• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan zona pemanfaatan ekosistem mangrove melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau di Taman Nasional Kutai provinsi Kalimantan Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan zona pemanfaatan ekosistem mangrove melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau di Taman Nasional Kutai provinsi Kalimantan Timur"

Copied!
293
0
0

Teks penuh

(1)

D

SU

DI TAMAN

UMBERDA

N NASION

NIR

SE

INS

AYA KEPI

NAL KUTA

RMALAS

EKOLAH

STITUT P

ITING BA

AI PROVIN

SARI IDHA

H PASCAS

PERTANIA

BOGOR

2011

AKAU (

Scyl

NSI KALI

A WIJAY

SARJANA

AN BOGO

lla serrata

)

MANTAN

YA

A

OR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pengelolaan Zona Pemanfaatan Ekosistem Mangrove melalui Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2011

(3)

Scylla serrata Utilization in Kutai National Park on East Kalimantan Province. Under direction of FREDINAN YULIANDA, MENNOFATRIA BOER, and SRI JUWANA.

Mud crab is one of the resources in Kutai National Park (Kutai NP) mangrove ecosystem that can be utilized for the sylvofishery. This is an alternative livelihood for local residents, that doesn’t damage the forest to meet their necessity. The objectives of this study were: 1) to identify bioecological status of crabs resources in Kutai NP mangrove forest, 2) to review environmental carrying capacity for sylvofishery of S. serrata in Kutai NP’s mangrove ecosystem, and 3) make recommendations of mangrove crabs management to ensure the sustainability of its utilization and at the same time preserving the mangrove forest in the Kutai NP. The data was collected since Oktober 2008 to June 2010. The S. serrata’s bioecological status was analyzed by calculating the growth parameters and prediction of the exploitation rate of S. serrata using FISAT II instrumen. The carrying capacity of region was analyzed using Habitat Suitability Index (HSI) method, and the analysis of management sustainability was done using dinamic models. The results showed that there was a high interest from the public to cultivate mud crabs with sylvofishery system. But the catching of S. serrata, to meet of the mud crab seed, necessary to be regulated carefully. It was caused the factual exploitation rate of the Muara Sangatta and Teluk Perancis was exceeds the rate of allowed exploitation. The rate of exploitation was between 0.524-0.67/year. However, exploitation in Muara Sangkima is still slightly below the allowed exploitation. To reduce fishing pressure on S. serrata, sylvofishery cultivation needs to be done. The cultivation make the growth coefficient (K) of S. serrata to be higher, or the growth of crabs more faster than in wild live. HSI analysis showed the highest carriying capacity in the Muara Sangatta region was 0.622 and capable to supporting 490 of sylvofishery pen units. Based on the bioecological status of S. serrata and the carrying capacity of the region, it is known that the Muara Sangatta suitable for sylvofishery zone and Muara Sangkima according to fishing zone of S. serrata. Dynamic model analysis shows that the optimistic scenario provides a more optimal and sustainable resource in utilization of S. serrata.

(4)

Mangrove melalui Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur. Di bawah bimbingan FREDINAN YULIANDA, MENNOFATRIA BOER, dan SRI JUWANA.

Taman Nasional Kutai (TNK) memiliki ± 5 227 ha hutan mangrove di sepanjang pesisir pantainya. Hampir 23% luas hutan mangrove ini mengalami degradasi akibat konversi lahan dan pemanfaatan yang merusak. Untuk itu perlu dicari konsep pengelolaan yang dapat mempertahankan kelestarian ekosistem mangrove, namun juga mempertimbangkan keberlanjutan hidup masyarakat lokal.

Kepiting bakau merupakan salah satu sumberdaya yang terdapat dalam ekosistem mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya sylvofishery. Pemanfaatan ini merupakan matapencaharian alternatif bagi penduduk lokal dalam kawasan TNK agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa merusak hutan mangrove. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengidentifikasi status bioekologi sumberdaya S. serrata meliputi; sebaran ukuran, parameter pertumbuhan, pola distribusi spasial dan temporal, serta laju eksploitasinya di hutan mangrove TNK; 2) melakukan kajian daya dukung lingkungan bagi sumberdaya S. serrata di ekosistem mangrove TNK; 3) membuat rekomendasi pengelolaan sumberdaya S. serrata di kawasan konservasi mangrove TN Kutai.

Pengumpulan data biologi S. serrata diperoleh dari observasi terhadap kepiting bakau yang dilakukan selama 8 bulan (4 bulan di musim hujan dan 4 bulan di musim kemarau). Pengumpulan data seluruhnya dilakukan sejak Oktober 2008-Juni 2010, pada lokasi tiga stasiun pengamatan yang dipilih sesuai karakteristik habitat mangrove. Data biologi S. serrata dianalisis dengan metode analitik menggunakan alat bantu FISAT-II. Daya dukung kawasan dianalisis menggunakan pendekatan Habitat Suitability Index (HSI), dan keberlanjutan pengelolaan dianalisis dengan menggunakan model dinamik dengan alat bantu Powersim Studio 2005.

Hasil penelitian tentang kondisi ekobiologi S. serrata menunjukkan bahwa pola pertumbuhan S. serrata jantan di habitat mangrove TN Kutai bersifat allometrik positif (pertambahan bobot lebih cepat dibanding pertambahan lebar karapasnya) sedangkan S. serrata betina bersifat allometrik negatif. Koefisien pertumbuhan (K) S. serrata berkisar antara 0.45-1.50. Koefisien pertumbuhan S. serrata di Muara Sangatta lebih tinggi dibanding lokasi lainnya. Lebar karapas S. serrata di zona tengah hutan mangrove, yang diperoleh dari hasil tangkapan alat pengait, 83.88% berukuran lebih dari 100 mm, dengan frekuensi tangkapan tertinggi pada interval 109.5-129.5 mm dan ratio jantan:betina 1:0.47. Sebaran ukuran lebar karapas S. serrata di zona pinggiran hutan mangrove, ukuran lebar karapas S. serrata pada kelas ukuran kurang dari 100 mm mencapai 77.95%, dengan frekuensi tangkapan tertinggi pada interval 78-89 mm, dan ratio jantan:betina 1:0.85. Sebaran ukuran lebar karapas S. serrata di zona perairan laut, 42% merupakan kepiting yang berukuran kurang dari 100 mm, dan sisanya sebesar 58% merupakan kepiting yang berukuran lebih dari 100 mm, dan ratio jantan:betina 1:2.5. Kelimpahan individu betina matang gonade mencapai puncak pada bulan Januari, Februari, dan Maret. Diduga terjadi puncak kelimpahan yang kedua pada bulan Agustus dan September.

(5)

Sangatta tertinggi dibanding lokasi yang lain. Individu kepiting bakau yang dapat didukung untuk budidaya sylvofishery yang berkelanjutan adalah sebanyak 244 862 ekor atau dapat dibudidayakan pada ± 490 unit kurungan tancap berukuran 10x20 m. Rekomendasi pengelolaan yang dapat diberikan berdasarkan hasil analisis bioekologi dan daya dukung adalah perlu kawasan mangrove TN Kutai perlu ditata menggunakan konsep zonasi. Muara Sangatta adalah lokasi yang paling sesuai untuk usaha budidaya sylvofishery dan Muara Sangkima untuk zona perikanan tangkap S. serrata, sedangkan lokasi yang lain digunakan sebagai zona perlindungan.

Enam hal yang penting dipertimbangkan dalam pengelolaan perikanan tangkap S. serrata adalah 1) Penutupan daerah penangkapan S. serrata, sesuai zonasi yang telah ditentukan sebelumnya; 2) penutupan musim penangkapan S. serrata. Pada lokasi Muara Sangatta kebijakan penutupan musim penangkapan pada bulan Februari-Maret dan Juli-Agustus, sedangkan di Muara Sangkima penutupan pada bulan Januari-April perlu dilakukan untuk mencegah tertangkapnya induk betina yang matang gonade dan kepiting juvenil; 3) pengaturan jenis kelamin tangkapan kepiting bakau, disarankan penangkapan kepiting bakau lebih diutamakan menangkap kepiting dengan jenis kelamin jantan untuk menjaga keseimbangan rasio kepiting jantan:betina di alam; 4) pembatasan alat tangkap kepiting bakau. Jenis alat tangkap yang direkomendasikan untuk digunakan adalah jenis alat tangkap bubu/rakkang. Ukuran bukaan mulut rakkang juga perlu diatur diameter ukurannya agar lebih kecil dibanding lebar karapas kepiting bakau matang gonade; 5) pemberlakuan kuota penangkapan kepiting bakau. Laju eksploitasi kepiting jantan dan betina di Muara Sangatta dan Teluk Perancis, sudah melebihi ambang batas maksimum, sehingga tidak boleh dilakukan penambahan upaya untuk penangkapan S. serrata, baik berupa penambahan unit alat tangkap, frekuensi penangkapan, maupun dari jumlah nelayannya. Penangkapan S. serrata di mangrove TN Kutai tidak boleh melebihi dari angka kisaran 6 563 - 10 261 kg/tahun agar sumberdaya kepiting bakau dapat berkelanjutan; 6) restoking S. serrata dapat dilakukan dengan mengembalikan ke alam minimal sebesar 1% dari hasil panen budidaya sylvofishery. Restoking kepiting betina diharapkan dapat menjaga ketersediaan stok induk betina di alam.

Pengembangan budidaya sylvofishery S. serrata dapat dilakukan pada area Muara Sungai Sangatta, dengan kapasitas sebanyak 490 unit karamba mangrove, yang berukuran 10 x 20 m, dengan tingkat kepadatan benih 300-500 ekor/unit. Sylvofishery terutama perlu dilakukan pada area mangrove yang telah rusak akibat pembukaan tambak. Benih yang tersedia sesuai daya dukung lingkungan yang ada sebanyak 31 363 ekor benih, kekurangan benih untuk budidaya dapat diperoleh dari lokasi di luar mangrove TN Kutai.

