• Tidak ada hasil yang ditemukan

Induksi Pembentukan Gubal Gaharu dengan Perlakuan Frekuensi Injeksi Inokulum pada Tiga Bagian Batang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Induksi Pembentukan Gubal Gaharu dengan Perlakuan Frekuensi Injeksi Inokulum pada Tiga Bagian Batang"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, G. N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Penerjemah: Munzir Busnia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Badan Standarisasi Nasional. 2011. Standar Nasional Indonesia. Gaharu. SNI 7631:2011. Jakarta.

Brooks, G. F., J. S. Butel dan S. A. Morse. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Pertama. Salemba Medika. Jakarta

Budi, S. W., Santoso, E., Wahyudi, A. (2010). Identifikasi Jenis-Jenis Fungi yang Potensial Terhadap Pembentukan Gaharu dari Batang Aquilaria spp.

Jurnal Silvikultur Tropika Vol. 1, No.1. pp 1-5.

Gandjar, I., R. A Samson., K. T. Vermenten., A. Oetani dan I. Santoso. 1999. Pengenalan Kapang Troik Umum. Yayasan Obor Indonesia. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Mucharromah. 2008. Hipotesa Mekanisme Pembentukan Gubal Gaharu. Makalah Seminar Nasional Pe-ngembangan Produksi Gaharu Provinsi Bengkulu untuk Mendukung Peningkatan Ekspor Gaharu Indonesia. FAPERTA UNIB, Bengkulu, Indonesia, 12 Agustus 2008.

Mucharromah. 2010. Pengembangan Gaharu di Bengkulu, Sumatera. FAPERTA UNIB, Bengkulu, Indonesia, 12 Maret 2010.

Novriyanti, E. 2008. Peranan Zat Ekstraktif dalam Pembentukan Gaharu pada Aquilaria crassna dan Aquilaria microcarpa. Thesis Pascasarjana IPB (Tidak diterbitkan).

Rukmana, R dan S. Saputra. 1997. Penyakit Tanaman Dan Teknik Pengendalian. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Simanjuntak, B. 2009. Uji Infektifitas Fusarium sp. Pada Tiga Kelas Umur dan Letak Titik Infeksi pada Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) Universitas Sumatera Utara. Medan

Simorangkir, B.D.A.S dan F.X.Dwisusanto. 2000. Riap Gaharu (Aquilaria malacencis Lamk) Pada Lebar Jalur Tanam yang Berbeda di Hutan Koleksi Universitas Mulawarman Lempake. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

(2)

Sumarna, Y. 2007. Budidaya dan Rekayasa Produksi Gaharu. Temu Pakar Pengembangan Gaharu. Direktorat Jenderal RLPS. Jakarta.

Suwadiwangsa, S dan Zulnely. 1999. Catatan Mengenai Gaharu Di Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Barat. Info Hasil Hutan Badan Penelitian Kehutanan dan Perkebunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

Tarigan, K. 2004. Profil Pengusahaan (Budidaya) Gaharu. Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

(3)

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan pertanaman gaharu milik Bapak

Petro Sembiring di Kecamatan Medan Tuntungan, Kota Medan, Provinsi

Sumatera Utara dan di Laboratorium Biotekhnologi Hutan, Program Studi

Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Waktu penelitian

dilaksanakan pada Mei 2013 – Desember 2013.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pohon

A. malaccensis Lamk yang berusia 4,5 tahun, inokulum Fusarium sp, aquades, media PDA, ekstrak kentang, alkohol 70%. Sedangkan alat – alat yang digunakan

adalah botol, botol semprot, cawan petri, beaker glass, plastic warp, gelas ukur,

bunsen, jarum ose, mikroskop, bor kayu dan mata bor ukuran 8 mm, genset,

kabel panjang 12 m, spidol, kapas, jarum suntik, ranting kayu, pita ukur.

Metode Penelitian

Pembuatan Inokulum Cair

1. Diambil potongan gaharu dari batang tanaman A. malaccensis Lamk. yang

sudah terinfeksi. Batang yang terinfeksi ditandai dengan adanya perubahan

warna kayu menjadi merah hingga coklat – kehitaman. Dan jika dibakar

mengeluarkan aroma yang harum.

2. Kemudian potongan gaharu di murnikan dengan media PDA selama tujuh

(4)

3. Setelah tujuh hari, fungi yang telah tumbuh pada media PDA tersebut di

identifikasi dengan mikroskop. Jika sudah terdapat Fusarium sp dengan kondisi yang baik, maka fungi tersebut dapat dipindahkan ke inokulum cair.

Inokulum cair terbuat dari ekstrak kentang.

4. Kemudian Fusarium sp ditumbuhkan kembali selama tujuh hari di dalam inokulum cair tersebut.

5. Setelah tujuh hari, kembali diamati dengan menggunakan mikroskop untuk

memastikan fungi Fusarium sp tumbuh baik dalam inokulum cair.

6. Setelah di peroleh Fusarium sp yang tumbuh baik, isolat cair tersebut dapat

dibawa kelapangan untuk diinjeksikan terhadap tanaman

A. mallaccensis Lamk.

Perlakuan dengan Perbedaan Frekuensi Injeksi dan Pembagian Batang

1. Dilakukan inventarisasi pohon, dengan mengukur tinggi dan diameter supaya

di peroleh pohon yang sesuai kriteria dengan syarat pohon yang dapat di

injeksi. Pohon yang dapat di injeksi adalah pohon yang memiliki diameter

minimal 10 cm. Untuk penelitian ini, di pilih pohon yang diameternya 10 - 12

cm.

2. Pohon dibagi menjadi tiga bagian (bagian bawah, tengah dan atas).

Pembagiannya dilakukan dengan cara mengukur tinggi bebas cabang pohon

(TBC), lalu dibagi menjadi tiga bagian untuk bagian bawah, tengah dan atas.

3. Pohon kemudian diberi tanda di lapisan kulitnya dengan spidol untuk

menentukan bidang pengeboran. Titik pengeboran terbawah 20 cm dari

permukaan tanah. Buat lagi titik pengeboran di atasnya dengan menggeser ke

(5)

beberapa titik berikutnya hingga dihubungkan membentuk garis spiral (5 titik

pohon bagian atas, 5 titik bagian tengah dan 5 titik bagian bawah).

4. Titik – titik yang sudah ditandai tadi kemudian di lubangi masing - masing

sedalam 7.5 cm dengan menggunakan bor listrik.

5. Kemudian permukaan lubang dibersihkan dengan kapas yang dibasuh alkohol

70% untuk mencegah infeksi mikroba lain, tangan peneliti juga harus di

bersihkan dengan air bersih dan alkohol supaya benar – benar steril.

6. Setelah tangan dan lubang sudah steril, inokulum kemudian dimasukkan ke

dalam pohon dengan berbeda periode injeksi, satu perlakuan disuntik sekali

saja, satu perlakuan disuntik sebanyak dua kali dan satu perlakuan lagi

disuntik sebanyak tiga kali. Penyuntikan dilakukan dengan rentang waktu tiap

satu minggu. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan

frekuensi injeksi inokulum terhadap efektifitas inokulasi.

7. Lubang – lubang yang sudah terisi penuh oleh inokulum kemudian ditutup

dengan ranting agar tak ada kontaminasi.

8. Pengamatan dilakukan dua minggu sekali selama empat belas minggu untuk

melihat keberhasilan inokulasi.

