• Tidak ada hasil yang ditemukan

Local economic system of wajo community (case study on weavers at Wajo Regency South Sulawesi Province)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Local economic system of wajo community (case study on weavers at Wajo Regency South Sulawesi Province)"

Copied!
308
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM EKONOMI LOKAL MASYARAKAT WAJO:

(Studi Kasus pada Penenun Di Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan)

MUHAMMAD SYUKUR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Sisten Ekonomi Lokal Masyarakat Wajo (Studi Pada Penenun di Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013

(4)

RINGKASAN

MUHAMMAD SYUKUR. Sisten Ekonomi Lokal Masyarakat Wajo (Studi Kasus Pada Penenun di Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan), dibawah bimbingan ARYA HADI DHARMAWAN, SATYAWAN SUNITO, DIDIN S DAMANHURI.

Kegiatan tenun pada masyarakat Bugis Wajo sudah berlangsung sejak abad ke-13. Kegiatan perdagangan dunia yang ditandai masuk sistem ekonomi kapitalis dan ekonomi pasar kedalam sistem ekonomi masyarakat mempengaruhi tatan kehidupan masyarakat penenun. Perubahan kehidupan penenun juga dipengaruhi perkembangan teknologi tenun dengan masuk Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) pada tahun 1950. Kondisi ini menyebabkan penenun terbelah menjadi tiga kelompok yaitu penenun gedogan, penenun ATBM, dan pengusaha tenun. Ketiga kelompok penenun tersebut, memiliki tindakan yang berbeda dalam kehidupan sosial-ekonomi. Gejala inilah yang mendasari penulis untuk mengkaji mengenai Sistem Ekonomi Lokal (SEL) yang dikembangkan oleh penenun di masyarakat Bugis-Wajo Provinsi Sulawesi Selatan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengakaji dan menganalisis tentang: (1) sistem ekonomi berbasis kearifan lokal dari penenun di Kabupaten Wajo (2) etika moral ekonomi yang membentuk sistem ekonomi lokal di bawah pengaruh ekonomi pasar (3) keterlekatan tindakan ekonomi penenun dalam jaringan sosial personal dan struktur sosial.

Pendekatan teoritis yang digunakan untuk memahami realitas dilapangan adalah teori keterlekatan (embeddeness) dan teori jaringan dari Granovetter (1985; 1973; 1992). Sedangkan peralatan metodologis untuk mengungkap dan menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan paradigma konstruktivis (Guba dan Lincoln, 2000). Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam dan observasi. Analisis data dilakukan melalui proses reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Miles dan Huberman, 1994). Pemeriksaan keabsahan data dilakukan melalui empat cara, yaitu: derajat kepercayaan (credibility); keteralihan (transferability); kebergantungan (dependability); kepastian (confirmability).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kearifan lokal dalam tradisi tenun bugis hadir dalam fungsi dan makna kain tenun sebagai busana, hadiah, simbol status, dan kain tenun sebagai benda upacara adat. Kearifan lokal juga ada dalam rangkaian kegiatan tenun seperti mitos tentang Walida sebagai senjata bagi kaum perempuan yang memiliki makna sebagai sistem perlindungan martabat

perempuan. Mitos tentang menganai (massau) yang bermakna sebagai

kedisiplinan dan kehati-hatian.

(5)

1. Penenun gedogan lebih mengedepankan nilai-nilai kultural dalam memproduksi kain tenun, namun disisi lain penenun gedogan ingin mendapat keuntungan ekonomis dari produksi kain tenun yang dihasilkan.

2. Pengumpulan kapital yang dilakukan oleh pengusaha tenun bukan

semata-mata diarahkan untuk berperan lebih besar dalam urusan dunia (pengembangan usaha), tetapi kapital yang dikumpulkan juga digunakan untuk membantu terhadap sesama dalam kegiatan sosial keagamaan.

3. Pengusaha tenun yang memiliki kekuatan ekonomi lebih kuat dibandingkan

dua tipe penenun lainnya, tidak serta mematikan dan mengekploitasi penenun yang lebih lemah melainkan pengusaha tenun bermitra dengan penenun ATBM dan penenun gedogan. Kemitraan ini melibatkan adanya rasa solidaritas (moral) disatu sisi, namun disisi lain kemitraan tersebut mendatangkan keuntungan ekonomis kepada masing-masing pihak.

4. Kehadiran patron (pengusaha dan penenun ATBM) memberikan jaminan

sosial dan pekerjaan serta upah kepada para klien (buruh) untuk bekerja sepanjang yang diinginkan klien, namun patron (pengusaha dan penenun ATBM) juga mendapatkan keuntungan ekonomi atas kerja (kain tenun yang dihasilkan oleh klien (buruh tenun).

Dibandingkan dengan sistem ekonomi yang ada diberbagai Negara, maka Sistem Ekonomi Lokal yang di miliki oleh masyarakat penenun Bugis-Wajo lebih mirip dengan sistem ekonomi yang ada Jepang Pelaku usaha dalam SEL masyarakat Wajo adalah swasta yang berbasis pada usaha keluarga. Gejala ini mirip dengan Jepang dimana pelaku usaha bertumpa pada perusahaan keluarga (Family base corporate). Pengusaha tenun (patron) memberikan jaminan sosial dan jaminan bekerja sesuai waktu dan kesempatan kepada buruh tenun (klien). Hubungan patron-klien ditandai dengan adanya loyalitas. Pelaku usaha bersaing di tingkat lokal, namun bekerjasama ketika mereka keluar dari komunitasnya. Sedangkan model ekonomi ala Jepang dimana loyalitas kepada negara diatas segala-galanya, kerjasama – persaingan, perusahaan berkompetisi di dalam negeri namun bekerjasama di luar negeri. Basis moral pelaku usaha tenun adalah tolong menolong (sibali perri dan sibali reso), persaingan, siri (rasa malu) dan pesse

(empati) yang melekat dalam hubungan patronase yang khas lokal, kejujuran

(lempu), pembentukan kapital tidak diarahkan untuk berperan lebih jauh dalam kegiatan ekonomi, tetapi juga dialokasikan untuk kegiatan sosial dan keagamaan. Menurut penenun sukses adalah “resopa natinulu, natemmangingngi, namalomo naletei pammese dewataE“ (hanya dengan dengan kerja keras, ketekunan yang pantang menyerah yang akan mendapat ridho Tuhan).

(6)

SUMMARY

MUHAMMAD SYUKUR. Local Economic System of Wajo Community (Case Study on Weavers at Wajo Regency South Sulawesi Province), Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN, SATYAWAN SUNITO, DIDIN S DAMANHURI.

Weaving activity in Bugis Wajo Community has been in the area since thirteen century. World trade activity, marked with the introduction of capitalism economic and market economic systems into the community economic system, has influenced weaving community’s life order. The change in the community’s life is also influenced by development on weaving technology with the introduction of improved handlooms (Alat Tenun Bukan Mesin/ATBM) in 1950. This condition has divided the weavers into three groups, gedogan (primitive looms) weaver, ATBM weaver, and weaving entrepreneur. These three groups have different action in social and economic lives. These symptoms are the basic for author to study the Local Economic System (sistem ekonomi lokal/SEL) developed by weavers in Bugis-Wajo Community South Sulawesi Province.

The research aims to examine and analyze: (1) local wisdom-based economic system of weavers in Wajo Regency (2) economic-moral ethic shaping the local economic system under the influence of market economic (3) economic action embeddednes of weavers in personal and social structure networks.

Theoretical approaches used to understand realities on field are embeddedness theory and network theory from Granovetter (1985; 1973; 1992). Qualitative approach is used as methodological tool to uncover and analyze data using constructivist paradigm (Guba and Lincoln, 2000). Data collection is conducted with in-depth interview and observation. Data analysis is conducted through processes of data reduction, data presentation and conclusion (Miles and Huberman, 1994). To find out about the validity of data, the study uses four ways, credibility, transferability, dependability and confirmability.

Research results show that local wisdom in Bugis weaving tradition is exist in the function and meaning of woven cloth as clothing, gift, status symbol and as part of goods for customary ceremonies. Local wisdom is also exist in the weaving activity itself such as a myth about Walida as a weapon for women having meaning as a protection system for women’s status. A myth on menganai (massau), which isan activity to stretch the yarn to make a warp threads for weaving, having a meaning of discipline and carefulness.

The research proposes a theoretical formulation on “mix rationality” action. Mix rationality action is an action presenting formal rational action along with moral rational action in one real action. However, this action is not paradox in nature, instead, it is unite and compromise action. Several concrete proofs are proposed to support the theoretical argument, as follow:

(7)

6. Capital collection conducted by weaving entrepreneurs is not merely toward world’s matter (business development), but the capital is also used to help others in social-religious activities.

7. Weaving entrepreneurs who have stronger economic power compare to two

other weaver groups do not shut down and exploit weaker weavers, instead, they build partnership with ATBM and gedogan weavers. The partnership involves solidarity (moral) and brings economic advantages to each party. 8. The presence of patron (entrepreneurs and ATMB weavers) gives social

guarantee, jobs and salary to clients (labors), in which they can work as long as they wanted to; however, patron also receives economic advantage from the work itself (woven clothes produced by client (weaving labors)).

Compare to economic systems in various countries, Local Economic System existed in Bugis-Wajo weaver community is similar to economic system in Japan. Business people in SEL of Wajo community are family-based private corporate. This symptom is similar to Japan, in which the business people depend on family base corporate. Weaver entrepreneurs (patron) give social and jobs guarantee based on time and opportunity to weaving labors (client). This patron-client relationship is marked with loyalty. The entrepreneurs compete in local level, but they work together outside their community. In Japan, on the contrary, loyalty to the country is above everything, cooperation – competition, companies are competing within the country but they work together outside the country. The moral bases of business people are helping each other (sibali perri dan sibali reso), competition, siri (embarrassment) and pesse (empathy) embedding in unique, local patronage relationship, honesty (lempu), capital formation is not directed to play more role in economic activity, but it is also allocated for social and religious activities. Success, according to weavers, is “resopa natinulu, natemmangingngi, namalomo naletei pammese dewatae“ (only with hard work, perseverance and not easily to give up, God will give His bless).