Hasil simulasi terhadap model dinamik, menunjukkan bahwa skenario optimistik menunjukkan kinerja model yang lebih berkelanjutan untuk pengelolaan hutan mangrove di TN Kutai bila dilakukan dengan pendekatan optimasi pemanfaatan sumberdaya Scylla serrata.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

(7)

DI TAMAN NASIONAL KUTAI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

NIRMALASARI IDHA WIJAYA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. 2. Dr. Ir. Samedi, M.Sc.

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Irwandi Idris

(9)

Provinsi Kalimantan Timur Nama : Nirmalasari Idha Wijaya

NRP : C262070071

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. Ketua

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof (R). Dr. Sri Juwana. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.Sc.

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah “Pengelolaan Zona Pemanfaatan Ekosistem Mangrove melalui Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur” ini dapat diselesaikan.

Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan degradasi mangrove di TNK melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau (Scylla serrata). Kepiting bakau merupakan salah satu sumberdaya yang terdapat dalam ekosistem mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya sylvofishery. Pemanfaatan ini merupakan salah satu bentuk matapencaharian alternatif bagi penduduk lokal dalam kawasan TNK agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa merusak hutan mangrove.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr.Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof.Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA dan Prof (R).Dr. Sri Juwana selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberi saran dan bimbingan, juga kepada Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc. dan Dr.Ir. Samedi, M.Sc., selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup, serta kepada Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA dan Dr. Irwandi Idris selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka, para dosen dan mahasiswa Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Laut yang telah memberikan masukan yang sangat berarti bagi perbaikan karya ini.

Ucapan terima kasih pula penulis sampaikan kepada Direktur Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa BPPS dan Ketua Stiper Kutai Timur yang telah memberikan ijin tugas belajar dan Bupati Kutai Timur yang telah memberikan bantuan stimulan dana penelitian. Secara khusus ucapan terima kasih tak terhingga kepada suami dan anak-anak tercinta atas segala doa, dukungan, kasih sayang, dan kesabaran menunggu selama proses penyelesaian pendidikan doktor ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2010

(11)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 14 Januari 1973, merupakan anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Ayahanda Achyani dan Ibunda (Alm-ah) Sri Muljati.

Pendidikan SD, SMP dan SMA penulis selesaikan di Pati, selanjutnya pendidikan S1 ditempuh sejak tahun 1991 di Program Studi Perikanan pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan lulus pada tahun 1996. Tahun 2005 penulis mengikuti pendidikan S2 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan di Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa dari BPPS Dikti dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan S3 pada program studi yang sama, dan lulus pada tahun 2010.

Penulis pernah bekerja sebagai Sarjana Penggerak Pembangunan Agribisnis (SP2AB) di Kab. Kutai Timur pada tahun 2001 dan kemudian menjadi Dosen Kopertis XI wilayah Kalimantan diperbantukan di Sekolah Tinggi Pertanian (STIPER) Kutai Timur sejak tahun 2001 sampai sekarang. Selama menjadi Dosen, penulis pernah diangkat sebagai Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Kutai Timur sebagai utusan dari perguruan tinggi dari tahun 2003-2005.

Karya ilmiah berjudul ‘Biologi Populasi Kepiting Bakau (Scylla serrata F.) di Habitat Mangrove Taman Nasional Kutai Kabupaten Kutai Timur’ telah diterbitkan dalam prosiding dan disajikan pada Seminar Internasional dalam rangka Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (PIT-ISOI) ke VII tahun 2010. Artikel tersebut juga akan diterbitkan pada jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, LIPI, Volume 36 Nomor 3 Bulan Desember 2010. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi penulis.

(12)

DAFTAR TABEL ……...………..…………... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ...

xv xvii xix 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ….………...…... 1.2 Perumusan Masalah …..………..…...…... 1.3 Tujuan Penelitian ...………..……... 1.4 Hipotesis ... 1.5 Kerangka Pendekatan Penelitian ... 1.6. Kebaruan Penelitian ...

1 3 9 10 10 11 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Kepiting Bakau ... 2.1.1 Klasifikasi S. serrata... 2.1.2 Morfologi S. serrata... 2.1.3 Daur hidup S. serrata... 2.1.4 Karakter dewasa kelamin ... 2.1.5 Kepiting bakau sebagai hewan air (kehalalan kepiting bakau) ... 2.2 Ekologi Habitat Mangrove ...…... 2.2.1 Karakteristik dan fungsi ekosistem mangrove ... 2.2.2 Keterkaitan antara kepiting bakau dengan mangrove... 2.2.3 Perkembangan budidaya sylvofishery kepiting bakau ... 2.2.4. Indeks Kesesuaian Habitat (Habitat Suitability Index/HSI) ... 2.3 Sistem Dinamik dalam Pengelolaan Scylla serrata ...

2.3.1 Berpikir sistem (System Thinking) ... 2.3.2 Umpan balik ... 2.3.3 Pemodelan dinamika sistem ... 2.4 Sejarah Taman Nasional ... 2.5 Konsep Keterpaduan (Integrated Coastal Management/ICM) dan

Kolaboratif dalam Pengelolaan Mangrove Taman Nasional Kutai ... 2.6 Pengelolaan Berbasis Ekosistem (Ecobased Management/EBM) ... 2.7 Landasan Peraturan Perundangan Pemanfaatan Taman Nasional ...

2.7.1 Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya ... 2.7.2 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan ... 2.7.3 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ... 2.7.4 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan ... 2.7.5 Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi

Sumberdaya Ikan ... 2.7.6 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

(13)

Nomor Per.17/Men/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil ... 2.7.7 Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Nasional ... 2.7.8 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006

Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional ... 2.7.9 Keputusan Menteri Kehutanan No.325/Kpts-II/1995 tentang

Penunjukkan Taman Nasional Kutai ...

57 58 59 60 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1Lokasi dan Waktu Penelitian...

3.2Metode Penelitian ... 3.3Analisis Sosial Ekonomi Masyarakat dan Kondisi Umum TNK...

3.3.1 Jenis dan sumber data sosial ekonomi masyarakat ... 3.3.2 Metode pengumpulan data sosial ekonomi masyarakat ... 3.3.3 Analisis data sosial ekonomi masyarakat ... 3.4Analisis Status Ekologi dan Daya Dukung Lingkungan ... 3.4.1 Pengumpulan dan analisis data vegetasi mangrove di TNK ... 3.4.2 Pengumpulan dan analisis data produksi serasah mangrove ... 3.4.3 Pengumpulan dan analisis data makrozoobenthos ... 3.4.4 Pengumpulan dan analisis data kualitas perairan ... 3.4.5 Analisis hubungan sebaran spasial kepiting bakau dengan

karakteristik vegetasi mangrove ... 3.4.6 Penilaian Daya Dukung Lingkungan ... 3.5 Analisis Status Biologi Scylla serrata ... 3.5.1 Pengumpulan dan analisis data biologi Scylla serrata ... 3.5.2 Analisis hubungan panjang dan bobot ... 3.5.3 Analisis data kelompok ukuran ... 3.5.4 Analisis data parameter pertumbuhan ... 3.5.5 Analisis pendugaan laju eksploitasi Scylla serrata ... 3.5.6 Analisis Yield per Rekrut Relatif (Y/R) dan Biomass per Rekrut

(B/R) ... 3.6Identifikasi Sistem Pengelolaan Kepiting Bakau di TNK ... 3.6.1 Membangun Diagram Kausal dan Diagram Alir ... 3.6.2 Submodel Habitat Mangrove ... 3.6.3 Submodel Penangkapan Kepiting ... 3.6.4 Submodel Budidaya Pembesaran ... 3.6.5 Submodel Ekonomi ... 3.6.6 Submodel Sosial ... 3.7Pemodelan dan Simulasi Sistem Pengelolaan S. serrata ... 3.8Zonasi Pemanfaatan S. serrata di Kawasan Mangrove TNK ... 3.9Simulasi dan Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Scylla serrata di Kawasan Mangrove TNK ...

61 62 63 63 63 64 71 71 73 73 74 74 75 77 77 77 78 79 80 81 83 84 84 87 89 90 90 91 92 93 4 KONDISI UMUM TN KUTAI

4.1 Sejarah Kawasan TNK ... 4.2 Letak Geografis dan Topografi TNK ... 4.3 Geologi dan Iklim ...

(14)

4.4 Sejarah Perambahan dan Pemukiman di TNK ... 4.5 Permasalahan Pengelolaan TNK ... 4.5.1 Perambahan Hutan ... 4.5.2 Illegal Logging ... 4.6 Proses Enclave di TNK ... 4.7 Kondisi Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Lokal di TNK ... 4.7.1 Jenis Matapencaharian ... 

4.7.2 Jumlah Penduduk ...  4.7.3 Agama ... 

4.7.4 Pendidikan ...  4.7.5 Kesehatan ... 

4.7.6 Aspek Kelembagaan ...  4.8 Persepsi Masyarakat ... 4.8.1 Pemahaman Masyarakat terhadap Pengelolaan Hutan Mangrove. 4.8.2 Persepsi Masyarakat terhadap Pemanfaatan S. serrata ...

101 101 101 102 105 109 110 111 111 112 113 114 114 116 116 118 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Bioekologi S. serrata dan Daya Dukung habitat mangrove TNK ... 5.1.1 Ekologi habitat mangrove TNK ... 5.1.2 Karakteristik habitat mangrove TNK ... 5.1.3 Biologi S. serrata ... 5.1.4 Daya Dukung Mangrove TNK bagi Budidaya S. serrata ... 5.2 Kondisi Sosial Ekonomi Pemanfaatan S. serrata ...