9. Setelah empat belas minggu pengamatan, dilakukan kegiatan reisolasi untuk

(6)

Lubang injeksi Batang atas

Batang tengah

Batang bawah

20 cm

Permukaan tanah Gambar 1. Sketsa pelubangan pada batang pohon

Parameter Pengamatan a. Persentase Infeksi

Persentase infeksi berguna untuk menunjukkan berapa persen keberhasilan

injeksi yang dilakukan dalam tiap perlakuan. Diamati setelah lubang terinfeksi.

Tanda – tanda tanaman yang terinfeksi yaitu, pada lubang infeksi terlihat

kecoklatan sampai menghitam dan sekitar lubang infeksi terlihat perubahan warna

pada batang yaitu menjadi kecoklatan. Berikut adalah rumus menghitung jumlah

lubang yang terinfeksi.

∑ Lubang injeksi yang terinfeksi

% infeksi (X) = x 100%

(7)

b. Masa Inkubasi

Masa inkubasi merupakan waktu antara permulaan infeksi dengan

timbulnya gejala yang pertama. Parameter ini menunjukkan kapan tepatnya

lubang – lubang injeksi mulai terinfeksi dan bagaimana gejala yang dihasilkan.

Pengamatannya dilakukan tiap dua minggu sekali. Sehingga data yang didapat

lebih akurat.

c. Perkembangan Infeksi

Perkembangan infeksi dihitung dengan cara mengukur perkembangan

gejala pada titik – titik yang terinfeksi dengan menggunakan penggaris.

Penyebaran infeksi dapat dilihat dari tanda – tanda sekitar lubang injeksi, akan

terlihat perubahan warna mulai dari kecoklatan sampai kehitaman.

d.Kualitas infeksi

Kualitas diukur dengan melihat perubahan warna disekitar lubang injeksi dan keharumannya. Pengukuran warnanya di lihat dengan perubahan warna yang

dihasilkan dari penginjeksian batang tanaman A. malaccensis Lamk. Sedangkan

untuk penilaian tingkat keharumannya dilakukan dengan metode scoring. 1. Tidak harum, 2. Agak harum, 3. Sedang, 4. Kuat, 5. Sangat kuat. Penilaian di lakukan

oleh 10 orang responden. Tingkat keharumannya dibandingkan dengan gaharu

kualitas kemedangan dengan skor 3.

e. Reisolasi Fusarium sp

Reisolasi merupakan kegiatan yang mengamati kembali gubal gaharu yang

dihasilkan, yang bertujuan untuk melihat fungi pembentuk gubal gaharu tersebut

memang fungi yang digunakan pada isolat cair yang sudah di injeksikan ke pohon

(8)

dihasilkan pada media PDA selama tujuh hari. Lalu di lakukan proses identifikasi

dengan mikroskop. Hasilnya kemudian di dokumentasikan, lalu di bandingkan

dengan gambar fungi pada inokulum cair yang telah digunakan sebelumnya.

Analisis Data

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak

Lengkap faktorial. Model matematis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

Yijk = µ + Ai + Bj + ABij + єijk

Keterangan

µ : Rataan Umum

Faktor A : Jumlah frekuensi Injeksi Faktor B : bagian batang

i : 1, 2, 3.

j : 1, 2, 3

Ai : Pengaruh frekuensi injeksi pada taraf ke-i Bj : Pengaruh bagian batang pada taraf ke-j

Abij : Interaksi antara frekuensi injeksi dengan bagian batang

Єijk : Pengaruh galat frekuensi injeksi taraf ke-i, bagian batang taraf ke-j dan ulangan ke-k

(9)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase Infeksi

Parameter ini merupakan cara yang digunakan untuk melihat berapa

banyak lubang injeksi yang mampu diinfeksi oleh Fusarium sp. Setiap perlakuan

terdapat 75 lubang injeksi (15 lubang injeksi tiap pohon, dengan lima ulangan).

Lubang yang terinfeksi dapat dilihat dari perubahan warna yang terjadi di sekitar

lubang injeksi. Lubang yang terinfeksi akan menunjukkan gejala seperti

perubahan warna, batang menjadi kering dan mengeluarkan aroma.

Tabel 2. Persentase infeksi

1x Injeksi 2x Injeksi 3x Injeksi

3

Setelah di lakukan 15 minggu pengamatan, tampak perbedaan besarnya

jumlah persentase infeksi dari tiap faktor perlakuan yang dilakukan. Untuk

perlakuan dengan satu kali injeksi: batang bagian bawah 76%, batang bagian

(10)

injeksi : batang bagian bawah 84%, bagian bagian tengah 100% dan batang

bagian atas 96%. Sedangkan untuk perlakuan dengan tiga kali injeksi : batang

bagian bawah 100%, batang bagian tengah 100% dan batang bagian atas 100%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa batang bagian tengah merupakan

bagian batang yang paling baik. Ini di tunjukkan dari tiga perlakuan yang telah

dilakukan, perlakuan dengan tiga kali injeksi menghasilkan persentase 100%

untuk batang bagian bawah, tengah dan atas. Hal tersebut kemungkinan besar

diduga karena batang bagian tengah merupakan batang yang cukup matang,

sehingga Fusarium sp lebih dapat menginfeksi pada bagian tersebut. Sedangkan batang bawah merupakan batang yang tua dan batang atas merupakan batang

muda tempat jaringan meristematik yang berfungsi untuk pertumbuhan pohon.

Sehingga perlawanan terhadap patogen (Fusarium sp) lebih kuat dibagian tersebut.

(a) (b)

Gambar 2. Batang pohon A.malaccensis Lamk.

(a) Tidak terinfeksi (b) Terinfeksi

Terdapat sebagian lubang injeksi yang tidak terinfeksi oleh Fusarium sp. hal ini mungkin di sebabkan pada bagian tersebut, pohon A. malaccensis Lamk.

(11)

mikroorganisme asing yang masuk ke dalam tubuhnya, terutama mikroorganisme

yang bersifat patogen seperti Fusarium sp. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yunasfi (2002) yang menyatakan ketahanan pohon terhadap patogen dapat terjadi

karena kemampuan pohon untuk membentuk struktur-struktur tertentu yang tidak

menguntungkan perkembangan patogen pada pohon tersebut, seperti kurangnya

jumlah stomata per satuan luas daun, pembentukan lapisan kutikula yang tebal,

pembentukan jaringan dengan sel-sel yang berdinding gabus tebal segera setelah

patogen memasuki jaringan tanaman atau produksi bahan-bahan toksik di dalam

jaringan yang cukup banyak sebelum atau sesudah patogen memasuki jaringan

tanaman, sehingga patogen mati sebelum dapat berkembang lebih lanjut dan gagal

menyebabkan penyakit pada pohon.

Semakin banyak frekuensi injeksi yang dilakukan terhadap pohon

A. malaccensis Lamk. maka persentase terjadinya infeksi semakin baik. Hal ini di sebabkan kemampuan Fusarium sp untuk menginfeksi batang yang semakin baik apabila dilakukan injeksi yang berulang. Karena dengan di lakukannya

injeksi lebih dari sekali, maka akan terjadi perbaikan infeksi. Yang kemungkinan

awal hanya terinfeksi sedikit bila di injeksi satu kali, namun dengan adanya

perlakuan injeksi yang berulang maka ada penigkatan aktifitas Fusarium sp yang

semakin baik yang juga mengakibatkan infeksinya semakin besar.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa keberadaan inokulum yang

bersifat patogen ini (Fusarium sp) berpengaruh sangat penting dalam

perkembangan penyakit (gaharu). Karena inokulum merupakan pembentuk

(12)

tidak semua inokulum mampu melakukan infeksi pada tanaman. Hanya inokulum

patogen yang berfungsi untuk menginfeksi tumbuhan atau tanaman.

