik Pada Lapisan 50-52 cm...…. 101

40. Diagram Analisis Faktorial Koresponden Antara Subordo Foraminifera Bentik Lapisan Kedalaman 60-62 cm Pada Seluruh Sampel Sedimen Sumbu 1 dan 2 (F1 X F2)... 102

41. Sebaran Subordo Foraminifera Bentik Pada Lapisan 60-62 cm...… 103

42. Diagram Analisis Faktorial Koresponden Antara Subordo Foraminifera Bentik Lapisan Kedalaman 70-72 cm Pada Seluruh Sampel Sedimen Sumbu 1 dan 2 (F1 X F2)... 104

43. Sebaran Subordo Foraminifera Bentik Pada Lapisan 70-72 cm…... 105

44. Diagram Analisis Faktorial Koresponden Antara Subordo Foraminifera Bentik Lapisan Kedalaman 80-82 cm Pada Seluruh Sampel Sedimen Sumbu 1 dan 2 (F1 X F2)... 106

45. Sebaran Subordo Foraminifera Bentik Pada Lapisan 80-82 cm..…... 107

46. Diagram Analisis Faktorial Koresponden Antara Subordo Foraminifera Bentik Lapisan Paling Bawah Pada Seluruh Sampel Sedimen Sumbu 1 dan 2 (F1 X F2)... 108

47. Subordo Foraminifera Bentik Pada Lapisan Paling Bawah... 108

48. Penampang Sebaran Subordo Foraminifera Bentik dari Lapisan Bawah sampai Lapisan Atas di Perairan Teluk Jakarta…...… 109

(17)
(18)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Prosedur Pengambilan Sampel Sedimen Dasar Laut... 123

2. Skema Preparasi dan Pengukuran 210Pb dengan Spectrometer

Alpha………...…... 127

3. Jenis Sedimen, Ukuran Butir dan Persentase Mikrofosil Pada Setiap Lapisan Core Sedimen Teluk Jakarta…...…...…. 129

4. Stasiun Pengambilan Sampel, Jumlah Foraminifera dan Jenis Sedimen Di Perairan Teluk Jakarta…...………...…..…… 137

5. Litologi, dan Genus Foraminifera Bentik Pada Setiap Core Sampel

Sedimen Teluk Jakarta………...………...……. 139

6. Subordo Rotaliina, Miliolina dan Textulariina Pada Setiap Stasiun

Pengambilan Sampel Core Sedimen Dasar Laut... 183

7. Jumlah Kelimpahan dan Persentase Individu Foraminifera dari

Subordo Rotaliina, Subordo Miliolina dan Textulariina... 193

8. Foto-foto Spesies dan Genus Masing-masing Subordo Rotaliina,

Miliolina dan Textulariina...…………...………… 195

(19)

1. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Teluk Jakarta, merupakan perairan di Propinsi DKI Jakarta sekitar Laut Jawa tempat bermuaranya 13 sungai yang membelah kota Jakarta. Luas teluk yang mencapai sekitar 514 km2 merupakan wilayah perairan dangkal dengan kedalaman perairan sangat bervariasi, umumnya memiliki kedalaman 30 meter meskipun di beberapa lokasi hingga 70 meter seperti di utara Pulau Pari dan di utara Pulau Semak Daun. Di sekitar teluk terdapat gugusan kepulauan Seribu, yang terdiri dari rangkaian mata rantai 105 pulau yang membentang dari Teluk Jakarta hingga Pulau Sebira di arah Utara yang merupakan pulau terjauh dengan jarak + 150 km dari pantai Jakarta Utara. Kepulauan Seribu yang terletak pada 106o 40’ 45” BT hingga 109o 01’ 19” BT dan 06o 00’ 40” LS hingga 05o 54’ 40” LS (Setyawan et al. 2009), masih relatif muda secara geologi, karena inti utama batuan yang ditemukan baru terbentuk sekitar 12,000 tahun sebelum Masehi (Ongkosongo 1986). Hampir setiap pulau memiliki paparan karang yang luas hingga 20 kali lebih luas dari pulau yang bersangkutan.

Perairan Teluk Jakarta termasuk perairan di Indonesia yang padat dengan berbagai jenis kegiatan manusia, seperti lokasi rekreasi (Ancol), industri atau pabrik, tempat penangkapan ikan serta empat buah pelabuhan besar yaitu Pelabuhan Tanjung Priok, dua buah Pelabuhan Perikanan, dan juga Pelabuhan Kayu. Di samping itu, perairan Teluk Jakarta juga merupakan badan air yang menampung limbah dari industri-industri dan pembuangan sampah di Jakarta dan sekitarnya yang membuang limbahnya secara langsung maupun tidak langsung melalui sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta, termasuk didalamnya tiga Daerah Aliran Sungai (DAS) utama yang bermuara di Teluk Jakarta, yaitu DAS Ciliwung, Citarum, dan Cisadane (Rochyatun dan Rozak 2007).

(20)

perubahan komunitas mikroorganisme dan komposisi material sedimen. Penggunaan komunitas mikroorganisme atau mikrofosil dalam interpretasi suatu perubahan lingkungan telah dilakukan oleh beberapa ahli, misalnya :

- Stevens dan Patterson (1998) menggunakan komunitas foraminifera untuk mempelajari pengaruh sirkulasi air dan faktor lingkungan lain seperti kualitas air, kandungan oksigen dan lain-lain di perairan Teluk Saanich, Kanada;

- Alvarez-Zalian et al. (2000) menggunakan ostracoda sebagai indikator perubahan lingkungan yang diindikasikan oleh penurunan kelimpahan dan keragaman sejak tahun 1980 berkaitan dengan penutupan kanal di Teluk Oyster, New York;

- Soter et al. (2001) telah menggunakan mikrofosil (ostracoda dan foraminifera) untuk merekonstruksi perubahan lingkungan di Helike, kota di Yunani yang hilang dan tenggelam akibat gempa bumi pada 373SM; - Yasuhara dan Yamazaki (2005) menunjukkan pengaruh antropogenik

pencemaran terhadap kelimpahan mikrofauna bentik, termasuk ostracoda, yang diindikasikan oleh penurunan kelimpahan hingga 90% pada tahun 1910-1920 sampai 1960-1970 akibat pesatnya perkembangan industri di perairan sekitar Osaka, Jepang; dan

(21)

geologisnya yang panjang ini menunjukkan potensinya untuk digunakan dalam penelaahan evolusi (Rositasari dan Effendi 1994).

Foraminifera telah ada sejak zaman Kambrium, yaitu lebih dari 500 juta tahun yang lalu, digunakan untuk berbagai tujuan, termasuk paleoclimatology, paleoceanography, menemukan deposit minyak, dan penelitian mengenai proses evolusi. Penelitian terhadap ekologi foraminifera Resen merupakan kajian untuk penafsiran evolusi lingkungan akibat aktivitas manusia dan kejadian alam. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi I tahun 2008, Pusat Bahasa Departemen Nasional, Penerbit Balai Pustaka, arti kata evolusi yaitu perubahan (pertumbuhan, perkembangan) secara berangsur-angsur dan perlahan-lahan (sedikit demi sedikit).