5.2.1 Permintaan S. serrata ... 5.2.2 Keragaan Perikanan Tangkap S. serrata di TNK ... 5.2.3 Keragaan Budidaya Pembesaran S.serrata di TNK ... 5.2.4 Analisis Usaha Budidaya SylvofisheryS. serrata ... 5.2.5 Analisis Usaha Perikanan Tangkap S. serrata ... 5.3 Pengelolaan Sumberdaya Scylla serrata di TNK ... 5.3.1 Permasalahan Kebijakan Pengelolaan Habitat Mangrove TNK ... 5.3.2 Penentuan Zonasi Pemanfaatan Scylla serrata di Kawasan

Mangrove TNK... 5.3.3 Pengelolaan Perikanan Tangkap S. serrata ... 5.3.4 Pengembangan Budidaya SylvofisheryS. serrata ... 5.3.5 Model Pengelolaan Sumberdaya S. serrata di Mangrove TNK .... 5.3.6 Skenario Pengelolaan S. serrata di Habitat Mangrove TNK ... 5.4 Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Sylvofishery Kepiting Bakau di

Kawasan Mangrove TNK ... 5.5 Rekomendasi Penatakelolaan Kawasan Mangrove di TNK ...

119 119 129 133 153 159 159 161 163 167 168 169 169 175 178 187 189 198 206 214 6 SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan ... 6.2 Saran ...

217 218 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Karakteristik kepiting bakau (Scylla spp.) menurut Keenan

(1998) ... 15

2. Hasil tata batas di TNK ... 60

3. Kriteria kesesuaian zonasi pemanfaatan Scylla serrata ... 93

4. Sejarah kawasan TNK ... 97

5. Deskripsi penutupan lahan TNK ... 98

6. Deskripsi penutupan lahan hasil interpretasi citra Terra-Aster 2005 ...... 99

7. Luas perambahan hutan di TNK sepanjang jalan Bontang-Sangatta (1999-2001) ... 102

8. Hasil pengamanan hutan tahun 2005... 104

9. Rencana dan realisasi tata batas di areal rencana enclave ... 106

10. Jumlah pemeluk agama dan tempat ibadah di desa definitif dalam TNK... 112

11. Sarana kesehatan di desa definitif dalam TNK... 114

12. Pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan mangrove ... 117

13. Tingkat pemahaman masyarakat mengenai pemanfaatan sumber daya S. serrata ... 118

14. Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi di Muara Sangatta ... 119

15. Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi Pohon di Teluk Perancis ... 120

16. Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi anakan pohon diamater 2 – 10 cm di Teluk Perancis........ 121

17. Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi pohon di Muara Sangkima ... 122

18. Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi anakan pohon diamater 2 – 10 cm di Muara Sangkima ... 122

19. Hubungan lebar karapas dan bobot kepiting S. serrata ... 134

20. Parameter pertumbuhan S. serrata di habitat mangrove TNK .... 140

21. Mortalitas dan laju eksploitasi Scylla serrata di habitat mangrove TNK ... 141

22. Jumlah individu S. serrata hasil tangkapan alat rakkang, rengge, dan pengait ... 144

23. Sebaran ukuran induk betina matang gonade TKG IV ... 149

24. Nilai kesesuaian variabel lingkungan habitat mangrove TNKuntuk kepiting bakau ... 155

25. Daya dukung mangrove TNK untuk unit budidaya ... 157

26. Volume pengiriman kepiting bakau hidup tahun 2006-2008 ... 159

27. Keragaan kurungan tancap pembesaran kepiting bakau dalam mangrove ... 165

28. Nilai dugaan parameter pada model pengelolaan sumberdaya S. serrata di habitat mangrove TNK ... 191

(16)

Nomor Halaman 30. Skenario dan kombinasi antar faktor dan kondisi ... 203 31. Skor atribut dari empat dimensi pengelolaan sylvofishery

(17)

DAFTAR

GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kerangka pendekatan penelitian ... 14

2. Kepiting betina dan kepiting jantan ... 17

3. Morfologi Scylla serrata ... 18

4. Diagram siklus hidup kepiting bakau ... 21

5. Tahapan dalam menyusun HSI (AED 2008) ... 32

6. Pola pertumbuhan eksponensial struktur sistem ... 35

7. Pola perilaku mencari tujuan struktur sistem ... 36

8. Pola bergelombang struktur sistem ... 36

9. Pola perilaku batas pertumbuhan struktur sistem ... 37

10. Dasar metodologi dinamika sistem (Sushil 1993) ... 38

11. Pemodelan dinamika sistem (Sterman 2000) ... 41

12. Peta lokasi penelitian ... 61

13. Bagan alir penentuan jumlah dan jenis responden ... 65

14. Sketsa sylvofishery pembesaran kepiting bakau ... 67

15. Sebaran lokasi alat tangkap kepiting bakau di kawasan mangrove TNK ... 68

16. Skema penempatan petak contoh ... 72

17. Hubungan antara variabel habitat dengan kebutuhan hidup untuk HSI kepiting bakau Scylla serrata ... 76

18. Diagram kausal model konseptual pemanfaatan kepiting bakau di kawasan mangrove TNK ... 86

19. Diagram kausal submodel habitat mangrove ... 87

20. Diagram kausal submodel penangkapan kepiting bakau ... 88

21. Diagram kausal submodel budidaya pembesaran kepiting bakau 89 22. Diagram kausal submodel ekonomi ... 90

23. Diagram kausal submodel sosial ... 91

24. Alur tahapan pemodelan pengelolaan Scylla serrata ... 91

25. Peta perambahan hutan di TNK ... 105

26. Jumlah penduduk sesuai jenis mata pencaharian ... 110

27. Jumlah penduduk di lima desa definitif dalam TNK ... 111

28. Sarana pendidikan di desa definitif dalam TNK ... 112

29. Tingkat pendidikan masyarakat di desa definitif dalam TNK ... 113

30. Kelimpahan makrozoobenthos di habitat mangrove TNK ... 124

31. Grafik nilai rata-rata produksi serasah di habitat mangrove TNK 125 32. Grafik Analisis Komponen Utama keterkaitan karakteristik habitat biofisik kimia perairan dan kelimpahan S. serrata bulan Juli ... 130

33. Distribusi lebar karapas S. serrata di beberapa zona hutan mangrove ... 145

34. Sebaran induk betina matang gonade TKG IV ... 150

35. Jenis alat tangkap kepiting yang digunakan di habitat mangrove TNK ... 161

(18)

Nomor Halaman

37. Grafik pertumbuhan kepiting bakau sylvofishery ... 166

38. Peta zonasi pemanfaatan hutan mangrove ... 177

39. Zona Terbuka dan Tertutup bagi Penangkapan Scylla serrata di Kawasan Mangrove TNK ... 181

40. Dinamika RPUEj, kelimpahan TKG IV S. serrata, dan hasil tangkapan S. serrata pada Tahun 2009 ... 183

41. Ratio jantan betina pada tiga zona hutan mangrove TNK ... 185

42. Diagram alir stok (SFD) model pengelolaan S. serrata di habitat mangrove TNK ... 191

43. Diagram alir stok (SFD) submodel habitat mangrove ... 193

44. Diagram alir stok submodel penangkapan S. serrata ... 195

45. Diagram alir stok submodel budidaya sylvofishery ... 196

46. Diagram alir stok submodel ekonomi pada pemanfaatan S. serrata ... 197

47. Diagram alir stok submodel sosial pada pemanfaatan S. serrata 198 48. Hasil simulasi skenario dasar pengelolaan S. serrata di TNK ... 199

49. Perbandingan luas mangrove saat parameter kunci dinaikkan 10% ... 201

50. Perbandingan luas mangrove saat parameter kunci diturunkan 10% ... 201

51. Grafik hasil simulasi skenario pesimistik ... 204

52. Grafik hasil simulasi skenario moderat ... 205

53. Grafik hasil simulasi skenario optimistik ... 206

54. Diagram layang-layang pengelolaan sylvofishery di kawasan mangrove TNK ... 209

55. Peran masing-masing atribut dimensi ekologi pada keberlanjutan pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS (Root Mean Square) ... 210

56. Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi pada keberlanjutan pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS (Root Mean Square) ... 211

57. Peran masing-masing atribut dimensi sosial pada keberlanjutan pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS (Root Mean Square) ... 213

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Distribusi Kelompok Ukuran Scylla serrata Jantan Muara

Sangkima ... 231

2. Distribusi Kelompok Ukuran Scylla serrata Betina Muara Sangkima ... 232

3. Distribusi Kelompok Ukuran Scylla serrata Jantan Muara Sangatta ... 233

4. Distribusi Kelompok Ukuran Scylla serrata Betina Muara Sangatta ... 234

5. Distribusi Kelompok Ukuran Scylla serrata Jantan Teluk Perancis ... 235

6. Distribusi Kelompok Ukuran Scylla serrata Betina Teluk Perancis ... 236

7. Hubungan Panjang Bobot Scylla serrata Muara Sangatta ... 237

8. Hubungan Panjang Bobot Scylla serrata Teluk Perancis ... 238

9. Hubungan Panjang Bobot Scylla serrata Muara Sangkima ... 239

10. Hubungan Panjang Bobot Scylla serrata Budidaya Sylvofishery 240 11. Analisis Laju Mortalitas Dan Laju Eksploitasi Scylla serrata Jantan Muara Sangatta ... 241

12. Analisis Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi Scylla serrata Betina Muara Sangatta ... 243

13. Analisis Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi Scylla serrata Jantan Teluk Perancis ... 245

14. Analisis Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi Scylla serrata Betina Teluk Perancis ... 247

15. Analisis Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi Scylla serrata Jantan Muara Sangkima ... 249

16. Analisis Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi Scylla serrata Betina Muara Sangkima ... 251

17. Parameter Pertumbuhan pada Budidaya Sylvofishery ... 253

18. Asumsi-asumsi untuk HSI ... 254

19. Skor Suitability Index untuk HSI ... 255

20. Hasil Analisis PCA Juli ... 260

21. Hasil Analisis PCA Desember ... 263

22. Analisis Makrozoobenthos ... 263

23. Data Fisik Kimia Perairan ... 264

24. Rincian Anggaran Biaya Budidaya SylvofisheryS. serrata ... 265

25. Cash Flow Analisis kelayakan Usaha Budidaya Sylvofishery S. serrata (200 m²) ... 273

26. Analisis Pendapatan Nelayan ... 272

27. Karakteristik Responden ... 273

(20)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kepiting bakau (Scylla serrata) adalah jenis kepiting yang hidup di habitat mangrove/hutan bakau. Scylla serrata merupakan komoditas ekspor disamping rajungan (Portunus pelagicus). Bila rajungan mempunyai nilai ekonomis penting sebagai daging dalam kaleng atau dalam keadaan beku, maka kepiting bakau dapat dipasarkan dalam keadaan hidup karena lebih tahan hidup di luar air (Juwana 2004).