(8)

©Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(9)

SISTEM EKONOMI LOKAL MASYARAKAT WAJO:

(Studi Kasus pada Penenun Di Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan)

MUHAMMAD SYUKUR

Disertasi

sebagai salah syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:

1. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, M.A.

(Sekertaris Program Studi S2/S3 Sosiologi Pedesaan – Fakultas Ekologi Manusia – Institut Pertanian Bogor)

2. Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Sc.,Agr.

(Dosen pada Program Studi Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:

1. Prof. Dr. Robert MZ Lawang.

(Guru Besar Sosiologi pada Program Studi Sosiologi – Fakultas Ilmu Sosial dan Politik - Universitas Indonesia)

2. Dr. Ir. Lala M. Kalopaking, MS.

(Staf Pengajar Program Studi Sosiologi Pedesaan – Fakultas Ekologi Manusia – Institut Pertanian Bogor)

(11)

Judul : Pada Penenun di Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan)

Nama Mahasiswa : Muhammad Syukur

NIM : I363090081

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.,Agr.

Drs. Satyawan Sunito, Ph.D

Anggota Anggota

Prof.Dr.Ir. Didin S Damanhuri,MS,DEA.

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Mayor Sosiologi Pedesaan,

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.,Agr.

NIP. 19630914 199003 1 002 NIP. 19610905 198609 1 001

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.,Agr

(12)
(13)

PRAKATA

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan nikmat dan karunianya sehingga penulisan disertasi yang berjudul “Sistem Ekonomi Lokal Masyarakat Wajo (Studi Kasus Pada Penenun di Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan) dapat diselesaikan. Salam dan salawat senantiasa penulis curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membuka tabir keilmuan dan senantiasa membimbing manusia kejalan yang benar dan di ridhoi oleh Allah SWT.

Selama dalam penjalanan hidup saya dan proses penelitian sampai kepada penyusunan disertasi ini penulis banyak melibatkan berbagai pihak, baik yang memberi bantuan moril, materil serta berbagai kemudahan fasilitas bahkan doa yang ihklas dan tulus. Pada kesempatan yang berharga ini perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan pada beberapa pihak.

Rasa hormat dan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.,Agr; Drs. Satyawan Sunito, Ph.D; dan Prof. Dr. Ir. Didin S Damanhuri, MS, DEA. masing-masing selaku ketua komisi pembimbing dan anggota komisi pembimbing yang dengan tulus dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk membimbing dalam rangka memberi bobot akdemik pada disertasi ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Rilus A Kinseng, M.A. dan bapak Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Sc.,Agr atas kesediaan beliau meluangkan waktu untuk menjadi penguji Luar Kamisi dalam ujian tertutup.

Terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Robert MZ Lawang dan bapak Dr. Ir. Lala M. Kalopaking, MS atas kesediaan beliau meluangkan waktu untuk menjadi penguji Luar Kamisi dalam ujian terbuka.

Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis haturkan kepada segenap bapak/ibu dosen di program Studi S2/S3 Sosiologi Pedesaan-Institut Pertanian Bogor atas arahan dan bimbingan selama dalam perkuliahan sehingga memberikan pencerahan dan pemahaman dalam berbagai hal khususnya yang berkaitan dengan disiplin ilmu sosiologi pedesaan.

Spesial penghargaan penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta yaitu ibunda Haji Hajirah dan ayahanda Haji pide (Alm) yang telah memberikan didikan, kasih sayang, perhatian dan doa dalam setiap malam hening sholat tahajjud telah memberikan dorongan luar biasa untuk anak bungsumu yang tersayang ini. Penghargaan yang sama penulis sampaikan kepada kedua mertua penulis masing-masing ayahanda Arifuddin dan ibunda Dra Fatmawati yang dengan sabar dan ikhlas memberikan bantuan moril dan meteril sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.

(14)

Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada para informan yang dengan setia dan sabar melayani penulis sambil memberikan data-data yang berharga bagi penulisan disertasi ini. Terima kepada bapak Kurnia Syam, Ridwan Pamelleri, Dr. Hatta Akiel, H, Syarifuddin, SE, Haji Muhammad Baji, Haji Raja, A. Padjarungi, Hj. Nani, Salama, Muntasiah, Rahmatang, Dra. Hj. Firdahsyari, M.Si (Kepala Bidang Perindustrian Kabupaten Wajo), Dr. Iskandar, M.Si (Sekertaris Dewan Kabupaten Wajo), Dr. Kahfiati Kahdar M.Sn, dan Prof.Dr. Rabihatun Idris, M.Si.

Ucapan tulus dan hormat penulis sampaikan kepada kelima kakak penulis masing-masing ST. Halijah; Drs. Iskandar, S.H; Prof. Dr. Anwar, M.Pd; Dra. Husnaeni, dan Dr. Akhmad, SE., M.Si. yang selalu memahami dan memanjakan adiknya.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang paling istimewa penulis sampaikan kepada istri tercinta Dian Ekawati yang dengan setia mendampingi dengan penuh pengertian, kesabaran, dan tak henti-hentinya memberi dorongan dan doa restunya kepada penulis. Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada ketiga buah hati tercinta masing-masing Muh. Rafsanjani At-Tasyriq (8 tahun), Rifqah Anjali (2 tahun), dan Muhammad Raiyan (1 bulan) yang banyak kehilangan perhatian dan kasih sayang dari penulis karena kesibukan dalam menjalani studi.

(15)

DAFTAR ISI

ABSTRACT iii

RINGKASAN iv

HALAMAN PENGESAHAN vi

PRAKATA vii

DAFTAR ISI xiv

DAFTAR TABEL xvii

DAFTAR GAMBAR xviii

DAFTAR LAMPIRAN xix

GLOSARI xx

1. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian 1

Perumusan masalah Penelitian 5

Pertanyaan Penelitian 10

Tujuan Penelitian 10

Kegunaan Penelitian 10

Definisi Konsep 11

2. PENDEKATAN KONSEP TEORI State of The Art 13

Konsep Tindakan Ekonomi 18

Sistem Ekonomi Pasar dan Non-Pasar 20

Teori Embeddednes (Keterleketan) 24

Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis 28

Kerangka Pemikiran 32

3. METOLODOLOGI PENELITIAN Paradigma Penelitian 37

Lokasi dan Sasaran Penelitian 39

Teknik Pengumpulan Data 41

Teknik Analisis data 42

Catatan Tentang Metode Kerja 43

4. SEJARAH PERKEMBANGAN TENUN DI KABUPATEN WAJO Gamabaran Umum Kabupaten Wajo 47

Transformasi Penenun Bugis-Wajo dari Masa Kerajaan Sampai Saat Kekinian 50

Transformasi Corak Kain Tenun 58

(16)

Proses Sosialisasi Tenun Bugis 69

Simpulan 71

5. TENUN BUGIS SEBAGAI KEGIATAN EKONOMI YANG BERLANDASKAN PADA KEARIFAN LOKAL Pendahuluan 73

Fungsi dan Makna Kain Tenundalam Masyarakat Bugis 74

Pembentukan Etika Kerja Keras (Reso/Pajjama), Ketekunan (Tinulu) dan Kecermatan dalam Kegiatan Tenun 86

Mitos dan Larangan dalam Kegiatan Tenun 88

Dimensi Ekonomi dalam Tradisi Tenun 91

Simpulan 96

6. TINDAKAN EKONOMI PENENUN BUGIS-WAJO Pendahuluan 101

Basis Moral Tindakan Masyarakat Bugis 102

Tindakan Ekonomi Penenun Bugis-Wajo 104

Peta Tindakan Ekonomi pada 9 Kasus Penenun di Wajo 138

Analisis Tindakan Ekonomi Penenun dalam Bingkai Ekonomi Modern 143

Simpulan 156

7. JARINGAN SOSIAL EKONOMI PENENUN BUGIS-WAJO Pendahuluan 159

Bentuk-Bentuk Jaringan Sosial-Ekonomi di Masyarakat Penenun 160

Basis Jaringan Sosial-Ekonomi 196

Orientasi Jaringan Sosial-Ekonomi 208

Luas dan Sempitnya Jaringan Sosial Ekonomi 210

Manfaat Ekonomi dari Jaringan Sosial-Ekonomi yang Dibentuk 212

Simpulan 214

8. TEORITISASI PEMBENTUKAN SISTEM EKONOMI LOKAL (SEL) MASYARAKAT PENENUN Tipologi Sistem Ekonomi Lokal (SEL) Masyarakat Wajo 219

Tindakan Mix Rasioalitas 230

9. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan 237

(17)

DAFTAR PUSTAKA 239

(18)