Penggunaan foraminifera sebagai petunjuk lingkungan telah digunakan secara luas. Berdasarkan karakteristiknya foraminifera merupakan indikator potensial untuk memahami lingkungan perairan moderen maupun purba. Salah satu karakteristik yang menonjol adalah struktur tubuhnya yang sederhana dan memiliki cangkang keras, sebarannya yang luas di perairan serta kemampuannya yang tinggi dalam merespon lingkungan hidupnya (Rositasari 2006).

Penelitian foraminifera dan sedimen dasar lautnya diharapkan memberikan gambaran adanya evolusi lingkungan ekologis di perairan Teluk Jakarta, karena secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kehidupan mikroorganisme di sekitar perairan, baik yang masih hidup saat ini maupun yang telah terawetkan dalam sedimen di masa lalu.

1.2. Perumusan Masalah

Menurut Ongkosongo et al. (2009) pada abad ke 16 hampir seluruh pantai Teluk Jakarta ditutupi oleh ekosistem mangrove dan hanya di daerah Tanjung Priok ditempati oleh ekosistem terumbu karang. Namun kemudian pada tahun 1887 sebagian karang di Tanjung Priok digali dan diatasnya dibangun pelabuhan Tanjung Priok.

(22)

(batimetri), substrat/tipe sedimen dasar laut, suhu permukaan laut, salinitas, dan intensitas cahaya matahari.

Perubahan asosiasi foraminifera yang diamati pada suatu urutan vertikal sedimen dasar laut akan menggambarkan perubahan ekologi setempat serta kecepatan sedimentasi yang dipengaruhi oleh kondisi alamiah setempat. Beberapa tahun terakhir, penggunaan foraminifera dalam ekologi mengalami perkembangan yakni berhasil digunakan dalam memeriksa dampak antropogenik lingkungan laut (Praseno et al. 2000). Pengaruh proses alami dalam perubahan lingkungan fisik sangat jelas, khususnya dalam bentuk dinamika transport dan pengendapan sedimen, perubahan faktor-faktor pengubah, khususnya arus sungai, serta pasang surut, gelombang dan arus laut yang mengerosi daratan, sepanjang pantai dan dasar lautnya.

Di perairan laut dangkal, terutama pada ekosistem terumbu karang, foraminifera bentik merupakan salah satu kontributor penting dalam pembentukan hamparan terumbu karang setelah alga gampingan (Boersma 1978). Antara foraminifera bentik dan terumbu karang terjadi simbiosis mutualisme. Foraminifera merupakan organisme yang sangat melimpah di lingkungan terumbu karang, untuk memproduksi material biogenik sebagai bahan pembentuk kerangka karang (Tomascik et al. 1997). Foraminifera yang menempel pada alga dan fragmen koral di Pulau Pari, penciri utama lingkungan terumbu didominasi oleh Calcarina (Rositasari 1990). Selain terumbu karang, foraminifera juga mendiami

lingkungan payau, yang umumnya berhutan mangrove, sedimennya berbutir halus, banyak mengandung sisa-sisa tanaman, dan bersalinitas rendah. Renema (2003) meneliti kehidupan foraminifera di lingkungan terumbu karang di sekitar Sanur, Padang Bai, Tulamben dan Nusa Penida. Ditemukan 19 spesies foraminifera bentik yang hidup berasosiasi dengan alga, koral dan tanaman lamun dari Enhallus sp. dan Halophila sp.

(23)

sedimen dan mikroorganisme khususnya komunitas foraminifera Teluk Jakarta yang meliputi :

1. Perubahan kelimpahan foraminifera di perairan Teluk Jakarta. 2. Perubahan komunitas foraminifera di perairan Teluk Jakarta.

3. Perubahan foraminifera di lingkungan perairan Teluk Jakarta dilihat dari perubahan sedimen dan foraminifera.

4. Kelompok dominan foraminifera yang menjadi penciri utama perairan Teluk Jakarta.

Dengan demikian, penelitian evolusi perairan Teluk Jakarta berdasarkan foraminifera pada urutan lapisan sedimen laut ini dapat memberikan masukan bagi upaya pelestarian lingkungan perairan khususnya di Teluk Jakarta. Alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji perubahan spasio-temporal komunitas foraminifera pada sedimen Perairan Teluk Jakarta. Tujuan penelitian tersebut didapatkan melalui cara :

1. Studi karakteristik lingkungan berdasarkan jenis fisik sedimen.

2. Studi karakteristik lingkungan berdasarkan foraminifera ditinjau dari komposisi dan kelimpahan secara kuantitatif.

3. Mendeteksi adanya beberapa foraminifera yang berfungsi sebagai indikator lingkungan.

(24)

Material Sedimen

(Umur Absolut) Karakteristik

Lingkungan Miliolina,Textulariina

- Lingkungan

• Pengaruh Gelombang dan Arus

Gambar 1 : Diagram Alir Perumusan Masalah

(25)

1.4.Nilai Kebaruan (Novelty)

Keutamaan atau hasil penelitian yang merupakan keluaran baru dalam penelitian ini yaitu :

- Foraminifera menjadi penciri evolusi perairan Teluk Jakarta dari waktu ke waktu. Pada penelitian sebelumnya bahasan hanya terbatas pada foraminifera di lapisan 0-2 cm permukaan sedimen. Pada penelitian ini analisis dilakukan setiap 10 cm ke atas mulai dari kedalaman + 100 cm. - Perubahan asosiasi foraminifera lapisan sedimen dasar laut merupakan

(26)
(27)

2.1. Sejarah Pembentukan Teluk Jakarta

Dataran pesisir (coastal plain) adalah bentuk alam/bentuk lahan (landform) yang merupakan jenis bentang alam/bentang lahan (landscape) yang terbentuk di tepi atau di dekat pantai, dan pembentukannya berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan energi dari laut. Namun sumber utama sedimen pembentuk dataran ini pada umumnya dari daratan, khususnya yang dibawa dari sungai-sungai yang berdekatan (Ongkosongo et al. 2009). Dataran ini dianggap relatif datar karena hanya memiliki kemiringan lereng yang landai, sehingga disebut dengan dataran. Perbedaan elevasi maksimum antar satuan bentuk alam mikronya hanya beberapa meter saja. Bahkan dataran pesisir di sekeliling Teluk Jakarta yang terbentuk sekarang dapat dikatakan hanya memiliki kurang dari 3 meter.

Sekitar 6000 tahun yang lalu manakala muka air laut sekitar 4 meter di atas muka laut yang sekarang. Namun perubahan muka laut yang pernah terjadi lebih tinggi dari elevasi muka laut yang sekarang, elevasi dataran pesisir purba atau lama tersebut dapat lebih tinggi lagi sesuai dengan dinamika elevasi muka laut saat itu yang lebih tinggi beberapa meter dibandingkan dengan elevasi muka laut sekarang. Di dataran pesisir Jakarta ada yang mencapai mendekati 6 meter (Ongkosongo 1984).