Ada dua spesies dari kelompok Scylla sp yang ditemukan di Indonesia, yaitu yang berwarna hijau kemerahan/kecoklatan dan hijau keabu-abuan. Jenis ini adalah S. serrata dan S. serrata var. paramamosain (Moosa et al. dalam Cholik & Hanafi 1991). Berikutnya ditemukan spesies Scylla yang lain, yaitu S. tranquebarica dan S. olivacea. Namun, studi morfometri dan allozyme yang digunakan untuk menyatakan spesiasi dalam genus (Fuseya & Watanabe; Overton et al.; Sugama & Hutapea; dalam LeVay 2001) merevisi genus Scylla menjadi empat jenis, S. serrata, S. tranquebarica, S. olivacea dan S. paramamosain, berdasarkan allozyme elektroforesis, DNA mitokondria sekuensing dan analisis morfometri (Keenan et al. 1998).

Scylla serrata adalah spesies kepiting bakau yang dominan di Indonesia. Diperkirakan sekitar 80% dari total pendaratan kepiting bakau adalah dari spesies ini (Cholik & Hanafi 1991). Perikanan kepiting di Indonesia diharapkan dapat terus tumbuh di masa yang akan datang karena beberapa alasan, yaitu: adanya peningkatan permintaan pada komoditas ini yang diindikasikan dengan peningkatan harga di pasar lokal maupun internasional; sumberdaya perikanan mendukung spesies ini baik untuk penangkapan dari alam maupun budidaya; pengetahuan dan pengalaman teknik budidaya kepiting semakin berkembang (Cholik & Hanafi 1991).

(21)

sumber protein, Vitamin B12, Phosphorous, Zinc, Copper, dan Selenium. Selenium diyakini berperan dalam mencegah kanker dan perusakan kromosom, juga meningkatkan daya tahan terhadap infeksi virus dan bakteri. Fisheries Research and Development Corporation di Australia melaporkan bahwa dalam 100 gram daging kepiting bakau mengandung 22 mg Omega-3 (EPA), 58 mg Omega-3 (DHA), dan 15 mg Omega-6 (AA) yang penting untuk pertumbuhan dan kecerdasan anak (Muskar 2007).

Bukan hanya daging kepiting yang mempunyai nilai komersil, kulitnya pun mempunyai nilai ekonomis tinggi. Kulit kepiting diekspor dalam bentuk kering sebagai sumber chitin, chitosan dan karotenoid yang dimanfaatkan oleh berbagai industri sebagai bahan baku obat, kosmetik, pangan, dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut memegang peran sebagai antivirus dan antibakteri dan juga digunakan sebagai obat untuk meringankan dan mengobati luka bakar, selain dapat digunakan sebagai pengawet makanan yang murah dan aman (Muskar 2007).

Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia diperoleh dari penangkapan stok alam di perairan pesisir, khususnya di area mangrove atau estuaria, dan dari hasil budidaya di tambak air payau. Akhir-akhir ini, dengan semakin meningkatnya nilai ekonomi perikanan kepiting, penangkapan kepiting bakau juga semakin meningkat (Cholik 1999).

(22)

Populasi kepiting bakau secara khas berasosiasi dengan hutan mangrove yang masih baik, sehingga hilangnya habitat akan memberikan dampak yang serius pada populasi kepiting. Keberlanjutan pengembangan budidaya kepiting sangat memerlukan integrasi antara perikanan dengan pengelolaan mangrove. Status ekologi kepiting bakau yang berhubungan dengan biologi populasi dan pengelolaannya perlu dipahami untuk mendukung pengembangan dari perikanan dan budidaya kepiting bakau yang berkelanjutan (LeVay 2001).

Penelitian mengenai status bioekologi kepiting diperlukan untuk mengetahui status kepiting ini di alam, agar dapat dikelola dengan benar dan pemanfaatannya dapat berkelanjutan.

1.2 Perumusan Masalah

Hutan mangrove di kawasan TNK merupakan salah satu habitat kepiting di Kabupaten Kutai Timur. Kawasan Pelestarian Alam Taman Nasional Kutai (TNK) terletak pada tiga wilayah administrasi Daerah Tingkat II, yaitu Kabupaten Kutai Timur (± 80%), Kabupaten Kutai Kartanegara (± 17,48%), dan Kota Administratif Bontang (± 2,52%). Kawasan konservasi TNK memiliki hutan mangrove seluas ± 5 131.55 ha, yaitu 1-2 km dari tepi pantai ke arah daratan yang didominasi oleh jenis Rhizophora dan Bruguiera (TNK 2005).

(23)

dipahami bahwa pengelolaan taman nasional memungkinkan adanya pemanfaatan secara lestari terhadap sumberdaya di dalam kawasan.

Kategori II dalam IUCN menyatakan Taman Nasional sebagai kawasan lindung yang dikelola terutama untuk perlindungan ekosistem dan rekreasi. Definisi taman nasional menurut kategori II IUCN adalah area alam daratan dan/atau laut, yang ditunjuk untuk (a) melindungi integritas ekologis dari satu atau lebih ekosistem untuk generasi sekarang dan mendatang, (b) meniadakan eksploitasi atau kegiatan yang bertentangan dengan tujuan penunjukan kawasan dan (c) memberikan landasan bagi spiritual, ilmiah, pendidikan, rekreasi dan kesempatan pengunjung, yang semuanya harus menjamin lingkungan dan budaya yang kompatibel.

Umumnya kawasan konservasi alam di Indonesia berada di bawah rejim properti milik publik (common property regimes) yang dikuasai negara (state-property). Dalam banyak kasus seringkali terjadi pertikaian antara pemerintah dengan masyarakat lokal atau masyarakat adat. Secara khusus, walaupun kawasan secara de jure dikontrol oleh pemerintah, tetapi secara de facto di beberapa lokasi dikontrol oleh penduduk lokal atau pelaku bisnis lokal yang mengeksploitasi wilayah kawasan secara terorganisasi. Itu ditandai dengan maraknya penebangan liar dan perburuan liar pada beberapa kawasan konservasi. Ketika kontrol pemerintah dan komunitas lokal tidak berjalan efektif atau tidak ada sama sekali di lapangan, maka wilayah kawasan konservasi menjadi open access. Kondisi ini merupakan ekspresi dari 'tragedy of the commons' yang dikuatirkan Hardin penggagasnya, yaitu musnahnya sumber daya (PHKA-Dephut et al. 2002).

(24)

Pada model ini keinginan masyarakat lokal dan administrasi setempat dilibatkan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Kedua model ini masing-masing memiliki kelebihan masing-masing-masing-masing, pengelolaan eksklusif sukses melindungi hidupan liar dan keindahan panorama, walaupun tanpa pelibatan masyarakat lokal. Sedangkan pengelolaan inklusif berhasil memasukan peranan masyarakat lokal dalam aras pengelolaan kawasan konservasi (Borrini-Feyerabend et al. dalam PHKA-Dephut et al. 2002).

Transformasi pola pengelolaan sumber daya alam oleh negara, swasta, dan kemudian kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat lokal agaknya merupakan tuntutan universal, yang berlaku bukan cuma di Indonesia. Di India telah terjadi empat tahap evolusi pola pengelolaan sumber daya alam, khususnya hutan, dari kolonialisme, komersialisme, konservasi, dan saat ini kolaborasi. Sedangkan di Nepal terjadi evolusi: privatisasi, nasionalisasi, dan populisme. Bahkan pergeseran juga terjadi di beberapa negara-negara bagian Amerika Serikat tempat asal muasal 'pengelolaan eksklusif’ kawasan konservasi telah mulai bergeser menuju pengelolaan kolaboratif (PHKA-Dephut et al. 2002).

Di Indonesia sendiri, mulai terjadi pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi di kawasan pesisir. Beberapa kawasan konservasi pesisir saat ini mulai dikelola secara kolaboratif, dengan pembentukan DPL (Daerah Perlindungan Laut) yang dikelola oleh masyarakat, sebagai contohnya antara lain Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT).

(25)

Peran serta masyarakat yang meluas dan tidak sekadar simbolik ternyata menunjukkan hasil yang baik: produktifitas tercapai tanpa menyampingkan kepentingan kelestarian lingkungan dan eksistensi masyarakat lokal. Pemerintah di negara India dan Nepal, berkeyakinan bahwa masyarakat lokal berkemampuan, memiliki pengetahuan, dan kearifan yang handal untuk mengelola sumber daya alam secara produktif dan lestari. Kolaborasi dengan masyarakat lokal merupakan kebutuhan dan keharusan, karena tujuan produksi dan pelestarian dapat dicapai secara lebih efektif dan pada saat yang sama tercipta suatu mekanisme resolusi konflik yang interaktif dan dialogis (PHKA-Dephut et al. 2002).