DAFTAR TABEL

1 Review Beberapa Temuan Penelitian Terdahulu Terkait

Keterleketan Tindakan Ekonomi dan Penenun 17

2 Rincian Jumlah Responden/Informan 41

3 Data Pertenuan Gedogan Sutera di Kabupatan Wajo

Tahun 2012 (Perkecamatan) 66

4 Data Pertenuan ATBM Sutera di Kabupatan Wajo

Tahun 2012 (Perkecamatan) 67

5 Data Pertenuan ATBM Non-Sutera di Kabupatan Wajo

Tahun 2012 (Perkecamatan) 68

6 Warna Bajo Bodo dan Pemakainya 81

7 Data Pertenunan Kabupaten Wajo 2012 94

8 Perbandingan Tindakan Rasionalitas Formal dan

Tindakan Moral pada Ketiga Tipe Penenun 132

9 Peta Tindakan Ekonomi pada 9 Kasus Penenun di Wajo 140

10 Daftar Nama-Nama Pengusaha Tenun dan Jenis Usaha 147

11 Perkembangan Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga

di Kabupaten Wajo tahun 2012 150

12 Kesamaan dan Perbedaan Jaringan Penenun Dalam Kegiatan

Produksi 175

13 Perbedaan dan Persamaan Jaringan Penenun dalam

Kegiatan Distribusi 190

14 Rekapitulasi Jaringan Sosial-Ekonomi pada 9 Kasus

Penenun Bugis-Wajo 215

15 Perbandingan Antara Sistem Ekonomi Lokal (SEL) Penenun Bugis – Wajo Dengan Sistem Ekonomi di

(19)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran 36

2 Bagan Proses Produksi Kain Tenun 63

3 Alokasi Penggunaan Sumber Pendapatan Penenun Gedogan 151

4 Alokasi Penggunaan Sumber Pendapatan Penenun ATBM 153

5 Alokasi Penggunaan Sumber Pendapatan Pengusaha Tenun 155

6 Jalur Distribusi Penenun Gedogan 179

7 Jalur Distribusi Penenun ATBM 182

8 Jalur Distribusi Pengusaha Tenun 188

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta Lokasi Penelitian Kabupaten Wajo 248

2 Daftar Nama-Nama Raja Yang Pernah Berkuasa di Wajo 249

3 Foto-Foto Penelitian 251

(21)

GLOSSARY

Ade': salah unsur pangadereng yang mengatur pelaksanaan sistem norma dan aturan-aturan adat dalam hal kehidupan manusia Bugis

Ade’ akkalabineng: norma yang mengatur hal ikhwal dalam kehidupan berumah tangga.

Ade’ tana atau ade’ wanua: norma yang mengatur hal ikhwal dalam kehidupan bernegara

Aja' mugaukenngi padammu tau ri gau' tessitinajae: jangan engkau melakukan sesuatu yang tidak patut terhadap sesamamu manusia.

Apparisi: Pencucukan, yaitu memasukan benang helai demi helai kedalam lubang gun.

Bicara: norma yang mengatur semua aktivitas dan konsep-konsep yang berlaku sebagai aturan peradilan yang menentukan sesuatu hal yang adil atau benar,

dan sebaliknya curang atau salah. Bicara, mempersoalkan hak dan

kewajiban setiap orang di mata hukum

Cecceng ponna cannga tenngana sapu ripale cappa'na: Serakah awalnya, menang sendiri pertengahannya, kehilangan sama sekali akhirnya.

Ewangeng tennun (bahasa Bugis) ewangang tannung (Bahasa Makassar): Alat tenun gedogan.

Ganra: menguntai benang pakan dialas pelangkan/medanan.

Getteng: teguh pendirian

Lempu na ada tongeng: kejujuran atau perkataan yang benar

Mattulu parajo: persatuan atau solidaritas yang kuat diantara sesama manusia

Mali siparappe: jika seseorang hanyut, hendaklah ia ditolong ke pinggir. Makna dari konsep ini yaitu jika seseorang tertimpah musibah hendaklah ia di tolong agar orang tersebut bisa terbebas dari musibah atau meringankan beban orang dari musibah yang menimpanya

Massijing warang-parang temma sijing balu-balu: bersaudara dalam hal kepemilikan harta tetapi tidak dalam hal barang jualan.

Olo oloka otere’na nitaggala’, tau kananna nitaggala”: bagi binatang talinya yang dipegang, bagi manusia kata-katanya yang dipegang.

Pali: Membuat gulungan benang dengan menggunakan bobin untuk persiapan penghanian.

(22)

seluruh kegiatan bertingkah laku dan mengatur kehidupan meterial dan non-material. Sistem pangadereng ini berupa aturan-aturan yang diaggap sakral dan harus diperhatikan dalam segala aktivitas kehidupan sehari-hari.

Pesse: secara harfiah berarti pedis. Sedangkan makna pesse (Bugis) Pacce

(Makassar) dalam nilai utama kebudayaan Bugis berarti ungkapan perasaan yang paling dalam untuk membantu atau menolong terhadap sesama manusia. Orang Bugis senantiasa selalu bertenggang rasa terhadap sesama keluarga dan kerabat serta dengan masyarakat lainnya. Jika salah satu keluarga dianiaya oleh orang lain, maka pihak keluarga ataupun kerabat dari yang teraniaya tersebut memiliki rasa pesse untuk membalas kepada pihak penganiaya sebagai bentuk tenggang rasa dan untuk memulihkan siri’ dari keluarga.

Rapang: norma yang menempatkan kejadian atau ihwal masa lalu sebagai teladan yang patut diperhatikan atau diikuti bagi keperluan masa kini dan masa yang datang.

Rebba sipatokkong: jika seseorang rebah/roboh/miring, maka hendaklah ia di tegakkan kembali. Makna dari Konsep rebba sipatokkong kurang lebih sama dengan makna dari konsep mali siparappe.

Reso: Kerja

Resopa natemmangingngi: ketekunan dan kerja keras

Resopa natinulu, natemmangingngi, namalomo naletei pammese DewataE: hanya dengan kerja keras, ketekunan yang tidak kenal lelah yang akan di Rahmati oleh Allah SWT

Mabbebbe: Pengikatan benang penampakan diatas pelangkan/medanan untuk melindungi motif dari zat warna dasar.

Mangoa: Rakus

Mallilu sipakainge: saling mengingatkan ketika seseorang melakukan perbuatan yang menyimpang norma dan nilai dalam masyarakat.

Mappasikoa: kepatutan Mappasitinaja: kepantasan

Sara: Norma yang mengandung pranata-pranata dan hukum menurut syariat Islam. Aspek ini dimasukkan menjadi bagian pangadereng setelah Islam diterima sebagai agama resmi dan umum dalam masyarakat Bugis

Sau/massau: Penghanian/menghani yaitu menggulung bentangan benang dalam gulungan boom pertenuan baru kemudian ditenun

(23)

Sipakatau: Saling menghargai terhadap sesama manusia. Hak-hak dan kewajiban setiap manusia harus dihargai dan di hormati.

Sipakatuo: Saling memberi pengihidupan yang layak kepada setiap manusia.

Sipakalebbi: Saling menghargai atau menghormati terhadap sesama manusia

siri’: Secara harfiah diartikan sebagai malu. Sebagai kata sifat, siri; mengandung makna penyesalan diri terhadap perasaan harga diri, aib atau noda. Bagi orang Bugis, tidak ada yang lebih berharga dalam hidupnya selain menegakkan siri’.

To Wajo:orang Wajo

Warani: berani atau pemberani

Wari’: norma berupa petunjuk untuk melakukan klasifikasi dari segala benda, peristiwa dan aktivitas manusia dalam kehidupan masyarakat menurut kategorinya atau dengan norma yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan kewajaran atau kepantasan

Were’: Nasib baik.

(24)

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian

Setiap sistem ekonomi yang dianut oleh suatu masyarakat, maka ia senantiasa melibatkan tindakan yang berlandaskan pada nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat yang menjadi penganut sistem ekonomi tersebut. Berkaitan dengan tindakan masyarakat dalam kegiatan ekonomi, maka terdapat perbedaan pandangan para ahli dalam memahami tindakan masyarakat tersebut. Menurut prinsip ekonomi neoklasik, asumsi dasar yang memotivasi manusia dalam melakukan tindakan ekonomi adalah pencapaian manfaat (utility) yang maksimal. Persoalan untung rugi merupakan hal utama yang menjadi pertimbangan (cost – benefit ratio). Jika keuntungan ada di depan mata, maka seseorang akan meraihnya meski harus melanggar nilai dan norma atau agama sekalipun. Sebaliknya, jika kerugian akan di dapat, maka ia tidak melakukan tindakan tersebut. Tindakan ini disebut tindakan rasionalitas instrumental. Dalam mengejar tujuan tersebut, berbagai tindakan manusia dibangun dengan menggunakan sumber daya, organisasi, sarana, dan teknik yang tersedia. Maksimalisasi ekonomi (keuntungan) merupakan penciri cara berpikir neoklasik dalam melihat homo economicus. Kubu ini biasa pula disebut undersocialized. Sedangkan kubu lainnya yaitu oversocialized sebaliknya menyatakan bahwa tindakan ekonomi dituntun oleh aturan berupa nilai dan norma-norma yang diinternalisasikan melalui proses sosialisasi. Tindakan ini disebut tindakan rasionalitas substantif

Granovetter (1985; 1992) mengambil jalan tengah diantara dua kubu yang saling bertentangan tersebut dengan menyatakan bahwa tindakan ekonomi secara sosial berada dan tidak dapat dijelaskan dengan mengacu pada motif-motif individu dan nilai-nilai yang dianutnya. Sebagai bentuk tindakan sosial, tindakan ekonomi melekat di jaringan hubungan pribadi dan institusi sosial ketimbang yang dilakukan oleh aktor. Dengan kata lain, tindakan ekonomi disituasikan secara sosial dan melekat (embedded) dalam hubungan sosial dan struktural yang sedang berlangsung di kalangan para aktor (Granovetter, 1985; 1992; Biggart, 2002). Aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh individu, kelompok, dan komunitas adalah juga dirangsang oleh hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan sebagai suatu realitas yang berkembang dalam masyarakat. Dengan demikian, maka keberadaan institusi ekonomi, bukan hanya sekedar berfungsi mempertemukan penjual dengan pembeli yang secara rasional melakukan transaksi jual-beli atau pun pertukaran barang dan jasa, namun juga menjadi tempat berlangsungnya “transformasi nilai-nilai sosial” yang berimplikasi pada aspek kehidupan yang lain, seperti: ekonomi, politik, budaya, dan agama (Hefner, 1999).