(28)

sampai lumpur (lanau dan lempung). Pada pantai berlumpur sampai dengan pasir berlumpur secara alami ditumbuhi ekosistem mangrove (Ongkosongo et al. 2009). Sungai-sungai utama yang mengalir pada dataran ini merupakan sumber aliran sedimen utama yang telah mampu membentuk dataran pesisir tersebut. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sumber sedimen pembentuk dataran pesisir ini adalah dari arah darat, tepatnya dari pegunungan dan perbukitan pada Daerah Aliran Sungai (DAS, drainage area) yang berada di sebelah Selatannya. Aliran air secara turun temurun berasal dari air hujan yang tertampung pada Daerah Tangkapan Hujan (DTH, cacthment area) yang dibatasi oleh igir-igir pegunungan dan perbukitan serta oleh pemisah tangkapan air (water devide) pegunungan di tengah Jawa Barat, yang secara umum puncaknya berupa sistem gunung api purba atau yang masih aktif. Kemungkinan pada saat awal pembentukan, yakni sekitar 6600 tahun yang lalu, manakala muka air laut baru mencapai ketinggian elevasi sekarang, dataran pesisir baru mulai terbentuk. Pembentukan dimulai dengan gisik kantong purba yang kecil-kecil pada tepi kipas volkanik purba tersebut di tepi laut saat itu. Dataran pesisir ini kemudian tertutupi dan menyatu dengan dataran pesisir yang sekarang secara vertikal, mulai terbentuk sangat aktif sejak 6000 tahun lalu, manakala muka laut sekitar 4 meter di atas elevasi muka laut sekarang (Ongkosongo 1984).

Dataran pesisir merupakan bagian dari DAS dan DTH untuk masing-masing sistem sungai yang memberikan masukan massa air permukaan terutama lewat sistem persungaian dan muara-muara sungai yang ada, dimana namanya didasarkan pada nama sungai utamanya. Di dalam massa air tersebut terkandung sedimen yang berasal dari pelapukan batuan dan sedimen dari hulu, beserta aneka cemaran khususnya sampah-sampah dan material lain yang diangkutnya sejak berbagai macam kegiatan manusia mengkontribusinya. Di antara muara-muara sungai tersebut terdapat pula beberapa sungai kecil yang juga secara lokal mengalirkan massa air beserta sedimen yang dikandungnya ke laut (Ongkosongo et al. 2009).

(29)

merupakan penyumbang utama karena berhulu di pegunungan yang lebih tinggi, disamping DASnya juga lebih luas. Cikarang-Bekasi dewasa ini sangat menonjol mengangkut sedimen ke Tenggara Teluk Jakarta dan hasil utamanya berupa delta Cibeel yang sangat menjorok ke laut (Ongkosongo et al. 2009).

Pengaruh aneka kegiatan manusia sangat nyata terhadap bentang lahan dan bentuk lahan, serta terhadap aneka faktor dalam proses pembentukannya seperti aliran air permukaan dari sungai termasuk muatan sedimen yang dikandungnya, gelombang yang mengenai pantai, dan macam tanah atau sedimen di tepi pantai. Banyak pula bentang lahan dan bentuk lahan buatan manusia yang dibuat manusia misalnya gundukan dan danau. Jumlah penduduk di DKI (Daerah Khusus Ibukota) Jakarta saja dalam 38 tahun terakhir sejak 1971 sampai sekarang telah meningkat dua kalinya, dari 4,579 juta menjadi hampir 9 juta orang pada tahun 2009 (Ongkosongo et al. 2009).

Perubahan lingkungan fisik di pesisir dalam bentuk erosi pantai dan sedimentasi yang menumbuhkan garis pantai ke arah laut merupakan proses alam biasa. Namun pengubahan lingkungan fisik pada wilayah hulu akan berpengaruh pada pola dan kecepatan perubahan lingkungan fisik di bagian tengah (mid stream) dan bagian hilir (down stream) yaitu dataran pesisir. Sedimen di sekitar

daerah pantai juga banyak yang dieksploitasi. Akibatnya neraca sedimen di sepanjang pantai bahkan di muara-muara sungai menurun tajam. Penurunan kapasitas transport aliran sungai dan eksploitasi intensif pasir sungai menyebabkan terjadinya sedimentasi lumpur di daerah sebelum muara. Erosi pantai menjadi umum terjadi. Kecepatan erosi dipercepat dengan pembukaan hutan mangrove yang hanya menyisakan lapisan-lapisan tipis dan terputus-putus, ekosistem mangrove di sepanjang pantai, sungai atau dataran pesisir (Ongkosongo et al. 2009).

(30)

diendapkan ke arah darat membentuk endapan pantai tersebut dan menyebabkan secara umum perairan pantainya mendangkal, pantainya tumbuh dan terbentuk dataran pesisir. Banyaknya kandungan aneka macam cangkang biota laut pada sedimen pantai menunjukkan kontribusi sedimen dari laut yang nyata (Ongkosongo et al. 2009).

Di atas kipas volkanik ini terendapkan perselingan lapisan-lapisan dataran pesisir purba sampai sekarang, termasuk endapan-endapan laut dangkal, pantai, sungai dan kipas alluvial (Alluvial fan; Dwijanto et al. 1997; Rimbaman 1997; Soekardi dan Purbohadiwidjojo 1975). Kenampakan endapan dan sungai purba selain didasarkan dari penafsiran remah-remah (cutting) bor juga nampak pada penampang seismik (Budiono et al. 1997).

Sayap Timur Teluk Jakarta dari delta Citarum, pantai Jakarta dan sayap Barat Teluk Jakarta bertumbuh sejak 6000 tahun yang lalu dengan kecepatan tumbuh dataran pantai masing-masing 1 meter hingga 4.2 meter per tahun (rata-rata 2.7 meter/tahun), peristiwa yang menyebabkan terbentuknya Teluk Jakarta. Muara Sungai Citarum semula mengalir ke arah Timur dari posisi aliran sekarang, dan kemudian meninggalkannya dan sampai sekarang mengalir ke arah Barat dan Utara. Dataran delta (deltaic plain) yang terbentuk kemudian mengalami pengerjaan kembali (reworking) sehingga menjadi bentuk melengkung dan membentuk Tanjung Sedari. Perubahan pantai pada sayap Timur Teluk Jakarta yang terutama dibentuk oleh sistem kompleks delta Citarum antara tahun 1869-1874 dan tahun 1936-1940 (Verstappen 1953). Perubahan pantai itu sendiri sudah diperbarui oleh Ongkosongo (1984) dengan memperlihatkan perubahan garis pantai dalam bentuk akresi pantai yang menandai perubahan meluasnya dataran pesisir sayap Timur Teluk Jakarta tersebut selama 100 tahun antara tahun 1882-1982.