Di dalam kawasan mangrove TNK saat ini telah berdiri 4 desa definitif berdasarkan SK Gurbernur Kalimantan Timur No. 06 Tahun 1997 tanggal 30 April 1997 tentang Penetapan desa definitif di dalam TNK, yaitu Teluk Pandan, Sangkima dan Sangatta Selatan; dan SK. No. 410.44/ K.452/1999 tentang pemekaran Desa Sangatta Selatan menjadi Singa Geweh dan Sangatta Selatan. Sehingga muncul wacana dari pemerintah daerah untuk meng-enclave hutan mangrove tersebut agar dikeluarkan dari kawasan taman nasional dan digunakan untuk pemanfaatan lain.

(26)

Pada saat ini, sebagian masyarakat yang tinggal di sekitar TNK masih memanfaatkan hutan mangrove untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara yang merusak, seperti membuka mangrove untuk tambak atau menebang pohon mangrove untuk diambil kayunya. Sesuai data dasar TNK (2005), luas hutan mangrove di kawasan Taman Nasional Kutai Timur sekitar 5 131.55 ha (2,58 % total luas TNK). Saat ini luas mangrove yang sudah dikonversi menjadi lahan terbuka seluas 1 361.34 ha (26.53 % total luas mangrove), yaitu untuk tambak 155.81 ha (3.04 %) dan menjadi lahan terbuka lain seluas 1 205.53 ha (23.49 %). Formasi mangrove yang masih utuh terdapat di Desa Teluk Pandan hingga Teluk Kaba, sedangkan di pesisir Desa Sangatta Selatan sangat rentan terhadap degradasi.

Untuk meminimalisasi rusaknya ekosistem mangrove diperlukan pengembangan model pengelolaan mangrove yang melibatkan masyarakat dalam kawasan tersebut, karena keberadaan masyarakat sekitar hutan mangrove sangat berpengaruh terhadap kelestarian ekosistem hutan mangrove. Sehingga diperlukan adanya suatu model pengelolaan kolaboratif yang dapat mendistribusikan tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola pemanfaatan hutan mangrove, terutama hutan mangrove dalam kawasan konservasi.

Penelitian ini penting untuk memberikan masukan rekomendasi kebijakan atau perubahan legislasi mengenai pengelolaan kolaboratif yang berbasis ilmiah sehingga walaupun pemanfaatan sumberdaya alam bakau dapat dilakukan namun tujuan utama pengelolaan taman nasional untuk konservasi keanekaragaman hayati tetap dapat dipertahankan.

Kepiting bakau merupakan salah satu sumberdaya di hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada dua tipe pemanfaatan kepiting bakau dari alam, yaitu penangkapan kepiting bakau dewasa (ukuran lebih dari 300 gram) untuk konsumsi dan penangkapan kepiting bakau muda (ukuran ± 100 gram) untuk benih dalam pembesaran kepiting.

(27)

kepiting bakau, bila dioptimalkan dengan memperhatikan daya dukung sumberdaya yang ada, maka diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan di sisi lain keutuhan habitat hutan mangrove akan tetap terjaga.

Pemanfaatan lestari kepiting bakau dengan model pengelolaan kolaboratif berpotensi menurunkan kerusakan hutan bakau minimal sebesar 700 ha, yaitu seluas kerusakan mangrove yang terjadi akibat pembukaan hutan mangrove untuk tambak. Budidaya tambak yang dilakukan di TNK selama ini belum menunjukkan produksi maupun nilai keuntungan yang cukup seimbang dibandingkan kerugian yang diperoleh akibat kerusakan mangrove. Penurunan luas kerusakan mangrove diharapkan terjadi dengan mengalihkan pemanfaatan mangrove dari pembukaan tambak menjadi sylvofishery kepiting bakau.

Hutan mangrove merupakan habitat utama bagi S. serrata. Dengan rusak dan hilangnya habitat dasar serta fungsi utama ekosistem mangrove maka akan menghilangkan habitat alami dari S. serrata yang pada akhirnya menurunkan jumlah populasi salah satu jenis krustasea yang bernilai ekonomi tinggi ini. Seperti yang diduga Siahainenia (2008) telah terjadi di perairan mangrove Kabupaten Subang. Penurunan populasi S. serrata selain disebabkan penangkapan (eksploitasi) secara berlebihan oleh nelayan juga disebabkan hilangnya habitat alami (kerusakan ekosistem mangrove), sehingga menghilangkan kesempatan bagi S. serrata untuk berkembang dan tumbuh dengan baik.

(28)

Perikanan tangkap kepiting bakau dapat ditingkatkan melalui perbaikan habitat dan restoking (Cholik 1999), sedangkan budidaya kepiting bakau dapat dilakukan di tambak air payau atau di kurungan tancap di dalam area mangrove (Ikhwanuddin & Oakley 1999). Namun menurut Genodepa (1999), sistem tambak tidak mengkonservasi dan mengelola lingkungan alami kepiting bakau, karena tambak dikembangkan dengan membuka bersih area bakau, yang merupakan habitat alami kepiting bakau. Sedangkan sistem kurungan tancap lebih bersifat ramah lingkungan karena tidak mengkonversi mangrove dan mengijinkan kepiting hidup dalam lingkungan alaminya (Ikhwanuddin & Oakley 1999; Genodepa 1999; Johnston & Keenan 1999). Beberapa teknologi yang mendukung kegiatan budidaya kepiting bakau, yaitu: pembenihan, pembesaran, penggemukan, produksi kepiting bertelur, dan produksi kepiting lunak/soka.

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, maka beberapa pertanyaan yang muncul adalah:

1. Pada area hutan mangrove bagian mana saja di TNK yang dapat dimanfaatkan sumberdaya kepitingnya untuk suatu pemanfaatan yang berkelanjutan?

2. Apakah sumberdaya kepiting di TNK sudah mengalami penurunan saat ini dibandingkan waktu yang lalu?

3. Seberapa besar daya dukung sumberdaya di zona pemanfaatan TNK bagi populasi kepiting untuk penangkapan maupun budidaya pembesaran? 4. Bagaimana bentuk pengelolaan yang mampu menjamin keberlanjutan

pemanfaatan sumberdaya kepiting dan sekaligus menjaga kelestarian hutan mangrove di TNK sebagai habitat bagi kepiting tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi status bioekologi sumberdaya S. serrata meliputi; sebaran ukuran, parameter pertumbuhan, pola distribusi spasial dan temporal, serta laju eksploitasinya di hutan mangrove TNK.

(29)

3. Membuat rekomendasi pengelolaan sumberdaya kepiting bakau di kawasan konservasi mangrove untuk menjamin keberlanjutan pemanfaatannya dan sekaligus menjaga kelestarian hutan mangrove di TNK.

1.4 Hipotesis

Hipotesis yang menjadi dasar pengembangan disertasi ini adalah:

Jika pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau di zona pemanfaatan hutan mangrove TNK dioptimalkan sesuai daya dukung lingkungannya melalui sylvofishery, maka akan membentuk model pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari, yang diindikasikan dengan adanya penurunan laju kerusakan ekosistem mangrove.

1.5 Kerangka Pendekatan Penelitian

Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan kepiting bakau di habitat hutan mangrove TNK adalah ancaman penurunan populasi kepiting bakau akibat eksploitasi hutan mangrove oleh masyarakat. Sementara itu, diduga pemanfaatan kepiting bakau di TNK masih di bawah potensi yang ada, sedangkan disisi lain, TNK sebagai kawasan konservasi tidak boleh ditebang/dikurangi keutuhan kawasannya.

Pemanfaatan sumberdaya yang ada dalam kawasan taman nasional pada dasarnya diperbolehkan (pasal 26, 27, 28 dan 30 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya). Salah satu jenis sumberdaya hayati yang dapat dimanfaatkan dari kawasan mangrove TNK adalah kepiting bakau (S. serrata).

Kepiting bakau dimanfaatkan dengan cara penangkapan kepiting dewasa di alam dan penangkapan kepiting muda untuk budidaya pembesaran kepiting. Namun dalam pemanfaatan sumberdaya ini perlu diperhatikan kelangsungan populasi dan daya dukungnya, oleh karena itu perlu kajian dalam pemanfaatan sumberdaya kepiting tersebut.

(30)

pendekatan sistem, agar ketiga aspek tersebut dapat dikaji secara menyeluruh. Untuk memperoleh data dan informasi tentang aspek bioekologi kepiting bakau perlu dilakukan beberapa pendekatan. Data dan informasi tentang tipe dan karakteristik habitat kepiting bakau diperoleh dengan melakukan klasifikasi wilayah (zona) berdasarkan karakter-karakter khusus yang dimiliki tiap zona. Selanjutnya pada tiap zona dilakukan pengamatan dan analisa parameter biofisik dan kimia lingkungan, meliputi: parameter fisik-kimia substrat dan perairan, karakteristik vegetasi mangrove, produksi serasah mangrove dan kelimpahan organisme makrozoobenthos sebagai pakan alami kepiting bakau.