Granovetter juga tidak setuju dengan konsep dikhotomi keterlekatan dan ketidakterlekatan (embbedded – disembedded) dari Polanyi. Menurut Polanyi (dalam Smelsel dan Swedberg, 1994; Polanyi, 2003; Trigilia, 2002; Biggart, 2002) bahwa tindakan ekonomi dalam masyarakat pra-industri melekat dalam institusi sosial, politik, dan agama. Kehidupan ekonomi diatur oleh resiprositas dan redistribusi. Sedangkan dalam masyarakat modern kegiatan ekonomi tidak melekat dalam masyarakat, tetapi diatur oleh mekanisme pasar dan terpisah

(25)

Granovetter (1985;1992) terhadap pandangan Polanyi tersebut terletak pada derajat keterlekatan sehingga ia mengemukakan bahwa tindakan ekonomi berlangsung di antara keterlekatan kuat (overembedded) dan keterlekatan lemah (underembedded) .

Menurut pendekatan ekonomi neo-klasik (Swedberg, 1994: 256-282), diyakini, tindakan ekonomi hanya dipengaruhi oleh pertimbangan rasional. Faktor atau pertimbangan non-rasional seperti politik, sosial, budaya atau norma-norma yang ada dalam masyarakat diabaikan atau dianggap sebagai sesuatu yang tidak rasional. Tindakan aktor dalam kegiatan ekonomi merupakan upaya untuk meningkatkan derajat kesejahteraannya. Setiap tindakan aktor dalam kegiatan ekonomi senantiasa terbentuk karena adanya kekuatan-kekuatan ekonomi dan non-ekonomi yang bekerja secara terus-menerus. Jadi, dengan demikian tindakan aktor tidak dapat hanya dijelaskan semata-mata oleh adanya dorongan/motivasi individual semata, akan tetapi tindakan ekonomi senantiasa dipengaruhi oleh faktor non-ekonomi seperti politik, budaya, agama, pendidikan dan sebagainya.

Kehadiran sistem ekonomi kapitalis ke dalam sistem sosial ekonomi masyarakat Indonesia terjadi di hampir semua sendi kehidupan, termasuk dalam kegiatan industri tenun. Palmer dan Castles (dalam

Kegiatan pertenunan rakyat di Sulawesi Selatan sebagai salah satu bagian dari kegiatan ekonomi yang ada pada masyarakat pedesaan juga terpengaruh oleh adanya sistem ekonomi global yang beroperasi disekitar usaha penenun. Kegiatan pertenunan lokal mengalami kemunduran drastis yang disebabkan produk tenun lokal tersaingi oleh tekstil impor. Kahdar (2009) mengemukakan bahwa pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, terdapat lebih dari 200 jenis kain diatur oleh Belanda dalam perdagangan kain di Indonesia. Sedangkan Sitorus (1999) mengumukakan bahwa pada abad ke-19 kegiatan pertenunan lokal menjadi korban persaingan tekstil impor yang antara lain berasal dari Inggris dan Belanda. Memasuki akhir abad ke-19, impor tekstil murah dari Twente (Belanda), kemudian menguasai pasaran tekstil di Jawa sehingga kegiatan pertenunan lokal semakin terdesak. Pada tahun 1920-an, tekstil murah dari Jepang mendominasi pasaran tekstil dalam negeri dan memukul pasaran tenun lokal dan tesktil impor dari Belanda. Kondisi tersebut memaksa pemerintahan kolonial untuk menerapkan sistem quota dan pembatasan impor.

Sitorus, 1999) mengemukakan bahwa, sejak tahun 1929 sampai awal 1930-an, depresi besar perekonomian dunia telah memukul sektor pertanian/perkebunan di Hindia Belanda sehingga tenaga kerja di sektor itu terpaksa harus diciutkan dan sebagai akibatnya tingkat pengangguran melonjak drastis. Dampak langsung kesulitan ekonomi tersebut adalah kemerosotan tingkat pendapatan sehingga penduduk mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya. Sebagai jalan keluar, maka pemerintah kolonial kemudian mendorong perkembangan industri tenun lokal skala kecil. Dorongan tersebut diwujudkan dalam bentuk peraturan yang menciptakan iklim kondusif bagi perkembangan industri tenun sekaligus disertai dengan penyebarluasan teknologi Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Menurut Sitorus (1999) tahun 1930 merupakan tonggak awal terjadinya ledakan industri tenun dan sekaligus revolusi teknologi tenun dari gedogan ke Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM).

(26)

kontinuitas. Kegiatan tenun rakyat di Sulawesi Selatan berakar dari kegiatan tenunan gedogan yang sudah dipraktekkan oleh masyarakat setempat sejak abad ke-13 atau hampir bersamaan adanya kerajaan-kerajaan Bugis dan Makassar (Chabot, 1996; Pelras, 2006). Aktivitas pertenunan mulai berkembang pada abad ke-15 pada saat Islam berjaya di Sulawesi Selatan. Kegiatan penenun senantiasa mengalami adaptasi terhadap kondisi waktu tertentu sehingga terjadi dinamika perubahan corak hasil tenun untuk menyesuaikan perkembangan zaman yang ada (Kahdar, 2009). Kegiatan pertenunan di Sulawesi Selatan awalnya dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri sebagai busana keseharian dan busana adat namun dalam perkembangan selanjutnya yaitu sekitar abad ke-14 dan abad ke-15 para penenun yang memproduksi kain sarung sudah mulai di komersialkan. Perdagangan kain tenun Bugis sempat mengalami kemunduran ketika di tanda-tanganinya penjanjian Bongaya pada tahun 1667 antara pemerintah Kolonial Belanda dengan Kerajaan Gowa – Makassar (Andaya, 2004: 385). Dalam perjanjian Bongaya diatur bahwa hanya kompeni Belanda yang bebas melakukan kegiatan perdagangan di Makassar. Suku bangsa lainnya seperti Portugis, Cina, India, Arab dan suku-suku lainnya yang sudah menjalin kegiatan perdagangan dengan orang Bugis-Makassar pada abad ke-13 dan abad ke-14 tidak diizinkan lagi berdagang di Makassar. Kegiatan pedagang-pedagang Bugis-Makassar juga dibatasi berdagang pada di wilayah-wialayah tertentu seperti Bali, Jawa, Kalimantan, Jambi, Palembang, dan Johor.

Kondisi sekarang menunjukkan bahwa hasil tenun Bugis disamping digunakan sebagai busana adat dan keseharian juga digunakan sebagai busana ibadah, perlengkapan kantor dan hotel, asesoris maupun sebagai busana keseharian. Oleh sebab itu, tradisi menenun tak lepas hingga kini dari kehidupan masyarakat di Sulawesi Selatan. Kegiatan itu umumnya ditekuni kaum perempuan hingga saat ini sebagai sumber mata pencaharian hidup. Menurut Idris (2009: 46) beberapa hal yang menyebabkan tenun dapat berkembang di daerah Bugis seperti: 1) Laki-laki Bugis gemar merantau ke berbagai daerah dan di perantauan mereka belajar teknik pewarnaan dan kombinasi warna, sehingga ketika mereka pulang, maka ia mengajarkan kepada istrinya keterampilan tersebut; 2) Sejak tenunan Bugis bertambah fungsi dari sekedar busana keseharian dan adat, menjadi barang yang dapat diperdagangan dengan nilai jual tinggi, maka waktu luang istri dipergunakan untuk menenun dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga; 3) Dampak dari tenunan menjadi barang yang dapat mendatangkan keuntungan secara ekonomis, maka memberi motivasi kepada penenun untuk terus menggeluti dan mengembangkan usaha tenunnya.

(27)

usaha tenun/pemilik modal. Produksi tenunpun semakin bervariasi, selain sarung dengan motif khas Bugis, juga diproduksi berbagai jenis kain seperti; kain sutera motif tekstur polos, selendang, bahan pakaian, perlengkapan adat, asesoris rumah tangga, hotel, kantor dan sebagainya atau dengan kata lain produksi penenun disesuaikan dengan permintaan pasar atau konsumen.

Kemunculan beberapa pengusaha tenun di Kabupaten Wajo tidak serta merta mematikan penenun gedogan dan penenun ATBM skala rumah tangga . Jumlah penenun yang menggunaan alat tenun gedogan (tradisional) di Kabupaten Wajo masih lebih banyak dibandingkan penenun ATBM. Penenun gedogan dan penenun ATBM skala usaha rumah tangga tersebut menggunakan tenaga kerja dari anggota keluarga sendiri dan bersifat otonom masih tetap bertahan sampai saat ini. Penenun gedogan dan penenun ATBM skala rumah tangga ini biasanya berproduksi atas dasar pesanan dari pembeli atau pedagang, tidak memiliki jam kerja yang teratur dan uang yang mereka terima dari hasil penjualan kain tenun biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Jenis produksi kain tenun yang dihasilkan oleh para penenun gedogan yaitu sarung Bugis yang sangat kental sebagai produk kultural, sedangkan produksi kain yang dihasilkan oleh penenun ATBM skala rumah tangga dan pengusaha tenun sudah lebih bervariasi.

Data statistik Kabupaten Wajo menunjukkan bahwa terdapat sekitar 4.982 orang penunun gedogan dengan jumlah produksi sekitar 99.640 sarung per tahun dan penenun yang menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) berjumlah 227 orang dengan produksi sekitar 1.589.000 meter kain pertahun. Khusus untuk pemintal benang sebanyak 91 orang, sedangkan 301 kepala keluarga bergerak dibidang penanaman murbei dan pemeliharaan ulat sutra dengan produksi 4.250 kilogram benang pertahun (Kabupaten Wajo dalam Angka, 2009).