2.2. Sedimen

(31)

bentuk yang terpisah, atau tidak terkonsolidasi; seperti pasir, kerikil, lanau, lumpur, till, loess, alluvium. Bahan padat yang terbentuk dari suspensi di dalam suatu cairan - dalam bentuk satuan, istilah ini biasanya diterapkan pada material yang dibawa dalam suspensi. Secara majemuk/luas, istilah tersebut diterapkan pada segala macam deposit, dan mengarah khusus kepada material-material yang tidak terkonsolidasi (Bates dan Jackson 1987).

Deposit adalah material di bumi atau berbagai jenis baik itu terkonsolidasi atau tidak terkonsolidasi, yang terkumpul oleh beberapa proses atau agen alam. Istilah tersebut pada mulanya diterapkan pada material yang tertinggal dibawa air, akan tetapi telah diperluas termasuk bahan yang terakumulasi oleh angin, es, gunung api dan agen-agen pengubah lainnya (Bates dan Jackson 1987).

Sedimen dasar laut terdiri dari partikel sedimen yang sangat bervariasi, baik asal, komposisi, ukuran, bentuk ataupun proses yang membentuknya, memindahkan dan mengawetkannya. Rekaman partikel sedimenter hanya akan terbentuk bila terawetkan, jadi sedimen laut merupakan hasil dari material asal, yang terigenus, biogenik, vulkanogenik, hidrogenus atau kosmogenik yang terpindahkan dan terawetkan di dasar lautan. Sedimen di perairan dalam terbagi kedalam dua kelompok besar, yaitu sedimen biogenik yang mengandung lebih dari 30% cangkang berbagai organisme laut, dan sedimen non biogenik yang terdiri dari material silikaan dan oksida. Sedimen itu dapat dipisahkan berdasarkan sumbernya, yaitu material asal benua yang tertransportasi ke laut dalam, dan material yang berasal dari laut dalam sebagai hasil kegiatan gunung api bawah laut dan lain-lain (Dewi dan Darlan 2008). Komposisi sedimen dasar laut di paparan maupun lereng benua tersusun oleh :

1. Material biogenik yang berasal dari organisme.

2. Material authigenik sebagai hasil proses kimiawi laut seperti glaukonit, garam, fosfor dan lain-lain.

3. Material residual sebagai fragmen batuan.

4. Material relict sisa pengendapan dari lingkungan sebelumnya, misalnya terbentuk saat transgresi.

(32)

Material biogenik dapat ditemukan di antara partikel sedimen, mulai dari jumlah sangat jarang, kurang dari 5 spesimen sampai melimpah hingga menggeser kelimpahan partikel sedimen non biogenik. Cangkang organisme merupakan salah satu komponen pembentuk sedimen laut.

2.3. Zona Wilayah Laut

Secara horisontal, Nybakken (1992) menggambarkan bahwa laut itu meliputi laut pesisir (zona neritik) dan laut lepas (lautan atau zona oseanik) (Gambar 2). Pembagian zona dapat dibagi berdasarkan faktor-faktor fisik dan sebaran komunitas biotanya. Pembagian wilayah laut secara vertikal, meliputi :

- Zona Litoral: Zona ini merupakan daerah peralihan antara kondisi daratan dan lautan yang dihuni oleh berbagai organisme. Wilayah ini masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Ke arah laut, wilayah ini mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses di darat, seperti sedimentasi akibat penggundulan hutan, maupun proses alami seperti aliran air tawar dari sungai. Di Indonesia, zona ini umumnya dataran rendah dan tertutupi oleh hutan bakau. Selain hutan, pantainya dapat berupa pantai berbatu, pantai berpasir, pantai bertebing, pedataran pantai atau pantai koral.

- Zona Paparan: Zona ini mempunyai kisaran kedalaman saat surut terendah sampai kedalaman yang dapat ditembus oleh cahaya matahari. Zona ini ditempati berbagai organisme dan komunitas, seperti terumbu karang, padang lamun dan rumput laut. Wilayah paparan terbagi menjadi paparan bagian dalam (innershelf), paparan bagian tengah (middle shelf), dan paparan bagian luar (outer shelf). Indonesia mempunyai dua paparan luas, yaitu Paparan Sahul di sebelah barat Papua di sekitar Kepulauan Aru. Paparan Sunda yang meliputi Laut Jawa, Selat Malaka dan Selat Karimata dengan kedalaman rata-rata kurang dari 100 meter.

(33)

Cekungan Sawu yang terletak di antara Pulau-pulau Timor, Flores dan Sumba berbentuk segitiga mempunyai kedalaman maksimal 3470 meter. (Van Weering et al. 1989).

- Zona Abisal: Zona ini meliputi dataran abisal yang luas pada kedalaman antara 4000 meter-6000 meter. Di Selatan Nusa Tenggara terdapat Argo Abyssal Plain yang mempunyai kedalaman lebih dari 5000 meter.

- Zona Hadal: Merupakan zona dengan kedalaman lebih dari 6000 meter. Weber Deep merupakan perairan terdalam di Indonesia, kedalamannya

mencapai 7440 meter, terletak di sekitar Laut Banda.

Gambar 2. Bagian-bagian Lautan (tidak menurut skala), (Nybakken 1992).

2.4. Kala Holosen

(34)

Holosen adalah kala dalam skala waktu geologi yang berlangsung mulai sekitar 10,000 tahun radiokarbon, atau kurang lebih 11,430 ± 130 tahun kalender yang lalu (antara 9560 hingga 9300 SM). Holosen adalah kala keempat dan terakhir dari periode Neogen. Namanya berasal dari bahasa Yunani “holos” yang berarti keseluruhan dan “kai-ne” yang berarti baru atau terakhir. Kala ini kadang disebut juga sebagai "Kala Alluvium”.

2.5. Paleoekologi

Kehidupan mikroorganisme akuatik terdiri atas dua golongan, yaitu pelagik (mengambang) dan bentik (menempel di dasar laut). Jones (1956) menyatakan hubungan antar lingkungan sedimentasi dan jenis mikroorganisme yang menempatinya. Mikroorganisme sangat terpengaruh hidupnya oleh lingkungan tempat tinggalnya.

Paleoekologi yaitu ekologi yang ditafsirkan berdasarkan aneka fosil yang dijumpai. Mikrofosil yang terdapat dalam suatu sedimen, dapat menafsirkan kondisi tempat hidupnya, serta kapan dan bagaimana cara hidupnya.

2.6. Penentuan Umur Sedimen

Penentuan umur sedimen secara garis besar terdiri dari dua metode, yaitu : Metode yang pertama, penentuan umur absolut, umumnya dengan menghitung waktu paruh dan unsur-unsur radioaktif yang dikandung dalam batuan tersebut. Metode yang kedua, penentuan umur relatif adalah membandingkan umur batuan sedimen tersebut dengan umur batuan sedimen yang lain yang sudah diketahui atau mempunyai hubungan posisi stratigrafi yang jelas. Salah satu cara penentuan umur relatif ini adalah dengan meneliti kandungan mikrofosil atau fosil yang ada dalam sedimen tersebut. Mikrofosil yang ada di alam, seperti foraminifera, polen, nannoplankton, dinoflagellata, radiolaria, dan ostracoda dapat menjadi pilihan yang baik, mudah, dan relatif murah dibandingkan dengan penentuan umur secara absolut (Pringgoprawiro dan Kapid 2000).