Untuk mengetahui status bioekologi kepiting bakau dilakukan kajian tentang kelimpahan, sebaran ukuran, pola distribusi spasial dan temporal, pola pertumbuhan, serta laju eksploitasi kepiting bakau. Data untuk kajian status bioekologi kepiting bakau diperoleh dari data primer dan data sekunder. Kajian mengenai daya dukung lingkungan dilakukan dengan pendekatan indeks kesesuaian habitat (Habitat Suitability Index/HSI). HSI menggambarkan kesesuaian habitat yang diberikan oleh kombinasi interaksi dari semua variabel lingkungan kunci pada spesies S. serrata, berdasarkan hipotesa hubungan spesies-habitat. Alur pendekatan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

1.6Kebaruan Penelitian

(31)

memberikan jalan bagaimana menggunakan hasil penelitian tersebut untuk rencana pengelolaan sumberdaya kepiting bakau.

Penelitian ini dilakukan di kawasan konservasi Taman Nasional, dimana menurut UU No. 5 tahun 1990 dilarang dilakukan kegiatan yang bersifat merubah keutuhan kawasan, seperti menangkap hewan atau menebang pohon. Namun saat ini telah terjadi pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi, yang semula perlindungan alam tanpa mengijinkan pemanfaatan untuk kesejahteraan masyarakat, menjadi perlindungan dengan pemanfaatan yang berkelanjutan.

Model pengelolaan ekosistem mangrove di salah satu desa dalam kawasan TNK sudah pernah diteliti oleh Gunawan et al. (2005) yang melakukan penelitian tentang Model Pelestarian Ekosistem Mangrove di Kawasan Taman Nasional Kutai oleh Masyarakat Dusun Teluk Lombok, namun dalam penelitian ini model yang dihasilkan hanya berupa deskripsi tentang pelaksanaan pengelolaan mangrove yang telah rusak/dibuka di kawasan tersebut oleh masyarakat bersama dengan LSM Bikal. Sedangkan bagaimana solusi dari permasalahan mengapa mangrove dirusak tidak dibahas dalam penelitian tersebut.

Pada penelitian ini akan disusun model pengelolaan zona pemanfaatan hutan mangrove di kawasan TNK, yang berbasis pada pemanfaatan sumberdaya S. serrata, sebagai biota yang mempunyai keterkaitan habitat dengan hutan mangrove. Penelitian ini dilakukan secara komprehensif dengan pendekatan sistem dinamik yang didukung oleh data bioekologi kepiting bakau dan daya dukung lingkungan. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data bioekologi kepiting bakau memang masih mengikuti penelitian-penelitian sebelumnya, namun yang berbeda adalah data biekologi ini akan digunakan secara menyeluruh melalui metode analisis sistem dinamik untuk menyusun rencana pengelolaan sumberdaya kepiting bakau.

Hasil dari analisis sistem berupa model pengelolaan kepiting bakau, akan mempunyai karakter yang berbeda dengan kebijakan pengelolaan kepiting bakau di perairan umum, karena memasukkan variabel aturan-aturan dalam pengelolaan kawasan konservasi.

(32)

a) Penggunaan data-data bioekologi dan pendugaan stok kepiting bakau secara komprehensif sebagai variabel-variabel dalam alat analisis sistem dinamik untuk menyusun rencana pengelolaan belum pernah dilakukan sebelumnya, walaupun LeVay (2001) telah menyatakan menganggap perlu untuk menggunakan data bioekologi dan stok assesment sebagai dasar pengelolaan. b) Disusunnya model untuk pengelolaan sumberdaya kepiting bakau di kawasan

(33)

Gambar 1 Kerangka pendekatan penelitian Sumberdaya

Kepiting MANGROVE

TNK

Permasalahan: Degradasi habitat mangrove untuk tambak

Permasalahan: Potensi tinggi, belum dimanfaatkan

Perlu Manag. Sylvofishery

Perlu Upaya Optimasi

-+

Status Bioekologi Kepiting

Analisis Sistem

Analisis Bio-Fisik

Daya dukung lingkungan Analisis HSI

Powersim Studio 2005

Pemodelan Pemanfatan Sumberdaya kepiting

Analisis Probabilistik

PEMANFATAAN KEPITING

1.Penangkapan Kepiting Dewasa 2.Budidaya Pembesaran (kepiting

muda) HIPOTESIS

Skenario Pemanfaatan SD Kepiting Bakau

Strategi Pengelolaan SD kepiting Bakau

Peraturan Pengelolaan Kawasan Konservasi Zonasi Pemanfaatan

(34)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Bioekologi Kepiting Bakau 2.1.1 Klasifikasi S. serrata

Kepiting bakau tergolong dalam kelas Crustacea, subkelas Malacostraca, ordo Decapoda, famili Portunidae dan genus Scylla (Jones & Morgan 1994). Saat ini ada empat spesies dari genus Scylla sebagaimana dikemukakan oleh Keenan (1999); yakni Scylla serrata, Scylla tranquebarica, Scylla paramamosain, dan Scylla olivacea. Pembedaan keempat spesies ini dilakukan berdasarkan pada electrophoresis allozyme, pembagian mitokondria DNA dan analisis morphometrik (Keenan 1999). Keenan et al. (1998), membuat klasifikasi genus Scylla yang berbeda dengan klasifikasi sebelumnya, dengan ciri-ciri tiap jenis seperti pada Tabel 1.

Klasifikasi ilmiah bagi spesies Scylla serrata dalam menurut Motoh (1979) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Subfilum : Mandibulata Kelas : Crustacea

subkelas : Malacostraca

Ordo : Decapoda

Subordo : Pleocyemata

Seksi : Brachyura

Famili : Portunidae

Subfamili : Portuninae

Genus : Scylla

Species : Scylla serrata (Forsskål 1775)

2.1.2Morfologi S. serrata

(35)
[image:35.612.88.522.156.684.2]

abdomen tereduksi menjadi tipis, rata dan terlipat di bawah cefalotoraks, karena itu kepiting dinamakan brachyura atau ekor pendek (Garth & Abbott 1980). Tabel 1 Karakteristik jenis kepiting bakau (Scylla spp.) menurut Keenan

et al. (1998).

No Jenis Pola poligon dan warna

Ciri morfologis/faktor pembeda

1 Scylla serrata Pola poligon dan warna

Duri pada dahi

Duri pada bagian luar cheliped

Chela dan kaki-kakinya memiliki pola poligon yang sempurna untuk kedua jenis kelamin dan pada abdomen betina. Warna bervariasi dari unggu, hijau sampai hitam kecoklatan. Tinggi, sempit, dan agak tumpul, dasar

cekungan (lembah) diantara dua duri membulat. Sepasang duri tajam pada carpus dan. dua duri tajam pada propodus di bagian tepi atas, di belakang dactilus.

2 Scylla

tranquebarica

Pola poligon dan warna

Duri pada dahi

Duri pada bagian luar cheliped

Chela dan dua pasang kaki jalan pertama berpola poligon samar-samar, serta dua pasang kaki yang lain mempunyai pola yang lebih jelas. Pola poligon bervariasi terdapat pada abdomen betina dan tidak ada pada abdomen jantan. Warna bervariasi mirip dengan S. serrata. Duri pada dahi agak tinggi, tumpul, dan lembah antara dua duri membulat.

Sepasang duri tajam pada carpus dan. dua duri tajam pada propodus di bagian tepi atas, di belakang dactilus.

3 Scylla

paramamosain

Pola poligon dan warna

Duri pada dahi

Duri pada bagian luar cheliped

Chela dan kaki-kakinya berpola poligon yang samar-samar untuk kedua jenis kelamin. Warna bervariasi dari ungu, hijau sampai coklat kehitaman tergantung habitat.

Agak tinggi, berbentuk segitiga dengan tepian yang bergaris lurus dan lembah antara dua duri berbentuk siku (2 duri tengah lebih tinggi). Pada dewasa tidak ada duri pada bagian luar carpus, tetapi dengan 1 duri tumpul kecil (pada juvenile) dan propodus mempunyai sepasang duri agak tajam berukuran sedang pada bagian tepi atas, di belakang dactylus, diikuti dengan gerigi ke arah posterior..

4 Scylla Olivaceae

Pola poligon dan warna

Duri pada dahi

Duri pada bagian luar cheliped

Chela dan kaki-kakinya tanpa pola poligon yang jelas untuk kedua jenis kelamin. Warna

bervariasi dari oranye kemerahan, coklat sampai coklat kehitaman tergantung habitat.

Rendah, membulat dengan lembah yang dangkal diantaranya.

(36)

Kepiting bakau ditutupi oleh karapas yaitu kulit yang terdiri atas khitin bercampur bahan kapur yang telah mengeras. Karapas berbentuk bulat pipih, dilengkapi dengan sembilan duri pada sisi kiri dan kanan. Empat duri yang lain terdapat diantara kedua matanya. Mempunyai sepasang kaki jalan yang bentuknya besar disebut capit yang berfungsi untuk memegang, tiga pasang kaki jalan dan sepasang kaki renang berbentuk bulat telur dan pipih seperti alat pendayung (Motoh dalamKarim 1998 ).

Untuk membedakan kepiting jantan dan betina dapat dilakukan dengan mengamati ruas-ruas abdomennya. Kepiting jantan ruas abdomennya sempit, sedangkan pada betina lebih besar. Perut kepiting betina berbentuk lonceng (stupa) sedangkan jantan berbentuk tugu. Perbedaan lain adalah pleopod yang terletak dibawah abdomen, dimana pada kepiting jantan yaitu pleopod berfungsi sebagai alat kopulasi, sedangkan pada betina sebagai tempat melekatnya telur (Moosa et al. 1985).

Ciri-ciri umum dari genus Scylla adalah memiliki karapas berbentuk menyerupai segi enam, agak bulat atau oval, ukuran chela kanan lebih panjang daripada chela kiri, pasangan kaki terakhir berbentuk pipih dan diadaptasikan untuk berenang, sisi anteroteral karapas berduri sembilan buah dengan ukuran yang hampir sama, jarak antar ruang rongga mata (orbital) luas, bagian depan

Gambar 2 Kepiting betina dan kepiting jantan. A. S. serrata betina dewasa kelamin B. S. serrata jantan moulting Foto: Phelan & Grubert (2007)

(37)

mempunyai enam buah duri, serta memiliki ruas propodus cheliped yang menggembung.