Dari total keseluruhan jumlah injeksi, terdapat juga lubang injeksi yang

tidak menampilkan tanda - tanda terbentuknya gaharu. Terdapat 28% pada

perlakuan satu kali injeksi, dan 20% pada perlakuan dua kali injeksi yang belum

ataupun tidak menunjukkan gejala terbentuknya gaharu. Hal ini dapat dilihat dari

tidak adanya perubahan warna pada batang disekitar lubang – lubang injeksi pada

batang pohon tersebut.

(a) (b) (c)

Gambar 3. Perkembangan gejala

(a) Tidak terjadi gejala (b) gejala setelah 8 minggu pengamatan (c) gejala akhir pengamatan

Dari gambar 2a dapat dilihat bahwa perubahan warna hanya terjadi

pada bekas lubang injeksi. tidak ada terdapat penyebaran perubahan warna

disekitar lubang tersebut. Belum atau tidak terinfeksinya lubang injeksi ini dapat

disebabkan oleh faktor lingkungan, kurang responnya batang terhadap inokulum,

maupun kesalahan dalam melakukan injeksi yang menyebabkan kondisi lubang

(13)

Mucharromah (2008) menunjukkan bahwa pada jaringan yang terkontaminasi

resin gaharu yang awalnya berwarna coklat bening kemerahan berubah menjadi

berwarna kehitaman dan menghilang sebelum selnya hancur. Oleh karena itu

dalam proses produksi gaharu dengan inokulasi perlu diterapkan prinsip-prinsip

aseptik yang akan membatasi peluang terjadinya kontaminasi.

Sedangkan untuk gambar 2b dan 2c menunjukkan bahwa terjadi

perubahan gejala yang jelas. Batang sekitar lubang injeksi sudah mulai berubah

warnanya menjadi merah kecoklatan. Selain itu dapat dlihat juga ada cendawan

yang tumbuh pada lubang injeksi. perubahan – perubahan gejala yang tampak,

menunjukkan bahwa lubang injeksi tersebut sudah diinfeksi oleh fugi yang

diinjeksikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pojanagaroon & Kaewrak (2002)

yang menyatakan Penggunaan cendawan dalam menginduksi pembentukan gubal

gaharu menyebabkan terjadinya perubahan fisiologis pada pohon gaharu.

Perubahan fisiologis yang terjadi berupa klorosis daun, perubahan warna kayu di

daerah terinfeksi, terbentuknya aroma wangi.

b. Masa Inkubasi

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan selama 15 minggu

dilapangan, Fusarium sp. yang disuntikkan dengan frekuensi yang berbeda

ternyata sudah menunjukkan gejala infeksinya setelah tiga minggu dari perlakuan

awal. Gejala yang ditimbulkan ialah batang di sekitar lubang injeksi berubah

menjadi agak kering dan munculnya perubahan warna di sekitar lubang injeksi

menjadi ke-kuningan. Situmorang (2000) menyatakan bahwa produksi gubal

gaharu akan dapat di amati mulai terbentuk setelah satu bulan perlakuan. Dan

(14)

memang mulai terbentuk pada satu bulan setelah diberi perlakuan pada

tanamannya. Hal ini jelas berdampak sangat baik. Karena berdasarkan hasil yang

didapat, bahwa waktu terjadi infeksi gaharu lebih cepat dari rata – rata penelitian

sebelumnya.

c. Besar Infeksi

Besar infeksi didapat perkembangan gejala pada batang, yaitu dari arah

vertikal (panjang) dan arah horizontal (lebar). Pengukurannya dilakukan dengan

menarik garis dari lubang injeksi ke titik gejala yang terjauh.

1. Panjang Infeksi

Hasil panjang infeksi diperoleh dari pengamatan yang dilakukan setiap

dua minggu sekali. Data yang diambil adalah data pengamatan ke-tujuh (Data

pengamatan ke-empat belas).

Tabel 3. Panjang infeksi Fusarium sp

Pembagian Batang Panjang Injeksi (cm)

1x injeksi 2x injeksi 3x injeksi

Bawah 1.71 1.78 2.47

Tengah 3.47 3.57 3.71

Atas 2.52 2.87 3.03

Panjang infeksi yang di dapat menunjukkan bahwa interaksi kedua faktor

perlakuan tersebut tidak berpengaruh nyata pada infeksi Fusarium sp. Tidak signifikannya pengaruh frekuensi maupun interaksi perlakuan dapat di akibatkan

karena waktu pengamatan yang kurang lama, sehingga didapat data yang tidak

signifikan. Selain itu efektifitas patogenesis Fusarium sp juga sangat

mempengaruhi terjadinya gaharu. Fusarium sp memang sudah di ketahui dapat menghasilkan gaharu apabila di reaksikan ketanaman inangnya. Namun

(15)

secara rinci proses Fusarium sp menginfeksi tanaman inangnya tersebut.

Budi dkk (2010) menyatakan jamur yang secara umum telah diketahui dapat menginduksi pembentukan gubal gaharu adalah dari genus Fusarium. Jamur

tersebut diperoleh dari hasil Isolasi pada gubal yang sudah terbentuk di alam,

namum demikian efektivitasnya tersebut dalam menginduksi pembentukan gubal

belum diketahui secara jelas. Panjang infeksi pada gambar 2. sebenarnya sudah

menunjukkan perbedaan panjang infeksi yang semakin baik dengan semakin

banyaknya frekuensi injeksi. namun perbedaannya belum signifikan.

2. Lebar Infeksi

Tabel 4. Lebar infeksi Fusarium sp

Pembagian Batang Lebar Infeksi

1x injeksi 2x injeksi 3x injeksi

Bawah 0.26 0.32 0.46

Tengah 0.44 0.55 0.63

Atas 0.38 0.38 0.54

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan frekuensi injeksi dan

pembagian batang maupun interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap

lebar infeksi. Data ini sama dengan penelitian sebelumnya (Simanjuntak, 2009)

yang mendapatkan hasil infeksi pada bagian lebar (arah horizontal yang tidak

sebagus panjang infeksinya (arah vertikal).

Terdapat beda yang signifikan antara panjang dan lebar infeksi yang

didapatkan dari penelitian ini. Kemungkinan besar disebabkan karena jaringan

pengangkut air dan mineral ialah searah dengan panjang batang. Hal ini sesuai

dengan penelitian sebelumnya yang juga mendapatkan hasil yang juga lebih besar

dibagian panjang (arah vertikal) dibandingkan dibagian lebar (arah horizontal,

Pernyataan Novriyanti (2008) juga memperkuat hasil ini yang menyatakan

(16)

vertikal mengikuti arah jaringan pembuluh batang tanaman yang tersusun atas

sel-sel vessel-sel secara vertical dan berfungsi sebagai jalur transportasi air dan cairan

nutrisi, di mana hifa jamur dapat menggunakan sel-sel tersebut untuk memperluas

invasi, sedangkan perkembangan horizontal cenderung melambat seiring waktu.

d. Kualitas Gubal

Kualitas gubal didapatkan dari aroma gaharu dan mengamati perubahan

warna batang.

1. Aroma

Untuk mendapatkan kualitas gaharu, dapat juga dilakukan dengan

membuat scoring rata – rata aroma gaharu kepada 10 orang responden. Potongan

gaharu di sayat sedikit, lalu di bakar dan di cium aroma yang ditimbulkan.