(35)

Biozonasi foraminifera kecil bentik, selain digunakan untuk penentuan lingkungan purba, beberapa spesies foraminifera kecil bentik dapat pula digunakan untuk penentuan umur. Penggunaan data foraminifera bentik untuk penentuan umur hanya dilakukan jika tidak seluruh batuan sedimen mengandung foraminifera planktonik. Beberapa jenis batuan sedimen yang diendapkan di tepi pantai atau di daerah litoral, kandungan foraminifera bentiknya melimpah, dan hal ini memberikan petunjuk yang baik untuk memanfaatkan data yang tersedia.

Beberapa penelitian yang menggunakan foraminifera bentik untuk penentuan umur antara lain dilakukan oleh Adinegoro (1973) dalam Pringgoprawiro dan Kapid (2000) yang melakukan penelitian di Cekungan Jawa Barat Utara. Penentuan umur suatu formasi batuan dapat dilakukan pada contoh batuan yang berasal dari bagian bawah-tengah dan atas dari formasi tersebut. Pada penampang stratigrafi detil pengambilan sampel mikropaleontologi dapat dilakukan secara sistematik pada interval tertentu. Dari sampel yang demikian diharapkan berbagai perubahan paleoekologi dan waktunya dapat terdeteksi dengan lebih cermat.

2.7. Mikrofosil

Berbagai tumbuhan dan hewan berkontribusi dalam pembentukan sedimen. Berggren (1978) mengelompokkan sisa mikroorganisme yang terawetkan pada sedimen dasar laut berdasar bahan pembentuk cangkangnya, yaitu :

(a) Kelompok berdinding gampingan (calcareous microfossils) seperti foraminifera, ostracoda, pteropoda, calpionelida, alga gampingan dan nannoplankton;

(b) Kelompok berdinding silikaan (siliceous microfossils) seperti radiolaria, diatom laut, silicoflagelata;

(c) Kelompok berdinding organik (organic walled microfossils) seperti dinoflagelata, polen dan spora dalam lingkungan laut, kitinosoa; serta (d) Berdinding fosfat (phosphatic mikrofossils) seperti conodonta.

(36)

berasal dari sisa-sisa cangkang hewan dan bagian mikroskopis, seperti coccolithophorid dari tumbuhan mikroskopis; foraminifera dan ostracoda dari hewan mikroskopis. Selain itu pada sedimen dasar lautpun ditemukan moluska, pecahan koral, spikula dan lain-lain (Haq dan Boersma 1984).

2.8. Foraminifera

Foraminifera merupakan anggota Protista yang sangat melimpah di lingkungan perairan. Bentuk cangkangnya sangat bervariasi, mulai dari bentuk yang sederhana, bulat, lonjong panjang sampai berduri-duri. Foraminifera dapat hidup mulai dari perairan payau sampai laut dalam yang masing-masing lingkungan dihuni kumpulan spesies tertentu.

Aktivitas kehidupan dan sebaran foraminifera bentik dipengaruhi oleh faktor abiotik dari lingkungan tempat hidupnya, seperti salinitas, suhu, substrat, kedalaman, nutrisi, kandungan organik dalam sedimen, kekeruhan, gelombang dan arus, serta faktor-faktor ekologi lainnya. Kemampuan beradaptasi sangat mempengaruhi kehidupan foraminifera bentik untuk dapat berproduksi dan bertahan di habitatnya, mulai dari perairan dangkal sampai laut dangkal (Hickman et al. 1984).

Foraminifera bentik dapat pula dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan karakteristik kehidupannya pada pola penyebaran secara vertikal (Barmawidjaja 1992), yaitu :

1. Epifauna, kelompok foraminifera bentik yang hidup pada permukaan sedimen.

2. Predominantly infaunal, kelompok foraminifera bentik yang hidup pada permukaan sedimen sampai pada kedalaman 7 centimeter.

3. Potentially infaunal, kelompok foraminifera bentik yang hidup dalam struktur-struktur bioturbasi pada sedimen.

(37)

karang, untuk memproduksi material biogenik sebagai bahan pembentuk kerangka karang (Tomascik et al. 1997). Foraminifera merekat pada rumput laut, alga dan fragmen koral di Pulau Pari, Teluk Jakarta dengan penciri utama lingkungan terumbu didominasi oleh Calcarina (Rositasari 1990). Di paparan Spermonde, Sulawesi Selatan, foraminifera membentuk 40-80% sedimen dasar laut (Renema 2002).

Cangkang foraminifera merupakan partikel biogenik yang paling banyak ditemukan di antara partikel non-biogenik, seperti mineral, fragmen batuan dan lain-lain. Sebagai contoh Amphistegina spp. merupakan anggota dari foraminifera yang terdapat di pantai-pantai di Hawai sejak 1500 tahun yang lalu (Resig 2004).

Di Indonesia ditemukan anggota foraminifera Shlumbergerella floresiana menghiasi pantai sekitar Kesuma Sari (Barbin 1987 dalam Renema 2003). Adisaputra (1993) meneliti sebarannya di sekitar Pulau Bali sampai Pulau Lombok. Pesisir selatan Pulau Jawa didominasi oleh kumpulan Sphaerogypsina globulus yang memberikan warna putih kecoklatan di pantai rekreasi sekitar Prigi,

Trenggalek, Jawa Timur.

Boltovskoy dan Wright (1976) mengemukakan beberapa gambaran umum mengenai foraminifera dari zona-zona kedalaman yang berbeda, yaitu :

1. Zona intertidal: cangkang foraminifera umumnya pipih dan menempel pada substrat, contoh: Discorbis dan Cibicides. Cangkang terkadang berupa dinding yang tebal, contoh : Elphidium, Ammonia bercarii. Spesies lain mempunyai bentuk khusus seperti Buliminella.

2. Zona neritik dalam (0-30 meter): komposisi dan bentuk mirip dengan zona litoral, seperti Elphidium, Ammonia, Quinqueloculina dan bentuk Miliolid lainnya.

3. Zona neritik tengah (30-100 meter): lebih bervariasi dan muncul spesies aglutinan dengan morfologi yang sederhana, contoh Textularia, Trochammina dan Rheophax. Genus lain yang umum terdapat termasuk Ammonia, Elphidium, Quinqueloculina, Triloculina, Spiroloculina, Discorbis, Buliminella dan

Bucella.

(38)

dangkal, tetapi spesies calcareous hyalin meningkat diantara bentuk porcellaneous.