Pasangan kaki pejalan yang terakhir (pleopod V) berbentuk memipih pada ruas terakhirnya (propodus dan daktilus). Capit (pleopod I) mempunyai bagian propodus menggembung dengan permukaan yang licin (Gambar 3).

[image:37.612.136.452.321.502.2]

Selanjutnya Siahainenia (2008) yang memodifikasi dari Keenan (1998) menambahkan bahwa kriteria klasifikasi S. serrata dewasa adalah warna bervariasi dari ungu sampai hijau dan coklat kehitaman. Pola poligonal terlihat jelas pada hampir semua bagian tubuh. Duri pada bagian dahi karapas lebar, tinggi dan agak tumpul, berbentuk segitiga. Empat duri yang di tengah berukuran panjang hampir sama sehingga terlihat rata. Terdapat dua duri yang tajam pada propodus dan dua duri yang tajam pada carpus.

Gambar 3 Morfologi Scylla serrata. Foto: Pratiwi & Wijaya (2010)

Berbagai jenis krustasea hidup di mangrove menggali tanah sampai permukaan air sebagai adaptasi terhadap pasang surut perairan dan juga terhadap predator. Jenis-jenis Portunidae seperti S. serrata dapat menggali lubang hingga 5 meter keluar dari sisi tebing sungai masuk ke mangrove. Lubang yang digali bervariasi fungsinya, bergantung pada spesiesnya, yaitu sebagai tempat menghindar dari predator, tempat menampung air, sumber bahan pakan organik, sebagai rumah atau daerah teritorial dalam berpasangan dan kawin, tempat

karapas  kaki jalan I 

kaki jalan II 

kaki jalan III 

basis  ischium 

kaki renang 

daktilus 

propondus 

karpus 

merus 

(38)

pertahanan, dan tempat mengerami telur atau anaknya. Dengan adanya kaki perenang (menyerupai dayung), jenis S. serrata memiliki kemampuan berenang yang cepat yang bertujuan untuk proteksi diri dari predator dan menangkap mangsa (Kasry 1996). Pada saat larva, jenis S. serrata dan kebanyakan jenis kepiting lainnya hidup sebagai plankton, berenang-renang bebas, terbawa arus, dan setelah dewasa hidup di dasar perairan .

Kepiting bakau dewasa merupakan salah satu dari biota yang hidup pada kisaran kadar garam yang luas (euryhaline) dan memiliki kapasitas untuk menyesuaikan diri (adaptasi) yang cukup tinggi. Kepiting bakau juga memiliki kemampuan untuk bergerak dan beradaptasi pada daerah teresterial serta pada tambak yang cukup tersedia cukup pakan bagi kelangsungan hidupnya. Kemampuan tersebut berbeda dengan organisme lain, karena kepiting bakau memiliki vaskularisasi dinding ruang insang untuk memudahkan menyesuaikan diri dengan habitatnya.

2.1.3 Daur hidup Scylla serrata

Scylla serrata merupakan jenis biota yang melakukan ruaya selama daur hidupnya, sehingga pada setiap tahapan hidupnya S. serrata menempati habitat yang berbeda sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Organisme, jarang yang secara acak menyebar di sepanjang lingkungan (Condit et al.; Bertnes et al.; dalam Webley et al. 2009). Pada hewan, distribusi yang tidak acak ini dibangkitkan oleh mekanisme pilihan tempat tinggal. Kematian, merupakan salah satu mekanisme yang mungkin terjadi. Hewan yang rekruit secara acak, dan sebagian mati di tempat yang tidak nyaman, namun akan bertahan hidup di tempat lain akan menyebar secara tidak acak dan berasosiasi dengan habitat yang sesuai (Crowe & Underwood dalam Webley 2009). Pemahaman akan biologi S. serrata dan ekologi lingkungannya diperlukan agar dapat mengelola sumberdaya S. serrata dengan benar.

(39)

A B

Heasman et al. dalam Bonine et al. 2008). Sedangkan S. serrata jantan matang secara fisiologis ketika lebar karapas berukuran 90-110 mm, namun tidak cukup berhasil bersaing untuk pemijahan sebelum dewasa secara morfologis (yaitu dari ukuran capit) dengan lebar karapas 140-160 mm (Perrine; Heasman dalam Bonine et al. 2008). Scylla serrata menunjukkan sifat seksualitas dimorfisme, dimana kepiting jantan cenderung menjadi lebih berat dibanding kepiting betina pada lebar karapas yang sama (Chakrabarti dalam Bonine et al. 2008; Siahainenia 2008).

Di wilayah tropis, reproduksi S. serrata berlangsung sepanjang tahun, dengan puncaknya pada musim hujan (Le Vay 2001). Scylla serrata melangsungkan perkawinan di perairan mangrove dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting betina akan beruaya (berenang) ke laut dan memijah, sementara kepiting jantan tetap di perairan hutan bakau atau muara sungai (Hill 1975). Kasry (1996) menyatakan bahwa kepiting betina yang telah beruaya ke perairan laut akan berusaha mencari perairan yang kondisinya cocok untuk tempat melakukan pemijahan, khususnya terhadap suhu dan salinitas air laut. Peristiwa pemijahan S. serrata terjadi pada periode bulan-bulan tertentu, terutama awal tahun. Jarak yang ditempuh dalam beruaya untuk memijah tidak lebih dari satu kilometer ke arah laut menjauhi pantai.

Motoh (1979) menyatakan bahwa perkembangan kepiting bakau S. serrata mulai dari telur hingga mencapai dewasa mengalami beberapa tingkat perkembangan, yaitu: stadia zoea, stadia megalopa, stadia kepiting muda (juvenil), dan stadia kepiting dewasa.

Sekitar 12 hari setelah pemijahan, telur menetas, dan melalui fase larva yang disebut dengan zoea, yaitu sebagai larva tingkat I (Zoea I) dan terus menerus berganti kulit, sambil terbawa arus perairan pantai, hingga mencapai Zoea V. Proses ini memerlukan waktu minimal 18 hari (Warner 1977).Kemudian berganti kulit menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa kecuali masih memiliki bagian ekor yang panjang. Tahap megalopa berlangsung antara 7-9 hari (Phelan & Grubert 2007).

(40)

muara sungai, kemudian ke perairan berhutan bakau untuk kembali melangsungkan perkawinan (Gambar 4). Secara ringkas siklus hidup kepiting bakau S. serrata menurut Afrianto & Liviawaty (1993) dapat digambarkan dalam diagram sebagai berikut:

Pembuahan Telur Larva Zoea

Kepiting Kepiting Megalopa

[image:40.612.164.460.178.242.2]

dewasa muda

Gambar 4 Diagram siklus hidup kepiting bakau.

Untuk menjadi kepiting dewasa, zoea membutuhkan pergantian kulit kurang lebih sebanyak 20 kali. Proses pergantian kulit pada zoea berlangsung relatif cepat, yaitu sekitar 3-4 hari tergantung pada kemampuan tubuhnya. Pergantian kulit tersebut juga tergantung pada faktor umur, pakan dan habitat. Pada tingkat zoea terjadi ± 5 kali pergantian kulit untuk menjadi megalopa (Afrianto & Liviawaty 1993).

Setelah megalopa berganti kulit, maka kepiting akan memasuki fase kepiting muda. Kepiting betina muda sudah dapat melangsungkan perkawinan pada tingkat kepiting muda ke-16 (setelah 16 kali berganti kulit dalam fase kepiting muda). Umur kepiting diperkirakan 1 tahun dengan lebar karapas lebih kurang 99 mm (Phelan & Grubert 2007).

2.1.4 Karakter dewasa kelamin

(41)

proses kopulasi dapat berlangsung serta mampu melakukan proses kopulasi dengan cara memasukkan pleopodnya ke bukaan kelamin dan mentransfer spermatophore (kantong berisi sperma) ke dalam wadah sperma (spermatheca) yang terdapat pada tubuh kepiting bakau betina. Ketika mencapai tingkat dewasa kelamin kepiting bakau betina telah siap melepaskan traktan kimiawi (pheromon) untuk menarik perhatian jantan juga telah siap menerima sperma untuk kemudian disimpannya di dalam spermatheca, serta menghasilkan telur-telur untuk dipijahkan, dibuahi dan ditetaskan. Jadi ketika kepiting bakau mencapai tingkat dewasa kelamin, semua organ yang berkaitan dan mendukung urutan aktifitas reproduksi harus telah siap untuk digunakan, dengan demikian akan terjadi perubahan morfologi tubuh yang menyertai perkembangan kepiting bakau ke arah tingkat dewasa kelamin.

Tutup abdomen kepiting bakau jantan dewasa kelamin mudah dibuka sebaliknya tutup abdomen pada kepiting bakau jantan pradewasa kelamin sulit dibuka. Hal ini disebabkan karena tutup abdomen kepiting bakau jantan dewasa kelamin dihubungkan pada thorachic sternum melalui sepasang otot yang lentur sebaliknya tutup abdomen pada kepiting bakau jantan pradewasa kelamin menempel sangat rapat pada thorachic sternum melalui sepasang pengait yang terdapat pada ruas dada (thorachic) ke-enam. Selain itu ada thorachic sternum dari kepiting bakau jantan dewasa kelamin terutama pada bagian ujung atas terlihat adanya pigmentasi yang kuat yang membentuk warna kuning kecoklatan sebaliknya pada jantan pradewasa kelamin pigmentasi pada bagian ujung atas thorachic sternum belum nampak sehingga terlihat bersih.