Tabel 5. Kualitas aroma gubal gaharu

No Nama Kualitas

1x injeksi 2x injeksi 3x injeksi

1 Responden 1 1 2 3

1. Tidak aroma, 2. Kurang aroma, 3. Ber-aroma Sedang, 4. Cukup

ber-aroma, 5. Ber-roma kuat

Rata – rata kualitas gaharu yang di dapat, rata – rata masih di bawah

kualitas contoh gaharu yang di ujikan. Dari tabel 5 dapat di lihat bahwa rata – rata

aroma untuk perlakuan dengan sekali injeksi adalah tingkat keharuman 1 (tidak

(17)

tingkat keharuman kedua (kurang er-aroma). Namun pada tiga kali injeksi, ada

responden yang menyatakan bahwa tingkat keharumannya mencapat tingkat

ketiga. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keharuman semakin baik, seiring

bertambahnya frekuensi injeksi.

Perubahan tingkat aroma yang di dapat juga tidak cenderung semakin baik

berdasarkan perlakuan pembagian batangnya. Yunasfi (2002) menyatakan bahwa

susunan variasi gen dapat berubah dalam berbagai proses. Begitu pula dengan

aktifitas patogen dapat berubah – ubah dalam suatu periode waktu. Perubahan

tersebut dapat disebabkan oleh proses hibridisasi, heterokariosis dan

paraseksualisme. Itulah mengapa suatu patogen yang sama, bahkan yang memiliki cara perkembangbiakan yang sama dapat memiliki hasil infeksi yang

berbeda karena perbedaan daerah dan perbedaan pohon.

2. Perubahan Warna Batang

Perubahan warna batang dilihat disekitar lubang injeksi. apabila terinfeksi,

maka akan terjadi perubahan warna yang signifikan antara batang yang sehat

dengan yang terinfeksi. Biasanya batang yang terinfeksi berubah warna menjadi

coklat hingga hitam.Selama 15 minggu pengamatan, kualitas gaharu yang

dihasilkan menunjukkan hasil yang berbeda – beda. Untuk sekali injeksi di dapat

perubahan warna menjadi putih kecoklatan. Untuk dua kali injeksi, peubahan

warnanya menjadi coklat bergaris putih. Sedangkan untuk tiga kali injeksi,

perubahan warna rata – ratanya menjadi coklat muda. Pada gaharu budidaya,

proses produksi gaharu sangat ditentukan kuantitasnya oleh jumlah lubang atau

luka yang di inokulasi dan kualitasnya tergantung lama waktu sejak inokulasi

(18)

terakumulasi dan semakin tinggi kualitas gaharu yang dihasilkan

(Mucharromah, 2010).

(a) (b) (c)

Gambar 4. Perubahan warna gaharu pada perlakuan 1x injeksi pada minggu ke-15 (a)batang tengah (b) batang atas (c) batang bawah

(a) (b) (c)

(19)

(a) (b) (c) Gambar 6. Perubahan warna gaharu pada perlakuan 3x injeksi pada minggu ke-15

(a) batang bawah (b) batang tengah (c) batang atas.

Perubahan warna yang di dapat menunjukkan bahwa pada perlakuan 1 kali

injeksi perubahan warnanya dirata-ratakan menjadi warna kecoklatan dengan

garis – garis putih. Sedangkan untuk perlakuan dengan 2 kali injeksi perubahan

warnanya coklat bergaris – garis putih. Sedangkan untuk perlakuan dengan 3 kali

injeksi, warnanya berubah menjadi coklat bergaris hitam. Perubahan warna rata –

rata yang didapat cenderung semakin baik dengan semakin banyaknya frekuensi

injeksi yang dilakukan. Dan kemungkinan besar akan juga semakin baik lagi jika

diuji lebih lama, hal ini disebabkan karena infeksinya juga masih menunjukkan

panambahan panjang. Jadi besar kemungkinan perubahan warnanya juga semakin

(20)

e. Reisolasi Gubal Gaharu

Reisolasi merupakan kegiatan mengisolasi ulang gaharu yang telah

dihasilkan. Isolasinya mengunakan tekhik postulat Koch.

(a)

Gambar 7. Hifa Fusarium sp.

(a) sebelum injeksi (b) sesudah injeksi

Hasil reisolasi pada gambar 7 menunjukkan kesamaan antara hifa awal dan akhir penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa yang menginfeksi batang pohon

A. malaccensis Lamk. adalah Fusarium sp yang telah diinjeksikan. Fusarium yang diinjeksikan memiliki kemampuan untuk bertahan hidup, berkembang biak

bahkan menginfeksi batang pohon yang diinjeksi tersebut. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Budi dkk (2010) yang menyatakan cendawan yang secara umum telah diketahui dapat menginduksi pembentukan gubal gaharu adalah dari genus

(21)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan inokulasi cukup tinggi,

yaitu berkisar 76-100%.

2. Waktu munculnya gejala sudah mulai terjadi pada minggu ke tiga

pengamatan.

3. Tidak terdapat interaksi antara bgian batang dengan frekuensi injeksi

terhadap perkembangan gubal (panjang dan lebar infeksi)

4. Fusarium sp lebih banyak menyerang bagian batang tengah, hal ini di

tunjukkan dengan besar infeksi pada bagian tengah adalah yang paling

besar.

5. Kualitas aroma dan perubahan warna yang di dapat masih di bawah

kualitas gaharu kemedangan yang di gunakan sebagai standard uji.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk memperbaiki hasil penelitian.

Karena waktu 15 minggu masih kurang untuk memperoleh data yang baik. Hal

ini ditunjukkan dari data panjang dan lebar infeksi serta perubahan warna yang

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Gaharu

Gaharu merupakan hasil dari pohon atau kayu tertentu di hutan. Gaharu

adalah sejenis resin tapi bukan resin yang dihasilkan oleh pohon gaharu,

melainkan karena adanya infeksi pada pohon tersebut. Infeksi ini mengakibatkan

sumbatan pada pengaturan makanan, sehingga menghasilkan suatu zat

phytalyosin sebagai reaksi dari infeksi tersebut. Infeksi didapat dari hasil

perlukaan yang disebabkan oleh alam (serangan hama dan penyakit seperti

serangga, jamur, bakteri) atau karena sengaja dilukai oleh manusia. Zat

phytalyosin inilah yang merupakan resin gubal gaharu di dalam pohon keras dari

jenis Aquilaria spp. Zat yang berbau wangi jika dibakar tidak keluar dari batang gubalnya, tetapi mengendap menjadi satu dalam batang. Hal ini terjadi pada

tanaman yang sakit dan tidak pada pohon yang sehat. Proses inilah yang

menyebabkan terbentuknya gaharu dalam batang. Gubal gaharu adalah bagian

gubal gaharu yang mengandung damar wangi dengan konsentrasi yang lebih

rendah (Wulandari, 2000).

Gaharu terbentuk melalui proses infeksi penyakit yang spesifik yang

dikenal dengan “patogenesis”. Patogenesis tumbuhan adalah pertarungan antara

inang (pohon gaharu) dengan patogen yang "compatible" dimana hasilnya

dipengaruhi oleh kondisi lingkungan serta konstitusi genetik pohon

(Agrios, 1996). Dari segi morfologi daun, bunga dan buah, tanaman gaharu

mempunyai ciri yaitu; daun lonjong memanjang dengan panjang 5–8 cm, lebar

3–4 cm, berujung runcing, dan berwarna hijau mengkilat. Bunga berada di ujung

(23)

bulat telur atau lonjong, berukuran panjang sekitar 5 cm dan lebar 3 cm. Biji bulat

telur yang ditutupi bulu – bulu halus berwarna kemerahan (Sumarna, 2007).