2.8.1. Cangkang Foraminifera

Foraminifera adalah organisme uniseluler yang memiliki cangkang yang melindungi. Cangkang tersebut dapat tersusun atas substansi organik berprotein, partikel asing yang tersemen pada cangkang, atau cangkang tersebut mengeluarkan zat organik kalsium karbonat. Pengamatan foraminifera adalah melihat bentuk cangkang dari mikrofosil tersebut. Cangkang tersebut biasanya terdiri atas sebuah atau lebih kamar, yang satu dengan lainnya dibatasi oleh sekat-sekat atau septa. Ciri-ciri dari cangkangnya, seperti komposisi dan morfologi digunakan untuk membedakan takson dalam sistem klasifikasi (Jones 1956). Beberapa jenis komposisi dinding cangkang dari foraminifera antara lain :

a. Khitin (Tektin), merupakan bentuk dinding yang paling primitif pada foraminifera. Dinding ini terbuat dari zat organik yang menyerupai zat tanduk, fleksibel, dan transparan, biasanya berwarna kuning, dan tidak berpori. Foraminifera yang memiliki bentuk dinding ini jarang ditemukan sebagai fosil (kecuali golongan Allogromidae).

b. Aglutinin (Arenaceous), merupakan dinding yang terbuat dari material-material asing yang direkatkan satu sama lainnya dengan semen. Berdasarkan kualitas, ukuran bentuk dari material yang dipergunakan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: dinding arenaceous (material asingnya hanya terdiri dari butir-butir pasir) dan dinding agglutinin (material asingnya terdiri dari bermacam-macam material seperti mika, spong-spikulae, cangkang foraminifera, lumpur, dan sebagainya). Biasanya dinding aglutinin (arenaceous) ini memiliki lapisan khitin dibagian dalam. Contoh :

1) Aglutinin: Saccamina sphaerica, Reophax sp., Ammobaculites agglutinans.

(39)

c. Silikaan (Siliceous), dinding tipe ini jarang ditemukan, material silikaan dapat dihasilkan oleh organisme itu sendiri atau dapat juga merupakan material sekunder dalam pembentukannya. Contoh: golongan Ammodiscidae, Hyperamminidae, Silicimidae, dan beberapa spesies dari golongan Miliolidae.

d. Gampingan (Calcareous) dikeluarkan oleh beberapa cangkang, seperti: 1) Microgranular (mungkin dengan rekristalisasi), kebanyakan

foraminifera yang hidup pada zaman Paleozoikum (terutama Awal Paleozoik) mempunyai dinding cangkang yang terdiri dari kristal-kristal kalsit yang granular tanpa ada material asing atau semen, seperti pada Endothyra, beberapa spesies Bradyina, Hyperammina, dan beberapa bentuk yang menyerupai Ammodiscus atau Spirilina.

2) Porselen (imperforate); terbuat dari zat gampingan, tidak berpori (imperforate), mempunyai kenampakan seperti porselen, dengan sinar langsung (episkopik) berwarna opak (buram) dan putih dengan sinar transmisi (diaskopik) berwarna amber. Contoh: golongan Miliolidae, seperti; Quinqueloculina, Triloculina, dan Pyrgo. Golongan Peneroplidae, seperti; Peneroplis, Sorite, Orbitolites, dan sebagainya. 3) Hyalin, hampir kebanyakan foraminifera memiliki dinding tipe ini.

Merupakan dinding gampingan yang bersifat bening dan transparan, berpori. Umumnya yang berpori halus dianggap lebih primitif dari yang berpori kasar. Golongan Nodosaridae, Globigerinidae, dan Polymorphinidae mempunyai diameter pori sekitar 5-9 µm, sedangkan beberapa jenis seperti Anomalina, Planulina, dan Cibicides besar lubang porinya lebih kurang 15 µm.

(40)

2.8.2. Klasifikasi Foraminifera

Klasifikasi foraminifera menurut Hickman et al. (1984) : Phylum : Protozoa

Kelas : Sarcodina Subkelas : Rhizopoda Ordo : Foraminifera

1. Subordo ALLOGROMIINA (2 Famili); (Berkamar satu, tabular, cangkangnya melingkar atau berbentuk botol, terbuat dari bahan organik (proteinaceous). 2. Subordo TEXTULARIINA (12 Famili); (cangkangnya terbuat dari butiran pasir yang menempel bersama, atau agglutinated).

3. Subordo FUSULININA; (kebanyakan rangkanya berbentuk gelendong, cangkang kalsit mikrogranular, sangat melimpah pada batuan Paleozoik Akhir). 4. Subordo MILIOLINA (6 Famili); (Cangkangnya licin, kalsit porselen, dengan tidak ada pori atau imperforate).

5. Subordo ROTALIINA (43 Famili); (berkamar banyak, cangkangnya spiral (foraminifera bentik) kamarnya bergelembung pengembangan dari spiral (foraminifera planktonik); Cangkang kalsit hyalin.

2.8.3. Reproduksi

Foraminifera memiliki siklus hidup (Gambar 3 dan 4) : • Seksual dan aseksual

(41)

Gambar 3. Sik

Siklus hidup dengan diamorphisme

Gambar 4. D

2.8.4. Cara Hidup Cara hidup for 1. Planktonik ( berena

Berdasarkan ukur a. Megalopla b. Makroplankt c. Mesoplankt

iklus Hidup Foraminifera (Shrock dan Twenhof

dup foraminifera yang memiliki dua bentuk it me.

bar 4. Diamorphisme (Shrock dan Twenhofel 1953

dup foraminifera ada dua (Shrock dan Twenhofel 1953 enang bebas)

n ukuran, plankton dibagi menjadi beberapa tipe oplankton : > 1 cm

oplankton : 5 mm-1 cm

ankton : 1 mm-5 mm

nhofel 1953)

uk itu biasa disebut

1953)

1953) yaitu :

(42)

d. Mikroplankton : 50µ-1 mm e. Nannoplankton : < 50µ

Ukuran foraminifera plankton < 1 mm, maka masuk ke dalam mikroplankton. Ciri-ciri umum foraminifera planktonik :

a. Hidup di perairan terbuka sampai kedalaman 4000 meter. b. Terutama hidup di lapisan photic, pada salinitas 20-50‰. c. Ukuran cangkang 50µ-400µ.

d. Hidup pada kolom air.

Gambar 5. Distribusi Foraminifera Planktonik Pada Kolom Air (Bignot 1982).

Trend dari foraminifera planktonik (Gambar 5.) : a. Berhubungan dengan garis lintang.

b. Zona batimetri.

c. Berhubungan dengan arus. d. Kontrol salinitas.

(43)

f. Evolusi phylogeny dan modifikasi dari adaptasi dalam skala waktu geologi.

2. Bentonik (pada atau diatas sedimen dasar laut) (Gambar 6.). Ciri-ciri umum foraminifera bentonik:

a. Hidup di dasar laut: vagil dan sesil. b. Kebanyakan berbentuk pipih. c. Jumlah aperture satu.

Setiap genus atau spesies dibedakan dengan memperhatikan: a. Morfologi.

b. Komposisi dinding cangkang. c. Aperture.

d. Sutura. e. Ornamentasi.

Gambar 6. Lingkungan dan Kumpulan Foraminifera Bentonik (Brasier 1980).