Penetrasi sistem ekonomi global kedalam kegiatan pertenunan di Sulawesi Selatan merubah tatanam kehidupan sosial ekonomi dalam komunitas penenun. Gejala ini ditandai dengan adanya tenaga kerja upahan, penggunaan teknologi tekhnologi tenun yang sudah lebih maju, adanya manajemen produksi, pemanfaatan modal/uang dari lembaga keuangan formal, kehadiran beberapa pengusaha tenun, pedagang pengumpul, serta munculnya kelompok pedagang

perantara/pappalele. Fenomena ini sangat nampak ketika Alat Tenun Bukan

Mesin (ATBM) mulai digunakan pada tahun 1950-an.

(28)

menggunakan cara-cara produksi yang bersifat tradisional dan semi-tradisional menggunakan tenaga kerja keluarga dan berproduksi atas dasar pesanan dari konsumen dan pedagang.

Kehadiran tiga kelompok penenun tersebut yang hidup berdampingan dalam satu kawasan menjadi menarik untuk dikaji karena masing-masing dari kelompok penenun memiliki tindakan yang berbeda dalam kegiatan tenun. Persoalan ini dapat ditelusuri melalui analisis keterlekatan tindakan ekonomi penenun yang terkait dengan basis kecerdasan dan kearifan lokal yang dimilikinya, serta etika ekonomi moral yang membentuk sistem ekonomi penenun. Selanjutnya sistem ekonomi penenun akan ditelusuri melalui tindakan ekonomi penenun yang disituasikan secara sosial dan melekat (embedded) dalam jaringan sosial personal dan struktural yang sedang berlangsung di antara para aktor yang terlibat dalam kegiatan tenun.

Perumusan Masalah Penelitian

Berbagai kajian mengenai bagaimana tindakan ekonomi melekat dalam hubungan sosial dan struktural sosial yang sedang berlangsung di kalangan para aktor dapat ditelusuri melalui berbagai kajian yang pernah dilakukan oleh para ahli seperti Boeke (1982), tentang sistem ekonomi penduduk pribumi dan Barat (Belanda), Portes dan Sensenbrenner, (1993) mengenai tindakan ekonomi dalam kasus; pinjam-meminjam yang berlangsung dalam solidaritas jaringan (internal solidarity) para migran Dominika yang ada New York dan migran Kuba di Miami; Scott, (1972; 1981); tentang moral ekonomi petani dikawasan Asia Tenggara; dan konsep Geertz, (1989) tentang etika seka dikalangan masyarakat Tabanan di Bali.

Boeke (1982) mengemukakan teori dual ekonomi untuk menggambarkan perkembangan ekonomi tradisional/pribumi (pra-kapitalistik) dan sistem ekonomi yang berasal dari barat/kolonial Belanda (kapitalistik). Menurut Boeke, penduduk pribumi berada dalam kondisi statis dan sulit berkembang karena sifat dasar orang pribumi yang tidak ingin mengumpulkan keuntungan dan memupuk modal. Penduduk pribumi memiliki tindakan ekonomi yang melekat pada agama, etika, dan tradisi lainnya. Sedangkan ekonomi kapitalis yang diartikulasikan pada perkebunan Belanda di sisi lain memiliki sifat yang bertolak belakang dengan sistem ekonomi penduduk pribumi. Orientasi produksi untuk mendapatkan keuntungan dan akumulasi modal. Karena sifat berbeda ini maka keduanya berkembang menurut caranya masing-masing. Kehadiran ekonomi kapitalis di pedesaan tidak mendorong terjadinya akumulasi modal pada penduduk pribumi. Kedua sistem ekonomi tersebut terjebak pada dualisme hingga tidak pernah bisa bersatu dan bersifat abadi untuk waktu yang lama.

(29)

Sensenbrenner, 1993; Portes, 2010). Kegiatan pinjam-meminjam yang dalam lembaga keuangan informal yang didirikan oleh imigran Dominika dan Kuba di USA berlangsung atas dasar reputasi atau kepercayaan (trust) si penerima pinjaman, tanpa adanya jaminan surat-surat sebagaimana lazimnya pada lembaga keuangan formal yang ada di Amerika.

Berbeda halnya dengan strategi yang dijalan imigran Dominika dan Kuba, perilaku ekonomis petani di Asia Tenggara bersumber pada kenyataan bahwa perjuangan untuk memperoleh hasil yang minimun bagi subsistensinya, berlangsung dalam konteks kekurangan tanah, modal dan lapangan kerja diluar sektor pertanian (Scott, 1981). Merupakan hal yang wajar, bahwa petani yang setiap musim bergulat dengan lapar dan segala konsekuensinya, mempunyai pandangan yang agak berbeda tentang masalah mengambil resiko dibanding penanam modal yang bermain di tingkat atas. Menurut Scott, posisi kebanyakan petani di Asia Tenggara yang berjalan ditepi zona krisis subsistensi membuat kebanyakan petani kecil dan buruh tani menganut etika dahulukan selamat (safety first). Petani juga selalu mendapati dirinya tergantung pada belas kasihan alam yang banyak ulahnya. Kondisi petani yang rawan resiko-resiko yang tak dapat dielakkan karena teknik-tekniknya yang terbatas dan ulah cuaca yang tidak menentu sehingga petani cenderung menerapkan strategi meminimalkan resiko (Averse to Risk). Scott, menjelaskan bahwa preferensi petani terhadap ekonomi, sosial, dan politik yang cenderung menyukai pendapatan yang relatif rendah tapi pasti, ketimbang hasil yang lebih tinggi tetapi resikonya juga tinggi. Scott (1972) mengemukakan bahwa prinsip resiprositas mengatur tingkah laku-laku sehari-hari warga desa, dimana etika subsistensi memperoleh pengungkapannya.

Sementara itu, Geertz (1989) menunjukkan adanya dampak negatif dari keterlekatan individu dalam kehidupan kolektifnya, sebagaimana ditunjukkan dalam kasus seka di Bali. Kehidupan sosial di Bali didasarkan pada kelompok-kelompok yang disebut seka. Nilai kesetiaan seka, menempatkan kebutuhan kelompok di atas kepentingan pribadi. Meskipun kewirausahaan sangat dihargai dalam komunitas ini, pengusaha sukses menghadapi masalah klaim banyak orang pada keuntungan yang mereka dapatkan. Harapan bahwa keputusan ekonomi "akan mengarah ke tingkat yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan bagi masyarakat secara keseluruhan".

Sementara itu, Granovetter (1992) menyatakan bahwa aktor ekonomi bukan atom yang terlepas dari konteks masyarakat dan bukan pula sepenuhnya patuh pada aturan sosial yang ada. Tindakan ekonomi aktor melekat pada realitas relasi sosial antar individu maupun kelompok dalam struktur sosialnya. Granovetter menjelaskan lebih lanjut adanya keterlekatan (embeddednes) tindakan manusia pada jaringan, norma dan kepercayaan dalam struktur sosial untuk merevitalisasi logika studi-studi sosiologi ekonomi yang sebelumnya. Bagi Granovetter, ikatan interpersonal diyakini memainkan peranan penting dalam setiap tindakan aktor ekonomi.

(30)

Produksi tenunan Bugis memiliki kekhasan tersendiri dari segi warna, corak, dan bahan bakunya. Kekhasan corak, warna dan tekstur kain tenun Bugis merupakan salah penciri identitats etnis Bugis atas etnis yang lainnya.

Bertahannya budaya menenun sampai saat ini tidak terlepas dari kuatnya adat istiadat serta agama yang dianut sebagai falsafah hidup yang menjembatani kemajuan zaman. Penyesuaian warna, corak, dan bahan baku terlihat jelas pada tampilan hasil tenun secara visual. Baik yang dipergunakan untuk keseharian maupun untuk keperluan adat. Corak dan warna merupakan suatu bentuk yang menunjukkan identitas tertentu, seperti tampilan status kebangsawanan maupun umur dari si pemakai. Makin rumit corak, makin tinggi tingkat kebangsawanan. Makin gelap warnanya (mendekat kearah hitam), maka makin tua usia si pemakai. Identitas tersebut kemudian menunjukkan adanya makna simbolik tertentu dari kain tenun Bugis. Oleh sebab itu corak merupakan aspek yang paling mudah dikenali penyesuainnya pada proses adaptasi estetika yang terjadi pada kain tenun Bugis.

Kahdar (2009), membagi tiga babakan proses transformasi estetika kain tenun Bugis Wajo dalam rangka menyesuaikan perkembangan zaman yang ada, yaitu; Babak I, dikategorikan corak tidak bergambar (perkiraan tahun 1400-1600), pada kurun waktu ini masyarakat baru mengembangkan tenunan dengan corak berupa garis-garis vertikal/mattetong maupun horizontal/makkalu (berputar) bahkan masih banyak yang tidak bergambar/polos sama sekali. Bahan baku yang digunakan adalah serat katun dengan menggunakan alat tenun gedogan/walida.

Babak II, dikenal dengan corak kotak-kotak/palekat (1600-1900) masyarakat setempat sudah mulai mengenal tenun dengan lebih baik sehingga garis-garis horizontal dan vertikal dipadukan menjadi corak kotak-kotak, pada masa ini kain tenun Bugis sudah banyak mengalami perubahan yang cukup signifikan, baik pada corak maupun bahan baku. Corak berkembang dengan dikenalnya benang emas dan perak hasil perniagaan dan perlayaran yang dilakukan oleh masyarakat Bugis.

