1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ihya' al-mawat secara logat artinya menghidupkan tanah-tanah yang
terlantar dalam arti menyuburkannya dan menanaminya dengan tumbuhtumbuhan yang berharga. Tanah yang dihidupkan oleh seseorang berarti
menjadi milik orang yang menghidupkan tanah itu.1 Kalimat atau kata Ihya' al-mawat terdiri dari dua kata yakni Ihya’ yang berarti menghidupkan dan almawat yang berarti sesuatu yang mati. Yang di maksudkan dengan kata
al-Mawat itu adalah bumi/tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkannya.2 Sehubungan dengan itu terdapat beberapa rumusan tentang ihya al-mawat di antaranya: Imam Taqi al-Din Abu Bakar Ibn
Muhammad al-Husaini dalam kitabnya mengatakan: tanah mati adalah tanah yang belum dimakmurkan sama sekali.3
Menurut Syekh Muhammad ibn Qasim al-Gazzi, bahwa yang
dimaksud bumi mati sebagai mana pendapat imam Rafi’i tersebut dalam Sarh Syaghir yaitu bumi yang tidak ada pemiliknya dan belum ada seorang pun
1 Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia, Cet. 5, Jakarta: UI Press, 1990, hlm. 306.
2 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 267 .
3Imam Taqiyuddin Abubakar ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifayat Al Akhyar Fii Halli Ghayat al-Ikhtishar, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, 315
2
yang mengambil manfaat bumi tersebut.4
yang telah berubah menjadi tanah kosong karena ditinggalkan penggarapnya sehingga tidak terurus boleh digarap orang lain. Alasannya berdasarkan keumuman hadits yang menyatakan “siapa yang mengolah sebidang tanah atau lahan kosong maka lahan tersebut menjadi miliknya.5 Sebagaimana sabda Nabi SAW:
نلا نع هنع هللا يضر ديز نبديعس نعو نم لاقو ملسو هيلع هللا ىلص ىب ماضرأايحألسرم يور لاقو ىذمرتلا هنسحو ةثلثلا هاور هل يهف ةتي :
: : : .
هللادبع ليقو ةشئاع ليقورباج ليقف هيباحص ىف فلتخاو لاقامك وهو لاو رمع نب لاا حجار 6لو
Artinya: Dari Said bin Zaid ra dari Nabi SAW belia bersabda: barang siapa menghidupkan tanah mati, ia menjadi
4Syekh Muhammad ibn Qasyim Ghazzi, Fath Qarib Mujib, Dar Ihya al-Kitab, al-Arabiah, Indonesia, tth, hlm. 305
5Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997, hlm. 657-658.
6Al-Hafidz ibn Hajar al-Asqalani, Bulug al-Marram Fi Adillah al-Ahkam, Beirut Libanon: Daar al-Kutub al-Ijtimaiyah, tth, hlm.189
3
miliknya. Riwayat tiga Imam, dan hadits Hasan menurut Tirmidzi. Dan ia berkata: sebagian riwayat hadits
tersebut murshal, dan memang demikian. Sahabat yang meriwayatkan masih berbeda pendapat. Ada yang mengatakan Jabir, ada yang mengatakan Aisyah dan ada yang mengatakan Abdullah bin Umar, dan yang terkuat adalah yang pertama.
Adapun tentang persyaratan harus ada izin dari pemerintah, maka Sayyid Sabiq dalam kitabnya mengungkapkan:
pemerintah memberikan haknya jika ia mengadukan persoalan pada waktu terjadi perselisihan. Berdalil kepada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Said bin Zaid, bahwa Nabi SAW. bersabda: “Siapa yang menyuburkan tanah tandus, maka tanah itu menjadi miliknya.” Abu Hanifah berpendapat: penyuburan tanah tandus memang menjadi sebab pemilikan (tanah), hanya disyaratkan
mendapatkan izin dari pemerintah (Imam) dan pengakuannya. Sedang Imam Malik membedakan antara tanah yang dekat dengan
perkampungan dengan tanah yang jauh dari padanya. Jika tanah itu berdekatan, maka harus dengan izin pemerintah. Sedangkan jika jauh, maka tidak disyaratkan adanya izin, dia otomatis menjadi milik orang yang menyuburkannya. 7
Imam Syafi’i dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada syarat izin imam bagi ihya al-mawat. Barang siapa mensyaratkan adanya izin imam dalam hal ihya al-mawat, maka baginya berarti menentang hadits sahih. Masalahnya, apa yang menjadi ukuran bagi Imam Syafi’i mengatakan demikian, dan ini berarti berhubungan dengan soal penggunaan metode istinbath.
7Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 3, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tt, hlm.201-202 4
Berdasarkan uraian di atas mendorong peneliti mengangkat judul ini dengan tema: Izin Untuk Membuka Tanah Mati (Studi Analisis Pendapat Imam Syafi’i Tentang Izin Membuka Tanah Mati)
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah:
1. Bagaimana pendapat Imam Syafi’i tentang izin membuka tanah mati? 2. Bagaimana metode istinbath hukum Imam Syafi’i tentang izin membuka tanah mati?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui pendapat Imam Syafi’i tentang izin membuka tanah mati.