2.8.5. Pengaruh Lingkungan Terhadap Komunitas Foraminifera (Mikroorganisme)

(44)

- Suhu air, nilai rata-rata -2 sampai dengan 27oC untuk lautan dan 35oC untuk laut tertutup.

- Salinitas berkisar antara 33-39o/oo untuk laut terbuka. - Turbulensi atau gelombang air laut.

- Turbiditi dan kekeruhan air laut. - Kedalaman.

- Asal sedimen, ukuran butir, stabilitas dan kecepatan sedimentasi. - Aspek geologi tertentu, seperti volkanisme dan lain sebagainya.

Selain itu ada pula faktor biologis yang mempengaruhi kehidupan mikroorganisme yaitu :

- Jumlah makanan yang tersedia mempengaruhi jumlah total mikroorganisme yang hidup, kadangkala jenis yang lebih kuat akan memakan yang lebih lemah. - Dominasi jenis yang lebih kuat akan mempengaruhi perbandingan

mikroorganisme di suatu tempat. Sebagai contoh, pada suatu batuan sedimen hanya dapat dijumpai beberapa jenis mikrofosil saja dalam jumlah yang banyak.

Beberapa faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi kehidupan mikroorganisme (foraminifera) adalah:

1. Suhu air laut

Suhu air tempat mikrofauna hidup tentu berperan sangat penting, baik selama kehidupannya maupun pada prosesnya menjadi fosil. Penelitian Stone (1956) dalam Prinngoprawiro dan Kapid (2000) bahwa suhu berpengaruh pada jumlah (populasi) maupun pada besarnya cangkang mikrofauna.

Suhu air mempunyai kaitan yang erat dengan salinitas, kedalaman, maupun faktor sinar matahari yang jatuh pada perairan laut. Daya tembus sinar matahari terbatas pada kedalaman 10-300 meter (photik zone). Golongan planktonik membutuhkan sinar matahari untuk kelangsungan hidupnya. Mikrofauna yang berklorofil dan golongan plankton merupakan sumber makanan yang baik bagi mikrofauna lain.

(45)

- Kenaikan suhu mengakibatkan kamar-kamar pada cangkang Ammonia flevensis menjadi bertambah tinggi.

- Perkembangbiakan Ammonia beccarii tepida terjadi setelah terbentuk 13 kamar pada kondisi normal. Bila suhu dan salinitas terganggu (naik atau turun), maka pembentuk kamar akan terus terjadi tanpa mikrofauna itu berkembang biak. Jadi bila menjumpai Ammonia beccarii tepida yang bercangkang besar, dapat ditafsirkan lingkungan kehidupannya tidak normal.

-Perputaran cangkang Globoquadrina pachyderma didominasi oleh bentuk putaran yang sinistral pada suhu air laut yang dingin dan sebaliknya.

2. Kadar garam atau salinitas

Kebanyakan mikrofauna hidup pada laut dengan salinitas normal. Secara umum, pada keadaan normal, mikrofauna dapat berkembang dengan pesat. Tetapi, pada keadaan yang berbeda, akan segera mati atau terhambat perkembangannya. Walaupun demikian, beberapa spesies dapat mempertahankan hidupnya pada salinitas yang ekstrim. Berikut ini dikemukakan beberapa contoh foraminifera yang hidup pada salinitas tertentu :

- Air tawar : Allogromidae

- Air payau : Rotalia/Ammonia, Discorbis, Elphidium, Eponides, Ammobacculites, Trochammina, Quinqueloculina.

- Air laut : Globigerina, Globorotalia, dan kebanyakan foraminifera plankton lainnya.

- Salinitas ekstrim (40-41o/oo) : Globigerina bulloides, Globigerinoides sacculiferus, Hastigerina equilateralis, Orbulina universa.

3. Kedalaman

(46)

aglutin akan semakin banyak karena daya tahannya yang lebih kuat terhadap tekanan air.

Carbonate Compensation Depth (CCD) yaitu batas (kedalaman) yang membuat bahan karbonat melarut dengan sendirinya. Batas kedalaman ini sangat bervariasi, tergantung pada kondisi geografi, suhu dan salinitas lokal, serta waktu geologi. Secara umum garis CCD pada lautan sekarang (Resen) berkisar antara 3000 dan 4000 meter (Berger 1974). Para peneliti membuat klasifikasi kedalaman dasar laut berdasarkan bathymetrik-biofasies, yaitu pembagian dasar laut berdasarkan kedalaman dan asosiasi mikrofaunanya.

4. Kekeruhan air

Secara tidak langsung turbiditi akan berpengaruh pada kehidupan mikrofauna. Ditinjau dari penyebab terjadinya, turbiditi dapat disebabkan oleh:

- Suspensi sedimen. - Organik yang tebal.

- Pelengseran dari suatu massa sedimen.

Secara umum proses turbiditi menimbulkan kekeruhan air karena tercampurnya partikel batuan dengan massa air (fluida) yang bergerak. Turbidit yang tebal merupakan faktor yang tidak menguntungkan bagi beberapa golongan fauna, terutama pada bryozoa, koral, dan beberapa sessile bentik yang membutuhkan air jernih.

5. Pengaruh gelombang dan arus

Gelombang air laut yang ditimbulkan oleh proses alam mengakibatkan turbulensi pada air laut. Arus turbulen pada dasar lautan yang dangkal dapat menimbulkan kekeruhan. Gerakan dalam air laut ini juga dibutuhkan oleh mikrofauna yang hidup di dalamnya, yaitu untuk :

- Menjaga kestabilan salinitas, konsentrasi salinitas pada tempat tertentu akan tersebar merata karena pengaruh gelombang dan arus.

- Menjaga kestabilan suhu air laut.

(47)

- Melaksanakan penyebaran geografis; terutama untuk golongan planktonik, pengaruh gelombang dan arus laut bermanfaat untuk penyebaran.

- Melaksanakan penyebaran spesiesnya, baik yang masih hidup maupun cangkang yang kosong atau sudah mati, sehingga tersebar secara kosmopolitan.

2.9. Penelitian Foraminifera di Perairan Teluk Jakarta

Hasil-hasil penelitian mengenai foraminifera yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti di perairan Teluk Jakarta yaitu:

1. Natsir (2010) yang melakukan penelitian foraminifera bentik sebagai indikator kondisi lingkungan di daerah terumbu karang Perairan Pulau Kotok Besar dan Pulau Nirwana, Kepulauan Seribu. Hasil yang didapat dari seluruh foraminifera bentik yang ditemukan di Pulau Kotok Besar, sebanyak 72.80% diantaranya merupakan foraminifera bentik yang berasosiasi dengan terumbu karang terutama dari marga Amphistegina, Calcarina dan Tynoporus. Pulau Nirwana lebih didominasi oleh foraminifera bentik kelompok oportunis seperti Ammonia, Elphidium, Quinqueloculina dan Spiroloculina. Kelompok foraminifera bentik oportunis di perairan sekitar Pulau Nirwana mencapai 71.16% dari seluruh foraminifera bentik yang ditemukan.