Babak III, yaitu babak corak bergambar (1900 - sampai saat ini), yang ditandai berkembangnya teknologi alat tenun dari alat tenun gedogan menjadi alat tenun bukan mesin. Hal ini membuat perkembangan corak semakin dinamis. Paduan antara keterampilan yang tinggi dan teknologi yang memadai maka corakpun mulai bergambar bunga dan binatang, sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan keterampilan penun saat itu. Hal ini membuktikan bahwa etnis Bugis sangat dinamis dan mempunyai peradaban yang mampu mengikuti perkembangan zaman yang ada. Bahkan paduan warna hasil struktur tenunan pun menambah nilai estetika tertentu pada tenun Bugis. Struktur tenun yang pada periode-periode sebelumnya hanya polos, di babak ini sudah mengenal struktur

subbik (tenunan yang menyerupai hasil sulaman). Babak-babak inilah yang menandai perubahan corak secara garis besar atas penyesuaian terhadap situasi dan perkembangan yang dihadapi oleh penenun.

(31)

dalam motif desain tenun daerah Palembang seperti bunga melati yang melambangkan kesucian dan sopan santun ataupun bunga tanjung sebagai lambang keramahtamahan. Sementara itu, di daerah lain, seperti dari Kalimantan, terdapat desain yang berkaitan erat dengan spiritualisme magis, misalnya motif burung elang dan aneka reptil. Motif ini melambangkan dunia atas dan dunia bawah dan dianggap suci karena orang Kalimantan terutama suku Dayak menganggap suara burung-burung tertentu yang didengar di hutan merupakan suara gaib yang memberikan pertanda tertentu dari Dewa. Sedangkan di pulau Bali, kain tenun dipengaruhi unsur kepercayaan agama Hindu lebih mendominasi. Hal ini dapat dilihat pada bentuk yang menyerupai relief pura serta seni ukir Bali ataupun motif wayang yang berasal dari legenda Hindu Bali.

Kain tenun Asia adalah salah satu bentuk seni yang paling kuat dan menarik. Unsur spiritual dan ritual pada kain tenun di Asia berperan dalam upacara adat dan agama (Maxwell, 2003; Yukimatsu, et.al., 1993). Tekstil telah memainkan peran penting dalam kehidupan praktis upacara adat dan agama dari rakyat Asia selama berabad-abad. Namun demikian, tidak dikenal bahwa tekstil yang berbeda mengungkapkan kebutuhan yang berbeda dan makna kain dipengaruhi oleh proses produksi dan latar belakang memproduksi. Penenun lokal dengan pengetahuan tentang adat dan tradisi masyarakat lokal menciptakan berbagai pola dalam proses berulang yang telah berkembang selama berabad-abad. Studi Yukimatsu (2008) menunjukkan bahwa kain tenun Matmii dari Thailand-Lao dan kain tenun Kasuri dari Jepang telah dikembangkan di bawah pengaruh waktu dan budaya setempat. Adat dan lingkungan setempat telah menciptakan perbedaan diantara keduanya. Perbedaan yang paling mencolok adalah ditemukan dalam pola atau desain. Selanjutnya Yukimatsu (2008) mengungkapkan bahwa kain tenun dari Thailan-Lao dan Jepang awalnya hanya berfungsi sebagai pakaian dalam perayaan agama dan adat. Fungsi ekonomis baru muncul belakangan yang menguntungkan masyarakat setempat dalam nilai tambah dari produksi tenun yang dihasilkan. Nilai tambah ini pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Kain tenun Bugis memiliki fungsi dan makna yang sangat berarti dalam kehidupan masyarakat Bugis. Penggunaan kain tenun pada masyarakat Bugis tidak hanya berfungsi sebagai penutup tubuh dikala panas dan dingin atau sebagai busana yang menempel di tubuh semata. Penggunaan kain tenun Bugis, sangat terkait dengan adanya peristiwa daur kehidupan (life cycle) seperti kelahiran, perkawinan dan kematian yang disakralkan dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat Bugis akan merasa sangat bangga dan terhormat mengenakan pakaian tenun Bugis dalam acara-acara kelahiran, perkawinan, dan kematian. Sebaliknya, masyarakat Bugis akan merasa malu jika tidak memakai pakaian tenun Bugis dalam kegiatan daur kehidupan (life cycle). Oleh sebab itu, setiap masyarakat Bugis senantiasa berupaya untuk memiliki kain tenun Bugis yang akan mereka gunakan dalam setiap acara daur kehidupan.

(32)

masyarakatnya terhadap peristiwa/upacara yang dijalaninya. Fungsi sosial dari kegiatan menenun lainnya adalah kepandaian menenun bagi wanita Bugis dianggap sangat mulia. Masalah ini disebabkan karena kegiatan menenun dianggap sebagai pekerjaan yang membutuhkan ketekunan dan kesabaran, sehingga wanita yang sanggup menjalaninya dianggap sebagai wanita yang baik karena dia memiliki sifat tekun dan sabar (Kahdar, 2009: Idris, 2009). Wanita yang sanggup menyelesaikan satu buah sarung tenun dianggap sudah layak untuk kawin. Terdapat keyakinan pada masyarakat Bugis di masa lalu bahwa wanita yang pandai menenun adalah sosok wanita yang ideal untuk dinikahi.

Kegiatan menenun juga terkait aspek ekonomi pembuatnya karena melalui kegiatan tenun ini masyarakat Bugis dapat membantu ekonomi keluarga, bahkan dengan adanya produksi tenun Bugis, maka masyarakat Bugis dapat menjadikannya sebagai media dalam menjalin hubungan dengan berbagai masyarakat lainnya melalui kegiatan perdagangan kain tenun Bugis.

Selain kain tenun, peralatan tenun juga memiliki makna dan fungsi tertentu berdasarkan kepercayaan masyarakat Bugis. Misalnya, lawida yaitu alat menenun benang pakan, berfungsi sebagai senjata bagi wanita Bugis. Menurut kepercayaan masyarakat Bugis, bahwa jika seseorang wanita sedang diganggu oleh seorang pria, lantas wanita tersebut memukulkan lawida tersebut kepada laki-laki yang mengganggunya, maka laki-laki tersebut tidak akan berumur panjang. Terdapat juga kepercayaan pada masyarakat Bugis bahwa alat menganai yang digunakan untuk menganai benang, pada saat digunakan tidak boleh jatuh atau miring (Sahriah, 1993). Sebab jika hal itu terjadi, maka pertanda akan terjadi musibah. Oleh sebab itu, pada saat menganai benang, seseorang tidak boleh meninggalkan tempat penganiaannya sampai proses penganaian selesai. Makna, fungsi, dan keyakinan seperti yang diuraikan di atas, sebagian sudah mulai bergeser pada masyarakat Bugis dewasa ini. Masyarakat Bugis dalam konteks sekarang sudah biasa dan tidak merasa malu menggunakan pakaian biasa (bukan tenun Bugis) ketika menghadiri acara daur kehidupan. Seiring dengan

digunakannya ATBM oleh sebagian penunun, maka makna dan fungsi lawida

sudah tidak dipakai lagi, kecuali oleh penenun gedogan. Lawida tidak lagi diyakini memiliki tuah oleh sebagian masyarakat sebagai senjata wanita yang bisa menyebabkan laki-laki cepat menemui ajalnya jika dipukulkan.

(33)

Perjalanan sejarah panjang tentang kegiatan tenun pada masyarakat Bugis juga menunjukkan bahwa tindakan ekonomi penenun senantiasa disituasikan secara sosial dan melekat (embbedded) dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung dikalangan para aktor. Oleh karena itu, melalui sistem ekonomi masyarakat penenun kita dapat menelusuri dan menggambarkan adanya kecerdasan dan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat pembuatnya dan juga ada basis etika moral dan lembaga yang membentuk sistem ekonomi penenun tersebut. Selanjutnya dapat pula diungkap adanya keterlekatan tindakan ekonomi penenun yang disituasikan secara sosial dan melekat (embbedded) dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung dikalangan para aktor. Oleh karena itu, pada konteks inilah penelitian ini akan difokuskan.

Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka pertanyaan pokok yang hendak dijawab dalam penelitian, dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk kearifan lokal yang membentuk kegiatan ekonomi

penenun di Kabupaten Wajo.

2. Bagaimana etika moral yang dianut oleh penenun dibawah adanya pengaruh

ekonomi pasar and non-pasar.

3. Bagaimana bentuk keterlekatan tindakan ekonomi penenun dalam jaringan

sosial personal dan struktur sosial.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Mengkaji dan menganalisis bentuk kearifan lokal yang membentuk kegiatan ekonomi penenun di Kabupaten Wajo.

2. Mengkaji dan menganalisis etika moral yang dianut oleh penenun dibawah

adanya pengaruh ekonomi pasar and non-pasar.

3. Mengkaji dan menganalisis bentuk keterlekatan tindakan ekonomi penenun

dalam jaringan sosial personal dan struktur sosial.

Kegunaan Penelitian

(34)

masing-masing aktor dalam kegiatan ekonomi dapat terwujud yang pada gilirannya akan menciptakan keadilan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di tingkat lokal.

Definisi Konsep

Berbagai konsep yang digunakan dalam penelitian ini perlu mendapat batasan agar tidak menimbulkan kesalahan pemahaman akan konsep tersebut. Adapun konsep-konsep yang perlu dibatasi pengertiannya dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sistem Ekonomi Lokal (SEL) masyarakat Wajo yang dimaksudkan dalam

penelitian ini adalah mencakup seluruh proses kegiatan masyarakat penenun dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memanfaatkan sistem sosio -kultural yang berkarakteristik khas lokal.

(35)
(36)

2. PENDEKATAN KONSEP DAN TEORI

State of The Art

Berbagai studi yang di review baik yang terkait tentang keterlekatan tindakan ekonomi maupun yang terkait eksistensi penenun. Berbagai studi yang terkait tentang keterlekatan tindakan ekonomi pernah dilakukan oleh Portes dan Sensenbrenner (1993; 2010), Mtika (2000), Kartono (2004), dan Zusmelia (2007).