Simorangkir dan Dwisusanto (2000) menyatakan bahwa gaharu

merupakan kayu resin atau damar yang dihasilkan oleh pohon gaharu yang

terinfeksi oleh jamur, kejadian tersebut telah diketahui beribu-ribu tahun yang

lalu. Gaharu dapat dinilai dari aromanya yang dapat digunakan untuk bahan

campur obat-obatan. Gaharu yang paling berharga adalah yang diekstraksi dari

genus Aquilaria termasuk ke dalam famili Thymeleaceae.

Botani Tanaman Gaharu

Taksonomi tanaman gaharu (A. malaccensis Lamk.) adalah :

Kingdom : Plantae (tumbuhan)

Divisi : Spermatophyta (tumbuhan biji)

Sub Divisi : Angiospermae (tumbuhan biji tertutup)

Kelas : Dikotil (berbiji belah dua)

Sub Kelas : Dialypetale (bebas daun bermahkota)

Ordo : Myrtales (daun tunggal duduknya bersilang)

Famili : Thymeleaceae (akar berserabut jala)

Genus : Aquilaria

Species : A. malaccensis Lamk. (Tarigan, 2004).

Penyebaran Tanaman Penghasil Gaharu (A. malaccensis Lamk)

Gaharu berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu “aguru” yang berarti kayu

berat (tenggelam) sebagai produk damar atau resin dengan aroma keharuman yang

(24)

dan pada upacara ritual keagamaan. Di Indonesia, gaharu dikenal masyarakat

sejak tahun 1200-an. Sebagian besar produksi masih merupakan produksi hutan

secara alami. Perkembangan awal perdagangan gaharu di Indonesia ditunjukkan

oleh adanya perdagangan dari Palembang dan Kalimantan ke Kwang Tung-China.

Puncak perdagangan ekspor gaharu berlangsung antara 1918–1925 dan pada masa

penjajahan Belanda dengan volume sekitar 11 ton/tahun. Setelah kemerdekaan,

ekspor gaharu terus meningkat ke beberapa negara industri yang berkembang, dan

tercatat ekspor gaharu pada tahun 2000, volume ekspor gaharu mencapai 446

ton/tahun dengan nilai US$ 2,2 Juta (Sumarna, 2007).

Gaharu adalah salah satu komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)

yang bernilai sangat tinggi digunakan sebagai bahan parfum, obat-obatan dan

bahan kemenyan. Harganya persatuan berat adalah sangat tinggi dan bervariasi

tergantung dari kadar resin dan aroma yang dikeluarkan. Sedangkan mutu

terendah (kemedangan) berharga kurang dari 100 ribu rupiah. Akibat tingginya

harga gaharu dan belum tersedianya petunjuk objek yang mampu

mengidentifikasi adanya gaharu di dalam satu pohon maka sampai sekarang

banyak ditebang pohon yang tidak berisi gaharu, sehingga pohon gaharu menjadi

jenis tanaman langka dan dimasukkan ke dalam CITTES APPENDIX I

(Sumadiwangsa dan Zulnely, 1999).

Kayu gaharu juga berfungsi sebagai bahan baku dupa (makmul) dan hio

dan bisa dijadikan sebagai bahan untuk aroma terapi. Selain itu kayu gaharu juga

dapat digunakan sebagai bahan baku obat-obatan dan minyak wangi/parfum,

bahan baku pembuatan minyak gaharu, Sabun, Shampo yang harum semerbak dan

(25)

Syarat Tumbuh dan Penyebaran Gaharu di Indonesia

Syarat untuk tumbuh dengan baik, gaharu tidak memilih lokasi khusus.

Umumnya gaharu masih dapat tumbuh dengan baik pada kondisi tanah dengan

struktur dan tekstur yang subur, sedang, maupun ekstrem. Gaharu pun dapat

dijumpai pada kawasan hutan rawa, hutan gambut, hutan dataran rendah, ataupun

hutan pegunungan dengan tekstur tanah berpasir. Bahkan ditemukan juga jenis

gaharu yang tumbuh di celah–celah batuan.

Pohon gaharu umumnya dapat ditanam pada lokasi dengan ketinggian

5-700 mdpl dengan curah hujan 6 bulan dan sepanjang tahun lebih disukai.

Tanaman gaharu dapat dipanen setelah berumur 9-10 tahun. Setelah pohon

berdiameter 10 cm (kira-kira pada umur 5 tahun), Produksi gubal gaharu mulai

terbentuk setelah satu bulan penyuntikan dengan tanda-tanda pohon tampak sakit,

dedaunan menguning dan rontok, kulit batang rapuh, jaringan kayu berwarna

coklat tua dan mengeras, dan jika dibakar akan mengeluarkan aroma khas mirip

kemenyan. Gaharu dapat dipanen 3–4 tahun kemudian.

Daerah penyebaran gaharu di Indonesia antara lain, kawasan hutan

Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara, dan Jawa.

Secara ekologisnya, tanaman gaharu di Indonesia tumbuh pada daerah dengan

ketinggian 0–2400 mdpl. Umumnya, gaharu yang berkualitas baik tumbuh pada

daerah yang beriklim panas, dengan suhu 28º–34ºC, kelembaban 60–80%, dan

curah hujan 1000–2000 mm/tahun.

Dari beberapa hasil uji coba serta informasi dan pengalaman di lapangan

menunjukkan bahwa gaharu tidak memerlukan persyaratan khusus untuk

(26)

pengembangan gaharu dapat dilakukan pada berbagai lahan dengan variasi

kondisi lingkungan dan iklim. Namun, pertumbuhan optimal akan diperoleh pada

kondisi lahan yang struktur tanahnya lempung, dan liat berpasir, serta solum yang

dalam (Sumarna, 2007).

Kelas Produk Gaharu

Menurut Tarigan (2004), pengkelasan produk gaharu adalah syarat untuk

penentuan kualitas dan harga jual. Kualitas gaharu dapat dibagi menjadi tiga

kelompok yaitu:

a. Gubal

Gubal adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu,

memiliki kandungan damar wangi dan aroma yang agak kuat, ditandai oleh

warnanya yang hitam atau kehitaman berseling coklat.

b. Kemedangan

Merupakan kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu,

memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang lemah, ditandai oleh

warnanya yang putih ke abu-abuan sampai kecoklat-coklatan, berserat kasar dan

kayunya yang lunak.

c. Abu (bubuk)

Abu merupakan serbuk kayu gaharu yang dihasilkan dari proses penggilingan atau

penghancuran kayu gaharu sisa pembersihan atau pengerokan.

Sesuai rancangan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang ditetapkan oleh

Dewan Standarisasi Nasional (DSN), masing-masing kelompok produk gaharu

(27)

Tabel 1. Klasifikasi mutu produk gaharu berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI)

(Sumber : Badan Standarisasi Nasional)

Gubal gaharu terakumulasi pada jaringan yang terdapat diantara xylem

sekunder dan floem sekunder pada batang. Jaringan pengakumulasi ini telah

terbenuk pada tanaman gaharu umur 4 bulan, penemuan ini mendasari inokulasi

pada umur muda, walaupun jaringan yang terbentuk masih sangat tipis. Gubal

kulit, merupakan bukti bahwa resin gaharu terdeposit pada jaringan floem.

(28)

transport hasil asimilat dari daun ke seluruh bagian tanaman. Jaringan ini

merupakan tempat terakumulasinya resin gaharu (Rawana, 2009).

Inokulasi adalah kontak awal patogen pada suatu tanaman yang mungkin

terinfeksi. Inokulum adalah bagian dari patogen yang dapat memulai infeksi.