2. Susana et al. (2008 dan 2009) mengenai dinamika ekosistem perairan Kepulauan Seribu Bagian Selatan, hasil yang didapatkan:

- Sebaran dan peningkatan pencemaran menyebabkan jenis foraminifera tertentu lebih melimpah. Jumlah cangkang abnormal yang ditemukan di lokasi penelitian sebagian besar berasal dari jenis Ammonia beccarii. - Pencemaran menyebabkan menurunnya keragaman jenis dan populasi.

Selanjutnya akan terdapat penurunan ukuran cangkang pada Ammonia dan Florilus.

(48)

- Foraminifera jenis Ammonia beccarii yang dapat dijadikan sebagai indikator biota pencemaran terkena dampaknya juga, secara umum menunjukkan gejala keabnormalan cangkangnya di lokasi tersebut.

3. Rositasari (1995) yang meneliti keterkaitan populasi foraminifera Resen dengan beberapa faktor lingkungan di Perairan Muara Sungai Dadap Tangerang menyatakan bahwa :

- Marga dominan yang ditemukan hidup di lokasi penelitian adalah Ammonia dari berbagai jenis, ditemukan juga beberapa spesimen dari

marga tersebut yang berbentuk abnormal.

- Jenis lain yang selalu ditemukan hidup pada setiap lokasi dengan kepadatan yang relatif rendah adalah Elphidium sp. dan Nonion sp. Sedangkan Trochammina, Miliolina, Bolivina dan Spiroloculina merupakan jenis hidup yang ditemukan dalam frekwensi dan kepadatan yang rendah.

4. Barmawidjaja et al. (1995) mengenai sebaran foraminifera bentik di Teluk Jakarta merupakan salah satu parameter untuk mengetahui kondisi lingkungan. Perbandingan antara sebaran foraminifera bentik (kehidupan dan populasi) dengan kondisi dari hydrografi (kedalaman) dan kondisi komposisi kimiawi dari massa air lautnya.

5. Rositasari dan Effendi (1994) menyatakan bahwa foraminifera aglutinin di sekitar perairan dalam kepadatan tinggi, dibandingkan dengan kandungan yang terdapat di Muara Sungai Ciawi, maka dapat ditafsirkan bahwa kelimpahan foraminifera aglutinin berhubungan dengan wilayah yang potensial tercemar.

6. Rositasari et al. (1994) mengenai ditemukannya beberapa jenis foraminifera yang berukuran relatif sangat halus dan terbatas pada jenis-jenis bercangkang aglutinin dengan penyebaran yang sangat terbatas pula.

(49)

8. Ongkosongo et al. (1980) menyatakan bahwa foraminifera yang terkandung dalam sedimen Teluk Jakarta terutama foraminifera bentik yaitu sebanyak 63 marga dan 93 jenis, sedang foraminifera planktonik hanya terdapat tiga marga yaitu Globigerina, Globigerinoides dan Globorotalia dan 5 jenis dengan jumlah yang sangat sedikit dan tidak merata.

9. Hamidjojo et al. (1980) mendapatkan foraminifera yang terdapat di Teluk Jakarta 63 marga dan 96 jenis foraminifera bentik, serta tiga marga dan lima jenis foraminifera planktonik. Bigenerina, Elphidium, Nummulites, Quinqueloculina dan Rotalia merupakan marga yang paling menonjol.

Quinqueloculina merupakan marga yang paling banyak jenisnya.

10.Siregar dan Hadiwisastra (1977) menyatakan bahwa Elphidium dan Nonion berbeda lingkungannya dengan Rotalia serta Quinqueloculina. Di sekitar daerah-daerah muara sungai jumlah yang didapatkan dari kedua marga ini kecil, menjauhi pantai persentasenya bertambah tinggi. Marga Elphidium sepertinya dipengaruhi oleh musim, sedangkan Nonion pola kehidupannya mempunyai keterbatasan di sekitar bagian dalam teluk.

(50)
(51)

3.1. Pengambilan Core Sedimen 3.1.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengambilan core sedimen pada penelitian ini diambil pada 25 titik (Tabel 1 dan Gambar 7). Pada tahun 1994 menggunakan gravity core dari kapal Geomarine I, core sedimen disimpan dalam cold storage di Cirebon yaitu tempat penyimpanan batuan sedimen bawah laut milik Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan.

Kapal Geomarine I yang berpangkalan di Cirebon menuju tempat lokasi pengambilan sampel sedimen dasar laut di lepas pantai Teluk Jakarta. Setelah kapal sampai di tempat, posisi lintang-bujur dicatat dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) secara real time dan data kedalaman diukur dengan

menggunakan alat echosounder. Pengambilan sampel sedimen dimulai dengan mempersiapkan alat gravity core. Kemudian menurunkan/menjatuhkan alat tersebut hingga masuk ke dalam dasar sedimen perairan laut secara tegak lurus. Setelah menembus dasar laut dan berisi sampel sedimen laut, alat gravity core diangkat kembali lalu dikeluarkan dari gravity core berupa pipa paralon yang telah berisi sampel sedimen dasar laut. Core sampel sedimen kemudian dibersihkan dari lumpur dan diukur berapa panjang sampel mulai dari atas hingga bawah dan diberi tanda agar tidak tertukar antara atas dan bawah, lalu sampel sedimen tersebut diberi label nomor sampel, tanggal pengambilan, lokasi stasiun dan kedalaman dengan menggunakan spidol waterproof (Lampiran 1).

3.1.2. Bahan dan Alat

Gambar

Gambar 4.  Dbar 4.  Diamorphisme (Shrock dan Twenhofel 1953 1953)
Tabel 1. Database Core Sedimen, Waktu Sampling dan Penyimpanan Golongan Sampel.               Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan
Gambar 7. Peta Letak Pengambilan Sampel Core Sedimen di Perairan                        Teluk  Jakarta
Tabel 2. Data Jumlah Sampel Pada Setiap Core Perairan Teluk Jakarta
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam bab ini penulis membahas tentang analis terhadap jual beli dengan sistem Online di Maritza Butik kabupaten Kediri, analisis hukum Islam terhadap jual beli dengan sistem

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang selalu memberikan nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir dengan judul Aplikasi

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 32 Tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti

Sehingga asumsi yang menyatakan perubahan iklim yang mewujudkan timbulnya virus-virus baru seperti covid-19 karena disebabkan oleh pemanasan global yang akhirnya

Balikpapan .Awalnya hanya coba2 karena gengsi, mungkin krn saya adalah seorang pegawai senior yg punya banyak bawahan.Tapi setelah itu saya baru sadar sebulan kemudian ketika

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis senyawa fitokimia dan aktivitas antioksidan pada ekstrak etanol daun ofo, biji buah mojoi, buah coro dan rimpang kuso mafola

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian beberapa sumber bahan organik dan masa inkubasi terhadap pH, C-organik, N-total, P-total dan K-dd pada tanah