Nasib ekonomi imigran sebagaimana digambarkan oleh Portes dan Sensenbrenner (1993), sangat tergantung pada struktur sosial di mana mereka berada, khususnya pada karakter masyarakat mereka sendiri. Kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan dan pinjaman dari lembaga keuangan formal disiasati oleh imigran Dominika dan Kuba di USA dengan masing-masing mendirikan lembaga keuangan informal. Pinjam-meminjam yang berlangsung dalam solidaritas jaringan migran dilaksanakan oleh lembaga perbankan informal atas dasar reputasi pribadi penerima pinjaman tanpa adanya jaminan surat-surat atau barang yang berarti. Pelanggaran terhadap kesepakatan pinjam-meminjam biasa dilakukan dengan cara mengucilkan si pelanggar dari komunitasnya. Kepercayaan (trust) dilekatkan pada diri seseorang mengandung kewajiban moral di dalamnya. Moral transaksi ekonomi yang dipandu oleh keharusan nilai yang dipelajari selama proses sosialisasi.

Studi Portes dan Sensenbrenner (1993; 2010) menunjukkan bahwa adanya keterlekatan tindakan ekonomi dalam kasus; pinjam-meminjam yang berlangsung dalam solidaritas jaringan (internal solidarity) para migran Dominika yang ada New York dan migran Kuba di Miami. Kasus di Amerika Latin menunjukkan bahwa pemilik toko-toko garmen dan tukang kulit di Andes Ekuador rela menggeser kesetiaan keagamaan (dari katolik ke protestan), demi untuk menghapus kewajiban sosial yang berhubungan dengan gereja Katolik dan organisasi-organisasi lokal. Alasannya, bahwa etika Protestan mendorong mereka untuk pencapaian kewirausahaan lebih besar atau mereka menemukan doktrin Injil lebih kompatibel dengan usaha mereka. Norma kolektif, dan solidaritas masyarakat sering membatasi ruang lingkup tindakan pribadi sebagai biaya akses terhadap sumber daya ekonomi.

Selanjutnya Portes dan Sensenbrenner (1993) menunjukkan kasus lainnya bahwa konflik yang dialami oleh remaja Haiti di Amerika terpecah antara harapan orang tua untuk sukses melalui pendidikan dan budaya pemuda dalam kota yang menyangkal hal seperti itu. Orang tua Haiti ingin anak-anak mereka untuk melestarikan budaya dan bahasa mereka ketika mereka beradaptasi dengan lingkungan Amerika. Namun, karena keterbatasan biaya anak-anak Haiti harus bersekolah di tempat yang mensosialisasikan nilai-nilai yang berbeda dengan harapan orang tuanya. Mereka sering diejek sama teman-teman karena aksen Haiti mereka, sehingga banyak diantara anak-anak Haiti tersebut melebur dengan nilai-nilai yang dibawah teman-teman Amerika-nya. Ketika hal ini terjadi, modal sosial berdasarkan jaringan komunitas imigranmenjadi hilang. Sejauh bahwa solidaritas masyarakat secara eksklusif didasarkan pada pandangan yang berlawanan dengan

(37)

seringkali dipaksa untuk mengadopsi pendapat mayoritas yang bertentangan dengan kelompok mereka sendiri.

Studi Mtika (2000) berjudul "Social and cultural relations in economic action: the embeddedness of food security in rural Malawi amidst the AIDS epidemic" menjelaskan bagaimana ketahanan pangan di antara rumah tangga pedesaan di Malawi dapat dicapai dan bagaimana masalah seperti AIDS dapat diatasi rumah tangga dengan membuat keputusan atomistik dalam penggunaan sumber daya mereka, barang, dan jasa. Mtika menemukan adanya keterlekatan (embeddedness) tindakan ekonomi rumah tangga pedesaan dalam mengamankan pasokan makanan mereka dan berurusan dengan penyakit dan kematian. Pandangan ini menunjukkan bahwa penggunaan hak-hak rumah tangga memberikan kontribusi untuk ketahanan pangan rumahtangga dalam melawan penyakit dan kematian, tetapi penggunaan tersebut dibentuk oleh sistem hak yang diwujudkan melalui keyakinan, aturan, harapan, dan kewajiban kolektif. Hubungan sosial dan budaya antara rumah tangga terikat dalam sistem hak yang memungkinkan rumah tangga untuk berbagi hak-hak mereka secara resiprositas dan redistribusi, sehingga berkontribusi untuk menjaga ketahanan pangan kolektif dalam rangka menghadapi penyebaran penyakit AIDS dan kematian di seluruh rumah tangga.

Mtika selanjutnya mengemukakan bahwa aktor-aktor sosial-ekonomi di pedesaan Malawi senantiasa terus-menerus terlibat dalam negosiasi satu sama lain, berbagi hak-hak mereka, dan dengan demikian secara kolektif mengamankan pasokan makanan mereka dan membagi beban satu lain beban. Ketahanan pangan kemudian akan terganggu ketika beban mencapai ambang batas sehingga bisa mengancam ikatan sosial dan budaya setiap rumah tangga dari berbagi hak. Ketika keadaan tersebut terjadi, maka potensi penyebaran AIDS merupakan ancaman dan kematian bagi setiap rumah tangga yang tidak mampu berbagi hak-hak mereka.

Berbeda dengan studi Portes dan Sensenbrenner dan Mtika, studi yang dilakukan Kartono (2004) mengenai tindakan “ekonomi perantauan” kaum imigran orang Bawean di Malaysia, menemukan suatu kenyataan bahwa ikatan kekeluargaan dan kekerabatan justru membentuk jaringan perantauan yang kuat bagi orang Bawean, sejak dari daerah asalnya hingga di kota tempat tujuan mereka di negeri Jiran tersebut. Karenanya, peranan para “pengawal” menjadi penting dan terlembagakan secara komersial di pulau Bawean. Kebanyakan perantau orang Bawean sebagai pencari kerja di Malaysia, lebih tertarik untuk menggunakan “jasa pengawal” ketimbang melalui jasa resmi dari pemerintah. Menurut Kartono, sifat kelekatan (embeddednes) ekonomi dengan konstruksi pengetahuan jaringan dan kebiasaan masyarakat yang sudah terlembaga menjadi strategi pengembangan ekonomi bagi masyarakat. Jaringan sosial, trust, dan penyesuaian- penyesuaian dengan perkembangan lingkungan sekitarnya (di dalam dan di luar negeri) merupakan aspek penting dalam memahami tindakan ekonomi masyarakat Bawean.

(38)

sangat dirugikan, tetapi tetap melakukan budidaya tanaman kayu manis karena terkait dengan strategi bertahan ekonomi rumahtangga pada saat sulit (livelihood strategies) dan konstruksi sosial atas tanaman kayu manis sebagai tanaman sosial budaya, seperti adat tambilang besi, tanaman prestise dan style masyarakat nagari dalam berinteraksi di pasar nagari terutama untuk pertukaran sosial, tanaman tabungan untuk membiayai kegiatan-kegiatan sosial budaya yang besar.

Zusmelia (2007) mengungkapkan bahwa jumlah pedagang perantara (aktor/kompetitor) yang semakin besar tidak menjamin harga dapat bersaing. Faktanya, yang paling menentukan harga adalah ada tidaknya jaringan kerja “jaringan sosial tertentu” diantara aktor yang terlibat. Jaringan kerja dalam melakukan transaksi ini dalam bentuk jaringan bisnis yang terbentuk dalam proses waktu yang sangat lama (klientisasi). Semakin kuat jalinan kerjasama atau jaringan sosial personal diantara pedagang kayu manis, semakin mudah pedagang menentukan harga yang diinginkan dan semakin membuat petani tidak berdaya dalam mendapatkan harga terbaik untuk komoditi terbaiknya. Adanya anggota kelompok perdagangan (clique members) dalam pasar kayu manis ditunjukkan oleh hubungan sosial personal yang intim antara pedagang pengumpul pasar nagari dengan pedagang besar kabupaten. Hal ini dapat dilihat dari dua cara: pertama, melalui sumber modal yang dimiliki oleh pedagang pengumpul pasar nagari. Kedua, melalui sumber informasi harga bagi pedagang pengumpul pasar nagari. Cara yang pertama sangat menentukan penetapan harga antara pedagang pengumpul pasar nagari dengan pedagang besar kabupaten, dan cara kedua lebih menentukan harga kayu manis antara pedagang pengumpul pasar nagari dengan petani kayu manis. Pada kedua mainstream yang ada, baik mainstream ekonomi maupun mainstream sosiologi ekonomi baru, kehadiran pasar nagari sebagai batas antara tindakan ekonomi moral dengan tindakan ekonomi rasional sangat diperlukan, agar mendatangkan keuntungan bagi semua pihak yang melakukan pertukaran. Ketahanan pasar nagari justru terletak pada kesempatan untuk mengembangkan terjadinya perilaku ekonomi moral dalam menghadapi perilaku ekonomi rasional yang dibawa dan diterapkan oleh pedagang besar kabupaten sebagai orang luar (outsider) yang melakukan intervensi terhadap sistem ekonomi masyarakat nagari.