Tidak semua inokulum mampu melakukan infeksi pada tanaman, hanya inokulum

patogen berpotensi untuk menginfeksi tumbuhan (Agrios, 1996).

Inokulan Pembentuk Gaharu

Inokulan Pembentuk Gaharu merupakan jamur protista nonfotosintesis

yang berkembang biak dengan spora. Jalinan filament (hifa) yang dikenal dengan

sebutan miselium (mycelium). Meskipun hifa memiliki sekat-sekat, namun sekat ini berlubang sehingga inti dan sitoplasma bias leluasa melewatinya. Jadi secara

utuh organisme ini adalah Coenocyte (berinti banyak yang sitoplasmanya saling berhubungan) berada dalam deretan tabung-tabung yang bercabang.

Tabung-tabung ini dibentuk dari polisakarida seperti kitin, yang mirip dengan dinding sel.

Secara evolusi jamur merupakan bagian dari protozoa. Jamur dibagi menjadi

empat kelas yaitu Zygomycotina (phycomycetes), Ascomycotina (ascomycetes),

Basidiomycotina (basidomycetes) dan Deuteromycotina (fungi imperfekti)

(Brooks dkk, 2001).

Jamur merupakan mikroorganisme tidak berklorofil, berbentuk hifa/sel

tunggal eukarotik, berdinding sel dari kitin atau selulosa, bereproduksi seksual

dan aseksual. Dalam dunia kehidupan jamur merupakan kingdom tersendiri

karena cara mendapatkan makanannya berbeda dari organism eukarotik lainnya,

(29)

Jamur merupakan protista nonfotosintesis yang berkembang biak dengan

spora. Jalinan filament (hifa) yang dikenal dengan sebutan miselium (mycelium). Meskipun hifa memiliki sekat-sekat, namun sekat ini berlubang sehingga inti dan

sitoplasma bias leluasa melewatinya. Jadi secara utuh organisme ini adalah

Coenocyte (berinti banyak yang sitoplasmanya saling berhubungan) berada dalam deretan tabung-tabung yang bercabang. Tabung-tabung ini dibentuk dari

polisakarida seperti kitin, yang mirip dengan dinding sel. Secara evolusi jamur

merupakan bagian dari protozoa. Jamur dibagi menjadi empat kelas yaitu

Zygomycotina (phycomycetes), Ascomycotina (ascomycetes), Basidiomycotina

(basidomycetes) dan Deuteromycotina (fungi imperfekti) (Brooks dkk, 2001). Menurut Agrios (1996), untuk menentukan apakah jamur yang ditemukan

bersifat patogen atau saprofit maka pertama kali yang harus dipelajari adalah

morfologi miselium, struktur buah, dan sporanya di bawah mikroskop. Pada

banyak kasus, pada awal perkembangan penyakit baik struktur buah ataupun

spora tidak dijumpai pada jaringan yang sakit, dan oleh karena itu tidak ada hal

yang memungkinkan untuk mengidentifikasi jamur tersebut. Untuk beberapa jenis

jamur, telah tersedia beberapa medium biakan khusus untuk isolasi selektif,

identifikasi atau untuk merangsang sporulasi. Kebutuhan lain adalah dengan cara

menginkubasi di bawah kondisi suhu, udara, atau cahaya tertentu untuk

menghasilkan spora. Akan tetapi, pada sebagian besar kasus, struktur buah dan

spora dapat dihasilkan pada jaringan inang yang sakit jika jaringan tersebut

ditempatkan dalam gelas atau plastik “ruang lembab” (moisture chamber), yaitu wadah yang di dalamnya ditambahkan kertas saring yang basah untuk

(30)

Inokulan yang diproduksi di laboratorium penyedia inokulan ada beberapa

macam, yaitu inokulan padat, inokulan cair, dan inokulan biakan murni.

a. Inokulan padat

Inolukan padat dapat dibuat dan dikembangkan di dalam media padat berupa

serbuk gergaji atau tepung yang berasal dari pohon gaharu atau jenis lain seperti

kayu sengon. Media ini harus dalam kondisi steril. Adapun tahapan pembuatan

inokulan padat tersebut sebagai berikut :

1. Pengumpulan media dari kayu-kayu gaharu yang dianggap limbah.

2. Memasukkan media kayu berbentuk serbuk atau tepung tersebut di dalam

botol yang sudah disterilkan dengan volume sekitar 1 ons atau 100 gram.

3. Botol yang sudah steril tersebut dimasukkan di dalam ruang biakan yang

sudah dilengkapi dengan laminair air flow dan lampu ultraviolet.

4. Mengambil spora atau miselium dari biakan murni dengan menggunakan

pinset.

5. Spora atau miselium tersebut lalu dimasukkan ke dalam botol secara steril di

atas lampu spiritus. Ini dilakukan agar terhindar dari kontaminasi mikroba

lain. Pemasukan spora ini pun dilakukan dengan pinset.

6. Lalu botol ditutup dengan kapas steril dan dilapisi dengan aluminium foil

7. Botol biakan pengembangan spora inokulan kemudian disimpan dalam ruang

bersuhu kamar.

8. Diamati dan uji kenampakan pertumbuhan spora dan miselium yang

terbentuk.

9. Setelah di amati, botol disimpan kembali dalam inkubator atau freezer bila

(31)

spora diistirahatkan (didormankan). Setelah itu, inokulan sudah siap

diinokulasikan ke tanaman gaharu.

b. Inokulan cair

Selain padat, inokulan pun dapat diproduksi dalam bentuk cairan. Seperti halnya

inokulan padat, inokulan cair pun dimasukkan dalam botol dengan volume

tertentu. Botol infus bekas di rumah sakit dapat digunakan sebagai wadah

inokulan cair, tetapi harus melalui tindakan sterilisasi. Adapun tahapan produksi

inokulan cair ini sebagai berikut (Sumarna, 2007) :

1. Dilarutkan media cair yang berisi energi berupa mineral, karbohidrat, dan

vitamin dengan aquadest (air murni). Lalu disterilkan dalam autoclave. 2. Setelah steril, media cair tersebut dimasukkan ke dalam botol infus bekas.

3. Diberikan lubang pada bagian atas botol infus untuk memudahkan

pemasukan spora inokulan ke dalam botol.

4. Lalu botol infus dimasukkan dalam ruang pembiakan inokulan yang

dilengkapi dengan lampu ultraviolet.

5. Kemudian diambil biakan murni inokulan, lalu masukkan ke dalam botol

infus bekas. Pemasukan inokulan ini dilakukan di atas nyala spiritus agar

steril.

6. Setelah itu lubang pada botol yang digunakan untuk pemasukan spora

ditutup dengan menggunakan selotip. Kemudian di simpan botol tersebut

pada rak inkubasi dalam suhu kamar.

7. Dibiarkan spora berkembang dalam waktu sekitar sebulan.

8. Setelah sebulan, diamati pertumbuhan spora di bawah mikroskop. Bila

(32)

maka botol infus dapat diistirahatkan di dalam inkubator atau freezer.

Setelah itu, inokulan sudah bisa diinokulasikan ke tanaman gaharu.

(Sumarna, 2007)

c. Biakan murni

Biakan murni mikroba penyakit pembentuk gaharu perlu tetap tersedia di

dalam laboratorium pengembangan. Bahkan biakan murni tersebut harus selalu

diperbaharui secara berkala setiap dua bulan sekali. Hal ini sangat diperlukan bila

sewaktu-waktu inokulan tersebut diperlukan (Sumarna, 2007).