tentang izin membuka tanah mati D. Tinjauan Pustaka
Setelah melakukan penelitian di perpustakaan Fakultas Syari’ah
didapatkan adanya skripsi yang membahas tentang izin membuka tanah mati yaitu:
Skripsi yang disusun oleh Amran Abbas, berjudul “Hak membuka tanah dan kepemilikannya dalam perspektif hukum agraria nasional dan 5
hukum Islam {sebuah studi komparasi}” Penyusun skripsi itu memberi kesimpulan sebagai berikut:
Secara esensial konsepsi hukum agraria nasional dan hukum
Islam tentang hak membuka tanah tidak memiliki perbedaan, hanya saja pada dataran praktis terlihat beberapa perbedaan. Hukum agraria nasional mengatur secara jelas batas luas minimum, dan maksimum pemilikan dan penguasaan tanah oleh satu keluarga yakni antara 2 (dua) hingga 20 ( dua puluh) hektar, sedangkan hukum Islam tidak mengatur sedetail itu. Adapun dalam hal pembukaan tanah, hukum Islam menegaskan bahwa si pembuka tanah secara otomatis memiliki tanah tersebut, sebaliknya hukum agraria nasional tidak demikian halnya. Tentang penetapan jangka waktu tanah yang diterlantarkan untuk kemudian hapus hak pemilikannya, hukum Islam menetapkan masanya selama tiga tahun, sedangkan hukum agraria nasional tidak menetapkannya secara tegas
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan, skripsi yang disusun oleh Amran Abbas lebih memusatkan analisisnya terhadap Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Adapun skripsi yang peneliti susun lebih memfokuskan perhatian pada pendapat Imam Syafi’i, meskipun disadari bahwa dalam bagian-bagian tertentu ada konteksnya dengan UUPA No 5 Tahun 1960. Oleh karena itu sangat terhindar dan jauh dari
kemungkinan upaya penjiplakan atau plagiat baik secara langsung maupun tidak langsung.
6
E. Metode Penelitian
mengumpulkan data itu.8 Maka dalam hal ini peneliti menggunakan metode sebagai berikut :
1. Sumber Data
a. Data primer, yaitu kitab-kitab karangan Imam Syafi’i: al-Umm, Juz 3, Dar al-Kutub Ijtima’iayah, Beirut Libanon, tt, al-Risalah, Dar al-Fikr, Beirut, tt.
b. Data sekunder, yaitu: 1) Kitab Fath al-Mu’in bi Syarh Qurah al-Ain (Kitab Fiqih), oleh Zaenuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (W. 982 H); 2) Fath Qarib Mujib oleh Syekh Muhammad Ibn Qasim Ghazy. 3) Kifayah Akhyar fi Ghayah Ikhtishar, oleh Taqi al-Din Abu Bakr Muhammad al-Husaini. 4) Bulug al-Maram oleh Al-Hafidz Ibn Hajar Asqalani. 5) Nail Autar Min Asrari Muntaqa al-Akhbar oleh al-Imam Alamah Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad as-Syaukani 6) Subul al-Salam Sarh Bulugh al-Maram Min Jami Adillati Ahkam oleh San’ani. 7) Bidayah Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid oleh Al-Faqih Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Rusyd. 8) Kitab al-Fiqh ‘ala-Madzahib al-Arba’ah
8Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet. 12,
Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002, hlm. 194. Cf. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Telaah Positivistik Rasionalistik, Phenomenologik Realisme Metaphisik, Cet. 4, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1992, hlm. 15. Moh. Nazir, Metode Penelitian, Cet 4, Ghalia Indonesia, 1985, hlm. 51.
7
oleh Abd al-Rahman al-Jaziry. dan kepustakaan lain yang relevan dengan judul skripsi di atas baik langsung maupun tidak langsung. 2. Teknik Pengumpulan Data
hermeneutika sering dipersempit menjadi penafsiran teks tertulis yang berasal dari lingkungan sosial dan historis yang berbeda dari lingkungan dunia pembaca. Dengan demikian hermeneutika mengarahkan agar teks yang sedang dipelajari mempunyai arti sekarang dan di sini, sehingga teks tersebut mengarah secara terbuka menuju yang sekarang dan di sini.10 3. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses menyusun data agar data tersebut dapat ditafsirkan.11 Dalam hal ini peneliti menggunakan analisis data kualitatif. Yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara
9 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Cet. 11, PT. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, hlm.84.
10 Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah Implikasinya Pada Perkembangan Hukum Islam, Semarang: Aneka Ilmu, 2000, hlm. 140-141.
11 H. Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000, hlm. 102.
8
langsung.12 Sebagai pendekatannya, peneliti menggunakan metode deskriptif. Penyelidikan deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang dihubungkan dengan apa yang ada pada masa sekarang.13
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masingmasing mencerminkan hubungan yang erat dan saling menunjang guna
memperjelas dan memudahkan analisis yang diaplikasikan dalam bab keempat.
Bab pertama berisi Pendahuluan meliputi: Latar Belakang Masalah;
Rumusan Masalah; Tujuan Penelitian; Kegunaan Penelitian, Telaah Pustaka; Metode Penelitian; Sistematika Penulisan.
Bab kedua merupakan tinjauan umum hak membuka tanah mati yang meliputi: pengertian hak membuka tanah mati, dasar hukum hak membuka tanah mati, syarat-syarat membuka tanah mati, pembatasan luas pemilikan dan penguasaan tanah mati dan berakhirnya membuka tanah mati.
Bab ketiga memuat pemikiran Imam Syafi’i tentang izin untuk
tentang izin untuk membuka tanah mati.
12 Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Cet. 3, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 134.
13 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metoda Teknik, Bandung: Tarsito 1989, hlm. 139.
9
Bab keempat merupakan analisis terhadap pemikiran Imam Syafi’i
tentang izin membuka tanah mati meliputi: analisis terhadap pendapat Imam Syafi’i tentang izin membuka tanah mati, dan analisis terhadap metode istimbath Imam Syafi’i.