Sementara itu studi yang pernah mengangkat mengenai tema penenun di Balige (Sumatera Utara) dilakukan oleh Sitorus (1999), tentang pembentukan golongan pengusaha kapitalis lokal di Balige, Nawawi dan Gustami (2002) dan Kahdar (2009) yang menyoroti adaptasi penenun dari perspektif seni di Sulawesi Selatan. Fitria (2011), menyoroti adanya kearifan lokal pada setiap corak kain tenun tradisional, Sedangkan Idris (2009) menyoroti aspek penenun tradisional Bugis dan Malaysia dari segi adanya hubungan antara bangsa. Studi Yukimatsu

et.al (2008) menunjukkan bahwa kain tenun Matmii dari Thailand-Lao dan kain tenun Kasuri dari Jepang telah dikembangkan di bawah pengaruh waktu dan budaya setempat

(39)

sosial-ekonomi tradisional yang terdapat dalam komunitas lokal masyarakat Batak (Balige).

Kemunculan golongan pengusaha kapitalis lokal merupakan resultan dari dua unsur pokok yaitu, pertama, terpenuhinya prakondisi kapitalis berupa pembentukan modal uang pada golongan elit ekonomi lokal dan pembentukan golongan buruh upahan dalam komunitas lokal, dan kedua, adanya rekayasa sosial dari Negara dalam bentuk bantuan teknis dan permodalan khususnya terhadap sejumlah elit sosial-ekonomi dalam komunitas tersebut. Golongan pengusaha kapitalis lokal adalah kelas menengah lokal yang berperan sebagai pelopor dan penggerak transformasi sosial dalam komunitas lokal yang bersangkutan, tetapi golongan tersebut bukanlah kelas menengah mandiri melainkan klien yang tergantung pada pemerintah yang berada pada posisi patron sosial.

Menurut Sitorus (1999), status kelangsungan sosial golongan pengusaha kapitalis lokal merupakan resultan dari faktor-faktor intensitas reproduksi kultur dan struktur agraris dalam perusahaan. Surutnya kelangsungan sosial pengusaha kapitalis lokal berpangkal pada tingginya intensitas reproduksi kultur dan struktur agraris dalam perusahaan, tingginya intensitas keterdesakan pengusaha dalam adu kekuatan antar pendukung ragam cara produksi dalam formasi sosial lokal/regional, rendahnya kemampuan survival pengusaha terhadap panetrasi kapitalis aras nasional/internasional yang bersifat kapitalistik dan rendahnya dukungan Negara sebagai implikasi dari kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang bersifat elitis.

Studi Nawawi dan Gustami (2002) menunjukkan bahwa pergeseran dan perubahan bentuk dan corak produksi tenun sutera dari sarung dan baju bodo ke bentuk lain seperti; baju, jaz blazer, dasi, kipas dan berbagai produk kerajinan lainnya merupakan strategi adaptasi penenun sutera di Sulawesi Selatan untuk tetap bertahan dari serbuan produk pabrik (kapitalis).

Sedangkan hasil studi Kahdar (2009) menunjukkan bahwa gaya pencorakan mengalami perkembangan pada unsur-unsur estetika dalam wujud fisik sarung (lipa). Terjadinya adaptasi berdasarkan pembabakan corak pada lippa Bugis mulai dari tak bergambar hingga bergambar menunjukkan bahwa corak lippa mengalami perubahan sesuai dengan kondisi yang terjadi, yakni, spiritualitas, tradisi, interaksi, dan teknologi. Konsep ke-Esaan pada falsafah hidup orang Bugis mengenai sulapa eppa (empat unsur kejadian manusia yaitu tanah, air, api dan udara) tercermin pada corak lipa yang tidak menampilkan gambar makhluk hidup, terutama binatang dan figur manusia. Oleh karena itu hingga kini corak kotak-kotak mendominasi hampir seluruh corak lippa yang ada.

(40)

karena orang Kalimantan terutama suku Dayak menganggap suara burung-burung tertentu yang didengar di hutan merupakan suara gaib yang memberikan pertanda tertentu dari Dewa. Sedangkan di pulau Bali, kain tenun dipengaruhi unsur kepercayaan agama Hindu lebih mendominasi. Hal ini dapat dilihat pada bentuk yang menyerupai relief pura serta seni ukir Bali ataupun motif wayang yang berasal dari legenda Hindu Bali.

Studi Yukimatsu et.al (2008) menunjukkan bahwa kain tenun Matmii dari Thailand-Lao dan kain tenun Kasuri dari Jepang telah dikembangkan di bawah pengaruh waktu dan budaya setempat. Adat dan lingkungan setempat telah menciptakan perbedaan diantara keduanya. Perbedaan yang paling mencolok adalah ditemukan dalam pola atau desain. Selanjutnya Yukimatsu (2008) mengungkapkan bahwa kain tenun dari Thailan-Lao dan Jepang awalnya hanya berfungsi sebagai pakaian dalam perayaan agama dan adat. Fungsi ekonomis baru muncul belakangan yang menguntungkan masyarakat setempat dalam nilai tambah dari produksi tenun yang dihasilkan. Nilai tambah ini pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Sementara studi Idris (2009) menunjukkan bahwa tenun Bugis adalah salah satu keterampilan lokal yang diturunkan secara turun-temurun dari nenek moyang etnis Bugis. Penularan tenun dilakukan disentra tenun di berbagai wilayah di Bugis dan di daerah rantau. Anak perempuan pada etnis Bugis di masa lalu diwajibkan belajar menenun agar bisa mengajarkan juga kepada generasi berikutnya. Penelusuran mengenai adanya paduan tenunan tradisional Bugis dan Malaysia ternyata tidak ditemukan karena Etnis Bugis sudah ada di Malaysia sejak 1728.

Hasil-hasil penelitian terdahulu yang telah dipaparkan dapat diringkas pada tabel 1.

Tabel 1. Review Beberapa Temuan Penelitian Terdahulu Terkait Keterlekatan Tindakan Ekonomi dan Penenun

No. Tema Nama Peneliti dan Tahun Penelitian

1. Keterlakatan Tindakan Ekonomi

Portes dan Sensenbrenner (1993), Mtika, (2000); Kartono (2004); dan Zusmelia (2007)

2. Penenun Sitorus (1999); Nawawi dan Gustami

(2002); Yukimatsu et.al.(2008); Kahdar (2009); dan Idris, dkk. (2009) Yukimatsu (2008); Fitria (2011)

Sumber: Data Sekunder (Diolah 2012).

(41)

kegiatan ekonomi lupuk menjadi perhatian peneliti tersebut, sehingga kajian yang akan penulis lakukan masih baru dan tidak mengulang tema penelitian-penelitian terdahulu.

Konsep Tindakan Ekonomi

Bagi Weber, sosiologi adalah suatu ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan memahami (interpretative understanding) tindakan sosial serta hubungan sosial untuk sampai kepada penjelasan kausal (Ritzer, 2002: 38, Johnson, 1986: 214). Berdasarkan definisi tersebut, terkandung dua konsep dasar di dalamnya yaitu konsep tindakan dan konsep pemahaman atas tindakan tersebut. Konsep kedua merupakan metode atau jalan untuk menerangkan dan memahami konsep yang pertama. Konsep kedua tersebut dalam istilah Weber disebut dengan

verstehen (pemahaman subyektif).

Menurut Weber, bahwa individu yang riil secara obyektif dan masyarakat hanyalah satu konsep yang menunjuk pada sekumpulan individu-individu. Konsep struktur sosial atau tipe-tipe fakta sosial lainnya yang lebih daripada individu dan perilakunya serta transaksinya dianggap sebagai abstraksi spekulatif tanpa suatu dasar apa pun dalam dunia empiris. Posisi Weber dalam memahami realitas sosial yang demikian itu sejalan posisi kaum nominalis. Data ilmiah bagi seorang sosiolog menurut Weber adalah data-data yang berhubungan dengan tindakan-tindakan individu. Posisi metodologisnya sangat jelas yaitu individualisme.

Istilah tindakan ekonomi dalam pandangan ekonomi maestream di

pahami sebagai seperangkat pilihan dan preferensi dalam melakukan tindakan ekonomi yang telah tersedia dan stabil. Tindakan yang dilakukan oleh aktor bertujuan untuk memaksimalkan pemanfaatan dan keuntungan. Weber (1964; 158-164; Swedberg, 1998; Boudon dan Cherkaoui, 2000, 303-308), telah menjelaskan bagaimana pandangan sosiologi tentang tindakan ekonomi. Bagi Weber, tindakan dikatakan menjadi “berorientasi secara ekonomi” (economically oriented), sepanjang tindakan itu sesuai dengan makna subjektifnya dan difokuskan pada pemenuhan suatu kebutuhan atau utility. Juga dikatakan bahwa tindakan ekonomi adalah tindakan yang oleh aktor dianggap aman bagi kontrol aktor atas sumberdaya, terutama yang berorientasi ekonomi. Aktivitas ekonomi yang berlangsung dalam suatu masyarakat sesungguhnya bukanlah semata-mata hasil kerja kelembagaan pasar, melainkan ia adalah hasil akhir dari sejumlah pemahaman individu-individu dalam merespon suatu keadaan atau aksi yang datang pada mereka

Gambar

Gambar 1.
Gambar. 2. Bagan Proses Produksi Benang Tenun
Tabel 4. Data Pertenunan ATBM Sutera di Kabupaten Wajo Tahun 2012
Tabel 5. Data Pertenunan ATBM Non Sutera Kabupaten Wajo
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul “ Perbandingan Analisis Diskriminan Fisher dan Naive Bayes untuk Klasifikasi

Hasil pelatihan dan pengujian dengan menggunakan JST tersebut di atas menguatkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi dan regresi

Pemisahan tali serat non perlakuan dan perlakuan serta penimbangan.. Pengujian tali serat:

merefleksikan apa yang terjadi di dalam dunia ekonomi (merefleksikan kepenNngan kelas yang berbeda)..

Simpulan penelitian ini yaitu kemampuan pemecahan masalah siswa yang menggunakan pembelajaran model PBL berbantuan multimedia telah mencapai ketuntasan klasikal,

[r]

derajat pada termometer Celcius dan

[r]