(42)

kepiting bakau jantan dewasa kelamin untuk bertarung dengan jantan lainnya dalam upaya mempertahankan wilayah kawin (matting teritory), mempertahankan dirinya sendiri serta melindungi dan mempertahankan betina yang menjadi pasangan kawinnya, mengingat menjelang kopulasi kepiting bakau betina melakukan pergantian kulit (moulting) sehingga bertubuh lunak dan sangat rentan terhadap serangan atau bahkan pemangsaan dari kepiting bakau lainnya.

Selain itu terdapat juga tanda-tanda khusus pada bagian tubuh kepiting bakau jantan yang dapat menjadi karakter pembeda tingkat dewasa kelamin, seperti adanya goresan atau pengikisan selaput kulit terutama pada bagian posterior chela dan pada bagian ventral tubuh serta adanya parutan bekas luka pada permukaan tubuh terutama pada kaki-kaki jalan yang mengindikasikan suksesnya kepiting bakau jantan melakukan kopulasi, yang secara otomatis berarti kepiting bakau tersebut telah mencapai tingkat dewasa kelamin. Goresan atau pengikisan selaput kulit terjadi karena selama masa "doublers" kepiting jantan mengepit kepiting bakau betina dengan posisi betina berada dibawah abdomennya dan karena proses ini berlangsung cukup lama sehingga terjadi pergesekan tubuh kepiting bakau tersebut. Tanda-tanda luka dapat disebabkan karena terjadi pertarungan dengan jantan lainnya dalam upaya mempertahankan wilayah kawin maupun karena upaya melindungi kepiting bakau betina selama berada dalam kondisi kulit tubuh yang lunak akibat moulting dari serangan maupun pemangsaan kepiting bakau lain (Siahainenia 2008).

(43)

umumnya menempel sangat rapat pada thorachic sternum melalui sepasang pengait yang terdapat pada ruas dada ke-enam. Oleh karena itu tutup abdomen kepiting bakau betina dewasa kelamin lebih mudah dibuka, sebaliknya tutup abdomen pada kepiting bakau betina pradewasa kelamin sulit dibuka.

Bila tutup abdomen dibuka akan nampak empat pasang pleopod yang merupakan tempat menempelnya masa telur setelah dikeluarkan dari tubuh melalui proses pemijahan, sehingga pleopod pada kepiting bakau betina juga pelengkap organ kelamin yaitu sebagai organ inkubasi telur. Bentuk pleopod pada kepiting bakau betina juga dapat menjadi salah satu karakter pembeda tingkat dewasa kelamin. Pada pleopod kepiting bakau betina kelamin terdapat rambut-rambut yang lebih panjang, banyak dan rapat, sedangkan pada kepiting bakau betina pradewasa kelamin rambut-rambut pleopod pendek dan jarang.

Pada thorachic sternum kepiting bakau betina terdapat sepasang bukaan kelamin (Oviduct Openings) atau yang juga disebut gonophores yang merupakan corong saluran keluarnya telur ketika memijah. Lewat corong ini juga bakau jantan mentransfer spermathophore berisi sperma melalui pleopod-nya ke dalam spermatheca pada tubuh kepiting bakau betina. Pada kepiting bakau betina dewasa kelamin pasangan bukaan kelamin nampak besar terbuka, berbentuk lingkaran oval yang dibatasi oleh selaput yang lembut. Pada kepiting bakau betina pradewasa kelamin pasangan bukaan kelamin terlihat tertutup, membentuk celah sempit dan dibatasi oleh selaput lembut yang menonjol.

(44)

2.1.5 Kepiting bakau sebagai hewan air (kehalalan kepiting bakau)

Konsumsi kepiting bakau pada masyarakat di Indonesia belum se-populer krustasea yang lain, seperti udang. Hal ini diduga terjadi karena sampai saat ini, sebagian masyarakat masih banyak yang meragukan kehalalan kepiting, terutama jenis kepiting bakau, sebagai bahan makanan. Keraguan ini disebabkan perilaku kepiting bakau yang mampu bertahan hidup lebih lama dibandingkan hewan air lainnya, dalam kondisi tidak ada air, sehingga kepiting bakau sering dianggap sebagai hewan yang hidup di dua alam, seperti halnya katak/kodok. Pemahaman ini sedikit banyak berimbas pada rendahnya tingkat permintaan kepiting di negara-negara muslim, utamanya di Indonesia sendiri.

Namun yang sebenarnya, berdasarkan ketetapan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang ditetapkan/difatwakan pada tanggal 15 Juli 2002, kepiting dinyatakan halal untuk dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia. Rapat Komisi Fatwa MUI menyampaikan, ada empat jenis kepiting bakau yang sering dikonsumsi dan menjadi komoditas yaitu, Scylla serrata, Scylla tranquebarrica, Scylla olivacea, dan Scylla paramamosain. Keempat jenis kepiting bakau ini oleh masyarakat umum hanya disebut dengan 'kepiting' saja.

Kepiting ini disebut binatang air dengan alasan; a) bernafas dengan insang; b) berhabitat di air; c) tidak akan pernah mengeluarkan telur di darat melainkan di air karena memerlukan oksigen dari air.

Kepiting termasuk keempat jenis diatas tidak ada yang hidup atau berhabitat di dua alam: di laut dan di darat. Jadi, rapat Komisi Fatwa MUI dalam hal kepiting menyatakan adalah jelas bahwa kepiting, adalah binatang air baik di air laut maupun di air tawar dan bukan binatang yang hidup atau berhabitat di dua alam.

(45)

bagian dalam karapas di sebelah posterior. Ujung depan masing-masing insang menyempit dan dibelakangnya terletak suatu ruang pompa kecil melindungi skapognatit. Di dalam ruang pernafasan juga terletak maksiliped-maksiliped dan epipod, maksiliped II dan III membersihkan permukaan ventral insang-insang. Sedangkan epipod maksiliped I yang panjang menyapu permukaan dorsal insang. Arus pernafasan masuk ke ruang pernafasan melalui celah-celah yang berambut antara kaki-jalan dan ujung bawah dari atap insang. Lubang atau pintu terbesar milne-edwards terletak di basis capit. Setelah air melalui insang lalu menuju ruang di bawah insang. Pertukaran gas terjadi saat arus melewati masing-masing insang. Hal ini dilakukan oleh sistem arus yang teratur, dengan sistem ini darah mengalir di dalam insang dari arah yang berlawanan dengan aliran air diantara lamela-lamela (ada 9 insang). Dalam masing-masing ruang pernafasan, arus air mengalir ke ruang pompa. Dari ruang skapognatit air dikeluarkan melalui lubang pengeluaran. Lubang pengeluaran terletak di kedua sisi epistoma tepat di bawah mulut (Warner 1977).

Kepiting bakau dewasa merupakan salah satu dari biota yang hidup pada kisaran kadar garam yang luas (euryhaline) dan memiliki kapasitas untuk menyesuaikan diri (adaptasi) yang cukup tinggi. Selain itu kepiting bakau memiliki alat gerak berupa kaki jalan dan kaki renang, sehingga mampu untuk bergerak dan beradaptasi pada daerah teresterial yang cukup menyediakan pakan bagi kelangsungan hidupnya.

2.2 Ekologi Habitat Mangrove

(46)

besar dan arus pasang surut yang kuat; e) Air bersalinitas payau (2-22 permil) hingga asin (mencapai 38 permil) (Bengen 2000).

Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berdasarkan adaptasinya terhadap salinitas, tumbuhan dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu halophyta, yang tumbuh dan seluruh fase hidupnya berada dalam habitat yang memiliki salinitas tinggi, dan non-halophyta, yang hidup pada habitat non-salin. Mangrove bersifat fakultatif halophyta,

Gambar

Tabel 1 Karakteristik jenis kepiting bakau (Scylla spp.) menurut Keenanet al. (1998).
Gambar 3 Morfologi Scylla serrata.Foto: Pratiwi & Wijaya (2010)
Gambar 4 Diagram siklus hidup kepiting bakau.
Gambar 5  Tahapan dalam menyusun HSI (AED 2008).
+7

Referensi

Dokumen terkait

pengendalian internal pada penggajian yang diterapkan oleh PT Perkebunan Nusantara III (Persero) Medan dalam melaksanakan setiap proses transaksi pembayaran gaji

Laris Manis Utama Manado sudah cukup baik dan dapat dipakai sebagai alat bantu untuk pengendalian biaya gaji karena dalam proses penggajian, perusahaan melibatkan berbagai fungsi

Tabel 1 menunjukkan bahwa sikap responden yang kurang baik, lebih banyak memiliki kebiasaan sebesar 58,07%, karena kebiasaan merokok responden yang dipengaruhi

Oleh karena itu, hasil pengukuran kecepatan arus pada perairan Sei Carang yang memiliki kisaran sebesar 0,1 m/s sampai 0,26 m/s dapat disimpulkan juga terdapat

Berdasarkan gambar 3.1 didapat nilai R Square sebesar 0,754 yang berarti bahwa kontribusi yang diberikan oleh Nilai Ekspor terhadap Pertumbuhan Ekonomi sebesar 75,4% dan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 50 orang responden yang dijadikan sampel setelah penyebaran angket yang berjumlah 51 item menunjukkan terdapat peningkatan sebelum dan

Untuk itu penulis ingin merancang sebuah sistem inventori barang atau tempat penyimpanan barang yang bertujuan untuk berikan data yang akurat dan terpercaya serta

Sesuai dengan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa di Posyandu Lansia di RW I Pagesangan Surabaya di dapatkan bahwa sebanyak 22 lansia (36,7%) mengalami de- presi ringan dan