Teknik Inokulasi

Teknik inokulasi dengan inokulan terhadap pohon gaharu berbeda-beda

sesuai dengan inokulannya. Pada pelaksanaannya penginokulasian terhadap pohon

gaharu ini, harus diperhatikan umur dan diameter batangnya. Batas minimal suatu

pohon dapat diinokulasi ditandai dengan pohon yang mulai berbunga. Biasanya

umur tanaman tersebut sekitar 4-5 tahun atau diameter batang sudah mencapai

8-10 cm (Sumarna, 2007).

a. Inokulasi dengan inokulan padat

Teknik inokulasi pohon gaharu menggunakan inokulan padat dilaksanakan

dengan cara sebagai berikut:

1. Dibuat lubang pada batang kayu gaharu dengan menggunakan bor. Diameter

lubang bor sekitar 0,8-1 cm. Kedalaman optimal pemboran ini perlu

disesuaikan dengan ukuran diameter batang, biasanya sekitar 5 cm. Setiap

batang dibuatkan banyak lubang dengan jarak antar lubang bor sekitar 20 cm.

2. Tangan pelaku inokulasi terlebih dahulu dibersihkan dengan air hingga bersih

(33)

3. Memasukkan inokulasi padat ke dalam setiap lubang. Jumlah inokulan yang

dimasukkan disesuaikan dengan kedalaman lubang. Sebagai patokan,

pemasukan ini dilakukan hingga terisi penuh dengan inokulan. Agar

pemasukan inokulan menjadi mudah, gunakan potongan kayu atau bambu

yang ukurannya sesuai diameter lubang.

4. Setiap lubang yang sudah diberi inokulan ditutup untuk menghindari

masuknya air ke dalam lubang. Penutupan lubang ini dilakukan dengan pasak

kayu gaharu. Penutupan pun dapat dilakukan dengan “lilin malam”.

(Sumarna, 2007).

b. Inokulasi dengan inokulan cair

Teknik inokulasi menggunakan inokulan cair dilaksanakan dengan cara sebagai

berikut:

1. Dilakukan pengeboran pada pangkal batang pohon dengan posisi miring ke

bawah. Kedalaman pemboran disesuaikan dengan diameter batang pohon,

biasanya sekitar 1/3 diameter batang. Sementara mata bor yang digunakan

berukuran sama dengan selang infus sekitar 0,5 cm. Selang infus tersebut

biasanya sudah disediakan produsen inokulan pada saat pembelian inokulan.

Namun, bila belum tersedia, selang infus dapat disediakan sendiri oleh petani.

2. Dimasukkan selang infus yang ada pada botol inokulan cair ke dalam lubang.

3. Besarnya aliran inokulan cair tersebut harus diatur dengan baik. Hentikan

aliran infus bila cairan inokulan sudah keluar dari lubang.

4. Ditutup bagian tepi di sekitar selang infus dengan menggunakan “lilin

(34)

5. Pengaturan aliran masuknya cairan infus ke dalam lubang di ulangi setiap 1-2

hari, tergantung keadaan cairan dalam lubang. Pengaturan aliran dilakukan

bila lubang sudah tidak terdapat lagi cairan inokulasi.

6. Penginokulasian ini di lakukan hingga inokulan cair di dalam botol infus

tersebut habis. Penginokulasian diulang kembali dengan botol inokulasi baru

bila belum ada tanda-tanda kematian fisik dan fisiologis (Sumarna, 2007).

Luas infeksi dihitung berdasarkan sebaran browning secara vertikal dan

horisontal. Sebaran browning secara vertikal lebih besar dari pada horisontal hal

ini karena infeksi vertikal mengikuti arah jaringan pembuluh batang tanaman yang

tersusun atas sel-sel vessel secara vertical dan berfungsi sebagai jalur transportasi

air dan cairan nutrisi, di mana hifa jamur dapat menggunakan sel-sel tersebut

untuk memperluas invasi. Perkembangan infeksi secara horizontal cenderung

(35)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gaharu merupakan hasil hutan bukan kayu yang memiliki nilai jual tinggi

dan banyak dicari masyarakat luas. Aroma gaharu yang sangat popular bahkan

sangat disukai oleh masyarakat negara-negara di Timur Tengah, Saudi Arabia,

Uni Emirat, Yaman, Oman, daratan Cina, Korea, dan Jepang. Gaharu dibutuhkan

sebagai bahan baku industri parfum,obat-obatan, kosmetika, dupa, dan pengawet

berbagai jenis aksesoris. Serta untuk keperluan kegiatan keagamaan, gaharu sudah

lama digunakan oleh pemeluk agama Budha dan Hindu.

Banyaknya manfaat dan nilai jual yang tinggi membuat kayu gaharu ini

menjadi primadona bagi para petani. Bahkan tak hanya gubal gaharu saja yang

memiliki nilai ekonomis, untuk ukuran daun pun dapat diolah menjadi teh yang

sangat berkhasiat yang dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.

Guna menghindari tumbuhan penghasil gaharu di alam tidak punah dan

pemanfaatannya dapat lestari maka perlu upaya konservasi. Oleh karena itu perlu

dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai budidaya dan tekhnik inokulasi yang

berguna untuk pengembangan gaharu dan meningkatkan produktifitas gubal

gaharu.

Selain tumbuhan penghasil gaharu di alam sudah semakin sedikit, proses

pembentukan gubal gaharu juga terjadi dalam jangka waktu yang sangat lama.

Prosesnya dapat mencapai puluhan tahun. Sedangkan gaharu yang dihasilkan

dengan tekhnologi budidaya, walaupun dihasilkan dalam jangka waktu yang lebih

(36)

itulah dilakukan penelitian ini supaya gaharu di hasilkan lebih cepat dan

menghasilkan kualitas yang cukup baik

Selama ini proses inokulasi dapat dilakukan dengan cara melukai bagian

batang pohon, menyuntikkan mikroorganisme jamur, menyuntikkan oli dan gula

merah dan dengan memasukan potongan gaharu ke dalam batang tanaman. Untuk

penelitian ini dilakukan cara yang kedua yaitu dengan menyuntikkan jamur ke

dalam batang pohon A. mallaccensis Lamk. Kelebihan dari tekhnik ini ialah tingkat keberhasilan infeksinya paling besar dan cukup mudah dilakukan.

Sedangkan kelemahannya ialah memerlukan biaya lebih besar dibandingkan

ketiga tekhnik yang lain.

Tujuan Penelitian

1. Mengukur perbedaan pembentukan gubal gaharu akibat perlakuan

frekuensi injeksi baik pada bagian batang bawah, tengah dan atas.

2. Menguji kualitas gubal gaharu setelah 15 minggu perlakuan frekuensi

injeksi baik pada bagian batang bawah, tengah dan atas.

Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah terjadi perbedaan pembentukan gubal

gaharu dari perlakuan frekuensi injeksi baik pada bagian batang bawah, tengah

dan atas.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi terbaru

tentang induksi pembentukan gubal gaharu. Dan menjadi acuan untuk

(37)

ABSTRAK

Gaharu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang memiliki banyak khasiat dan bernilai jual tinggi. Pembentukan gubal gaharu memerlukan waktu yang cukup lama. Penelitian ini berisi tentang bagaimana cara mempercepat pembentukan gaharu dan menghasilkan gaharu yang berkualitas cukup baik. Metode yang digunakan ialah dengan cara menginjeksi batang pohon A. malacceensis Lamk. dengan frekuensi injeksi yang berbeda pada batang bagian bawah, tengah dan atas selama empat belas minggu pengamatan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan gubal gaharu sudah terbentuk tiga minggu setelah injeksi awal.

Persentase infeksi mencapai 100% pada frekuensi tiga kali injeksi. Kualitas gubal semakin baik dengan bertambahnya frekuensi injeksi terhadap batang. Batang tengah merupakan bagian yang kualitas gubal gaharunya paling baik.

(38)

ABSTRACT

Agarwood is one of non-timber forest products that have many properties and high value. Require a long time to form agarwood. This study describes how to accelerate the formation of agarwood and agarwood produce fairly good quality. The method used is by injecting trees A. malacceensis Lamk. with different injection frequencies on the trunk bottom, middle and top for fourteen weeks of observation.

The results of this study demonstrate the sapwood has been formed three weeks after the initial injection. The percentage of infection reached 100% at a frequency of three times injection. The quality is getting better aloes sapwood with increasing frequency against stem injection. The quality is getting better sapwood with increasing frequency of injection to the rod. Central stem is the part that quality sapwood best gaharu.

(39)

INDUKSI PEMBENTUKAN GUBAL GAHARU DENGAN

PERLAKUAN FREKUENSI INJEKSI INOKULUM PADA

TIGA BAGIAN BATANG

SKRIPSI

Oleh :

DONNY I E SIREGAR 091201145 / BUDIDAYA HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(40)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Induksi Pembentukan Gubal Gaharu dengan Perlakuan Frekuensi Injeksi Inokulum pada Tiga Bagian Batang Nama : Donny I E Siregar

NIM : 091201145

Program Studi /Minat : Kehutanan/ Budidaya Hutan

Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Dr. Ir. Edy Batara M. S, MS) (Nelly Anna, S.Hut, M.Si) Ketua Anggota

Mengetahui

(41)

ABSTRAK

Gaharu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang memiliki banyak khasiat dan bernilai jual tinggi. Pembentukan gubal gaharu memerlukan waktu yang cukup lama. Penelitian ini berisi tentang bagaimana cara mempercepat pembentukan gaharu dan menghasilkan gaharu yang berkualitas cukup baik. Metode yang digunakan ialah dengan cara menginjeksi batang pohon A. malacceensis Lamk. dengan frekuensi injeksi yang berbeda pada batang bagian bawah, tengah dan atas selama empat belas minggu pengamatan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan gubal gaharu sudah terbentuk tiga minggu setelah injeksi awal.

Persentase infeksi mencapai 100% pada frekuensi tiga kali injeksi. Kualitas gubal semakin baik dengan bertambahnya frekuensi injeksi terhadap batang. Batang tengah merupakan bagian yang kualitas gubal gaharunya paling baik.

(42)

ABSTRACT

Agarwood is one of non-timber forest products that have many properties and high value. Require a long time to form agarwood. This study describes how to accelerate the formation of agarwood and agarwood produce fairly good quality. The method used is by injecting trees A. malacceensis Lamk. with different injection frequencies on the trunk bottom, middle and top for fourteen weeks of observation.

The results of this study demonstrate the sapwood has been formed three weeks after the initial injection. The percentage of infection reached 100% at a frequency of three times injection. The quality is getting better aloes sapwood with increasing frequency against stem injection. The quality is getting better sapwood with increasing frequency of injection to the rod. Central stem is the part that quality sapwood best gaharu.

(43)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Langkat pada tanggal 21 April 1991 dari

ayah Efendi Siregar dan ibu Ride Sidabutar. Penulis merupakan putra pertama

dari tiga bersaudara.

Penulis mengawali Pendidikan pada Taman Kanak-Kanak (TK) Mutiara

Nusantara Kabupaten Langkat pada tahun 1996, kemudian melanjutkan

pendidikan Formal ke Sekolah Dasar (SD) Negeri no 054903 Kabupaten Langkat

pa, lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis malanjutkan pendidikan

di Sekolah Menengah Pertama Yayasan Pendidikan Anak Karyawan (Yaspendak)

Tenera Kabupaten Langkat, dan lulus pada tahun 2006, kemudian penulis

melanjutkan pendidikan pada Sekolah Menengah Atas (SMA) St Thomas 4,

Binjai dan pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur

ujan tertulis Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi. Penulis memilih program

studi Kehutanan, minat Budidaya Hutan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Himpunan

Mahasiswa Sylva (HIMAS) USU, KPU Fakultas Pertanian USU, sebagai asisten

Praktikum Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) dan praktikum Hidrologi Hutan.

Selain itu penulis juga aktif dalam oranisasi ektrauniversitas yaitu Sylva

Indonesia.

Penulis melakukan prektek kerja lapangan (PKL) di Taman Nasional Bali

(44)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas

segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Pembentukan Gubal Gaharu dengan Perlakuan Frekuensi Injeksi

Inokulum pada Tiga Bagian Batang ’’

Pada kesempatan ini penulis menghanturkan pernyataan terima kasih

sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan,

memelihara dan mendidik penulis selama ini. Penulis menyampaikan ucapan

terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Edy Batara M.S, MS dan Ibu Nelly Anna

S.Hut, M.Si selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah

membimbing dan memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis dari

mulai menetapkan judul, melakukan penelitian, sampai pada ujian akhir. Khusus

untuk Bapak Petro Sembiring, penulis mengucapkan banyak terima kasih atas

bantuannya memberikan tempat penelitian selama penulis mengumpulkan data.

Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf

pengajar dan pegawai di Program Studi Kehutanan, Minat Budidaya Hutan, serta

semua rekan mahasiswa yang tidak dapat disebutkan satu per satu di sini yang

telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini

(45)

DAFTAR TABEL

No

Hal

1. Klasifikasi mutu produk gaharu ………... 8

2. Persentase Infeksi ……… 22

3. Panjang Infeksi Fusarium sp ... 27

4. Lebar Infeksi Fusarium sp ……….. 28

(46)

DAFTAR GAMBAR

No

Hal

1. Sketsa pelubangan pada batang pohon ... 19

2. Batang pohon A.malaccensis Lamk. ……….. 23

3. Perkembangan gejala ……… 25

4. Perubahan warna gaharu pada perlakuan 1x injeksi pada minggu ke-15 … 31

5. Perubahan warna gaharu pada perlakuan 2x injeksi pada minggu ke-15 … 31

6. Perubahan warna gaharu pada perlakuan 3x injeksi pada minggu ke-15 … 32

Gambar

Gambar 1. Sketsa pelubangan pada batang pohon
Tabel 2. Persentase infeksi
Gambar 3. Perkembangan gejala
Tabel 3. Panjang infeksi Fusarium sp
+5

Referensi

Dokumen terkait

kelompok domba tangkas Wanaraja dan domba tangkas Sukawening memiliki nilai terkecil yaitu 1,16, sedangkan nilai matriks jarak genetik yang lebih besar adalah antara kelompok

Hasil penelitian ini diketahuihampir setengah (45 %) responden menyatakan bahwa perpustakaan Desa Baru Pasar 8 kurang berperan dalam memenuhi kebutuhan informasi, hampir

Penelitian ini relevan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Nurhayati dkk (2015) dengan judul “Pengembangan LKS Berbasis Problem Based Learning (PBL)

NIM NAMA MAHASISWA JK

* Isilah dengan tanda () pada kolom jawaban “Baik” Atau “Rusak” sesuai kondisi jenis sarana dalam ruang organisasi

[r]

Sehubungan dengan pelaksanaan Evaluasi Administrasi, Teknis, Harga dan Kualifikasi untuk Pekerjaan Pembangunan RKB MI N Simullu Kab..

Data hasil organoleptik mengenai rasa pada dangke peram dengan penambahan bakteri asam laktat ( Lactococcus lactis ) pada suhu pemeraman dan lama pemeraman yang